• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Kalimat yang biasanya kita gunakan sehari-hari adalah kalimat tunggal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Kalimat yang biasanya kita gunakan sehari-hari adalah kalimat tunggal"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

2.1.1 Kalimat Majemuk Bahasa Indonesia

Kalimat yang biasanya kita gunakan sehari-hari adalah kalimat tunggal tetapi tidak selamanya berupa kalimat tunggal. Demi keefisienan, adakalanya orang menggabungkan beberapa pernyataan ke dalam satu kalimat. Dari penggabungan kalimat tersebut maka terdapat struktur kalimat yang didalamnya terdapat beberapa kalimat dasar. “Struktur kalimat yang didalamnya terdapat dua kalimat dasar atau lebih disebut kalimat majemuk” (Sugono, 1999). Penjelasan ini sejalan dengan penjelasan yang terdapat di dalam kamus dan para ahli :

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2005 : 495) menyatakan bahwa : kalimat yang terdiri dari dua klausa atau lebih yang dipadukan menjadi satu.

Kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri dari beberapa klausa bebas (Kridalaksana : 1982).

Jadi, penulis menyimpulkan bahwa kalimat majemuk merupakan kalimat yang memiliki dua klausa atau lebih.

Dalam bahasa Indonesia, kalimat majemuk sering digunakan bersamaan dengan penggunaan kalimat tunggal atau kalimat monoklausa. Penggunaan kalimat majemuk dalam bahasa Indonesia digunakan untuk memperjelas hubungan antarbagian klausa dengan bagian klausa yang lainnya.

Berkenaan dengan sifat hubungan klausa-klausa di dalam kalimat majemuk, maka dalam hal ini kalimat majemuk dapat dibedakan dalam tiga

(2)

macam, yaitu : kalimat majemuk setara, kalimat majemuk bertingkat dan kalimat majemuk campuran.

2.1.2 Kalimat Majemuk Bertingkat

Kalimat majemuk bertingkat ialah kalimat yang terjadi atas beberapa kalimat tunggal yang kedudukannya tidak setara/ sederajat, yakni yang satu menjadi bagian yang lain (Chaer, 1994 : 244). Klausa yang satu merupakan induk kalimat, dan klausa yang lain merupakan anak kalimat. Kedua klausa itu biasanya dihubungkan dengan konjungsi subordinatif, seperti kalau, ketika, meskipun, supaya, jika, sehingga, dan karena.

Kalimat majemuk bertingkat sesungguhnya berasal dari sebuah kalimat tunggal. Bagian dari kalimat tunggal tersebut kemudian diganti atau diubah sehingga menjadi sebuah kalimat baru yang dapat berdiri sendiri.

Bagian kalimat majemuk bertingkat yang berasal dari bagian kalimat tunggal yang tidak mengalami pergantian/ perubahan dinamakan induk kalimat, sedang bagian kalimat majemuk yang berasal dari bagian kalimat tunggal yang sudah mengalami penggantian/ peubahan dinamakan anak kalimat.

Contoh:

Ia datang kemarin. Kalimat tunggal tersebut ialah kalimat tunggal yang mempunyai keterangan waktu: kemarin. Jika kata kemarin diganti/ diubah menjadi kalimat yang dapat berdiri sendiri, yakni diubah/ diganti dengan kalimat:

(3)

kalimat majemuk bertingkat sebagai berikut: Ia datang, ketika orang sedang makan.

Perkataan: ia datang (yang tidak pernah mengalami perubahan/ pergantian) dinamai induk kalimat, sedang perkataan: ketika orang sedang makan (yang mengubah/ mengganti kata kemarin) dinamai anak kalimat.

2.1.3 Pola Kalimat Majemuk Bertingkat Induk Kalimat dan Anak Kalimat

Perbedaan kalimat dan anak kalimat dapat dilihat dari ciri kemandirian sebagai kalimat tunggal, unsur konjungsi, dan urutan unsurnya.

1. Kemandirian sebagai Kalimat Tunggal

Pernyataan saya masuk dapat menjadi kalimat mandiri tanpa unsur ketika mereka diam. Sebaliknya , unsur ketika mereka diam tanpa unsur saya masuk

tidak dapat berdiri sendiri sebagai kalimat. Dengan kata lain, induk kalimat mempunyai ciri dapat berdiri sebagai kalimat mandiri, sedangkan anak kalimat tidak dapat berdiri sebagai kalimat tanpa induk kalimat.

2. Konjungsi

Konjungsi digunakan untuk menghubungkan anak kalimat dengan induk. Dengan kata lain, anak kalimat ditandai oleh adanya konjungsi, sedangkan induk kalimat tidak didahului konjungsi.

Contohnya :

(4)

Dalam kalimat di atas, saya membaca buku merupakan induk kalimat (tidak didahului konjungsi ketika), sedangkan ketika dia datang merupakan anak kalimat (didahului konjungsi ketika). Jika konjungsi dipindahkan di awal kalimat itu, akan terjadi perubahan baik struktur maupun informasi / maknanya.

Ketika saya membaca buku, dia datang.

Setelah kata ketika dipindahkan ke bagian awal, unsur pertama ketika saya membaca buku merupakan anak kalimat dan unsur kedua dia datang merupakan induk kalimat. Gagassan utamanya adalah dia datang, sedangkan ketika saya membaca buku menjadi keterangan waktu yang memberi penjelasan pada gagasan utama dia datang. Jika anak kalimat mendahului induk kalimat, anak kalimat itu harus dipisahkan dengan tanda koma dari induk kalimatnya karena di antara anak kalimat dan induk kalimat itu tidak ada pembatasnya. Sebaliknya, jika anak kalimat mengikuti induk kalimat, anak kalimat itu tidak dipisahkan tanda komadari induk kalimat karena telah ada pembatasnya, yaitu konjungsi. Dengan demikian, induk kalimat tidak diawali konjungsi, sedangkan anak kalimat diawali konjungsi.

3. Urutan

Dari beberapa contoh kalimat bertingkat sebelumnya, bahwa anak kalimat ada yang di depan induk kalimat dan ada pula yang di belakang induk kalimat. Anak kalimat yang berfungsi sebagai keterangan mempunyai kebesan tempat, kecuali anak kalimat akibat, didahului kata sehingga. Jika anak kalimat di depan induk kalimat, anak kalimat itu harus dipisahkan dengan tanda koma (,) dari induk kalimat.

(5)

Contohnya :

(1) Dia mendirikan perusahaan itu ketika masih kuliah tingkat tiga.

