• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN INTENSITAS KEBISINGAN DENGAN KELELAHAN KERJA PADA TENAGA KERJA MELTING DI FOUNDRY PLANT I PT. KOMATSU INDONESIA JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN INTENSITAS KEBISINGAN DENGAN KELELAHAN KERJA PADA TENAGA KERJA MELTING DI FOUNDRY PLANT I PT. KOMATSU INDONESIA JAKARTA"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

LAPORAN TUGAS AKHIR

HUBUNGAN INTENSITAS KEBISINGAN DENGAN

KELELAHAN KERJA PADA TENAGA KERJA MELTING

DI FOUNDRY PLANT I PT. KOMATSU INDONESIA

JAKARTA

Susan Nabila Putri Taufiq

NIM. R0009094

PROGRAM DIPLOMA III HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta 2012

(2)
(3)
(4)

ABSTRAK

HUBUNGAN

INTENSITAS

KEBISINGAN

DENGAN

KELELAHAN KERJA PADA TENAGA KERJA MELTING DI

FOUNDRY PLANT 1 PT. KOMATSU INDONESIA JAKARTA

Susan Nabila Putri Taufiq

1 2

, Cr. Siti Utari

2

Tujuan: Penggunaan teknologi yang semakin canggih dapat menimbulkan penyakit akibat kerja, salah satunya ialah bising. Selain itu kebisingan juga dapat menimbulkan keluhan seperti kelelahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan intensitas kebisingan dengan kelelahan kerja pada tenaga kerja melting di foundry plant I PT. Komatsu Indonesia Jakarta. Metode: Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan menggunakan rancangan cross sectional. Sampel dalam penelitian ini adalah 26 orang tenaga kerja melting. Pengukuran intensitas kebisingan menggunakan

Sound Level Meter, sedangkan kelelahan kerja diukur menggunakan Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja I (KAUPK2 I). Analisis data menggunakan SPSS 16.0.

Hasil: Dari hasil penelitian yang dilakukan di bagian melting di Foundry Plant 1 PT. Komatsu Indonesia Jakarta memiliki Intensitas Kebisingan 100 dBA > NAB. Dimana dari 26 sampel tenaga kerja di bagian yang memiliki Intensitas Kebisingan > NAB terdapat 16 (61%) orang mengalami tingkat kelelahan kerja ringan, 9 (35%) orang mengalami tingkat kelelahan kerja sedang, dan 1 (4%) orang mengalami tingkat kelelahan kerja berat. Diuji dengan menggunakan

Pearson Product Moment didapatkan nilai p value = 0,16 . Oleh karena nilai p < 0,05 dinyatakan signifikan.

Simpulan: Dari penelitian didapatkan ada hubungan Intensitas Kebisingan dengan Kelelahan Kerja pada tenaga kerja melting di Foundry Plant 1 PT. Komatsu Indonesia. Rekomendasi yang perlu dilaksanakan adalah sebaiknya perusahaan memperketat pengontrolan ketertiban K3 serta memberikan sanksi tegas kepada tenaga kerja yang tidak menggunakan Alat Pelindung Diri berupa

ear plug dan ear muff.

Kata Kunci: Intensitas Kebisingan, Kelelahan Kerja

*)

Prodi Diploma III Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

(5)

ABSTRACT

RELATION INTENSITY NOISE WITH FATIGUE WORKING

ON MELTING LABOR IN FOUNDRY PLANT 1 PT.

KOMATSU INDONESIA JAKARTA

Susan Nabila Putri Taufiq

1 2

, Cr. Siti Utari

2

Objectives: The use of increasingly sophisticated technology can lead to occupational diseases, one of which is noisy. Addition of noise can also lead to complaints such as fatigue. This study aims to determine whether there is noise intensity relationship with fatigue work on labor melting in the foundry plant I PT. Komatsu Indonesia Jakarta.

Methods: The research use an analytic observational method using cross sectional design. The sample this research of 26 person melting labor. The measurement noise intensity using a Sound Level Meter, while the fatigue work were measured using the Questionnaire Measuring Feelings of Fatigue Work I (KAUPK2 I). Data analysis using SPSS 16.0.

Results: The results of research conducted at the melting at the Foundry Plant 1 PT. Komatsu Indonesia Jakarta has the Intensity Noise > NAB. Where from 26 samples workers in the labor who have the Intensity Noise 100 dBA > NAB there are 16 (61%) people experience a mild level of fatigue work, 9 (35%) people experience fatigue levels of medium, and 1 (4%) people experience severe levels of fatigue work. Tested using the Pearson Product Moment obtained value p value = 0.16. Because the value of p <0.05 revealed significant

Conclusion: From the study found association Intensity Noise with the Fatigue of Work melting at Foundry Plant 1 PT. Komatsu Indonesia. The recommendations should be implemented is the company's order to tighten control of K3 and give strict punishment to those labors who do not use the Personal Protective Equipment in the form of ear plugs and ear Muff.

Keywords: Intensity Noise, Work Fatigue

*) EducaPon program of Diploma III H althand Saf ty

, Faculty of M dicin, Univ rsity ofS b las Mar t Surakarta.

(6)

commit to user

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puiji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat, karunia, kesehatan, kekuatan dan kemudahan dalam pelaksanaan Hubungan Intensitas Kebisingan dengan Kelelahan Kerja pada Tenaga Kerja Melting di

Foundry Plant .

Laporan ini disusun sebagai syarat untuk menyelesaikan studi di program D.III Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Serta demi mendapatkan gelar Ahli Madya Hiperkes dan Keselamatan Kerja.

Dalam pelaksanaan magang dan penyusunan laporan ini penulis menyadari jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis telah dibantu dan dibimbing oleh berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka, perkenankan penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Zainal Arifin Adnan, dr. Sp.PD-KR-FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Sumardiyono, SKM., M.Kes selaku Ketua Program Studi Diploma III Hiperkes dan Keselamatan Kerja Universitas Sebelas Maret Surakarta, sekaligus sebagai penguji.

3. . selaku pembimbing I yang telah

memberikan bimbingan dan saran dalam penyusunan laporan ini.

4. Ibu Dra. Cr,. Siti Utari, M.Kes. selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan saran dalam penyusunan laporan ini.

5. Bapak Ali selaku Pengelola Yayasan Komatsu Indonesia Peduli dan Ibu Radhitya Dini Rosa selaku Mnager HR. Development PT. Komatsu Indonesia yang telah menerima dan memberikan kemudahan penulis untuk mendapatkan tempat magang.

6. Bapak Rofiur Rutab selaku Manager Environment Health and Safety yang telah memfasilitasi penulis untuk kepentingan magang.

7. Bapak Dede, Bapak Syamsudin, Bapak Dedi dan Ibu Anita selaku Staff Environment Health and Safety atas segala ilmu dan bimbingannya selama magang.

8. Bapak Sutoyo selaku Safety Officer di Foundry Plant 1 yang telah memberikan arahan, bimbingan dan informasi.

9. Seluruh karyawan bagian proses melting di Foundry Plant 1 PT. Komatsu Indonesia atas kerja samanya dalam memberikan informasi untuk penelitian yang dilakukan penulis.

10.Seluruh Staff HRD, General Affair, Management Development dan Personalia yang telah memberikan bantuan, informasi, motivasi dan pertemanan yang terjalin baik (Bapak Usam, Bapak Ridwan, Bapak Fhajar, Mbak Ochi, Mbak Kiki, Mbak Feby, Mbak vera, Mbak Meri, Mbak Tri, Mbak Ari, Mbak Intan, Mbak Evita, Bapak Agus, Bapak Nardi, Bapak Heri, Mr. Mizukami, Bapak Hendro, Bapak Priyan, Bapak Kosasi, Bapak Muid, Mas Galih, Mas Winarno, Mas Ikhsan, Mas Aris, Zaenal dan Ivo).

(7)

11.Dr. Lucy, Ibu Tutik dan Ibu Ria selaku Pengelola Klinik Kesehatan PT. Komatsu Indonesia yang selalu memberikan nasihat, motivasi dan pengobatan kepada penulis.

12.Kedua Orang Tuaku yang telah memberikan doa, semangat, kasih sayang, dukungan moril dan materiil.

13.Anci dan Uncle Rudy, Bang Rico dan Tante Tasy beserta keluarga, Oma (Rudy S. Liey family), Ami Syarif dan Ameh Sukriah yang banyak memberikan bantuan baik moril maupun materiil dalam memenuhi kebutuhan penulis selama magang.

14.Sischa selaku teman seperjuangan yang selalu menemani dalam suka duka selama kegiatan magang.

15.Untuk orang-orang terdekat saya Huda, Mila, Amalia, Ratu, Emil, Nadia, Sella, Kak Fahmi, Syakier, Umar dan Rifky yang selalu memberikan motivasi dan support selama kegiatan magang.

16.Patricia, Arif, dan seluruh teman-teman Hiperkes dan Keselamatan Kerja angkatan 2009 atas kerja samanya.

17.Seluruh staff Prodi. D.III Hiperkes dan Keselamatan Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa laporan Tugas Akhir ini masih perlu penyempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian. Penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kalimat yang kurang berkenan dalam laporan ini.

