• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. masalah bangsa dari masa ke masa dalam rentang waktu yang cukup lama. 1 Korupsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. masalah bangsa dari masa ke masa dalam rentang waktu yang cukup lama. 1 Korupsi"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fenomena korupsi sudah sejak lama ada tetapi baru menarik perhatian dunia sejak berakhirnya perang dunia kedua, dapat dikatakan bahwa korupsi sudah menjadi masalah bangsa dari masa ke masa dalam rentang waktu yang cukup lama.1 Korupsi juga sudah ada sejak Indonesia belum merdeka, buktinya yang menunjukkan korupsi sudah ada pada jaman penjajahan kolonial dikenal adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat. Setelah perang dunia kedua, muncul era baru yakni gejolak korupsi di negara-negara yang sedang berkembang.2

Tindak pidana korupsi di Indonesia sedemikian parah dan akut seperti “penyakit sosial”.3 Diperkuat dengan praktik-praktik korupsi yang diekspos oleh media meningkatkan persepsi terhadap korupsi sudah seperti sebuah penyakit apalagi di akhir masa orde baru bahkan pada orde reformasi saat ini, korupsi hampir dapat ditemui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi. Sehubungan dengan itu, Romli Atmasasmita, menyebutkan:4

1

Efi Laila Kholis., Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, (Jakarta: Solusi Publishing, 2010), hal. 5.

2

Ibid. 3

Juniadi Soewartojo., Korupsi, Pola Kegiatan dan Penindakannya serta Peran Pengawasan Dalam Penanggulangannya, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hal. 4.

4

Romli Atmasasmita., Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, (Bandung: Mandar Maju, 2004), hal. 1.

(2)

Korupsi di Indonesia sudah merupakan virus flu yang menyebar ke seluruh tubuh pejabat pemerintahan sehingga sejak tahun 1960-an langkah-langkah pemberantasannya pun masih tersendat-sendat sampai masa kini. Korupsi berkaitan pula dengan kekuasaan karena dengan kekuasaan itu penguasa dapat menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kroninya. Ditegaskanlah kemudian bahwa korupsi selalu bermula dan berkembang di sektor publik dengan bukti-bukti yang nyata bahwa dengan kekuasaan itulah pejabat publik dapat menekan atau memeras pada pencari keadilan atau mereka yang memerlukan jasa pelayanan dari pemerintah. Korupsi berkaitan erat dengan kekuasaan, dengan menyalahgunakan kekuasaan, menyebabkan perkembangan korupsi sulit diberantas, sebab sistem penyelenggaraan pemerintahan yang tidak tertata secara tertib dan tidak terawasi secara baik. Landasan hukum yang digunakan pun mengandung banyak kelemahan dalam implementasinya. Didukung pula oleh sistem check and balances yang lemah di antara ketiga kekuasaan pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) membuat korupsi menjadi membudaya.5

Korupsi menyebabkan kehancuran lapisan sosial dan hajat hidup orang banyak serta merupakan pelanggaran hak asasi terhadap jutaan rakyat Indonesia. Korupsi semakin ditindak semakin meluas, bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Korpusi semakin terpola dan tersistematis serta terorganisir, lingkupnya meluas ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara, korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), tetapi juga kejahatan transnasional.6

5Ibid

. 6

Marwan Effendy., ”Pengadilan Tindak Pidana Korupsi”, Lokakarya, Anti-korupsi bagi Jurnalis, Surabaya, 2007, hal. 1.

(3)

Korupsi semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya, bahkan dalam bentuk dan ruang lingkupnya, korupsi dapat menjatuhkan sebuah rezim yang menyengsarakan rakyat, menghancurkan perekonomian negara, mengurangi kepercayaan publik dan investor luar negeri.7

Sehubungan dengan korupsi dapat menghancurkan perekonomian suatu negara, Abyadi Siregar, menyebutkan bahwa:8

Masalah korupsi merupakan masalah yang mengganggu dan menghambat pembangunan nasional karena korupsi telah mengakibatkan terjadinya kebocoran keuangan negara yang justru sangat memerlukan dana yang besar di masa terjadinya krisis ekonomi dan moneter. Terpuruknya perekonomian Indonesia yang terus menerus dapat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan di dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara.

Lebih-lebih di negara miskin, korupsi dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi, menghalangi perkembangan ekonomi yang akibat selanjutnya dapat memperburuk kemiskinan dan ketidakstabilan politik. Berbeda halnya korupsi di negara maju tidak terlalu berpengaruh terhadap perekonomian negaranya seperti negara miskin, tetapi korupsi di negara maju tetap saja dapat menggoyahkan keabsahan politik di negara demokrasi yang maju industrinya tersebut. Korupsi dapat pula menghancurkan negara-negara yang sedang berkembang (mengalami transisi) seperti di Indonesia, apabila tidak dihentikan, korupsi dapat menghambat pelaksanaan demokrasi dan stabilitas ekonomi pasar di Indonesia.9

7

Abyadi Siregar., ”Fenomena Korupsi di Indonesia”, Harian Medan Bisnis, tanggal 3 Desember 2009, hal. 7.

8Ibid . 9

Kimberly Ann Elliott., Korupsi dan Ekonomi Dunia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hal. 1-2.

