• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN - Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Apabila Terjadi Force Majeure (Studi Pada PT. Daya Prima Indonesia)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN - Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Apabila Terjadi Force Majeure (Studi Pada PT. Daya Prima Indonesia)"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Kredit Pemilikan Rumah Ditinjau dari UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

BAB IV ( Perlindungan Hukum Konsumen dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Apabila Terjadi Force majeure (Studi pada PT. Daya Prima Indonesia) ), berisi inti dari penulisan ini yang membahas dan mengkaji Perlindungan Hukum Konsumen Perumahan yakni terdiri atas: Penjelasan Atas Hak-Hak Konsumen yang Tidak Terpenuhi Akibat Force majeure, Upaya Menyelesaikan Permasalahan Hak Konsumen yang Tidak Terpenuhi Akibat

Force majeure, Hambatan yang Dihadapi Dalam Menyelesaikan Permasalahan

Konsumen.

BAB V ( Kesimpulan dan Saran ), berisi uraian mengenai kesimpulan dari seluruh bab sebelumnya yang menjadi suatu kesimpulan penulisan serta saran-saran yang merupakan sumbangan pemikiran dari penulis terhadap permasalahan dalam skripsi ini.

BAB II

(2)

A. Pengertian dan Istilah dalam Perlindungan Konsumen

Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai jenis barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan tekhnologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang ditawarkan menjadi lebih bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.

Kondisi seperti ini pada satu sisi mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Namun, disisi lain dapat pula menyebabkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang, dimana sering kali kosumen berada pada posisi yang lemah.22

Hal inilah yang melatarbelakangi dibentuknya Hukum Perlindungan Konsumen sebagai salah satu upaya pemerintah untuk menyeimbangkan kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen. Perlindungan konsumen adalah

perangkat

22

(3)

hak dapat menuntut hak-haknya sesuai apa yang diperjanjikan.

Didalam Hukum Perlindungan Konsumen terdapat beberapa istilah-istilah yang memiliki makna yang berbeda-beda dan menyebabkan akibat hukum yang berbeda pula. Untuk itu perlu dibahas mengenai beberapa istilah yang sering digunakan di dalam perlindungan konsumen tersebut.

1. Konsumen

Di dalam kegiatan sehari-hari kita tidak terlepas dari kegiatan-kegiatan yang memposisikan kita sebagai konsumen. Konsumen merupakan salah satu pihak dalam hubungan dan transaksi ekonomi yang hak-haknya sering diabaikan. Di dalam ilmu ekonomi ada dua jenis konsumen, yakni konsumen antara dan konsumen akhir. Konsumen antara adalah distributor, agen dan pengecer. Mereka membeli barang bukan untuk dipakai, melainkan untuk diperdagangkan Sedangkan pengguna barang adalah konsumen akhir.23

23

Gunadiemaha, Pengertian Produsen dan Konsumen dalam Tinjauan TOU,

Kata “konsumen” pun sering kali di sebutkan di dalam percakapan sehari-hari. Sehingga perlu diberikan batasan pengertian yang jelas agar mempermudah kita dalam membahas tentang perlindungan konsumen.

Di dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) yaitu UU Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa :

(4)

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Pengertian konsumen yang dituliskan didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut dapat kita simpulkan bahwa konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir. Karena konsumen akhir memperoleh barang dan/atau jasa bukan untuk dijual kembali, melainkan untuk digunakan, baik bagi kepentingan dirinya sendiri, keluarga, orang lain dan makhluk hidup lain dimana ia merasakan secara langsung dampak yang ditimbulkan oleh barang dan/ atau jasa yang dikonsumsinya.24

Selain pengertian diatas, dikemukakan pula pengertian konsumen, yang khusus berkaitan dengan masalah ganti kerugian. Di Amerika Serikat, pengertian konsumen meliputi “korban produk yang cacat” yang bukan hanya meliputi pembeli, melainkan juga korban yang bukan pembeli, namun pemakai, bahkan korban yang bukan pemakai memperoleh perlindungan yang sama dengan

Dapat dilihat bahwa di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini tidak hanya manusia dan badan hukum yang dilindungi namun juga makhluk hidup lain yang bukan manusia seperti hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Pengertian mengenai konsumen di dalam UUPK tersebut memberikan perlindungan yang seluas-luasnya kepada konsumen, sehingga diharapkan dapat menanggulangi seluruh permasalahan yang merugikan konsumen dalam mengonsumsi barang dan/ atau jasa.