Surakarta, 7 Juni 2012 Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PERUSAHAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

ABSTRAC ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. LANDASAN TEORI ... 6

A. Tinjauan Pustaka ... 6

B. Kerangka Pemikiran ... 52

C. Hipotesis ... 53

BAB III. METODE PENELITIAN ... 54

A. Jenis Penelitian ... 54

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 54

C. Populasi Penelitian ... 54 D. Teknik Sampling ... 55 E. Sampel Penelitian ... 55 F. Variabel Penelitian ... 56 G. Definisi Operasional ... 56 H. Sumber Data ... 57 I. Instrumen Penelitian ... 58

J. Teknik Pengumpulan Data ... 59

K. Analisi Data ... 62

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 64

A. Hasil Penelitian ... 64

B. Pembahasan ... 72

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ... 80

A. Simpulan ... 80

B. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 83 LAMPIRAN

(9)

commit to user

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Menunjukkan skala intensitas kebisingan. Kebisingan dalam perusahaan dengan intensitas 60 dB berarti 106 X intensitas

kebisingan standard. ... 9

Tabel 2. Nilai Ambang Batas Kebisingan di Tempat Kerja ... 20

Tabel 3. Tingkat Hubungan Korelasi (r) ... 63

Tabel 4. Tabel Intensitas Kebisingan ... 68

Tabel 5. Penilaian Kuesioner Kelelahan Kerja ... 70

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Model teorikal untuk mengilustrasikan mekanisme neurofisiologis atau neraca keseimbangan aktivasi dan

inhibisi kelelahan. ... 41

Gambar 2. Faktor-faktor yang berkaitan dengan terjadinya kelelahan (Setyawati, 2010). ... 47

Gambar 3. Kerangka Pemikiran ... 52

Gambar 4. Sound Level Meter NL-20 ... 61

Gambar 5. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia ... 66

Gambar 6. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Masa Kerja ... 67

(11)

commit to user

DAFTAR SINGKATAN

SDM : Sumber Daya Manusia dB : Desibel

NAB : Nilai Ambang Batas SLM : Sound Level Meter

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Keterangan Magang Lampiran 2. Jadwal Kegiatan Magang

Lampiran 3. Kuesioner Alat Ukur Perasaan Kelelahan Kerja I (KAUPK2 I).

(13)

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Perkembangan teknologi yang semakin maju mendorong Indonesia mencapai tahap industrialisasi, yaitu adanya berbagai macam industri yang ditunjang dengan teknologi yang telah maju dan modern. Salah satu konsekuensi dari perkembangan industri yang sangat pesat dan persaingan yang ketat antar perusahaan di Indonesia sekarang ini adalah tertantangnya proses produksi kerja dalam perusahaan supaya terus-menerus berproduksi selama 24 jam. Dengan demikian diharapkan adanya peningkatan kualitas serta kuantitas produksi untuk mencapai keuntungan yang maksimal.

Namun demikian, penerapan teknologi tinggi dan penggunaan bahan dan peralatan yang beranekaragam dan kompleks tersebut sering tidak diikuti oleh kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM). Keterbatasan manusia sering menjadi faktor penentu terjadinya musibah seperti: kecelakaan, kebakaran, peledakan, pencemaran lingkungan dan timbulnya penyakit akibat kerja. Kondisi-kondisi tersebut ternyata telah banyak mengakibatkan kerugian jiwa dan material, baik bagi pengusaha, tenaga kerja, pemerintah dan bahkan masyarakat luas. Untuk mencegah dan mengendalikan kerugian-kerugian yang lebih besar, maka diperlukan langkah-langkah tindakan yang mendasar dan prinsip yang dimulai dari tahap perencanaan. Sedangkan tujuannya adalah agar tenaga kerja mampu mencegah dan mengendalikan berbagai dampak negatif yang timbul akibat

(14)

proses produksi, sehingga akan tercipta lingkungan kerja yang sehat, nyaman, aman dan produktif (Tarwaka dkk, 2004).

Lingkungan kerja yang tidak memenuhi standar yang ada misalnya bising yang melebihi NAB merupakan faktor yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Kebisingan merupakan suara yang tidak diinginkan. Kebisingan selain dapat menimbulkan ketulian sementara dan ketulian permanen, juga akan berdampak negatif lain seperti gangguan komunikasi dan efek kelelahan pada pekerja (Hadian, 2000).

Kelelahan (Fatigue) merupakan salah satu risiko terjadinya penurunan derajat kesehatan tenaga kerja. Budiono (2003) menyatakan kelelahan kerja ditandai dengan melemahnya tenaga kerja dalam melakukan pekerjaan atau kegiatan, sehingga akan meningkatkan kesalahan dalam melakukan pekerjaan dan akibat fatalnya adalah terjadinya kecelakaan kerja. Berdasarkan laporan survei di Negara maju diketahui bahwa 10-15% penduduk mengalami kelelahan akibat kerja. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan adanya prevalensi kelelahan sekitar 20% pasien yang membutuhkan perawatan. Di Indonesia khususnya wilayah Jakarta merupakan salah satu daerah yang memiliki banyak industri. PT. Komatsu Indonesia merupakan salah satu perusahaan manufacturing yang memproduksi alat-alat berat. Perusahaan ini menghasilkan beberapa alat berat seperti escavator dan dumptruck yang sangat diperhatikan kualitasnya. Dalam menjalankan fungsinya PT. Komatsu Indonesia memiliki mesin-mesin yang beroperasi terus-menerus yang memiliki 2 shift kerja. Berdasarkan pada hasil pengukuran yang dilakukan terdapat

(15)

kebisingan yang melebihi NAB yaitu 100 dBA di Foundry Plant pada proses

melting.

Alasan pemilihan lokasi tersebut adalah tenaga kerja pada bagian proses

melting dalam menjalankan pekerjaannya setiap hari terpapar kebisingan yang disebabkan dari mesin. Menurut data pengukuran yang telah dilakukan, intensitas kebisingan yang didapatkan melebihi nilai ambang batas. Bagian

melting merupakan bagian utilitas yang sangat berperan penting dalam proses produksi dan sebagai pengolahan peleburan bahan baku sebelum dicetak menjadi komponen-komponen dalam alat berat. Kondisi dari ketidakstabilan lingkungan fisik berupa kebisingan pada saat bekerja membuat para tenaga kerja merasa menjadi lebih cepat mengalami kelelahan. Hal ini yang menjadikan dasar penulis untuk meneliti di PT. Komatsu Indonesia dengan bungan Intensitas Kebisingan dengan Kelelahan Kerja pada Tenaga Kerja Bagian Melting, Foundry Plant

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut :

h hubungan intensitas kebisingan dengan kelelahan kerja pada tenaga kerja bagian melting, Foundry Plant

(16)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui hubungan intensitas kebisingan dengan kelelahan kerja pada tenaga kerja bagian melting di Foundry Plant I PT. Komatsu Indonesia, Jakarta.

2. Untuk mengetahui kelelahan kerja suyektif pada tenaga kerja bagian

melting, Foundry Plant I PT. Komatsu Indonesia, Jakarta.

3. Untuk mengetahui hubungan intensitas kebisingan dengan kelelahan kerja pada tenaga kerja bagian melting di Foundry Plant I PT. Komatsu Indonesia, Jakarta.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 1. Bagi mahasiswa

a. Mampu melakukan suatu pengukuran untuk mengetahui intensitas kebisingan dengan menggunakan sound level meter dan pengukuran kelelahan kerja.

b. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang hubungan kebisingan dengan kelelahan kerja.

c. Menambah pengalaman dan dapat menjadi sebuah pembelajaran yang nyata bagi penulis.

d. Meningkatkan pengetahuan dan sarana pengembangan teori yang telah didapat dalam perkuliahan sehingga diperoleh pengalaman langsung khususnya mengenai kesehatan dan keselamatan kerja.

(17)

2. Bagi perusahaan

a. Mengetahui hasil pengukuran intensitas kebisingan yang dilakukan dan kelelahan kerja tenaga kerja di Foundry Plant I PT. Komatsu Indonesia pada proses melting.

b. Mengetahui hubungan intensitas kebisingan dengan kelelahan kerja pada tenaga kerja bagian melting di Foundry Plant I PT. Komatsu Indonesia.

c. Memperoleh informasi yang bermanfaat dalam mengambil tindakan koreksi untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman. d. Digunakan sebagai pengembangan serta penerapan Kesehatan dan

Keselamatan Kerja (K3) untuk meningkatkan derajat kesehatan kerja khususnya tenaga kerja bagian melting di Foundry Plant I PT. Komatsu Indonesia, Jakarta.

3. Bagi Program Studi Diploma III Hiperkes dan Keselamatan Kerja

a. Mengetahui informasi yang digunakan sebagai bahan pustaka guna pengembangan ilmu kesehatan dan keselamatan kerja.

b. Pembentukan sumber daya manusia yang lebih baik dan meningkatan kualitas mahasiswa dalam menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan.

c. Menjalin hubungan kerjasama antara Program Studi Diploma III Hiperkes dan Keselamatan Kerja UNS dengan PT. Komatsu Indonesia, Jakarta.

