• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. memberikan keuntungan bagi orang lain daripada terhadap diri sendiri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. memberikan keuntungan bagi orang lain daripada terhadap diri sendiri"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Perilaku Menolong

II.A.1. Definisi Perilaku Menolong

Perilaku menolong (helping behaviour) adalah setiap tindakan yang lebih memberikan keuntungan bagi orang lain daripada terhadap diri sendiri (Wrightsman & Deaux, 1981). Menurut Staub (1978) & Wispe (1972), perilaku menolong adalah perilaku yang menguntungkan orang lain lebih daripada diri sendiri (dalam Hogg & Vaugan 2002).

Menurut Dovidio & Penner (2001), menolong (helping) adalah suatu tindakan yang bertujuan menghasilkan keuntungan terhadap pihak lain. Michener& Delamater (1999), mendefinisikan menolong (helping) sebagai segala tindakan yang mendatangkan kebaikan atau meningkatan kesejahteraan (well-being) bagi orang lain. Sejalan dengan itu perilaku menolong juga diartikan sebagai suatu tindakan yang menguntungkan orang lain tanpa harus menguntungkan si penolong secara langsung, bahkan kadang menimbulkan resiko terhadap si penolong (Baron, Byrne & Branscombe, 2006).

Dari definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku menolong adalah segala tindakan yang lebih menguntungkan dan meningkatan kesejahteraan (well-being) orang lain daripada terhadap diri sendiri, bahkan kadang menimbulkan resiko terhadap si penolong.

(2)

II.A.2. Bentuk-Bentuk Perilaku menolong

Perilaku menolong menurut Wrightsman dan Deaux (1981) dibedakan berdasarkan tingkat pengorbanan pelaku ke dalam tiga bentuk tindakan, yaitu favor, donation, dan intervention in emergency.

a. Favor

Favor dapat diartikan sebagai tindakan membantu orang lain, dimana usaha membantu tersebut tidak banyak membutuhkan pengorbanan (pengorbanan yang kecil). Pengorbanan yang dimaksudkan disini berupa pengorbanan tenaga/usaha dan waktu. Walaupun pengorbanan yang diberikan pelaku kecil, namun dampak dari tindakan ini menguntungkan bagi orang lain. Jadi, cost yang harus diberikan oleh mereka yang melakukan perilaku ini tidaklah begitu besar, dalam arti tidak melibatkan pengorbanan yang memberatkan pelakunya.

b. Donation

Perilaku ini disebut juga dengan perilaku menyumbang terhadap seseorang atau organisasi yang memerlukan. Tindakan ini membutuhkan pengorbanan materi berupa uang atau barang.

c. Intervention in Emergency

Intervention in emergency merupakan perilaku memberikan bantuan kepada orang lain yang dilakukan dalam kondisi stressful atau pada situasi gawat darurat, dengan kemungkinan keuntungan yang sangat kecil bagi yang melakukan. Dalam melakukan tindakan ini dapat mengundang ancaman keselamatan diri dari penolong. Oleh karena itu, penolong

(3)

berkorban besar dan kemungkinan mendapatkan keuntungan yang sangat kecil dari tindakan ini. Contoh: membantu menyelamatkan orang yang hanyut di sungai.

II.A.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku menolong

1. Faktor situasional yang meningkatkan atau menghambat perilaku menolong

a. Kehadiran orang lain

Penelitian yang dilakukan oleh Darley dan Latane kemudian Latane dan Robin (1969) menunjukkan hasil bahwa orang yang melihat kejadian darurat akan lebih suka memberi pertolongan apabila mereka sendirian daripada bersama orang lain. Sebab dalam situasi kebersamaan, seseorang akan mengalami kekaburan tanggung jawab (dalam Hudaniah, 2003).

