• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dapat menjalankan berbagai macam aktivitas hidup dengan baik bila

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Manusia dapat menjalankan berbagai macam aktivitas hidup dengan baik bila"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. Manusia dapat menjalankan berbagai macam aktivitas hidup dengan baik bila memiliki kondisi kesehatan yang baik pula. Problem kesehatan yang utama dan sebab-sebab kematian sekarang ini adalah adanya penyakit-penyakit kronis (Sarafino, 2002). Penyakit kronis yang cukup sering terjadi pada saat ini adalah kanker. Kanker adalah penyakit yang tidak mengenal status sosial dan dapat menyerang siapa saja. Kanker muncul akibat pertumbuhan tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel-sel kanker dalam perkembangannya. Sel kanker tumbuh dengan cepat, sehingga sel kanker pada umumnya cepat membesar. Bila sudah memasuki stadium lanjut, sel-sel kanker ini dapat berkembang dan menyebar ke bagian tubuh lainnya sehingga bisa menyebabkan kematian (Yayasan Kanker Indonesia, 2005).

Gumawan Achmad, seorang ginekolog, (Kompas, dalam Hasnida & Lumongga, 2009) menyatakan bahwa dua pertiga dari penderita kanker di dunia berada di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu, Siti Fadilah Supari, dalam sambutannya ketika membuka Temu Ilmiah Dokter Bedah Onkologi Indonesia pertama (1st International Scientific Meeting di Indonesia Society of Surgical Oncologyst/ISSO), bahwa jumlah pasien kanker di

(2)

Indonesia mencapai 6% dari 200 juta lebih penduduk Indonesia (Media Indonesia, dalam Hasnida & Lumongga, 2009). Diperkirakan terdapat 100 penderita kanker baru untuk setiap 100.000 penduduk per tahunnya. Bahkan telah diperkirakan bahwa menjelang permulaan abad ke-21, peta penyakit di Indonesia akan mendekati peta penyakit di negara maju dimana penyakit kanker berada pada urutan ketiga penyebab terjadinya kematian setelah penyakit kardiovaskuler dan kecelakaan (Tambunan, dalam Hasnida & Lumongga, 2009).

Data dari pemeriksaan patologi di Indonesia menyatakan bahwa urutan lima besar kanker adalah kanker leher rahim, kanker payudara, kelenjar getah bening, kulit dan kanker nasofaring (dalam Hasqa, 2008). Salah satu kanker yang perlu diwaspadai adalah kanker payudara (carcinoma mammae). Kanker ini menduduki peringkat kedua setelah kanker leher rahim di antara kanker yang menyerang wanita Indonesia (BKKBN, 2005). Di Indonesia insiden kanker payudara mencapai 20 orang per 100.000 penduduk. Ini menjadikan kanker payudara sebagai jenis kanker yang banyak ditemui pada wanita. (Medicastore, dalam Hasqa, 2008).

Transisi dari wanita yang sehat, aktif, dan bahagia menjadi seseorang yang menderita kanker payudara serta segala diagnosa dan treatment dapat terjadi dengan sangat cepat yang memungkinkan terjadinya beberapa kesulitan penyesuaian diri (Tavistock & Routledge, 2002). Seperti penyakit kronis lainnya, kanker menimbulkan sejumlah ancaman yang seringkali semakin parah dari waktu ke waktu. Pasien-pasien ini mengenali penyakitnya sebagai “real killer”, yang dapat mengakibatkan rasa sakit, cacat, dan pengrusakan. Pengobatan yang

(3)

panjang dan melelahkan akibat penyakit tersebut merupakan stresor traumatik tersendiri bagi diri mereka, sebagaimana adanya kebutuhan yang berkelanjutan untuk melakukan pemeriksaan setelah perawatan berakhir, dan kemungkinan dari kambuhnya penyakit tersebut (Bargai, 2009). Dengan kata lain, diagnosa dan

treatment kanker payudara dapat mengubah kehidupan wanita (Tavistock & Routledge, 2002).