(18)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1.Kebisingan

a. Pengertian kebisingan.

Kebisingan adalah semua suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran (Permenakertrans RI No. PER.13/MEN/X/2011).

Bunyi atau suara didengar sebagai rangsangan pada sel saraf pendengar dalam telinga oleh gelombang longitudinal yang ditimbulkan getaran dari sumber bunyi atau suara dan gelombang tersebut merambat melalui media udara atau penghantar lainnya dan manakala bunyi atau suara tersebut tidak dikehendaki oleh karena mengganggu atau timbul diluar kemauan orang yang bersangkutan, maka bunyi-bunyian atau suara demikian dinyatakan sebagai

mur, 2009).

Sedangkan intensitas bunyi/suara adalah besarnya tekanan atau energi yang dipancarkan oleh suatu sumber bunyi (Soeripto, 2008).

Bunyi dapat dibedakan dalam 3 rentang frekuensi sebagai berikut:

(19)

1) Infra sonic, bila suara dengan gelombang antara 0-16 Hz. Suara ini tidak dapat didengar oleh telinga manusia dan biasanya ditimbulkan oleh getaran tanah dan bangunan, frekuensi <16 Hz akan mengakibatkan perasaan kurang nyaman, lesu dan kadang-kadang perubahan penglihatan.

2) Sonic, bila gelombang suara antara 16-20.000 Hz, merupakan frekuensi yang dapat ditangkap oleh telinga manusia.

3) Ultra sonic, bila gelombang suara >20.000 Hz. Frekuensi diatas 20.000 Hz sering digunakan dalam bidang kedokteran, seperti untuk penghancuran batu ginjal, pembedahan katarak karena dengan frekuensi yang tinggi bunyi mempunyai daya tembus jaringan yang cukup besar, sedangkan suara dengan frekuensi yang sebesar ini tidak dapat didengar oleh telinga manusia. Seorang cenderung mengabaikan kebisingan yang dihasilkannya sendiri bila kebisingan itu secara wajar menyertai pekerjaan, seperti kebisingan mesin kerja. Sebagai patokan, kebisingan mekanik atau elektrik, yang disebabkan kipas angin, transformator, motor, pompa, pembersih vakum atau mesin cuci, selalu lebih mengganggu dari pada kebisingan yang hakekatnya alami (angin, hujan, dan air terjun) (Prasetio, 2006).

Definisi lain tentang kebisingan menurut Wahyu (2003) :

1. Denis dan Spooner, bising adalah suara yang timbul dari getaran-getaran yang tidak teratur dan periodik.

(20)

2. Hirrs dan Ward, bising adalah suara yang komplek yang mempunyai sedikit atau bahkan tidak periodik, bentuk gelombang tidak dapat diikuti atau diproduksi dalam waktu tertentu.

3. Spooner, bising adalah suara yang tidak mengandung kualitas

music.

4. Sataloff, bising adalah bunyi yang terdiri dari frekuensi yang acak dan tidak berhubungan satu dengan yang lainnya.

5. Burn, Littler, dan Wall bising adalah suara yang tidak dikehendaki kehadirannya oleh yang mendengar dan mengganggu.

Pengaruh kebisingan itu sendiri tergantung pada intensitas dan frekuensi nada (Soeripto, 2008).

Terdapat 2 hal yang menentukan kualitas suatu bunyi, yaitu frekuensi dan intensitasnya. Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran perdetik atau disebut Hertz (Hz), yaitu jumlah dari golongan-golongan yang sampai di telinga setiap detiknya. Biasanya suatu kebisingan terdiri dari campuran sejumlah gelombang-gelombang sederhana dari beraneka frekuensi. Nada dari kebisingan ditentukan oleh frekuensi-frekuensi yang ada. Intensitas atau arus energi persatuan luas biasanya dinyatakan dalam suatu logaritmis yang disebut desibel (dB) dengan membandingkannya dengan kekuatan dasar 0,0002 dyne/cm2 yaitu kekuatan dari bunyi dengan frekuensi

(21)

1.000 Hz yang tepat dapat didengar oleh telinga normal. Dalam rumus:

dB = 2010 log

p = tegangan suara yang bersangkutan.

Po = tegangan suara standar (0,0002 dyne/cm2).

Tabel 1. Menunjukkan skala intensitas dari kebisingan. Kebisingan dalam perusahaan dengan intensitas 60 dB berarti 106 X intensitas kebisingan standar.

Desibel Batas dengar tertinggi Menulikan 120 110 100 Halilintar Meriam Mesin uap Sangat hiruk 100 90 80 Jalan hiruk pikuk Perusahaan sangat gaduh Pluit polisi Kuat 80 70 60 Kantor gaduh Jalan pada umumnya Radio Perusahaan Sedang 60 50 40 Rumah gaduh Kantor umumnya Percakapan kuat Radio perlahan Tenang 40 30 20 Rumah tenang Kantor perorangan Auditorium Percakapan Sangat tenang 20 10 0 Suara daun-daun Berbisik Batas dengar terendah

(22)

Sumber : Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja

Perlu diketahui secara jelas, bahwa desibel merupakan skala logaritmis. Maka dari itu, 3 dB diatas 60 dB sangat berbeda. Telinga manusia mampu mendengar.

a. Sumber kebisingan.

Menurut Tambunan, (2005) di tempat kerja, sumber kebisingan berasal dari peralatan dan mesin-mesin. Peralatan dan mesin-mesin dapat menimbulkan kebisingan karena :

1) Mengoperasikan mesin-mesin produksi yang sudah cukup tua.

2) Terlalu sering mengoperasikan mesin-mesin kerja pada kapasitas kerja cukup tinggi dalam periode operasi yang cukup panjang.

3) Sistem perawatan dan perbaikan mesin-mesin produksi ala kadarnya. Misalnya mesin diperbaiki hanya pada saat mesin mengalami kerusakan parah.

4) Melakukan modifikasi/perubahan/pergantian secara parsial pada komponen-komponen mesin produksi tanpa mengidahkan kaidah-kaidah keteknikan yang benar, termasuk menggunakan komponen-komponen mesin tiruan.

(23)

5) Pemasangan dan peletakan komponen-komponen mesin secara tidak tepat, (terbalik atau tidak rapat/longgar), terutama pada bagian penghubung antara modul mesin (bad conection).

6) Penggunaan alat-alat yang tidak sesuai dengan fungsinya. Menurut Dirjen PPM dan PL, DEPKES dan KESSOS RI, 2000 dalam Subaris dan Haryono (2008) sumber kebisingan dibedakan menjadi tiga yaitu :

1) Bising Industri

Industri besar termasuk didalamnya pabrik, bengkel dan sejenisnya. Bising industri dapat dirasakan oleh tenaga kerja maupun masyarakat di sekitar industri dan juga setiap orang yang secara tidak sengaja berada di sekitar industri tersebut. Sumber kebisingan bising industri dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam, yaitu :

a) Mesin

Kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin. b) Vibrasi

Kebisingan yang ditimbulkan oleh akibat getaran yang ditimbulkan akibat gesekan, benturan atau ketidakseimbangan gerakan bagian mesin. Terjadi pada roda gigi, roda gila, batang torsi, piston, fan, dan lain-lain.

(24)

c) Pergerakan udara, gas dan cairan

Kebisingan ini ditimbulkan akibat pergerakan udara, gas, dan cairan dalam kegiatan proses kerja industri misalnya pada pipa penyalur cairan gas, outlet pipa, gas buang, dan lain-lain.

2) Bising Rumah Tangga

Bising disebabkan oleh rumah tangga dan tidak terlalu tinggi tingkat kebisingannya, misalnya pada saat proses masak di dapur.

3) Bising Spesifik

Bising yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan khusus, misalnya pemasangan tiang pancang tol atau bangunan. Menurut Wisnu dalam Subaris dan Haryono (2008) sumber bunyi dilihat dari sifatnya dibagi menjadi dua, yaitu:

1) Sumber kebisingan statis seperti pabrik, mesin, tape dan lain-lain.

2) Sumber kebisingan dinamis seperti mobil, pesawat terbang, kapal laut dan lainnya

b. Jenis-jenis kebisingan.

erdasarkan sifat dan spektrum frekuensi bunyi, bising dibagi atas :

1) Kebisingan menetap berkelanjutan tanpa putus-putus (kontinyu) dengan spektrum frekuensi yang luas (steady

(25)

state, wide band noise), misalnya bising mesin, kipas angin, dapur pijar dan lain-lain.

2) Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi sempit (steady state, narrow band noise), misalnya bising gergaji sirkuler, katup gas dan lain-lain.

3) Kebisingan terputus-putus (intermittent noise) ialah kebisingan yang berlangsung tidak terus-menerus. Misal : bising lalu-lintas suara kapal terbang di bandara.

4) Kebisingan impulsif (impact or impulsive noise) ialah kebisingan dengan intensitas rendah sangat cepat. Misal : bising pukulan palu, tembakan bedil atau meriam dan ledakan.

5) Kebisingan impulsif berulang ialah kebisingan dengan intensitas yang agak cepat berubah tetapi terjadi berulang-ulang. Misal : bising mesin tempa di perusahaan atau tempaan tiang pancang bangunan.

