• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. rangsangan lainnya (Guyton & Hall, 1997). Selain itu tidur memiliki urutan. menekan pusat otak agar dapat tidur dan bangun.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. rangsangan lainnya (Guyton & Hall, 1997). Selain itu tidur memiliki urutan. menekan pusat otak agar dapat tidur dan bangun."

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Fisiologi Tidur 1.1 Definisi

Tidur merupakan keadaan seseorang saat berada pada keadaan bawah sadar yang dapat dibangunkan kembali apabila orang tersebut mengalami respon terhadap rangsangan dari luar seperti rangsangan sensorik ataupun rangsangan lainnya (Guyton & Hall, 1997). Selain itu tidur memiliki urutan siklus yang berulang-ulang selama periode tertentu (Potter & Perry, 2005).

Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh adanya hubungan mekanisme serebral yang secara bergantian untuk mengaktifkan dan menekan pusat otak agar dapat tidur dan bangun.

Salah satu aktvitas tidur ini diatur oleh sistem pengaktivasi retikularis yang merupakan sistem yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat termasuk pengaturan kewaspadaan dan tidur. Pusat pengaturan kewaspadaan dan tidur terletak dalam mesensefalon dan bagian atas pons. Selain itu, reticular activating system (RAS) dapat memberi rangsangan visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses pikir.

Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin. Demikian juga pada saat tidur, disebabkan adanya pelepasan serum serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan

(2)

batang otak tengah, yaitu bulbar synchronizing regional (BSR), sedangkan bangun tergantung dari keseimbangan impuls yang diterima di pusat otak dan system limbik. Dengan demikian, system pada batang otak yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah RAS dan BSR (Hidayat, 2006).

1.2 Fungsi tidur

Siklus tidur-bangun akan mempengaruhi fungsi fisiologi, respons perilaku, dan kemampuan seseorang untuk berkonsentrasi membuat keputusan serta melakukan kegiatan sehari – harinya. (Potter & Perry, 2005). Saat sakit kebutuhan tidur seseorang penting, hal ini disebabkan karena tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang brfungsi untuk memulihkan kesehatan seseorang (Tarwoto, 2006) agar dapat kembali pada keadaan yang optimal (Priharjo, 1993). Selain itu tidur berfungsi untuk memulihkan keseimbangan alami di antara pusat-pusat neuron (Guyton, 2007).

1.3 Tahapan tidur

Tahapan tidur dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian yaitu Non Rapid Eye Movement (NREM) dan Rapid Eye Movement (REM). Tidur NREM terdiri dari empat tahapan. Kualitas tidur akan semakin menjadi dalam mulai dari tahap satu sampai tahap empat. Tidur yang dangkal terjadi pada tahap satu dan tahap dua, pada tahap ini seseorang akan lebih mudah terbangun. Sedangkan pada tahap tiga dan empat prroses melibatkan tidur yang dalam disebut tidur gelombang rendah, dan seseorang sulit terbangun. Tidur REM merupakan fase terakhir siklus tidur dan terjadi pemulihan psikologis (Potter & Perry, 2003).

(3)

Tahapan tidur memiliki karakteristik tertentu yang dianalisis dengan bantuan Electroencefalograph (EEG) yang menerima dan merekam gelombang otak, electrooculograph (EOG) yang merekam pergerakan mata dan electromyograph (EMG) yang merekam tonus otot (Lilis, 2001).

Tidur Non Rapid Eye Movement (NREM). Tahapan tidur NREM dibagi menjadi 4 tahap :

Tahap satu NREM merupakan tahap transisi antara bangun dan tidur dimana seseorang masih sadar dengan lingkungannya, merasa mengantuk, frekuensi nadi dan nafas sedikit menurun, dan berlangsung selama lima menit. Kualitas tidur tahap ini sangat ringan, seseorang dapat mudah terbangun karena stimulasi sensori seperti suara (Potter & Perry, 2003).

Tahap dua merupakan tahap tidur ringan dan proses tubuh terus menurun yang ditandai dengan penurunan tanda-tanda vital, metabolisme menurun dan tahap ini berlangsung selama 10-20 menit (Tartowo, 2004). Pada tahap ini seseorang masih relative mudah untuk terbangun, dan berlangsung selama 10-20 menit (Potter & Perry, 2003). Selain itu pada tahap ini, hubungan seseorang dengan lingkungan terputus secara aktif dan hampir seluruh menusia yang dibangunkan pada tahap ini mengatakan bahwa mereka benar – benar tertidur (Maas, 2002). Menurut Potter & Perry (2003), 50% total waktu tidur manusia dewasa normal dihabiskan pada tahap dua NREM.

