• Tidak ada hasil yang ditemukan

Batasan Neo Wilsonianisme di dalam Kebij

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Batasan Neo Wilsonianisme di dalam Kebij"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I Pendahuluan

I.1 Latar Belakang

Tepat dua tahun setelah pemerintah AS melakukan penarikan pasukan militer dari Iraq pada tahun 2011, muncul sebuah gerakan radikal baru bernama Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS/ISIS) yang secara perlahan mengubah dinamika politik kawasan, baik secara praktis maupun akademis. Dengan adanya kekosongan kekuasaan—vacuum of power—di Irak sebagai dampak dari penarikan pasukan militer AS secara total, kelompok radikal dengan basis Islam Sunni ini melakukan okupasi terhadap beberapa wilayah di Irak dan Suriah. Wilayah-wilayah yang diambil tersebut merupakan wilayah yang terkena dampak perang sipil maupun daerah dengan mayoritas penduduknya memeluk ajaran Sunni.1 Berbeda dari

kelompok-kelompok Islam radikal terdahulu, NIIS memiliki kemampuan penggunaan teknologi dan propaganda yang lebih sistematis dan terstruktur sehingga kelompok ini mampu merekrut para militan dari seluruh dunia, baik pria maupun perempuan. Mengacu kepada keadaan tersebut, CIA memperkirakan per September 2014 NIIS memiliki pengikut sebanyak 20,000 hingga 31,500 orang—15,000 di antaranya merupakan foreign fighters yang berasal dari 80 negara.2

NIIS pada awalnya merupakan pecahan dari kelompok teroris Al-Qaeda di Irak (AQI) pimpinan Abu Musab Al-Zarqawi. Kelompok ini sempat aktif dari tahun 2002 hingga 2006; para militan yang merupakan bagian dari AQI maupun afiliasinya menciptakan sebuah gerakan baru bernama Negara Islam Irak (NIS/ISI).3 Semenjak 2006 kelompok ini melakukan

serangan-serangan yang menjadikan pasukan militer AS menjadi targetnya. Namun setelah NIS kehilangan dua pemimpinnya pada tahun 2010, kelompok ini sempat melemah sebelum tampuk kepemimpinan diambil alih oleh Abu Bakr Al-Baghdadi pasca penarikan pasukan militer AS pada tahun 2011. Al-Baghdadi mengumpulkan kembali kekuatan NIS sehingga pada tahun 2013 kelompok ini mampu melakukan serangkaian serangan di Irak.4 Dengan

semakin berkembangnya kekuatan dan pengaruh kelompok ini, Al-Baghdadi memutuskan untuk menggabungkan kekuatan antara NIS dengan Jabhat al-Nusra di Suriah dengan membentuk NIIS. Merespon kepada keadaan tersebut, terdapat beberapa argumen yang

1 Kenneth Katzman, et. al, “The ‘Islamic State’ Crisis and U.S. Policy,” (Policy Paper, Congressional Research

Service, 12 November 2014), summary

(2)

menyatakan bahwa pembentukkan NIIS serta keberadaan serangkaian serangan di kawasan merupakan akibat dari ketidakpuasan beberapa orang atas penurunan dan hukuman mati yang dijatuhkan kepada Saddam Hussein—mantan presiden Irak yang dijatuhkan oleh pemerintah AS melalui invasi Irak. Oleh sebab itu, terdapat perdebatan mengenai invasi Irak, demokratisasi, dan Doktrin Bush sebagai pemicu munculnya ancaman baru terhadap AS di kawasan Timur Tengah.

Kembali kepada invasi yang dilakukan oleh pemerintah AS pada tahun 2003, administrasi Presiden Bush pada saat itu yakin bahwa Saddam merupakan musuh yang nyata bagi keamanan AS karena ditenggarai memiliki kemampuan untuk membangun kapabilitas nuklir dan senjata kimia.5 Prasangka tersebut diperkuat dengan ditolaknya pengawas dan

inspektur PBB oleh pemerintahan Saddam. Keadaan inilah yang menjadi alasan bagi pemerintah AS untuk mengadopsi sebuah kebijakan luar negeri yang lebih bersifat unilateral. Kebijakan ini diejawantahkan ke dalam keputusan untuk menginvasi Irak yang memiliki tujuan akhir yaitu perubahan rezim. Pemerintah AS menilai bahwa kepemimpinan Saddam atas Irak dapat mengancam kepentingan AS baik dalam hal politik maupun ekonomi di kawasan Timur Tengah. Maka dari itu, perubahan rezim di Irak yang lebih bersahabat terhadap kebijakan AS di kawasan dianggap sangat perlu. Melalui Doktrin yang diatasnamakan namanya, Presiden Bush memutuskan untuk menginvasi Irak dengan penyebarluasan demokrasi (promotion of democracy) sebagai argumen utama tindakan tersebut.6 Invasi tersebut terjadi selama sembilan tahun hingga pada akhirnya pemerintahan