Induk Kalimat Anak Kalimat

Anak kalimat yang menempati posisi di belakang induk kalimat itu dapat ditempatkan di depan induk kalimat tanpa perubahan informasi yang pokok.

(2) Ketika masih kuliah tingkat tiga, dia mendirikan perusahaan itu.

Anak Kalimat Induk Kalimat

Pada contoh kalimat (1) adalah gagasan pokok, induk kalimat, sedangkan pada kalimat (2) adalah unsur keterangan. Namun kedua unsur pola urutan itu (Induk Kalimat – Anak Kalimat atau Anak Kalimat – Induk Kalimat) benar, bergantung kepada pengguna bahasa untuk memilihnya.

2.1.4 Jenis Anak Kalimat

Berdasarkan perannya, anak kalimat dapat dibedakan atas beberapa jenis. Peran anak kalimat terlihat dari jenis konjungsi yang mendahuluinya.

1. Anak Kalimat Keterangan Waktu

Anak kalimat ini ditandai oleh konjungsi yang menyatakan waktu seperti

ketika, waktu, kala, tatkala, saat, sesaat, sebelum, sesudah, dan setelah. Satu kalimat tunggal yang mandiri, setelah diawali konjungsi seperti itu, akan turun derajatnya menjadi anak kalimat yang menyatakan waktu. Anak kalimat jenis ini mempunyai hubungan yang renggang dari induk kalimat. Oleh karena itu, anak kalimat ini dapat menempati posisi awal, akhir, di antara subjek dan predikat, bahkan diantara predikat dan objek.

(6)

Contohnya :

(1) Ketika memberikan keterangan, saksi itu meneteskan air mata.

Anak Kalimat

(2) Hadirin di ruang sidang itu terharu saat saksi menceritakan peristiwa itu.

Anak Kalimat

(3) Seorang pengunjung, tatkala saksi mengakhiri keterangannya, sempat

terisak-isak. Anak Kalimat

Anak Kalimat

(4) Hakim ketuaa menyatakan, setelah mempelajari dan mendengarkan semua keterangan saksi, bahwa tertuduh tidak terlibat kasus itu.

Pada contoh kalimat (1), anak kalimat mendahului induk kalimat, terletak di depan induk kalimat, sedangkan pada contoh kalimat (2), anak kalimat mengikuti induk kalimat, terletak di belakang induk kalimat. Contoh kalimat (3) menunjukkan bahwa anak kalimat terletak di antara subjek dan predikat serta contoh kalimat (4) menunjukkan bahwa kalimat terletak di antara predikat dan objek.

2. Anak Kalimat Keterangan Sebab

Anak kalimat ini ditandai oleh konjungsi yang menyatakan hubungan sebab, antara lain : sebab, karena, dan lantaran. Konjungsi itu mengawali anak kalimat yang merupakan keterangan pada induk kalimat di dalam sebuah kalimat majemuk subordinatif. Anak kalimat jenis ini mempunyai sifat seperti anak kalimat keterangan waktu, yaitu dapat menempati posisi awal, akhir, atau di

(7)

dalam induk kalimat di antara subjek dan predikat serta diantara predikat dan objek.

Contohnya :

Anak Kalimat

(1) Karena banyak peminat, Pemerintah akan membangun lagi unit-unit rumah susun.

Anak Kalimat

(2) Pembangunan rumah susun itu memerlukan penelitian sebab beberapa unit rumah susun belum berpenghuni.

Anak Kalimat

(3) Adik Reni, karena akan ikut transmigrasi ke luar Pulau Jawa, mengikuti pendidikan dan pelantikan kerja.

Anak Kalimat

(4) Dia menunggu, karena sampai hari ini belum ada panggilan, kepastian keberangkatannya ke Saudi Arabia.

Pada contoh kalimat (1), anak kalimat terletak di depan induk kalimat, dan pada contoh kalimat (2), anak kalimat terletak di belakang induk kalimat. Contoh kalimat (3) menempatkan anak kalimat di dalam induk kalimat, yaitu di antara subjek dan predikat, serta contoh kalimat (4) menunjukkan letak anak kalimat di antara predikat dan objek.

3. Anak Kalimat Keterangan Akibat

Anak kalimat ini ditandai oleh konjungsi yang menyatakan pertalian akibat. Konjungsi itu, antara lain : hingga, sehingga, maka, akibatnya, dan

(8)

akhirnya. Anak kalimat keterangan akibat hanya menempati posisi akhir, terletak di belakang induk kalimat, seperti contoh di bawah ini :

Hujan turun berhari-hari sehingga banjir besar melanda kota itu.

Anak Kalimat

4. Anak Kalimat Keterangan Syarat

Anak kalimat jenis ini ditandai oleh konjungsi yang menyatakan pertalian persyaratan. Konjungsi itu, antara lain : jika, kalau, apabila, andaikata dan

andaikan. Anak kalimat ini mempunyai kebebasan tempat, dapat menempati posisi awal, akhir, di antara subjek dan predikat, serta diantara predikat dan objek. Contohnya :

Anak Kalimat

(1) Jika ingin berrhasil dengan baik, Anda harus belajar dengan tekun.

Anak Kalimat

(2) Engkau tentu akan lulus tahun ini andaikata mau belajar dengan tekun.

Anak Kalimat

(3) Buku, apabila dibaca dengan cermat, akan memberikan ilmu pengetahuan kepada kita.

Anak Kalimat

(4) Saya akan membaca, andaikata punya cukup waktu, semua buku di perpustakaan ini.

Pada contoh kalimat (1), anak kalimat terletak di depan induk kalimat, dan pada contoh kalimat (2), anak kalimat terletak di belakang induk kalimat. Contoh kalimat (3) menunjukkan bahwa anak kalimat terletak di antara subjek dan

(9)

predikat, serta contoh kalimat (4) menunjukkan bahwa anak kalimat di antara predikat dan objek.

5. Anak Kalimat Keterangan Tujuan

Anak kalimat ini ditandai oleh konjungsi yang menyatakan pertalian tujuan. Konjungsi yang digunakan dalam anak kalimat jenis ini, antara lain :

supaya, agar, untuk, guna, dan demi. Anak kalimat ini juga mempunyai kebebasan tempat, seperti terlihat pada contoh berikut :

Anak Kalimat

(1) Untuk membantu perkembangan Kantor Unit Desa, kita telah melakukan berbagai usaha.

