• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alih Fungsi atau Konversi Lahan Pertanian ke Lahan Non Pertanian di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Alih Fungsi atau Konversi Lahan Pertanian ke Lahan Non Pertanian di Indonesia"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN

ALIH FUNGSI ATAU KONVERSI LAHAN PERTANIAN KE LAHAN NON PERTANIAN DI INDONESIA

“Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Agribisnis Tanaman Pangan”

Disusun Oleh :

Prestilia Ningrum 150310080098 Rakhmi Primadianthi 150310080103 Bernida H Munthe 150310080102 Ratna Puspita Dewi 150310080115 Fakhrizal Maulana 150310080119 Wendi Irawan Dediarta 150310080137

Kelas : Agribisnis B

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR 2011

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konversi lahan atau alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian sebenarnya bukan masalah baru. Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan perekonomian menuntut pembangunan infrastruktur baik berupa jalan, bangunan industri dan pemukiman, hal ini tentu saja harus didukung dengan ketersediaan lahan. konversi lahan pertanian dilakukan secara langsung oleh petani pemilik lahan ataupun tidak langsung oleh pihak lain yang sebelumnya diawali dengan transaksi jual beli lahan pertanian. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilik lahan mengkonversi lahan atau menjual lahan pertaniannya adalah harga lahan, proporsi pendapatan, luas lahan, produktivitas lahan, status lahan dan kebijakan-kebijakan oleh pemerintah.

Kawasan perkotaan dapat diartikan sebagai kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial. Dalam rencana tata ruang kawasan perkotaan sendiri, diatur alokasi pemanfaatan ruang untuk berbagai penggunaan (perumahan, perkantoran, perdagangan, ruang terbuka hijau, industri, sempadan sungai, dsb) berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan, keserasian, keterbukaan (transparansi) dan efisiensi, agar tercipta kualitas permukiman yang layak huni dan berkelanjutan. Rencana tata ruang merupakan landasan pengelolaan pembangunan kawasan perkotaan atau ekonomi ( Anonimous, 2009).

Hal ini mulai terjadi sejak dikeluarkannya paket-paket kebijakan yang mendorong investor dalam dan luar negeri menanamkan modalnya di bidang nonpertanian sekitar pertengahan 1980-an. Keperluan lahan nonpertanian mengikuti trend peningkatan investasi tersebut. Keperluan lahan untuk bidang nonpertanian semakin meningkat pula seiring dengan booming pembangunan perumahan pada awal tahun 1990-an. Pemerintah memberikan berbagai fasilitas untuk mendorong pembangunan wilayah. Laju alih fungsi lahan dari yang semula digunakan untuk pertanian menjadi perumahan dan industri tidak dapat dihindari.

(3)

Departemen Pertanian sudah memperkirakan tantangan berat sektor pertanian terkait dengan keterbatasan lahan. (Sudaryanto, 2002).

Pertumbuhan perekonomian menuntut pembangunan infrastruktur baik berupa jalan, bangunan industri dan pemukiman. Dengan kondisi demikian, permintaan terhadap lahan untuk penggunaan non pertanian tersebut semakin meningkat, akibatnya banyak lahan sawah terutama yang berada di sekitar perkotaan mengalami alih fungsi ke penggunaan lain. Kurangnya insentif pada usahatani lahan sawah dapat menyebabkan terjadi alih fungsi lahan pertanian ke fungsi lainnya (Ilham dkk, 2003).

Pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan berkembangnya industri, prasarana ekonomi, fasilitas umum, dan permukiman dimana semuanya memerlukan lahan telah meningkatkan permintaan lahan untuk memenuhi kebutuhan nonpertanian. Namun pertumbuhan ekonomi juga meningkatkan kondisi sosial ekonomi pada lahan nonpertanian. Kondisi inilah yang membuat konversi lahan pertanian terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan dan pembangunan ekonomi yang tidak mungkin dapat dihindari (Sudaryanto, 2002).

