• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademik

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap

Tentang Cagar Budaya

SEKRETARIAT DPRD KABUPATEN CILACAP

LEMBAGA PENELITIAN DAN

PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT (LPPM) IAIN PURWOKERTO

Kerjasama

(2)

LAPORAN PENDAHULUAN

PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP TENTANG

CAGAR BUDAYA

A. PENDAHULUAN

Benda, struktur, dan bangunan yang memiliki nilai eksistensi

kehidupan masa lalu pada suatu wilayah atau komunitas penting

mendapat perhatian untuk memberi track pemahaman terhadap realitas

sosial dan fisik kekinian. Hal ini karena realitas sosial dan fisik terbentuk

secara evolutif dan umumnya berlangsung linier. Sehingga fakta-fakta

yang terbentuk pada masa lalu menjadi track yang autentik untuk

mengkonstruksi pemahaman realitas faktual.

Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

realitas sosial dan fisik penting di lakukan? Jawaban mendasar

pertanyaan ini adalah menjaga nilai-nilai kemanusiaan, yang hanya bisa

dilakukan apabila produktivitas masyarakat terjaga. Produktivitas

berorientasi terhadap masa depan. Pemahaman terhadap masa depan

sangat dipengaruhi oleh kemampuan manusia menganalisa realitas

faktual. Hal ini karena dinamika manusia bersifat historis sehingga

konstruksi masa depan sangat dipengaruhi oleh realitas yang terjadi

secara faktual ada hari ini. Proses historis secara umum berlangsung

evolutif dan linier sehingga pola pergerakan masa depan dapat dianalisis

dari tahapan-tahapan perkembangan dalam konteks sejarah yang telah

berlangsung.

Kemampuan mengantisipasi sejarah menjadi kunci bagaimana

nilai-nilai dan produktivitas manusia terjaga. Tanpa antisipasi tersebut,

sebuah masyarakat atau komunitas terancam eksistensinya karena

terlindas oleh pergerakan sejarah yang dinamis. Cerita tentang hilangnya

komunitas masyarakat sudah cukup ternarasi dalam folklor sejarah

misalnya suku-suku kecil di komunitas Jawa serta komunitas lokal yang

(3)

otentisitasnya cukup mengganggu kekuatan global yang secara agresif

mendesain masyarakat dunia dalam bentuk yang tunggal. Herbert

Marcuse dalam bukunya berjudul “One Dimensional Man” menganalisis

kekuatan global mendorong manusia di dunia ini masuk dalam dimensi

tunggal. Pada saat manusia berdimensi tunggal maka kekuatan global

tersebut akan mengeruk keuntungan besar karena memiliki pasar

(market) sangat besar yang bisa setiap saat dikelola, terutama untuk

mengkonsumsi komodutas-komoditas yang diciptakan. Senada dengan

Marcuse adalah analisis Francis Fukuyama dalam bukunya “The End of

History” yang meramalkan manusia berakhir pada kemenangan

kapitalisme liberal dengan indikator utamanya adalah industri dan

konsumsi dalam skala massif.

Dengan adanya agresi kekuatan dominan tersebut maka perlu

diantisipasi dengan adanya pemahaman yang utuh tentang pergerakan

perubahan sosial yang salah satunya dilakukan dengan metode historis.

Dalam konteks inilah eksistensi, narasi, dan konstruksi sosial masa lalu

penting. Hal ini karena akan memberi track yang relatif akurat untuk

memahami situasi kekinian. Salah satu basis data yang orisinal adalah

keberadaan benda, struktur, atau bangunan yang merupakan

peninggalan masa lalu dan memiliki nilai atau cerita tentang

praktik-praktik kehidupan. Benda, struktur, dan bangunan tersebut layak

dijadikan sebagai cagar budaya yang mendapat perlakuan khusus baik

dari sisi fisik maupun pemanfaatannya.

Di kabupaten Cilacap, keberadaan benda, struktur, dan bangunan

yang bernilai sejarah relatif banyak. Persoalan kemudian adalah

eksistensi benda, struktur, dan bangunan yang diduga bisa dijadikan

cagar budaya tersebut belum terkelola secara komprehensif sehingga

pemanfaatan, pengelolaan, pemeliharaan, dan pendayagunaannya belum

optimal. Apabila terdapat pengelolaan masih bersifat subsisten atau

sekedar bertahan dan berorientasi lebih kepada kepariwisataan dan

kegiatan keagamaan. Sementara untuk fungsi pendidikan,

(4)

bangunan tersebut belum mendukung bagi upaya masyarakat

memahami konteks sejarah yang penting bagi pemahaman situasi

faktual saat ini.

Dalam konteks inilah Naskah Akademik Rancangan Peraturan

Daerah tentang Cagar Budaya disusun. Tujuannya adalah untuk

mengoptimalkan sekaligus merevitalisasi benda, struktur, dan bangunan

yang berpotensi sebagai cagar budaya untuk fungsi-fungsi yang

mendukung bagi terpeliharanya produktivitas dan keberdayaan

masyarakat.

B. TUJUAN

1. Memberi pedoman kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam

mengelola, memanfaatkan, mendayagunakan, dan melestarikan cagar

budaya di wilayah Kabupaten Cilacap.

2. Memberi referensi kepada Pemerintah Daerah, masyarakat, dan para

pemangku kepentingan terkait dengan kriteria benda, struktur, atau

bangunan yang dapat dikategorikan sebagai cagar budaya untuk

selanjutnya diperhatikan pengelolaan dan pelestariannya.

3. Memberi pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk menertibkan

pengelolaan cagar budaya dan meningkatkan apresiasi terhadap

keberadaan cagar budaya di wilayah Kabupaten Cilacap.

4. Merevitalisasi keberadaan dan pengelolaan cagar budaya di wilayah

Kabupaten Cilacap.

C. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Keberadaan benda, bangunan, dan struktur yang diduga cagar

budaya di wilayah kabupaten Cilacap terbilang cukup banyak. Cagar

budaya merupakan hal penting mengingat fungsinya sebagai bagian

tak terpisahkan dari sebuah wilayah yang menjadi tempat

keberadaannya. Cagar budaya membentuk narasi dan konstruksi

budaya masa lalu yang penting bagi masyarakat saat ini. Dengan nilai

(5)

bangunan, dan struktur yang diduga cagar budaya belum banyak

yang teridentifikasi secara definitif sehingga belum bisa dijadikan

sebagai dasar untuk mengkonstruksi sejarah di masa lalu. Selain itu,

jenis dan bentuk cukup beragam yang menunjukkan heterogenitas

masyarakat kabupaten Cilacap. Upaya mengidentifikasi secara

definitif cagar budaya yang berserak mendesak untuk dilakukan.

Namun demikian, kriteria dan tolok ukur tetap diberlakukan secara

ketat sehingga upaya identifikasi tersebut tidak terkesan latah dan

sporadis.

2. Pengelolaan cagar budaya di Cilacap masih bersifat spasial. Artinya

koordinasi antarpelaku baik dari pihak Pemerintah Daerah maupun

masyarakat belum terbangun secara sinergis. Implikasinya cagar

budaya yang telah ditetapkan belum bisa memberikan fungsi optimal

kepada masyarakat yang meliputi pendidikan, ilmu pengetahuan,

agama, sosial, dan kesejarahan. Konstruksi yang dinarasikan dari

cagar budaya yang ada bersifat spasial dalam arti terpisah dan belum

bisa dirangkai sebagai kesatuan utuh terkait dengan budaya dan

sejarah wilayah kabupaten Cilacap. Selain itu umumnya pengelolaan

dilakukan oleh keluarga atau pewaris dari cagar budaya yang ada.

Dalam konteks ini, koordinasi pengelolaan cagar budaya yang

dikendalikan oleh Pemerintah Daerah mendesak untuk dilakukan.

Orientasinya adalah membangun konstruksi utuh kebudayaan

Cilacap dan mengoptimalkan fungsi cagar budaya untuk kegiatan

ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, sosial, dan kesejarahan.

3. Belum banyaknya cagar budaya yang teridentifikasi secara definitif

mengakibatkan benda, bangunan, dan struktur yang diduga kuat

memiliki kualifikasi sebagai cagar budaya kondisinya terbengkelai dan

memprihatinkan. Dalam beberapa kasus dimanfaatkan secara “illegal”

oleh oknum masyarakat untuk kepentingan ekonomi jangka pendek.

Kondisi ini semakin memperparah kondisi benda, bangunan, dan

(6)

cagar budaya di wilayah kabupaten Cilacap.