Anak Kalimat

(2) Koperasi perlu memiliki pemimpin yang tangguh guna menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap koperasi.

Anak Kalimat

(3) Pemimpin koperasi, supaya mendapat dukungan masyarakat, harus mempunyai sifat demokratis.

Anak Kalimat

(4) Dia harus memberikan, demi memajukan koperasi, waktu yang cukup bagi koperasi di bawah kepemimpinannya.

Contoh kalimat (1) mempunyai anak kalimat yang terletak pada posisi awal, sedangkan contoh kalimat (2) mempunyai anak kalimat yang terletak pada posisi akhir. Contoh kalimat (3) menunjukkan bahwa anak kalimat terletak di

(10)

antara subjek dan predikat, serta contoh kalimat (4) menunjukkan bahwa anak kalimat terletak di antara predikat dan objek.

6. Anak Kalimat Keterangan Cara

Anak kalimat ini ditandai oleh konjungsi yang menyatakan pertalian cara. Konjungsi yang menyatakan pertalian itu, antara lain : dengan dan dalam. Anak kalimat keterangan cara ini mempunyai kebebasan tempat, seperti pada contoh berikut :

Anak Kalimat

(1) Dengan menurunkan harga beberapa jenis BBM, kita berharap kegiatan ekonomi tidak lesu lagi.

Anak Kalimat

(2) Kita berupaya meningkatkan ekspor nonmigas dalam mengatasi pemasaran minyak yang terus menurun.

Anak Kalimat

(3) Kita, dalam menhadapi masa resesi ini, harus lebih berhati-hati.

Anak Kalimat

(4) Saksi itu menjelaskan, dengan menunjukkan barang bukti, peristiwa penyelundupan barang-barang mewah.

Contoh kalimat (1) menunjukkan bahwa anak kalimat terletak pada posisi awal dan contoh kalimat (2) menunjukkan bahwa anak kalimat terletak pada posisi akhir. Pada contoh kalimat (3), anak kalimat terletak di antara subjek dan

(11)

predikat, sedangkan pada contoh kalimat (4), anak kalimat terletak di antara predikat dan objek.

7. Anak Kalimat Keterangan Pewatas

Anak kalimat ini menyertai nomina, baik nomina itu berfungsi sebagai subjek, predikat maupun objek. Ciri penanda anak kalimat ini ialah konjungsi

yang atau kata penunjuk itu. Anak kalimat ini berfungsi sebagai pewatas nomina. Contohnya :

Anak Kalimat

(1) Perusahaan yang ingin mengajukan kredit harus mempunyai jaminan.

Anak Kalimat

(2) Orang membawa tas itu direktur kami.

Anak Kalimat

(3) Dia direktur yang baru dilantik seminggu yang lalu.

Anak Kalimat

(4) Direktur baru itu ingin memperluas perubahan yang nyaris gulung tikar sebulan yang lalu.

Anak Kalimat

(5) Dia kehilangan pekerjaan yang menjadi sumber kehidupan keluarganya.

Anak Kalimat

(6) Dia akan pindah ke rumah yang terletak di ujung jalan itu.

Pada contoh kalimat (1), anak kalimat mewatasi nomina subjek

(12)

kalimat (2), anak kalimat memberi pewatas nomina subjek (orang), tetapi tidak digunakan konjungsi yang. Sebagai pengganti, digunakan kata penunjuk itu untuk menandai ketakrifan nomina subjek. Pada contoh kalimat (3), anak kalimat mewatasi nomina predikat (direktur) yang ditandai oleh konjungsi yang.

Selanjutnya, pada contoh kalimat (4), anak kalimat mewatasi nomina objek

(perusahaan). Anak kalimat ini ditandai oleh konjungsi yang. Pada contoh (5), anak kalimat mewatasi nomina pelengkap yang ditandai oleh konjungsi yang.

Adapun contoh kalimat yang terakhir, anak kalimat memberi pewatas nomina keterangan (rumah).

8. Anak Kalimat Pengganti Nomina

Anak kalimat ini ditandai oleh kata bahwa dan anak kalimat ini dapat menjadi subjek atau objek dalam kalimat transitif.

Contohnya :

Anak Kalimat

(1) Bahwa pengurus koperasi harus segera dibentuk sudah dibahas dalam rapat kemarin.

Anak Kalimat

(2) Adalah hak kita bahwa pemilihan pengurus itu harus dibicarakan dalam rapat anggota.

Anak Kalimat

(3) Keinginan pemimpin kita ialah bahwa semua pengurus harus mendahulukan kepentingan pelayanan.

(13)

(4) Pengurus lama berjanji bahwa koperasi kita akan memilih pengurus baru.

Anak Kalimat

(5) Dia memberitahukan bahwa pemilihan pengurus koperasi diadakan minggu ini.

Pada contoh kalimat (1), anak kalimat menduduki fungsi subjek. Pada contoh kalimat (2), walaupun tidak posisi awal, anak kalimat itu berfungsi sebagai subjek. Kalimat (2) itu adalah kalimat inversi (pola urutan P-S). Urutan itu dapat diubah S-P. Pada contoh kalimat (3), anak kalimat termasuk sebagai pelengkap, begitu juga contoh kalimat (4) menunjukkan bahwa anak kalimat berfungsi sebagai pelengkap. Adapun contoh kalimat terakhir menempatkan anak kalimat sebagai objek.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Psikolinguistik dan Teori Genetik Kognitif Chomsky

Kata psikolinguistik adalah gabungan dua kata, yaitu ‘psikologi’ dan ‘linguistik’, yang merupakan dua disiplin yang berlainan dan berdiri sendiri. Kedua disiplin ilmu ini mengkaji satu masalah yang sama, yaitu bahasa, dengan cara yang berlainan dan dengan tujuan yang berlainan. Dengan demikian banyak juga hal yang sama yang dikaji oleh kedua disiplin ilmu ini dengan tujuan yang boleh dikatakan sama atau hampir sama tetapi dengan metode atau teori yang berlainan. Pada dasarnya psikologi mengkaji perilaku berbahasa, sedangkan linguistik mengkaji struktur bahasa yang lahir atau tumbuh. Kedua disiplin ilmu ini saling berdampingan dan bekerjasama atau saling membantu dalam mengkaji bahasa dan hakekat bahasa itu.

(14)

Sebagai hasil kerjasama yang lebih terarah dan sistematis lahirlah satu ilmu baru yang sekarang disebut ‘psikolinguistik’. Psikolinguistik adalah ilmu yang mempelajari proses-proses mental yang dilalui oleh manusia dalam mereka membina pengetahuan berbahasa. (Dardjowidjojo, 2005).