Ada tiga tipe dasar dari pengobatan kanker payudara, yaitu pembedahan, radiasi, dan kemoterapi. Pembedahan merupakan pengobatan primer kanker payudara (Odgen, 2004). Ahli bedah dapat mengangkat tumor (lumpectomy), mengangkat sebagian payudara yang mengandung sel kanker atau pengangkatan seluruh payudara (mastectomy). Prosedur pembedahan yang dilakukan pada pasien kanker payudara tergantung pada tahapan penyakit, jenis tumor, umur dan kondisi kesehatan pasien secara umum. (dalam Sarafino, 2006). Pengobatan melalui pembedahan tidak terlepas dari adanya efek samping. Masalah yang biasanya muncul pada pasien yang telah melakukan prosedur pembedahan adalah bengkak dan mati rasa di sekitar area payudara yang telah diangkat (Ricks, 2005). Seperti yang diungkapkan Ibu Lena berikut ini:

”Waktu operasi dikoyak sampe kesitu (ketiak) ya, jadi kebas. Kayak ibu operasi waktu melahirkan aja..kebasnya dua tahun baru hilang. Ya ini mungkin juga lama ini. Belum enaklah, belum nyamanlah kalo kita tidur mengimpit sini, terasa dia bawah-bawah ini masih ada kebas-kebasnya.”

(Komunikasi Personal, Juni 2010)

Pembedahan biasanya diikuti dengan terapi tambahan seperti radiasi. Terapi radiasi dilakukan dengan sinar-X dengan berintensitas tinggi untuk membunuh sel

(4)

radiasi tidak begitu dirasa sakit, terapi ini dapat menghasilkan masalah efek samping. Dikarenakan radiasi mempengaruhi kesehatan dan sel, bagian yang dipengaruhi dapat mengalami iritasi, terbakar, atau kerontokan rambut. Seseorang dapat mengalami mual, muntah, hilangnya selera makan, mandul, dan menurunnya fungsi sumsum tulang belakang (dalam Sarafino, 2006).

Selanjutnya, pada kemoterapi, pasien menerima obat-obatan yang sangat keras, biasanya dimakan atau disuntikkan, yang akan beredar ke seluruh tubuh untuk membunuh sel kanker dengan cepat. Kemoterapi digunakan baik pada tahap awal ataupun tahap lanjut penyakit (pada saat tidak dapat lagi dilakukan pembedahan). Satu masalah dari kemoterapi ini adalah bahwa obat-obatan dapat juga membunuh banyak sel normal dengan cepat, sehingga dapat menghasilkan efek samping yang tidak menyenangkan, termasuk penurunan imunitas terhadap infeksi, luka atau nyeri pada mulut, kerontokan rambut, mual dan muntah, dan kerusakan organ internal (ACS; AMA; Williams, dalam Sarafino, 2006). Seperti yang diungkapkan Ibu Risa berikut ini:

”Memang lemah kita, kemo tu bikin lemah. Ibu diawal-awal baru masuk obat, satu minggu panas..pecah semua mulutnya, tangan ini semua panas, kaki semua panas, kepala panas. Rambut rontok, bulu mata pun rontok, Mana terakhir-terakhir inilah, hasil kukunya ini..dia hitam kayak kena bakar gitu. Hitam kali, hitam sehitam-hitamnya di tangan sama di telapak kaki. Emang ya ada lemahnya badan kita, tergantung obatnya juga, tergantung daya tahan tubuh juga.

(Komunikasi Personal, Agustus 2010)

Bagi banyak pasien, adanya dua efek samping dari pengobatan kanker terasa menyulitkan. Pertama, banyak pasien yang menjalani radiasi dan kemoterapi secara berulang mengalami kelelahan yang berkepanjangan dan parah yang sering

(5)

semakin memburuk sesudah pengobatan berakhir (Cella dkk., 1998; Jacobsen & Thors, 2003 dalam Sarafino, 2006). Kedua, kemoterapi sering menghasilkan periode mual dan muntah selama dan setelah pengobatan dilakukan; periode ini dapat menjadi sangat tidak menyenangkan dan memakan waktu yang panjang dimana pasien akhirnya tidak melanjutkan pengobatan, karena mereka beranggapan bahwa menjalani pengobatan tersebut dapat memperpendek kehidupan mereka (Carey & Burish, dalam Sarafino, 2006).