4. Di masyarakat terdapat beberapa kelompok yang memiliki proyeksi

untuk memiliki benda-benda kuno yang dianggap memiliki

“kekeramatan”. Benda-benda ini seringkali dijadikan sebagai komoditas ekonomi. Kanibalisasi benda-benda yang diduga memiliki

nilai sejarah mendesak untuk segera dihentikan dengan adanya

regulasi yang mengatur tentang penemuan cagar budaya.

5. Pendayagunaan dan pemanfaatan cagar budaya masih cenderung

sebagai tempat wisata dan kegiatan keagamaan. Sementara untuk

kegiatan ilmu pengetahuan, pendidikan, sosial, dan kesejarahan

relatif belum terselenggara. Hal ini karena paradigma tentang cagar

budaya masih terbatas pada hal-hal yang terkait dengan “keramat”.

Perubahan paradigma hingga pendayagunaan yang mengarah kepada

hal yang produktif menjadi persoalan yang harus segera ditangani.

D. PEMBENTUKAN TIM AHLI

Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat (LPPM)

IAIN Purwokerto membentuk tim ahli yang secara khusus bersama DPRD

Kabupaten Cilacap menyusun Naskah Akademik Rancangan Peraturan

Daerah tentang Cagar Budaya. Tim ahli terdiri dari beberapa disiplin

keilmuan yang relevan dengan isu, cakupan, dan materi naskah

akademik yang dibutuhkan.

Atas dasar pertimbangan tersebut, LPPM IAIN Purwokerto

menetapkan nama-nama di bawah ini sebagai tim ahli:

1. Dr. H. Ridwan, M.Ag; Ahli bidang Hukum

2. Dr. Hj. Nita Triana, M.Si; Ahli bidang hukum

3. Ahmad Muttaqin, M.Si; Ahli bidang Sosiologi

4. Sony Susandra, M.Ag; Ahli bidang Metodologi Penelitian

5. Agus Sunaryo, M.S.I; Ahli Sosiologi Hukum

(7)

lapangan sesuai kebutuhan, yaitu satu orang tenaga administrasi, satu

orang tenaga dokumentasi, dan satu orang tenaga lapangan.

E. TAHAPAN KEGIATAN

Untuk merumuskan naskah akademik Rancangan Peraturan

Daerah tentang Desa Wisata dan Strategi Pengembangan Pariwisata di

Kabupaten Cilacap, Tim Ahli IAIN Purwokerto dan Badan Legislasi

Daerah DPRD Kabupaten Cilacap mendesain dalam beberapa tahapan

kegiatan, yaitu :

1. Brainstorming pendahuluan; kegiatan ini dilakukan oleh Tim Ahli

untuk menyamakan persepsi serta konsep-konsep utama naskah

akademik yang akan disusun. Cagar budaya sebagai konsep umum

dikontekstualisasi dengan situasi spesifik yang terjadi di masyarakat

kabupaten Cilacap. Hal ini agar naskah akademik yang akan tersusun

memberi jawaban yang relatif konkret atas persoalan yang mendesak

untuk dijawab melalui kebijakan publik di daerah. Brainstorming

pendahuluan menghasilkan konsep-konsep utama terkait cagar

budaya yaitu tujuan raperda, arah pengaturan, kegiatan-kegiatan

kunci, dan partisipasi masyarakat.

2. Penyusunan draft Raperda; dari brainstorming pendahuluan

kemudian disusun draft dasar Raperda yang berisi konsep-konsep

besarnya. Draft raperda ini mengakomodasi konsep besar sekaligus

sebagai panduan bagi pembahasan setiap sessi dengan Balegda DPRD

Kab. Cilacap. Setiap sessi diharapkan dapat menyelesaikan

konsep-konsep utamanya sehingga di akhir pembahasan dapat menghasilkan

konsep naskah akademik dan raperda yang relatif final.

3. Pembahasan Raperda; tahap ini adalah pembahasan secara

kolaboratif antara tim ahli dengan Balegda DPRD Kab. Cilacap.

Konsep-konsep utama yang disusun oleh Tim Ahli kemudian

didiskusikan secara deliberatif dengan anggota balegda. Terjadi

pengawinan antara konsep teoretis dalam draft yang disusun oleh Tim

(8)

menghasilkan konsep-konsep teknis kebijakan cagar budaya.

Pembahasan antara Tim Ahli dan Balegda terjadwal 6 (enam) kali.

Setiap pasca pembahasan ini, Tim Ahli melakukan formulasi baru

untuk di-breakdown dalam susunan pasal atau ketentuan-ketentua

teknis Raperda.

4. Public Hearing / Konsultansi Publik; merupakan upaya yang

dilakukan oleh Tim Ahli dan Balegda untuk menemukan data dalam

perspektif masyaakat sekaligus mengakomodasi kepentingan serta

konsultansi kepada publik. Masyarakat diberi ruang yang cukup

untuk memberi masukan, kritik, dan saran atas naskah akademik

yang sedang disusun. Harapannya adalah Raperda yang akan

diundangkan mampu menjawab persoalan masyarakat secara akurat

dan tepat.

5. Finalisasi Draft; tahap ini merupakan proses formal terakhir dalam

pembahasan naskah akademik. Data yang diperoleh dan hasil

pembahasan baik dalam forum diskusi kolaboratif maupun public

hearing diformula sebagai konsep final Raperda. Secara konseptual,

tahap finalisasi merupakan akhir dari rumusan-rumusan kebijakan

Raperda Cagar Budaya yang dipersiakan untuk diajukan pada proses

politik berikutnya.

6. Penyusunan laporan; Tim ahli membuat laporan penyusunan naskah

akademik Cagar Budaya. Isi laporan adalah proses, substansi, dan

rumusan-rumusan konsep. Laporan disusun dalam 5 (lima) dokumen,

yaitu Laporan Pendahuluan, Laporan Akhir, Notulasi, Naskah

Akademik, dan Draft Raperda.

F. PENUTUP

Demikian beberapa hal terkait dengan laporan pendahuluan

peyusunan naskah akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang

Cagar Budaya. Beberapa isu yang berkembang sejalan dengan dinamika

(9)

narasi Naskah Akademik dan lampiran Rancangan Peraturan Daerah.

Atas masukan, saran, dan kritik dari berbagai pihak kami

sampaikan banyak terima kasih. Mudah-mudahan kolaborasi ini akan

memberi manfaat bagi upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kami dari LPPM IAIN Purwokerto akan melakukan perbaikan

secukupnya untuk memperoleh dokumen yang paling representatif. Kami

menyampaikan permohonan maaf dan terima kasih atas kerjasama yang

baik dari semua pihak.

Purwokerto, 20 Maret 2017

Tim Ahli IAIN Purwokerto

Koordinator,

(10)

Naskah Akademik

Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Cilacap

Tentang

Cagar Budaya

SEKRETARIAT DPRD KABUPATEN CILACAP

LEMBAGA PENELITIAN DAN

PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT (LPPM) IAIN PURWOKERTO

Kerjasama

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. identifikasi Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Naskah Akademik ... 6

D. Metode Analisis Naskah Akademik ... 6

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS A. Kajian Teoritis ... 8

B. Praktik Empiris ... 13

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT ... 17

BAB IV KAJIAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS A. Kajian Filosofis ... 27

B. Kajian Sosiologis ... 32

C. Kajian Yuridis ... 35

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH A. Rumusan Akademik Berbagai Istilah dan Frase ... 42

B. Rumusan Materi Peraturan Daerah ... 45

BAB VI PENUTUP ... 47

LAMPIRAN

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Mengingat nilai penting dan sifatnya sebagai sumberdaya tak terbarukan, cagar budaya harus dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan.

Suatu warisan budaya merupakan representasi dari sejarah yang telah dialaminya, sehingga memahami warisan budaya sebagai peninggalan sejarah dapat dianggap sebagai suatu usaha untuk memahami sejarah yang terjadi di dalamnya. Memahami sejarah suatu warisan budaya tidak hanya mempunyai arti yang berkaitan dengan masa lalunya, tetapi juga untuk memahami masa sekarang dan memberi gambaran akan masa depan (understanding the present and representing the future). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa warisan budaya mempunyai peran penting sebagai identitas nasional di masa lalu, masa kini dan masa mendatang.1

Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 mengamanatkan bahwa “negara memajukan kebudayaan

nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan

nilai-nilai budayanya” sehingga kebudayaan Indonesia perlu dihayati oleh

seluruh warga negara. Oleh karena itu, kebudayaan Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa harus dilestarikan guna memperkukuh jati diri bangsa, mempertinggi harkat dan martabat bangsa, serta memperkuat ikatan rasa kesatuan dan persatuan bagi terwujudnya cita-cita bangsa pada masa depan.