Tujuan utama psikolinguistik adalah mencari satu teori bahasa yang unggul dari segi linguistik dan psikologi yang mampu menerangkan hakekat bahasa dan pemerolehannya. Dengan kata lain, psikolinguistik mencoba menerangkan hakekat struktur bahasa dan bagaimana struktur bahasa ini diperoleh dan digunakan pada waktu bertutur dan memahami ujaran-ujaran bahasa yang terlibat dalam proses-proses kebahasaan ini.

Pada hakekatnya psikolinguistik mencoba menerapkan pengetahuan linguistik dan psikologi kepada masalah-masalah bahasa, seperti pengajaran bahasa, pemebelajaran bahasa, pengajaran membaca permulaan dan lanjutan, kedwibahasaan (bilingualism), kemultibahasaan (multilingualism), penyakit bertutur, seperti afasia, gagap dan sebagainya. Dengan demikian penulis dapat menyimpulkan bahwa psikolinguistik merupakan satu ilmu yang dilahirkan sebagai akibat dari satu kesadaran, bahwa pengkajian bahasa merupakan sesuatu yang sangat sulit dan dan rumit sehingga satu disiplin ilmu secara sendiri tidak mungkin mampu mengkaji dan menerangkan hakekat bahasa itu.

Sama halnya dengan Piaget, Chomsky juga tidak pernah memperkenalkan teori pemerolehan dan pembelajaran bahasa secara khusus. Namun, karena teori linguistik yang diperkenalkannya (1957, 1965, 1968)dan juga artikel ulasannya mengenai buku Skinner (“Verbal Behavior”, 1957) dalam Language (1959) telah mengubah secara drastis perkembangan psikolinguistik, maka satu teori

(15)

pemerolehan dan pembelajaran bahasa telah dapat disimpulkan dari teori generatif transformasinya yang kini dikenal dengan nama teori genetik kognitif (Chaer, 2003 : 108). Teori ini digolongkan ke dalam kelompok teori kognitif karena teori ini menekankan pada otak (akal, mental) sebagai landasan dalam proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa.

Chomsky (1969) dengan keras menentang teori pembiasaan operan dalam pemerolehan bahasa yang dikemukakan Skinner. Menurut Chomsky tidaklah ada gunanya sama sekali untuk menjelaskan proses pemerolehan bahasa tanpa mengetahui dengan baik apa sebenarnya bahasa sebagai benda yang sedang diperoleh itu. Untuk dapat menerangkan hakikat proses pemerolehan bahasa, di samping memahami apa sebenarnya bahasa itu, kita tidak boleh menyampingkan pengetahuan mengenai struktur dalam organisme (manusia), yakni bagaimana cara-cara perilaku berbahasa itu diatur. Semua cara ini ditentukan oleh struktur awal yang dibawa sejak lahir yang sangat rumit, dan proses perkembangannya diatur menurut proses pematangan genetik dan pengalaman-pengalaman yang telah lalu.

Teori genetik kognitif ini didasarkan pada satu hipotesis yang disebut

hipotesis nurani (the innateness hyphothesist). Hipotesis ini mengatakan bahwa otak manusia dipersiapkan secara genetik untuk berbahasa. Untuk itu otak manusia dipersiapkan telah dilengkapi dengan struktur bahasa universal yang disebut Language Acquisition Device (LAD). Dalam proses pemerolehan bahasa LAD ini menerima “ucapan-ucapan” dan data-data lain yang berkaitan melalui pancaindra sebagai masukan dan membentuk rumus-rumus linguistik berdasarkan masukan itu yang kemudian dinuranikan sebagai keluaran. Menurut Chomsky,

(16)

teori behaviorisme (S – R) sangat tidak memadai untuk menerangkan proses-proses pemerolehan bahasa sebab masukan data linguistiknya sangat sedikit untuk dapat membangkitkan rumus-rumus linguistik. Chomsky berpendapat tidak mungkin seorang kanak-kanak mampu menguasai bahasa ibunya dengan begitu mudah yaitu tanpa diajar dan begitu cepat dengan masukan yang sedikit (kalimat-kalimat tidak lengkap, berputus-putus, salah, dan sebagainya) tanpa adanya struktur universal dan LAD itu di dalam otaknya secara genetik.

Dalam proses pemerolehan bahasa, tugas kanak-kanak dengan alat yang dimilikinya (yaitu LAD) adalah menentukan bahasa masyarakat manakah masukan kalimat-kalimat yang didengarnya itu akan dimasukkan. Struktur awal atau skema nurani yang dimilikinya semakin diperkaya setelah “bertemu” dengan masukan dari bahasa masyarakatnya (bahasa ibunya), dan kanak-kanak akan membentuk teori tata bahasanya berdasarkan itu. Tata bahasa itu terus-menerus disempurnakan berdasarkan masukan yang semakin banyak, dan sesuai dengan proses pematangan otaknya. Sesudah mencapai umur tiga atau empat tahun, tata bahasa ini sudah hampir sama baiknya dengan tata bahasa yang dimiliki orang dewasa. Keadaan ini merupakan hal yang luar biasa mengingat betapa nuraninya bahasa yang sedang diperolehnya.

Untuk lebih memperkuat teorinya atau hipotesisnya Chomsky mengajukan hal-hal berikut :

1. Proses-proses pemerolehan bahasa pada semua kanak-kanak boleh dikatakan sama.

(17)

2. Proses pemerolehan bahasa tidak ada kaitannya dengan kecerdasan. Maksudnya, anak yana IQ-nya rendah juga memperoleh bahasa pada waktu dan cara yang hampir sama.

3. Proses pemerolehan bahasa juga tidak dipengaruhi oleh motivasi dan emosi kanak-kanak.

4. Tata bahasa yang dihasilkan oleh semua kanak-kanak boleh dikatakan sama.

Semua ini tidak mungkin terjadi apabila kanak-kanak itu tidak dilengkapi dengan LAD dan skema nurani seperti yang disebutkan di atas.