Tahap tiga yaitu menunjukkan medium deep sleep yang merupakan tahap awal dari tidur yang dalam. Pada tahap ini seseorang akan sulit untuk dibangunkan dan jarang terjadi pergerakan tubuh dan mata, keadaan otot-otot

(4)

mengalami relaksasi penuh, adanya dominasi sistem saraf parasimpatis (Hidayat, 2006).

Tahap empat merupakan deep sleep yaitu tahap tidur terdalam yang biasanya diperlukan rangsangan lebih kuat untuk membangunkan, sehingga ketika bangun dari tidur yang dalam, seseorang tidak dapat langsung sadar sempurna dan memerlukan waktu beberapa saat untuk memulihkan dari rasa bingung dan disorientasi. Tahap ini mempunyai nilai dan fungsi perbaikan yang sangat penting untuk penyembuhan fisik kebanyakan hormon perkembangan manusia diproduksi malam hari dan puncaknya selama tidur pada tahap ini (White, 2003).

Tidur Rapid Eye Movement (REM). Tahap tidur REM terjadi setelah 90 – 110 menit setelah tertidur, pada tahap ini ditandai dengan peningkatan denyut nadi, pernafasan dan tekanan darah, otot – otot relaksasi (Maas, 2002) serta peningkatan sekresi gaster (Potter & Perry, 2003).

Seseorang akan mengalami mimpi selama tidur NREM maupun REM, tetapi mimpi dari tidur REM lebih nyata dan diyakini penting secara fungsional untuk konsolidasi memori jangka panjang (Potter & Perry, 2003).

1.4 Mekanisme tidur

Pengaturan mekanisme tidur dan bangun sangat dipengaruhi oleh sistem yang disebut Reticular Activity System. Bila aktivitas Reticular Activity System ini meningkat maka orang tersebut dalam keadaan sadar jika aktivitas Reticular Activity System menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur. Aktivitas Reticular Activity System (RAS) ini sangat dipengaruhi oleh

(5)

aktivitas neurotransmitter seperti sistem serotoninergik, noradrenergik, kolinergik, histaminergik (Japardi, 2002).

Sistem serotoninergik. Hasil serotoninergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam amino triptofan. Dengan bertambahnya jumlah triptofan, maka jumlah serotonin yang terbentuk juga meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/ tidur. Bila serotonin dalam triptofan terhambat pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak bisa tidur/ jaga. Menurut beberapa peneliti lokasi yang terbanyak sistem serotoninergik ini terletak pada nucleus raphe dorsalis di batang otak, yang mana terdapat hubungan aktivitas serotonis di nucleus raphe dorsalis dengan tidur REM.

Sistem adrenergik. Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepinefrin terletak di badan sel nucleus cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus sangat mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang mempengaruhi peningkatan aktivitas neuron noradrenergik akan menyebabkan penurunan yang jelas pada tidur REM dan peningkatan keadaan jaga.

Sistem kolinergik. Menurut Sitaram dkk, (1976) dalam (Japardi, 2002) membuktikan dengan pemberian prostigimin intravena dapat mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur kolinergik ini, mengakibatkan aktivitas gambaran EEG seperti dalam kedaan jaga. Gangguan aktivitas kolinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat pada orang depresi, sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada obat antikolinergik (scopolamine) yang menghambat pengeluaran

(6)

kolinergik dari lokus sereleus maka tampak gangguan pada fase awal dan penurunan REM.

Sistem histaminergik. Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur.

Sistem hormon. Siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti Adrenal Corticotropin Hormone (ACTH), Growth Hormon (GH), Tyroid Stimulating Hormon (TSH), Lituenizing Hormon (LH). Hormon-hormon ini masing-masing disekresi secara teratur oleh kelenjar hipofisis anterior melalui jalur hipotalamus. Sistem ini secara teratur mempengaruhi pengeluaran neurotransmitter norepinefirn, dopamine, serotonin yang bertugas mengatur mekanisme tidur dan bangun.