(5)

pemakai. Sedangkan di Eropa, hanya dikemukakan pengertian konsumen berdasarkan Product Liability Directive ( Direktif Kewajiban Produk ) selanjutnya disebut directive, sebagai pedoman bagi negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dalam menyusun ketentuan mengenai Hukum Perlindungan Konsumen. Berdasarkan directive tersebut yang berhak menuntut ganti kerugian adalah pihak yang menderita kerugian (karena kematian atau cedera) atau kerugian berupa kerusakan benda selain produk yang cacat itu sendiri.25

2. Pelaku Usaha/ Produsen

Produksi merupakan salah satu kegiatan yang berhubungan erat dengan kegiatan ekonomi. Melalui proses produksi bisa dihasilkan berbagai macam barang yang dibutuhkan oleh manusia. Tingkat produksi juga dijadikan sebagai patokan penilaian atas tingkat kesejahteraan suatu negara. Jadi tidak heran bila setiap negara berlomba - lomba meningkatkan hasil produksi secara global untuk meningkatkan pendapatan perkapitanya. Orang yang menjalankan proses produksi inilah yang disebut sebagai produsen.26

25

Nurhayati Abbas, “Hukum Perlindungan Konsumen dan Beberapa Aspeknya”,

Makalah, Elips Project, Ujungpandang, 1996, Hal. 13

Kata produsen tidak digunakan didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai lawan dari kata konsumen, melainkan menggunakan kata pelaku usaha.

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa:

26

Febri Jikrillah, Pengertian dan Defenisi Produksi,

(6)

“Pelaku usaha dalam setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

Pengertian pelaku usaha yang dituangkan didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan pengertian yang sangat luas meliputi grosir, pengecer, dan sebagainya. Namun, dalam pengertian pelaku usaha tersebut , tidak mencakup eksportir ataupun pelaku usaha luar negeri, karena UUPK membatasi orang perserorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia.27

B. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Upaya perlindungan konsumen di Indonesia didasarkan pada sejumlah asas dan tujuan yang diyakini dapat memberikan arahan dalam implementasinya dalam kehidupan masyarakat. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan konsumen memiliki dasar pijakan yang benar-benar kuat.

Di dalam Undang-Undang Perlindungan konsumen dicantumkan beberapa asas-asas Perlindungan Konsumen. Asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UUPK adalah:28

1. Asas manfaat

Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UUPK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak,

27

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, Hal. 9

28

Wibowo Tunardi, Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen,

(7)

konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.

2. Asas keadilan

Penerapan asas ini dimaksudkan agar peran seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan bagi konsumen dan pelaku usaha untuk dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan

Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum

Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas, yaitu:29

1. Asas Kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen.

2. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3. Asas kepastian hukum

Masing-masing Undang memiliki tujuan khusus. Tujuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah untuk melindungi kepentingan konsumen dan sekaligus sebagai acuan bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang diproduksinya. Lebih lengkapnya tujuan

29

(8)

Undang Perlindungan Konsumen dicantumkan didalam Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu :

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

C. Hak dan Kewajiban Konsumen

Berbicara mengenai hak dan kewajiban, maka kita harus kembali kepada Undang-Undang. Undang-Undang dalam hukum perdata, selain dibuat oleh badan legislatif sebagai pembuat Undang-Undang juga dapat dilahirkan dari perjanjian antara pihak-pihak yang berhubungan hukum antara satu dengan yang lain. Baik perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak maupun Undang-Undang yang dibuat oleh badan legislatif keduanya membentuk perikatan diantara pihak yang membuatnya.30

Sebagai pemakai barang dan/atau jasa, konsumen memiliki sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan mengenai hak-hak konsumen sangat penting agar orang bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri. Tujuannya, jika terdapat adanya tindakan tidak adil atas dirinya, ia dapat menyadari hal tersebut.