2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Berbahasa Indonesia Anak

Kemampuan berbahasa Indonesia anak sangat mempengaruhi bahasa pertamanya. Anak dalam memperoleh bahasa pertama bervariasi, ada yang lambat, sedang, bahkan ada yang cepat. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti yang dikemukakan oleh Chomsky, Piaget, Lenneberg dan Slobin berikut ini:

1. Faktor Alamiah

Faktor alamiah adalah setiap anak lahir dengan seperangkat prosedur dan aturan bahasa yang dinamakan oleh Chomsky Language Acquisition Divice

(LAD). Potensi dasar itu akan berkembang secara maksimal setelah mendapat stimulus dari lingkungan. Proses pemerolehan melalui piranti ini sifatnya alamiah. Karena sifatnya alamiah, maka kendatipun anak tidak dirangsang untuk

(18)

mendapatkan bahasa, anak tersebut akan mampu menerima apa yang terjadi di sekitarnya. Slobin mengatakan bahwa yang dibawa lahir ini bukanlah pengetahuan seperangkat kategori linguistik yang semesta, seperti dikatakan oleh Chomsky. Prosedur-prosedur dan aturan-aturan yang dibawa sejak lahir itulah yang memungkinkan seorang anak untuk mengolah data linguistik.

2. Faktor Perkembangan Kognitif

Perkembangan bahasa seseorang seiring dengan perkembangan kognitifnya. Keduanya memiliki hubungan yang komplementer. Pemerolehan bahasa dalam prosesnya dibantu oleh perkembangan kognitif, sebaliknya kemampuan kognitif akan berkembang dengan bantuan bahasa. Keduanya berkembang dalam lingkup interaksi sosial.

Piaget dalam Brainerd seperti dikutip Ginn (2006) mengartikan kognitif sebagai sesuatu yang berkaitan dengan pengenalan berdasarkan intelektual dan merupakan sarana pengungkapan pikiran, ide, dan gagasan. Termasuk, kegiatan kognitif; aktivitas mental, mengingat, memberi simbol, mengkategorikan atau mengelompokkan, memecahkan masalah, menciptakan, dan berimajinasi. Hubungannnya dengan mempelajari bahasa, kognitif memiliki keterkaitan dengan pemerolehan bahasa seseorang.

Menurut Lenneberg (1967), dalam usia dua tahun (kematangan kognitif) hingga usia pubertas, otak manusia itu masih sangat lentur yang memungkinkan seorang anak untuk memperoleh bahasa pertama dengan mudah dan cepat. Lanjut Lenneberg, pemerolehan bahasa secara alamiah sesudah pubertas akan terhambat

(19)

oleh selesainya fungsi-fungsi otak tertentu, khususnya fungsi verbal di bagian otak sebelah kiri.

Piaget (1955) memandang anak dan akalnya sebagai agen yang aktif dan konstruktif yang secara perlahan-lahan maju dalam kegiatan usaha sendiri yang terus menerus. Anak-anak sewaktu bergerak menjadi dewasa memperoleh tingkat pemikiran yang secara kualitatif berbeda, yaitu menjadi meningkat lebih kuat. Piaget berpendapat bahwa kemampuan merepresentasikan pengetahuan itu adalah proses konstruktif yang mensyaratkan serangkaian langkah perbuatan yang lama terhadap lingkungan.

Menurut Slobin (1977), perkembangan umum kognitif dan mental anak adalah faktor penentu pemerolehan bahasa. Seorang anak belajar atau memperoleh bahasa pertama dengan mengenal dan mengetahui cukup banyak struktur dan fungsi bahasa, dan secara aktif ia berusaha untuk mengembangkan batas-batas pengetahuannya mengenai dunia sekelilingnya, serta mengembangkan keterampilan-keterampilan berbahasanya menurut strategi-strategi persepsi yang dimilikinya. Lanjut Slobin, pemerolehan linguistik anak sudah diselesaikannya pada usia kira-kira 3-4 tahun, dan perkembangan bahasa selanjutnya dapat mencerminkan pertumbuhan kognitif umum anak itu.

3. Faktor Latar Belakang Sosial

Latar belakang sosial mencakup struktur keluarga, afiliasi kelompok sosial, dan lingkungan budaya memungkinkan terjadinya perbedaan serius dalam pemerolehan bahasa anak (Vygotsky, 1978). Semakin tinggi tingkat interaksi sosial sebuah keluarga, semakin besar peluang anggota keluarga (anak)

(20)

memperoleh bahasa. Sebaliknya semakin rendah tingkat interaksi sosial sebuah keluarga, semakin kecil pula peluang anggota keluarga (anak) memperoleh bahasa. Hal lain yang turut berpengaruh adalah status sosial. Anak yang berasal dari golongan status sosial ekonomi rendah rnenunjukkan perkembangan kosakatanya lebih sedikit sesuai dengan keadaan keluarganya. Misalnya, seorang anak yang berasal dari keluarga yang sederhana hanya mengenal lepat, ubi, radio, sawah, cangkul, kapak, atau pisau karena benda-benda tersebut merupakan benda-benda yang biasa ditemukannya dalam kehidupannya sehari-hari. Sebaliknya anak yang berasal dari keluarga yang memiliki status ekonomi yang lebih tinggi akan memahami kosakata seperti mobil, televisi, komputer, internet, dvd player, laptop, game, facebook, ataupun KFC, karena benda-benda tersebut merupakan benda-benda yang biasa ditemukan dalam kehidupannya sehari-hari.

Kemampuan anak berinteraksi dengan orang lain dengan cara yang dapat dipahami orang lain sebagai anggota kelompok. Anak yang mampu berkomunikasi dengan baik akan diterima lebih baik oleh kelompok sosial dan mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk memerankan kepemimpinannya, dibandingkan dengan anak yang kurang mampu berkomunikasi atau takut menggunakannya.

4. Faktor Keturunan Faktor keturunanmeliputi: 1. Intelegensia

Pemerolehan bahasa anak turut juga dipengaruhi oleh intelegensia yang dimiliki anak. Ini berkaitan dengan kapasitas yang dimiliki anak dalam mencerna

(21)

sesuatu melalui pikirannya. Setiap anak memiliki struktur otak yang mencakup IQ

yang berbeda antara satu dengan yang lain. Semakin tinggi IQ seseorang, semakin cepat memperoleh bahasa, sebaliknya semakin rendah IQ-nya, semakin lambat memperoleh bahasa.

Berikut ini adalah bagian dari gambar otak, menurut Simanjuntak (2009 : 198).

