UPAYA PEMERINTAH INDONESIA DALAM MEMENUHI
TARGET MINIMUM ESSENTIAL FORCE DI TENTARA NASIONAL
INDONESIA PERIODE 2010-2014
Boy Avianto
Abstract
The factors of the Susilo Bambang Yudhoyono government’s failure to fulfil the MEF stage I are the main topic of this research. Analysis toward Susilo Bambang Yudhoyono government’s failure in fulfilling MEF stage I in Indonesian Air Force focuses on the eleborations of the government’s efforts, the factors of the failure, and the impact of the failure itself.
This research is analitical descriptive which uses qualitaty approach. In this research, the data collecting techniques are interviews with credible informen and documentary method on the relevant and valid documents. Data analysis method used in this research is qualitative analysis that consists of three steps, those are orientation step, reduction step, and selection step. This research also based on the relevant theories which can become guidlines to do the research. Those theories are military diplomacy theory, decision making theory, national defense and security concept, and national interest concept.
The research results show that MEF stage I was purpoused to increase the Indonesian National Army’s tools and equipments. But, in tthat stage I, the government could not fulfil the MEF in Indonesian Air Force bodies. At that time, Indonesia Air Force was one of the military branch of which development was not maximal.The government’s failure to fulfil MEF stage I in Air Force bodies was caused by both the limited of the budget or the defence priority on land threath has givent significant effect toward Air Force and the air defence. He minimum budget made Air Force to focus only on the effort of fulfilling and maintaining the militaray tools and equipments and neglected the additional facilities which can improve the abiliity of the Airforce armies.The failure to fufil MEF stage I in Air Force also made it unable to fulfil ADIZ more optimally. This thing is worsened by the unbalance budget that caused Air Force hard to repair its tools and equipment to maximize its function to protect all the land and water territories from air space.
Keywords: analitical descriptive,failure, Indonesian Air Force, MEF, Susilo Bambang
Pendahuluan
Keamanan merupakan unsur yang tak terpisahkan dari suatu negara. Demi menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat kondisi situasi negara yang aman dan bebas dari segala bentuk ancaman merupakan syarat yang mutlak untuk dipenuhi. Begitu pula dengan Indonesia, yang secara jelas menyertakan keamanan dalam tujuan jangka panjang, sesuai yang tercantum dalam Pembukaan Undang-‐Undang Dasar 1945, sebagai berikut:
“...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial...”
Keamanan, yang dalam hal ini diwujudkan dalam bentuk kekuatan pertahanan, menjadi hal yang signifikan diperlukan untuk melindungi negara Indonesia. Perkuatan bidang militer, pada dasarnya sudah mulai dilakukan sejak pasca kemerdekaan melalui kerjasama dengan beberapa negara produsen alutsista.
Salah satu kerjasama pertahanan yang sangat penting dalam sejarah Indonesia adalah kerjasama dengan Amerika Serikat yang dimulai melalui perundingan pasca kemerdekaan terutama pada saat pembebasan Papua Barat, yang kemudian berlanjut pada hubungan yang intensif dengan pemberian sejumlah bantuan militer demi menjauhkan kawasan Asia Pasifik dari pengaruh paham komunisme.1 Hubungan dengan beberapa negara produsen alat-‐alat pertahanan mengalami banyak pasang surut. Di tahun 1999, pasca insiden Timor Timur, Indonesia mengalami berbagai embargo produk-‐produk militer termasuk dari Amerika Serikat, dan sejak saat itulah perkembangan pertahanan Indonesia baik dalam bidang pengadaan alat utama sistem senjata maupun pengembangan sumber daya mengalami penurunan.
Sebagai pusat pertahanan Indonesia, kondisi Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya akan ditulis TNI) Indonesia cukup ironis dimana hanya terdapat sekitar 40-‐50 persen alat-‐alat yang beroperasi secara optimal.2 Bahkan alutsista yang digunakan oleh Indonesia masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-‐ negara tetangganya, seperti Singapura. Kebutuhan untuk menjaga kedaulatan Negara yang secara geografis memiliki luas 2/3 dari ASEAN, kekuatan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (selanjutnya akan ditulis TNI-‐AU) saat ini masih
1 N.N., “Bab I Pendahuluan,” http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t51963.pdf 2 Ibid.
sangat kecil, dari kemampuan minimum yang diperlukan. Akibatnya, alutsista yang di proyeksikan sebagai alat detterent dan balance of power di kawasan tidak lagi dapat diandalkan.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa kondisi kekuatan TNI-‐AU saat ini masih jauh dari kondisi kekuatan udara ideal bila dihadapkan dengan tugas menjaga kedaulatan. Padahal kekuatan udara merupakan salah satu prasyarat mutlak bagi eksistensi sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Dalam lingkup global dan regional, dinamika perkembangan lingkungan strategis cepat berubah, terutama perkembangan teknologi keudaraan, potensi dan bentuk ancaman yang semakin canggih. Kondisi kekuatan TNI-‐AU saat ini dapat dikatakan berada pada tingkat yang belum setara dengan negara-‐negara lain dengan kata lain belum mampu berjalan seiring dengan dinamika lingkungan strategis yang berkembang, sehingga hal ini berdampak pada rendahnya kemampuan kekuatan udara sebagai kekuatan penangkal (detterent power) terhadap segala bentuk dan potensi ancaman yang ada. Dengan kondisi ini, dihadapkan dengan tugas TNI-‐AU dalam rangka pelaksanaan tugas operasi militer untuk perang akan mengalami kendala dan resiko kegagalan.
Kondisi yang demikian ini membuat kredibilitas TNI untuk melindungi wilayah Indonesia yang begitu luas ini pun dipertanyakan. Sebenarnya, upaya untuk memperbarui unsur-‐unsur TNI sudah cukup lama digadangkan. Pada masa Presiden Megawati Soekarno Putri, Indonesia menjalin kerjasama yang intensif denga Rusia dalam hal pengadaan alat-‐alat pertahanan, untuk mengatasi embargo senjata dari beberapa negara produsen. Meskipun demikian, upaya ini baru terlihat begitu nyata ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memegang tampuk jabatan selama dua periode.