Konversi lahan pertanian tidak menguntungkan bagi pertumbuhan sektor pertanian karena dapat menurunkan kapasitas produksi dan daya serap tenaga kerja yang selanjutnya berdampak pada penurunan produksi pangan, dan pendapatan per kapita keluarga tani. Konversi lahan pertanian juga mempercepat proses marjinalisasi usaha tani sehingga menggerogoti daya saing produk pertanian domestik. Konversi lahan pertanian merupakan isu strategis dalam rangka pemantapan ketahanan pangan nasional, peningkatan kesejahteraan petani dan pengentasan kemiskinan, serta pembangunan ekonomi berbasis pertanian. Berbagai peraturan yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan sebenarnya telah diterbitkan pemerintah untuk mengendalikan konversi lahan pertanian namun pengalaman menunjukkan bahwa peraturan-peraturan tersebut kurang efektif. Pada masa pemerintahan otonomi daerah, peraturan-peraturan yang umumnya diterbitkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah propinsi, semakin kurang efektif karena pemerintah kabupaten/kotamadya memiliki kemandirian yang luas dalam merumuskan kebijakan pembangunannya (Simatupang, 2001).

(4)

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah agar mahasiswa paham dan mengerti mengenai konversi atau alih fungsi lahan dari lahan pertanian ke non pertanian. Hal ini merupakan masalah yang menarik untuk dibahas karena menyangkut dengan keberlangsungan sistem pertanian yang ada di Indonesia.

1.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang kami gunakan adalah dengan studi literatur melalui media elektronik yang kemudian kami bahas bersama dalam kelompok belajar.

(5)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Alih Fungsi Lahan

Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang berdampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan/penyesuaian peruntukan penggunaan, disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan. Intensitas alih fungsi lahan masih sulit dikendalikan, dan sebagian besar lahan sawah yang beralihfungsi tersebut justru yang produktivitasnya termasuk kategori tinggi – sangat tinggi. Lahan-lahan tersebut adalah lahan sawah beririgasi teknis atau semi teknis dan berlokasi di kawasan pertanian dimana tingkat aplikasi teknologi dan kelembagaan penunjang pengembangan produksi padi telah maju (Murniningtyas, 2007).

Irawan (2005), mengemukakan bahwa konversi yang lebih besar terjadi pada lahan sawah dibandingkan dengan lahan kering karena dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu:

(1) pembangunan kegiatan non pertanian seperti kompleks perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering;

(2) akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering;

(3) daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah

(6)

tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan.

Alih fungsi lahan sawah dilakukan secara langsung oleh petani pemilik lahan ataupun tidak langsung oleh pihak lain yang sebelumnya diawali dengan transaksi jual beli lahan sawah. Proses alih fungsi lahan sawah pada umumnya berlangsung cepat jika akar penyebabnya terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan sektor ekonomi lain yang menghasilkan surplus ekonomi (land rent) jauh lebih tinggi (misalnya untuk pembangunan kawasan industri, kawasan perumahan, dan sebagainya) atau untuk pemenuhan kebutuhan mendasar (prasarana umum yang diprogramkan pemerintah, atau untuk lahan tempat tinggal pemilik lahan yang bersangkutan (Murniningtyas, 2007).

Secara ekonomi alih fungsi lahan yang dilakukan petani baik melalui transaksi penjualan ke pihak lain ataupun mengganti pada usaha non padi merupakan keputusan yang rasional. Sebab dengan keputusan tersebut petani berekspektasi pendapatan totalnya, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan meningkat (Ilham dkk, 2003).

Penelitian Syafa’at (1995), pada sentra produksi padi utama di Jawa dan Luar Jawa, menunjukkan bahwa selain faktor teknis dan kelembagaan, faktor ekonomi yang menetukan alih fungsi lahan sawah ke pertanian dan non pertanian adalah : (1) nilai kompetitif padi terhadap komoditas lain menurun; (2) respon petani terhadap dinamika pasar, lingkungan, dan daya saing usahatani meningkat.

Dorongan-dorongan bagi terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian tidak sepenuhnya bersifat alamiah, tetapi ada juga yang secara langsung atau tidak langsung dihasilkan oleh proses kebijaksanaan pemerintah. Dalam proses alih fungsi lahan, telah terjadi asimetris informasi harga tanah, sehingga sistem harga tidak mengandung semua informasi yang diperlukan untuk mendasari suatu keputusan transaksi. Kegagalan mekanisme pasar dalam mengalokasikan lahan secara optimal disebabkan faktor-faktor lainnya dari keberadaan lahan sawah terabaikan, seperti fungsi sosial, fungsi kenyamanan, fungsi konservasi tanah dan air, dan fungsi penyediaan pangan bagi generasi selanjutnya (Rahmanto dkk, 2008).