Gambar 1 : Fungsi-Fungsi Otak (Simanjuntak, 2009 : 198) LD : Lobus Depan (Frontal) FB : Fasikulus Busur LT : Lobus Temporal KM : Korteks Moto

LO : Lobus Oksipital KPd : Korteks Pendengaran LP : Lobus Parietal KPI : Korteks Penglihatan MB : Medan Broca KPr : Korteks Perasa (Peraba) MW : Medan Wernicke

GA : Girus Angular

Pusat Tata Bahasa (Kecakapan) : Girus Angular (GA) Pusat Ucapan : I) Pusat Produksi : Medan Broca (MB)

(22)

2. Kepribadian dan Gaya/Cara Kemampuan Bahasa

Kreativitas seseorang dalam merespon sesuatu sangat menentukan kemampuan bahasa, daya bertutur dan bertingkah laku yang menjadi kepribadian seseorang turut mempengaruhi sedikit banyaknya variasi-variasi tutur bahasa.

Seorang anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa pertama dalam otaknya, lengkap dengan semua aturan-aturannya. Bahasa pertama itu diperolehnya dengan beberapa tahap, dan setiap tahap berikutnya lebih mendekati tata bahasa dari bahasa orang dewasa.

Chomsky dan Piaget, seperti dikutip Ginn (2006), mengklasifikasi kemampuan bahasa ke dalam tujuh tahapan, yaitu. (a) Tahap Meraban (Pralinguistik 0,0-0,5) Pertama, (b) Tahap Meraba (Pralinguistik 0,5-1,0) Kedua: Kata Nomsens, (c) tahap Liguistik I Holoprastik; Kalimat satu Kata (1,0-2,0), (d)

Tahap Linguistik II Kalimat Dua Kata (2,0-3,0), (e) Tahap Linguistik III. Pengembangan Tata Bahasa (3,0-4,0), (f) Tahap Linguistik IV Tata Bahasa Pra-Dewasa (4,0-5,0) dan (g) Tahap Linguistik V Kompetensi Penuh (5,0-....).

Pada tahap pralinguistik pertama anak belum dapat menghasilkan bunyi secara normal, pada tahap pralinguistik yang kedua anak sudah dapat mengoceh atau membabel dengan pola suku kata yang diulang-ulang. Bahkan menjelang usia 1 tahun anak sudah mulai mengeluarkan pola intonasi dan bunyi-bunyi tiruan. Pada tahap linguistik I anak sudah mulai menggunakan serangkaian bunyi ujaran yang menghasilkan bunyi ujaran tunggal yang bermakna. Pada tahap linguistik II kosa-kata anak mulai berkembang dengan pesat, ujaran yang diucapkan terdiri atas dua kata dan mengandung satu konsep kalimat yang lengkap. Pada tahap

(23)

linguistik III anak mampu menggunakan lebih dari dua kata, kalimat yang diungkapkan biasanya menyatakan makna khusus yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Pada tahap linguistik IV anak sudah mampu menyusun kalimat yang cukup lengkap meskipun masih ada kekurangan pada penggunaan infleksi dan kata fungsi. Dan pada tahap linguistik yang terakhir anak sudah memiliki kemampuan penuh dalam berbahasa.

2.2.3 Kemampuan Berbahasa

1. Pengertian Kemampuan Berbahasa

Secara bahasa kemampuan sama dengan kesanggupan atau kecakapan. Jadi, kemampuan adalah kesanggupan individu untuk melakukan pekerjaan yang dibebankan, sedangkan kemampuan berbahasa adalah kemampuan individu untuk mendengarkan ujaran yang disampaikan oleh lawan bicara, berbicara dengan lawan bicara, membaca pesan-pesan yang disampaikan dalam bentuk tulisan, dan menulis pesan-pesan baik secara lisan maupun tulisan.

2. Jenis-jenis Kemampuan Berbahasa a. Kemampuan Mendengar

Kemampuan mendengar adalah kemampuan atau keterampilan menangkap dan memproduksi bahasa yang diperoleh dengan pendengaran. Dalam mendengarkan biasanya menggunakan direct method. Kaidah metode itu pelajaran awal diberikan dengan latihan-latihan mendengarkan atau hear training,

kemudian diikuti dengan latihan-latihan mengucapkan bunyi lebih dahulu, setelah itu kata-kata pendek, dan akhirnya kalimat yang lebih panjang. Kalimat-kalimat

(24)

tersebut kemudian dirangkaikan menjadi percakapan dan cerita. Materi pelajaran ditulis dalam notasi fonetik bukan ejaan sebagaimana lazimnya gramatika diajarkan secara induktif, dengan pelajaran mengarang terdiri atas reproduksi, dari yang telah didengar dan bicara (Dahlan, 1992).

Secara umum tujuan latihan menyimak/mendengar adalah agar anak-anak dapat memahami ajaran bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik bahasa sehari-hari maupun bahasa yang digunakan dalam forum resmi (Effendy, 2005).

b. Kemampuan Berbicara

Kemampuan berbicara adalah kemampuan berkomunikasi secara langsung dalam bentuk percakapan atau berdialog. Latihan-latihan cakap (diskusi, dialog) serta latihan membuat laporan lisan, dapat juga menambah keterampilan berbicara, persoalan yang tidak kurang pentingnya agar murid trampil berbicara adalah latihan-latihan keberanian berbicara. Selain bergantung pada sikap guru, tugas-tugas mengadakan komunikasi dengan ornag lain (selain guru kelas) dapat juga menimbulkan keberanian berbicara bagi murid-murid pemula, persoalannya keberanian (berbicara) perlu mendapat latihan-latihan seperlunya.

Kemahiran berbicara merupakan salah satu jenis kemampuan berbahasa yang ingin dicapai dalam pengajaran bahasa. Berbicara merupakan merupakan sarana utama utnuk membina saling perhatian, komunikasi timbal-balik, dengan menggunakan bahasa sebagai medianya.

Kegiatan berbicara di dalam kelas mempunyai aspek komunikasi dua arah, yaitu antara pembicara dengan pendengarnya secara timbal balik. Dengan demikian, latihan berbicara harus terlebih dahulu didasari oleh :

(25)

1. Kemampuan mendengarkan 2. Kemampuan mengucapkan

3. Penguasaan (relatif) kosa kata yang diungkapkan yang memungkinkan siswa dapat mengkomunikasikan maksud/fisiknya.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa latihan berbicara itu merupakan kelanjutan dari latihan menyimak/mendengar yang di dalam kegiatannya juga terdapat latihan mengucapkan.