(4)

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) prihatin terhadap masalah korupsi dan menyatakan bahwa korupsi merupakan suatu ancaman terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak lembaga-lembaga dan nilai demokrasi, nilai-nilai etika, dan keadilan serta menghambat pembangunan berkelanjutan (sustainable

development) bagi negara-negara yang menghadapi fenomena korupsi.10

Perkembangan korupsi saat ini dapat dilakukan disertai dengan tindak pidana lain terkait dengan upaya menyembunyikan aset-aset hasil korupsi melalui pencucian uang (money laundering).11 Konvensi PBB mendiskripsikan bahwa masalah korupsi sudah merupakan ancaman serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, melemahkan institusi, dan merusak demokrasi.12

Sebagaimana disebutkan di atas, korupsi sangat berhubungan erat dengan kekuasaan, dibenarkan oleh Sri Soemantri Martosoewingjo, mengatakan bahwa:13

Hampir dua abad yang lalu, Lord Action (John Emerich Edward Delberg-Action) dalam suratnya kepada Bishop Mandell Creighton menulis sebuah ungkapan yang menghubungkan antara “korupsi” dengan “kekuasaan” yakni: “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”, artinya bahwa, “kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut”.

Bertitik tolak dari ungkapan Lord Action tersebut, dibenarkan pula oleh mantan Hakim Agung, Muchsin pada tahun 2006,14 kemudian oleh Miriam

10

Purwaning M. Yanuar., Pengembalian Aset Hasil Korupsi Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 1.

11Ibid

., hal. 47. 12

Lilik Mulyadi., Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 3. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari tindak pidana khusus.

13

Sri Soemantri Martosoewingjo., dalam Ermansyah Djaja., Memberantas Korupsi Bersama Komisi Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 1.

14

(5)

Budiardjo, yang menyatakan, “manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakannya, akan tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan absolut sudah pasti akan menyalahgunakannya”.15

Mengamati kasus-kasus korupsi yang muncul di Indonesia, menunjukkan bahwa korupsi dilakukan oleh orang-orang yang menduduki kekuasaan tertentu, seolah-olah pejabat pelaku korupsi (koruptor) tidak menunjukkan rasa malu dan takut bahkan memamerkan hasil korupsinya.16 Padahal korupsi merupakan masalah yang sangat serius dalam suatu negara, karena tindak pidana korupsi dapat membahayakan stabilitas keamanan negara dan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial, politik dan ekonomi masyarakat, dapat pula merusak nilai-nilai demokrasi, menurunkan tingkat kepercayaan negara-negara di dunia untuk turut serta berinvestasi dalam dunia bisnis.17

Pola tindak pidana korupsi bertitik tolak pada tindakan yang tidak bermoral, tidak etis, dan melanggar hukum,18 maka untuk memberantas tindak pidana korupsi, perlu dilibatkan secara optimal sistem peradilan pidana (criminal justice system)19 meliputi serangkaian tindakan Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga

15

Miriam Budiardjo., Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1977), hal. 99. 16

Soetanto Soepiadhy., ”Gerakan Indonesia Patut”, Artikel Mingguan Pada Kolom Opini

Suara Sejati, Jakarta, Edisi 10 Tahun I Tanggal 16-18 September 2005, hal. 2. 17

Ermansyah Djaja., Op. cit., hal. 3. 18

Juniadi Soewartojo., Op. cit., hal. 5. 19

Romli Atmasasmita., Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hal. 135. Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah suatu kesatuan proses pengadilan pidana yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya dalam penegakan hukum pidana.

(6)

Pemasyarakatan sebagai suatu sub sistim hukum yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.20

Sebagaimana tulisan Lord Action tersebut di atas mengenai hubungan antara korupsi dengan kekuasaan, apabila dikaitkan dengan tindak pidana korupsi atas Dana Program Layanan Dasar (school grant) melalui pengadaan barang-barang yang dilakukan oleh Kepala Sekolah (Umi Kalsum Sitorus) untuk keperluan di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi, dapat dibenarkan.

Kedudukan sebagai Kepala Sekolah memiliki kekuasaan di dalam ruang lingkup kepemimpinannya terhadap sekolah tersebut. Sebagaimana yang dinyatakan di atas, bahwa korupsi erat kaitannya dengan kekuasaan telah terjadi pada diri Kepala Sekolah SMA Negeri 3 Tebing Tinggi dalam lingkup kekuasaannya memimpin di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi yang terjadi terjadi sekitar bulan November 2006.

Laporan Penyidik Satuan Reskrim Unit Tipikor Polresta Tebing Tinggi pada tanggal 9 Juli 2007, dijelaskan sekitar bulan Desember 2006 diduga telah terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Umi Kalsum Sitorus di Sekolah Menengah Kejuruan Kota Tebing Tinggi dengan mempergunakan Dana Program Layanan Dasar (school grant) tahun 2006 dari Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara dalam

20

IGM Nurdjana., Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi ”Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 12.

(7)

pelaksanaan pengadaan barang-barang untuk keperluan di Sekolah Menengah Kejuruan Kota Tebing Tinggi.21

Dana yang dikorupsi adalah dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2006 dari Dinas Pendidikan Menegah dan Kejuruan Propinsi Sumatera Utara yang disebut dengan Dana Program Layanan Dasar (school grant) sebesar Rp.35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah) yang pada peruntukannya digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi.

Dana sejumlah Rp.35.000.000,- tersebut diterima Kepala Sekolah untuk dikelola dalam membelanjakan barang-barang yang diperlukan di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi, akan tetapi Umi Kalsum Sitorus sebagai Kepala Sekolah, melakukan penggelembungan harga-harga pembelian barang-barang di dalam faktur pembelian.