Rasa mual dan muntah sering menghasilkan dua efek: anticipatory nausea dan

learned food aversion. Pada anticipatory nausea, pasien yang telah menerima sedikit pengobatan dan obat-obatan akan muntah bahkan sebelum pengobatan dilakukan. Anticipatory nausea dialami sekitar 25 sampai 50% pasien kemoterapi yang menerima pengobatan secara berulang-ulang (Andrykowski; Carey & Burish, dalam Sarafino, 2006). Pasien kanker yang menerima kemoterapi atau terapi radiasi sering melaporkan bahwa mereka tidak dapat merasakan kelezatan makanan yang mereka sukai, karena disertai dengan gejala mual dan muntah-muntah yang disebut learn food aversion (dalam Sarafino, 2006).

Pengobatan kanker bukan hanya tidak menyenangkan, akan tetapi juga kompleks dan mengandung tuntutan. Penderita kanker payudara dituntut untuk melaksanakan pelbagai rutinitas yang berkaitan dengan pengaturan makan, menghindari pikiran berat, dan rajin berolahraga. Kebanyakan pasien kanker juga harus mengkonsumsi obat dirumah dan datang ke klinik secara teratur untuk tes laboratorium, mencatat apa yang dimakannya setiap hari, dan mengikuti pola perubahan hidup lainnya. Bagi beberapa pasien yang mengalami prosedur medis,

(6)

hal ini akan dirasakan lebih tidak menyenangkan daripada penyakit itu sendiri. Keputusan akan pengobatan yang mereka ambil sangat kompleks, yaitu berusaha untuk menyeimbangkan kesehatan dan mengambil segi keuntungan dari pengobatan tersebut yang berlawanan dengan efek samping yang terasa menyakitkan, seperti reaksi racun atau pengrusakan yang dapat mengakibatkan masalah penyesuaian diri jika hasil yang terjadi tidak seperti yang diharapkan (Stanton dkk., dalam Sarafino, 2006). Hal ini diungkapkan oleh Ibu Lena berikut ini:

”Enam kali kemo kan, memang berat. Sampe sekarang masih terasa kadang-kadang..tiba-tiba nanti obatnya itu..terasa seperti kayak di kayak setrum gitu, kayak kena setrum. Belum bisa, capek kali, belum bisa. Sekarang ini untuk ngangkat gak ada tenaga, gak bisa sekuat dulu lagi, gitulah. Ini aja masih sakit ini, kan baru berapa bulan pake obat-obat kemo itu, belum habis, jadi belum kuat kali lah fisiknya. Kalo kebanyakan duduk ntah kenapa pinggang ini sakit, jadi harus dibarengi sama jalan agak banyak.”

(Komunikasi Personal, Juni 2010)

Semakin berat penyakit fisik yang menyerang seseorang, semakin berat pula gangguan atau tekanan psikologis yang dialami (Yayasan Kanker Indonesia, 2005). Dampak psikologis yang mungkin muncul bisa merupakan reaksi psikologis terhadap diagnosis kanker yang harus dihadapinya, rangkaian terapi atau pengobatan yang dijalani klien dan kondisi fisiknya yang ”baru” (dalam Lukman, 2007). Diagnosa kanker, apapun jenisnya dan apapun tahap dari siklus kehidupannya, potensial menimbulkan trauma (Wainrib, 2006). Ketika kanker payudara didiagnosa, respon pertama seringnya adalah terkejut dan tidak percaya. Emosi yang kuat, seperti takut, cemas, depresi, marah, panik dan rasa bersalah, begitu sering dirasakan (Odgen, 2004). Perasaan tak nyaman dapat dirasakan

(7)

individu tatkala kanker ini merusak dan menyerang bagian tubuh yang sangat besar makna dan peranannya sebagai identitas dan nilai diri manusia secara spesifik (BKKBN, 2005).