Indonesia diyakini sebagai salah satu negara yang merupakan mozaik pusaka budaya terbesar di dunia, warisan budaya tersebut terlihat maupun tidak terlihat, yang terbentuk oleh alam ataupun oleh akal budi manusia, serta interaksi antar keduanya dari waktu kewaktu. Keanekaragaman warisan budaya tersebut memilki keunikan tersendiri, baik yang tumbuh dilingkungan budaya tertentu, maupun hasil percampuran antar budaya baik diwaktu lampu, saat ini maupun nanti, yang menjadi sumber inspirasi, kreativitas dan daya hidup. Warisan budaya atau lazimnya disebut sebagai pusaka tidak hanya berbentuk artefak saja tetapi juga berupa bangunan-bangunan, situs-situs, serta

1Yilita Titik S, Y Trihoni Nalesti dan B Tyas Susanti, “ Model Pengelolaan Bangunan Cagar Budaya

(13)

sosial budaya, dari bahasa hingga beragam seni dan oleh akal budi manusia.2

Kebudayaan Indonesia yang memiliki nilai-nilai luhur harus dilestarikan guna memperkuat pengamalan Pancasila, meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kepribadian bangsa dan kebanggaan nasional, memperkukuh persatuan bangsa, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai arah kehidupan bangsa. Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu, pemerintah mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan untuk

memajukan kebudayaan secara utuh untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Sehubungan dengan itu, seluruh hasil karya bangsa Indonesia, baik pada masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang, perlu dimanfaatkan sebagai modal pembangunan. Sebagai karya warisan budaya masa lalu, Cagar Budaya menjadi penting perannya untuk dipertahankan keberadaannya.

Undang-Undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menjelaskan bahwa cagar budaya merupakan warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Kemudian, dijelaskan pula bahwa pengelolaan cagar budaya merupakan upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk kesejahteraan rakyat. Sedangkan, pelestarian

cagar budaya adalah upaya dinamis untuk mempertahankan

keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi,

mengembangkan, dan memanfaatkannya.3

Warisan budaya bendawi (tangible) dan bukan bendawi (intangible) yang bersifat nilai-nilai merupakan bagian integral dari kebudayaan secara menyeluruh.4 Pengaturan Undang-Undang ini menekankan Cagar Budaya yang bersifat kebendaan. Walaupun demikian, juga mencakup nilai-nilai penting bagi umat manusia, seperti sejarah, estetika, ilmu pengetahuan, etnologi, dan keunikan yang terwujud dalam bentuk Cagar Budaya. Tidak semua warisan budaya ketika ditemukan sudah tidak lagi berfungsi dalam kehidupan masyarakat pendukungnya (living society). Terbukti cukup banyak yang digunakan di dalam peran baru atau tetap seperti semula. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang jelas

2

Riya Yanuarti “ Perlindungan Hukum terhadap karya Arsitektur Cagar Budaya Di Tinjau dari Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 Tentang Hak Cipta” Tesis Magister Kenotaritan Program Pascasarjana UNDIP Semarang tahun 2007 hal. 19-20.

3

Khalid Rosyadi, Mochamad Rozikin, Trisnawati, “Analisis Pengelolaan dan Pelstarian Cagar Budaya Sebagai Wujud Penyelenggaraan Urusan Wajib Pemerintah Daerah (Studi pada Pengelolaan dan Pelestarian Situs Majapahit Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto)”, Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 5, hal. 832.

4Yilita Titik S, Y Trihoni Nalesti dan B Tyas Susanti, “ Model Pengelolaan Bangunan Cagar Budaya,

(14)

mengenai pemanfaatan Cagar Budaya yang sifatnya sebagai monument mati (dead monument) dan yang sifatnya sebagai monumen hidup (living monument).

Dalam rangka menjaga Cagar Budaya dari ancaman pembangunan fisik, baik di wilayah perkotaan, pedesaan, maupun yang berada di lingkungan air, diperlukan kebijakan yang tegas dari Pemerintah untuk menjamin eksistensinya. Ketika ditemukan, pada umumnya warisan budaya sudah tidak berfungsi dalam kehidupan masyarakat (dead monument). Namun, ada pula warisan budaya yang masih berfungsi seperti semula (living monument). Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang jelas mengenai pemanfaatan kedua jenis Cagar Budaya tersebut, terutama pengaturan mengenai pemanfaatan monumen mati yang diberi fungsi baru sesuai dengan kebutuhan masa kini. Selain itu, pengaturan mengenai pemanfaatan monument hidup juga harus memperhatikan aturan hukum adat dan norma sosial yang berlaku di dalam masyarakat pendukungnya. Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui. Dalam rangka menjaga Cagar Budaya dari ancaman pembangunan fisik, baik di wilayah perkotaan, pedesaan, maupun yang berada di lingkungan air, diperlukan pengaturan untuk menjamin eksistensinya.

Partisipasi masyarakat dalam pelestarian kawasan cagar budaya adalah keterlibatan masyarakat atau komunitas setempat secara sukarela dalam proses pembuatan keputusan, menentukan kebutuhan, menentukan tujuan dan prioritas, mengimplementasikan program, menikmati keuntungan-keuntungan dari program tersebut, dan dalam mengevaluasi program. Keterlibatan tersebut disertai tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Bentuk partisipasi masyarakat ada dua macam, yaitu partisipasi langsung dan partisipasi tidak langsung. Partisipasi langsung berupa sumbangan tenaga. Sedangkan partisipasi tidak langsung berupa konsultasi, sumbangan uang, dan sumbangan barang dalam bentuk material bangunan.5

Oleh karena itu, upaya pelestariannya mencakup tujuan untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Hal itu berarti bahwa upaya pelestarian perlu memperhatikan keseimbangan antara kepentingan akademis, ideologis, dan ekonomis. Pelestarian Cagar Budaya pada masa yang akan datang menyesuaikan dengan paradigma baru yang berorientasi pada pengelolaan kawasan, peran serta

masyarakat, desentralisasi pemerintahan, perkembangan, serta

tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Paradigma baru tersebut mendorong dilakukannya penyusunan Undang-Undang yang tidak sekadar mengatur pelestarian Benda Cagar Budaya, tetapi juga berbagai aspek lain secara keseluruhan berhubungan dengan tinggalan budaya masa lalu, seperti bangunan dan struktur, situs dan kawasan,

5 Volare Amanda Wirastari dan Rimadewi Supriharjo, “Pelestarian Kawasan cagar Busaya Berbasis

(15)

serta lanskap budaya yang pada regulasi sebelumnya tidak secara jelas dimunculkan. Di samping itu, nama Cagar Budaya juga mengandung pengertian mendasar sebagai pelindungan warisan hasil budaya masa lalu yang merupakan penyesuaian terhadap pandangan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Disadari sepenuhnya bahwa sistem pengelolaan terhadap Cagar Budaya diakui masih belum optimal, masing-masing instansi terkadang masih ego sektoral. Semua aspek managemen mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengorganisasian, serta pengawasannya masih berjalan sendiri-sendiri. Kelemahan lain adalah masih rendahnya kesadaran dan kepedulian sebagian masyarakat terhadap nilai penting Cagar Budaya. Hal ini dibuktikan dengan masih maraknya tindak pelanggaran terhadap upaya perlindungan Cagar Budaya di beberapa daerah, misalnya pencurian, pemalsuan, pembawaan Cagar Budaya ke luar negeri secara illegal, corat-coret pada batu-batu Candi.

Pengelolaan cagar budaya tidak hanya didasarkan pada regulasi dalam bentuk Undang-undang saja,, namun pemerintah daerah dengan kewenangannya dalam menyelenggarakan urusan pe-merintahan berhak membuat regulasi khusus sebagai aturan dalam pengelolaan cagar budaya. Kemudian, dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan khususnya mengenai pengelolaan cagar budaya tentunya pendanaan atau anggaran menjadi hal yang sangat krusial. Sehingga pengelolaan cagar budaya menyangkut dua aspek yaitu regulasi, dan anggaran. Selain pengelolaan cagar budaya, juga dilakukan pelestarian. Untuk melakukan pelestarian terhadap cagar budaya maka perlu adanya perlindungan terhadap cagar budaya. Menurut UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya perlindungan terdiri dari penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran.6

Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui. Oleh karena itu, untuk menjaga Cagar Budaya dari ancaman pembangunan fisik, baik di wilayah perkotaan, pedesaan, maupun yang berada di lingkungan air, diperlukan pengaturan untuk menjamin eksistensinya. Ihtiar pelestarian cagar budaya dimaksudkan untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Hal itu berarti bahwa upaya pelestarian perlu memperhatikan keseimbangan antarakepentingan akademis, ideologis, dan ekonomis.