Presiden Obama memutuskan untuk menarik pasukan militer AS pada 2009. Hasil dari sembilan tahun invasi sekaligus proses state-building yang dilakukan oleh AS di Irak adalah berubahnya sistem politik Irak yang mengadopsi sistem demokrasi prosedural; berbeda dengan sistem politik di bawah kepemimpinan Saddam Hussein yang lebih bersifat otoriter. Namun, perubahan sistem politik ini tidak berdampak positif terhadap pembangunan stabilitas dalam negeri di Irak, ditandai dengan munculnya NIIS dan serangkaian serangan terornya di beberapa wilayah Irak.

I.2 Perumusan Permasalahan

Munculnya NIIS sebagai sebuah kelompok radikal baru yang secara akademis menantang konsep kedaulatan serta tanggung jawab negara pada tahun 2013 di Irak dinilai

5 John J. Mearshimer dan Stephen M. Walt, “An Unnecessary War,” Foreign Policy (Januari/Februari, 2003): p. 52.

6 Anne-Marie Slaughter, et. al, The Crisis of American Foreign Policy: Wilsonianism in the Twenty-First

(3)

tidak sejalan dengan proposisi (neo)-Wilsonianisme. Perdamaian dan stabilitas merupakan dua hal yang secara konseptual akan hadir setelah sebuah negara mengadopsi sistem demokrasi dan pasar bebas—ekonomi liberal—ke dalam sistem politik dan ekonomi domestiknya. Dimensi eksternal yakni intervensi sebuah negara atau sekelompok negara demokratis lainnya dinilai oleh proposisi (neo)-Wilsonianisme sebagai faktor pendukung tercapainya tujuan-tujuan tersebut. Namun, hal serupa tidak tergambar dari kejadian yang ada di Irak. Berangkat dari hal tersebut, makalah ini berupaya untuk menjawab pertanyaan penelitian: “Mengapa instabilitas yang disebabkan oleh kelompok radikal NIIS muncul di dalam sebuah negara yang sudah mengalami proses promosi demokrasi dan state-building?”. Di dalam elaborasi dan analisis demi menjawab pertanyaan tersebut, makalah ini akan menggunakan beberapa konsep seperti Wilsonianisme dan neo-Wilsonianisme sebagai kerangka berpikir.

I.3 Kerangka Pemikiran I.3.1 Wilsonianisme

Wilsonianisme merupakan sebuah paradigma berpikir di dalam perumusan kebijakan luar negeri AS. Paradigma ini menggunakan nama Presiden AS yang ke-28 yaitu Woodrow Wilson. Di dalam beberapa kesempatan, Wilson menganggap bahwa setiap entitas politik memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri (self-determination). Hak tersebut dinilai oleh Tony Smith berjalan bersamaan dengan promosi dan penyebarluasan demokrasi sekaligus sebagai sebuah upaya untuk melakukan globalisasi terhadap Doktrin Monroe.7 Pola

pikir Wilsonian ini berakar dari beberapa fenomena kemunculan kelompok-kelompok nasionalis di kawasan Eropa pada rentang waktu dua Perang Dunia. Menurut Smith, di dalam menginterpretasikan proposisi Wilsonianisme, kelompok-kelompok nasionalis ini memiliki kemampuan untuk melawan kaum-kaum imperialis dan otoriter. Nilai yang dibawa oleh kelompok nasionalis ini adalah kebebasan atas wilayahnya sendiri dari penguasaan kedua kaum tersebut. Namun, Smith melihat bahwa kelompok nasionalis ini tidak cukup mapan untuk menciptakan sebuah sistem pemerintahan yang mampu merepresentasikan orang-orang di dalamnya. Oleh sebab itu, demokrasi liberal dinilai sebagai sistem yang tepat untuk diimplementasikan oleh kelompok-kelompok ini.