Rahayu-Tjioe (1991) mengatakan bahwa payudara memiliki kegunaan baik yang aktuil maupun simbolik. Penggunaan aktuil adalah sebagai fungsi untuk menyusui bayi sedangkan penggunaan simbolik adalah sebagai lambang seksual pada wanita. Ketika payudara ini mengalami kerusakan, kondisi psikis seorang wanita akan terganggu dengan perasaan-perasaan negatif. Mereka akan mengalami ketakutan bahwa kanker payudara akan menyebabkan adanya pengrusakan, ketergantungan, nyeri, penurunan berat badan, penipisan finansial, kesepian dan kematian pada diri mereka. Hal ini diungkapkan oleh pernyataan Ibu Risa berikut ini:

”Ibu saat itu menjerit, disitu ibu nangis, nangis terus, setelah tahu pertama itu disitulah ibu down. Kita kan perempuan, ada benjolan sini..ibaratnya gimana gitu, macam gak ada lagi.. rasanya hidup itu macam besok terakhir, kayaknya kita gak ada siapa-siapa nya lagi, pasrah, gitulah. Begitu tau ada benjolan nangis, semualah itu, semua disitu. Itulah di awal-awal tahun pertama ibu gak mau operasi karna ibu takut itu, belum siap nerima itu.”

(Komunikasi Personal, Agustus 2010)

Rasa sakit yang ditimbulkan oleh penyakit ini akan menciptakan dampak psikologis yang buruk, baik bagi penderita maupun bagi orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Pada hari sebelum pengobatan radiasi dilakukan, individu sering khawatir tentang efek samping tersebut dan melaporkan kecemasan yang tinggi (Andersen, Golden-Kreutz, & DiLilli, dalam Sarafino, 2006). Penderita kanker payudara akan cenderung merasa tidak memiliki harapan hidup lagi. Apalagi

(8)

rumah sakit pada umumnya menyiratkan kesan menyeramkan bagi para penderita (dalam Sarafino, 2006).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Derogatis (1986) pada kelompok penderita kanker payudara, ditemukan adanya penurunan citra raga pada wanita penderita kanker payudara dikarenakan penerimaan keadaan tubuhnya yang tidak utuh lagi, setelah salah satu payudaranya diangkat. Fisik memang dapat disembuhkan secara pasti tetapi belum tentu kondisi mental wanita telah pulih akibat kesembuhan fisiknya. Pada umumnya penyakit kanker payudara sering menimbulkan perasaan yang tidak berdaya pada diri penderitanya. Suatu perasaan bahwa dirinya sudah tidak mampu lagi mengubah masa depannya. Hal itu akan banyak mempengaruhi motivasi penderita terhadap pengontrolan penyakitnya, sehingga banyak penderita kanker payudara yang mengalami stres (Derogatis, 1986). Banyak wanita merasa dirinya menjadi tidak berharga dan merasa bukan wanita seutuhnya lagi. Perasaan putus asa, tidak berharga, bersalah, dan bunuh diri adalah gejala-gejala depresi (Odgen, 2004). Keadaan semacam ini dapat menimbulkan masalah psikologis seperti rendah diri, merasa tidak lengkap sebagai wanita, dan pandangan–pandangan negatif lain tentang dirinya (dalam Odgen, 2004). Sebagaimana yang diungkap oleh Ibu Lena berikut ini :

“Ada alat untuk payudara buatan itu, kayak asli memang. Kalo orang yang gak tau kita sakit ya gak tau kalo ibu udah gak ada payudaranya. Tapi kan tetep aja sebenernya lepes sebelah gitu, ibaratnya perempuan tapi berkurang kali lah keindahan kita jadinya kan.”