1.5 Faktor yang memepengaruhi tidur

Penyakit. Sakit dapat mempengaruhi kebutuhan tidur seseorang. Banyak penyakit yang memperbesar kebutuhan tidur, misalnya : penyakit yang disebabkan oleh infeksi (infeksi limfa) akan memerlukan lebih banyak waktu tidur untuk mengatasi keletihan. Banyak juga keadaan sakit yang menjadikan pasien kurang tidur, bahkan tidak bisa tidur (Mukhlidah, 2011).

Latihan dan Kelelahan. Keletihan akibat akivitas yang tinggi dapat memerlukan lebih banyak tidur untuk menjaga keseimbangan energi yang telah dikeluarkan. Hal ini terlihat pada seseorang yang telah melakukan aktivitas dan mencapai kelelahan. Maka, orang tersebut akan lebih cepat untuk dapat tidur karena tahap tidur gelombang lambatnya diperpendek.(widodo, 2009).

(7)

Stres Psikologis. Kondisi psikologis dapat terjadi pada seseorang akibat ketegangan jiwa. Hal tersebut terlihat ketika seseorang yang memiliki masalah psikologis mengalami kegelisahan sehingga sulit untuk tidur (Mukhlidah, 2011)

Obat. Gangguan tidur dapat disebabkan oleh penggunaan stimulan yang kronik seperti kafein, amphetamin, nikotin. Ketika tidur, tubuh mulai memetabolisme alkohol dan hal ini mempengaruhi aktivitas otak. Alkohol bagi sebagian orang berhasil membuat tidur lebih cepat, namun di saat yang sama, alkohol membuat tubuh mengalami dehidrasi. Ketika tubuh terbangun untuk mencari air karena dehidrasi, tubuh tidak dapat kembali tidur tahap REM. Pecandu alkohol aktif mengalami gangguan tidur yang spesifik, yakni membutuhkan waktu lebih banyak untuk jatuh tertidur, sering terbangun, kekurangan tidur yang berkualitas, dan bahkan kelelahan di siang hari. Nikotin dari rokok bersifat neurostimultan yang justru membangkitkan semangat. Rokok meningkatkan tekanan darah, mempercepat denyut jantung, dan meningkatkan aktivitas otak, membuat orang yang mengisapnya justru tak bisa relaks, mendorong pelakunya tak bisa tidur. Kafein di dalam kopi membuat jantung dan otak kita menjadi siaga. Akibatnya, kafein menghalangi tubuh untuk melepaskan sebuah kimia alami tubuh yang dikenal sebagai adenosin merupakan senyawa kimia yang menimbulkan efek penenang (Mukhlidah, 2011). Selain itu beberapa golongan obat antihipertensi dapat menimbulkan gangguan tidur (Japardi, 2002) seperti diuretik, betablocker, antagonis kalsium dan ACEI (Gray, 2003).

(8)

Lingkungan. Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang juga dapat mempercepat terjadinya proses tidur. Suara yang terlalu keras, cahaya yang terlalu terang, tempat yang kondusif, suhu, dan kebiasaan sebelum tidur yang dapat mengganggu konsentrasi tidur tentunya kana mempengaruhi proses tidur (Mukhlidah, 2011).

Motivasi. Motivasi merupakan suatu dorongan atau keinginan seseorang untuk tidur, yang dapat mempengaruhi proses tidur. Selain itu, adanya keinginan untuk menahan tidak tidur dapat menimbulkan gangguan proses tidur. (Brandon, 2006).

1.6 Kualitas tidur

Kualitas tidur adalah perasaan segar dan siap mengahadapi hidup baru setelah bangun tidur. Kualitas tidur bersifat subjektifitas yang hanya dapat dinilai berdasarkan indikator kondisi tubuh saat bangun tidur (Mukhlidah, 2011). Konsep ini meliputi beberapa karakteristik seperti waktu yang diperlukan untuk memulai tidur, frekuensi terbangun pada malam hari, lama tidur, kedalaman tidur dan ketenangan (Eser, 2007). Kualitas tidur menyangkut pengkajian subjektif yaitu seberapa menyegarkan dan tenangnya tidur mereka dan pengkajian objektif yang dapat diketahui dari rekaman poligrafi, gerakan pergelangan tangan, gerakan kepala dan mata (Mac Arthur, 1997; Nisrina, 2008).

Data subjektif. Dapat dievaluasi dengan persepsi para penderita penyakit tentang parameter tidur diantaranya adalah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk tertidur, frekuensi terbangun pada malam hari, total waktu tidur di malam hari dan kepulasan tidur (Kales & Kales, 1984; Lee, 1997; Suryani, 2004). Hanya

(9)

para penderita penyakit saja yang dapat melaporkan apakah mereka mendapatkan tidur yang baik atau buruk. Jika para penderita penyakit puas dengan kualitas dan kuantitas tidurnya maka mereka mempunyai tidur yang baik (Potter & Perry, 2005).

