TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Danau Toba
Danau Toba dilihat dari asal proses terbentuknya merupakan danau volcano-tektonik yang menurut Van Bemmelen (1970) dikatakan terbentuknya akibat proses tanah terban yang terjadi karena bagian kedalamannya yang berupa magma naik ke permukaan melalui celah tektonik membentuk gunung api. Ruang yang ditinggalkan oleh magma membentuk rongga di dalam kerak bumi dan kemudian beban di permukaannya mengalami terban dan terpotong menjadi beberapa bagian. Bagian yang cukup besar berada pada bagian tengah dengan posisi miring ke arah barat berupa Pulau Samosir, dan bagian lain yang posisinya lebih rendah selanjutnya tergenang air permukaan membentuk danau.
Ukuran panjang Danau Toba lebih dari 87 kilometer dengan lebar maksimum 31,5 kilometer. Permukaan air danau berada pada elevasi ±905 meter di atas permukaan laut, dikelilingi oleh tebing dan gunung-gunung dengan ketinggian maksimal 2.157 meter (Dalok Uludarat). Penutup lahan yang dominan di daerah penangkap air di sekitar danau Samosir adalah lumpur (89.562 Ha), perladangan (8.069 Ha), hutan dan semak (±56.000 Ha), sawah dan lahan budidaya lain (±30.000 Ha) (Bapedalda Sumut, 2000).
tersebut, sehingga Danau Toba akan mengalami perubahan ekologis di mana kondisinya sudah berbeda dengan kondisi alaminya.
Budidaya Ikan Sistem Keramba Jaring Apung
Kegiatan Keramba Jaring Apung (KJA) merupakan salah satu bentuk kegiatan perikanan akuakultur yang dilakukan pada wadah jaring yang terapung. Dirjen Perikanan (2001) mendefinisikan keramba jaring apung sebagai tempat pemeliharaan ikan yang terbuat dari bahan jaring yang memungkinkan keluar masuknya air dengan leluasa, sehingga terjadi pertukaran ke perairan sekitarnya. Komponen-komponen keramba jaring apung terdiri dari kerangka atau bingkai, pelampung, jangkar, pemberat jaring, penutup kantung jaring, bangunan fisik dan peralatan pendukung lainnya.
Kegiatan budidaya ikan sistem KJA di Danau Toba telah dilakukan oleh masyarakat sejak tahun 1986, namun perkembangan KJA dengan pesat terjadi sejak tahun 1998 melalui budi daya jaring apung intensif berkepadatan ikan yang tinggi (Rismawati, 2010). Pada tahun 2006 Jumlah KJA yang beroperasi diperairan Danau Toba terdata sebanyak 5.233 unit. Kemudian survey yang dilakukan Dinas Perikanan Provinsi Sumatera Utara tahun 2008, di dapatkan bahwa KJA yang beroperasi di perairan Danau Toba sebanyak 7.012 unit, yang terdiri dari KJA milik PT. Aquafarm Nusantara sebanyak 1.780 unit dan KJA milik masyarakat sebanyak 5.232 unit (Ginting, 2011).
utamanya ini , dapat menyebabkan terjadinya penumpukan limbah bahan organik dari sisa metabolisme dan sisa pakan pada dasar perairan (Nursandi, dkk., 2011).
Menurut Beveridge (1984) diacu dalam Ginting (2011), kegiatan Keramba Jaring Apung (KJA) berdampak terhadap 4 (empat) hal utama yaitu :
1. Membutuhkan banyak tempat (space) atau permukaan perairan danau.
2. Menghambat aliran air dan arus untuk transportasi oksigen, sedimen, plankton serta larva ikan.
3. Menurunkan kualitas estetika perairan danau 4. Menurunkan kualitas lingkungan hidup danau.
kegiatan budidaya ikan Keramba Jaring Apung (KJA) berpengaruh secara nyata terhadap lingkungan perairan, yaitu mulai dari adanya perubahan hara air, perubahan konsentrasi oksigen terlarut (DO), perubahan konsentrasi metabolik toksik serta berkembangnya organismeorganisme penyebab penyakit, sehingga perairan tersebut menjadi tidak layak lagi untuk dimanfaatkan sebagai sumber air minum, sarana rekreasi dan peruntukan perikanan itu sendiri.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pencemaran Danau
Terjadinya pencemaran perairan danau dapat ditunjukkan oleh dua hal, yaitu (1) adanya pengkayaan unsur hara yang tinggi, sehingga terbentuk komunitas biota dengan produksi yang berlebihan, (2) air diracuni oleh zat kimia toksik yang menyebabkan lenyapnya organisme hidup, bahkan mencegah semua kehidupan di perairan (Rismawati, 2010).