(Komunikasi Personal, Juni 2010)

Kondisi-kondisi di atas tentu berdampak pada relasi sosial penderita. Oleh karena itu, diperkirakan akan terjadi pula perubahan dalam kehidupan sosialnya.

(9)

Perubahan ini bisa berupa perubahan status sosial karena kehilangan pekerjaan dari tempat kerjanya dan/atau perubahan peran dan tugas di rumah karena penderita sudah tidak mampu lagi melakukan tugasnya sebagai salah satu anggota keluarga. Hal ini mungkin saja terjadi, terutama pada penderita kanker yang harus menjalani operasi sebagai usaha kuratif (Odgen, 2004).

Banyak pasien penyakit kanker mengalami masalah psikososial yang bersumber dari perubahan yang terjadi dalam hubungan mereka dengan anggota keluarga dan sahabat. Pasien yang menerima dukungan sosial yang sedikit dan mendapat perlakuan negatif dari orang-orang yang berarti cenderung mempunyai masalah penyesuaian diri karena mereka merasa bahwa yang lainnya tidak ingin membicarakan tentang penyakit kanker yang sedang dialami dirinya. Selanjutnya kondisi penyakit kanker payudara juga akan menimbulkan banyak permasalahan terutama yang berhubungan dengan tingkah laku dan emosi serta keuangan keluarga. Permasalahan tersebut menyebabkan individu mengalami kondisi yang tertekan yang berasal dari dalam diri individu penyandang kanker payudara sendiri sehingga akan menimbulkan cara atau usaha untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap masalah dan tekanan yang menimpa dirinya (Odgen, 2004).

Sejak diagnosa kanker payudara dinyatakan dan setelah pengobatan berakhir, hidup berjalan terus, akan tetapi tidak akan pernah kembali seperti sediakala sebelum diagnosis. Hidup telah dipandang dengan cara yang berbeda oleh para penderita kanker payudara. Maka dari itu, hal yang penting untuk diperhatikan bagi para penderita kanker payudara adalah kemungkinan mental psikologis penderita yang akan mengalami penurunan secara drastis (Diananda, 2009).

(10)

Penelitian terakhir oleh Koopman, Butler, Giese-Davis, dan koleganya (dalam Wainrib, 2006) dalam sebuah artikel ”Traumatic Symptoms Among Women With Recently Diagnosed Primary Breast Cancer” mengindikasikan bahwa dampak emosional, kognitif, dan sosial berasal dari efek medis dan secara negatif mempengaruhi penyesuaian psikososial pasien. Bahkan untuk orang yang biasanya dapat mengatasi kebanyakan peristiwa kehidupan negatif dengan baik, kanker dan pengobatannya dapat meningkatkan tekanan bahkan pada tugas rutin sehari-hari (Wainrib, 2006). Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Ibu Risa berikut ini:

“Dua tahun loh ibu berobat terus. Perempuan dua tahun berobat terus, gak ngelayani suami, gak ngelayani anak-anak, gak masak apa-apa, semua gak bisa, kayak gak berfungsi kan. Memang sempat ibu ngerasain beban karna gak bisa ngurus apa-apa bahkan untuk yang kecil-kecil aja pun.”

(Komunikasi Personal, Agustus 2010)

Hidup dengan penyakit medis yang parah seperti kanker payudara merupakan peristiwa hidup yang penuh tantangan. Kebanyakan individu akan menyesuaikan diri dan mengatasinya dengan baik seiring berjalannya waktu, akan tetapi, seperti peristiwa traumatis kebanyakan lainnya, terdapat persentase yang cukup signifikan bahwa individu tersebut akan mengalami posttraumatic disorder, peningkatan kecemasan, depresi, dan kerusakan fungsional. Bahkan di antara pasien yang mendapat remisi dan beradaptasi dengan baik di tahun pertama atau tahun berikutnya, ancaman untuk kambuh dapat timbul, dan jika penyakit tersebut berjangkit kembali, maka keadaan akan lebih buruk daripada sebelumnya (Andersen, Golden-Kreulz, & DiLillo, 2001 dalam Sarafino, 2006). Menurut Ray and Baum (dalam Tavistock & Routledge, 2002), wanita dengan penyakit kanker