30

(9)

Sehingga dengan demikian konsumen dapat bertindak lebih lanjut untuk memperjuangkan hak-haknya. Sehingga konsumen tidak hanya tinggal diam apabila ia merasa dirugikan karena hak-haknya yang tidak dipenuhi oleh pelaku usaha.31

Istilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, tetapi juga mencakup hak-hak konsumen yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.32

Secara umum dikenal empat hak dasar konsumen (the four consumer basic

rights) yang meliputi hak-hak sebagai berikut:33

Hak-hak dasar konsumen tersebut sebenarnya bersumber dari hak-hak dasar umum yang diakui secara internasional. Hak-hak dasar umum tersebut pertama kali dikemukakan oleh Jhon F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat (AS) pada tanggal 15 Maret 1962 melalui A Special Message for the Protection of

a. Hak untuk mendapat atau memperoleh keamanan (the right to be

secured)

b. Hak untuk memperoleh informasi (the right to be informed) c. Hak untuk memilih (the right to choose)

d. Hak untuk didengarkan (the right to be heard)

31

Happy Susanto, Hak - Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, 2008, Hal. 22

32

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hal. 30

(10)

Consumer Interest atau yang lebih dikenal dengan istilah “Deklarasi Hak Konsumen” (Declaration of Consumer Right).34

Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun, tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak tersebut, mereka bebas untuk menerima semua ataupun sebagian.35

Setelah itu, Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection), juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yang meliputi:

Empat hak dasar yang disampaikan oleh Presiden AS tersebut kemudian dijadikan sebagai rumusan terhadap hak-hak perlindungan konsumen.

36

34

Happy Susanto, Op.Cit., Hal. 25

35

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., Hal. 31

36

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit., Hal. 27

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya;

b. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;

c. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;

d. Pendidikan konsumen;

e. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;

(11)

Langkah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen harus diawali dengan upaya untuk memahami hak-hak pokok konsumen, yang dapat dijadikan sebagai landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-hak tersebut.37

Disamping hak-hak dalam Pasal 4 UUPK, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam Pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.

Melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 4 menetapkan 9 (sembilan) hak konsumen:

a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. Hak untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa;

d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang digunakan;

e. Hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan konsumen secara patut f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya

38

Selain hak-hak yang disebutkan itu, ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan, kegiatan

37

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Loc.Cit.

38Ibid.,

(12)

bisnis yang dilakukan pengusaha sering dilakukan tidak secara jujur, yang dalam hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang” (unfair competition).39

Akhirnya, jika semua hak-hak yang disebutkan itu disusun kembali secara sistematis (mulai dari yang diasumsikan paling mendasar), akan diperoleh urutan sebagai berikut :40

Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak untuk didengar. Ini disebabkan oleh informasi yang diberikan pihak a. Hak Konsumen Mendapatkan Keamanan

Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani maupun rohani.

Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada kedudukan utama karena berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir bahwa konsumen (terutama pembeli) adalah pihak yang wajib berhati-hati, bukan pelaku usaha. Satu hal yang juga sering dilupakan dalam kaitan dengan hak untuk mendapatkan keamanan adalah penyediaan fasilitas umum yang memenuhi syarat untuk ditetapkan.

b. Hak untuk Mendapatkan Informasi yang Benar

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan di berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang).

Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang mengandung risiko terhadap kealaman konsumen, wajib disertai informasi berupa petunjuk pemakaian yang jelas.

Apa yang dikenal dengan consumer ignorance, yaitu ketidakmampuan konsumen menerima informasi akibat kenajuan teknologi dan keragaman produk yang dipasarkan dapat saja dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh pelaku usaha. Itulah sebabnya, hukum perlindungan konsumen memberikan hak konsumen atas informasi yang benar, yang di dalamnya tercakup juga hak atas informasi yang proporsional dan diberikan secara tidak diskriminatif.

c. Hak untuk Didengar

(13)

yang berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut.

d. Hak untuk Memilih

Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan pilihannya. Ia tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingg ia tidak lagi bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya ia jadi membeli, ia juga bebas menentukan produk mana yang akan dibeli.