Untuk memberikan kewenangan kepada Pemerintah dan partisipasi masyarakat dalam mengelola Cagar Budaya, dibutuhkan sistem manajerial perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang baik berkaitan dengan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya bagi kepentingan yang luas. Dengan mendasarkan pada laratbelakang pemikiran ini maka diperlukan perangkat hukum sebagai rujukan bersama antara pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk peraturan daerah tentang cagar budaya.

6

(16)

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, beberapa masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut :

1. Besarnya khazanah kebudayaan Indonesia yang termanipestaikan dalam beragam warisan budaya masyarakat antara lain melalui benda-benda bersejarah tidak berbanding lurus dengan kuatnya

kesadaran masyarakat untuk melestarkan, melindungi dan

memanfaatkan cagar budaya. Faktor utama dari realitas ini adalah karena minimnya pengetahuan masyarakat tentang apa itu cagar

budaya, bagaiamana cara melindunginya dan

konsekuensi-konsekuensi hukum yang timbul disebabkan merusak cagar budaya.

2. Cagar budaya sebagai sebuah asset bangsa belum diposisikan sebagai narasi sejarah yang mampu menghubungkan masa lalu dengan masa yang akan datang. Cagar budaya lebih dipahami sebagai barang antik yang mungkin hanya dipahami dengan pendekatan ekonomi saja. Paradigma tentang cagar budaya sebagai sebuah benda fosil menjadikan penyikapan masyarakat sebatas perlindungan yang masih minim dan belum samapai pada upaya pemanfaatan secara maksimal. Paradigma baru dalam pengelolaan

Cagar Budaya di Indonesia adalah menggunakan Integrated

Management System, yaitu sistem pengeloilaan Cagar Budaya yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan oleh seluruh pemangku kepentingan

3. Disadari sepenuhnya bahwa sistem pengelolaan terhadap Cagar Budaya diakui masih belum optimal, masing-masing instansi terkadang masih ego sektoral. Semua aspek managemen mulai dari

perencanaan, pelaksanaan dan pengorganisasian, serta

pengawasannya masih berjalan sendiri-sendiri. Sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, pengelolaan Cagar Budaya harus dilakukan oleh Badan Pengelola yang terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat termasuk kalangan perguruan tinggi. Paradigma baru dalam pengelolaan Cagar Budaya di Indonesia adalah

menggunakan Integrated Management System, yaitu sistem

pengeloilaan Cagar Budaya yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan oleh seluruh pemangku kepentingan.

(17)

C. Tujuan Dan Manfaat Naskah Akademik

Tujuan dari Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap tentang Cagar Budaya ini adalah untuk melakukan penelitian atau pengkajian terkait perlindungan, pelstarian dan pemanfataan cagar budaya di wilayah Kabupaten Cilacap dalam bentuk pembentukan regulasi yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap tentang Cagar Budaya.

Manfaat Perlindungan dan pelestarian cagar budaya dapat dilihat dari tiga perspektif :

1. Ideologi, yaitu yang terkait erat dengan muatan untuk mewujudkan

“cultural identity”; Dengan menumbuhkan kesadaran dan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap sumberdaya arkeologi akan dapat menumbuhkan jati diri bangsa, sehingga masyarakat dapat bersikap lebih kritis terhadap sumberdaya arkeologi atau benda cagar budaya sebagai cagar budaya yang harus dilestarikan. 2. Ekonomik, secara ekonomik, pelestarian dan pemanfaatan cagar

budaya dapat memberikan dorongan kepada masyarakat untuk dapat bersamasama dalam menciptakan produk pelestarian cagar budaya yang berkualitas yang berimplikasi pada peningkatkan perolehan pendapatan dan penghasilan, baik bagi masyarakat luas maupun bagi pemerintah.

3. Akademik secara akademik, pelestarian dan pemafaatan sumberdaya arkeologi di sekitar kompleks makam Imogiri dapat dijadikan suatu model pelestarian dan pemanfaatan dari pemerintah bersama masyarakat, oleh pemerintah bersama masyarakat, dan untuk rakyat.

Secara yuridis Peraturan daerah ini menjadi rujukan hukum bagi

pemerintah kabupaten dalam melestarikan, melindungi dan

memanfaatkan cagar budaya sehingga ada kepastian hukum. Perda ini juga menjadi rujukan masyarakat dalam berpartisipasi melindungi dan memanfaatkan cagar budaya di wilayah kabupaten Cilacap.

Dengan demikian, naskah akademik ini diharapkan memiliki

kemanfaatan sebagai landasan, pedoman, dan arahan dalam

membentuk peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap tentang cagar budaya.

D. Metode Analisis Naskah Akademik

Metode analisis yang digunakan dalam naskah akademik ini adalah metode sosiolegal. Artinya, kaidah-kaidah hukum, baik yang berupa perundang-undangan, maupun berbagai tradisi lokal, dijadikan sebagai bahan rumusan pasal-pasal yang dituangkan dalam rancangan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap tentang Cagar Budaya.

(18)

Secara sistematis, penyusunan naskah akademis ini meliputi tahapan-tahapan :

1. Identifikasi permasalahan terkait fenomena aktifitas pengelolaan, pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya di Kabupaten Cilacap.

2. Inventarisasi bahan hukum yang terkait.

3. Sistematisasi bahan hukum

4. Analisis bahan hukum, dan

5. Perancangan dan penulisan

(19)

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIK

A. Kajian Teoritis

Hadirnya undang-undang baru yang mengatur tinggalan arkeologi di bulan November tahun 2010 telah menjadi bahan pembicaraan yang cukup hangat. Perubahan pola pikir antara Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya (UU-BCB) dengan Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya (UU-CB) yang berbeda menimbulkan beberapa pertanyaan di kalangan praktisi maupun akademisi. Diantaranya adalah pertanyaan pengaruhnya terhadap ilmu arkeologi serta upaya pelestarian tinggalan purbakala yang selama ini diatur menggunakan undang-undang. Pada bagian ini disajikan kajian teoritis dalam konteks beberapa tugas baru Pemerintah Daerah dalam mengelola Cagar Budaya sebagai warisan budaya daerah.

1. Pengantar

Tanggal 24 November 2010 merupakan hari yang bersejarah bagi kebudayaan bangsa Indonesia. Tanggal ini bersejarah karena menjadi patokan berlakunya peraturan perundang-undangan baru, yaitu Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya (UU-BCB).

Selama tahun 2010, DPR-RI bersama dengan Pemerintah berupaya menata kembali berbagai aturan tentang cagar budaya yang pada tahun sebelumnya dirasakan memiliki banyak kelemahan. Di antara keluhan yang disampaikan kepada DPR misalnya; a) pengaturan yang terlalu ketat membatasi upaya pelindungan benda cagar budaya oleh masayarakat, walaupun objek yang dilindungi itu adalah miliknya; b) penjualan benda cagar budaya dianggap sebagai pelanggaran hukum; c) tidak ada keuntungan langsung bagi pemilik benda cagar budaya apabila mereka aktif melakukan pelestarian; atau d) munculnya dikotomi hukum antara undang-undang yang melarang pemanfaatan cagar budaya bawah air dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tetapi membolehkan.

Dari hal tersebut di atas, kesan masyarakat yang paling penting untuk dicatat adalah bahwa Undang Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya ialah secara keseluruhan sangat berorientasi pada kewenangan Pemerintah Pusat. Peran Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai pemilik benda cagar budaya sangat sedikit disinggung di dalamnya, sifat larangan yang konservatif dalam hal tertentu seperti untuk mempertahakan eksistensi benda cagar budaya dianggap baik, akan tetapi pada sisi yang lain seperti kewajiban Pemerintah Pusat sendiri kepada masyarakat nyaris tidak diatur secara rinci di dalamnya.

(20)

benda cagar budaya oleh semua pemangku kepentingan (stake holders).

Akhirya disimpulkan oleh Komisi X DPR-RI bahwa mereka tidak akan memperbaiki UU-BCB, melainkan membuat undang-undang baru yang kemudian disebut sebagai Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya (UU-CB).

