• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TENTANG PASANGAN DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA EMERGING ADULT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TENTANG PASANGAN DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA EMERGING ADULT"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN

TENTANG PASANGAN DENGAN KESIAPAN

MENIKAH PADA EMERGING ADULT

Yassinda Rizkha Sari, Lisa Ratriana

yassinda@gmail.com

ABSTRACT

This research is examined to understand the relationship between knowledge of partner from

Epstein’s Love Skills and marriage readiness among emerging adult. This research is a

correlational research using quantitative approach and involving 100 emerging adults that

are in a relationship. Knowledge of partner was measured using subscale knowledge of

partner, which is a part of Epstein Love Competencies Inventory Epstein (2005) and

marriage readiness is measured by the Modified Marriage Readiness Inventory (Wiryasti,

2004). The areas measured on the marriage readiness is communication, finance, children

and parenting, husband and wife roles, partner background and relationships with family,

religion, interest and use of leisure time. Based on this research the result coming out with a

significance value of 0.00 and correlational value of .384, which mean that there is a

significant relationship between knowledge of partner and marriage readiness. (YRS)

Keywords: Knowledge of partner, marriage readiness, emerging adult.

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui hubungan antara aspek pengetahuan tentang

pasangan dalam Epstein’s Love Skills dengan kesiapan menikah pada emerging adult.

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional dan menggunakan pendekatan kuantitatif

serta melibatkan 100 orang emerging adult yang sedang berada dalam hubungan pacaran.

Pengetahuan tentang pasangan diukur dengan menggunakan subscale pengetahuan tentang

pasangan yang menjadi bagian dari alat ukur Epstein Love Competencies Inventory

(Epstein, 2005) dan kesiapan menikah diukur dengan menggunakan Modifikasi Inventori

Kesiapan Menikah (Wiryasti, 2004). Adapun area-area kesiapan menikah yang diukur

adalah komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suami-istri, latar

belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, serta minat dan pemanfaatan

waktu luang. Berdasarkan hasil dari penelitian ini diperoleh nilah signifikasi sebesar .000

dan nilai korelasi sebesar .384, dengan kata lain terdapat hubungan yang signifikan antara

pengetahuan tentang pasangan dan kesiapan menikah. (YRS)

Kata kunci: Pengetahuan tentang pasangan, kesiapan menikah, emerging adult

PENDAHULUAN

Manusia merupakan mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan manusia lain. Pentingnya hubungan dengan orang lain bagi manusia dikarenakan adanya kebutuhan-kebutuhan yang hanya dapat dipenuhi dengan memiliki pasangan (Donna, 2008). Hubungan yang terjalin dapat berupa hubungan pertemanan, persahabatan, pacaran, hidup bersama (cohabitation), dan hubungan perkawinan melalui institusi pernikahan. Walaupun hidup bersama dapat menjadi alternatif untuk menggantikan pernikahan, tetapi sebagian besar manusia tetap memilih untuk menjalani pernikahan, karena pernikahan diikat dalam sebuah institusi yang legal (Atwater & Duffy, 1999).

Pada umumnya, seseorang yang menikah akan merasakan manfaat baik dalam hal kesehatan, ekonomi, maupun kehidupan sosial (Maher, 2004). Waite dan Gallagher (dalam Olson & DeFrain, 2006), menyatakan bahwa menikah dapat memberikan dampak positif bagi kesehatan emosional dan fisik

(2)

seseorang. Selain itu, manfaat lain dari adanya pernikahan dapat dirasakan melalui peningkatan kesejahteraan psikologis yang mencakup penurunan tingkat depresi, meningkatnya harga diri seseorang, memiliki hubungan pribadi yang lebih dekat dengan orang lain, dan perkembangan pribadi yang lebih kuat (Marks & Lambert, 1998, dalam Seccombe, K., Warner, R. L., 2004).

Dari penjelasan di atas, tampak bahwa pernikahan menjadi suatu hal yang penting dan diharapkan dapat berlangsung dalam kehidupan seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh IPADI (Ikatan Peminat dan Ahli Demografi Indonesia) melalui lembaga kependudukan BKKBN, menemukan data tentang usia pernikahan pertama di Indonesia, yaitu usia 22 hingga 25 tahun (BKKBN, 2010). Jika dikaitkan dengan rentang usia perkembangan, maka rata- rata usia mereka tergolong ke dalam rentang usia emerging adult. Dalam rentang usia 18-25 tahun ini, emerging adult memiliki beberapa karakteristik, salah satunya adalah eksplorasi identitas khususnya dalam hal pekerjaan dan percintaan (Arnett, 2000). Eksplorasi dalam hal percintaan yang dimaksud adalah dimana individu mulai mencari pasangan hidup yang benar-benar cocok dengannya dan belajar untuk mencurahkan dirinya dalam hubungan yang lebih serius. Individu lebih memilih menjalani hubungan pacaran yang memiliki tujuan yang pasti atau yang mengarah ke pernikahan daripada hubungan pacaran yang sekadar untuk main-main (Arnett, 2004 dalam Gallo & Gallo, 2011).