Menurut Tambunan (2005) klasifikasi kebisingan di tempat kerja dibagi dalam dua jenis golongan besar, yaitu :

1) Kebisingan tetap (steady noise), yang terbagi menjadi dua yaitu :

a) Kebisingan dengan frekuensi terputus (discrete frequency noise), kebisingan ini merupakan nada-nada

(26)

murni pada frekuensi yang beragam. Contohnya : suara mesin, suara kipas angin dan sebagainya.

b) Kebisingan tetap (Broad band noise), kebisingan dengan frekuensi terputus dan Broad band noise sama-sama digolongkan sebagai kebisingan tetap (Steady noise). Perbedaannya adalah Broad band noise terjadi pada frekuensi yang lebih bervariasi (bukan nada murni). 2) Kebisingan tidak tetap (unsteady noise), yang terbagi menjadi

tiga yaitu :

a) Kebisingan fluktuatif (fluctuating noise), kebisingan yang selalu berubah-ubah selama rentang waktu tertentu. b) Intermittent noise, kebisingan yang terputus-putus dan

besarnya dapat berubah-ubah, contoh kebisingan lalu lintas.

c) Impulsive noise, dihasilkan oleh suara-suara berintensitas tinggi (memekakkan telinga) dalam waktu relatif singkat, misalnya suara ledakan senjata api dan alat-alat sejenisnya.

c. Tingkat kebisingan.

Terdapat dua karakterisitik utama yang menentukan kualitas suatu bunyi atau suara, yaitu frekuensi dan intensitasnya. Frekuensi dinyatakan dalam jumlah getaran per detik dengan satuan Herz (Hz), yaitu jumlah gelombang bunyi yang sampai di

(27)

telinga setiap detiknya. Sesuatu benda jika bergetar menghasilkan bunyi atau suara dengan frekuensi tertentu yang merupakan ciri khas dari benda tersebut. Biasanya suatu kebisingan terdiri atas campuran sejumlah gelombang sederhana dari aneka frekuensi. Nada suatu kebisingan ditentukan oleh frekuensi getaran sumber

, 2009).

Intensitas atau arus energi per satuan luas biasanya dinyatakan dalam suatu satuan logaritmis yang disebut desibel (dB) dengan memperbandingkannya dengan kekuatan standar 0,0002 dine (dyne) /cm2 yaitu kekuatan bunyi dengan frekuensi 1000 Hz yang tepat didengar oleh telinga normal ( , 2009).

Karena ada kisaran sensitivitas, telinga dapat mentoleransi bunyi-bunyi yang lebih keras pada frekuensi yang lebih rendah dibanding pada frekuensi tinggi. Kisaran kurva-kurva pita oktaf dikenal sebagai kurva-kurva tingkat kebisingan (NR =

noise rating) pernah dibuat untuk menyatakan analisis pita oktaf yang dianjurkan pada berbagai situasi. Kurva bising yang diukur yang terletak dekat di atas pita analisis menyatakan NR kebisingan tersebut (Harrington dan Gill, 2005).

Menurut SK Dirjen P2M dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Departemen Kesehatan RI Nomor 70-1/PD.03.04.Lp, (Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Kebisingan yang

(28)

Berhubungan dengan Kesehatan Tahun 1992, 1994/1995), tingkat kebisingan diuraikan sebagai berikut :

1) Tingkat kebisingan sinambung setara (Equivalent Continuous Noise Level=Leq) adalah tingkat kebisingan terus menerus (steadynoise) dalam ukuran dB (A), berisi energi yang sama dengan energi kebisingan terputus-putus dalam satu periode atau interval waktu pengukuran.

2) Tingkat kebisingan yang dianjurkan dan maksimum yang diperbolehkan adalah rata-rata nilai modus dari tingkat kebisingan pada siang, petang, dan malam hari.

3) Tingkat ambien kebisingan (Background noise level) atau tingkat latar belakang kebisingan adalah rata-rata tingkat suara minimum dalam keadaan tanpa gangguan kebisingan pada tempat dan saat pengukuran dilakukan, jika diambil nilainya dari distribusi statistik adalah 95% atau L-95.

d. Pengukuran kebisingan.

kebisingan adalah :

1) Memperoleh data tentang frekuensi dan intensitas kebisingan di perusahaan atau dimana saja.

2) Menggunakan data hasil pengukuran kebisingan untuk mengurangi intensitas kebisingan tersebut, sehingga tidak menimbulkan gangguan dalam rangka upaya konservasi

(29)

pendengaran tenaga kerja, atau perlindungan masyarakat atau tujuan lainnya.

Alat utama dalam pengukuran kebisingan adalah

Sound Level Meter. Alat ini mengukur kebisingan pada intensitas 30-130 dB dan dari frekuensi 20-20.000 Hz. Suatu sistem kalibrasi terdapat dalam alat itu sendiri, kecuali untuk kalibrasi

mikrofon diperlukan pengecekan dengan kalibrasi tersendiri. Sebagai alat kalibrasi dapat dipakai pengeras suara yang kekuatan suaranya dapat diatur oleh amplifier atau suatu piston phone

dibuat untuk maksud kalibrasi tersebut, yang tergantung dari tekanan udara, sehingga perlu koreksi berdasarkan atas perbedaan tekanan barometer. Kalibrator dengan intensitas tinggi (125 dB) lebih disukai, oleh karena alat pengukur intensitas kebisingan demikian mungkin dipakai untuk mengukur kebisingan yang

Sebagaimana telah dinyatakan untuk mengukur intensitas dan menentukan frekuensi kebisingan diperlukan peralatan khusus yang berbeda bagi jenis kebisingan dimaksud. Jika tujuan dari pengukuran kebisingan hanya untuk mengendalikan kebisingan, seperti misalnya untuk melakukan isolasi mesin atau pemasangan perlengkapan dinding yang mengabsorbsi suara atau pemilihan alat pelindung telinga, pengukuran tidak perlu selengkap sebagaimana dimaksudkan

(30)

dalam rangka lokalisasi secara tepat sumber kebisingan pada suatu mesin dengan tujuan memodifikasi mesin tersebut, melalui pembuatan desain yang dipakai dasar konstruksi bentuk mesin dengan tingkat kebisingan yang kurang intensitasnya dan

Faktor lainnya yang menentukan pemilihan alat pengukur kebisingan adalah tersedianya tenaga pelaksana untuk melakukan pengukuran terhadap kebisingan dan juga waktu yang dialokasikan untuk hal tersebut. Sebagaimana sering dialami kenyataan bahwa lebih disenangi pengumpulan data tentang kebisingan secara merekamnya (recording) yang kemudian data rekaman dibawa ke laboratorium untuk dilakukan analisis

2009).

Survei pendahuluan masalah kebisingan menetap berkelanjutan, biasanya diukur intensitas menyeluruh yang dinyatakan dengan dB (A), pengukuran intensitas menyeluruh demikian menggunakan jaringan A dari Sound Level Meter. Menggunakan jaringan tersebut berarti bahwa kepekaan alat pengukur kebisingan sesuai dengan garis kepekaan sama yaitu 40 dB, sehingga tidak memberi reaksi kepada intensitas kebisingan rendah, melainkan memungkinkan diukurnya intensitas kebisingan

(31)

e. Nilai Ambang Batas (NAB) intensitas kebisingan.

Nilai Ambang Batas (NAB) kebisingan sebagai faktor bahaya di tempat kerja sebagai kadar/intensitas rata-rata tertimbang waktu (time weighted average) yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan, dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 (delapan) jam sehari atau 40 jam seminggu (Permenakertrans RI. No. PER.13/MEN/X/2011). Nilai Ambang Batas kebisingan adalah intensitas suara tertinggi yang merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang menetap untuk waktu kerja 8 jam sehari dan 40 jam seminggu. Sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. PER.13/MEN/X/2011 tentang nilai ambang batas kebisingan ditempat kerja adalah 85 dB (A), dan merupakan standar dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) 16-7063-2004 Nilai Ambang Batas iklim kerja (panas), kebisingan, getaran tangan-lengan dan radiasi sinar ultra ungu di tempat kerja. SNI dimaksud juga memberikan informasi tentang pengendalian kebisingan yang dilakukan sehubungan dengan tingkat paparan sebagaimana substansinya dimuat pada Tabel 1 yang mengatur lamanya waktu paparan terhadap tingkat intensitas kebisingan

(32)

Standar kebisingan berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. PER.13/MEN/X/2011 adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Nilai Ambang Batas Kebisingan di Tempat Kerja

Waktu Pemaparan Intensitas

Kebisingan (dB) 8 Jam 4 Jam 2 Jam 1 Jam 30 Menit 15 Menit 7,5 Menit 3,75 Menit 1,88 Menit 0,94 Menit 28,12 Detik 14,06 Detik 7,03 Detik 3,52 Detik 1,76 Detik 0,88 Detik 0,44 Detik 0,23 Detik 0,11 Detik 85 88 91 94 97 100 103 106 109 112 115 118 121 124 127 130 133 136 139

Sumber : Permenakertrans RI No. Per.13/MEN/X/2011. Keterangan : Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dBA, walaupun sesaat.

f. Dampak kebisingan.