(7)

Hasil temuan Rusastra (1997), di Kalimantan Selatan, alasan utama petani melakukan konversi lahan adalah karena kebutuhan dan harga lahan yang tinggi, skala usaha yang kurang efisien untuk diusahakan. Pada tahun yang sama penelitian. Syafa’at (1995), di Jawa menemukan bahwa alasan utama petani melakukan konversi lahan adalah karena kebutuhan, lahannya berada dalam kawasan industri, serta harga lahan. Pajak lahan yang tinggi cenderung mendorong petani untuk melakukan konversi dan rasio pendapatan non pertanian terhadap pendapatan total yang tinggi cenderung menghambat petani untuk melakukan konversi. Penelitian Jamal (2001), di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, harga jual lahan yang diterima petani dalam proses alih fungsi lahan secara signifikan dipengaruhi oleh status lahan, jumlah tenaga kerja yang terserap di lahan tersebut, jarak dari saluran tersier, jarak dari jalan, dan jarak dari kawasan industri atau pemukiman. Sementara itu produktivitas lahan, jenis irigasi, dan peubah lain tidak berpengaruh signifikan.

Manan H, (2006) menyatakan bahwa belum ada peraturan yang khusus mengatur perlindungan lahan pertanian produktif. Ketentuan perlindungan tersebut saat ini tersebar dalam berbagai peraturan, antara lain:

1. UU 56 Prp 1960 (luas lahan maksimum dan minimum)

2.UU 12/1992 tentang Budidaya Tanaman (tata ruang memperhatikan rencana produksi tanaman)

3. UU 26/2007 tentang Penataan Ruang (terdapat kawasan lahan pertanian basah dalam Rencana Tata Ruang)

4. Keppres 53/1989 jo. 41/1996 jo. 98/1998 tentang Kawasan Industri (dilarang mengurangi lahan pertanian)

5. Berbagai surat edaran Meneg Agraria/KaBPN, Meneg PPN/KaBappenas, Mendagri tentang larangan konversi sawah irigasi teknis untuk penggunaan lain.

Widjanarko dkk, (2006) menyatakan bahwa terjadinya perubahan penggunaan lahan dapat disebabkan karena adanya perubahan rencana tata ruang wilayah, adanya kebijaksanaan arah pembangunan dan karena mekanisme pasar. Pada masa lampau yang terjadi adalah lebih banyak karena dua hal yang terakhir, karena kurangnya pengertian masyarakat maupun aparat pemerintah mengenai

(8)

tata ruang wilayah, atau rencana tata ruang wilayah yang sulit diwujudkan. Sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan yang menekankan kepada aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi, baik kepada investor lokal maupun luar negeri dalam penyediaan tanahnya, maka perubahan penggunaan tanah dari pertanian ke nonpertanian terjadi secara meluas. Tiga kebijakan nasional yang berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian ialah:

1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar. Dampak kebijakan ini sangat berpengaruh pada peningkatan kebutuhan lahan sejak tahun 1989, yang telah berorientasi pada lokasi subur dan menguntungkan dari ketersediaan infrastruktur ekonomi.

2. Kebijakan pemerintah lainnya yang sangat berpengaruh terhadap perubahan fungsi lahan pertanian ialah kebijakan pembangunan permukiman skala besar dan kota baru. Akibat ikutan dari penerapan kebijakan ini ialah munculnya spekulan yang mendorong minat para petani menjual lahannya.

3. Selain dua kebijakan tersebut, kebijakan deregulasi dalam hal penanaman modal dan perizinan sesuai Paket Kebijaksanaan Oktober Nomor 23 Tahun 1993 memberikan kemudahan dan penyederhanaan dalam pemrosesan perizinan lokasi. Akibat kebijakan ini ialah terjadi peningkatan sangat nyata dalam hal permohonan izin lokasi baik untuk kawasan industri, permukiman skala besar, maupun kawasan pariwisata.