2. Dasar Hukum dan Paradigma

Pengaturan cagar budaya dapat ditarik dasar hukumnnya pada Pasal 32 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa: “Negara memajukan

kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan

menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan

mengembangkan nilai-nilai budayanya”.

Kutipan ini memiliki beberapa unsur yang penting sebagai pedoman kehidupan bernegara. Pertama, adalah pengertian tentang kebudayaan nasional, yaitu kebudayaan yang hidup dan dianut oleh penduduk Indonesia; Kedua, menempatkan kebudayaan itu dalam konstelasi peradaban manusia di dunia; dan Ketiga, negara

menjamin kebebasan penduduknya untuk memelihara dan

mengembangkan kebudayaan miliknya.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar ini, dirumuskan bahwa pemerintah Indonesia berkewajiban “melaksanakan kebijakan memajukan kebudayaan secara utuh untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”. Rumusan ini mejadi pedoman dalam

menyusun pasal-pasal berisi perintah, larangan, anjuran,

pengaturan, dan hukuman yang menguntungkan masyarakat. Isu tentang adaptive reuse, good governance, desentraliasi kewenangan, atau hak-hak publik selalu mewarnai kalimat dan susunan pasal dalam Undang-Undang Cagar Budaya.

Fokus pengaturan untuk kepentingan ilmu (arkeologi) dan seni yang selama puluhan tahun menjadi perhatian, yaitu sejak keluarnya Monumenten Ordonnatie tahun 1938 yang disusun Pemerintah Kolonial Belanda, mulai tahun 2010 perhatian ini lebih

terfokus kepada persoalan upaya konkrit meningkatkan

kesejahteraan rakyat sekaligus mengangkat peradaban bangsa menggunakan tinggalan purbakala. Ini adalah misi sebenarnya dari penyusunan Undang-Undang Cagar Budaya.

3. Pertimbangan Kemanfaatan

Setidaknya ada 4 pertimbangan pokok yang dipakai DPR-RI ketika merumuskan Undang-Undang Cagar Budaya. Pertama, dari sisi ekonomi, cagar budaya harus mampu meningkatkan harkat kehidupan rakyat banyak; kedua, dari sisi tanggungjawab publik,

pelestarian cagar budaya adalah “kewajiban” semua orang; ketiga,

dari sisi peradaban, pelestarian cagar budaya harus membuka

(21)

masyarakat; dan keempat, dari sisi tata kelola negara, pemerintah

“meringankan beban” pelestarian yang ditanggung oleh masyarakat.

4. Pengertian Pelestarian

Perubahan paradigma ini masih diikuti oleh berubahnya arti

“pelestarian”. Kalau semula diartikan sempit sebagai tugas

pelindungan semata, kali ini dilihat sebagai sebuah sistem yang

menghubungkan unsur pelindungan, pemanfaatan, dan

pengembangan. Ketiganya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk seterusnya kata “pelestraian” dilihat sebagai unsur yang dinamis bukannya statis, dimana setiap unsur berperan memberikan fungsi kepada unsur lain, sebagaimana dapat dilihat pada skema di bawah ini.

Keterangan: Pl = pelindungan Pb = pengembangan

Pf = pemanfaatan

Pelindungan adalah unsur terpenting dalam sistem pelestarian cagar budaya, unsur ini mempengaruhi unsur-unsur lain yang pada akhirnya diharapkan menghasilkan umpan balik (feedback) pada upaya pelindungan. Unsur ini berhubungan langsung dengan fisik (tangible) cagar budaya yang menjadi bukti masa lalu. Sebaliknya unsur pengembangan lebih banyak berhubungan dengan potensi-potensi (intangible) yang menyatu dengan benda, bangunan, struktur, atau situs yang dipertahankan. Kegiatannya bukan dalam bentuk konservasi, restorasi, atau pemeliharaan objek misalnya, melainkan upaya pengembangan informasi, penyusunan bahan edukasi, atau sebagai objek wista. Hal ini berbeda dengan kegiatan pada unsur pemanfaatan yang juga menyentuh fisik dari cagar budaya seperti halnya pelindungan, bedanya ialah pada unsur ini kegiatannya terbatas pada upaya revitalisasi atau adaptasi untuk menyesuaikan kebutuhan baru dengan tetap mempertahankan keaslian objek.

5. Kewenangan Pemerintah Daerah

(22)

Tahun 2010 Tentang Benda Cagar Budaya. Di situ disebutkan 16 kewenangan sebagai berikut:

1. menetapkan etika Pelestarian Cagar Budaya;

2. mengoordinasikan Pelestarian Cagar Budaya secara lintas sektor dan wilayah;

3. menghimpun data Cagar Budaya;

4. menetapkan peringkat Cagar Budaya;

5. menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya;

6. membuat peraturan Pengelolaan Cagar Budaya;

7. menyelenggarakan kerja sama Pelestarian Cagar Budaya; 8. melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum;

9. mengelola Kawasan Cagar Budaya;

10.mendirikan dan membubarkan unit pelak-sana teknis bidang pelestarian, penelitian, dan museum;

11.mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di bidang kepurbakalaan;

12.memberikan penghargaan kepada setiap orang yang telah melakukan Pelestarian Cagar Budaya;

13.memindahkan dan/atau menyimpan Cagar Budaya untuk

kepentingan pengamanan;

14.melakukan pengelompokan Cagar Budaya berdasarkan

kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat provinsi, dan peringkat kabupaten/kota;

15.menetapkan batas situs dan kawasan; dan

16.menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses

pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang, atau musnahnya Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya.

Kewenangan yang sama juga diberikan kepada Pemerintah Pusat, kecuali 5 kewenangan yang bersifat pen-gaturan di tingkat nasional, yaitu:

1. menyusun dan menetapkan Rencana Induk Pelestarian Cagar Budaya;

2. melakukan pelestarian Cagar Budaya yang ada di daerah perbatasan dengan negara tetangga atau yang berada di luar negeri;

3. menetapkan Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan/atau Kawasan Cagar Budaya sebagai Cagar Budaya Nasional;

4. mengusulkan Cagar Budaya Nasional sebagai warisan dunia atau Cagar Budaya bersifat internasional; dan

5. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Pelestarian Cagar Budaya.

(23)

Kabupaten/Kota untuk mendirikan atau membubarkan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) menurut kebutuhan. Daerah bahkan diberi tugas untuk menetapkan, menghapus, atau melakukan peringkat kepentingan terhadap cagar budaya yang berada di wilayah administrasinya masing-masing.

6. Tim Ahli Cagar Budaya dan Tenaga Ahli Pelestarian

Akan tetapi sebelum kewenangan tersebut dapat dilakukan, tugas pertama adalah menetapkan objek yang didaftarkan sebagai cagar budaya atau bukan cagar budaya. Objek-objek yang ditetapkan sebagai cagar budaya dengan sendirinya menjadi subjek pengaturan undang-undang, sebaliknya yang bukan cagar budaya tidak diatur lebih jauh oleh undang-undang.

Gubernur, Bupati, atau Wali Kota menjadi pejabat yang menandatangani penetapan itu, oleh karena itu mulai tahun 2010 status objek sebagai cagar budaya mempunyai kekuatan hukum karena pemiliknya akan menerima dua jenis surat: 1) Surat Keterangan Status Cagar Budaya, dan 2) Surat Keterangan Kepemilikan. Kedua surat ini dapat dikeluarkan setelah penetapan dilakukan kepala daerah berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya yang dibentuk di lingkungan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah Kota untuk menangani pendaftaran cagar budaya. Anggota Tim Ahli dididik dan diberi

sertifikat oleh Pemerintah Pusat sebelum “dipekerjakan” oleh

Pemerintah Daerah. Komposisi anggota Tim Ahli diharapkan 60% dari unsur masyarakat dan 40% dari unsur pemerintah.

Jadi, menurut undang-undang, koleksi milik seseorang, hasil penemuan, atau hasil pencarian baru dapat dinyatakan sebagai cagar budaya setelah melalui kajian Tim Ahli Cagar Budaya.

Dalam menjalankan tugas, tim ini dibantu oleh sebuah tim lagi yang disebut sebagai Tim Pengolah Data. Nama tim ini muncul

dalam Rancangan Peraturan Pemerintah yang kini tengah

dipersiapkan untuk dike-luarkan oleh Presiden RI. Tugas tim yang bekerja di bawah koordinasi instansi bidang kebudayaan ini adalah mengumpulkan dan melakukan verifikasi atas data, sebelum diserahkan kepada Tim Ahli Cagar Budaya.