Tidak hanya menjalin kerjasama, SBY pun melakukan peningkatan jumlah anggaran bagi Kementerian Pertahanan, perbaruan flatform militer sampai peningkatan fungsi dan otoritas Departemen Pertahanan untuk menciptakan profesionalitas TNI. Selain postur dan struktur pertahanan, anggaran merupakan komponen yang sangat vital, karena anggaran adalah salah satu kunci dari total kekuatan negara dalam gelar kekuatan bersenjata.3 Di tahun 2000, anggaran untuk bidang pertahanan hanya mencapai angka 10,5 triliun rupiah, kemudian di tahun 2004, jumlah anggaran mengalami peningkatan menjadi 21 triliun.4 Memasuki era
3 Yuddy Chrisnandi, “Dilema Politik Anggaran Pertahanan,” (Dipresentasikan pada Diskusi Publik
Propatria, “Pengelolaan dan Pengawasan Anggaran Pertahanan,” Hotel Santika, Jakarta, 2007).
Susilo Bambang Yudhoyono, jumlah anggaran pertahanan tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun.
Hingga pada tahun 2004, reformasi internal telah berhasil membaharui internal TNI. Platform baru dari bidang pertahanan yang diusung oleh Susuilo Bambang Yudhoyono menawarkan suatu gagasan umum yang terfokus pada pengembangan TNI sebagai komponen utama di bidang pertahanan negara. Platform ini tidak menyentuh substansi kebijakan negara, akan tetapi secara langsung menggagas kebijakan umum tentang peningkatan profesionalisme TNI, kesejahteraan anggota TNI, dan modernisasi pertahanan.5
Perbaikan juga dilakukan dalam hal peningkatan supremasi sipil. Praktik-‐ praktik di negara demokratis mengharuskan adanya pembagian tugas dan wewenang yang jelas di setiap lembaga, sehingga antara otoritas sipil dan otoritas operasional dapat dibedakan. Praktik yang demikian ini sudah dilakukan di beberapa negara, seperti Singapura, Malaysia, dan India.6 Di Indonesia sendiri sejak tahun 2002, telah mengeluarkan Undang-‐Undang Nomor 3 tentang Pertahanan Negara, yang mengatur tentang kewenangan Menteri Pertahanan dan Panglima TNI serta hubungan di antara keduanya. Meskipun secara legal yuridis, sudah ada ketentuan yang mengatur, akan tetapi secara faktual, hubungan otoritas antara Departemen Pertahanan dan TNI masih seringkali tumpang tindih dan tidak jelas.
Jabatan Menteri Pertahanan dan Panglima TNI merupakan dua jabatan yag berada langsung di bawah perintah Presiden, sehingga keduanya memiliki dua posisi yang sejajar. Dalam praktiknya, Menteri Pertahanan dan Panglima TNI, otoritasnya naik turun sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang dihadapi. Akan tetapi kondisi ini tidak mampu menggambarkan suatu sistem supremasi sipil, sesuai dengan prinsip-‐ prinsip demokrasi. Situasi yang demikian ini agaknya mulai mengalami perubahan, semenjak SBY menjabat sebagai presiden. Departemen Pertahanan mulai berupaya untuk meningkatkan otoritasnya di atas Panglima TNI. Inilah yang kemudian dapat mewujudkan supremasi sipil di Indonesia.
Dengan berbagai upaya SBY untuk meningkatkan bidang pertahanan Indonesia, tak heran bila periodenya disebut-‐sebut sebagai era kebangkitan pertahanan Indonesia. Salah satu cara untuk memperkuat pertahanan Indonesia adalah dengan menerapkan Minimum Essential Force (selanjutkan akan ditulis MEF).
5 Ibid.
6 Beni Sukadis, “Reformasi Sektor Keamanan dan Superamsi Sipil,”
http://referensi.elsam.or.id/wp-‐content/uploads/2014/12/Reformasi-‐Sektor-‐Keamanan-‐dan Supremasi-‐Sipil.pdf
Selain sebagai respon terhadap kondisi pertahanan keamanan Indonesia yang tidak cukup mumpuni dibandingkan negara-‐negara tetangga, kebijakan Minimum Essential Force ini juga muncul sebagai akibat dari adanya perubahan dalam tataran regional dan sistem kawasan. Singapura sebagai sebuah negara terkecil di ASEAN juga mulai meningkatkan fokusnya untuk memperbaiki sistem pertahanan keamanan. Hal ni dapat dilihat dari adanya anggaran militer pemerintahan Singapura yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.7 Singapura menginvestasikan sumber daya finansial dalam jumlah yang besar untuk membangun kapabilitas militernya yang merupakan pengeluaran terbesar kedua setelah pembiayaan sosial dan layanan masyarakat.8
Tindakan memperkuat bidang militer yang dilakukan oleh negara seperti Singapura tersebut sedikit banyak telah memberikan indikasi perubahan dalam peta kekuatan di kawasan. Situasi yang demikian tersebut akhirnya mampu mendorong pemerintahan Indonesia untuk mulai membangun pula kekuatan pertahanannya. Belum lagi dengan semakin hangatnya isu keamanan regional seperti Sengketa Laut Tiongkok Selatan yang melibatkan beberapa aktor negara di kawasan Asia Pasifik. Kontak militer di wilayah tersebut tentu memberikan ancaman yang cukup signifikan bagi keamanan Indonesia. Hal ini pada akhirnya menjadi rasionalisasi bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk menggiatkan reformasi bidang militer melalui platform kebijakan Minimum Essential Force. MEF yang dicanangkan oleh Presiden SBY ini akan terbagi ke dalam tiga tahap pelaksanaan, yang mana Tahap I akan diselenggarakan pada tahun 2010-‐2014. Pemenuhan MEF tahap I ditujukan untuk meningkatkan alutsista di masing-‐masing sektor pertahanan, yaitu TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Namun demikian, diantara ketiga angkatan bersenjata tersebut, Angkatan Udara mengalami perkembangan yang masih sangat minim apabila dibandingkan dengan Angkatan Bersenjata lainnya. Maka dari itu, berdasarkan paparan yang telah disampaikan diatas, judul penilitian yang diajukan adalah sebagai berikut; “Upaya Pemerintah Indonesia Dalam Menjalankan Minimum Essential ForceI (MEF) di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) Tahap I tahun 2010-‐2014.” Penelitian ini akan berupaya untuk memberikan analisis terkait faktor-‐faktor apa saja yang menyebabkan kebijakan Minimum Essential Force gagal dijalankan di TNI AU serta bagaimana dampak kegagalan tersebut bagi TNI AU itu sendiri.