Dikatakan demikian karena dalam Laporan Pertanggungjawaban Penggunaan school grant melebihi harga standar di pasaran (penggelembungan harga) dan berdasarkan hasil penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh Tim Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Sumatera Utara selaku pejabat Auditor menyebutkan bahwa negara Republik Indonesia dalam hal ini

21

Berkas Perkara Nomor Pol: BP/174/VII/2007/Reskrim, Kepolisian Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Resor Kota Tebing Tinggi, hal. 1

(8)

Dinas Pendidikan Sumatera Utara telah mengalami kerugian sebesar Rp.7.900.743,- (tujuh juta sembilan ratus ribu tujuh ratus empat puluh tiga rupiah).22

Umi Kalsum Sitorus didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam dakwaan primair dan subsidair. Dalam dakwaan primair JPU mendakwakan Pasal 2 junto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya ditulis UUPTPK) sedangkan dalam dakwaan subsidair JPU mendakwakan Pasal 3 junto Pasal 18 UUPTPK.23

Perkara tindak pidana korupsi, dalam putusan Nomor: 301/Pid.B/2008/PN.TTD, terhadap Umi Kalsum Sitorus, Majelis Hakim memutuskan dan menyatakan bahwa dalam dakwaan primair, terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi melainkan Hakim memutuskan dan menjatuhkan dakwaan subsidair yakni Pasal 3 Junto Pasal 18 UUPTPK. Majelis Hakim menjatuhkan pidana denda Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) dan menghukum untuk membayar uang

22

Hasil perhitngan kerugian keuangan negara atas dugaan tindak pidana korupsi Penggunaan Dana Program Layanan Dasar (school grant) oleh Tim Badan Pengawasan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Procinsi Sumatera Utara Nomor R-1651/PW.02/5/2007, tanggal 25 Juni 2007. Dari jumlah total Dana Program Layanan Dasar (school grant) adalah Rp.35.000.000,-, dikeluarkan untuk perhitungan sesuai dnegan nominal dalam faktur/kwitansi Rp.23.655.600,- untuk pembayaran pajak Rp.3.443.657,- sehingga jumlah total pengeluaran Rp.27.099.257,- dari perhitungan tersebut maka jumlah total kerugian keuangan negara Rp.7.900.743,-.

23

Surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum Reg. Perk. No: PDS-02/Ft.1/TBING/12/2007, tanggal 24 Pebruari 2009. Terdakwa Umi Kalsum Sitorus, didakwa berdasarkan Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 18 UUPTPK. Unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 UUPTPK adalah: setiap orang; secara melawan hukum; melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; dan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Sedangkan unsur-unsur tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 3 UUPTPK adalah: setiap orang; menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan; dan dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

(9)

pengganti sebesar Rp.7.900.743,- (tujuah juta sembilan ratus ribu tujuh ratus empat puluh tiga rupiah) serta pidana penjara 1 (satu) tahun tetapi tidak akan dijalankan melainkan Majelis Hakim mempersyaratkan bahwa pidana 1 (satu) tahun tersebut akan dijalankan apabila terdakwa melakukan perbuatan yang dapat dipidana sebelum masa 2 (dua) tahun terakhir.24 Oleh Hakim pada sidang pengadilan tingkat banding di Pengadilan Tinggi Sumatera Utara menguatkan putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi tersebut.25

IGM Nurdjana, meyatakan bahwa korupsi harus diberantas dan dalam memberantas korupsi perlu dilibatkan secara optimal sistem peradilan pidana yang meliputi unsur-unsur substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum.26 Khusus dalam hal struktur hukum, penerapan hukum didasarkan kepada berbagai peraturan perundang-undangan hukum formil dan materil dimana terdapat berbagai lembaga/institusi yang memiliki tugas dan fungsi serta wewenang dalam menegakkan hukum korupsi (UUPTPK) yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan lembaga terkait seperti: BPK, BPKP, PPATK, termasuk pula lembaga advokasi, LSM, lembaga kontrol internal dan eksternal lainnya.

Berkaitan dengan tindak pidana korupsi tersebut, Polisi sebagai aparat penegak hukum berperan melakukan serangkaian tindakan penyelidikan dan penyidikan, sebab fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di

24

Putusan Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Nomor: 301/Pid.B/2008/PN.TTD. 25

Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Utara Nomor: 674/PID/2009/PT-MDN. 26

(10)

bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.27

Kepolisian Negara Republik Indonesia dibentuk bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.28 Sehubungan dengan itu, Pasal 5 UU Kepolisian menentukan:

(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Kaitannya dengan penegakan hukum sebagai salah satu fungsi Kepolisian dalam hal perkara tindak pidana korupsi di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Kota Tebing Tinggi atas Dana Dekontrasi APBN tahun 2006 dari Dinas Pendidikan Menegah dan Kejuruan Propinsi Sumatera Utara yang disebut dengan Dana Program Layanan Dasar (school grant), Penyidik mengemban amanah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

27

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (UU Kepolisian). 28

(11)

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.29

Penyelenggaraan pendidikan dimaksud, didasarkan kepada prinsip-prinsip sebagai berikut:30

(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.

(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.

(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.

(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.

(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.

Berdasarkan fungsi, tujuan, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan di atas, maka dalam mewujudkan pendidikan yang baik melibatkan semua pihak termasuk peran serta Kepolisian khususnya penegakan hukum korupsi yang terjadi di di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Kota Tebing Tinggi terhadap Dana Dekontrasi APBN tahun 2006 dari Dinas Pendidikan Menegah dan Kejuruan Propinsi Sumatera Utara yang disebut dengan Dana Program Layanan Dasar (school grant).

Penting untuk diteliti mengenai peran Polisi khususnya penyidik Polresta Tebing Tinggi sebagai bagian dari struktur hukum memberantas tindak pidana

29

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).