Setiap tenaga kerja memiliki kepekaan sendiri-sendiri terhadap kebisingan, terutama nada yang tinggi, karena dimungkinkan adanya reaksi psikologis seperti stress, kelelahan, hilangnya efisiensi kerja dan ketidaktenangan (Sutaryono, 2002). Disamping itu menurut Budiono (2003), pengaruh sumber kebisingan yang tinggi terhadap tenaga kerja adalah:

(33)

1) Mengurangi kenyamanan dalam bekerja

2) Mengganggu komunikasi dan percakapan antar pekerja 3) Mengurangi konsentrasi

4) Menurunkan daya dengar, baik yang bersifat sementara atau permanen.

5) Tuli akibat kebisingan.

Pengaruh utama dari kebisingan kepada kesehatan adalah kerusakan indera-indera pendengar yang menyebabkan dkk., (2000) pengaruh kebisingan terhadap manusia tergantung pada karakteristik fisis, waktu berlangsung, dan waktu kejadiannya. Pengaruh tersebut berbentuk gangguan yang dapat menurunkan kesehatan, kenyamanan, dan rasa aman manusia. Beberapa bentuk gangguan yang diakibatkan oleh kebisingan adalah sebagai berikut :

1) Gangguan pendengaran

Pendengaran manusia merupakan salah satu indera yang berhubungan dengan komunikasi audio/suara. Alat pendengaran yang berbentuk telinga berfungsi sebagai

fonoreseptor yang mampu merespons suara pada kisaran antara 0-140 dBA tanpa menimbulkan rasa sakit. Kerusakan pendengaran (dalam bentuk ketulian) merupakan penurunan sensitivitas yang berlangsung secara terus-menerus. Tindak pencegahan terhadap ketulian akibat kebisingan memerlukan

(34)

kriteria yang berhubungan dengan tingkat kebisingan maksimum dan lamanya kebisingan yang diterima.

2) Gangguan komunikasi

Kebisingan bisa menganggu percakapan sehingga mempengaruhi komunikasi yang berlangsung (tatap muka/via telepon) dan dari alat komunikasi lainnya.

3) Gangguan psikologis

Gangguan fisiologis lama kelamaan bisa menimbulkan gangguan psikologis (Wahyu, 2003). Kebisingan dapat mempengaruhi stabilitas mental dan reaksi psikologis seperti, rasa khawatir, jengkel, takut dan sebagainya. Menurut Budiono, dkk (2003) pengaruh kebisingan terhadap tenaga kerja adalah mengurangi kenyamanan dalam bekerja, mengganggu komunikasi, mengganggu konsentrasi, dan menurut Benny dan Adhi dalam Sarwono (2002), kebisingan dapat mengganggu pekerjaan dan menyebabkan timbulnya kesalahan karena tingkat kebisingan yang kecil pun dapat mengganggu konsentrasi sehingga muncul sejumlah keluhan yang berupa perasaan lamban dan keengganan untuk melakukan aktivitas. Kebisingan mengganggu perhatian tenaga kerja yang melakukan pengamatan dan pengawasan terhadap suatu proses produksi atau hasil serta dapat membuat

(35)

kesalahan-kesalahan akibat terganggunya konsentrasi. Kebisingan yang tidak terkendalikan dengan baik juga dapat menimbulkan efek lain yang salah satunya berupa meningkatnya kelelahan

Stabilitas mental adalah kemampuan seseorang untuk berfungsi atau bertindak normal. Suara yang tidak dikehendaki memang tidak menimbulkan mental illness akan tetapi dapat memperberat problem mental dan perilaku yang sudah ada (Jain, 1981).

Reaksi terhadap gangguan ini sering menimbulkan keluhan terhadap kebisingan yang berasal dari pabrik, lapangan udara, dan lalu lintas. Umumnya kebisingan pada lingkungan melebihi 50-55 dB pada siang hari dan 45-55 dB akan mengganggu kebanyakan orang. Apabila kenyaringan kebisingan meningkat maka dampak terhadap kebisingan psikologis juga akan meningkat. Kebisingan dikatakan menganggu apabila pemaparannya menyebabkan orang tersebut berusaha untuk mengurangi, menolak suara tersebut atau meninggalkan tempat yang bisa menimbulkan suara yang tidak dikehendakinya (Rosidah, 2003).

4) Gangguan fisiologis

Adalah gangguan yang mula-mula timbul akibat bising, dengan kata lain fungsi pendengaran secara fisiologis dapat

(36)

terganggu. Pembicaraan atau instruksi dalam pekerjaan tidak dapat didengar secara jelas, sehingga dapat menimbulkan gangguan lain seperti: kecelakaan. Pembicaraan terpaksa berteriak-teriak sehingga memerlukan tenaga ekstra dan juga menambah kebisingan. Disamping itu kebisingan juga dapat

Cardiac Out Put , 2003). Contoh gangguan fisiologis : naiknya tekanan darah, nadi menjadi cepat, emosi meningkat, vasokontriksi

pembuluh darah (semutan), otot menjadi tegang atau metabolisme tubuh meningkat. Menurut Benny dan Adhi dalam Sarwono (2002), semua hal ini sebenarnya merupakan mekanisme daya tahan tubuh manusia terhadap keadaan bahaya secara spontan.

Pada berbagai penelitian ditemukan bahwa pemaparan bunyi terutama yang mendadak menimbulkan reaksi fisiologis seperti: denyut nadi, tekanan darah, metabolisme, gangguan tidur dan penyempitan pembuluh darah. Reaksi ini terutama terjadi pada permulaan pemaparan terhadap bunyi kemudian akan kembali pada keadaan semula. Bila terus menerus terpapar maka akan terjadi adaptasi sehingga perubahan itu tidak tampak lagi.

(37)

5) Gangguan Produktivitas Kerja

Kebisingan menimbulkan gangguan terhadap pekerjaan yang sedang dilakukan seseorang memulai gangguan psikologis dan gangguan konsentrasi sehingga menurunkan produktivitas kerja.

6) Gangguan patologis organis

Gangguan kebisingan yang paling menonjol adalah pengaruhnya terhadap alat pendengaran atau telinga, yang dapat menimbulkan ketulian yang bersifat sementara sehingga permanen (Wahyu, 2003). Menurut Budiono, dkk (2003), kebisingan dapat menurunkan daya dengar dan tuli akibat kebisingan. Pengaruh utama dari kebisingan kepada kesehatan adalah kerusakan pada indera-indera pendengar yang menyebabkan ketulian progresif. Pemulihan terjadi secara cepat sesudah dihentikan kerja di tempat bising untuk 2009). Di tempat kerja, tingkat kebisingan yang ditimbulkan oleh mesin dapat merusak pendengaran dan dapat pula menimbulkan gangguan kesehatan (tingkat kebisingan 80 s/d 90 dB (A) atau lebih dapat membahayakan pendengaran). Seseorang yang terpapar kebisingan secara terus-menerus dapat menyebabkan dirinya menderita ketulian. Menurut Benny dan Adhi dalam Sarwono

(38)

(2002), ketulian akibat kebisingan yang ditimbulkan akibat pemaparan terus menerus dibagi menjadi dua yaitu :

a) Temporari deafness, yaitu kehilangan pendengaran sementara.

b) Permanent deafness, yaitu kehilangan pendengaran secara permanen atau disebut ketulian saraf. Pada pekerja permanent deafness harus dapat dikompensasi oleh jamsostek atau rekomendasi dari dokter pemeriksa kesehatan.

Menurut Tambunan (2005), secara umum tingkat bahaya yang ditimbulkan oleh kebisingan bagi pekerja dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti :

a) Intensitas dan frekuensi kebisingan.

b) Jenis kebisingan (steady atau non steady noise). c) Waktu kontak harian dan tahunan (exposure duration). d) Umur pekerja.

e) Penyakit-penyakit atau ketidaksempurnaan pendengaran pada pekerja (yang bukan disebabkan oleh kebisingan). f) Kondisi lingkungan seperti angin, suhu, kelembaban

udara di mana bahaya kebisingan tersebut berada. g) Jarak antara pekerja dan sumber kebisingan.

h) Posisi telinga terhadap gelombang suara (kebisingan). 7) Gangguan kesehatan

(39)

Kebisingan berpotensi untuk menganggu kesehatan manusia apabila terpapar suara dalam satu periode yang lama dan terus-menerus. Selain gangguan terhadap sistem pendengaran, kebisingan juga dapat menimbulkan gangguan terhadap mental dan emosional serta meningkatkan frekuensi detak jantung dan meningkatkan tekanan darah. 8) Gangguan pola tidur

Pola tidur merupakan pola alamiah, kondisi istirahat yang berulang secara teratur, dan penting untuk tubuh normal dan pemeliharaan mental serta kesembuhan. Kebisingan dapat menganggu tidur dalam hal kelelapan, kontinuitas dan lamanya tidur (Fahmi, 1997).