2.2.4 Media Gambar

Media gambar adalah media yang tidak diproyeksikan dan dapat dinikmati oleh semua orang sebagai pindahan dari keadaan yang sebenarnya mengenai orang, suasana, tempat, barang, pemandangan, dan benda-benda yang lain. Media gambar termasuk media visual, sebagaimana halnya media yang lain media gambar berfungsi untuk menyalurkan pesan dari sumber ke penerima pesan. Saluran yang dipakai menyangkut indera penglihatan. Pesan yang akan disampaikan dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi anak. Simbol-simbol tersebut perlu dipahami benar artinya agar proses penyampaian pesan dapat berhasil dan efisien. Selain fungsi umum tersebut, secara khusus gambar berfungsi pula untuk menarik perhatian, memperjelas sajian ide, mengilustrasikan atau menghiasi fakta yang mungkin akan cepat dilupakan atau diabaikan bila tidak digambarkan. Selain sederhana dan mudah pembuatannya, media gambar termasuk media yang relatif murah bila ditinjau dari segi biayanya.

(26)

Beberapa kelebihan media gambar antara lain :

1. Sifatnya konkrit, Maksudnya gambar lebih realistis menunjukkan pokok

masalah dibandingkan dengan media verbal semata.

2. Gambar dapat mengatasi batasan ruang dan waktu. Tidak semua benda/

peristiwa dapat dibawa kedalam kelas, dan tidak selalu bisa anak – anak dibawa keobjek / peristiwa tersebut. Media gambar dapat mengatasi masalah tersebut.

3. Media gambar dapat mengatasi keterbatasan pengamatan kita. Sela atau

penampang daun yang tak mungkin kita lihat dengan mata telanjang dapat disajikan dengan jelas dalam bentuk gambar.

4. Gambar dapat memperjelas suatu masalah, dalam bidang apa saja dan untuk tingkat usia berapa saja, sehingga dapat mencegah atau membetulkan kesalahpahaman.

5. Gambar harganya murah dan mudah didapat serta digunakan, tanpa memerlukan peralatan khusus.

Selain kelebihan – kelebihan tersebut, gambar mempunyai kelemahan, beberapa kelemahan tersebut adalah :

1. Gambar hanya menekankan persepsi indera mata

2. Gambar benda yang terlalu kompleks kurang efektif untuk kegiatan

pembelajaran.

(27)

Selain itu, ada enam syarat yang perlu dipenuhi oleh gambar yang baik sehingga dapat dijadikan sebagai media pendidikan.

1. Autentik

Gambar tersebut harus secara jujur melukiskan situasi seperti kalau orang melihat benda sekitarnya.

2. Sederhana.

Komposisi gambar hendaknya cukup jelas menunjukkan poin – poin pokok dalam gambar.

3. Ukuran Relatif.

Gambar dapat membesarkan atau memperkecil objek/benda sebenarnya. Apabila gambar tersebut tentang benda / objek yang belum dikenal atau pernah dilihat anak maka sulitlah membayangkan berapa besar benda atau objek tersebut. Untuk menghindari itu hendaknya dalam gambar tersebut terdapat sesuatu yang telah dikenal anak – anak sehingga dapat membantunya membayangkan berapa besarkah benda tersebut.

4. Gambar sebaiknya mengandung gerak atau perbuatan. Gambar yang baik tidaklah menunjukan objek dalam keadaan diam, tapi memperlihatkan aktivitas tertentu.

5. Gambar yang bagus dilihat dari sudut seni dan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan di capai.

(28)

2.3 Tinjuan Pustaka

Penelitian tentang kemampuan berbahasa Indonesia sudah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, diantaranya :

Krashen (1978) dalam Chayono (1995 : 299) yang menyatakan bahwa pemahaman hubungan antara pemerolehan dan belajar itu penting untuk memahami periode kritis, karena setelah periode kritis berakhir, peranan belajar menjadi lebih berarti. Pemerolehan mengacu ke perkembangan kemampuan dalam suatu bahasa secara bertahap dan tidak disadari dengan disertai kemampuan penggunaan secara alamiah dalam situasi-situasi komunikatif. Kegiatan pemerolehan ialah kegiatan yang dialami oleh anak-anak dan mereka yang memperoleh bahasa karena mereka cukup lama dalam interaksi sosial (bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari) di negara lain. Pemerolehan terjadi dalam lingkungan yang tidak formal.

Berbeda dengan pemerolehan, belajar mengacu ke pengumpulan pengetahuan kosa kata dan gramatika bahasa melalui sesuatu yang disadari (matematika, misalnya, merupakan kemampuan yang dipelajari, dan bukan kemampuan yang diperoleh). Kegiatan belajar biasanya berwujud pengajaran bahasa di sekolah, terbatas pada orang dewasa dan cenderung menghasilkan pengetahuan tentang bahasa yang dipelajari. Mereka yang memiliki pengalaman bahasa kedua melalui belajar cenderung tidak dapat mengembangkan kemampuan seperti mereka yang mengalami pemerolehan.

Gustianingsih (2002) dalam tesis yang berjudul “Pemerolehan Kalimat Majemuk Bahasa Indonesia Pada Anak Usia Taman Kanak-Kanak” membahas tentang bagaimana kalimat majemuk koordinatif bahasa Indonesia diperoleh anak

(29)

taman kanak-kanak, yaitu jenis konjungsi kalimat koordinatif apa yang diperoleh anak dan berapa jumlah frekuensinya. Anak TK memiliki pola struktur kalimat majemuk koordinatif bahasa Indonesia yang berbeda dengan orang dewasa. Jenis kalimat majemuk koordinatif yang sedang, akan dan telah dipahami anak TK ternyata berbeda bagi setiap anak. Anak TK memiliki karakteristik kalimat majemuk koordinatif bahasa Indonesia yang berbeda dengan karakteristik bahasa orang dewasa.

Siregar (2002) dalam tesis yang berjudul “Pengaruh Stimuli Trehadap Pemerolehan Bahasa Anak Prasekolah (Studi Komparatif)” menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pemberian stimuli dengan perkembangan kosa kata dan semantik anak prasekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin intensif lingkungan memberikan stimuli terhadap anak, maka perkembangan pemerolehan bahasa anak prasekolah semakin baik. Selain itu, dari hasil penelitian ditemukan juga fakta bahwa anak masih melakukan generalisasi terhadap benda yang memiliki karakteristik yang sama.