30

(12)

korupsi yang dilakukan oleh Umi Kalsum Sitorus. Sebagai penyidik, selain Polisi, banyak lembaga/instansi terkait yang dapat berperan misalnya Kejaksaan, dan KPK. Terdapatnya berbagai institusi penyidik tersebut yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana, menurut Pope, harus pula disesuaikan dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing institusi.31

Salah satu tugas pokok Polisi adalah ”menegakkan hukum”.32 Mengenai penegakan hukum itu, kemudian dipertegas lagi dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g UU Kepolisian, bahwa tugas pokok sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 13 mencakup dalam hal ”melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”. Tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana khusus, dalam UU Kepolisian ada disebutkan mengenai tugas polisi khusus tersebut misalnya dalam Pasal 3 disebutkan polisi khusus yang disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan, dalam Pasal 14 ayat (1) huruf f, Pasal 15 ayat (1) huruf f, Pasal 15 ayat (2) huruf g, dan lain-lain.

Polresta Tebing Tinggi memiliki dasar dalam melakukan peran (penyelidikan dan penyidikan) atas perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Umi Kalsum Sitorus sebagai Kepala SMA Negeri 3 Tebing Tinggi atas penggelembungan harga-harga barang-barang dalam pembangunan gedung sekolah, sehubungan dengan itu, maka sangat penting untuk dilakukan penelitian tentang ”Peran Kepolisian Dalam

31

P. Pope., Strategi Pemberantasan Korupsi Elemen Sistem Integrias Nasional, (Jakarta: Transparansi Internasional Indonesia, Yayasan Obor Pancasila, 2003), hal. 71.

32

(13)

Penyidikan Tindak Pidana Korupsi (Studi Terhadap Pengadaan Barang Di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi)”, sebagaimana yang telah diuraikan di atas.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil tiga pokok permasalahan, yaitu:

1. Bagaimanakah pengaturan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001?

2. Bagaimanakah peranan Penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang-barang keperluan untuk Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi?

3. Apakah hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Polisi dalam melakukan penanganan tindak pidana korupsi pengadaan barang-barang untuk SMK Negeri 3 Tebing Tinggi?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat pada perumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

(14)

1. Untuk mengetahui dan memahami pengaturan tindak pidana korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;

2. Untuk mengetahui dan menganalisis peranan Penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang-barang keperluan untuk Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi; dan

3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Polisi dalam melakukan penanganan tindak pidana korupsi pengadaan barang-barang untuk SMK Negeri 3 Tebing Tinggi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat kepada para pihak, baik secara teoritis maupun praktis, manfaat tersebut adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum khususnya pemahaman tentang peran Penyidik dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Kepala Sekolah Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi dalam pengadaan barang-barang keperluan sekolah. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bagi peneliti selanjutannya serta dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga sebagai kontribusi bagi penyempurnaan perangkat peraturan mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia;

(15)

2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum khususnya aparat Penyidik, agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang peranan lembaga Kepolisian sebagai institusi yang diharapkan dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, meliputi pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenangnya.

E. Keaslian Penulisan

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka sebelumnya, peneliti telah melakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, dan di perpustakaan Pascasarjana Ilmu Hukum USU. Berdasarkan penelusuran ditemukan judul yang berkenaan dengan tindak pidana korupsi, yaitu “Kewenangan Polri Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” atas nama Rumida Sianturi NIM: 077005105 yang membahas kewenangan Polri, Jaksa, dan KPK dalam memberantas tindak pidana korupsi serta hambatan-hambatan Polri dalam melakukan penyidikan.

Berbeda dengan fokus dalam penelitian ini yang membahas tentang peranan Penyidik dalam penanganan tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang-barang keperluan untuk Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 3 Tebing Tinggi, dan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Polri. Oleh karena itu, penelitian ini tidak memiliki kemiripan judul dan permasalahan yang sama dengan penelitian terdahulu. Judul dan permasalahan di dalam penelitian ini, dinyatakan asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis pihak lain.

(16)

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Sistim hukum (legal system) yang mendominasi negara-negara di dunia membedakan dua sistim hukum, pertama, civil law (Continental Europe Legal System) yang didominasi hukum perundang-undangan, kedua, common law (Anglo-American Legal System) yang didominasi hukum tidak tertulis dan putusan-putusan pengadilan terdahulu (precedent).

Sistim hukum menurut R. Subekti,33 adalah suatu susunan atau tatanan yang teratur, suatu keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu pemikiran untuk mencapai suatu tujuan. Sistim hukum menurut Sudikno Mertokusumo,34 adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan.

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra,35 lebih jauh mengatakan bahwa pada hakekatnya sistem hukum merupakan suatu kesatuan sistem besar yang tersusun atas sub-sub sistem yang kecil, yaitu sub sistem pendidikan, pembentukan hukum, penerapan hukum, dan lain-lain, yang hakekatnya merupakan sistem tersendiri pula. Hal ini menunjukkan sistem hukum sebagai suatu kompleksitas sistem yang membutuhkan kecermatan yang tajam untuk memahami keutuhan prosesnya.

33

R. Subekti., dalam H. Ridwan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999), hal. 169.

34Ibid. 35

Lili Rasjidi., dan I.B. Wyasa Putra., Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hal. 151.

(17)

Tiga komponen dalam sistim hukum menurut Lawrence M. Friedman, yaitu:36 1. Struktur hukum, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta

aparatnya, mencakup antara lain Kepolisian dengan para Polisinya, Kejaksaan dengan para Jaksanya, Pengadilan dengan para Hakimnya, dan lain-lain; 2. Substansi hukum, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum, dan asas

hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan;

3. Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.