Saat ini kelestarian fungsi perairan terganggu oleh masalah-masalah pencemaran, eutrofikasi maupun perubahan fungsi akibat pemanfaatan yang berlebih sehingga menimbulkan tekanan terhadap sumberdayanya. Penurunan sumberdaya air berasal dari berbagai sumber pencemar termasuk bahan-bahan kimia yang berasal dari industri, perkotaan/pemukiman (point sources), pertanian (pestisida), nutrient dan sedimentasi, perubahan fungsi hidrologi dan perubahan fungsi tata guna lahan (Sukimin, 2007).
Dalam penelitian Suryono dkk., (2010) menyatakan, aktivitas masyarakat di daerah sekitar DAS Danau Limboto yang tidak terkontrol dapat menimbulkan dampak pencemaran yang serius terhadap perairan danau tersebut. Beban pencemar yang dominan di Danau Limboto pada umumnya akibat tingginya konsentrasi bahan organik yang berasal dari limbah domestik maupun pertanian. Keberadaan bahan pencemar menyebabkan penurunan kualitas perairan Danau Limboto, sehingga tidak sesuai lagi dengan jenis peruntukannya (misalnya untuk pertanian, perikanan dan sebagainya) serta hilangnya keanekaragaman hayati khususnya spesies asli atau endemik danau tersebut.
Parameter Fisika Perairan 1. Suhu Air
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam satu hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman dari badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air. Kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air juga memperlihatkan peningkatan dengan naiknya suhu yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen (Effendi, 2003).
2. Kecerahan Air
ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran.
4. Kekeruhan Air
Kekeruhan merupakan faktor pembatas bagi proses fotosintesis dan produktivitas primer perairan karena mempengaruhi penetrasi cahaya matahari. Kekeruhan adalah gambaran sifat optik dari suatu air yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar (cahaya) yang dipancarkan dan diserap oleh partikel-partikel yang ada di dalam air (Effendi, 2003).
5. Padatan Tersuspensi Total (TSS)
Padatan tersuspensi total (Total Suspension Solid/TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 μm) yang tertahan pada saringan millipore
dengan diameter 0,45 μm. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad -jasad renik yang terutama disebabkan kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air (Effendi 2003).
Penentuan padatan tersuspensi sangat berguna dalam analisis perairan
tercemar dan buangan serta dapat digunakan untuk mengevaluasi kekuatan air,
buangan domestik, maupun menentukan efisiensi unit pengolahan. Padatan
tersuspensi mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan air. Oleh karena itu
pengendapan dan pembusukan bahan-bahan organik dapat mengurangi nilai guna
Tabel 1. Kesesuaian Perairan untuk Kepentingan Perikanan Berdasarkan Nilai TSS
Nilai TSS (mg/l) Pengaruh Terhadap Kepentingan Perikanan
< 25 Tidak ada pengaruh
25-80 Sedikit berpengaruh
81-400 Kurang baik untuk kepentingan perikanan
>400 Tidak baik untuk kepentingan perikanan
Sumber: Alabaster dan Lloyd 1982 diacu oleh Effendi 2003
Parameter Kimia Perairan 1. pH Air
Nilai pH dapat mempengaruhi spesiasi senyawa kimia dan toksisitas dari unsur-unsur renik yang terdapat di perairan, sebagai contoh H2S yang bersifat
toksik banyak ditemui di perairan yang tercemar dan perairan dengan nilai pH rendah. Perairan dengan kondisi asam kuat akan menyebabkan unsur logam beratseperti aluminium memiliki mobilitas yang meningkat dan karena logam bersifat toksik maka dapat mengancam kehidupan biota. Demikian juga bila pH air terlalu basa maka keseimbangan amonium dan ammonia akan terganggu, dalam hal ini kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsentrasi ammonia yang juga bersifat toksik terhadap biota akuatik. Selain itu, pH air juga mempengaruhi parameter BOD5 dan kandungan nutrien dalam air seperti fosfat,
nitrogen dan nutrien lainnya (Dojildo dan Best, 1992).
2. Dissolved Oxygen (DO)
berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau aliran air melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh tumbuhan air dan fitoplankton. Status Kualitas Air Berdasarkan kadar oksigen terlarut dapat dilihat di Tabel 3.