Menemukan pasangan yang tepat dan mengembangkan hubungan personal adalah dua langkah awal menuju pernikahan (Blood, 1969). Kedua langkah tersebut salah satunya diwujudkan dalam bentuk berpacaran. Pada saat berpacaran, pasangan mengembangkan berbagai pengetahuan tentang pasangannya dan perbedaan diantara keduanya serta kemampuan interpersonal yang tentunya bermanfaat bagi kehidupan pernikahan, khususnya untuk menyesuaikan diri di masa awal pernikahan (Blood, 1969). Setelah individu merasa cukup dalam mengembangkan hubungan personal yang dibangun dalam masa berpacaran, individu biasanya akan lebih mantap memutuskan untuk menikah (Yufrizal, 2012).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2006), individu cenderung hanya ingin menikah dengan orang yang benar-benar mereka ketahui. Hal tersebut didukung dengan wawancara yang dilakukan kepada 25 emerging adult di Jakarta, dimana 92% emerging adult memilih untuk melalui proses berpacaran dan mengenal pasangan terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menikah, daripada tanpa proses pacaran (ta’aruf). Hal tersebut dikarenakan individu merasa perlu mengetahui tentang pasangannya terlebih dahulu dan melihat apakah ada kecocokan diantara keduanya sebelum akhirnya melanjutkan hubungan ke pernikahan. Kecocokan merupakan salah satu alasan bagi pasangan untuk bertahan dan berlanjut ke jenjang pernikahan (Donna, 2008).

Lebih lanjut dijelaskan oleh Donna (2008), pasangan yang menikah tanpa pengetahuan tentang pasangan akan mengalami banyak kesulitan karena pasangan belum mengetahui dan mengerti tentang satu sama lainnya. Pengetahuan mengenai pasangan ini sangat menentukan perjalanan rumah tangga yang pasangan bangun untuk selanjutnya. Selain itu, sekitar 2-3 tahun di awal pernikahan akan terjadi beberapa perubahan, seperti menurunnya kebebasan, hubungan dengan teman dan kerabat baru, serta tanggung jawab peran domestik rumah tangga (Baron & Bryne, 2000). Oleh karena itu, pada tahap ini pasangan butuh menyesuaikan diri satu sama lain (Williams, et al, 2006). Seseorang dapat berubah setelah mereka menikah dan banyak orang bahkan lebih menyenangkan saat sebagai pacar dibandingkan saat menjadi suami atau istri (Baron & Bryne, 2000). Hal tersebut juga dikuatkan oleh hasil wawancara kepada emerging adult yang sudah menikah, dimana banyak dari mereka merasakan perubahan yang cukup besar pada pasangan setelah menikah. Mereka juga mengakui bahwa terkadang perubahan tersebut dapat memicu perkelahian dalam rumah tangga.

Berdasarkan hasil wawancara dan teori-teori di atas dapat dilihat bahwa pengetahuan tentang pasangan merupakan suatu aspek yang penting dalam suatu hubungan. Hal tersebut didukung oleh Epstein, et al (2005) yang mengemukakan tujuh kompetensi yang harus dimiliki seseorang untuk menciptakan hubungan yang harmonis, yang salah satunya adalah pengetahuan tentang pasangan. Pengetahuan tentang pasangan dijelaskan oleh Showes & Zeigler-Hill (2004 dalam Epstein, 2005) tentang bagaimana individu dapat mendeskripsikan pasangannya secara tepat. Lebih lanjut menurut Epstein (2012), pengetahuan tentang pasangan merupakan salah satu kompetensi yang paling ampuh dalam memprediksi dan menciptakan hubungan yang harmonis.

Setiap individu yang menikah tentu menginginkan agar pernikahan yang dijalaninya bertahan dan harmonis. Walau begitu, tidak sedikit pasangan menikah yang berakhir pada perceraian atau gagal dalam pernikahan tersebut. Tercatat pada tahun 2012 ada 343.446 kasus perceraian di seluruh Indonesia (Rivki, 2013). Bahkan, tingkat perceraian di Indonesia masuk peringkat tertinggi se-Asia Pasifik (Nawawi, 2013). Salah satu alasan terbanyak orang bercerai adalah karena tiak adanya kecocokan diantara pasangan (Dolan & Hoffman, 2008 dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009)

(3)

Sebenarnya, resiko perceraian dan ketidakbahagiaan dalam pernikahan pada pasangan menikah dapat diminimalisir sejak awal sebelum pernikahan dilakukan bila individu telah memiliki kesiapan menikah yang baik (Yufizal, 2012). Persiapan untuk menikah merupakan salah satu bentuk pencegahan munculnya perceraian. Kesiapan menikah dijelaskan sebagai kemampuan individu untuk menyandang peran barunya—yaitu sebagai suami atau istri—dan digambarkan oleh adanya kematangan pribadi, pengalaman dalam menjalin hubungan interpersonal, usia minimal dewasa muda, adanya sumber finansial, dan studi menengah yang telah selesai (Wiryasti, 2004).