Untuk objek yang belum dinyatakan sebagai cagar budaya, undang-undang juga melindungi “Objek Yang Diduga Sebagai Cagar

Budaya” dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan layaknya cagar budaya. Pendugaan ini dilakukan oleh Tenaga Ahli, bukan oleh Tim Ahli. Tenaga Ahli adalah orang-orang tertentu seperti arkeologi, antropologi, geologi, sejarah, atau kesenian yang diberi sertifikat oleh negara menjadi ahli setelah melalui pegujian. Pengaturannya dilakukan dalam Peraturan Pemerintah yang sampai saat ini masih

tengah dipersiapkan. Maksud dari pelindungan terhadap “Objek Yang Diduga Sebagai Cagar Budaya” ini adalah supaya kemungkinan

untuk menjadi cagar budaya dapat dipertahankan sampai dengan keluarnya penetapan oleh kepala daerah.

(24)

objek yang akan dilestarikan dibuat dokumentasinya dan studi kelayakannya. Posisi Tenaga Ahli di kemudian hari akan memegang peranan strategis dalam upaya pelestarian cagar budaya yang dimotori masyarakat. Oleh karena itu pendidikan mereka menjadi prioritas Pemerintah Pusat.

Dengan demikian peran Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam 10 tahun ke depan diharapkan akan mampu melakukan sendiri pelestarian cagar budaya. Hal ini menarik untuk disimak mengingat Tenaga Ahli yang dimaksudkan dalam undang-undang dapat bekerja di lingkungan pemerintahan, perorangan, lembaga swasta, LSM, atau unsur masyarakat hukum adat. Sinergi para ahli ini diharapkan mampu mempertahankan warisan budaya di seluruh Indonesia sebagai bagian dari upaya mempertahankan dan membangun karakter bangsa.

7. Urgensi Pelestarian Cagar Budaya

Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui. Sifat ini menyebabkan jumlahnya cenderung berkurang sebagai akibat dari pemanfaatan yang tidak memperhatikan upaya pelindungannya, walaupun batas usia 50 tahun sebagai titik tolak penetapan status

“kepurbakalaan” objek secara bertahap menempatkan benda,

bangunan, atau struktur lama menjadi cagar budaya baru. Warisan yang lebih tua, karena tidak bisa digantikan dengan yang baru, akan terus berkurang tanpa dapat dicegah.

Dalam konteks ini kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah adalah untuk memperlambat hilangnya warisan budaya dari wilayah Indonesia. Presepsi bahwa cagar budaya memiliki nilai ekonomi yang menguntungkan apabila diperjual belikan, secara bertahap dapat digantikan dengan pemanfaatan bersifat berkelanjutan (sustainable) agar dapat dinikmati kehadirannya oleh generasi mendatang.

Peran Pemerintah Daerah menjadi tantangan yang patut dipertimbangkan untuk mencapai maksud ini. Hanya melalui pendekatan pelestarian yang bersifat menyeluruh (holistik) harapan rakyat yang dirumuskan menjadi undang-undang ini dapat direalisasikan oleh semua pemangku kepentingan. Masyarakat daerah mampu menjadi garda terdepan menjaga kekayaan budaya miliknya sebagai kekayaan bangsa yang dibanggakan oleh generasi mendatang.

B. Praktek Empiris

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap, saat ini tengah menginventarisasi benda cagar budaya di Cilacap. Inventarisasi dilakukan, agar benda maupun bangunan yang diduga sebagai cagar budaya dapat terjaga kelestariannya.

(25)

prasarana transportasi seperti stasiun. Meski telah diusulkan kepada pemerintah pusat, namun sejauh ini baru enam cagar budaya yang telah masuk dalam registrasi nasional. Yakni Kantor Disparbud Cilacap, Komplek Pemakaman Kristen Kerkhoff, Makam Hong Bangkong Suralaka, Lonceng Kuno, Pintu Gerbang Kantor Bupati Cilacap, dan Tempat Tidur Bupati I. Sedangkan benda cagar budaya lain, saat ini masih dikaji oleh tim ahli budaya, sebelum didaftarkan ke pemerintah pusat, dan mendapatkan SK cagar budaya.

Tim ahli budaya ini dibentuk di Kabupaten Cilacap, dan telah mendapatkan SK Bupati. Tugasnya tidak lain, yakni untuk melakukan inventarisasi dan verivikasi terhadap benda-benda yang diduga cagar budaya. Untuk dapat ditetapkan sebagai benda cagar budaya, sebuah benda harus memiliki sejumlah kriteria, antara lain berusia 50 tahun atau lebih, mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun, dan memiliki arti khusus bagi sejarah. Selain itu, benda cagar budaya dapat

menjadi sumber ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan

kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Beberapa benda, bangunan, struktur, situs atau kawasan yang kuat diduga sebagai cagar budaya antara lain; stasiun kereta api cilacap, benteng pendem, dan masih banyak yang lainnya.

Balai Arkeologi Yogyakarta akan kembali melakukan penelitian bangunan peninggalan sejarah Perang Dunia Kedua, beberapa di antaranya adalah beberapa benteng yang ada di Kabupaten Cilacap. Penelitian tersebut dilakukan sebagai amanat menjawab permasalahan terutama tentang peradaban masa lalu. Jadi setiap situs atau objek cagar budaya berbeda masalahnya. Dan tidak ada yang tidak penting.

Lain halnya dengan Stasiun Kereta Api Cilacap yang memiliki sejarah yang cukup strategis tentang Cilacap. Deskripsi kesejarahan Stasiun Kereta Api Cilacap ini terbentang dalam kurun waktu sekitar 200 tahunan.

Sejak diberlakukannya sistem tanam paksa atau cultuur stelsel, pemerintah Belanda menghadapi kendala baru yaitu meningkatnya jumlah produksi beberapa tanaman yang berimbas pada menumpuknya hasil pertanian dilumbung-lumbung penyimpanan karena terkendala masalah distribusi. Jika terlalu lama disimpan, hasil pertanian tersebut akan berkurang kualitasnya sehingga akan mempengaruhi nilai jualnya. Oleh sebab itulah pemerintah Belanda berupaya untuk mencari alat transportasi baru guna memperlancar proses distribusi hasil pertanian.

(26)

Stasiun Cilacap merupakan stasiun kereta api yang terletak paling selatan di Daerah Operasi (DAOP) 5 Purwokerto. Selain itu, stasiun yang terletak tak jauh dari Pelabuhan Cilacap tersebut juga merupakan stasiun terakhir pada jalur Maos-Cilacap. Pembangunan Stasiun Cilacap erat kaitannya dengan keberadaan Pelabuhan Cilacap yang telah ada sebelumnya. Penyambungan rel dari Stasiun Cilacap ke Pelabuhan Cilacap ditetapkan pada tahun 1888 oleh Departemen Pekerjaan Umum. Stasiun Cilacap dibangun oleh pemerintah sebagai fasilitas pengangkutan hasil bumi dari kegiatan cultuur stelsel di daerah Wonosobo, Purworejo, dan sekitarnya. Hasil bumi dari berbagai area tersebut diangkut ke Pelabuhan Cilacap untuk kemudian dipasarkan hingga ke Eropa.

Jalur Yogyakarta-Cilacap mulai dibangun oleh perusahaan kereta api negara Staats Sporwegen (SS) pada tahun 1879 dan selesai tahun 1887. Kala itu SS dikepalai oleh David Maarschalk, seorang pensiunan kolonel, dan berada dibawah naungan Burgerlijke Openbare Werken (BOW).

Jalur Yogyakarta-Cilacap merupakan perpanjangan jalur kereta api Kemijen-Tanggung-Yogyakarta. Jalur ini memiliki panjang 187, 283 Km yang dalam pembuatannya menghabiskan biaya 14.709.074,75 gulden. Setelah selesai dibuat, jalur tersebut kemudian diresmikan pada tanggal 16 Juli 1887 oleh Gubernur Jenderal Otto van Rees. Alasan pemerintah membuka jalur Yogyakarta-Cilacap.

Potensi cagar buadaya lainnya antara lain temuan di sebuah pegunungan di Desa Salebu, Kecamatan Lakbok, Majenang, Cilacap. Di lokasi tersebut ditemukan sebuah situs kuno yang juga disebut warga sekitar sebagai Gunung Padang. Situs megalitikum ini menampilkan struktur balok-balok batu segi empat, segi lima dan segi enam yang

mengeluarkan wangi harum, sementara yang di sebelah kiri berbau amis. Gua-gua ini menjadi sasaran pertama atau peziarah belakangan ini ramai berkunjung.