Tabel 2. Status Kualitas Air Berdasarkan Kadar Oksigen Terlarut
No Kadar Oksigen Terlarut (mg/l)
Status Kualitas Air
1 > 6,5 Tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan
2 4,5 – 6,4 Tercemar ringan
3 2,0 – 4,4 Tercemar sedang
4 < 2,0 Tercemar berat
Sumber: Jeffries dan Mills (1996) diacu oleh Effendie (2003)
3. Biochemical Oxygen Deman (BOD5)
Nilai BOD5 dapat dinyatakan sebagai jumlah oksigen yang diperlukan oleh
4. Chemical Oxygen Demand (COD)
Chemical Oxygen Demand merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia yang dinyatakan dalam mg O2/l. Pengukuran nilai
COD akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organic baik yang mudah diuraikan secara biologis maupun terhadap yang sukar atau tidak bisa diuraikan secara biologis (Barus, 2004).
5. Nitrogen
Menurut Effendi (2003) menyatakan bahwa nitrogen yang berada di perairan berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas ammonia (NH3), ammonium (NH4+), nitrit (NO2), nitrat (NO3), dan molekul
nitrogen (N2) dalam bentuk gas. Ammonia yang terukur di perairan berupa
ammonia total (NH3 dan NH4+). Nitrogen berupa protein, asam amino dan urea.
Sumber utama nitrogen antropogenik di perairan berasal dari wilayah pertanian yang menggunakan pupuk secara intensif maupun dari kegiatan domestik
Senyawa nitrogen ditemukan pada tumbuhan dan hewan sebagai penyusun protein dan klorofil. Bakteri Azotobacter dan Clostridium serta beberapa jenis alga hijau biru (Blue green algae/Cyanophyta) seperti Anabaena dapat memanfaatkan gas N2 secara langsung dari udara sebagai sumber nitrogen.
Meskipun beberapa organisme akuatik dapat memanfaatkan nitrogen dalam bentuk gas, akan tetapi sumber utama nitrogen di perairan bukanlah dalam bentuk gas. Nitrogen harus mengalami fiksasi terlebih dahulu menjadi ammonia (NH3),
ammonium (NH4+), nitrit (NO2) dan molekul nitrogen (N2) dalam bentuk gas.
Ammonia (NH3)
Ammonia yang terukur di perairan berupa ammonia total (NH3 dan NH4+).
Ammonia (NH3) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Ion
ammonium adalah bentuk transisinya. Sumber ammonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur, yang dikenal dengan amonifikasi. Proses amonifikasi ditunjukkan dalam persamaan reaksi
N organik + O2 NH3-N + O2 NO2-N+ O2 NO3-N
amonifikasi nitrifikasi
Feses dari biota akuatik yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan ammonia. Sumber lain ammonia di perairan adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer, limbah industri dan domestik (Effendi, 2003).
Nitrit (NO2-N)
Tabel 4. Status Kualitas Air Berdasarkan Kandungan Nitrit
No Kadar Nitrit (mg/L) Status Kualitas Air
1 1 > 0,003 Tidak tercemar sampai
tercemar sangat ringan
2 0,003 – 0,014 Tercemar sedang
3 0,014 > Tercemar berat
Sumber: Schmit (1978) diacu oleh Wardoyo (1989)
Nitrat (NO3-N)
Menurut Davis dan Cornwell (1991) diacu oleh Effendi (2003), menyatakan bahwa nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami
dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Kadar nitrat di perairan yang tidak tercemar biasanya lebih tinggi daripada kadar ammonium. Kadar nitrat-nitrogen yang lebih dari 0,2 mg/l dapat mengakibatkan teradinya eutrofikasi perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming). Kadar nitrat dalam air tanah dapat mencapai 100 mg/l. Air hujan memilki kadar nitrat sekitar 0,2 mg/l. Pada perairan yang menerima limpasan air dari daerah pertanian yang banyak mengandung pupuk, kadar nitrat dapat mencapai 1000mg/l. Kadar nitrat untuk keperluan air minum sebaiknya tidak melebihi 10 mg/l. Tingkat kesuburan perarian berdasarkan kandungan nitrat dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Tingkat Kesuburan Perairan Berdasarkan Kandungan Nitrat
No Kadar Nitrat (mg/l) Tingkat Kesuburan 1 ≤ 0,226 Perairan Oligotrofik
2 0,227-1,129 Perairan Mesotrofik
3 1,130-11,250 Perairan Eutrofik
6. Fosfat (PO4)
Fosfor merupakan satu diantara beberapa bahan kimia yang keberadaanya sangat penting bagi semua mahluk hidup, terutama dalam pembentukan protein dan transfer energi didalam sel seperti ATP dan ADP. Pada ekosistem perairan, fosfor terdapat dalam bentuk senyawa fosfor, yaitu : 1) fosfor anorganik; 2) fosfor organik dalam protoplasma tumbuhan dan hewan dan 3) fosfor organik terlarut
dalam air, yang terbentuk dari proses penguraian sisa-sisa organisme (Barus, 2004).