Larson, et al, (1994 dalam Nelson, 2008) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat kesiapan menikah seseorang, maka dapat diprediksikan orang tersebut akan memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang tinggi pula. Selain itu, kesiapan menikah pun dapat menjadi prediktor dari kesuksesan dan stabilitas pernikahan (Holman, Larson, & Harmer, 1994). Dengan kata lain, pernikahan yang sukses, stabil, dan memiliki tingkat kepuasan yang tinggi, tentu dapat menurunkan resiko perceraian pada pasangan menikah. Oleh karena itu, kesiapan menikah ini penting untuk dimiliki seseorang yang akan menikah.

Mempersiapkan diri sebelum memasuki kehidupan pernikahan merupakan hal yang sangat penting karena dengan persiapan yang baik akan memberikan banyak manfaat untuk bisa menjalani pernikahan yang baik (Ginanjar, 2011). Kesiapan menikah dapat ditingkatkan dengan mengikuti program pendidikan pranikah yang tentunya dapat meningkatkan kualitas dari persiapan pasangan sebelum menikah (Olson, Larson, & Olson, 2009). Stanley, et al (dalam Olson, Larson, & Olson, 2009, 2009) menjelaskan bahwa dengan mengikuti program pendidikan pranikah, maka resiko perceraian dapat berkurang 31%. Dijelaskan lebih lanjut mengenai penelitian tersebut, pasangan yang mengikuti program pendidikan pranikah akan memiliki kepuasan pernikahan yang lebih tinggi, komitmen tinggi pada pernikahan, dan mengalami konflik pernikahan yang lebih rendah dibandingkan pasangan yang tidak mengikuti program.

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa pengetahuan tentang pasangan dan kesiapan menikah tersebut, dapat dilihat bahwa pengetahuan tentang pasangan dan kesiapan menikah dapat menjadi fondasi yang kuat bagi individu yang akan menikah. Berdasarkan pentingnya pengetahuan tentang pasangan dan kesiapan menikah bagi pernikahan dan berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia terkait dengan pernikahan, peneliti tertarik untuk melihat hubungan antara pengetahuan tentang pasangan dan kesiapan menikah pada emerging adult.

METODE PENELITIAN

Berdasarkan tujuannya, penelitian ini termasuk ke dalam penelitian korelasional. Tujuan dari penelitian korelasional adalah untuk menguji dan menjelaskan asosiasi dan hubungan diantara variabel (Graveter & Forzano, 2009). Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan bersifat kuantitatif. Penelitian kuantitatif didasarkan pada penghitungan skor yang didapatkan oleh tiap-tiap responden pada pengukuran variabel-variabel, skor tersebut dikumpulkan dan dilakukan analisis statistik guna mendapatkan kesimpulan dan interpretasi (Gravetter & Forzano, 2009). Terdapat dua alat ukur yang akan digunakan pada penelitian ini, yaitu Epstein Love Competencies Inventory (ELCI) dan Inventori Kesiapan Menikah. Dalam penelitian ini, kedua alat ukur tersebut digabungkan ke dalam satu booklet kuesioner dan kuesioner online.

Sesuai dengan permasalahan yang diangkat pada penelitian ini, maka karakteristik subjek yang akan digunakan pada penelitian ini adalah emerging adult berusia 22 sampai 25 tahun, telah memiliki pasangan (berpacaran) dengan batas berpacaran minimal 6 bulan, dan berdomisili di Jakarta.

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain tahap persiapan penelitian, tahap tes pilot, tahap pelaksanaan penelitian, serta tahap pengolahan data dan analisis. Pada tahap persiapan penelitian, peneliti melakukan studi literatur untuk memperdalam pemahaman mengenai topik penelitian, menentukan alat ukur, dan melakukan adaptasi untuk alat ukur ELCI. Pada tahap pilot, peneliti melakukan tahapan pengambilan data pilot pada 50 orang responden untuk uji keterbacaan, uji validitas, dan uji reliabilitas alat ukur. Selanjutnya, peneliti melakukan pengolahan data untuk mengukur validitas dan reliabilitas alat ukur. Dari hal uji validitas dan reliabilitas total item untuk alat ukur pengetahuan tentang pasangan adalah 9 item, dan total item untuk alat ukur kesiapan menikah adalah 29 item. Pada tahap pelaksanaan penelitian, peneliti melakukan tahapan pengambilan data pada 100 emerging adults di Jakarta. Terakhir, pada tahap pengolahan data dan analisi, peneliti menggunakan SPSS (Statistical Package for Social Science) versi 22 sebagai software untuk pengolahan data. Dalam pengolahan data tersebut, teknik yang digunakan adalah teknik statistika deskriptif untuk melihat gambaran umum mengenai karakteristik dari sampel penelitian dan teknik korelasi spearman digunakan untuk mengkorelasikan antara skor pengetahuan tentang pasangan dengan skor kesiapan menikah.