(11)

payudara harus bersiap-siap menghadapi masa depan dan status kesehatan yang tidak bisa diprediksi. Beberapa wanita mengalami kecemasan bahwa kanker akan kembali dan dapat waspada secara berlebihan dalam memeriksa gejala tubuh dikarenakan ketakutan kambuhnya penyakit kanker payudara tersebut (dalam Tavistock & Routledge, 2002).

Dari pemaparan di atas dapat terlihat bahwa penderitaan yang dialami oleh penderita kanker payudara sangatlah berat, sehingga tidak mengherankan ketika seseorang yang berada dalam keadaan tersebut akan lebih memilih menyerah dan meninggal saja. Penderitaan yang dialami oleh penderita kanker payudara dapat memperburuk kondisi penderita tersebut secara keseluruhan dan hal ini juga dapat membuat penderita menyerah pada penyakitnya tanpa ada usaha dan akhirnya meninggal (dalam Stiller & Wong, 2007). Bahkan, menurut laporan di Jurnal Institute Kanker Nasional (dalam Diandra, 2009) dinyatakan bahwa wanita yang pernah menderita kanker payudara memiliki risiko bunuh diri 37 % lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak pernah menderita kanker payudara.

Idealnya manusia dapat menghadapi berbagai masalah dan cobaan yang menimpanya sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Ketabahan, semangat, penerimaan dan kesabaran dalam menghadapi cobaan tersebut, membuat manusia dapat mengalami peningkatan dalam sikap dan kepribadiannya (dalam Andromeda, 2002). Hal ini sejalan dengan pernyataan Maddi (2006) yang menyatakan bahwa lingkungan yang penuh tekanan merupakan bagian dari kehidupan, dan memang, ketabahan dibutuhkan seseorang untuk tumbuh dan berkembang, daripada menyangkal dan menghindarinya. Membentuk sikap positif

(12)

terhadap suatu keadaan yang tidak menyenangkan, akan membuat seseorang melihat keadaan tersebut secara rasional, tidak mudah putus asa ataupun menghindar dari keadaan tersebut, tetapi justru akan mencari jalan keluarnya. Sikap positif dapat berbentuk seperti memperbaiki gaya hidup, mendekatkan diri kepada Tuhan, berkumpul bersama keluarga dan sahabat serta meniti karir yang lebih bermakna bagi dirinya (Maddi, 2006). Hal-hal tersebut dapat membuat seseorang mempunyai mental yang kuat, yang akan membantunya dalam menghadapi stresor kehidupan (Hardjana, 1994). Seperti yang dipaparkan Ibu Risa berikut ini:

”Suami ibu sendiri yang ngeyakinin kalo yang penting bisa sehat. Dia bilang untuk apa takut, anak udah ada dan udah besar, gak ada yang perlu diurusin kali. Adek juga ngenasehatin supaya tetap sabar, sabar, sabar. Suami mendukung, anak-anak juga, adek pun gitu ya alhamdulillah, makanya ibu bisa bertahan gini.”

(Komunikasi Personal, Agustus 2010)

Sikap ataupun reaksi orang dalam menghadapi kanker pada dirinya, berbeda satu sama lain dan individual sifatnya (Hawari, 2004). Beberapa individu mampu bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif sedangkan individu lain gagal karena mereka tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Hal ini tergantung pada seberapa jauh kemampuan individu yang bersangkutan menyesuaikan diri terhadap situasi yang mengancam kehidupannya (Hawari, 2004). Maka dari itu, banyak penyesuaian yang harus dilakukan untuk melindungi diri sendiri, bertahan, dan bangkit dalam menghadapi dampak psikosial yang muncul akibat penyakit kanker payudara (Odgen, 2004). Hal ini terungkap lewat pernyataan ibu Lena berikut ini:

(13)

"Masih agak lemes, belum terlalu fit, tapi ibu selalu coba. Karna dibilang dokter gak boleh dibiari, harus lakukan kegiatan. Tapi jangan yang terlalu berat-berat kali, tapi ntah nyapu..masak-masak boleh lah, karna supaya untuk mengimbangi. Kalo dibawa tidur-tidur terus pun kan payah juga.”