Untuk menuju ke lokasi situs Gunung Padang dari Ibu Kota Kecamatan Majenang butuh waktu empat jam menuju ke desa terakhir yaitu Desa Cibeunying. Selanjutnya dari desa terakhir menuju ke lokasi situs yang terletak di Desa Salebu harus berjalan kaki selama satu jam melintasi hutan.

(27)

perhatian dari pemerintah daerah untuk melakukan perhatian terhadap situs yang memiliki nilai sejarah yang tinggi ini.

Yang dilakukan baru sebatas inventarisasi. Dalam hal ini, baru dilakukan pendataan awal terhadap benda dan bangunan yang terindikasi sebagai cagar budaya. Pendataan tersebut melibatkan para pamong budaya yang tersebar di setiap kecamatan.

Harus diakui masih adanya kelemahan dalam proses pendataan benda dan bangunan yang diduga sebagai cagar budaya. Belum ada petugas yang benar-benar memahami masalah benda cagar budaya, sehingga baru sebatas pendataan awal yang dilakukan oleh pamong budaya. Hingga saat ini, petunjuk resmi terkait dengan benda atau bangunan yang dapat dimasukkan sebagai cagar budaya masih sangat minim diperoleh oleh pemerintah daerah. Selain itu, pihak pemerintah daerah juga terkendala jika benda atau bangunan yang diduga cagar budaya tersebut milik pribadi.

Kendati demikian, pihak pemerintah daerah telah mendata beberapa bangunan yang diduga sebagai cagar budaya, seperti Benteng Pendem, Stasiun Cilacap, dan Pendopo Wijayakusuma Sakti Kabupaten Cilacap.

Di antara bangunan-bangunan tersebut, baru Benteng Pendem yang telah diusulkan untuk ditetapkan sebagai cagar budaya. Keberadaan benteng ini sebagai benteng pertahanan menunjukan bahwa Cilacap memegang peranan penting bagi Belanda terutama pada pelabuhan laut yang merupakan jalan keluar masuk komoditi Belanda sehingga sangat perlu dijaga keamanannya.

Masih banyak cagar budaya di Kabupaten Cilacap yang belum terdaftar. Padahal semestinya semua cagar budaya yang ada harus terdaftar dan mendapat perawatan dari pemerintah. Mengingat, semua cagar budaya memiliki nilai sejarah yang tinggi.

Selain itu, Pemerintah Kabupaten Cilacap juga memiliki kebijakan bahwa pembangunan cagar budaya ini untuk menjaga kearifan lokal yang menjunjung tinggi nilai keberagaman. Dengan demikian konflik sektarian bisa diredam.

(28)

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN TERKAIT

Persoalan mengenai benda, situs, atau kawasan cagar budaya di Indonesia sudah menjadi persoalan nasional mengingat keberadaan fungsi dan manfaatnya yang begitu besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Terkait dengan hal ini, beberapa regulasi perundang-undangan disusun guna melindungi dan melestarikan Cagar Budaya di Indonesia. Di antara regulasi perundang-undangan tersebut antara lain:

1. Undang-Undang Dasar 1945

Persoalan kebudayaan, disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (1) yang menyatakan: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan

menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan

mengembangkan nilai-nilai budayanya.”

Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah bangsa yang sangat kaya budaya, baik budaya yang bersifat tangible (berwujud) maupun intangible (tidak berwujud). Budaya yang berwujud merupakan hasil dari cipta karya manusia berupa benda-benda ataupun bangunan yang mempunyai bentuk dan fungsi tertentu. Benda inilah yang kemudian disebut dengan cagar budaya. Sedangkan budaya yang tidak berwujud dapat berupa nilai-nilai, tradisi, cerita, bahasa, adat istiadat dan lain sebagainya. Kekayaan akan kedua jenis budaya ini membentang dari wilayah barat Indonesia (Aceh) hingga bagian paling timur (Papua).

Baik budaya yang berwujud maupun tidak berwujud dalam kondisi tertentu seringkali terusik bahkan terancam keberadaanya karena faktor usia, kondisi alam dan cuaca, bahkan karena ulah manusia. Karenanya, pasal 32 ayat (1) UUD 1945 hadir dalam konteks melindungi dan melestarikan kedua jenis budaya tersebut.

Dalam pasal 28 ayat (1) juga disebutkan: “ Identitas budaya dan

hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan

zaman dan peradaban.” Pasal ini jelas menegaskan bahwa budaya sebagai identitas suatu kelompok masyarakat harus dihormati dan dijunjung tinggi. Penghormatan yang dilakukan tentu dengan tetap mengedepankan semangat kekinian dan nilai-nilai peradaban yang ada.

2. Undang-Undang Nomor 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan

(29)

a. Objek dan daya Tarik wisata ciptaan Tuhan yang Maha Esa yang berwujud keadaan alam serta flora dan fauna.

b. Objek dan daya Tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata tirta, wisata buru, wisata petualangan alam, taman rekreasi, dan tempat hiburan.

Pada tanggal 6 Januari 2009 lahir UU Kepariwisataan yang baru, yaitu UU No. 10 Tahun 2009. Dalam konteks UU kepariwisataan ini Cagar budaya diposisikan sebagai elemen penting dalam kepariwisataan. Bahkan, salah satu pertimbangan penetapan UU kepariwisataan tersebut antara lain dikarenakan peninggalan sejarah dan purbakala merupakan sumber daya dan modal yang besar bagi usaha pengembangan dan peningkatan kepariwisataan serta dalam rangka memperkaya kebudayaan nasional dan memantapkan pembinaannya dalam rangka memperkukuh jati diri bangsa.

3. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya

Undang-Undang nomor 5 tahun 1992 adalah peraturan perundang-undangan pertama yang secara spesifik mengatur mengenai cagar budaya. Hal ini nampak misalnya dalam pasal:

a. Pasal 13:

1) Setiap orang yang memilik atau menguasai benda cagar budaya wajib melindungi dan memeliharanya

2) Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan dengan memperhatikan nilai sejarah dan keaslian bentuk serta pengamanannya.

b. Pasal 15:

1) Setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya.

2) Tanpa isu dari pemerintah setiap orang dilarang:

a) Membawa benda cagar budaya ke luar wilayah Republik Indonesia.

b) Memindahkan benda cagar budaya dari daerah satu ke daerah lainnya.

c) Mengambil atau memindahkan benda cagar budaya baik sebagian maupun seluruhnya, kecuali dalam keadaan darurat.

d) Mengubah bentuk dan/atau warna serta memugar benda cagar budaya

(30)

f) Memperdagangkan atau memperjualbelikan atau memperniagakan benda cagar budaya.

3) Pelaksanaan ketentuan dan perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

c. pasal 17

1) Setiap kegiatan yang berkaitan dengan penetapan suatu lokasi sebagai situs disertai dengan pemberian ganti rugi kepada pemilik tanah yang bersangkutan.

2) Pelaksanaan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan ketiga pasal di atas, jelas sekali bahwa pemerintah memberikan perhatian serius terhadap eksistensi dan kelestarian cagar budaya. Perhatian tersebut diwujudkan dalam upaya inventarisasi, pernghargaan bagi yang meletarikan, dan perlindungan terhadap cagar budaya.

4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

Undang-Undang ini adalah perubahan atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1992. Point penting dalam aturan yang diubah adalah adanya optimalisasi peran Pemerintah Daerah dalam melindungi dan melestarikan cagar budaya, dimana sebelumnya hanya menjadi kewenangan dan tanggungjawab pemerintah pusat. Dalam UU nomor 11

tahun 2010 ditegaskan bahwa “pemerintah daerah diberi kewenangan

untuk menjaga dan melestarikan cagar budaya dan masyarakat juga

diwajibkan berpartisipasi di dalam pelestarian cagar budaya.”

Kepemilikan terhadap cagar budaya secara perseorangan juga diakui oleh pemerintah. Tanggung jawab pemerintah daerah terhadap pelestarian cagar budaya juga menjadi semakin besar. Karena di dalam UUCB dijelaskan bahwa perlindungan cagar budaya di daerah merupakan tanggung jawab dari pemerintah daerah. Sedangkan pemerintah pusat hanya berperan sebagai koordinator, fasilitator, dan dinamisator dalam pelestarian cagar budaya.