Hukum mampu dipakai di tengah masyarakat, jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Hukum tersusun dari sub sistem hukum yakni, struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Unsur sistem hukum atau sub sistim sebagai faktor penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak. Struktur hukum lebih menekankan kepada kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, substansi hukum menyangkut segala aspek-aspek pengaturan hukum atau peraturan perundang-undangan, dan budaya hukum menyangkut perilaku masyarakatnya.37

Teori tujuan hukum timur berbeda dengan tujuan hukum barat. Teori tujuan hukum timur umumnya tidak menempatkan ”kepastian” tetapi hanya menekankan pada tujuan yakni, ”Keadilan adalah keharmonisan, dan keharmonisan adalah

36

Lawrence M. Friedman., dalam Achmad Ali., Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 204.

37

Lawrence M. Friedman., diterjemahkan oleh Wishnu Basuki., Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9.

(18)

kedamaian”. Hal ini berbeda dengan tujuan hukum barat yang menghendaki ”kepastian”. Tujuan hukum negara timur misalnya Jepang, tetap menggunakan kultur hukum aslinya.38

Tujuan hukum di negara Indonesia memiliki kesamaan dengan konsep tujuan hukum barat, sebab sistim hukum yang berlaku adalah civil law hal ini dikenal dengan adanya asas konkordansi dalam penciptaan hukum yang ”pasti”.39 Indonesia seolah-olah terpaksa menggunakan konsep tujuan hukum barat, walaupun saat ini hukum di Indonesia sudah mulai berkembang ke arah konsep menciptakan hukum yang harmonis dalam masyarakat, namun dengan adanya perundang-undangan yang masih tetap berlaku, menunjukkan fakta bahwa Indonesia tetap mengadopsi tujuan hukum barat yakni ”kepastian”.40

Struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum merupakan elemen-elemen penting dalam penegakan hukum, jika salah satu elemen-elemen dari tiga kompenen ini tidak bekerja dengan baik, dapat mengganggu sistim hukum, hingga pada akhirnya terjadi kepincangan hukum. Komponen-komponen sistim hukum menurut Soerjono Soekanto,41 merupakan bagian faktor-faktor penegakan hukum yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.

38

Achmad Ali., Op. cit., hal. 212-213. 39Ibid

., hal. 212-213. 40Ibid

., hal. 213. 41

Soerjono Soekanto., Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta, Rajawali, 1983), hal. 5.

(19)

Kepolisian sebagai salah satu bagian dari struktur hukum dalam sistim hukum, mempunyai kedudukan yang sentral dan posisi yang strategis di dalam suatu negara hukum karena institusi Kepolisian sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.42

Ketiga-tiga komponen/elemen di atas dalam legal system, menunjukkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan belaka (machtsstaat).43 Franz Magnis Suseno,44 mengatakan ”salah satu kekuasaan negara antara lain adalah Kepolisian, maka harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil karena hukum menjadi landasan segenap tindakan lembag-lembaga negara dan hukum itu sendiri harus benar dan adil”.

Norma di atas bermakna bahwa di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hukum merupakan urat nadi dalam aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara. Hukum, sebagai suatu sistem,45 dapat berperan dengan baik dan benar di tengah masyarakat jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Salah satu penegakan hukum itu adalah Kepolisian sebagai penyidik.

42

Pasal 2 UU Kepolisian. 43

Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. 44

Frans Magnis Suseno., Etika Politik Prinsip-Prinsip Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hal. 295.

45

(20)

Teori legal system dalam kaitannya dengan peran Polisi atas tindak pidana pidana, menurut Pasal 3 ayat (1) huruf b UU Kepolisian, Polisi diberi tugas sebagai penyidik atas tindak pidana. Secara yuridis, M. Yahya Harahap, menyebutkan bahwa penyidikan berarti serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terangnya tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menentukan tersangka atau pelaku tindak pidana.46

Penyidikan sama dengan apsporing (Belanda), namun menyidik (apsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat penyidik yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum.47 Sedangkan penyidik adalah orang yang melakukan penyidikan atau penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.48

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, mendifinisikan penyidik adalah pejabat Polisi negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.49

46

M. Yahya Harahap., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal. 109.

47

Andi Hamzah., Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 121.

48

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (UU Kepolisian).

49

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Lembaran Negara RI Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3209.

(21)

Sedangkan yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang dalam dalam undang-undang (KUHAP) untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka.50 Penyidikan berbeda dengan penyelidikan, penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam hukam acara pidana.51

Perbedaan antara penyelidikan dengan penyidikan dapat dilihat dari tujuannya dimana bahwa tujuan penyidikan adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka, sedangkan tujuan penyelidikan adalah untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan.