Identifikasi Ancaman dan Kebutuhan akan Minimum Essential Force
7 Harun Umar dan Melati Nasional Rambu Bangi, “Kebijakan Singapura Mempertahankan
Kerjasama dengan Israel dalam Bidang Pertahanan Keamanan,” dilihat pada 20 September 2016, http://download.portalgaruda.org/article.php?article=59783&val=4489
Minimum Essential Force (MEF) merupakan kebijakan peningkatan pertahanan Indonesia yang digalakkan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Secara yuridis, MEF adalah amanat pembangunan nasional bidang pertahanan keamanan yang telah ditetapkan dalam RPJMN 2010-2014 sesuai Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010.9 MEF ini akan dilakukan dalam tiga tahap; tahapan pertama dilaksanakan pada tahun 2010-2014, disusul dengan tahap kedua pada tahu 2015-2019, dan ditutup pada tahun 2020-2024. Diharapkan melalui tiga tahap kebijakan Minimum Essential Foce, Indonesia mampu meningkatkan kapabilitas militernya baik untuk Angkatan Darat, Angkatan Laut, maupun Angkatan Udara, serta memenuhi postur ideal pertahanan negara pada akhir tahun 2024.
Pelaksanaan kebijakan MEF didasari oleh ketidakmampuan pemerintah Indonesia untuk melakukan modernisasi dan pembangunan kekuatan alutsista sehingga masih tertinggal dengan negara-negara lainnya.10 Melalui MEF, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono memiliki misi untuk meningkatkan kapabilitas militer dan membangun sistem pertahanan negara yang lebih mumpuni untuk melindungi kesatuan wilayah Republik Indonesia. Memang perlu diakui selama-selama bertahun-tahun sejak Indonesia memperoleh kemerdekaannya, perkembangan alutsista di tataran militer masihlah sangat terbatas. Selain jumlah anggaran yang seringkali sangat minimal, fokus kebijakan pemerintah yang tidak menekankan pada sektor pertahanan juga menjadi salah satu alasan mengapa kemampuan militer tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Kondisi alat-alat yang dipergunakan di TNI bahkan tergolong cukup memprihatinkan. Pasalnya, sebagai penangkal pertama berbagai ancaman yang dihadapi oleh Indonesia, TNI masih menggunakan alat yang usia pakainya sudah mencapai 25-30 tahun.
Hingga kini, alutsista yang dipergunakan di kalangan TNI merupakan alat-alat yang diproduksi sejak tahun 1950.11 Bahkan pada periode 2001-2011, Indonesia menempati posisi yang paling bawah diantara negara-negara ASEAN dalam hal kekuatan pertahanan.12 Selain keterbatasan jumlah anggaran, minimnya kekuatan militer di Indonesia pada periode tersebut juga disebabkan oleh embargo militer dari Amerika Serikat terhadap Indonesia akibat peristiwa Timor Timur yang dinilai sebagai tindakan pelanggaran HAM. Embargo dari produsen utama alat-alat militer bagi Indonesia ini menyebabkan pemerintah menemui kesulitan saat ingin melakukan penambahan
9 Lampiran Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang
Kebijakan Penyelarasan Minimum Essential Force Komponen Utama, dilihat pada 9 Mei 2016, http://www.djpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2012/bn650-‐2012lamp.pdf
10 Transkrip Wawancara dengan Kasubdit Sunjakbang Hanneg Ditjakstra, Ditjen Strahan Kemhan,
Sugeng Suryanto S. AP., M. AP., pada Mei 2016
11 Bayu Satya Romansyah, “Kerjasama Jerman dan Indonesia dalam Hal Pembelian Senjata Militer
untuk Modernisasi Alutsista TNI,” Jom FISIP (2015): 1-‐9.
kekuatan guna meningkatkan postur pertahanan. Selain itu, embargo militer dari Amerika Serikat juga membuat Indonesia tidak dapat membeli suku cadang alutsista yang menyebabkan beberapa alutsista strategis seperti F-16, F-5, C-130, dan Hawk mengalami penurunan kapasitas tempur hingga dibawah 50 persen.13
Lemahnya alutsista Indonesia serta tidak adanya kebijakan dari pemimpin-pemimpin sebelumnya untuk membuka peluang bagi peningkatan postur pertahanan negara, membuat presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menempati posisi kepresidenan selama dua periode sejak tahun 2004, menginisiasikan berbagai kebijakan yang bertumpu pada sektor pertahanan. Selain dengan peningkatan anggaran bagi Departemen Pertahanan, Minimum Essential Force menjadi ujung tombak baru untuk meningkatkan kapabilitas militer Indonesia. Kebijakan-kebijakan ini pada dasarnya sangatlah kontroversial. Dibalik kesungguhan pemerintah Indonesia untuk mewujudkan Komunitas ASEAN dan visi Susilo Bambang Yudhoyono yang ber-tagline “zero enemy thousand friends,” penambahan kekuatan militer tetap dianggap sebagai solusi paling baik bagi keamanan negara.14
Apabila dikaitkan dengan politik luar negeri Indonesia yang bertajuk “zero enemy thousand friends,” maka dengan dilaksanakannya MEF ini, TNI dapat memprioritaskan diri untuk meningkatkan Alutsista sehingga akan memberikan efek penggentar bagi negara asing yang akan mengganggu kedaulatan NKRI serta sebagai sarana diplomasi dalam mengadakan kerjasama baik sipil maupun militer, sehingga dapat tercipta konsep pertahanan “zero enemy thousand friends.”15 Perlu pula dipahami, bahwa keputusan Indonesia untuk meningkatkan kapabilitasnya dalam bidang pertahanan di tengah-tengah tagline “zero enemy thousand friends,” ini juga sangat berkaitan dengan definisi ancaman yang ditetapkan oleh pemerintah pada era Susilo Bambang Yudhoyono.