Data objektif. Dapat dilihat melalui pengkajian fisik penderita penyakit yaitu dengan mengobservasi lingkaran mata, adanya respon yang lamban, ketidakmampuan/kelemahan, penurunan konsentrasi. Selain itu, data objektif kualitas tidur penderita penyakit juga bisa dianalisa melalui pemeriksaan laboratorium yaitu EEG, EMG, dan EOG sinyal listrik menunjukkan perbedaan tingkat aktivitas yang berbeda dari otak, otot, dan mata yang berhubungan dengan tahap tidur yang berbeda (Sleep Research Society, 1993; dikutip dari (Potter & Perry, 2005).

2. Faktor-faktor gangguan tidur pada hipertensi 2.1 Faktor fisik

Keadaan sakit menjadikan seseorang kurang tidur, bahkan tidak bisa tidur. Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan fisik, atau masalah suasana hati, seperti kecemasan atau depresi dapat menyebabkan masalah tidur. Penderita hipertensi pada umumnya mengalami sakit kepala selain itu penderita juga mudah lelah, sulit bernafas, sukar tidur (Dalimartha, 2008). Gejala-gejala tersebut dapat mengganggu tidur seseorang.

Pusing. Hal ini sering terjadi pada pasien dengan hipertensi. (Guyton & Hall, 1997). Pada pasien hipertensi, pusing biasanya dikarenakan oleh manifestasi

(10)

klinis yang dialami pasien. Hal ini sejalan dengan Albertie (2006) yang menyatakan bahwa pusing akan menyebabkan gangguan tidur dan apabila pusing semakin parah maka akan semakin parah juga tingkat gangguan tidurnya. Selain itu Rains (2006) juga menambahkan bahwa pusing dapat menyebabkan seseorang terbangun dari tidurnya sehingga total jam tidur menjadi berkurang.

Batuk. Hal ini pada umumnya berhubungan dengan adanya efek samping dari terapi pengobatan hipertensi dengan menggunakan penghambat renin angiotensin (ACEI) yang diberikan pada penderita hipertensi.

Sesak nafas atau sulit bernafas. Menurut Boynton (2003), kesulitan bernafas dapat menyebabkan seseorang sering terbangun dari tidurnya di malam hari. Japardi (2002) menambahkan, kadang-kadang ada kesulitan untuk jatuh tertidur lagi ketika sudah terbangun akibat kesulitan bernafas dan ini dapat menyebabkan nyeri kepala dan perasaan tidak enak ketika bangun di pagi hari.

Gelisah. Martin (2000) menyatakan bahwa kesulitan tidur dapat menyebabkan berbagai gangguan tidur dan ia juga menambahkan bahwa orang yang kesulitan tidur biasanya tidak mendapatkan tidur yang cukup sehingga akan mempengaruhi aktivitasnya di pagi hari.

Perasaan lelah. Kelelahan dapat menyebabkan gangguan tidur, dimana biasanya seseorang yang kelelahan akan merasa seolah-olah mereka bangun ketika tidur dan biasanya tidak mendapatkan tidur yang dalam (Shapiro et al, 1993).

Nokturia. Rains (2006) juga menyatakan bahwa nokturia pada penderita hipertensi dapat menyebabkan seseorang terbangun berulang kali dari tidurnya

(11)

(Mansoor, 2002) dan memerlukan waktu yang lama untuk mulai tertidur sehingga akan berdampak pada total jam tidur yang berkurang dan tidak seperti orang normal yang biasanya tertidur dalam waktu, 20 menit (Schachter, 2008)

2.2 Faktor lingkungan

Menurut Potter & Perry (2005) keadaan lingkungan dapat mempengaruhi kemampuan untuk tertidur dan tetap tertidur di antaranya adalah suara/ kebisingan, suhu ruangan, dan pencahayaan. Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang dapat mempercepat terjadinya proses tidur.

Suara bising. Kebisingan dapat menyebabkan tertundanya tidur dan juga dapat membangunkan seseorang dari tidur (Hanning, 2009). WHO (2004) juga menyatakan hal yang sama namun WHO menambahkan bahwa sebagian besar orang tidak mengeluhkan kurang tidur karena kebisingan tetapi memiliki tidur yang non-restoratif, mengalami kelelahan dan atau sakit kepala pada saat bangun pagi dan kantuk yang berlebihan di siang hari.

Ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik adalah esensial untuk tidur yang tenang (Potter & Perry, 2005). Kelembaban ruangan perlu diatur agar paru-paru tidak kering karena apabila kelembaban ruangan tidak diatur maka seseorang tidak akan dapat tidur, walaupun dapat tidur maka seseorang akan terbangun dengan kerongkongan kering seakan-akan seseorang tersebut menderita radang amandel (Septiyadi, 2005).

Ruang dan tempat tidur yang nyaman. Ruang tidur merupakan tempat dimana seseorang melepaskan pikiran-pikiran yang penat / lelah setelah seharian melakukan aktifitas. Apabila ruang tidur kotor ataupun bau maka bisa dikatakan

(12)

itulah faktor utama dari susahnya tidur (Septiyadi, 2005). Ukuran, kekerasan dan posisi tempat tidur mempengaruhi kualitas tidur (Potter & Perry, 2005).

Cahaya lampu yang terlalu terang. Menurut Lee (1997), Sorot lampu yang terlalu terang dapat menyebabkan gangguan tidur dan dapat menghambat sekresi melatonin pada tubuh. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya pergeseran sistem sirkadian, dimana jadwal tidur maju secara bertahap (Sack et al, 2007).

Suhu ruangan. Suhu ruangan yang terlalu panas/ terlalu dingin seringkali menyebabkan seseorang gelisah (Potter & Perry, 2005). Keadaan ini akan mengganggu tidur seseorang, Lee (1997) juga menyatakan hal serupa, bahwa seseorang akan mengalami gangguan tidur apabila tidur di ruangan yang terlalu panas ataupun terlalu dingin.

Bau yang tidak nyaman. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suryani (2004) melaporkan bahwa tidur responden terganggu akibat bau ruangan yang tidak nyaman. Sementara hal yang sama juga dilaporkan oleh Karota-Bukit (2003) bahwa 13% responden mengalami gangguan tidur pada tingkat sedang karena bau yang tidak nyaman.

2.3 Faktor Psikososial

Gangguan tidur dilaporkan oleh 90% individu yang mengalami stres, perasaan cemas, dan depresi (Chokroverty, 1999; Suryani, 2004). Hal ini terjadi pada seseorang yang mempunyai penyakit(Potter & Perry, 2005).

(13)

Stres. Seseorang dapat mengalami stres emosional karena penyakit. Oleh karena itu emosi seseorang dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur. Stres emosional menyebabkan seseorang menjadi tegang dan seringkali mengarah frustasi apabila tidak tidur. Stres juga menyebabkan seseorang mencoba terlalu keras untuk tertidur, sering terbangun selama siklus tidur, atau terlalu banyak tidur. Stres yang berlanjut dapat menyebabkan kebiasaan tidur yang buruk (Potter & Perry, 2005). Stres dapat mengubah pola tidur seseorang dalam beberapa waktu. Selama adanya stres psikologis, waktu yang dibutuhkan untuk memulai tidur dan tahap tidur NREM ke 1 dan 2 meningkat (Monroe, Simons, dan Thasle, 1992; Lee, 1997; Suryani, 2004).

Cemas. Penderita penyakit yang memiliki resiko terhadap kecemasan adalah mereka yang takut dan khawatir akan penyakitnya, diisolasi dari keluarga dan kerabat, dan tidak familiar dengan lingkungan (Webster & Thompson, 1986). Perasaan cemas menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk memulai tidur sangat lama, tahap tidur NREM ke 4 dan tidur REM menurun, serta pasien lebih sering terbangun pada malam hari (Karacan et al, 1968, 1978; Closs, 1988; Suryani, 2004).

Depresi. Depresi merupakan suatu penyakit yang berpengaruh kepada efek kejiwaan. Seseorang yang telah terkena depresi akan mengalami gangguan tidur yang mana ciri khas seseorang yang terkena sindrome tersebut adalah susah untuk tidur dan selalu murung (Septiyadi, 2005).

3. Kualitas tidur pada penderita hipertensi

Menurut Buysse et al (2000), kualitas tidur dapat dinilai dengan melihat masa laten tidur, lama waktu tidur, efisiensi kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, gangguan di siang hari, dan kualitas tidur umum.