Rusyani (2008) dalam penelitiannya berjudul “Pemerolehan Bahasa Indonesia Anak Usia 2,5 Tahun (Studi Kasus Terhadap Pemerolehan Bahasa Anak Usia Dini)”menemukan bahwa anak yang berusia dua setengah tahun sudah mampu mengucapkan kata-kata yang sesuai dengan lingkungan dan benda-benda yang ada disekitarnya. Perbendaharaan kata anak juga sudah mulai berkembang karena anak mengambil contoh dari kata-kata yang diucapkan orang tua, teman-teman, saudara-saudaranya dan orang-orang lain yang ada di sekitarnya. Dalam penelitian ini juga ditemukan fakta bahwa anak yang berusia dua setengah tahun sudah mampu menghasilkan kalimat pada tingkat satu kata, dua kata, dan tiga kata

(30)

yang sudah memiliki makna yang lengkap. Selain itu, anak juga sudah mampu menghasilkan kalimat dalam modus deklaratif, interogatif dan imperatif.

Nasution (2009) dalam tesis yang berjudul “Kemampuan Berbahasa Anak Usia 3-4 Tahun (Prasekolah) di Play Group Mekar Medan: Tinjuauan Psikolinguistik” menemukan bahwa para responden yaitu anak-anak yang berusia 3-4 tahun di Play Group Tunas Mekar Medan mampu berbahasa baik dari pemerolehan fonologi, sintaksis, maupun semantik. Walaupun pada pemerolehan fonologi anak mengalami pergantian sebuah bunyi yang disuarakan dengan bunyi yang tidak disuarakan. Pada pemerolehan sintaksis anak telah mampu menggunakan kalimat-kalimat yang gramatikal dan pada pemerolehan semantik anak lebih cenderung menggunakan kata-kata yang memiliki makna denotatif.

Pelenkahu (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Pemerolehan Bahasa Pertama Anak Kembar Usia Dua Tahun Delapan Bulan” menemukan bahwa anak kembar usia dua tahun delapan bulan yang menjadi subjek penelitian ini dalam mengujarkan satu, dua dan tiga kata mengawalinya dengan mengujarkan suku kata awal dan akhir secara bergantian. Dalam pemerolehan morfologinya anak sangat tergantung pada pola kehidupan berbahasa yang ada dilingkungan keluarganya, maksudnya sedikit banyaknya bergantung pada pola berbahasa yang dilakukan oleh ibu mereka, kemudian ayah, dan saudara-saudaranya. Kebanyakan kata-kata yang mampu diujarkan merupakan gambaran kegiatan yang dilakukan di dalam kehidupan kedua anak tesebut. Dari hasil penelitian juga diteemukan bahwa kedua anak tersebut kurang memiliki bakat bahasa yang dibawa sejak lahirnya sehingga orang tua perlu mengembangkannya

(31)

agar tidak menglami keterlambatan dalam pemerolehan bahasa yang baik dan benar.

Hutabarat (2011) dalam penelitiannya yan berjudul “Pemerolehan Sintaksis Bahasa Indonesia Anak Usia Dua Tahun Dan Tiga Tahun Di Padang Bulan Medan” menemukan bahwa anak yang berusia dua tahun dan tiga tahn sudah mampu menghasilkan kalimat pernyataan, pertanyaan, dan perintah dalam modus deklaratif, interogatif, imperatif dan interjektif dengan baik, namun anak usia dua tahun lebih banyak menggunakan kalimat pernyataan dalam modus deklaratif dalam komunikasi sehari-hari dengan orang lain. Perbedaan pemerolehan sintaksis bahasa Indonesia anak usia dua tahun dan tiga tahun terletak pada modus kalimat yang mereka hasilkan yaitu dari segi improvisasi dalam kalimat yang mereka gunakan, tingkat kalimat yang mereka hasilkan dan originalitas kalimat yang mereka hasilkan. Dalam menghasilkan kalimat dalam berbagai modus anak usia dua tahun dan tiga tahun dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor alamiah berupa LAD, faktor perkembangan kognitif, faktor latar belakang sosial dan faktor keturunan, yaitu intelegensia dan gaya/cara pemerolehan bahasa.

Semua penelitian terdahulu yang disebutkan di atas sangat membantu penulis untuk menentukan tahap-tahap yang harus dilakukan dalam penelitian ini, karena semua penelitian tersebut menjadikan anak yang berusia 4-5 tahun sebagai subjek penelitian. Dengan adanya penelitian terdahulu tersebut, penulis dapat membandingkan hasil yang didapatkan dalam penelitian ini dengan hasil yang didapat dalam penelitian-penelitian tersebut. Sebagian penelitian tersebut mengkaji tentang penggunaan kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia anak

(32)

usia taman kanak-kanak yang diperoleh melalui media gambar, pola kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia yang digunakan anak dalam memahami media gambar dan faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia anak usia taman kanak-kanak, sehingga hasil yang didapatkan dalam penelitian terdahulu tersebut dapat dibandingkan dengan hasil yang didapatkan dalam penelitian ini.

Gambar

Gambar 1 : Fungsi-Fungsi Otak (Simanjuntak, 2009 : 198)  LD  : Lobus Depan (Frontal)  FB  : Fasikulus Busur  LT  : Lobus Temporal  KM  : Korteks Moto

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu jika di dalam suatu perkara tidak dapat diselesaikan antar kedua belah pihak yang berperkara maka jalan penyelesaian yang harus ditempuh ialah jalur

Studi pustaka merupakan studi literatur dilakukan dengan cara membaca, mengutip, dan pencarian data dan informasi tentang knowledge management untuk memonitoring

Judul Penelitian :Pengembangan Media Pembelajaran Matematika Terintegrasi Nilai-Nilai Islami Pada Materi Trigonometri Untuk Siswa Kelas X MAN 1 Medan. Sasaran Program

Sedangkan, Centroid Linkage adalah metode klaster hierarki yang dapat digunakan pada data yang mengandung outlier, dimana outlier bisa membuat data yang diolah

Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan apabila dikaitkan dengan teori, dalam penerapan petunjuk teknis kegiatan di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Dinas

Faktor risiko tersebut banyak ditemui pada usia pertengahan dimana usia produktif yang sibuk dan jarang menyempatkan diri untuk berolahraga, sehingga angka kejadian

tangga yang memenuhi kriteria: Mengelola usaha pertanian milik sendiri, Mengelola usaha pertanian dengan bagi hasil dan Berusaha dibidang jasa pertanian (Namun data ST2003

Dalam perencanaan sistem distribusi air bersih, beberapa faktor yang harus diperhatikan antara lain daerah layanan dan jumlah penduduk yang akan dilayani, kebutuhan air, letak