Kebijakan Susilo Bambang Yudhoyono yang Bertumpu pada Bidang Pertahanan Susilo Bambang Yudhoyono yang mulai menduduki kursi kepresidenan pada tahun 2004, memang telah memberikan porsi yang cukup besar dalam bidang pertahanan keamanan dalam keseluruhan kebijakannya. Pada tiga bulan awal masa menjabatnya, pemberitaan terkait dengan kebijakan pertahanan menempati porsi 40 persen dari keseluruhan pemberitaan yang bersinggungan dengan pemerintahannya.16 Kisaran pemberitaan tersebut memperlihatkan kisaran fokus bahasan yang tampaknya menjadi
13 Ibid.
14 N.N., “Bab I Pendahuluan,” dilihat pada 6 Mei
2016,http://repository.unand.ac.id/21673/3/bab%201.pdf
15 Transkrip Wawancara, loc. cit.
16 Propatria Institute, “Arah Kebijakan Pertahanan Negara 2004-‐2009,” (2005), dilihat ada 6 Mei
2016, http://ina.propatria.or.id/download/Monograph/Monograph%20No.5%20tentang%20Arah% 20Kebijakan%20Pertahanan%20Negara%202004-‐2009.pdf
agenda utama kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Secara garis besar besar dapat dikategorikan ke dalam kebijakan keamanan utama, yaitu; strategi pertahanan, sumber daya pertahanan, pengerahan pasukan, dan organisasi TNI.17
Kebijakan strategi pertahanan menjadi tolak ukur perencanaan pertahanan nasional secara meluas. Hingga pada masa pemerintahan SBY kebijakan strategi pertahanan Indonesia belum memenuhi harapan yang diinginkan. Dari beberapa agenda dalam masalah strategi pertahanan, kerjasama dengan luar negeri di bidang keamanan, upaya pemberantasan terorisme, dan penghapusan komando teritorial menjadi adalah beberapa diantaranya yang terpenting.18 Berkaitan dengan upaya menangkal ancaman terorisme yang memang menjadi salah satu ancaman yang paling nyata sejak pemerintahan Megawati Soekarno Putri, Kabinet Indonesia Bersatu melakukan revisi terhadap Undang-Undang Anti Terorisme Nomor 15 Tahun 2003. Undang-Undang tersebut pada awalnya mengatur tentang percepatan usaha penumpasan tindak pidana terorisme di dalam negeri. Pengaturan yang demikian ini menimbulkan banyak kontroversi mengingat hal tersebut bersinggungan langsung dengan isu HAM, sehingga revisi dinilai akan mendorong Undang-Undang tersebut untuk menjawab kebutuhan yang lebih relevan. Isu yang paling krusial pada masa pemerintahan SBY dalam bidang stategi pertahanan adalah pembenahan TNI dengan upaya penghapusan Komando Teritorial (Koter). Kebijakan untuk menghapus Komando Teritorial ini merupakan usaha penyederhanaan postur TNI di dalam negara yang demokratis. Koter yang sudah ada sejak jaman Orde Baru dianggap tidak lagi relevan untuk diterapkan di negara yang tengah menuju kematangan demokrasi.
Elemen kedua yang menjadi fokus agenda utama Kabinet Susilo Bambang Yudhoyono adalah sumber daya pertahanan. Hal ini menyangkut dengan aspek-aspek yang terkait dengan kondisi intrinsik TNI, baik dari segi kesediaan peralatan, fasilitas, dukungan dana maupun kegiatan institusi yang berhubungan dengan aktivitas keuangan organisasi yang dikenal pula sebagai bisnis militer.19 Hal yang memprihatinkan dari kondisi internal TNI adalah kurangnya daya dukung finansial dari pemerintah untuk meningkatkan alutsista dan peremajaan alat-alat tempur. Hingga tahun ke tahun, anggaran untuk pertahanan tidak lebih dari 8 persen dari total keseluruhan APBN.20 Jumlah ini tentu saja tidak mencukupi untuk meningkatkan persenjataan TNI dan mensejahterakan anggota-anggotanya.
Naiknya Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden Republik Indonesia yang kala itu menggeser posisi Megawati Soekarnoputri, tampaknya menjadi angin segar bagi
17 Ibid.
18 Ibid. 19 Ibid. 20 Ibid.
pembaharuan TNI Indonesia. Anggaran di bidang pertahanan mengalami peningkatan yang cukup signifikan sejak awal kepemimpinannya. Selain itu, pemerintahan SBY juga mencanangkan Minimum Essential Force untuk memenuhi postur pertahanan ideal. Dalam hal ini, SBY menyadari betul ketertinggalan Indonesia dalam bidang pertahanan keamanan dengan negara-negara lainnya. Selain karena jumlah anggaran yang minimal, kekuatan TNI yang jauh dari kata ideal ini juga disebabkan adanya embargo senjata oleh Amerika Serikat sebagai produsen utama alutsista bagi Indonesia. untuk mengatasi hal tersebut, melalui MEF juga, SBY mulai menggerakan industri persenjataan dalam negeri dan melakukan kerjasama dengan negara-negara pemasok senjata lainnya selain Amerika Serikat.
Hal lain yang juga menjadi titik fokus peningkatan pertahanan keamanan Indonesia adalah elemen pengerahan pasukan TNI dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Konsep ini merujuk pada adanya kejelasan akan fungsi komando pengerahan dan koordinasinya dengan otoritas sipil yang bersinggungan dengan wewenang kemiliteran. Selain itu, perlu pula dipahami bahwa TNI sejak masa Orde Baru merupakan profesi yang mengundang banyak kontroversi. Tampaknya dalam kepemimpinannya, SBY berusaha untuk mengubah citra TNI yang demikian itu. Susilo Bambang Yudhoyono terlihat sangat concern dengan hubungan militer-sipil maupun militer-militer.21 Kabinet Indonesia Bersatu berupaya untuk menciptakan alur kerja dan hubungan yang jelas antara Departemen Pertahanan dengan Militer. Sejauh ini, Markas Besar TNI menjadi pihak yang melakukan action plan, sehingga strategi keamanan akan menjadi tanggung jawab langsung dari Departemen Pertahanan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan profesionalitas dari TNI itu sendiri.