(14)

Menurt Javaheri (2008), kualitas tidur yang buruk berhubungan dengan meningkatnya resiko hipertensi, dan dengan demikian akan meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular. Begitu juga sebaliknya, orang yang menderita hipertensi akan memiliki resiko mendapatkan kualitas tidur yang buruk (Potter & Perry, 2005).

Penderita hipertensi biasanya memerlukan waktu yang lebih lama untuk mulai tertidur (Mansoor, 2002) tidak seperti orang normal yang biasanya tertidur dalam waktu, 20 menit (Schachter, 2008). Selain itu, gejala-gejala yang biasa dialami penderita hipertensi seperti pusing, sulit bernafas, sukar tidur dan mudah lelah dapat membangunkan penderita dari tidurnya sehingga penderita tidak mendapatkan tidur yang cukup yang nantinya akan berdampak pada aktivitas di keesokan harinya (Potter & Perry, 2005).

4. Hipertensi 4.1Definisi

Hipertensi adalah keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik yang melebihi batas normal yaitu diatas 140/90 mmHg (Baradero, 2008). Hipertensi diakibatkan oleh peningkatan tekanan darah yang yang melebihi batas normal (Murwani, 2009) dan terjadi secara terus menerus (Brashers, 2008) sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan suatu organ target yang lebih berat (Bustan,2007).

(15)

Menurut The Seventh Report Of The Joint National Committee On Prevention, Detection, Evaluation And Treatment Of High Blood Pressure (JNC 7) , tekanan darah dibagi menjadi normal, prehipertensi, hipertensi stage 1, dan hipertensi stage 2.

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7

Kategori Sistol (mmHg) Diastole (mmHg)

Normal <120 <80

Pre hipertensi 120-139 80-89

Hipertensi tahap 1 140-159 90-99

Hipertensi tahap 2 ≥ 160 ≥ 100

4.3 Etiologi

Hipertensi primer. Hipertensi primer juga disebut sebagai hipertensi esensial atau idiopatik (Gray, 2003). Prevalensi penderita yang mengalami hipertensi primer yaitu sekitar 90% (Baradero, 2008). Sebagian besar penderita hipertensi primer sulit diketahui penyebab jelasnya (Sheps, 2002) hal ini terjadi karena penyebab hipertensi primer bersifat multifaktorial (Rubenstein, 2005) yang mencakup kombinasi (Davey, 2003) dan interaksi (Brashers, 2008) antara berbagai faktor genetik dan lingkungan.

Hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder merupakan jenis hipertensi yang telah diketahui penyebabnya (Gray, 2003). Hipertensi sekunder disebabkan oleh penyakit tertentu (Baradero, 2008) yang telah diderita sebelumnya

(16)

(Tambayong, 2000). Penyebab hipertensi primer pada umumnya yaitu penyakit ginjal. sindrom Conn, sindrom Cushing, feokrmositoma, koarktasio aorta, dan penggunaan obat-obat yang dapat meningkatkan tekanan darah (Sheps, 2002). Penderita hipertensi sekunder lebih jarang ditemukan (Davey, 2003). Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya prevalensi pada hipertensi sekunder yaitu sekitar 5-10% (Brashers, 2008). Kondisi penderita hipertensi sekunder umumnya dapat disembuhkan (Sheps, 2002) apabila penyakit yang menjadi faktor penyebab hipertensi sekunder dapat diatasi dan kondisi tekanan darah penderita hipertensi sekunder dapat menurun kembali menjadi normal (Tambayong, 2000)

4.4 Faktor risiko

Apabila semakin banyak faktor risiko yang dimiliki seseorang, maka semakin besar kemungkinan terjadinya hipertensi pada kondisi seseorang yang normal dan bahkan dapat mengakibatkan kondisi klinis pada penderita hipertensi menjadi semakin parah. Faktor risiko tersebut dikelompokkan menjadi 2 bagian (Sheps, 2002) yaitu faktor yang tidak dapat dikendalikan dan faktor yang dapat dikendalikan.

Adapun faktor risiko hipertensi primer yang tidak dapat dikendalikan dan dimodifikasi yaitu:

Usia. Penyakit hipertensi bisa terjadi pada segala usia, namun umumnya hipertensi dialami seseorang pada usia 35 tahun atau lebih (Sheps, 2002). Insidens hipertensi akan semakin meningkat dengan meningkatnya usia seseorang (Tambayong, 2000). Sebagian besar usia yang lebih lanjut (Baradero, 2008) akan mempengaruhi terjadinya arteriosklerosis yang akan mengakibatkan terjadinya

(17)

tekanan darah meningkat (Dalimartha, 2008). Hal ini terjadi karena dipengaruhi oleh perubahan alami pada jantung, pembuluh darah, dan hormon (Sheps, 2002).