Dalam Effendi (2003), menyatakan bahwa fosfat merupakan bentuk fosfor yag dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan. Karakteristik fosfor sangat berbeda dengan unsur-unsur lain yang merupakan penyususn biosfer karena unsur ini tidak terdapat di atmosfer. Pada kerak bumi, keberadaan fosfor relatif sedikit dan mudah mengendap. Fosfor juga merupakan unsur esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan algae, sehingga unsur ini merupakan faktor pembatas bagi tumbuhan dan algae akuatik serta sangat mempengaruhi produktivitas perairan. Di perairan, bentuk unsur fosfor terus berubah secara terus-menerus akibat proses dekomposisi dan sintetis antar bentuk organik dan anorganik yang dilakukan oleh mikroba. Semua polifosfat mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat. Pada suhu yang mnedekati titik didih, perubahan polifosfat menjadi ortofosfat berlangsung cepat. Hubungan antara ortofosfat dengan kesuburan perairan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hubungan Antara Kandungan Ortofosfat dengan Kesuburan Perairan
No Ortofosfat(mg/L) Kriteria
1 0,003 – 0,01 Perairan Oligotrofik
2 0,011 – 0,03 Perairan Mesotrofik
3 0,031 – 0,1 Perairan Eutrofik
Parameter Biologi
Lingkungan perairan mudah tercemar oleh mikroorganisme patogen (berbahaya) yang masuk dari berbagai sumber seperti permukiman, pertanian dan peternakan. Bakteri yang umum digunakan sebagai indikator tercemarnya suatu badan air adalah bakteri yang tergolong Escherichia coli , yang merupakan satu diantara beberapa bakteri yang tergolong koliform dan hidup normal di dalam kotoran manusia dan hewan (Effendi, 2003).
Bakteri coliform umumnya digunakan sebagai indikator bakteri untuk kualitas makanan dan air. Coliform banyak ditemukan di dalam tinja dari hewan-hewan berdarah panas, tetapi dapat juga ditemukan di lingkungan perairan, tanah, dan vegetasi. Secara umum coliform itu sendiri tidak mengakibatkan sakit, tetapi mereka mudah berkembang biak dan keberadaannya digunakan untuk menunjukkan bahwa organisme patogen lain juga ada (Atmojo dkk., 2011).
Penelitian Marganof (2007) menyatakan bahwa Hasil analisis kandungan bakteri fecal coliform di perairan danau berkisar antara 68–77 MPN/100 ml, dengan nilai rata-rata 72 MPN/100 ml. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Danau Maninjau mengandung bahan organik yang cukup tinggi sebagai sumber kehidupan mikroorganisme.
Status Kualitas Air Perikanan Budidaya Di KJA
laboratorium terhadap sampel air danau yang diambil pada waktu terjadinya kematian masal ikan mas di perairan Haranggaol Danau Toba pada bulan November 2004 menunjukkan bahwa nilai kelarutan oksigen (DO) telah turun pada nilai yang sangat rendah yaitu sebesar 2,95 mg/l, hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan oksigen sudah sangat terbatas. Selanjutnya nilai BOD Biochemical Oxygen Demand (BOD) sebesar 14 mg/l memberikan indikasi tingginya bahan organik di dalam air. Dalam penelitian Rahmawati (2010), menyatakan bahwa total beban pencemaran fosfor di Danau Toba adalah 1.408.992 kg/tahun.
Penurunan kualitas air danau akibat kegiatan budidaya perikanan terutama di KJA tidak hanya terjadi di Danau Toba. Waduk Cirata memiliki peranan penting dalam pengembangan budidaya ikan mas di dalam Keramba Jaring Apung (KJA) khususnya untuk wilayah Jawa Barat. Potensi waduk ini sebagai media budidaya ikan telah dimanfaatkan dengan cukup baik, bahkan cenderung berlebihan. Pada tahun 1988 jumlah KJA di waduk Cirata hanya 74 unit dengan produksi 32 ton, pada tahun 1996 telah mencapai 15.289 unit dengan produksi sebesar 25.114 ton dan produksi rata-rata 1,74 ton per unit. Pada Desember 2004 tercatat jumlah KJA yang beroperasi di waduk Cirata mencapai 39.690 petak, padahal pada tahun 1996 jumlah petak yang dianjurkan adalah 12.000. Kondisi perairan Waduk Cirata pada saat ini dalam status eutrofik bahkan hipereutrofik, sebagaimana telah diindikasikan oleh Garno dan Adibroto (1999), yang merupakan akibat dari pencemaran bahan organik yang bersumber dari budidaya sistem KJA.
sehingga mempercepat eutrofikasi. Dari unsur hara P saja, KJA di Waduk Cirata diperkirakan memberikan kontribusi 2.474 ton/per tahun. Kondisi perairan waduk yang eutrofik antara lain akan ditandai oleh keadaan blooming alga perairan, anoksia dan perairan menjadi toksik (Komarawidjaja, 2005).