Selain dipicu oleh munculnya kelompok-kelompok nasionalis, kemunculan Wilsonianisme juga disebabkan oleh kritik Presiden Wilson terhadap cara-cara diplomasi

7 Alexander DeConde, Richard Dean Burns, dan Fredrik Logevall (eds.), Encyclopedia of American Foreign

(4)

lama (old diplomacy) yang dapat menciptakan instabilitas—bahkan perang—seperti balance of power, perjanjian rahasia, dan lain sebagainya. Berangkat dari beberapa hal tersebut, Presiden Wilson di dalam sebuah kesempatan menyebutkan empat belas hal8 sebagai kritik

terhadap cara-cara diplomasi lama tersebut antara lain:

i. Perjanjian perdamaian yang sifatnya terbuka; ii. Kebebasan dalam navigasi laut;

iii. Penghapusan batasan ekonomi (economic barriers) dan pembentukkan perdagangan yang berasaskan kesetaraan antar negara;

iv. Pengurangan jumlah senjata oleh negara;

v. Keputusan yang bersangkutan dengan negara-negara koloni harus imparsial atau tidak memihak;

vi. Tentara Jerman harus ditarik dari Rusia; Rusia diberikan kesempatan untuk membangun sistem politiknya sendiri—self-determination;

vii. Belgia harus independen seperti sebelum perang terjadi;

viii. Perancis harus dibebaskan seluruhnya dan diperbolehkan untuk memulihkan Alsace-Lorraine;

ix. Semua orang Italia berhak untuk tinggal di wilayah teritorial Italia;

x. Hak untuk menentukan nasib harus diberikan kepada orang-orang yang tinggal di Austria-Hungaria;

xi. Hak untuk menentukan nasib dan jaminan kemerdekaan harus diberikan kepada negara-negara Balkan;

xii. Orang Turki harus diperintah oleh pemerintah Turki; orang-orang non-Turki yang sebelumnya berada di wilayah Kekaisaran Turki harus diperintah oleh dirinya sendiri; xiii. Negara Polandia yang independen harus diciptakan sekaligus harus memiliki akses

terhadap laut dan;

xiv. Liga Bangsa-Bangsa harus dibentuk sebagai sebuah organisasi yang dapat menjamin kemerdekaan politik dan teritorial semua negara.

Mengacu kepada empat belas hal tersebut, terdapat tiga poin penting yang dapat diambil sebagai dasar dari proposisi Wilsonianisme di dalam kebijakan luar negeri AS yaitu [1] self-determination; [2] perdagangan dan; [3] institusi/organisasi internasional (multilateralisme).

8 “President Woodrow Wilson’s Fourteen Points,” Yale Law School,

(5)

Ketiga hal tersebut tidak secara langsung menyatakan bahwa penyebarluasan demokrasi ke seluruh dunia merupakan kepentingan penting AS di dalam ranah politik global. Meskipun demikian, menurut paham Wilsonianisme apabila di suatu komunitas politik (negara) terdapat proses penciptaan damai yang diikuti oleh proses pembentukkan kesetaraan sosial dan kemakmuran ekonomi yang sifatnya bottom-up dan berlangsung pada rentang waktu yang lama, maka demokrasi akan tercipta di dalam negara tersebut.9 Oleh sebab itu, para Wilsonian

meyakini bahwa demokrasi yang efektif dan dapat bertahan lama hanya akan tercipta ketika proses-proses tersebut terjadi secara domestik dan organik; tidak dipaksa oleh dimensi eksternal.10