Hak untuk memilih ini erat kaitannya dengan situasi pasar. Jika seseorang atau suatu golongan diberikan hak monopoli untuk memproduksi atau memasarkan barang atau jasa, maka besar kemungkinan konsumen akan kehilangan hak untuk memilih produk yang satu dengan produk yang lain. e. Hak untuk Mendapatkan Produk Barang dan/atau Jasa Sesuai dengan Nilai

Tukar

Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai penggantinya. Namun, dalam ketakbebasan pasar, pelaku usaha dapat saja mendikte pasar dengan menaikkan harga, dan konsumen menjadi korban dari ketiadaan pilihan.

f. Hak untuk Mendapatkan Ganti Kerugian

Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Jenis dan jumlah ganti kerugian ini tentu saja harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing pihak.

g. Hak untuk Mendapatkan Penyelesaian Hukum

Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi daripada hak pelaku usaha (produsen/penyalur produk) untuk membuat klausul eksonerasi secara sepihak. Jika permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak mendapatkan tanggapan yang layak dari pihak yang terkait dalam hubungan hukum dengannya, maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk advokasi. Dengan kata lain, konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari pihak yang dipandang merugikan karena mengkonsumsi produk itu.

h. Hak untuk Mendapatkan Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat

(14)

hidupnya. Lingkungan hidup meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan nonfisik.

i. Hak untuk Dilindungi dari Akibat Negatif Persaingan Curang

Persaingan curang atau dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 disebut dengan “persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya dengan menggunakan alat atau sarana yang bertentangan dengan iktikad baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian.

Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun dampak dari persaingan itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan sehat, konsumen memperoleh keuntungan. Sebaliknya jika persaingan curang konsumen pula yang dirugikan. Kerugian itu boleh jadi tidak dirasakan dalam jangka pendek tetapi cepat atau lambat pasti terjadi.

j. Hak untuk Mendapatkan Pendidikan Konsumen

Dalam banyak hal, pelaku usaha terikat untuk memperhatikan hak konsumen untuk mendapatkan “pendidikan konsumen” ini. Pengertian “pendidikan” tidak harus diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan. Pada prinsipnya makin kompleks teknologi yang diterapkan dalam menghasilkan suatu produk menuntut pula makin banyak informasi yang harus disampaikan kepada konsumen. Bentuk indormasi yang lebih komprehensif dengan semata-mata tidak menonjolkan unsur komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen.

Selain daripada hak-hak yang dimiliki oleh konsumen yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha, konsumen juga memiliki beberapa kewajiban yang harus dipenuhinya. Adapun mengenai kewajiban konsumen ini dijelaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

(15)

dan keselamatan, merupakan hal penting mendapat pengaturan. Masalah pemenuhan kewajiban konsumen dapat terlihat jika peringatan yang disampaikan pelaku usaha tidak jelas atau tidak mengundang perhatian konsumen untuk membacanya. Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Adanya kewajiban seperti ini diatur dalam UUPK dianggap tepat, sebab kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak ini akan menjadi lebih mudah diperoleh jika konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa secara patut. Hanya saja kewajiban konsumen ini, tidak cukup maksud tersebut jika tidak diikuti oleh kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha.41

D. Perlindungan Konsumen dalam Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menyatakan bahwa kesemua Undang-Undang yang ada dan berkaitan dengan perlindungan konsumen tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau telah diatur khusus oleh Undang-Undang. Oleh karena itu, tidak dapat lain haruslah dipelajari juga peraturan Perundang-Undangan tentang konsumen dan/atau perlindungan konsumen ini dalam kaidah-kaidah hukum peraturan perundang-undangan umum yang mungkin atau dapat mengatur dan/atau melindungi hubungan dan/atau masalah konsumen dengan penyedia barang atau jasa. Sebagai akibat dari penggunaan peraturan perundang-undangan umum ini, dengan sendirinya berlaku pulalah asas-asas