Pasal 4 KUHAP menyebutkan bahwa penyelidik adalah pejabat Polisi negara Republik Indonesia. Mengenai siapa pejabat kepolisian yang berwenang untuk melakukan penyidikan, KUHAP tidak merincikannya dalam Pasal 6 KUHAP hanya disebutkan penyidik adalah pejabat Polisi negara Republik Indonesia yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Menurut Pasal 2A ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58

50Ibid

., Pasal 1 angka 2 KUHAP. 51

(22)

Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, calon harus memenuhi persyaratan:

1. Berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara;

2. Bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua) tahun;

3. Mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi fungsi reserse kriminal;

4. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; dan

5. Memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditunjuk dapat menunjuk Inspektur Dua Polisi lain sebagai penyidik, apabila dalam suatu satuan kerja tidak ada Inspektur Dua Polisi yang berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang setara.52 Kepala Sektor Kepolisian yang berpangkat Bintara di bawah Inspektur Dua Polisi karena jabatannya bertindak sebagai penyidik, apabila pada suatu sektor Kepolisian tidak ada penyidik yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2A ayat (1).53

Terdapat pada Pasal 10 yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu di samping penyidik. Sedangkan untuk tindak pidana korupsi yang termasuk tindak pidana khusus (lex specialis) maka selain penyidik Polri yang diatur dalam KUHAP, ditambah dengan jaksa dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasal 6 KUHAP

52

Pasal 2B Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

53

(23)

mengatur siapa yang berhak menjadi penyidik ditinjau dari instansi maupun kepangkatan. Pasal 6 KUHAP, menentukan:54

1. Pejabat Penyidik Polri. Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP, salah satu instansi yang diberi kewenangan melakukan penyidikan ialah pejabat Polisi negara. Hal ini agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik harus memenuhi syarat kepangkatan, hal itu ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2), namun KUHAP sendiri belum mengatur syarat kepangkatan yang dikehendaki Pasal 6 tersebut. Syarat kepangkatan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana disebutkan di atas, untuk itu Pasal 6 telah memberi petunjuk supaya dalam menetapkan kepangkatan, pejabat penyidik disesuaikan dengan kepangkatan Penuntut Umum dan Hakim Pengadilan Negeri.

2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, yaitu PNS yang diberi fungsi dan wewenang sebagai penyidik, pada dasarnya wewenang yang mereka miliki bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang bagi penyidik Pegawai Negeri Sipil disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) yang berbunyi, “Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan hukumnya dan dalam pelaksanaan tugas berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri”.

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b inilah oleh PP No. 58 Tahun 2010, disebut dengan PPNS, agar dapat diangkat sebagai pejabat PPNS, calon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:55

1. Masa kerja sebagai pegawai negeri sipil paling singkat 2 (dua) tahun; 2. Berpangkat paling rendah Penata Muda/golongan III/a;

3. Berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang setara; 4. Bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum;

54

M. Yahya Harahap., Op. cit., hal. 115. Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kepolisian sebagai penyidik pembantu menurut Yahya Harahap haruslah mereka yang mempunyai keahlian dibidang tertentu. Tanpa syaraat tersebut tidak ada alasan untuk mengangkat mereka menjadi pejabat penyidik pembantu.

55

(24)

5. Sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter pada rumah sakit pemerintah;

6. Setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan pegawai negeri sipil paling sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir; dan

7. Mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di bidang penyidikan.

Persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 3A ayat (1) tersebut di atas, diajukan kepada Menteri oleh pimpinan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membawahi pegawai negeri sipil yang bersangkutan.56 Persyaratan tersebut diselenggarakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia bekerja sama dengan instansi terkait.57

KPK juga diberikan wewenang melakukan penyidikan khususnya tindak pidana korupsi. Penyidik KPK diangkat dan diberhentikan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UUKPK). Pasal 6 huruf c UUKPK ditentukan, salah satu tugas KPK adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Pasal 8 ayat (2) UUKPK ditentukan bahwa dalam melaksanakan wewenangnya KPK berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan.

Hal yang menarik dari kewenangan ketiga instansi antara Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK dalam hal tindak pidana korupsi dalam hal pengambilalihan

56Ibid

., Pasal 3A ayat 2 PP No. 58 Tahun 2010. 57

(25)

penyidikan dan penuntutan oleh KPK atas tindak pidana korupsi dialasankan kepada:58

1. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; 2. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau

tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

3. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

4. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

5. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau

6. Keadaan lain yang menurut pertimbangan Kepolisian atau Kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan UU No16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Kejaksaan berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi berdasarkan undang-undang.59 Hal ini merupakan bentuk hubungan koordinasi fungsional ketiga institusi dalam penyidikan diatur dalam KUHAP adalah: pemberitahuan dimulainya penyidikan, perpanjangan penahanan, pemberitahuan penghentian penyidikan, dan penyerahan berkas perkara.60

Hubungan koordinasi ketiga intitusi tersebut merupakan rangkaian kegiatan yang secara organisatoris dilakukan oleh lembaga-lembaga peradilan yang terkait dalam sistem peradilan pidana. Sebagai suatu sistem maka suatu sistem yang utuh

58

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUKPK).

59

Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU No.31 Tahun 1999 junto UU No.20 Tahun 2001, dan UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

60

(26)

terdiri dari sub sistem-sub sistem yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan (hakim) dan lembaga pemasyarakatan. Tugas dan wewenang sub sistem tersebut saling terkait dan bertalian satu sama lain, dalam arti adanya suatu koordinasi fungsional dan instansional serta adanya sinkronisasi dalam pelaksanaan. Oleh sebab itu, maka hubungan koordinasi instansional dalam sub sitem tersebut dapat berupa: rapat kerja gabungan antar instansi aparat penegak hukum; dan penataran gabungan dan lain-lain.61

Pasal 1 butir 8 KUHAP telah menggariskan pembagian tugas dan wewenang masing-masing instansi aparat penegak hukum, Polisi berkedudukan sebagai instansi penyidik dan Kejaksaan berkedudukan sebagai aparat penuntut umum dan pelaksana eksekusi putusan pengadilan, sedang hakim adalah pejabat peradilan yang diberi wewenang untuk mengadili.