Upaya Pemenuhan Minimum Essential Force pada Era SBY
Meningkatnya kemampuan pertahanan negara ditandai dengan semakin meningkatnya kemampuan alutsista dan personel kemiliteran dalam menghadapi berbagai ancaman. Era Susilo Bambang Yudhoyono yang berkomitmen untuk melakukan pengembangan terhadap sistem pertahanan keamanan nasional menandai garis besar arah kebijakan ini. MEF sendiri merupakan sebuah kebijakan yang bertumpu pada anggaran dengan tujuan memodernisasi alutsista di militer. Berkaitan dengan hal tersebut, berbagai upaya pemenuhan MEF ini telah dilakukan seperti penandatanganan kontrak pembelian tiga kapal selam kelas Changbogo dari Korea Selatan. Indonesia juga melakukan pembelian tank dari Jerman.22 Sedangkan peningkatkan MEF di TNI-AU berupa Alutsista pada bidang pesawat terbang, radar, peluru kendali, pangkalan udara, teknologi informasi, komunikasi dan elektronika, kemampuan pemeliharaan, personil, inteligen, paskhas dan sensor. Pemerintah Indonesia (TNI umumnya dan TNI-AU khususnya)
21 Ibid.
mengembangkan kekuatan militernyanya secara bertahap untuk mendapatkan kekuatan bidang pertahanan yang ideal. Hal ini dimaksudkan sebagai salah satu bentuk military diplomacy atau defense diplomacy yaitu penggunaan kekuatan militer sebagai media diplomasi publik suatu negara. Dihadapkan pada ancaman saat ini dan prediksi ancaman dimasa mendatang. Disamping itu penggelaran kekuatan militer secara situasional maupun berkala dilakukan untuk menimbulkan efek gentar bagi negara-negara lain. Ketidakmaksimalan Pemerintahan SBY Memenuhi MEF TNI-AU Tahap I
Sasaran Pembangunan MEF Tahap I
Kebijakan Minimum Essential Force dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu periode pertama yang berlangsung dari tahun 2010-2014, dilanjutkan dengan periode kedua pada tahun 2015-2019, dan ditutup pada 2020-2024. Setiap rincian tahapan MEF tersebut dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangkan Menengah (RPJMN) yang diterbitkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Pada tahapan pertama, kebijakan MEF ditujukan untuk menciptakan angkatan bersenjata yang mampu melaksanaka operasi gabungan dan meningkatkan kemampuan mobilitas TNI sehingga memiliki efek penggentar. Sejalan dengan RPJMN, Kementerian Pertahanan kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 3 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Pertahanan Negara Tahun 2010-2014 yang menjadi pedoman dalam pembangunan pertahanan negara sesuai dengan prioritas yang ingin dicapai dalam mewujudkan MEF.23 Berdasarkan RPJMN, diharapkan terdapat pencapaian MEF hingga 27,5 persen pada periode pertama dengan ukuran keberhasilan antara lain sebagai yaitu; meningkatnya profesionalisme TNI serta meningkatnya kualitas dan kuantitas alutsista.24 Pembangunan postur pertahanan melalui pemenuhan MEF juga diarahkan untuk membangun 106 pos pertahanan darat.25 Dengan penambahan tersebut, maka jumlah pos pertahanan akan meningkat menjadi 295 pos dari jumlah ideal 395 pos.26 Selain itu, pemberdayaan industri pertahanan domestik juga menjadi salah satu sasaran utama. Hal ini ditujukan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap alutsista yang didatangkan dari luar negeri. Dengan adanya industri pertahanan domestik yang mumpuni, maka pemenuhan alutsista modern akan memangkas baiya impor senjata.
23 R. Mokhamad Luthfi, “Implementasi Revolution in Military Affairs (RMA) dalam Kebijakan
Pertahanan Indonesia, (Tesis, 2012, Universitas Indonesia, Jakarta).
24 Ibid.
25 R. Mokhamad Luthfi, loc. cit. 26 Ibid.
Ketidakmaksimalan Pemenuhan MEF pada TNI AU
MEF menjadi titik tumpu kebijakan Indonesia era Susilo Bambang Yudhoyono untuk meningkatkan kekuatan bidang pertahanan. Kebijakan ini dilakukan melalui empat strategi, yaitu; rematerialisasi, revitalisasi, relokasi, dan pengadaan. Menurut Kementerian Pertahanan, rematerialisasi diartikan sebagai pemenuhan menuju 100 persen Tabel Organisasi dan Peralatan (TOP) dan Daftar Susunan Personel dan Peralatan (DSPP) satuan-satuan TNI. Sedangkan revitalisasi merupakan peningkatan strata satuan atau penebalan satuan/materiil setingkat diatasnya yang disesuaikan dengan perkembangan ancaman dalam wilayahnya. Relokasi dimaksudkan sebagai pengalihan satuan personel dari suatu wilayah ke proyeksi wilayah flash point. Sementara pengadaan dimaknai sebagai pembangunan satuan baru berikut personel dan alutsistanya dalam rangka mewujudkan MEF.
No Instansi 2010 Alokasi Baseline Program (Dalam Milyar) 2011 2012 2013 2014 Jumlah 1 Kementerian Pertahanan 2.686,30 3.068,30 3.339,31 3.810,32 4.381,33 17.286,56 2 Mabes TNI 5.182,61 5.262,61 6.684,78 7.583,65 8.640,84 33.354,49 3 TNI AD 20.041,38 20.344,34 23.815,55 26.093,35 28.214,13 118.508,74 4 TNI AL 8.316,06 8.431,89 11.817,05 14.288,80 17.225,00 60.078,80 5 TNI AU 6.083,79 7.775,86 9.812,89 12.516,25 14.446,09 50.634,88 Jumlah 42.310,14 44.883,00 55.469,58 64.292,37 72.907,39 279.862,47
Saat ini, TNI AU menjadi angkatan bersenjata yang perkembangannya tidak menunjukkan tanda-tanda yang maksimal. Meskipun kebijakan MEF Tahap pertama ditujukan untuk meningkatkan alutsista sistem pertahanan dan keamanan Indonesia, akan tetapi hingga sekarang, dibandingkan dengan TNI AD dan TNI AL, alutsista TNI AU masih tergolong sangat minimal. Untuk melindungi seluruh wilayah Kesatuan Negara Republik Indonesia, Angkatan Udara yang harus mampu menopang kekuatan darat dan laut hanya memiliki 24 radar dan 8 skuadron pesawat.27 Padahal idealnya, sebagai negara yang memiliki wilayah paling luas di kawasan, TNI AU seharusnya sudah didukung dengan minimal 32 radar dan 11 skuadron.28 Rendahnya tingkat perkembangan TNI AU
27 Rizki Roza, “Pengawasan Wilayah Udara Indonesia,” Info Singkat DPR RI, dilihat pada 6 Mei
2016, http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-‐VI-‐22-‐II-‐P3DI-‐November 2014-‐75.pdf
pada MEF tahap I ini dapat dilihat juga dari banyak pelanggaran wilayah udara yang dialami oleh Indonesia dan banyaknya tingkat kecelakaan udara yang dialami oleh pesawat angkatan udara. Selain itu, TNI AU harus dihadapkan pula pada rendahnya tingkat kesiapan terbang yang hanya mencapai 38,15 persen dan pesawat kadaluarsa yang jumlahnya sangat signifikan.29 Kegagalan pemerintah untuk memenuhi MEF TNI AU Tahap I dilatarbelakangi oleh adanya persebaran anggaran yang tidak merata di ketiga angkatan bersenjata.