Di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur, KJA umumnya dibuat dengan luas permukaan 7 x 7 m2 dan kedalaman bervariasi antara 3-4 m. KJA dengan
luasan tersebut ditargetkan untuk memelihara ikan 3-4 kali dalam setahun dengan produksi pertahunnya sekitar 4 ton ikan Mas (Cyprinus carpio) dan 1,200 ton ikan Nila (Oreochromis nilotica) (Garno, 2002).
Kasus kematian massal ikan-ikan juga terjadi di Danau Maninjau Sumatera Barat. Hal tersebut terjadi akibat terjadinya fenomena up-welling pada akhir Desember 2008 hingga awal 2009. Berdasarkan penelitian, akumulasi bahan organik di dasar perairan dapat menghasilkan senyawa-senyawa toksik melalui proses dekomposisi anaerob. Senyawa toksik tersebut dapat menyebabkan kematian massal ikan jika terjadi proses pembalikan massa air (up-welling). Kegiatan budidaya ikan di Danau Maninjau masih belum dapat digolongkan pada budidaya intensif jika dilihat dari kepadatannya, yakni 50-250 kg/petak dengan ukuran KJA rata-rata 5 m x 5 m x 2,5 m (volume efektif 50 m3). Sedangkan
produksi untuk satu siklus budidaya berkisar antara 14-70 kg/m3/siklus
(Erlania, dkk., 2010).
Semakin meningkatnya pemanfaatan waduk uuntuk kegiatan budidaya sistem KJA dengan pemberian pakan yang cukup tinggi yaitu 10 % dari bobot ikan yang dipelihara maka beban limbah organik yang berasal dari sisa pakan yang tidak termakan dan dari feses masuk ke lingkungan waduk semakin tinggi. Beban limbah organik yang berasal dari luar dan dari kegiatan budidaya ikan dalam KJA ini akan mempengaruhi parameter kualitas lingkungan perairan, terutama kadar total P dan ketersediaan oksigen terlarut, yang akan mempengaruhi daya dukung perairan (Siagian, 2010).
Limbah KJA adalah limbah organik yang tersusun oleh karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, fosforus, sulfur dan mineral lainnya. Limbah dalam perairan dapat berbentuk padatan yang terendap, koloid, tersuspensi dan terlarut . Padatan limbah terendap akan langsung mengendap menuju dasar waduk. sedangkan bentuk lainnya akan tetap berada di badan air, baik di badan air yang aerobik maupun anaerobik. Di lapisan aerobik maupun anaerobik bahan organik limbah KJA tersebut akan menjadi sumber makanan bagi mikroba heterotropik untuk hidup dan berkembang biak (Garno, 2002).
Strategi Pengelolaan Keramba Jaring Apung (KJA) Di Kecamatan Haranggaol Horison Danau Toba
dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT untuk mengambil keputusan pengelolaan Keramba Jaring Apung (KJA) di Kecamatan Haranggaol Horison Danau Toba.
Keterangan Kuadran 1 :
merupakan situasi yang sangat menguntungkan. Organisasi memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang dapat diterapkan adalah dengan mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif
Kuadran II :
Meskipun menhadapi berbagai macam ancaman, perusahaan ini masih memiliki kekuatan dari segi internal. Strategi yang harus diterapkan adalah menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan cara diversifikasi. Kuadran III :
Perusahaan menghadapi peluang pasar yang sangat besar, tetapi dilain pihak, dia menghadapi kendala/kelemahan internal. Fokus strategi perusahaan ini adalah meminimalkan masalah-masalah internal perusahaan sehingga dapat merebut peluang pasar yang lebih baik.
Kuadran IV :
Ini merupakan yang sangat tidak menguntungkan, perusahaan tersebut menghadapi berbagai macam ancaman dan kelemahan internal.
Tabel 7. Matriks Analisis SWOT
Strength (S) Weakness (W)
Oppurtunity (O) SO
Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
WO
Ciptakan strategi yang meminimalkan
kelemahan untuk memanfaatkan peluang
Threats (T) ST
Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi
ancaman
WT
Ciptakan strategi yang meminimalkan
kelemahan dan menghindari ancaman
Sumber: Rangkuti (2006)
Internal