(9)

2.2 Studi Kasus Alih Fungsi Lahan

STUDI KASUS PENURUNAN LUAS LAHAN PERTANIAN DI KOTA MEDAN

Berdasarkan hasil penelitian penurunan luas lahan pertanian akibat konversi lahan pertanian menjadi permukiman di Kota Medan dapat dilihat dari berbagai tolak ukur seperti, penurunan luas areal pertanian, berkurangnya luasan panen padi sawah, dan berkurangnya jumlah produksi padi. Disamping itu penurunan luas lahan pertanian ini, dapat diindikasikan terhadap peningkatan jumlah bangunan yang dibangun di Kota Medan.

Dari Tabel 11 dapat di lihat bahwa penurunan luas lahan pertanian di Kota Medan dari tahun 2001 - 2008 sebesar 4.088 Ha atau berkurang sebesar 36,5% dari luas lahan pertanian tahun 2001, dimana tercatat pada tahun 2001 luas lahan pertanian di Kota Medan sebesar 11.200 Ha dan pada tahun 2008 sebesar 7.112 Ha. Penurunan luas lahan pertanian dapat dilihat dari gambar 2 di bawah ini:

(10)

Berdasarkan data luas panen tercatat penurunan luasan panen sawah di Kota Medan dari tahun 2001 sampai tahun 2008 sebesar 2.288 Ha atau berkuarang sebesar 36,4% dari jumlah luasan panen tahun 2001. Dari gambar 3 terlihat penurunan luasan panen tiap tahunnya terlihat fluktuatif tetapi cenderung menurun.

Berdasarkan data produksi padi sawah tercatat pengurangan produksi padi dari tahun 2001 sampai tahun 2008 sebesar 19.205 ton atau berkurang sebesar 52,15% dari produksi padi tahun 2001. Dari gambar 4 terlihat penurunan produksi padi tiap tahunnya terlihat fluktuatif tetapi cenderung menurun.

(11)

Untuk megetahui perkembangan konversi lahan pertanian menjadi pemukiman di gunakan tolak ukur lainnya yaitu jumlah bangunan yang dibangun di Kota Medan tiap tahunnya. Berikut data pemberian izin pembangunan, jumlah bangunan di bangun dan jumlah lokasi pembangunan di Kota Medan.

Berdasarkan Tabel 12 di atas, di Kota Medan tercatat akumulasi jumlah total bangunan yang dibangun dari tahun 2001 - 2008 adalah sebesar 8.624 unit. Jika dihubungkan antara jumlah penurunan luas lahan pertanian dan akumulasi jumlah total bangunan dibangun di Kota Medan dari tahun 2001 sampai tahun 2008 membentuk hubungan yang negative, artinya penurunan luas lahan pertanian diikuti dengan penambahan jumlah bangunan dibangun. Berikut grafik jumlah bangunan dibangun di Kota Medan.

(12)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keputusan Petani dalam Mengkonversi Lahan Pertaniannya di Kota Medan

Dari berbagai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam mengkonversi lahan pertaniannya, peneliti menggunakan dua analisis yaitu analisis dengan metode logit dan juga secara deskriptif. Untuk faktor harga jual lahan, proporsi pendapatan, luas lahan, dan status lahan dianalisis dengan menggunakan metode logit atau binnary logistic. Sedangkan untuk kebijakan- kebijakan pemerintah terkait tata ruang dan pajak dibahas secara deskriptif.

Sawah sebagai salah satu faktor produksi penting dalam usaha tani, kini luasnya menjadi sangat terbatas, khususnya di daerah perkotaan. Seperti Di kota Medan dalam waktu 5 tahun lagi mungkin kita tidak akan menemukan lagi sawah. Atas fenomena itu seharusnya pemerintah agar lebih selektif lagi memberikan izin terkait dengan alih fungsi lahan sawah.

Pembangunan yang pesat di bidang industri dan perumahan serta pertumbuhan penduduk yang tinggi mendorong terjadi alih fungsi penggunaan sawah ke penggunaan nonsawah. Sawah umumnya bertopografi datar, kemiringannya 0%, infrastruktur seperti jalan, saluran drainase (jaringan irigasi sekunder, tersier), jaringan listrik, telepon, umumnya sudah tersedia. Unsur-unsur itu yang menjadikan faktor yang berpengaruh besar untuk investasi karena investor tidak perlu membangun infrastruktur tersebut.