Dampak Ketidakmaksimalan Pemenuhan MEF TNI Tahap I bagi TNI-AU Ketidakmampuan pemerintah untuk memenuhi MEF Tahap I pada TNI AU baik karena keterbatasan sumber daya anggaran maupun karena prioritas pertahanan yang terfokus pada ancaman darat, sedikit banyak telah memberikan dampak cukup signifikan bagi TNI AU dan kekuatan pertahanan udara. Dengan jumlah anggaran yang terbatas, maka komponen TNI AU tidak sepenuhnya dapat dimaksimalkan. Komponen Kekuatan TNI AU dalam hal pangkalan udara harus pula dilengkapi oleh flight simulator, yaitu suatu peralatan elektronika berbasis komputer yang dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menirukan karakteristik dan tingkah laku suatu pesawat terbang yang digunakan sebagai sarana latihan terbang atay fasilitas latihan.30 Keberadaan anggaran yang minimal, membuat TNI AU hanya berfokus pada upaya pemenuhan dan pemeliharaan alutsista dan mengesampingkan fasilitas tambahan yang dapat memperkuat kemampuan personel TNI AU.
Ketidakmaksimalan pemenuhan MEF Tahap I TNI AU juga membuat angkatan ini tidak mampu memenuhi ADIZ dengan lebih optimal. ADIZ (Air Defense Identification Zone) merupakan suatu zona identifikasi yang mewajibkan pesawat militer maupun sipil untuk melaporkan rencana penerbangannya.31 Penetapan ADIZ suatu negara tidak dimaksudkan untuk memperluas yuridiksi negaranya akan tetapi dibentuk dengan mempertimbangkan situasi keamanan. ADIZ Indonesia sendiri ditentukan diatas Pulau Jawa mengingat pulau ini memiliki populasi penduduk terbesar dengan pusat pemerintahan dan perekonomian yang berada di Jakarta.32 Dengan kondisi alutsista TNI AU dan upaya pemenuhan MEF yang tidak maksimal pada tahapan I ini maka, implementasi ADIZ yang menjadi tanggung jawab TNI AU tentu saja menjadi tidak
29 Achmad Dirwan, “Lapran Akhir Tim Pengkajian Hukum tentang Pengembangan dan Pemanfaat
Industri Strategis untuk Pertahanan,” 2011, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Badan Pembinaan Hukum Nasional, dilihat pada 6 Mei 2016,http://www.bphn.go.id/data/documents /pkj-‐2011-‐18.pdf
30 Ibid.
31 Dilmil-‐Bandung, “Kajian Penerapan ADIZ Indonesia Guna Menegakkan Hukum dan Kedaulatan
di Wilayah Udara dalam Rangka Menjamin Keutuhan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia,” dilihat pada 7 Mei 2016, http://img.dilmilbandung.go.id/upload/ADIZ%20INDONESIA %20yt2.pdf
maksimal. Hal ini diperparah pula oleh adanya bidangn anggaran yang tidak berimbang yang menyebabkan TNI AU mengalami kesulitan untuk melakukan perbaikan terhadap alutsista TNI AU guna memaksimalkan fungsinya melindungi keseluruhan wilayah darat dan laut melalui ruang udara.
Kesimpulan
Sebagai sebuah negara yang memiliki wilayah paling luas di kawasan Asia Tenggara, kebutuhan akan sistem pertahanan yang mampu menjamin keamanan secara menyeluruh mutlak diperlukan. Selama bertahun-tahun, pemerintah Indonesia tidak menciptakan kebijakan yang fokus pada sektor pertahanan. Hal ini menyebabkan, armada bersenjata Indonesia yang menjadi garda pertahanan terdepan mengalami perkembangan yang tergolong lambat. Karena pertahanan dikesampingkan, maka kapabilitas militer Indonesia banyak tertinggal dengan negara-negara tetangganya. Kemunculan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemegang tampuk jabatan sejak tahun 2004 agaknya menjadi titik balik yang cukup signifikan bagi perkembangan militer Indonesia.
Situasi yang demikian ini dapat dilihat dari beberapa kebijakan Indonesia yang mulai bertumpu pada sektor pertahanan keamanan. Jumlah anggaran untuk revitalisasi dan modernisasi TNI ditingkatkan dari tahun ke tahun. Selain itu, Indonesia pun juga banyak menjalin kerjasama pertahanan dengan berbagai negara, seperti Jerman dan Rusia demi meningkatkan meningkatkan alutsista. Hal tersebut sekaligus memberikan indikasi bahwa Indonesia mulai menyadari ancaman yang berada di dalam maupun di luar wilayah yuridiksi negara yang membutuhkan peningkatan kemampuan TNI untuk menghadapinya. Salah satu kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kapabilitas militer ini dikenal sebagai MEF.
MEF merupakan kebijakan peningkatan pertahanan Indonesia yang digalakkan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Secara yuridis, MEF adalah amanat pembangunan nasional bidang pertahanan keamanan yang telah ditetapkan dalam RPJMN 2010-2014 sesuai Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010. MEF ini akan dilakukan dalam tiga tahap; tahapan pertama dilaksanakan pada tahun 2010-2014, disusul dengan tahap kedua pada tahu 2015-2019, dan ditutup pada tahun 2020-2024. Diharapkan melalui tiga tahap kebijakan MEF, Indonesia mampu meningkatkan kapabilitas militernya baik untuk Angkatan Darat, Angkatan Laut, maupun Angkatan Udara, serta memenuhi postur ideal pertahanan negara pada akhir tahun 2024.