Sekalipun KUHAP menggariskan pembagian wewenang secara instansional, KUHAP sendiri memuat ketentuan yang menjalin instansi-instansi penegak hukum dalam suatu hubungan kerja sama yang dititikberatkan bukan hanya untuk menjernihkan tugas wewenang dan efisiensi kerja, tetapi juga diarahkan untuk terbinanya suatu sistem aparat penegak hukum yang dibebani tugas dan tanggung jawab saling mengawasi antara instansi terkait. Bahkan sistem ini bukan hanya meliputi antar instansi pejabat penegak hukum Polisi, Jasa atau Hakim saja tetapi sampai pejabat lembaga pemasyarakatan, penasihat hukum dan keluarga tersangka atau terdakwa.

61

(27)

Memperkecil terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang pelaksanaan penegakan hukum, KUHAP mengatur sistem pengawasan berbentuk sistem “ceking” yang merupakan koordinasi fungsional dan instansional. Hal ini berarti masing-masing instansi sama berdiri sejajar, antar instansi yang satu dengan instansi yang lain tidak berada di atas atau di bawah instansi lainnya. Koordinasi pelaksanaan fungsi penegakan hukum antar instansi saling mematuhi ketentuan wewenang dan tanggung jawab demi kelancaran proses penegakan hukum. Achmad Ali, mangatakan, harus ada dua unsur dalam sistim hukum yaitu:62

1. Profesionalisme, yaitu merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok aparat penegak hukum; dan

2. Kepemimpinan, juga merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum, utamanya kalangan petinggi hukum. Keterikatan masing-masing instansi antara yang satu dengan yang lain semata-mata dalam proses penegakan hukum. Kelambatan, kekeliruan, tidak profesional, dan tidak memiliki kepemimpinan, pada satu instansi mengakibatkan rusaknya jalinan pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi penegakan hukum dalam sistim hukum. Konsekuensinya adalah instansi yang bersangkutan dalam menangani perkara yang tidak berjalan, akan memikul tanggung jawab kelalaian dan kekeliruan tersebut dalam sidang praperadilan.

Koordinasi sesama aparat penegak hukum dilaksanakan dengan semboyan “saling asah, asih, dan asuh”. Dalam menjalin koordinasi tersebut, wadah bagi para

62

(28)

aparat penegak hukum antara lain di pusat ada MAKEHJAPOL (Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan dan Kepolisian) dan dii daerah disebut RAKORGAKKUM (Rapat Koordinasi Penegak Hukum).63

Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga negara Indonesia, akan tetapi dalam hal melakukan litigasi dalam pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum. Sebagaimana disebutkan oleh Soerjono Soekanto, bahwa:64

Aparat negara yang berwenang dalam pemeriksaan perkara pidana adalah aparat Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Polisi, Jaksa dan Hakim merupakan tiga unsur penegak hukum yang masing-masing mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam menjalankan tugasnya unsur aparat penegak hukum tersebut merupakan sub sistem dari sistem peradilan pidana. Dalam rangka penegakan hukum, masing-masing sub sistem tersebut mempunyai peranan yang berbeda-beda sesuai dengan bidangnya serta sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, akan tetapi secara bersama-sama mempunyai kesamaan dalam tujuan pokoknya yaitu menanggulangi dan memberantas kejahatan dan pemasyarakatan kembali terhadap narapidana. Bekerjanya masing-masing sub sistem tersebut harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya.

Hukum dan penegakan hukum merupakan sebagian faktor yang tidak bisa diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. Keberadaan institusi Kepolisian sebagai salah satu unsur dari sistem peradilan pidana sebagai sistim hukum mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam suatu negara hukum karena lembaga Kepolisian menjadi ujung tombak dalam proses penyelidikan dan penyidikan menuju proses pemeriksaan di persidangan, sehingga keberadaannya dalam kehidupan masyarakat harus mampu

63

http://www.theceli.com/index.php?option=com_docman&task=doc_download&gid=178, diakses terakhir tanggal 31 Desember 2010.

64

(29)

mengemban tugas penegakan hukum untuk membuat berita acara yang baik dan adil.65

Teori peranan (role theory), mengatakan peranan merupakan sekumpulan tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu posisi tertentu. Peranan yang berbeda membuat jenis tingkah laku atau tata kerja yang berbeda pula. Polri memiliki peran yang harus sesuai dengan fungsi dan wewenangnya dimana bahwa sebagai institusi negara, Polisi dalam menjalankan tugasnya harus sesuai dengan aturan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.66

Setiap orang, lembaga, institusi dan lain-lain mempunyai peran pada masing-masing kedudukannya, lembaganya, atau institusinya. Selain berperan dalam sistem keamanan nasional, menjaga stabilitas keamanan, menciptakan kondisi negara dalam keadaan tidak kacau sehingga tujuan pembangunan nasional dapat berjalan dengan baik, Kepolisian juga berperan dalam menegakkan hukum.67

Menurut UU Kepolisian, pemeliharaan keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi Kepolisian meliputi pemeliharaan keamanan, ketertiban, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

65Ibid

., hal. 2. 66

Indria Samego., Peranan Polri Dalam Kerangka Kerja Sistem Keamanan Nasional, (Jakarta: Kepolisian Negara Republik Indonesia, 2006), hal. 1.