(Komunikasi Personal, Juni 2010)

Kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan ataupun tekanan yang berat bukanlah sebuah keberuntungan, tetapi hal tersebut menggambarkan adanya kemampuan tertentu pada individu yang dikenal dengan istilah resiliensi (Tugade & Fredrikson, 2004). Resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk dapat bangkit dengan sekuat tenaga dan menghadapi kesulitan hidupnya dengan sikap positif, bahkan mampu mengatasi kesulitan dengan mengubahnya menjadi sesuatu yang positif (Goodheart & Worell, 2006). Individu yang resilien dapat menemukan cara untuk memandang ketidakberuntungan secara berbeda, dan ini digunakan untuk melindungi diri mereka dari beban kesulitan yang ada (Wainrib, 2006). Individu dengan resiliensi yang baik akan mampu menghadapi masalah dengan baik, mampu mengontrol diri, dan mampu mengelola stress dengan baik dengan cara mengubah cara berpikir ketika berhadapan dengan stress (Reivich dan Shatte, 2002). Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan Ibu Risa berikut ini:

”Mulailah kita sadar, eh kok harus gini, ini kan cobaan yang dikasi sama Allah, pasti ada jalannya, disitulah baru semangat lagi, tergantung dari hati juga. Kalo semangatnya ini, gak terasa sakitnya. Tapi kalo memang lagi malas ngapa-ngapain, terasa.”

(Komunikasi Personal, Agustus 2010)

(14)

seperti masalah kesehatan yang serius (Wainrib, 2006). Rasa sakit emosional dan

distress merupakan hal umum yang terjadi pada penderita kanker payudara (Odgen, 2004). Banyak wanita penderita kanker payudara yang menemukan makna baru dalam hidup mereka dan memandang kanker sebagai pengalaman pembelajaran dan tantangan untuk dapat diatasi. Mereka tahu bahwa kanker payudara dapat membuat mereka mati, akan tetapi mereka juga percaya bahwa mereka seharusnya dapat mengesampingkan ketakutannya (Ericksen, 2008). Hal ini terungkap dari pernyataan Ibu Risa berikut ini :

”Agak takut, tapi ya gitulah kanker itu, gak bisa dibilang sembuh 100 % loh. Dibilang sembuh..gak, dia masih ada, tapi dimana kita susah taunya. Kalo dibilang sembuh 100 % hanya Allah yang tau. Makanya ibu yang penting jaga badan aja lah, apa yang bisa ibu patuhi perintah dokter, ibu ikuti, berusaha sehat sebisa mungkin, semampu manusia ya. Masalah umur, biarlah Allah aja yang mengatur, kalo memang udah ajalnya ya jadi, tapi kalo belum ya gak.”

(Komunikasi Personal, Agustus 2010)

Astuti (2005) menyatakan bahwa orang yang resilien dapat kembali normal setelah mengalami trauma karena kemampuan mereka untuk dapat mengatur kondisi kognitif emosional dan biologis mereka yang seimbang. Mereka mempunyai harapan terhadap masa depan dan percaya bahwa mereka dapat mengontrol arah kehidupannya (Reivich dan Shatte, 2002). Horton and Wallander (2001) menyatakan bahwa dukungan sosial dan harapan yang diberikan kepada orang yang menderita penyakit kronis dapat menjadi mediator dari munculnya karakter resilien. Resiliensi pada akhirnya dapat membantu penderita kanker payudara untuk mampu bangkit dari trauma penyakit yang dialaminya (Astuti, 2005).