MEF tahap pertama ditujukan untuk melakukan peningkatan terhadap alutsista TNI. Akan tetapi, pada tahap pertama tersebut, pemerintah tidak mampu untuk memenuhi MEF di kalangan TNI AU. Saat ini, TNI AU menjadi angkatan bersenjata yang perkembangannya tidak menunjukkan tanda-tanda yang maksimal. Untuk melindungi seluruh wilayah Kesatuan Negara Republik Indonesia, Angkatan Udara yang harus
mampu menopang kekuatan darat dan laut hanya memiliki 24 radar dan 8 skuadron pesawat. Padahal idealnya, sebagai negara yang memiliki wilayah paling luas di kawasan, TNI AU seharusnya sudah didukung dengan minimal 32 radar dan 11 skuadron. Rendahnya tingkat perkembangan TNI AU pada MEF tahap I ini dapat dilihat juga dari banyak pelanggaran wilayah udara yang dialami oleh Indonesia dan banyaknya tingkat kecelakaan udara yang dialami oleh pesawat angkatan udara. Selain itu, TNI AU harus dihadapkan pula pada rendahnya tingkat kesiapan terbang yang hanya mencapai 38,15 persen dan pesawat kadaluarsa yang jumlahnya sangat signifikan. Kegagalan pemerintah untuk memenuhi MEF TNI AU Tahap I dilatarbelakangi oleh adanya persebaran anggaran yang tidak merata di ketiga angkatan bersenjata. TNI AU memperoleh anggaran yang aling sedikit dibandingkan dengan kedua angkatan bersenjata lainnya. Alhasil, dengan jumlah anggaran yang minimal dan porsi anggaran untuk belanja alutsista hanya 25 persen TNI AU pun tidak bisa optimal untuk mencapai target yang telah ditentukan pemerintah. hal ini diperparah pula dengan pengembangan industri domestik yang tidak berkembangn sesuia dengan yang diharapkan guna memenuhi kebutuhan alutsista angkatan bersenjata Indonesia.
Ditetapkannya tujuan utama untuk meningkatkan alutsista, industri pertahanan dalam negeri hingga tahun 2012 hanya mampu mengalami perkembangan yang hanya berkisar 16 persen. Hal ini tentu saja menyebabkan pemenuhan alutsista Indonesia yang diharapkan lebih mandiri mengalami hambatan. Berikut ini adalah upaya tindak lanjut dari Kementerian Pertahanan setelah adanya evaluasi paruh waktu tertahap pelaksanaan MEF:
1. Melanjutkan pelaksanaan program revitalisasi industri dalam negeri; 2. Meningkatkan kerjasama tripartit antara Polri, institusi pendidikan,
Litbang, serta industri untuk mengembangkan alutsista;
3. Merancang skema pelaksanaan litbang alat peralatan pertahanan secara terpadu.
Ketidakmampuan pemerintah untuk memenuhi MEF Tahap I pada TNI AU baik karena keterbatasan sumber daya anggaran maupun karena prioritas pertahanan yang terfokus pada ancaman darat, sedikit banyak telah memberikan dampak cukup signifikan bagi TNI AU dan kekuatan pertahanan udara. Komponen Kekuatan TNI AU dalam hal pangkalan udara harus pula dilengkapi oleh flight simulator, yaitu suatu peralatan elektronika berbasis komputer yang dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menirukan karakteristik dan tingkah laku suatu pesawat terbang yang digunakan sebagai sarana latihan terbang atay fasilitas latihan. Keberadaan anggaran yang minimal, membuat TNI AU hanya berfokus pada upaya pemenuhan dan pemeliharaan alutsista dan mengesampingkan fasilitas tambahan yang dapat memperkuat kemampuan personel TNI AU. Gagalnya pemenuhan MEF Tahap I TNI AU juga membuat angkatan ini tidak
mampu memenuhi ADIZ dengan lebih optimal. ADIZ (Air Defense Identification Zone) merupakan suatu zona identifikasi yang mewajibkan pesawat militer maupun sipil untuk melaporkan rencana penerbangannya. Penetapan ADIZ suatu negara tidak dimaksudkan untuk memperluas yuridiksi negaranya akan tetapi dibentuk dengan mempertimbangkan situasi keamanan. Hal ini diperparah pula oleh adanya bidangn anggaran yang tidak berimbang yang menyebabkan TNI AU mengalami kesulitan untuk melakukan perbaikan terhadap alutsista TNI AU guna memaksimalkan fungsinya melindungi keseluruhan wilayah darat dan laut melalui ruang udara.
DAFTAR PUSTAKA A. BUKU
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2010. “Buku II: Memperkuat Sinergi Antar Bidang Pembangunan.” BAPPENAS.
Buku Putih Pertahanan Republik Indonesia
Buzan, Barry dan Ole Weaver. 2003. Regions and Power: The Structure of International Security. Cambridge: Cambridge University Press
Buku Security A New Framework for Analysis, oleh Barry Buzan Ola Waever, dan Jaap de Wilde, (1998, London: Lynne Rinner Publishers)
Departemen Pertahanan RI. 2007. Strategi Pertahanan Negara. Jakarta
Mas’oed, Mohtar. 1989. Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi. Yogyakarta: PAU- Studi Sosial UGM.
Moleong, L. J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Plano,Jack C. dan Roy Olton. 1999. Kamus Hubungan Internasional, peny. Wawan Juanda. Bandung: CV Putra Abardin.
Richard C. Snyder, H.W. Bruck, dan Burton Sapin. 1962. Foreign Policy and Decision Making: An Approach to the Study of International Politics. Glencoe: Free Press. Soerapto, R. 1997. Hubungan Internasional: Sistem, Interaksi, dan Perilaku. Jakarta:
Rajagrafindo Persada.
Sudjana. 2005. Metode Statistika. Bandung: TarsitoSugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitaif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: ALFABETA. __________. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: ALFABETA.