41

(16)

hukum yang terkandung di dalamnya pada berbagai pengaturan dan/atau perlindungan konsumen tersebut. Padahal, nanti akan nyata, di antara asas hukum tersebut tidak cocok untuk memenuhi fungsi pengaturan dan/atau perlindungan pada konsumen, tanpa setidak-tidaknya dilengkapi/diadakan pembatasan berlakunya asas-asas hukum tertentu itu. Pembatasan dimaksudkan dengan tujuan “menyeimbangkan kedudukan” di antara pihak-pihak pelaku usaha dan/atau konsumen bersangkutan.42

Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan umum adalah semua peraturan perundangan tertulis yang diterbitkan oleh badan-badan yang berwenang untuk itu, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Peraturan perundang-undangan itu antara lain adalah (di pusat) Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Presiden, dan seterusnya dan (di daerah-daerah) Peraturan Daerah (Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota serta peraturan Desa dan sebagainya).43

Alasan yang dapat dikemukakan untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur dan melindungi kepentingan konsumen dapat disebutkan sebagai berikut :44

a. Konsumen memerlukan pengaturan tersendiri, karena dalam suatuh ubungan hukum dengan penjual, konsumen merupakan pengguna barang dan jasa untuk kepentingan diri sendiri dan tidak untuk diproduksi ataupun diperdagangkan.

b. Konsumen memerlukan sarana atau acara hukum tersendiri sebagai upaya guna melindungi atau memperoleh haknya.

42

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Diadit Media, Jakarta, 2001, Hal. 30

43

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., Hal. 47

44Ibid.,

(17)

Disamping Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen “ditemukan” di dalam berbagai peraturan perundang-undangn yang berlaku. Undang-Undang Perlindungan Konsumen berlaku setahun sejak disahkannya pada tanggal 20 April 2000. Dengan demikian dan ditambah dengan ketentuan Pasal 64 (Ketentuan Peralihan) undang-undang ini, berarti untuk “membela” kepentingan konsumen, masih harus dipelajari semua peraturan perundang-undangan umum yang berlaku memuat juga berbagai kaidah menyangkut hubungan dan masalah konsumen. Sekalipun peraturan perundang-undangan itu tidak khusus diterbitkan untuk konsumen atau perlindungan konsumen, setidak-tidaknya ia merupakan sumber juga dari hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen. Beberapa diantaranya akan diuraikan berikut ini :45

1. Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR

Hukum Konsumen, terutama Hukum Perlindungan Konsumen mendapatkan landasan hukumnya pada Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan, Alinea ke-4 yang berbunyi :

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia.”

Kata “melindungi” menurut Az. Nasution di dalamnya terkandung asas perlindungan (hukum) pada segenap bangsa tanpa kecuali. Baik ia laki-laki ataupun perempuan, orang kaya atau miskin, atau orang kota atau orang desa, orang asli atau keturunan dan pengusaha/pelaku usaha atau konsumen.

45

(18)

Landasan hukum lainnya terdapat pada ketentuan termuat dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan tersebut berbunyi “

“Tiap warga Negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.”

Sesungguhnya, apabila kehidupan sesorang terganggu atau diganggu oleh pihak lain, maka alat-alat negara akan turun tangan, baik diminta atau tidak, untuk melindungi dan atau mencegah terjadinya gangguan tersebut. Penghidupan yang layak, apalagi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak dari warga negara dan hak semua orang.

Selanjutnya, untuk melaksanakan perintah UUD 1945 melindungi segenap bangsa, dalam hal ini khususnya melindungi konsumen, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menetapkan berbagai ketetapan MPR, khususnya sejak tahun 1978. Dengan ketetapan terakhir Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 1993 (TAP-MPR) makin jelas kehendak rakyat atau adanya perlindungan konsumen, sekalipun dengan kualifikasi yang berbeda-beda pada masing-masing ketetapan.46

Kalau pada TAP-MPR 1978 digunakan istilah “menguntungkan” konsumen, TAP-MPR 1998 “menjamin” kepentingan konsumen, maka pada tahun 1993 digunakan istilah “melindungi kepentingan konsumen”. Sayangnya dalam masing-masing TAP-MPR tersebut tidak terdapat penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan menguntungkan, menjamin atau melindungi kepentingan konsumen tersebut.47

46Ibid.