(4)

HASIL DAN BAHASAN

Berikut ini akan dipaparkan mengenai gambaran umum responden penelitian berdasarkan data demografi jenis kelamin, usia, lama menjalin hubungan, dan daerah tempat tinggal yang dilakukan dengan perhitungan statistik:

Table 1

Gambaran Umum Responden berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Lama Menjalani Hubungan, dan Daerah Tempat Tinggal.

Aspek Demografis Klasifikasi Frekuensi (%)

Jenis Kelamin Laki-laki 30 30%

Perempuan 70 70% Total 100 100% Usia 22 tahun 63 63% 23 tahun 21 21% 24 tahun 6 6% 25 tahun 10 10% Total 100 100% Lama Menjalin Hubungan/pacaran 6 - 18 bulan 25 25% 19 - 31 bulan 49 49% 32 - 44 bulan 11 11% > 44 bulan 15 15% Total 100 100%

Daerah Tempat Tinggal Jakarta Barat 12 12%

Jakarta Selatan 31 31%

Jakarta Timur 27 27%

Jakarta Utara 16 16%

Jakarta Pusat 14 14%

Total 100 100%

Sumber: Hasil olah SPSS

Berdasarkan uji normalitas yang sudah dilakukan, data pengetahuan tentang pasangan dan kesiapan menikah yang diperoleh merupakan data yang berdistribusi tidak normal. Makan perhitungan koefisien korelasi yang digunakan dalam penelitian ini ialah korelasi spearman. Secara umum penerimaan hipotesis null (H0) adalah jika nilai sig < 0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima. Sebaliknya

jika nilai sig > 0,05 maka H0 diterima dan Ha ditolak. Dengan menggunakan teknik analisis spearman

correlation tersebut didapatkan koefisien korelasi antara pengetahuan tentang pasangan dan kesiapan menikah sebesar .489 dengan level signifikansi sebesar .000. Hal ini berarti terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan tentang pasangan dan kesiapan menikah. Lebih lanjut, koefisien korelasi

(5)

yang bernilai positif menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai pengetahuan tentang pasangan pada individu maka akan semakin tinggi nilai kesiapan menikahnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan tentang pasangan secara signifikan berkorelasi dengan kesiapan menikah. Oleh sebab itu, H0 dalam penelitian ini ditolak dan Ha diterima. Hal ini berarti terdapat hubungan antara pengetahuan

tentang pasangan dan kesiapan menikah. Berikut merupakan hasil dari uji korelasi dari data yang telah diolah menggunakan SPSS Version 22:

Table 2 Uji Korelasi Pengetahuan Tentang Pasangan Kesiapan Menikah Spearman’s rho Pengetahuan Tentang Pasangan Correlation Coefficient 1 .489 ** Sig. (2-tailed) . 0 N 100 100 Kesiapan Menikah Correlation Coefficient .489 ** 1 Sig. (2-tailed) 0 . N 100 100

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

SIMPULAN DAN SARAN

Hasil dari penelitian ini secara keseluruhan sesuai dengan hipotesis penelitian yaitu terdapat hubungan antara pengetahuan tentang pasangan dengan kesiapan menikah pada emerging adult (ρ = 0.489, p < 0.05). Peneliti membuat hipotesis tentang adanya hubungan di antara pengetahuan tentang pasangan dengan kesiapan menikah karena melihat adanya dinamika di antara keduanya melalui manfaat pengetahuan tentang pasangan dan kesiapan menikah sebagai fondasi pernikahan.

Hasil penelitian tersebut dapat dijelaskan melalui berbagai studi literatur. Kedua variabel penelitian terbentuk ketika pasangan menjalin masa pacaran. Pengetahuan tentang pasangan dikembangkan agar individu dapat mengetahui tentang pasangannya dan melihat kecocokan diantara keduanya. Donna (2008) mengatakan bahwa kecocokan menjadi salah satu alasan bagi pasangan untuk bertahan dan berlanjut ke jenjang pernikahan. Selanjutnya, Atwater dan Duffy (1999) menyatakan bahwa kebahagiaan perkawinan tergantung pada seberapa baik pasangan menemukan kesesuaian atau kecocokan.