(13)

Berbagai macam alasan mengapa petani di perkotaan menjual tanah sehingga terjadi alih fungsi, yakni usaha di bidang pertaian sawah dianggap tidak efisien mengingat berdasarkan hasil penelitian land rent ratio atau perbandingan nilai sewa tanah sawah dengan permukiman adalah 1:600. Demi memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidup, termasuk gaya hidup, maka banyak petani menjual tanahnya.

2.3 Dampak Negatif dari terjadinya Alih Fungsi lahan

 Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang mengganggu tercapainya swasembada pangan dan timbulnya kerawanan pangan serta mengakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sektor pertanian ke nonpertanian. Apabila tenaga kerja tidak terserap seluruhnya akan meningkatkan angka pengangguran.

 Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan menjadi tidak optimal pemanfaatannya.

(14)

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Konversi lahan pertanian atau alih fungsi lahan pada dasarnya merupakan akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan dan kepemilikan lahan antara sektor pertanian maupun nonpertanian. Oleh karena itu, dengan adanya konversi lahan maka akan berdampak pada kondisi perumahan dan lingkungan fisik, kesehatan dan tingkat pendapatan, serta akan berpengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat petani itu sendiri. Selain itu konversi lahan pertanian juga akan menyebabkan keterbatasan sumberdaya alam, pertumbuhan penduduk, dan pertumbuhan ekonomi.

Kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian. Alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari akibat kecenderungan tersebut. Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif.

Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian dapat berdampak terhadap turunnya produksi pertanian, serta akan berdampak pada dimensi yang lebih luas dimana berkaitan dengan aspek-aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat.

Berbagai kebijakan yang berkaitan dengan masalah pengendalian alih fungsi lahan sawah sudah banyak dibuat. Akan tetapi, hingga kini implementasinya belum berhasil diwujudkan secara optimal.

3.2 Saran

 Disarankan agar pemerintah seharusnya dapat lebih selektif lagi memberikan izin terkait dengan alih fungsi lahan sawah.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Supriyadi, Anton. 2004. Kebijakan Alih Fungsi Lahan dan Proses Konversi Lahan Pertanian. Fakultas Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Syafa’at, N., H.P. Saliem dan Saktyanu, K.D. 1995. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Sawah di Tingkat Petani.. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.

Jamal, E, 1999. Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Thesis Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Jamal, E. 2001. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Harga Lahan Sawah pada Proses Alih Fungsi Lahan ke Penggunaan Non Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor

Lestari, T, 2009. Dampak Konversi Lahan Pertanian Bagi Taraf Hidup Petani. IPB. Bogor

Anonimous, 2004. Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Tinjauan dari Aspek Pemanfatan dan pengendalian E: umber.homepage. makalah dirtunas_140604.doc.

Referensi

Dokumen terkait

Teknik analisis data pada penelitian ini menggunanakan uji one sample t-test untuk mengtahui laju alih fungsi lahan sawah dan uji korelasi pearson untuk mengtahui hubungan laju

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan suatu strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian sawah yang terjadi di Desa Beraban yang dilakukan dengan mengkaji

Dengan memperhatikan peta penurunan luas sawah, dapat diketahui bahwa daerah Kecamatan Somba Opu adalah daerah yang paling tinggi perubahan alih fungsi lahan sawah ke non sawah. Hal

yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Lamongan dapat memunculkan hasil yang lebih spesifik terkait faktor yangbersifat lokal pada masing-masing

Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non pertanian dapat berdampak terhadap turunnya produksi pertanian, serta akan berdampak pada dimensi yang lebih luas

1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sudah dapat menyeimbangkan sektor pangan sedangkan Undang-undang Nomor 26 tahun 2007

Dengan memperhatikan peta penurunan luas sawah, dapat diketahui bahwa daerah Kecamatan Somba Opu adalah daerah yang paling tinggi perubahan alih fungsi lahan sawah ke non sawah. Hal

Manfaat tidak langsung dari keberadaan lahan pertanian umumnya lebih terkait dengan aspek lingkungan, bahwa keberadaan lahan pertanian dari aspek lingkungan dapat memberikan lima jenis