67

(30)

Jauh sebelumnya Plato, menyebutkan, ada 3 (tiga) kekuatan sosial yang sangat mempengaruhi stabilitas suatu negara. Tiga kekuatan sosial itu adalah: militer (angkatan bersenjata); kaum intelektual; dan kaum interpreneur (pengusaha).68 Pembangunan di Indonesia dapat berjalan dengan baik sesuai dengan yang diamanatkan Pancasila dan UUD 1945 beserta amandemennya, apabila ketiga-tiga kekuatan sosial di atas dapat dijalankan sesuai dengan perannya.69

Polisi berperan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Kepolisian Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penyelidikan dan penyidikan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun. Dalam penyidikan tindak pidana korupsi harus dilaksanakan secara bebas dan merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Kepolisian sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi.70

68

Sanoesi., Almanak Kepolisian Republik Indonesia, Berdasarkan Kadislitbang Polri No. Pol. B/394/IX/Dislitbang, (Jakarta: PT. Dutarindo ADV, 1987), hal. 342.

69Ibid . 70

(31)

2. Landasan Konsepsional

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa istilah sebagai landasan konsepsional untuk menghindari kesimpangsiuran pemahaman mengenai definisi atau pengertian serta istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berkut:

a. Tindak pidana adalah semua perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut.71

b. Tindak pidana korupsi adalah suatu tingkah laku dan atau tindakan seseorang yang tidak mengikuti atau melanggar norma-norma yang berlaku serta mengabaikan rasa kasih sayang dan tolong-menolong dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat dengan mementingkan diri pribadi/keluarga/kelompok/golongannya dan yang tidak mengikuti atau mengabaikan pengendalia diri sehingga kepentingan lahir dan batin atau jasmani dan rohaninya tidak seimbang, tidak serasi, dan tidak selaras, dengan mengutamakan kepentingan lahir berupa meletakkan nafsu duniawi yang berlebihan sehingga merugikan keuangan atau kekayaan negara dan/atau kepentingan masyarakat atau negara, baik secara langsung maupun tidak langsung.72

c. Peranan adalah sekumpulan tingkah laku yang dihubungkan dengan suatu posisi tertentu.73

71

Moeljatno., dalam E.Y. Kanter., dan S.R. Sianturi., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya”, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 208.

72

Juniadi Soewartojo., Op. cit., hal. 11. 73

(32)

d. Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga Polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.74

e. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.75

f. Keuangan negara adalah segala harta atau kekayaan negara termasuk segala hak-hak negara yang dapat dinilai dengan uang, benda-benda lain baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang dapat diformulasikan dalam bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta termasuk pula Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).76

g. Kerugian keuangan negara adalah semua kekayaan negara yang dirugikan akibat tindakan oleh seseorang atau kelompok tertentu.77

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.78 Sedangkan

74

Pasal 1 angka 1 UU Kepolisian. 75

Pasal 1 angka 1 KUHAP. 76

Arifin P. Soeria Atmadja., Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum Teori, Praktik dan Kritik, (Jakarta: FH UI, 2005), hal. 22. Lihat juga Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

77

Eddy Milyadi Soepardi., “Memahami Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi”, Makalah disampaikan dalam ceramah ilmiah pada Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor, tanggal 24 Januari 2009, hal. 3.

(33)

penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.79 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.80 Dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu.

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan atau disebut juga sebagai penelitian doktrinal.81 Alasan penggunaan penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif ini didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data-data sekunder yang meliputi:

78

Soerjono Soekanto., Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, (Jakarta: Indonesia Hillco, 1990), hal. 106.

79

Soerjono Soekanto., dan Sri Mumadji., Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1.

80

Bambang Waluyo., Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6. 81

Bismar Nasution., ”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003, hal. 1.

(34)

1. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (UU Kepolisian), dan Keppres No.80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah hasil-hasil seminar, Putusan Nomor 301/Pid.B/2008/PN.TTD, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Nomor Pol.: BP/174/VII/2007/Reskrim tanggal 25 Juli 2007, majalah, jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, surat kabar, dan majalah mingguan, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan;

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti ensiklopedia dan kamus umum sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen-dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan identifikasi data atau kasus-kasus yang ada. Data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal dalam UUPTPK yang

(35)

mengandung kaedah-kaedah hukum yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang sedang dihadapi dan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan dalam penelitian ini.

4. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif yakni pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam undang-undang terpenting yang relevan dengan permasalahan. Kemudian membuat sistematika dari data-data tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data yang kemudian disimpulkan secara deduktif sehingga permasalahan akan dapat dijawab.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun dari hasil wawancara yang didapatkan dari 20 Mahasiswa tingkat pertama yang tinggal di Pondok Pesantren, didapatkan bahwa selain berdo’a beberapa Mahasiswa saat

Metode AHPAdalah metode untuk memecahkan suatu situasi yang komplek tidak terstruktur kedalam beberapa komponen dalam susunan yang hirarki, dengan memberi nilai subjektif tentang

“Pengaruh Kesiapan Belajar dan Kecerdasan Emosional Terhadap Hasil Belajar (Survey pada Mahasiswa Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis Universitas Pendidikan

Pengamatan tangkai buah nenas sangat penting karena pada karakter tangkai buah dengan diameter sempit dan ukuran tangkai tinggi serta karakter bagian buah yang besar

tentunya semakin kentara ketika banyak pakar hukum atau para legal consultant banyak dilibatkan dalam perancangan hingga penyusunan sebuah kontrak bisnis maupun mengawal

Karakter agronomik yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah anakan total, jumlah anakan produktif, umur berbunga, panjang malai, jumlah gabah per malai, bobot

Tujuan penelitian ini adalah: 1) mengetahui pengaruh economic performance terhadap pengungkapan CSR Perusahaan Sektor Aneka Industri Subsektor Otomotif dan Komponen di BEI

Berdasarkan hasil penelitian tentang penerapan model pembelajaran Connecting, Organizing, Reflecting, and Extending (CORE) untuk meningkatkan kemampuan