Seorang yang sedang tidak bisa tidur atau sudah tidur tetapi belum terlelap. Tiba-tiba ada gangguan suara yang akan menganggu tidurnya, maka orang tersebut mudah marah/tersinggung, berperilaku irasional dan ingin tidur. Terjadinya pergeseran kelelapan tidur dapat menimbulkan kelelahan (Fahmi, 1997).

Menurut Tarwaka, dkk (2004), pengaruh pemaparan kebisingan secara umum dapat dikategorikan menjadi dua yang didasarkan pada tinggi rendahnya intensitas kebisingan dan lamanya waktu pemaparan. Pertama, pengaruh pemaparan kebisingan intensitas tinggi (di atas NAB) dan kedua, adalah

(40)

pengaruh pemaparan kebisingan intensitas rendah (di bawah NAB).

a) Pengaruh kebisingan intensitas tinggi

(1) Pengaruh pemaparan kebisingan intensitas tinggi (di atas NAB) adalah terjadinya kerusakan pada indera pendengaran yang dapat menyebabkan penurunan daya dengar baik yang bersifat sementara maupun bersifat permanen atau ketulian. Sebelum terjadi kerusakan pendengaran yang permanen, biasanya didahului dengan pendengaran yang bersifat sementara yang dapat mengganggu kehidupan yang bersangkutan baik di tempat kerja maupun di lingkungan keluarga dan lingkungan sosialnya.

(2) Pengaruh kebisingan akan sangat terasa apabila jenis kebisingannya terputus-putus dan sumbernya tidak diketahui.

(3) Secara fisiologis, kebisingan dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti, meningkatnya tekanan darah dan denyut jantung, risiko serangan jantung meningkat, gangguan pencernaan. (4) Reaksi masyarakat, apabila kebisingan akibat suatu

(41)

sekitarnya protes menuntut agar kegiatan tersebut dihentikan dan lain-lain.

b) Pengaruh kebisingan intensitas rendah

Tingkat intensitas kebisingan rendah atau di bawah NAB banyak ditemukan di lingkungan kerja seperti perkantoran, ruang administrasi perusahaan dan lain-lain. Intensitas kebisingan yang masih di bawah NAB tersebut secara fisiologis tidak menyebabkan kerusakan pendengaran. Namun demikian, kehadirannya sering dapat menyebabkan penurunan performansi kerja, sebagai salah satu penyebab stres dan gangguan kesehatan lainnya. Stres yang disebabkan karena pemaparan kebisingan dapat menyebabkan terjadinya kelelahan dini, kegelisahan, dan depresi.

g. Pengendalian kebisingan.

Kebisingan dapat dikendalikan dengan:

Menurut Pramudianto (1994), pada prinsipnya pengendalian kebisingan di tempat kerja terdiri dari:

1) Pengendalian secara teknis

Pengendalian secara teknis dapat dilakukan pada sumber bising, media yang dilalui bising dan jarak sumber bising terhadap tenaga kerja.

Pengendalian bising pada sumbernya merupakan pengendalian yang sangat efektif dan hendaknya dilakukan

(42)

pada sumber bising yang paling tinggi. Cara-cara yang dilakukan adalah:

a) Desain ulang peralatan untuk mengurangi kecepatan atau bagian yang bergerak, menambah muffler pada masukan maupun keluaran suatu buangan, mengganti alat yang telah usang dengan yang lebih baru dan desain peralatan yang lebih baik.

b) Melakukan perbaikan dan perawatan dengan mengganti bagian yang bersuara dan melumasi bagian semua yang bergerak.

c) Mengisolasi peralatan dengan cara menjauhkan sumber dari pekerja/penerima, menutup mesin atau pun membuat

barrier/penghalang.

d) Meredam sumber bising dengan jalan memberi bantalan karet untuk mengurangi getaran peralatan dari logam, mengurangi jatuhnya sesuatu benda dari atas ke dalam bak maupun pada sabuk roda.

e) Menambah sekat denga bahan yang dapat menyerap bising pada ruang kerja. Pemasangan peredam ini dapat dilakukan pada dinding suatu ruangan yang bising. 2) Pengendalian secara administrasi

Pengendalian ini meliputi rotasi kerja pada tenaga kerja yang terpapar oleh kebisingan dengan intensitas tinggi

(43)

ke tempat atau bagian lain yang lebih rendah, pelatihan bagi pekerja terhadap bahaya kebisingan, cara mengurangi paparan bising dan melindungi pendengaran.

3) Pemakaian Alat Pelindung Diri

Pengendalian ini untuk mengurangi kebisingan meliputi ear plug dan ear muff. Pengendalian ini tergantung terhadap pemilihan peralatan yang tepat untuk tingkat kebisingan tertentu, kelayakan dan cara merawat peralatan. 4) Pemeriksaan Audiometri

Dilakukan pada saat awal masuk kerja secara periodik, secara khusus dan pada akhir masa kerja (Budiono dkk, 2003), pemeriksaan berkala audiometri pada pekerja yang terpapar (Sarwono, 2002).

5) Pelatihan dan penyuluhan

Pada pekerja semua orang di perusahaan tentang manfaat, cara pemakaian dan perawatan alat pelindung telinga, bahaya kebisingan di tempat kerja dan aspek lain yang berkaitan (Budiono dkk, 2003).

Menurut Tarwaka, dkk (2004), sebelum dilakukan langkah pengendalian, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat rencana pengendalian yang didasarkan pada hasil penilaian kebisingan dan dampak yang ditimbulkan. Rencana pengendalian dapat dilakukan dengan pendekatan melalui

(44)

perspektif manajemen risiko kebisingan. Manajemen risiko yang dimaksud adalah suatu pendekatan yang logik dan sistemik untuk mengendalikan risiko yang mungkin timbul. Langkah manajemen risiko kebisingan tersebut adalah :

1) Mengidentifikasi sumber-sumber kebisingan yang ada di tempat kerja yang berpotensi menimbulkan penyakit atau cidera akibat kerja.

2) Menilai risiko kebisingan yang berakibat serius terhadap penyakit dan cidera akibat kerja.

3) Mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk mengendalikan atau meminimalisasi risiko kebisingan.

Setelah rencana dibuat dengan seksama, langkah selanjutnya adalah melaksanakan langkah pengendalian kebisingan dengan dua arah pendekatan yaitu pendekatan jangka pendek (Short-term gain) dan pendekatan jangka panjang ( Long-term gain) dari hirarki pengendalian. Pada pengendalian kebisingan dengan orientasi jangka panjang, teknik pengendaliannya secara berurutan adalah eliminasi sumber kebisingan, pengendalian secara teknik, pengendalian secara

administrative dan terakhir penggunaan alat pelindung diri (Tarwaka dkk, 2004). Sedangkan untuk orientasi jangka pendek menurut Tarwaka dkk (2004) adalah sebaliknya, secara berurutan:

(45)

1) Eliminasi sumber kebisingan

a) Pada teknik eliminasi ini dapat dilakukan dengan penggunaan tempat kerja atau pabrik baru sehingga biaya pengendalian dapat diminimalkan.

b) Pada tahap tender mesin-mesin yang akan dipakai, harus mensyaratkan maksimum intensitas kebisingan yang dikeluarkan dari mesin baru.

c) Pada tahap pembuatan pabrik dan pemasangan mesin, konstruksi bangunan harus dapat meredam kebisingan serendah mungkin dan lain lain.

2) Pengendalian kebisingan secara teknik

a) Pengendalian kebisingan pada sumber suara. Penurunan kebisingan pada sumber suara dapat dilakukan dengan menutup mesin atau mengisolasi mesin sehingga terpisah dengan pekerja. Teknik ini dapat dilakukan dengan mendesain mesin memakai remote control. Selain itu dapat dilakukan redesain landasan mesin dengan bahan anti getaran. Namun demikian teknik ini memerlukan biaya yang sangat besar sehingga dalam prakteknya sulit diimplementasikan.

b) Pengendalian kebisingan pada bagian transmisi kebisingan. Apabila teknik pengendalian pada sumber suara sulit dilakukan, maka teknik berikutnya adalah

(46)

dengan memberi pembatas atau sekat antara mesin dan pekerja. Cara lain adalah dengan menambah atau melapisi dinding, plafon dan lantai dengan bahan penyerap suara. Menurut Sanders dan McCormik dalam Tarwaka, dkk (2004) cara tersebut dapat mengurangi kebisingan antara 3-7 dB.

3) Pengendalian kebisingan secara administratif

Apabila teknik pengendalian secara teknik belum memungkinkan untuk dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah merencanakan teknik pengendalian secara administratif. Teknik pengendalian ini lebih difokuskan pada manajemen pemaparan. Langkah yang dapat ditempuh adalah dengan mengatur rotasi kerja antara tempat yang bising dengan tempat yang lebih nyaman yang didasarkan pada intensitas kebisingan yang diterima pada tabel 1.