Jenis kelamin. Pada umumnya insidens pada pria lebih tinggi daripada wanita yang mengalami pra-menopause (Tambayong, 2000). Namun pada usia pertengahan dan lebih tua (Tambayong, 2000) dari usia 55 tahun, ketika sebagian wanita mengalami saat menopause (Sheps, 2002) maka insidens pada wanita lebih tinggi dibanding pria (Tambayong, 2000). Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh hormon estrogen (Gray, 2003).

Riwayat penyakit hipertensi. Hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan (Sheps, 2002). Sekitar 70-80% kasus hipertensi primer disebabkan riwayat hipertensi (Dalimartha, 2008). Beberapa peneliti mengatakan bahwa kelainan pada gen angiotensin merupakan penyebab hipertensi primer (Gray, 2003).

Sedangkan faktor risiko hipertensi primer yang tidak dapat dikendalikan dan dimodifikasi (Sheps, 2002) yaitu:

Obesitas. Peningkatan tonus vascular dan garam serta air ginjal adalah penyebab utama hipertensi pada obesitas. Mekanisme yang mendasarinya termasuk hiperleptinemia, meningkatnya asam lemak bebas (FFA), hiperinsulinemia, dan insulin resisten, kesemuanya ini akan menyebabkan stimulasi dari saraf simpatis, meningkatnya tonus vascular, disfungsi endothelial, dan retensi sodium ginjal. Sebagai tambahan, meningkatnya aktivitas rennin-angiotensin-system (RAS), sebagai efek dari aktivasi simpatis dan bertambahnya

(18)

sintesis jaringan adiposa, mengakibatkan meningkatnya retensi garam dan air ginjal (Wahba, 2007).

Konsumsi garam berlebihan. Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium didalam cairan ekstraseluler meningkat. Hal ini menyebabkan terjadinya retensi cairan ekstraseluler dan meningkatknya tekanan darah. (Sheps, 2002. Pada masyarakat yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang, ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan pada masyarakat asupan garam sekitar 7 − 8 gram tekanan darah rata -rata lebih tinggi (Depkes, 2006).

Merokok. Tekanan darah akan meningkat sampai 10 mmHg. Tekanan darah akan kembali menurun setalah berhenti menghisap rokok selama 30 menit. Meningkatnya tekanan darah terjadi segera setelah isapan pertama pada saat seseorang menghisap rokok. Hanya dalam beberapa derik otak akan merespon nikotin dalam tubuh dengan memberi rangsangan pada kelenjar adrenal untuk melepaskan epinefrin. Hormon tersebut akan mengakibatkan penyempitan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat dengan cara merusak lapisan dalam dinding arteri sehingga pembuluh darah menjadi lebih rentan terhadap penumpukan lemak. Hal ini tentunya mengakibatkan pembuluh darah mengalami peyempitan dan mengakibatkan jantung bekerja menjadi lebih berat. Sedangkan karbonmonoksida pada asap rokok dapat menyebabkan kadar oksigen dalam darah menurun sehingga jantung juga harus bekerja lebih berat untuk memasok oksigen yang cukup ke seluruh organ dan jaringan tubuh (Sheps, 2002).

(19)

Alkohol. Alkohol dapat merangsang pelepasan epinefrin yang mengakibatkan penyempitan pembuluh darah. Selain itu konsumsi alkohol yang berlebihan juga akan mengakibatkan penumpukan lebih banyak natrium, hal ini disebabkan karena alkohol dapat menurunkan kadar kalium, kalsium,dan mangnesium yang berfungi untuk mengatur keseimbangan natriun dalam sel (Sheps, 2002). Efek konsumsi alkohol terhadap tekanan darah baru nampak apabila mengkonsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap harinya (Depkes, 2006).

Stres. Pada saat stres jantung bersetak cepat karena pengaruh respon yang terjadi aktivasi sistem saraf simpatis (Ronny, 2010). Hal ini tentunya akan merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan hormon epinefrin dan kortisol yang akan memacu jantung memompa darah lebih cepat, sehingga tekanan darah akan meningkat (Sheps, 2002).