Staub (1978) justru menemukan kontradiksi dengan fenomena di atas, karena dalam penelitiannya terbukti bahwa individu yang berpasangan atau bersama orang lain lebih suka bertindak prososial dibandingkan bila individu seorang diri. Sebab dengan kehadiran orang lain akan mendorong individu untuk lebih mematuhi norma-norma sosial yang dimotivasi oleh harapan mendapat pujian (Sampson, dalam Hudaniah, 2003).

b. Menolong orang yang disukai (Helping Those You Like)

Kebanyakan penelitian lebih tertarik meneliti pertolongan yang diberikan seseorang kepada orang asing, karena sudah jelas orang tersebut akan sangat cenderung menolong anggota keluarga dan teman. Seseorang akan cenderung

(4)

menolong orang asing yang menjadi korban, jika si korban tersebut memiliki persamaan (usia, ras) dengan si penolong tersebut ( Shaw, Borough, & Fink dalam Baron, Byrne, & Branscombe, 2006).

Pria sangat cenderung untuk menyediakan bantuan terhadap seorang wanita yang sedang distress (Piliavin & Unger, 1985), mungkin karena perbedaan gender dalam kemampuan spesifik, dan mungkin karena wanita lebih ingin meminta pertolongan daripada pria (dalam Baron, Byrne, & Branscombe, 2006).

c. Menolong orang yang meniru kita (Helping Those Mimic Us)

Salah satu yang mempengaruhi perilaku prososial adalah mimicry, yaitu kecenderungan otomatis untuk meniru perilaku orang lain yang berinteraksi dengan kita. Penelitian menunjukkan bahwa mimicry meningkatkan kecenderungan terlibat dalam perilaku menolong ini

Efek ini ini terjadi karena imitasi adalah sebuah aspek penting dari belajar dan akulturasi (de Wall, dalam Baron, Byrne, & Branscombe, 2006). Ini sesuai dengan pendapat Bandura (dalam Schultz & Schultz, 1994) yang menyatakan bahwa seseorang belajar menolong melalui proses imitasi. Imitasi dapat mendorong individu atau kelompok untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik, karena dengan mengikuti suatu contoh yang baik akan merangsang seseorang untuk melakukan perilaku yang baik pula (Dayakisni & Hudaniah, 2003).

(5)

d. Menolong orang yang tidak bertanggung-jawab terhadap masalahnya (Helping Those Who Are Not Responsible for Their Problem)

Kita akan cenderung menolong orang lain yang masalah yang dialaminya terjadi bukan karena kesalahannya. Misalnya, ketika orang menemukan seorang pria yang tergeletak, tidak sadarkan diri di jalan,dengan botol minuman keras yang kosong di sampingnya akan cenderung kurang menunjukkan perilaku menolong di bandingkan jika pria yang tergeletak di jalan itu adalah seorang pria berpakaian mahal dengan luka di kepalanya karena hal ini mengindikasikan bahwa pria tersebut adalah korban kekerasan saat sedang di jalan (dalam Baron, Byrne, & Branscombe, 2006).

e. Adanya model ( Exposure to Prosocial Models)

Kehadiran orang lain yang berperilaku menolong menimbulkan social model, dan hasilnya adalah sebuah peningkatan dalam perilaku menolong pada orang lain yang melihatnya. Selanjutnya, model prososial dalam media massa juga memberi kontribusi dalam menciptakan norma sosial dalam perilaku prososial. Dengan menonton perilaku prososial pada televisi meningkatkan kejadian dari perilaku prososial dalam kehidupan nyata (dalam Baron, Byrne, & Branscombe, 2006). Akan tetapi, media massa dapat juga memiliki efek negatif. Seperti salah satu contoh, penelitian partisipan yang memainkan video games kekerasan seperti Mortal combat dan Street Fighter menunjukkan adanya suatu penurunan dalam perilaku prososial (Anderson & Bushman, dalam Baron, Byrne, & Branscombe, 2006).

(6)

2. Emosi dan Perilaku Menolong

Emosi sering dibagi menjadi dua bagian, yaitu emosi positif dan negatif. a. Emosi positif dan perilaku menolong

Pada umumnya seseorang yang sedang memiliki mood yang baik akan lebih cenderung menampilkan perilaku prososial. Akan tetapi sebuah emosi positif dapat mengurangi kemungkinan untuk berespon dalam suatu cara prososial (Isen, 1984). Seorang penonton (bystander) yang dalam mood yang sangat positif ketika menemui suatu keadaan emergency yang ambigu cenderung menginterpretasi situasi tersebut sebagai suatu situasi yang nonemergency. b. Emosi negatif dan perilaku menolong