4) Pengendalian kebisingan pada penerima atau pekerja

Teknik ini merupakan langkah terakhir apabila seluruh teknik pengendalian di atas (eliminasi, pengendalian teknik dan administratif) belum memungkinkan untuk dilaksanakan. Jenis pengendalian ini dapat dilakukan dengan pemakaian alat pelindung telinga (tutup atau sumbat telinga). Menurut Pulat dalam Tarwaka, dkk (2004) pemakaian sumbat telinga dapat mengurangi kebisingan sebesar ± 30 dB,

(47)

sedangkan tutup telinga dapat mengurangi kebisingan sedikit lebih besar yaitu antara 40-50 dB. Pengendalian kebisingan pada penerima ini telah banyak ditemukan di perusahaan-perusahaan, karena secara sekilas biayanya relatif lebih murah. Namun demikian banyak ditemukan kendala dalam pemakaian tutup atau sumbat telinga seperti, tingkat kedisiplinan pekerja, mengurangi kenyamanan kerja, mengganggu pembicaraan dan lain lain. Berikut adalah alat pelindung telinga menurut Tarwaka (2008) :

a) Sumbat telinga (Earplug)

Ukuran dan bentuk saluran telinga tiap-tiap individu dan bahkan untuk kedua telinga dari orang yang sama adalah berbeda. Untuk itu ear plug harus dipilih sedemikian rupa sehingga sesuai dengan ukuran dan bentuk saluran telinga pemakainya. Pada umumnya diameter saluran telinga antara 5-11 mm dan liang telinga pada umumnya berbentuk lonjong dan tidak lurus. Ear plug dapat terbuat dari kapas, plastik, karet alami dan bahan sintetis. Untuk ear plug yang terbuat dari kapas, spon dan malam (wax) hanya dapat digunakan untuk sekali pakai (Disposable). Sedangkan yang terbuat dari bahan karet dan plastik yang dicetak (Molded rubber/plastic) dapat digunakan berulang kali (Non

(48)

Disposable). Alat ini dapat mengurangi suara sampai 20 dB (A).

b) Tutup telinga(Earmuff)

Alat pelindung telinga jenis ini terdiri dari 2 (dua) buah tutup telinga dan sebuah headband. Isi dari tutup telinga dapat berupa cairan atau busa yang berfungsi untuk menyerap suara frekuensi tinggi. Pada pemakaian untuk waktu yang cukup lama, efektivitas ear muff dapat menurunkan karena bantalannya menjadi mengeras dan mengerut sebagai akibat reaksi dari bantalan dengan minyak dan keringat pada permukaan kulit. Alat ini dapat mengurangi intensitas suara sampai 30 dB (A) dan juga dapat melindungi bagian luar telinga dari benturan benda keras atau percikan bahan kimia.

Menurut Tarwaka (2008), perlu diperhatikan beberapa kriteria dalam pemilihan dan penggunaan alat pelindung diri sebagai berikut :

1) Alat pelindung diri harus mampu memberikan perlindungan efektif kepada pekerja atas potensi bahaya yang dihadapi di tempat kerja.

2) Alat pelindung diri mempunyai berat yang seringan mungkin, nyaman dipakai dan tidak merupakan beban tambahan bagi pemakainya.

(49)

3) Bentuknya cukup menarik, sehingga pekerja tidak malu memakainya.

4) Tidak menimbulkan gangguan kepada pemakainya, baik karena jenis bahayanya maupun kenyamanan dalam pemakaian.

5) Mudah untuk dipakai dan dilepas kembali.

6) Tidak mengganggu penglihatan, pendengaran dan pernafasan serta gangguan kesehatan lainnya pada waktu dipakai dalam waktu yang cukup lama.

7) Tidak mengurangi persepsi sensori dalam menerima tanda-tanda peringatan.

8) Suku cadang alat pelindung diri yang bersangkutan cukup tersedia dipasaran.

9) Mudah disimpan dan dipelihara pada saat tidak digunakan. 10) Alat pelindung diri yang dipilih harus sesuai standar yang

ditetapkan.

Disamping pemenuhan terhadap kriteria-kriteria tersebut, pekerja juga harus terus-menerus diberikan penyadaran, diberikan instruksi baik secara tertulis maupun lisan tentang kapan dan dalam keadaan bagaimana alat pelindung diri wajib dipakai. Penyadaran melalui tulisan atau gambar dan poster tentang kewajiban memakai alat pelindung diri yang dipasang di

(50)

tempat-tempat kerja juga sangat baik untuk mengingatkan pekerja (Tarwaka, 2008).

h. Kelelahan

1) Pengertian kelelahan

Pengertian kelelahan secara sempit memang hanya sebatas pada lelah fisik yang dirasakan saja. Hal ini dikarenakan setiap orang yang merasakan kelelahan hanya terbatas pada keluhan-keluhan fisik yang mereka rasakan saja. Gejala yang ditimbulkan, perubahan fisik dan perasaan yang dirasakan memang berbeda pada masing-masing individu. Dari sudut pandang keselamatan kerja, medis dan psikologi pun memilki definisi atau pengertian yang berbeda-beda mengenai kelelahan yang tepat, maka penulis mempelajari referensi yang berkaitan dengan kelelahan pada tenaga kerja.

Kelelahan adalah perpaduan dari wujud penurunan fungsi mental dan fisik yang menghasilkan berkurangnya semangat kerja sehingga mengakibatkan efektivitas dan efisiensi kerja menurun (Yoshitake, 1999). Kata lelah (fatigue) menunjukkan keadaan tubuh fisik dan mental yang berbeda, tetapi semuanya berakibat kepada penurunan daya kerja dan berkurangnya ketahanan tubuh

(51)

Kelelahan merupakan hasil dari akumulasi produk yang dihasilkan akibat metabolisme tubuh dan ditambah dengan mekanisme kontraksi otot. Job dan Dalziel (2001) mendefinisikan kelelahan berdasarkan pada tingkatan keadaan otot tubuh, viscera atau sistem syaraf pusat, dimana didahului oleh aktivitas fisik dan proses mental, serta waktu istirahat yang mencukupi, sebagai hasil dari kapasitas sel yang tidak mencukupi atau cakupan energi untuk memelihara tingkatan aktivitas yang alami dan atau proses dengan menggunakan sumber-sumber yang normal (Australia Safety and Compensation Council, 2006). Berdasarkan teori tersebut maka penulis merumuskan kelelahan adalah sebagai suatu sinyal alamiah yang diberikan tubuh karena adanya penurunan dari fungsi tubuh akibat proses kerja yang membutuhkan keterpaduan pada seluruh sistem didalam tubuh. Saat sistem tersebut mulai mengalami perubahan dari kondisi baik ke kondisi buruk maka, pada tahapan ini muncul sinyal kelelahan yang memberikan tanda tubuh sedang memerlukan pemulihan untuk mengatasinya. Sinyal yang diberikan ini berbentuk gejala-gejala yang dirasakan tubuh baik fisik maupun mental dan pada setiap individu berbeda-beda karena dipengaruhi oleh berbagai faktor.

(52)

Kelelahan diatur secara terpusat diotak. Terdapat struktur susunan syaraf pusat yang berperan penting dalam mengontrol fungsi secara luas dan konsisten yaitu reticular formation atau sistem penggerak pada medulla yang berfungsi meningkatkan dan mengurangi sensitivitas dari

cortex cerebri. Cortex cerebri berfungsi sebagai pusat kesadaran meliputi persepsi, perasaan subjektif, reflex, kemauan (Rodahl, 1992). Keadaan dan perasaan lelah merupakan reaksi fungsional dari pusat kesadaran yaitu

cortex cerebri yang dipengaruhi oleh sistem penghambat (inhibisi) dan sistem penggerak (aktivasi) yang saling bergantian. Sistem penghambat terdapat dalam thalamus

yang bekerja menurunkan kemampuan manusia bereaksi dan mengakibatkan kecenderungan untuk tidur, sedangkan sistem penggerak terdapat formation reticularis yang dapat merangsang pusat-pusat vegetatif untuk konversi ergotropis dari peralatan dalam tubuh untuk bekerja, berkelahi, melarikan diri, dan lain-lain.

Keadaan seseorang sangat tergantung kepada hasil kerja diantara dua sistem antagonis tersebut. Apabila sistem penghambat lebih kuat, seseorang akan berada pada kelelahan. Sebaliknya apabila sistem aktivasi lebih kuat maka seseorang akan dalam kedaan segar untuk melakukan

(53)

aktivitas. Kedua sistem harus berada dalam kondisi yang memberikan stabilitas ke dalam tubuh, agar tenaga kerja berada dalam keserasian dan keseimbangan (Grandjean, 1995;Rodahl, 1986). Seperti terlihat dalam gambar berikut:

Gambar 1 . Model teorikal untuk mengilustrasikan mekanisme neurofisiologis atau neraca

keseimbangan aktivitas dan inhibisi kelelahan. Kelelahan kerja tidak dapat didefiniskan secara jelas namun dapat dirasakan oleh pekerja (Grandjean, 1995). Terdapat beberapa definisi kelelahan kerja, antara lain:

1) Kelelahan kerja adalah perasaan lelah dan adanya penurunan kesiagaan (Grandjean, 1995).

2) Dari sudut neurofisiologis diungkapkan bahwa kelelahan dipandang sebagai suatu keadaan sistemik saraf sentral,

(54)

fundamental dikontrol oleh aktivitas berlawanan antara sistem aktivasi dan sistem inhibisi pada batang otak (Grandjean, 1995).