Pada umumnya, individu yang akan menikah menjalin hubungan dengan pasangan sebagai bagian dari proses perkenalan dan membangun kesiapan untuk menjalani kehidupan pernikahan (Mahmudah, 2012). Pada saat berpacaran, pasangan berbagi pengetahuan tentang perbedaan diantara keduanya dan kemampuan interpersonal yang tentunya bermanfaat bagi kehidupan pernikahan, khususnya untuk menyesuaikan diri di masa awal pernikahan (Blood, 1969). Dengan berbagai pengetahuan tentang perbedaan di antara keduanya yang diperoleh pada masa berpacaran ini, dapat disimpulkan bahwa pasangan mengetahui, mempelajari serta menyesuaikan diri dalam beberapa hal, seperti kebiasaan pasangan dalam mengelola keuangan, latar belakang pasangan, memupuk relasi dengan keluarga besar masing-masing pasangan, dan membicarakan masalah agama yang merupakan area-area dalam kesiapan menikah.

Selanjutnya, dijelaskan oleh Bradbury & Karney (2010), bahwa untuk menggali pengetahuan tentang pasangan dibutuhkan komunikasi. Komunikasi termasuk dalam area kesiapan menikah. Hasil penelitian menunjukan bahwa komunikasi yang baik merupakan salah satu syarat dalam pernikahan yang

(6)

sukses (Robinson dan Blanton, dalam DeGenova, 2008). Pengetahuan tentang pasangan juga meliputi pengetahuan mengenai nilai-nilai yang dianut oleh pasangan dan keluarga pasangan (Epstein, 2005). Nilai-nilai yang dimaksud termasuk pula nilai agama. Pada umumnya kesamaan prinsip agama menjadi hal yang penting dalam pemilihan pasangan di Indonesia karena pencatatan pernikahan hanya dapat dilakukan oleh pasangan yang memiliki kesamaan keyakinan (Sarwono, 2005). Lebih lanjut, nilai-nilai yang dianut individu juga berasal dari keluarga. Keluarga besar, khususnya orangtua pasangan, memang masih memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan perkawinan di Indonesia, khususnya dalam pemilihan pasangan untuk dijadikan sebagai suami ataupun istri (Sarwono, 2005). Pemilihan pasangan ini mempertimbangkan latar belakang pasangan yang biasanya terkait dengan kesamaan budaya, suku, agama, dan atau kelas sosial (Sarwono, 2005). Banyaknya kesamaan dalam beberapa hal tersebut memang dapat mempermudah pasangan dalam menyesuaikan diri di masa awal pernikahan (Atwater, 1983). Selain itu, pengetahun tentang pasangan juga berarti mampu bersenang-senang dengan pasangan (Epstein, 2005). Hal tersebut mencakup pengetahuan mengenai hal yang disukai pasangan dan cukup peduli untuk meluangkan waktunya dengan bersenang-senang bersama pasangan. Semakin individu mengetahui pasangannya maka individu mengetahui hal-hal yang diminati pasangan dan bagaimana pasangan memilih untuk memanfaatkan waktunya. Terkait dengan minat dan pemanfaatan waktu luang, Arond dan Pauker (1987 dalam Morris & Carter, 1999) menjelaskan bahwa meluangkan waktu untuk melakukan aktivitas bersama dengan pasangan dapat mengembangkan kedekatan. Minat dan pemanfaat waktu luang juga merupakan salah satu aspek dalam kesiapan menikah. Terlebih lagi, pemanfaatan waktu luang ini juga berkontribusi dalam memprediksi kepuasan individu pada sebuah hubungan (Fowers dan Olson, 1989).

Dari berbagai penjelasan diatas, hubungan antara pengetahuan tentang pasangan dan kesiapan menikah terlihat dari bagaimana kedua hal tersebut sama-sama saling terbentuk seiring dengan berjalannya hubungan. Dengan berkembangnya pengetahuan tentang pasangan, individu mempelajari kehidupan pasangannya sambil mengembangkan area-area dalam kesiapan menikah. Maka, semakin baik pengetahuan tentang pasangan individu maka kesiapan menikahnya juga akan lebih baik.