Pada umumnya, seseorang yang berada dalam mood negatif cenderung kurang dalam menolong oranglain. Hal itu benar, bahwa seorang yang tidak senang (unhappy) sedang fokus pada masalahnya, cenderung kurang dalam perilaku prososial (Amato, 1990). Akan tetapi, emosi negatif dapat memiliki sebuah dampak positif pada perilaku prososial jika perasaan negatifnya tidak begitu intens, jika emergency terlihat jelas dan jika tindakan menolong itu menarik atau memuaskan dibandingkan tidak memiliki reward.

3. Empati dan Disposisi Kepribadian Lainnya yang Berhubungan dengan Menolong

Disposisi kepribadian adalah karakteristik kecenderungan perilaku individu. Disposisi kepribadian adalah berdasarkan perbedaan dalam komposisi genetik, pengalaman, atau kombinasi dari keduanya. Salah satu

(7)

aspek dari perilaku menolong adalah rasa percaya kepada orang lain (interpersonal trust ). Individu yang tidak memiliki kepercayaan terhadap orang lain cenderung kurang dalam berperilaku menolong (Baron & Byrne, 2000).

a. Empati

Seseorang yang memiliki empati dapat merasakan dan memahami apa yang dirasakan oleh orang lain. Empati terdiri dari respon afektif dan respon kognitif terhadap emosional yang sedang dirasakan oleh orang lain dan berkaitan dengan simpati, sebuah keinginan untuk memecahkan masalah orang lain, dan memahami perspektif (perspective taking) orang lain (Baron, Byrne, & Branscombe, 2006).

Komponen afektif dari empati juga melibatkan simpati, yaitu tidak hanya merasakan penderitaan orang lain, tetapi juga perhatian dan melakukan sesuatu untuk mengurangi penderitaan tersebut. Komponen kognitif dari empati tersebut berkaitan dengan kemampuan untuk memahami atau mempertimbangkan sudut pandang orang lain, dikenal dengan istilah perspective taking. Para psikolog sosial mengidentifikasi tiga tipe dari perspective taking (Batson, dkk dalam Baron, Byrne, & Branscombe, 2006) :

1. Mampu membayangkan bagaimana oranglain mempersepsikan sebuah kejadian dan bagaimana akhirnya perasaan mereka.

2. Mampu membayangkan bagaimana seandainya kita berada dalam situasi tersebut.

(8)

3. Mengidentifikasi terhadap karakter-karakter fiktif, yaitu perasaan simpati kepada seseorang dalam sebuah cerita. Dalam hal ini, adanya sebuah reaksi emosional terhadap kegembiraan (joys), dukacita (sorrows), dan ketakutan (fears) dari sebuah karakter dalam sebuah buku, bioskop atau program televisi.

b. Belief in A Just World

Orang yang menolong menganggap dunia itu sebagai tempat yang adil dan dapat diprediksikan, dimana perilaku yang baik mendapat ganjaran baik dan perilaku yang buruk mendapat hukuman. Keyakinan ini mengarahkan pada kesimpulan bahwa menolong orang yang membutuhkan tidak hanya sekedar suatu perbuatan yang baik untuk dilakukan, akan tetapi orang yang menolong juga akan mendapat keuntungan dari perbuatannya.

c. Social Responsibility

Tanggungjawab sosial berada pada mereka yang menawarkan bantuan. Mereka menampilkan keyakinan bahwa setiap orang bertanggungjawab untuk melakukan yang terbaik saat menolong orang yang membutuhkannya.

d. Internal Locus of Control

Hal ini adalah keyakinan individu bahwa ia dapat memilih untuk melakukan sesuatu yang dapat memaksimalkan hasil yang baik dan meminimalkan hasil yang buruk.

e. Low Egocentrism

Individu yang gagal untuk menolong relatif egosentris, cenderung self-absorbed dan kompetitif. Menurut Batson dan Oleson (dalam Feldman, 1995)

(9)

seseorang egoism mungkin juga memberikan pertolongan tetapi hanya untuk mengurangi personal distress yang dirasakannya atau dimotivasi oleh adanya self-benefit.