3) Perasaan lelah pada pekerja adalah semua perasaan yang tidak menyenangkan yang dialami oleh pekerja serta merupakan fenomena psikososial. Latar belakang psikososial sangat berpengaruh terhadap terjadinya kelelahan kerja bahwa terdapat hubungan erat antara derajat gejala kelelahan dan derajat perasaan lelah. 4) Kelelahan kerja adalah respon total individu terhadap

stres psikososial yang dialami dalam satu periode tertentu dan kelelahan kerja tersebut cenderung menurunkan prestasi maupun motivasi pekerja bersangkutan. Kelelahan kerja merupakan kriteria yang lengkap tidak hanya menyangkut kelelahan yang bersifat fisik dan psikis saja tetapi lebih banyak kaitannya dengan adanya penurunan kinerja fisik, adanya perasaan lelah, penurunan motivasi dan penurunan produktivitas kerja. 5) Chavalitsakulchai dan Shahvanas (1991), mengutarakan

bahwa kelelahan kerja adalah suatu fenomena yang kompleks yang disebabkan oleh faktor biologi pada proses kerja serta dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal.

(55)

Klasifikasi kelelahan berdasarkan kapasitas kerja menurut Kroemer (1997) adalah sebagai berikut:

1) Kelelahan lokal

Kelelahan yang disebabkan oleh jenis pekerjaan. Kelelahan lokal ini sering disebut dengan kelelahan otot. Kelelahan otot merupakan tremor pada otot atau nyeri diotot. Berdasarkan jenis pekerjaan, penyebab kelelahan otot yaitu:

a) Kerja statis

Pada kerja otot statis suatu otot menetap berkontraksi pada suatu periode waktu secara terus-menerus. Pada pekerjaan statis, panjang otot tetap, dan seolah tidak terlihat dari kerja luar, sehingga energi tidak dapat diperhitungkan dari besarnya kekuatan. Otot yang berkontraksi statis tidak mendapat glukosa dan oksigen dari darah dan harus menggunakan cadangan-cadangan yang tersedia. Sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan, hal ini menyebabkan terjadi penimbunan pada sisa metabolisme tubuh.

b) Kerja dinamis

Kerja otot yang dinamis, memiliki kadar kerja yang dapat diukur sebagai hasil dari memendekkan

(56)

otot dengan tenaga yang dipakai. Pada kerja otot dinamis, kerutan dan pengenduran suatu otot terjadi silih berganti. Kerja otot dinamis memperoleh banyak glukosa dan oksigen, sehingga kaya akan tenaga dan sisa metabolisme yang dibuang oleh tubuh.

2) Kelelahan umum

Yaitu kelelahan yang biasanya ditandai dengan berkurangnya kemampuan untuk bekerja yang disebabkan oleh monotoni, intensitas, lamanya kerja fisik, kondisi mental, status kesehatan, kedaan gizi, dan keadaan lingkungan. Kelelahan umum dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkatannya, diantaranya:

a) Kelelahan fisik, terjadi ketika seseorang mulai mengurangi kemampuan fisik yang digunakan dari biasanya karena jenis pekerjaan yang sangat banyak pada setiap jam kerjanya.

b) Circadian fatigue, ditandai dengan denyut nadi lemah, pelan atau cepat.

c) Kelelahan akut, terjadi pada suatu aktivitas tubuh/otot, terutama dikarenakan banyak menggunakan otot, gangguan kebisingan, dan

(57)

sebagainya. Hal ini terjadi karena tubuh bekerja secara terus-menerus dan melebihi kapasitas tubuh.

d) Cummulative fatigue, kelelahan yang disebabkan kelelahan fisik atau mental yang terjadi pada periode waktu tertentu. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya istirahat.

e) Chronic fatigue, kelelahan akut yang terus terakumulasi dalam tubuh akibat dari tugas yang terus-menerus tanpa pengaturan jarak tugas yang baik atau teratur. Salah satu pekerja yang sudah mengalami kelelahan kronis adalah sudah merasa lelah sebelum melaksanakan tugasnya, ketika bangun tidur perasaan lelah sudah ada. Keadaan seperti ini istirahat saja tidak cukup untuk memulihkan, dan jika dibiarkan maka akan membahayakan tugas yang sedang dilakukannya atau jangka panjang dapat menimbulkan bahaya kecelakaan kerja.

Kelelahan kerja merupakan suatu kondisi yang menyebabkan penurunan kinerja yang dapat mengakibatkan kesalahan kerja, ketidakhadiran, keluar kerja, kecelakaan

(58)

kerja dan berpengaruh terhadap perilaku kerja (Schultz, 1982 dalam Eralisa, 2008).

i. Faktor yang mempengaruhi kelelahan

Kelelahan di industri disebabkan oleh beban kerja yang berlebihan dan ketidakteraturan dari hubungan siklus siang dan malam dalam hidup (Saito, 1999).

Dianalogikan bahwa tingkat kelelahan di industri seperti air dalam tong. Dan faktor-faktor penyebab seperti intensitas dan durasi kerja fisik dan mmental, lingkuungan, ritme circadian, masalah fisik, penyakit, dan nutrisi sebagai tambahan air yang mengisi tong. Sementara itu pemulihan adalah sebagai aliran air yang keluar dari tong yang dapat mengurangi tingkat kelelahan (Kroemer, 1997).

Menurut Siswanto (2006) faktor penyebab kelelahan kerja berkaitan dengan:

1) Pengorganisasian kerja yang tidak menjamin istirahat dan rekreasi, variasi kerja dan intensitas pembebanan fisik yang tidak serasi dengna pekerjaannya.

2) Faktor psikologis, misalnya rasa tanggung jawab dan khawatir yang berlebihan, serta konflik yang kronis/menahun.

3) Lingkungan kerja yang tidak menjamin kenyamanan kerja serta tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap kesehatan pekerja.

(59)

4) Status kesehatan (penyakit) dan status gizi.

5) Monoton (pekerjaan atau lingkungan kerja yang membosankan).

Gambar 2. Faktor-faktor yang berkaitan dengan terjadinya kelelahan (Grandjean (1995), dalam Setyawati (2010) ).

Faktor-faktor yang memperngaruhi kelelahan kerja menurut Setyawati (2010), umumnya berkaitan dengan:

1) Sifat pekerjaan yang monoton.

2) Intensitas kerja dan ketahanan kerja mental dan fisik yang tinggi.

(60)

4) Faktor psikologis, rasa tanggung jawab, khawatir, ketegangan-ketegangan serta konflik.

j. (2009) gejala atau perasaan atau tanda yang ada hubungannya dengan kelelahan :

1) Perasaan berat di kepala; 2) Menjadi lelah seluruh badan; 3) Kaki merasa berat;

4) Menguap;

5) Merasa kacau pikiran; 6) Mengantuk;

7) Merasa berat pada mata;

8) Kaku dan canggung dalam gerakan; 9) Tidak seimbang dalam berdiri; 10)Mau berbaring;

11)Merasa susah berfikir; 12)Lelah berbicara; 13)Gugup;

14)Tidak dapat berkonsentrasi;

15)Tidak dapat memfokuskan perhatian terhadap sesuatu; 16)Cenderung untuk lupa;

17)Kurang percaya diri; 18)Cemas terhadap sesuatu; 19)Tidak dapat mengontrol sikap;

Gambar

Tabel  1.  Menunjukkan  skala  intensitas  dari  kebisingan.  Kebisingan  dalam  perusahaan  dengan  intensitas  60  dB  berarti  10 6   X  intensitas kebisingan standar
Tabel 2. Nilai Ambang Batas Kebisingan di Tempat Kerja  Waktu Pemaparan  Intensitas
Gambar 1 . Model teorikal untuk mengilustrasikan  mekanisme neurofisiologis atau neraca
Gambar 3. Kerangka Pemikiran.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bagi manusia, nilai berfungsi sebagai landasan, alasan, atau motivasi dalam segala tingkah laku, dan perbuatannya. Nilai mencermin kan kualitas pilihan tindakan dan pandangan

Tujuan dari penelitian ini adalah membuktikan pengaruh pemberian ekstrak jintan hitam dengan dosis 500 mg/hari terhadap kadar hemoglobin tikus Sprague Dawley yang telah

Untuk memperjelas dalam menggunakan metode Double Exponential Smoothing, maka digunakan data real yang terjadi pada penjualan barang di PD.Padalarang Jaya.. Cara mengolah

Sebagai perbandingan bangunan fasilitas cottage, ada beberapa kawasan wisata dengan fasilitas akomodasinya yang memanfaatkan lingkungan sekitarnya sehingga fasilitas wisata

Penelitian ini dilatar belakangi oleh pentingnya peningkatan motorik kasar anak dalam pembelajaran tari pada anak TK. Dikarenakan dalam pembelajaran tari guru masih

Peneliti juga mewawancarai anggota kelompok wanita tani makmur mengenai pola komunikasi yang dilakukan ketua kelompok dalam meningkatkan budaya gotong royong.Hasil

Metro sebagai ruang terbuka publik Metode deskriptif 7 Desti Rahmiati , Bambang Setioko, Gagoek Hardiman, 2013, Universitas Bandar Lampung Pengaruh Perubahan Fungsi