(15)

Berangkat dari pemaparan di atas peneliti tertarik untuk memfokuskan arah penelitian pada dinamika resiliensi wanita penderita kanker payudara. Peneliti ingin mengetahui bagaimana proses resiliensi responden dalam menghadapi kondisi penuh tekanan akibat penyakit kanker payudara yang dialaminya.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka perumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana gambaran resiliensi pada wanita penderita kanker payudara.

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memperoleh pemahaman mengenai dinamika resiliensi pada wanita penderita kanker payudara.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat teoritis

Manfaat teoritis penelitian ini adalah untuk menambah khasanah dalam pembelajaran mengenai dinamika resiliensi pada wanita penderita kanker payudara dan memberi sumbangan bagi ilmu psikologi khususnya Psikologi Klinis.

2. Manfaat praktis

(16)

a. Memberikan wacana dan informasi mengenai kanker payudara kepada wanita yang juga menderita penyakit tersebut agar dapat memahami bahwa resiliensi merupakan salah satu faktor penting dalam menghadapi tekanan hidup akibat penyakit kanker payudara yang dialami.

b. Memberikan wacana dan informasi mengenai kanker payudara pada masyarakat agar dapat memberikan dukungan penuh pada penderita kanker payudara sehingga membantu proses resiliensi pada penderita kanker payudara.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Proposal penelitian disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penelitian sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian.

BAB II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan tentang tinjauan teoritis dan penelitian-penelitian terdahulu yang berhubungan dengan fokus penelitian, diakhiri dengan pembuatan paradigma penelitian. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori resiliensi yang terdiri dari definisi resiliensi, domain resiliensi, faktor yang mempengaruhi resiliensi, serta fungsi resiliensi, dan teori kanker payudara yang terdiri dari definisi kanker

(17)

dan kanker payudara, penyebab kanker payudara serta pengobatan kanker payudara.

BAB III : Metode Penelitian

Bab ini akan menguraikan tentang alasan digunakannya pendekatan kualitatif, responden penelitian, teknik pengambilan responden, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, kredibilitas penelitian, prosedur penelitian serta teknik dan proses pengolahan data. Bab IV : Analisa Data dan Interpretasi

Bab ini menguraikan deskripsi identitas responden, data observasi, serta analisa dan interpretasi data yang diperoleh dari hasil wawancara yang dilakukan dan pembahasan data-data penelitian sesuai dengan teori yang relevan.

Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran

Bab ini menguraikan kesimpulan dari penelitian ini, diskusi mengenai hasil penelitian yang ada serta saran-saran yang dianjurkan mengenai penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis tingkat resiko tsunami, daerah dengan resiko sangat tinggi dan tinggi terdapat di dua wilayah pesisir utara yaitu Kecamatan Alok dan Magepanda dengan

Hasil isolasi bakteri rizosfer buah merah dari desa Warkapi, Madrad, Amban Pantai dan SP 8 diperoleh bakteri dari golongan bakteri fluorescence, tahan panas dan kitinolitik

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji strategi manajemen Suara Merdeka untuk mempertahankan eksistensi perusahaan dalam menghadapi media kompetitor di

Pemberian Nomor Cara Seri Unit (Serial Unit Numbering System) Pemberian nomor cara seri unit atau dikenal dengan Serial Unit Numbering System (SUNS) adalah suatu

Untuk kondisi MAT yang tidak jenuh dalam pengolahan data didapatkan nilai faktor keamanan untuk overall slope didapatkan nilai faktor keamanan 1,036 pada metode

 Administrator melihat laporan (absensi) Menu laporan pada halaman registrasi Pilih menu dan klik laporan Aplikasi akan menampilkan

Hasil penelitian pengetahuan ibu hamil tentang proses persalinan menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik.. Pengetahuan itu

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh pemberian metode resitasi terhadap kreativitas dan hasil belajar peserta didik fisika yang