4. Usia dan Perilaku Menolong

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara usia dan perilaku menolong (Peterson, 1983 dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003). Dengan bertambahnya usia individu akan makin dapat memahami atau menerima norma-norma sosial (Staub, 1978, dalam Dayakisni & Hudaniah, 2003). Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1999) yang menyatakan bahwa semakin bertambah usia seseorang, maka ia akan semakin bertanggungjawab secara sosial dan taat terhadap aturan serta berkembangnya norma etik.

Menurut teori perkembangan moral Kohlberg, usia dimana seseorang mulai memiliki kesadaran dalam mematuhi peraturan dan norma sosial adalah sejak usia 18 tahun (level Post-conventional) (Newman&Newman, 2001). Penelitian tentang moral reasoning dan perilaku menolong menemukan bahwa individu yang memiliki level moral yang tinggi lebih cenderung dalam berperilaku menolong (Rushton, Chrisjohn,& Fekken, 1981).

5. Tingkat Pendidikan

Reddy (dalam Schroeder & Penner, 1995) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin besar pula kecenderungan

(10)

seseorang untuk menjadi relawan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, maka semakin rendah sumbangannya pada kotak amal. Hal ini terkait dengan sosial ekonomi dan akan semakin berkurang kemungkinan untuk menyumbang/menderma.

6. Jenis kelamin

Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan terhadap perilaku menolong yang aktual, menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pria dan wanita (Piliavin &Unger dalam Oscar, 2006). Sekalipun ditemukan perbedaan, maka kecenderungan yang lebih besar akan mengarah pada pria, bukan wanita (Basow,1992). Hal ini didukung oleh hasil yang diperoleh Eagley dan Crowley (Basow, 1992; Taylor, dkk, 2000) melalui sebuah review meta-analisis yang dilakukan terhadap 172 penelitian mengenai perilaku menolong.

Simpulan yang diperoleh dari review meta-analisis menunjukkan bahwa pria lebih menolong daripada wanita. Pria lebih cenderung utuk menawarkan pertolongan daripada wanita, walaupun wanita dinilai lebih menolong daripada pria dan kelihatannya lebih peduli untuk memberikan pertolongan. Riset behavioral menyatakan bahwa pria lebih menolong daripada wanita, paling tidak dalam situasi publik yang melibatkan orang yang tidak dikenal (Basow, 1992).

(11)

II.A.4. Tipe-Tipe Perilaku Menolong

Menurut Rushton, Chrisjohn, & Fekken (dalam Bekkers & Wilhelm, 2007), ada sepuluh tipe-tipe perilaku menolong, yaitu :

1. Mengembalikan uang yang berlebih kepada kasir 2. Mendahulukan orang lain dalam antrian

3. Menawarkan tempat duduk kepada orang lain yang sedang berdiri dalam sebuah bus, atau di sebuah tempat umum

4. Membawakan barang/milik orang lain, seperti tas belanja. 5. Memberikan makanan atau uang kepada pengemis

6. Menjaga milik orang lain ketika orang tersebut sedang pergi 7. Meminjamkan sesuatu yang bernilai kepada orang lain 8. Memberikan uang untuk amal (charity)

9. Melakukan pekerjaan sukarela untuk amal (charity) 10. Mendonorkan darah

II.B. Tayangan Berita Kriminal

Kriminalitas atau kejahatan adalah tingkah laku yang melanggar hukum dan melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya.

Secara yuridis formal, kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan (immoril), merugikan masyarakat, sifatnya asosial dan melanggar hukum serta undang-undang pidana (dalam Kartono, 2005).

Tayangan berita kriminal merupakan salah satu program tayangan televisi yang menyajikan kejadian-kejadian kriminal yang terjadi di dalam masyarakat

(12)

(Aprilia, 2004). Format acara ini dikemas dalam bentuk tayangan yang memberikan kesan seram dan menakutkan karena isi beritanya khusus untuk menayangkan tentang kriminalitas. Hampir semua stasiun televisi di tanah air menayangkan berita kriminal dalam format seperti ini, kecuali TVRI dan Metro-TV. Jenis acara berita-berita kriminal tersebut dapat dilihat pada tabel 1 (Irmanyusron, 2007).