Berdasarkan simpulan yang telah diuraikan, terdapat beberapa saran yang dapat peneliti kemukakan untuk penelitian selanjutnya. Adapun saran teoritis yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya, yaitu dalam pengambilan responden yang mampu merepresentasikan populasi yang ada, sebaiknya lebih memperluas wilayah pengambilan data sehingga dapat mewakili lebih banyak populasi. Untuk penelitian lanjutan, peneliti dapat memilih berbagai variabel lain yang berkaitan dengan premarital area serta tidak hanya melihat hubungan antar variabel tetapi juga melihat pengaruhnya terhadap kehidupan pernikahan. Peneliti mengharapkan adanya penelitian yang membahas lebih dalam mengenai topik kesiapan menikah, pengetahuan tentang pasangan, dan relationship skills lainnya. Sedangkan saran praktis yang berkaitan dengan hasil penelitian ini ditujukan bagi para psikolog, konselor pernikahan, dan pasangan yang hendak menikah. Bagi para psikolog dan konselor pranikah, diharapkan melakukan bimbingan pranikah dengan memperhatikan area-area kesiapan menikah seperti komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suami-istri, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, serta minat dan pemanfaatan waktu luang. Selain itu, penting pula bagi psikolog dan konselor pranikah untuk memperhatikan aspek pengetahuan tentang pasangan pada pasangan yang sedang mengikuti program bimbingan pranikah. Bagi pasangan yang telah merencanakan pernikahan diharapkan dapat memperhatikan dan melatih kecakapan mereka dalam berbagai area kesiapan menikah dan keterampilan hubungan.

REFERENSI

Agustin, I. (2012). Terapi dengan Pendekatan Solution-focused pada Individu yang Mengalami Quarterlife Crisis. Tesis. Jakarta. Universitas Indonesia.

Anastasi, A., Urbina, S. (2007). Tes Psikologi (Psychological Testing). Jakarta: PT Indeks. Arikunto, S (2002). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Arnett, J. J. (2000). Bridging Cultural and Developmental Approaches to Psychology. New York: Oxford University Press.

Arnett, J. J. (2000). Emerging adulthood: A theory of development from the late teens through the twenties. American Psychologist.

Arnett, J. J. (2004). Emerging adulthood: The winding road from the last teens through twenties. New York: Oxford University

Atwater, E. & Duffy, K. G. (1999). Psychology For Living Adjustment, Growth, and Behavior Today (6th

ed). New Jersey: Prentice Hall, Inc.

(7)

Azwar, S. (2009). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Belajar.

Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional [BKKBN]. Pendewasaan Usia Perkawinan dan Hak-Haka Reproduksi Remaja. 2010. Jakarta.

Badger, S. (2005). Ready or not? Perceptions of marriage readiness among emerging adults. Doctoral

Dissertation. Retrieved from

http://proquest.umi.com/pqdlink?did=1031052631&Fmt=7&clientId=7935 6&RQT=309&VName=PQD

Baron, Robert. A., & Byrne, Donn. (2000). Social psychology. Boston: Allyn and Bacon.

Benokraitis, N.V. (1996). Marriage and family (2th ed): Changes, choise and constraints. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Blood, R.O. (1969). Marriage 2nd ed. Toronto: Collier-Macmillan Canada, Ltd.

Bowman, H.A. & Graham, B.S. (1978). Modern Marriage. New York: McGraw-Hill.

Bradbury, T. N., & Karney, B. R. (2010). Intimate relationships. New York, NY: W. W. Norton.

Buhrmester, et al. (1988). Five Domains of Interpersonal Competence in Peer Relationship. Jurnal of Personality and Social Psychology. Vol. 55 no 6, 1991-1008.

Cohen, Ronald J., Swerdlik, Mark E. (2005). Psychological Testing and Assessment: An Introduction to

Tests and Measurements. New York: McGrawHill.

DeGenova, M.K. (2008). Intimate, relationships, marriages & families (7th ed). New York: McGraw-Hill Companies, Inc.

DeLap, H. (2000). Personal Readiness for Marriage in Adult Children of Alcoholics and Adult Children

of Non-Alcoholics. USA: University of Wisconsin-Stout.

Dewi, I. S. (2006). Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja. Tesis. Universitas Sumatera Utara.

Donna, D. F. (2008). Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa Proses Pacaran (ta’aruf). Skripsi. Universitas Gunadarma.

Duvall, E & Miller, C. M. (1985). Marriage and Family Development 6th ed. New York: Harper & Row Publisher.

Epstein, R., Warfel, R. & James, J. (2005). The Power of Relationship Skill: Initial Validation of A

Comprehensive New Test. Los Angeles.

Epstein, R., Warfel, R., Johnson, J., Smith, R., & McKinney, P. (2012). Which Relationship Skills Count Most? Journal of Couple & Relationship Therapy, 12:297–313.

Fowers, B.J., & Olson, D.H., (1989). Enrich Marital Inventory : A Discriminant Validity and Cross-Validity Assesment. Journal of Marital and Family.

Gallo, E., Gallo, J .(2011). How 18 Become 26 : The Changing Concept of Adulthood.

http://www.naepc.org/journal/issue08b.pdf diunduh pada 3 September 2014.

Geist, C. (2008). The Marriage Economy: Examining the Economic Impact and the Context of Marriage in Comparative Perspective. Disertasi. Indiana University.

Ginanjar, A. S. (2011). Sebelum Janji Terucap. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Gravetter, F. J., & Forzano, Lori-Ann. (2009). Research methods for the behavioral sciences (3rd ed.). Belmont: Wadsworth Cengage Learning.