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara. 2015. Jakarta B. INTERNET
Anggoro, Kusnanto. “Kemanan Nasional, Pertahanan Negara, dan Ketertiban Umum.” Dilihat pada 276 November 2015,
http://www.lfip.org/english/pdf/bali- seminar/Keamanan%20Nasional%20Pertahanan%20Negara%20-%20koesnanto%20anggoro.pdf
Chrisnandi, Yuddy. “Dilema Politik Anggaran Pertahanan.” (Dipresentasikan pada Diskusi Publik Propatria, “Pengelolaan dan Pengawasan Anggaran Pertahanan,” Hotel Santika, Jakarta, 2007). Dilihat pada 26 November 2015,
http://ina.propatria.or.id/download/Paper%20Diskusi/Dilema%20Politik%20Angg aran%20Pertahanan%20-%20Yuddy%20Chrisnandi.pdf
Dilmil-Bandung. “Kajian Penerapan ADIZ Indonesia Guna Menegakkan Hukum dan Kedaulatan di Wilayah Udara dalam Rangka Menjamin Keutuhan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Dilihat pada 7 Mei 2016,
http://img.dilmil-bandung.go.id/upload/ADIZ%20INDONESIA%20yt2.pdf Dirwan, Achmad. 2011. “Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum tentang Pengembangan
dan Pemanfaat Industri Strategis untuk Pertahanan.” Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Badan Pembinaan Hukum Nasional. Dilihat pada 6 Mei 2016, http://www.bphn.go.id/data/documents/pkj-2011-18.pdf
Departemen Pendidikan Nasional.“Pendekatan, Jenis, dan Metode Penelitian Pendidikan.” Dilihat pada 26 November 2015,
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/PENELITIAN%20PENDIDIKAN.pdf Kementerian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia. ”Indonesia 2005-2025:
Buku Putih Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bidang Pertahanan dan Keamanan.” Dilihat pada 26 November 2015,
http://lppm.unpar.ac.id/wp-content/uploads/2014/02/Bidang-Ketahanan-Pangan.pdfN.N. “Bab I Pendahuluan.” Dilihat pada 26 November 2015, http://thesis.umy.ac.id/datapublik/t51963.pdf
Lampiran Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kaji Ulang Strategi Pertahanan. Dilihat pada 6 Mei 2016,
http://strahan.kemhan.go.id/web/jdih/myupload/permenhan_08_tahun_2012_la mpiran.pdf
Lampiran Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Kabijakan Penyelarasan Minimum Essential Force Komponen Utama. Dilihat pada 9 Mei 2016,
http://www.djpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2012/bn650-2012lamp.pdf Muthanna, K.A. “Military Diplomacy.” Dilihat pada 19 Juni 2016,
http://www.idsa.in/system/files/jds_5_1_kamuthanna.pdf N.N. “Bab I Pendahuluan.” Dilihat pada 6 Mei 2016,
http://repository.unand.ac.id/21673/3/bab%201.pdf ____. “Bab III Objek Penelitian.” Dilihat pada 6 Mei 2016,
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/579/jbptunikompp-gdl-panjiperma-28923-9-unikom_p-i.pdf
Propatria Institute.2005. “Arah Kebijakan Pertahanan Negara 2004-2009.” Dilihat ada 6 Mei 2016,
http://ina.propatria.or.id/download/Monograph/Monograph%20No.5%20tentang %20Arah%20Kebijakan%20Pertahanan%20Negara%202004-2009.pdf
Plano, Jack C. dan Roy Olton (1999) dalam Ariansyah. “Kepentingan Nasional Jepang dalam Kemitraan Strategis ASEAN,” hlm. 615-622. Dilihat pada 26 November 2015,
http://ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id/site/wp- content/uploads/2013/08/Jurnal%20%28arie%29%20fdf%20%2808-28-13-03-52-45%29.pdf
Propatria Institute. “Monograph No-5, Arah Kebijakan Pertahanan Negara 2004-2009.” Dilihat pada 26 November 2015,
http://ina.propatria.or.id/download/Monograph/Monograph%20No.5%20tentang %20Arah%20Kebijakan%20Pertahanan%20Negara%202004-2009.pdf
Roza, Rizki. “Pengawasan Wilayah Udara Indonesia.” Info Singkat DPR RI. Dilihat pada 6 Mei 2016, http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VI-22-II-P3DI-November-2014-75.pdf
Sumari, Arwin D.W. “Memikirkan Masa Depan Flight Simulator TNI AU.” Dilihat pada 6 Mei 2016, http://arwin91.tripod.com/publikasi/masa-depan-fs.pdf
Sukadis, Beni .“Reformasi Sektor Keamanan dan Superamsi Sipil.” Dilihat pada 26 November 2015,
http://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/12/Reformasi-Sektor-Keamanan-dan-Supremasi-Sipil.pdf C. JURNAL
Hemmer, Charles dan Peter Katzenstein. 2002. “Why is there no NATO in Asia? Collective Identity, Regionalism, and the Origins of Multilateralism.” International Organization, 56/3.
Reynolds, Julius D.A. “An Empirical Aplication of Regional Security Complex Theory: The Securitization Discourse in China’s Relations with Central Asia and Russia. (Disertasi, International Relation and European Studies Departement, Budapest, Hungaria).
Wolfers,Arnold. “National Security as an Ambigous Symbol, in: Discord and
Collaboration.” Essay on InternationalPolitics John Hopkins University, hlm 147-165.
D. ARTIKEL JURNAL
Novana, Rindu Faradisah. “Kerjasama Indonesia dengan Rusia dalam Bidang Pertahanan Militer pada Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono Periode 2004-2009.” Jurnal Transnasional (2012): 1-19.Dilihat pada 6 Mei 2016,
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=31729&val=2274 Romansyah, Bayu Satya. “Kerjasama Jerman dan Indonesia dalam Hal Pembelian
Senjata Militer untuk Modernisasi Alutsista TNI.” Jom FISIP (2015): 1-9. Laporan YLBHI Nomor 10 Tahun 2005
E. WAWANCARA
Transkrip Wawancara dengan Kasubdit Sunjakbang Hanneg Ditjakstra, Ditjen Strahan Kemhan, Sugeng Suryanto S. AP., M. AP., pada Mei 2016
F. SKRIPSI Dan THESIS
Luthfi,R. Mokhamad. “Implementasi Revolution in Military Affairs (RMA) dalam Kebijakan Pertahanan Indonesia, (Tesis, 2012, Universitas Indonesia, Jakarta). Rusia dalam Bidang Pertahanan Militer pada Masa Pemerintahan SBY.