4.5 Manifestasi Klinis

Penderita hipertensi umumnya mengalami berbagai kondisi klinis seperti sakit kepala , pusing, nokturia, (Corwin, 2009), dispnea, palpitasi, depresi dan kelelahan (Murwani, 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa umumnya penderita hipertensi mengalami gangguan tidur yang disebabkan sulit bernafas (Dart, 2003). Hal ini telah dibuktikan bahwa sekitar 91% penderita hipertensi mengalami sulit bernafas saat tidur (Louis, 2005). Selain itu hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sekitar 68% penderita hipertensi mengalami nokturia (Kuswardhani, 2006). Dan sekitar 46% hasil penelitian menunjukkan bahwa

(20)

penderita hipertensi mengalami sakit kepala sehingga berdampak pada kualitas tidur yang buruk (Cortelli, 2004)

4.6 Farmakologis Hipertensi

Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah diuretik tiazid (misalnya bendroflumetiazid), beta‐bloker, (misalnya propanolol, atenolol,) penghambat angiotensin converting enzymes (misalnya captopril, enalapril), calcium channel blocker (misalnya amlodipin, nifedipin) dan alphablocker (misalnya doksasozin).

Diuretik tiazid adalah diuretic dengan potensi menengah yang menurunkan tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus distal ginjal, meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Efek tiazid dapat mengakibatkan peningkatan eksresi urin.

Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor. Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system saraf simpatis. Penggunaan betablocker pada pasien dengan riwayat asma dan bronkhospasma harus hati-hati. Efek samping lain adalah bradikardia, dan tanga‐kaki terasa dingin karena vasokonstriksi akibat blokade reseptor beta‐2 pada otot polos pembuluh darah perifer. Mimpi buruk kadang dialami, terutama pada penggunaan beta‐blocker yang larut lipid seperti propanolol.

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat secara kompetitif pembentukan angiotensin II. Angitensin II merupakan vaso‐konstriktor kuat yang memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas simpatis sentral dan

(21)

perifer. ACE juga bertanggungjawab terhadap bradikinin, yang mempunyai efek vasodilatasi. Penghambatan bradikinin akan menghasilkan efek antihipertensi yang lebih kuat. Batuk kering merupakan efek samping yang dijumpai pada 15% pasien yang mendapat terapi ACEi.

Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel miokard, sel‐sel dalam sistem konduksi jantung, dan sel‐sel otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah proses yang bergantung pada ion kalsium. Terdapat tiga kelas CCB: dihidropiridin (misalnya nifedipin dan amlodipin); fenilalkalamin (verapamil) dan benzotiazipin (diltiazem). Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer yang merupakan kerja antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak dan digunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegah angina. Semua CCB dimetabolisme di hati. Efek samping dari CCB yaitu pusing dan pembengkakan pergelangan kaki sering dijumpai (Lyrawati, 2008)

Gambar

Tabel 1.  Klasifikasi tekanan darah menurut JNC 7

Referensi

Dokumen terkait

Sebab, bagi Agung, saat sudah memutuskan untuk menjadi enterpreneur, 80% kemampuan yang dibutuhkan adalah kemampuan non- teknis.. Seperti membuat proposal, negoisasi,

Adapun teknik-teknik yang akan digunakan pada kasus Cerebral palsy Spastic Quadriplegi pada metode NDT ini yaitu (1) inhibisi yaitu penurunan reflexsikap abnormal untuk

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian kompos pada tanah bekas tambang emas dan mengetahui jenis kompos mana yang terbaik terhadap pertumbuhan awal

Aljabar Kumjian-Pask dari graf- k ber- hingga baris tanpa sources telah banyak menjadi perhatian kalangan ilmuwan aljabar operator, di antaranya [3, 4, 5, 9, 18, 20]...

Minyak ikan cod dapat meningkatkan nilai gizi rotifera yang lebih baik dibanding minyak cumi-cumi dan lemuru serta alga laut dengan evaluasinya pada pemeliharaan larva ikan

Bibit (plances) jati yang ditanam merupakan bibit hasil seleksi, pertumbuhannya bagus dengan tinggi minimal 20 cm, batang lurus, berkayu, dan sehat. Bibit ditanam pada saat

Dari hasil perbandingan untuk menentukan prioritas penentuan ruang terbuka hijau pertimbangan yang digunakan adalah Tingkat Kenyamanan berdasarkan geometri bangunan dan

: Aksi mitigasi ini bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari pembakaran energi fosil dengan membangun pembangkit listrik tenaga air jenis run-of- river (PLTA