Gubernskaya, Z. (2008) Attitudes toward Cohabitation in 28 Countries: Does Marital Status Matter? Retrieved from http://paa2008.princeton.edu/papers/80851

Guilford, J.P., & Fruchter, B. (1978). Fundamental Statistics in Psychology and Education (6th ed). Singapore: McGraw-Hill, Inc.

Holman, T.B., & Li, B.D. (1997). Premarital factors influencing perceived readiness for marriage.

Journal of Family Issues, Vol. 18 No.2, March 1997 124-144.

Holman, T.B., Larson, J.H., & Harmer, S.L. (1994). The development and predictive validity of a new premarital assessment instrument: The preparation for marriage questionaire. National Council

on Family Relations, Vol. 43, No.1, pp 46-52. Retrieved from

http://www.jstor.org/stable/585141

Kaplan, R.M., & Saccuzzo, D.P. (2009). Psychological testing: Principles, applications, and issues, 7th

Edition (pp. 194). Belmont, California: Cengage Learning.

Kerlinger, F.N., & Lee, H.B. (2000). Foundations of Behavioral Research 4th ed. Orlando: Harcourt, Inc. Krisnatuti, D., Oktaviani, V. (2010). Persepsi dan Kesiapan Menikah Pada Mahasiswa. Jurnal Ilmu

Keluarga dan Konsumen, p:30-36, Januari 2010.

Kumar, R. (2005). Research methodology: A Step-by-Step Guide for Beginners (2nd ed.). London: SAGE Publications.

(8)

Lanz, M., Tagliabue, S. (2007). Do I Really Need Someone in Order to Become An Adult?: Romantic Relationship During Emerging Adulthod in Italy. Journal of Adolescent Research 2007; 22; 531. http://jar.sagepub.com/cgi/content/abstract/22/5/531 diunduh pada 6 April 2014.

Lukman, Muhammad. (2000). Kemandirian Anak Asuh di Panti Asuhan yatim Islam ditinjau dari Konsep

Diri dan Kompetensi Interpersonal. Psikologika. Nomor 10, Tahun V, 57-73.

L’Abate, Luciano. (1990). Building Family Competence, Primary and Secondary Prevention Strategies. New York: Sage Pub.

Maher, B. (2004). The Benefits of Marriage: Issue Analysis. Washington D.C.: Family Research Council. Mahmudah, R. (2012). Hubungan Antara Intimacy (Sternberg’s Triangular Theory of Love) dan

Kesiapan Menikah pada Dewasa Muda. Program Sarjana. Universitas Indonesia. Jakarta. Meyers L.S., Gamst, G.C. & Guarino, A.J. (2013). Performing Data Analysisi Using IBM SPSS. New

York: John Wiley & Sons.

Miller, J.L., (2011). The Relationship Between Identity Development Process and Psychological Distress in Emerging Adulthood. Dissertation for Doctor of Philosophy. George Washington University. Nawawi. (2003). Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Nelson, H.A. (2008). A Grounded Theory Model of How Couples Prepare for Marriage. Doctoral

Dissertation. Urbana: University of Illinois.

Nelson, J.L, Barry, C.M (2005). Distinguishing Features of Emerging Adulthood : The Role of Self-Classification as an Adult. Journal of Adolescent Research 2005; 20; 42. http://jar.sagepub.com/cgi/content/abstract/20/2/242 diunduh pada 2 Maret 2014.

Notoatmodjo,S. (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nunnally, J. (1978). Psychometric Theory (2nd Ed.). New York: McGraw-Hill.

Nuryati, Siti. (2006). Selingkuh harta, tahta, wanita. Retrieved from (http://www.sinarharapan.co.id/ berita/0701/23/opi01.html)

Olson, D. H., DeFrain, J. (2006). Marriages & Families: Intimacy, Diversity, and Strengths (5th edition). Boston: McGraw-Hill.

Olson, D.H., Larson, P.J., & Olson, A.K. (2009). PREPARE/ENRICH Program: Customized Version. Minneapolis, Minnesota: Life Innovation, Inc.

Papalia, Diane E., Sally W. Olds., & Ruth D. Feldman. (2004). Human Development. New York: McGraw-Hill Companies Inc.

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development (11th ed.). New York: McGraw-Hill.

Potter & Perry. (2005). Fundamental of nursing: Concept, process, and practice. St. Louis: C. V. Mosby. Priyatno, D. (2010). Teknik Mudah dan Cepat Melakukan Analisis Data Penelitian dengan SPSS.

Yogyakarta: Gava Media.