Optimalisasi peran pemerintah daerah dalam melindungi dan melestarikan cagar budaya menjadi semakin kuat ketika lahir Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Otda). UU Pemerintahan Daerah adalah dasar dari pembagian dan distribusi kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pemerintah Daerah diberi kewenangan luas untuk mengatur rumah tangga pemerintahan daerahnya sesuai dengan karakteristik dan potensi daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Diharapkan dengan adanya otonomi daerah, kinerja pemerintah pusat tidak terlalu terbebani dengan kondisi daerah. Kemudian

pemerintah daerah dapat leluasa di dalam menyelenggarakan

(31)

dan aspirasi masyarakat, termasuk dalam hal perlindungan dan pelestarian cagar budaya. Pemerintah pusat, dalam hal ini, hanya menjadi fasilitator, koordinator, dan dinamisator atas kebijakan yang dilaksanakan pemerintah daerah dalam perlindungan dan pelestarian cagar budaya.

5. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup, perubahan atas UU No. 4 tahun 1992 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-undang ini memang tidak secara khusus mengatur cagar budaya, namun jika dicermati dengan seksama, maka terdapat beberapa pasal yang memiliki relevansi dengan persoalan cagar budaya. Hal ini seperti yang disebutkan dalam pasal 1 angka (1) mengenai definisi dari

lingkungan hidup, yaitu “lingkungan hidup adalah kesatuan ruang

dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain.

Pasal 9 ayat (3) juga secara khusus menyebut kata cagar budaya

di dalamnya. Pasal ini berbunyi, “pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati, perlindungan sumberdaya buatan, konservasi

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya,

keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.”

Berdasarkan kedua pasal di atas dapat dipahami bahwa cagar budaya adalah bagian dari lingkungan hidup yang harus dikelola sedemikian rupa serta dilindungi dari segala hal yang dapat merusak atau menghilangkannya.

6. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

(32)

Dalam pasal 5 ayat (1) UU Bangunan gedung disebutkan bahwa fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya, serta fungsi khusus. Kemudian dalam pasal 5 ayat (5) disebutkan bahwa bangunan gedung yang berfungsi sosial dan budaya sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi: bangunan gedung untuk pendidikan, kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium, dan pelayanan umum.

Adapun pasal yang secara jelas menyebutkan cagar budaya di dalamnya yaitu pasal 38 ayat (1 s/d 5);

1) Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan;

2) Penetapan bangunan gedung dan lingkungannya yang dilindungi dan dilestarikan sebagaimaa dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah dan/ atau pemerintah dengan memperhatikan ketentuan perundang-undangan;

3) Pelaksanaan perbaikan, pemugaran perlindungan serta

pemeliharaan atau bangunan gedung dan lingkungannya

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah nilai dan /atau cagar budaya yang dikandungnya;

4) Perbaikan, pemugaran, dan pemanfaatan bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya yang dilakukan menyalahai ketentuan fungsi dan/ atau karakter cagar budaya, harus dikembalikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

5) Ketentuan mengenai perlindungan dan pelestarian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) serta teknis pelaksanaan perbaikan, pemugaran dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3 dan 4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

7. PP Nomor 10 tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU nomor 5 tahun

1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Untuk mempertegas dan memperjelas secara teknis-operasional UU nomor 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya, pemerintah menyusun Peraturan tentang Benda Cagar Budaya. Secara lebih detail Peraturan Pemerintah ini mengatur lebih lanjut mengenai penguasaan,

pemilikan, pendaftaran, pengalihan, penemuan, pencarian,

perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, pembinaan, dan pengawasan serta hal-hal lain yang berkenaan dengan upaya pelestarian benda cagar budaya.

Perlindungan dan peeliharaan benda cagar budaya diatur secara detail dalam pasal 22, 23, 29, 30, 32, 34, dan 35 PP nomor 10 tahun 1993 sebagai berikut:

(33)

“Setiap orang yang memiliki atau yang menguasai benda cagar budaya wajib melakukan perlindungan dan pemeliharaan benda

cagar budaya yang dimiliki atau yang dikuasainya.”

b. Pasal 23

1) Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya dilakukan dengan cara penyelamatan, pengamanan, perawatan, dan pemugaran.

2) Untuk kepentingan perlindungan benda cagar budaya dan situs diatur batas-batas situs dan lingkungannya sesuai dengan kebutuhan.

3) Batas-batas situs dan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan system pemintakatan yang terdiri dari mintakat inti, penyangga, dan pengembangan.

c. Pasal 29

1) Untuk kepentingan perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya, setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya, situs, dan lingkungannya.

2) Termasuk kegiatan yang dapat merusak benda cagar budaya dan situsnya adalah kegiatan:

a) mengurangi, menambah, mengubah, memindahkan, dan

mencemari benda cagar budaya; dan

b) Mengurangi, mencemari, dan / atau mengubah fungsi situs.

d. Pasal 30

1) Setiap orang hanya dapat membawa benda cagar budaya keluar wilayah RI atas dasar ijin yang diberikan oleh menteri.

2) Ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diberikan untuk kepentingan:

a) Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi;

b) Sosial atau budaya;

c) Pemanfaatan lain yang diatur oleh menteri.

3) Permohonan ijin untuk membawa benda cagar budaya keluar wilayah RI untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib disampaikan dengan disertai data benda cagar budaya, kerangka acuan, dan system pengamanannya.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur oleh menteri.

e. Pasal 32

(34)

sejarah dan fungsi pemanfaatannya dari daerah satu ke daerah lainnya atas dasar ijin yang diberikan oleh menteri.

2) Tatacara perijinan sebagaimaa dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh menteri.

f. Pasal 34

1) Setiap orang tanpa ijin menteri dilarang:

a) Mengambil atau memeindahkan sebagian benda cagar

budaya ataupun seluruhnya;

b) Mengubah bentuk dan/atau warna benda cagar budaya;

c) Memisahkan sebagian benda cagar budaya dari kesatuannya.

2) Larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf c tidak berlaku apabila perbuatan tersebut dilakukan untuk penyelamatan dalam keadaan darurat.

3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh menteri.

g. Pasal 35

1) Setiap orang yang memperdagangkan, memperjualbelikan, atau memperniagakan benda cagar budaya tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 (2) huruf b sebagai usaha dagang, wajib memiliki ijin usaha perdaganngan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2) Ijin usaha perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan setelah mendapat rekomendasi dari menteri.

3) Setiap orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan secara berkala benda cagar

budaya yang diperjualbelikan kepada instansi yang

bertenggungjawab atas pendaftaran benda cagar budaya setempat.

8. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 1995 tentang Pemeliharaan

dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum

Guna kepentingan pelestarian dan pemanfaatan, beberapa benda cagar budaya terkadang disimpan di museum. Hal ini untuk mempermudah dan menjamin perawatan, pengamanan, penyimpanan, dan pemanfaatan benda cagar budaya tersebut yang diselaraskan dengan upaya pengembangan kebudayaan nasional.

Kehadiran PP nomor 19 tahun 1995 adalah keberlanjutan amanat PP pasal 40 PP nomor 10 tahun 1993 yang menyebutkan bahwa

“pengaturan mengenai permuseuman yang meliputi penyimpanan,

perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan koleksi museum yang

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dimana disebutkan tentang dasar-dasar hukum tentang permuseuman, dapat disimpulkan satu rumusan yang dapat

Melalui kegiatan presentasi kelompok, siswa dapat mengkomunikasikan hasil diskusi tentang sikap kebersamaan dalam perbedaan kegemaran di rumah dengan percaya diri..

a) Dalam peluncuran gerakannya adalah suatu gerakan transient yaitu suatu gerakan yang mengandung percepatan. b) Dalam peluncuran volume bagian tercelup dari kapal

lain Jasmani pada umumnya dan keadaan fungsi jasmani tertentu terutama panca indra dan status gizi (gizi seimbang), intelegensi, minat, sikap, disiplin dan motivasi, sedangkan

Dengan menggunakan EVA sebagai alat ukur kinerja yang menjadi dasar dalam pemberian kompensasi bonus, hambatan dalam mengevaluasi keberhasilan suatu proyek atau

Dengan berlakunya undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya, merupakan langkah produktif dan prestatif yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang,

Untuk memaksimalkan potensi angin untuk penghawaan, perlu adanya aliran udara di dalam bangunan, untuk itu di perlukan bukaan yang lebih dari satu buah dalam ruangan

1. Metode Studi Pustaka dengan pencatatan secara cermat terhadap obyek yang diamati yaitu mengenai game 2D. Data diperoleh yakni dari buku, jurnal, artikel