(19)

2. Hukum Konsumen dalam Hukum Perdata

Dengan hukum perdata dimaksudnya hukum perdata dalam artian luas termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Kaidah-kaidah hukum perdata pada umumnya termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

KUH Perdata memuat berbagai kaidah hukum berkaitan dengan hubungan hukum dan masalah antarpelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa dan konsumen pengguna barang-barang atau jasa tersebut. Terutama buku kedua, buku ketiga dan buku keempat memuat berbagai kaidah hukum yang mengatur hubungan konsumen dan penyedia barang atau jasa konsumen tersebut. Begitu pula dalam KUHD, baik buku pertama, maupun buku kedua, mengatur tentang hak-hak dan kewajiban yang terbit dari, khususnya (jasa) perasuransian dan pelayaran.

Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memang sama sekali tidak pernah disebut-sebut kata “konsumen”. Istilah lain yang sepadang dengan itu adalah seperti pembeli, penyewa, dan si berutang (debitur).48

Beberapa pasal yang mengatur mengenai perlindungan konsumen di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, antara lain :49

48

Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006, Hal. 99

49Ibid.,

Hal. 100

(20)

“Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan suatu termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai saat penyerahan”.

b. Pasal 1236 KUHPerdata (jo. Pasal-pasal 1235, 1243, 1264, 1275, 1391, 1444, 1480 KUHPerdata);

“Si berutang adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang, jika dia membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau tidak merawatnya sepatutnya guna menyelamatkannya”.

c. Pasal 1504 KUHPerdata (jo. Pasal-pasal 1322, 1473, 1474, 1491, 1504, s.d 1511 KUHPerdata).

“Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksud itu, sehingga seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan selain dengan harga yang kurang”.

3. Hukum Konsumen dalam Hukum Publik

(21)

Jadi, segala kaidah hukum maupun asas-asas hukum ke semua cabang-cabang hukum publik itu sepanjang berkaitan dengan hubungan hukum konsumen dan/atau masalahnya dengan penyedia barang atau penyelenggara jasa, dapat pula diberlakukan.

Diantara keseluruhan hukum publik tersebut tampaknya hukum administrasi negara, hukum pidana, hukum internasional khususnya hukum perdata internasional dan hukum acara perdata serta hukum acara pidana paling banyak pengaruhnya dalam pembentukan hukum konsumen.

Ketentuan hukum administrasi, misalnya menentukan bahwa Pemerintah melakukan pengaturan dan pembinaan rumah susun dan pengawasan terhadap pelaksaan undang-undang (termuat dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang tentang Rumah Susun, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 LN Tahun 1985 No. 75).

Selanjutnya dalam Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang No.23 Tahun 1992, Pasal 73 ditentukan:

“Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan.”

Hukum pidana termasuk dalam ranah hukum publik sementara pengaturan hukum positifnya yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak disebut-sebut kata “konsumen”. Kendati demikian, secara implisit dapat ditarik beberapa pasal yang memberikan perlindungan hukum bagi konsumen antara lain:50

50Ibid.,

(22)

a. Pasal 204 KUHP: “Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang, yang diketahui membahayakan itu tidak diberitahukan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

b. Pasal 205 KUHP: “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan bahwa barang-barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang dijual, diserahkan atau dibagi-bagikan, tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli atau memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”. Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan penjara paling lama satu tahun empat bulan atau kurung paling lama satu tahun.

c. Pasal 359 KUHP: “Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun (LN 11906 No.1).

(23)

lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.

e. Pasal 382 KUHP: “Barang siapa menjual, menawarkan, atau menyerahkan makanan, minuman atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu palsu, dan menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.

Diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat banyak sekali ketentuan pidana yang beraspekkan perlindungan konsumen. Lapangan pengaturan yang paling luas kaitannya dengan hukum perlindungan konsumen terutama terdapat pada bidang kesehatan dan pengaturan hak-hak atas kekayaan intelektual.51

E. Penyelesaian Sengketa Konsumen

Dari peraturan perundang-undangan diatas terlihat beberapa departemen dan atau lembaga pemerintah tertentu menjalankan tindakan administratif berupa pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha dengan perilaku tertentu dalam melaksanakan perundang-undangan tersebut.

Sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi hukum, baik keperdataan, pidana maupun tata usaha negara. Oleh karena itu, tidak digunakan istilah “sengketa transaksi konsumen” karena terkesan lebih sempit yang hanya mencakup aspek hukum keperdataan.52

51

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.Cit., Hal. 82

52

(24)

Didalam penyelesaian sengkera konsumen menurut UUPK, para pihak yang berselisih, khususnya dari pihak konsumen, dimungkinkan menyelesaikan sengketa itu mengikuti beberapa lingkungan peradilan, misalnya peradilan umum, atau konsumen memilih jalan penyelesaian di luar pengadilan.53

1. Penyelesaian Sengketa di Peradilan Umum

Pasal 45 ayat (2) UUPK menyatakan bahwa “Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.”54

53Ibid. 54Ibid.,

Hal. 168

Mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan Pasal 45 di atas. Adapun yang berhak melakukan gugatan terhadap pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha diatur dalam Pasal 46 ayat (1) UUPK, yaitu:

a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;

c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu yang berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

(25)

Pengaturan yang diberikan oleh Pasal 46 ayat (1) UUPK maksudnya adalah:55

Penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan hanya memungkinkan apabila:

a. Bahwa secara personal (gugatan seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan) sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a Pasal 46 ayat (1) UUPK, penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana yang ditentukan dalam UUPK atau melalui peradilan di lingkungan peradilan umum.

b. Sedangkan gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana yang dimaksud huruf b, huruf c dan huruf d Pasal 46 ayat (1) UUPK, penyelesaian sengketa konsumen diajukan melalui peradilan umum. Penyelesaian melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku saat ini.

56

a. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, atau

b. Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Adapun kendala yang dihadapi konsumen dan pelaku usaha dalam penyelesaian sengketa di pengadilan adalah:57

55

Jendral Kancil, Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen,

Kamis, 23 Mei 2013

56

(26)

a. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat; b. Biaya perkara yang mahal;

c. Pengadilan pada umumnya tidak responsif;

d. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah; e. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis.

2. Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan Umum

Untuk mengatasi berlikunya proses pengadilan di peradilan umum, maka UUPK memberikan solusi untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar peradilan umum. Pasal 45 ayat (1) UUPK menyebutkan, “Jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau para pihak yang lain yang bersengketa. Ini berarti, penyelesaian sengketa di pengadilan tetap dibuka setelah para pihak gagal menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan.”

Pasal 47 UUPK menyebutkan “Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau jasa mengenai tindakan tertentu untuk “menjamin” tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen.”

Dari sekian banyak cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, UUPK dalam Pasal 52 tentang Tugas dan Wewenang BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen), memberikan 3 (tiga) macam cara penyelesaian sengketa, yaitu Mediasi, Arbitrase dan Litigasi.

(27)

Secara lengkap tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) menurut Pasal 52 UUPK, adalah:

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

b. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini;

c. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

d. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;

e. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini; g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,

saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana yang dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;

h. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

i. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;

j. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran perlindungan konsumen;

k. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

Memperhatikan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa BPSK tidak hanya bertugas menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan, tetapi juga melakukan kegiatan berupa pemberian konsultasi, pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, dan sebagai tempat pengaduan dari konsumen tentang adanya pelanggaran yang diduga dilakukan oleh pelaku usaha.58

58

Jendral Kancil, Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen,

(28)

Yang menjadi pembahasan di sini adalah tugas BPSK untuk menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara-cara: mediasi, arbitrase dan konsiliasi.

1. Mediasi

Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, di mana Majelis BPSK bersifat aktif sebagai pemerantara dan atau penasehat.