Dilihat dari jam tayangnya, sebagian besar acara tersebut menempati jam prime time, yaitu rentang waktu dimana jumlah penonton televisi mencapai puncaknya. Berita-berita semacam itu ditayangkan tiap hari selama ± 30 menit di televisi tanpa mempertimbangkan kepada siapa ditujukan dan efek apa yang akan ditimbulkan (Irmanyusron, 2007).

Program ini merupakan salah satu bentuk tayangan kekerasan karena dalam acara itu penonton menerima ekspos ke berbagai jenis visualisasi kekekerasan oleh pelaku maupun polisi yang menangkapnya. Program ini disajikan secara dramatis dengan memerlihatkan secara vulgar unsur-unsur kekerasan, seperti darah yang mengalir dari korban pembunuhan, mayat yang tergeletak, adegan pukul, bahkan tembak yang dilakukan polisi terhadap tersangka (Aprilia, 2004).

(13)

II.C. Pengaruh Tayangan Berita Kriminal terhadap Kecenderungan Perilaku menolong

Tayangan berita kriminal merupakan salah satu bentuk tayangan kekerasan (Aprilia, 2004). The National Institute of Mental Health (dalam Kompas, 2005), menyimpulkan efek kekerasan dalam televisi dapat menyebabkan seseorang belajar menjadi korban dan mengidentifikasikan diri dengan korban. Laporan tahun 1982 tersebut juga menyebutkan bahwa sebagian pemirsa televisi menjadi merasa takut dan cemas akan menjadi korban kekerasan.

Sejalan dengan itu, Aprilia (2004) mengatakan bahwa terpaan tayangan berita kriminal di televisi dapat memunculkan perasaan takut terhadap kejahatan bagi masyarakat yang mengkomsumsinya. Termasuk misalnya, pecandu berat televisi mengatakan bahwa kemungkinan seeorang menjadi korban kejahatan adalah 1 berbanding 10 dalam kenyataannya adalah 1 berbanding 50 (Nurudin, 2004).

Aprilia (2004) menyatakan bahwa rasa takut terhadap kejahatan tersebut dapat menimbulkan gangguan pada kehidupan sehari-hari masyarakat, yaitu munculnya rasa tidak aman serta menurunkan rasa percaya kepada orang lain (interpersonal trust) dan lingkungannya. Interpesonal trust merupakan salah satu aspek dari perilaku menolong. Individu yang tidak memiliki kepercayaan terhadap orang lain cenderung kurang dalam berperilaku menolong (Baron & Byrne, 2000).

(14)

II.D. Hipotesis

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Ho : Tidak ada pengaruh tayangan berita kriminal terhadap kecenderungan

perilaku menolong

Hi : Ada pengaruh tayangan berita kriminal terhadap kecenderungan perilaku

Referensi

Dokumen terkait

 Sel mikroba secara kontinyu berpropagasi menggunakan media segar yang masuk, dan pada saat yang bersamaan produk, produk samping metabolisme dan sel dikeluarkan dari

Sifat penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri selain dipengaruhi oleh muatan positif dari logam Ag juga dipengaruhi oleh gugus amonium kuarterner dari kitosan yang

Untuk adonan dengan penambahan -amilase dan glukoamilase 25 U/g tepung masih dihasilkan adonan yang agak kasar sama dengan roti yang terbuat dari pasta ubi jalar ungu

Agama Kristian dapat tempat di Eropah pada zaman Rom, semasa Maharaja Constantine iv. Rom dikenali

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa gambaran reaksi hospitalisasi terhadap kecemasan anak usia pra sekolah meliputi

Dari pengolahan data yang sudah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa dengan menggunakan metode Hungarian, PERT dan CPM dapat mengatasi permasalahan yang

Tesis ini berusaha menjelaskan tentang kebijakan pengalihan pajak pusat kepada daerah secara khusus dalam bidang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, yang mana

Gambar 2.10 Hasil dari contoh 2.7.1: (a) kesalahan klasifikasi untuk himpunan pelatihan dibanding dengan sejumlah pengklasifikasi dasar; (b) kesalahan klasifikasi untuk