Priyanto, Duwi. (2013). Mandiri Belajar Analisis Data Dengan SPSS. Yogyakarta: Penerbit Mediakom. Purwadi, D. (2012). Angka Perceraian Pasangan Indonesia Naik Drastis 70 Persen.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/01/24/lya2yg-angka-perceraian-pasangan-indonesia-naik-drastis-70-persen diunduh pada 8 Maret 2014

Putranto, K. (2012). Psychological Practice Kasandra & Associates.

http://www.kasandraassociates.com/index.php?option=com_content&view=article&id=435:110 302-masalah-perkawinan&catid=48:media&Itemid=110 diunduh 2 September 2014.

Relawu, R.S. (2007). Hubungan antara religiusitas dengan kecerdasan emosi pada remaja beragama islam. Skripsi. Tidak diterbitkan.Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Depok

Rivki. (2013). 340 Ribuan Pasangan Cerai di 2012, Istri Lebih Banyak Menggugat. http://news.detik.com/read/2013/03/14/140736/2193903/10/340-ribuapasangan-cerai-di-2012-istri-lebih-banyak-menggugat. Diunduh pada tanggal 8 Maret 2014.

Robinson, L.C. (1994). Religious Orientation in Enduring Marriage: an Exploratory Study. Review Religious Research, Vol. 35, No. 3 (Mar., 57 1994), pp. 207-218. Oklahoma State University. http://www.jstor.org/stable/3511889 diunduh pads 3 Septer 2014

Sarwono, S.W. (2005). Families in Global Perspective: Families in Indonesia. In Jaipaul L. Roopnarine & Uwe P. Gielen (Ed). USA: Pearson Education, Inc.

Schiaba, L.P., (2006). Emotions and Emerging Adulthood. Dissertation for Doctor of Psychology. Massachussets School of Psychology.

Showers, C. J., & Kevlyn, S B. (1999). Organization of knowledge about a relationship partner: Implications for liking and loving. Journal of Personality and Social Psychology, 76(6),

(9)

Seccombe, K., Warner, R.L. (2004). Marriage and Families: Relationship in Social Context. Canada: Thomson Learning, Inc.

Seniati, L., Yulianto, A., & Setiadi, B. N. (2005). Psikologi eksperimen. Jakarta: PT Indeks Gramedia. Sujianto, A.E. (2009). Aplikasi Statistik dengan SPSS 16.0. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

Thomas N. Bradbury, T.N., Karney, B.R. (2010). Intimate Relationships. New York: W. W. Norton & Company.

Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (2005). Kamus Besar Bahasa

Indonesia. (Edisi ke-2). Jakarta: Balai Pustaka.

Unjianto, B. (2013). Indonesia Miliki Tingkat Perceraian Tertinggi di Asia. Diakses pada 8 Maret 2014 dari http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/news/2013/12/15/183390

Yufrizal, F. (2012). Hubungan Antara Gairah Sebagai Komponen Cinta dengan Kesiapan Menikah Pada Dewasa Muda. Program Sarjana. Universitas Indonesia. Jakarta.

Williams, B. K., Sawyer, S. C., & Wahlstrom, C. M. (2006). Marriages, Families, & Initimate

Relationship: a Pratical Introduction. Boston: Pearson Education, Inc.

Wiryasti, C. H. (2004). Modifikasi dan uji validitas dan reliabilitas inventori kesiapan menikah. Tesis. Universitas Indonesia.

RIWAYAT HIDUP

Yassinda Rizkha Sari, lahir di kota Denpasar pada 13 Desember 1991. Penulis menamatkan

pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang ilmu psikologi pada 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Berkaitan dengan perawatan mesin produksi yang ditemukan oleh peneliti pada perusahaan Balai Besar Logam dan Mesin pada saat ini adalah perusahaan Balai Besar Logam

Prema autorici, dva su te- meljna cilja ove studije: teorijski odrediti koncept ženskog ratnog pisma, te kroz dobi- jeni teorijski okvir analizirati odabrane ratne

(1999) melaporkan dalam dalam kajian pada ternak kambing PE yang dipelihara oleh petani kakao dengan memanfaatkan limbah kulit buah kakao dan hijauan dari tanaman

Pemberian sludge cair limbah biogas dari kotoran sapi juga dapat meningkatkan berat kering jagung pipilan lebih dari 50% dibandingkan pemakaian pupuk kimia

1) Membagi siswa dalam 2 kelompok setiap kelompok beranggotakan 12 peserta didik. Pembagian kelompok ditentukan dari hasil lari kemampuan siklus I dengan menggunakan

Lebih dari itu, tingkat kepuasan pelanggan atas kualitas layanan pada suatu perguruan tinggi juga dapat dikaitkan dengan perkembangan jumlah calon mahasiswa yang masuk

Tepung Lemna minor dapat digunakan sebagai bahan campuran alami untuk dapat menunjang nutrisi pakan ikan dengan kandungan protein 10-43% berat kering.. Tujuan