Pada dasarnya mediasi adalah suatu proses di mana pihak ketiga (a third

party), suatu pihak luar yang netral (a neutral outsider) terhadap sengketa,

mengajak pihak yang bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang telah disepakati. Sesuai batasan tersebut, mediator berada di tengah-tengah dan tidak memihak pada salah satu pihak.59

Keuntungan yang didapat jika menggunakan mediasi sebagai jalan penyelesaian sengketa adalah: karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerjasama untuk mencapai kompromi maka pembuktian tidak lagi menjadi bebas yang memberatkan para pihak, menggunakan cara mediasi berati penyelesaian sengketa cepat terwujud, biaya murah, bersifat rahasia (tidak terbuka

Peran mediator sangat terbatas, yaitu pada hakekatnya hanya menolong para pihak untuk mencari jalan keluar dari persengketaan yang mereka hadapi sehingga hasil penyelesaian terletak sepenuhnya pada kesepakatan para pihak dan kekuatannya tidak secara mutlak mengakhiri sengketa secara final, serta tidak pula mengikat secara mutlak tapi tergantung pada itikad baik untuk mematuhinya.

59

(29)

untuk umum seperti di pengadilan), tidak ada pihak yang menang atau kalah, serta tidak emosional.60

Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini karena keputusannya langsung final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.

2. Arbitrase

Arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. Dalam mencari penyelesaian sengketa, para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis BPSK untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi.

61

Walaupun arbitrase memiliki kelebihan, namun akhir-akhir ini peran arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan digeser oleh alternative penyelesaian sengketa yang lain, karena:62

a. Biaya mahal, karena terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan seperti biaya administrasi, honor arbiter, biaya transportasi dan akomodasi arbiter, serta biaya saksi dan ahli;

b. Penyelesaian yang lambat, walau banyak sengketa yang dapat diselesaikan dalam waktu 60 – 90 hari, namun banyak juga sengketa yang memakan waktu yang panjang bahkan bertahun-tahun, apalagi jika ada perbedaan pendapat tentang penunjukan arbitrase serta hukum yang ditetapkan, maka penyelesaiannya akan bertambah rumit.

60

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., Hal. 257

61Ibid.,

Hal. 249

62

(30)

3. Konsiliasi

Cara ini ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak di mana Majelis BPSK bertugas sebagai pemerantara antara para pihak yang bersengketa dan Majelis BPSK bersifat pasif.

Dalam konsiliasi, seorang konsiliator akan mengklarifikasikan masalah- masalah yang terjadi dan bergabung di tengah-tengah para pihak, tetapi kurang aktif dibiandingkan dengan seorang mediator dalam menawarkan pilihan-pilihan (options) penyelesaian suatu sengketa. Konsiliasi menyatakan secara tidak langsung suatu kebersamaan para pihak di mana pada akhirnya kepentingan-kepentingan yang saling mendekat dan selanjutnya dapat dicapai suatu penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak.63

Penyelesaian sengketa ini memiliki banyak kesamaan dengan arbitrase, dan juga menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang disampaikan para pihak. Namun pendapat dari konsiliator tersebut tidak mengikat sebagaimana mengikatnya putusan arbitrase. Keterikatan para pihak terhadap pendapat dari konsiliator menyebabkan penyelesaian sengketa tergantung pada kesukarelaan para pihak.64

63

Jendral Kancil, Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen,

Kamis, 23 Mei 2013

64

Referensi

Dokumen terkait

“Makalah Bahasa Indonesia Diajukan untuk Melengkapi Tugas Akhir Semester Genap 2013”. THEODORA

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana kinerja pengelolaan keuangan dalam program pencegahan

Suatu popok sekali pakai yang mempunyai suatu arah longitudinal dan suatu arah lebar yang berpotongan dengan arah longitudinal, popok sekali pakai tersebut

(2013) the process of germination of oil palm seed is quite difficult because the seed has a hard shell that is dormant. The existence of this dormancy condition causes the

Hasil uji statisik yang diperoleh p=0,003 (p<0,05) dari uji tersebut dapat disimpulkan ada hubungan signifikan antara paritas dengan. kejadian abortus

This research used 3 methods of pH adjustments for determining the ability of benzoic acid eliminates chromium.. For method 1 and 2, the pH adjustment is undergone by applying the

Dari urutan tersebut dapat diketahui bahwa pada kalimat (32) konstituen (P) memperoleh fokus dengan piranti repetisi, yaitu pengulangan konstituen tidak akan. Melalui piranti

Melalui induksi Matematika, kita dapat mengurangi langkah pembuktian yang sangat rumit untuk menemukan suatu kebenaran dari pernyataan matematis hanya dengan sejumlah