I.3.2 Neo-Wilsonianisme

Kondisi setelah Perang Dingin berakhir sedikit banyak memiliki persamaan dengan kondisi saat Perang Dunia II berakhir: terdapat beberapa kemunculan negara baru. Namun, terdapat beberapa perbedaan di dalam karakteristik kemunculan negara-negara baru di antara dua masa tersebut. Pada masa pasca-Perang Dunia II, kemerdekaan negara-negara baru tersebut merupakan hasil dari perjuangan kelompok-kelompok nasionalis melawan negara penjajah. Sementara itu, pada masa setelah Perang Dingin usai, negara-negara baru yang muncul merupakan wilayah-wilayah bekas negara bagian Uni Soviet. Meskipun demikian, yang menjadi fokus atas negara-negara tersebut tetap sama yaitu ketidakmampuan untuk menciptakan sebuah sistem politik yang stabil. Berangkat dari situasi ini, kalangan pembuat kebijakan luar negeri di AS mengadopsi sebuah paham yang merupakan kelanjutan dari Wilsonianisme yakni neo-Wilsonianisme. Berbeda dari paham sebelumnya yang tidak secara eksplisit membahas mengenai demokrasi, intervensi, dan proses state-building, neo-Wilsonianisme menekankan bahwa setiap negara memiliki hak untuk mengadopsi sistem demokrasi dengan harapan akan tercipta sebuah kondisi politik, sosial, dan ekonomi yang stabil. Oleh sebab itu, para neo-Wilsonian menganggap bahwa pembentukkan demokrasi tidak bisa hanya bergantung kepada kemauan dan proses organik sebuah negara, melainkan juga campur tangan pihak luar yang diwakili oleh keberadaan organisasi internasional.11

Keadaan ini muncul karena adanya fenomena negara lemah—weak states—di dalam perdebatan akademis ilmu Hubungan Internasional. Berkenaan dengan hal tersebut, neo-Wilsonianisme lebih berfokus kepada proses state-building dan penyebarluasan demokrasi

9 Slaughter, The Crisis, p. 95.

10 Stephen Wertheim, “The Wilsonian Chimera: Why Debating Wilson’s Vision Hasn’t Saved American Foreign Relations,” White House Studies 10, No. 4 (2011): p. 347.

11 David Chandler, “Back to the Future? The Limits of Neo-Wilsonian Ideals of Exporting Democracy,” Review

(6)

melalui dimensi eksternal yaitu intervensi kemanusiaan maupun responsibility to protect

(R2P).

I.4 Operasionalisasi Konsep

Setelah melalui elaborasi mengenai kerangka pemikiran tersebut, makalah ini akan menyederhanakan proposisi-proposisi dari kerangka pemikiran yang ada ke dalam sebuah diagram di bawah ini:

I.5 Asumsi Penelitian

Berangkat dari latar belakang, pertanyaan permasalahan, serta kerangka pemikiran di atas, makalah ini berasumsi bahwa:

i. Di dalam kasus invasi Irak, pemerintah AS melihat demokrasi hanya sebagai sebuah tujuan akhir dan bukan proses di dalam state-building;

ii. Karakteristik pemerintah Irak di bawah Saddam tidak cocok dengan preskripsi status negara tujuan intervensi di dalam konsep neo-Wilsonianisme atau liberal internasionalisme sehingga hasil yang didapat tidak sesuai dan;

iii. Upaya liberalisasi politik dan ekonomi di bawah kerangka market democracy tanpa adanya proses endogen/organik memudahkan langkah kelompok radikal NIIS di dalam menciptakan instabilitas di Irak dan kawasan sekitarnya.

Weak/Failing States

Intervensi

Demokrasi dan

(7)

BAB II Pembahasan

II.1 Rezim Saddam Hussein dan Status Negara Irak Tahun 1968-2003

Irak pada masa pemerintahan Saddam Hussein terkenal akan sistem politiknya yang otoriter dan tidak demokratis. Hal ini terlihat dari beberapa kebijakan terkait eksklusi politik, ekonomi, dan pendidikan terhadap sebagian besar rakyat Irak di saat administrasinya. Kebijakan dan sistem politik yang demikian pada awalnya berasal dari kemunculan sebuah partai politik Ba’ath yang pada awalnya memiliki afiliasi dengan gerakan pan-Arabisme di Suriah. Partai Ba’ath ini memiliki ideologi politik sekuler dengan haluan sosialisme.12

Pada tahun 1949, ditenggarai paham Ba’athisme masuk ke Irak melalui seorang guru yang berasal dari Suriah. Paham ini kemudian disebarkan melalui ruang-ruang sekolah serta perbincangan-perbincangan informal yang terjadi di antara masyarakat Irak pada saat itu. Setelah melalui proses tersebut, gerakan resmi pertama partai ini terekam pada tahun 1951 ketika seorang insinyur Shi’a mengambil alih basis massa Partai Ba’ath ini. Penyebaran paham dan cara pandang politik Ba’ath ini semakin cepat karena menawarkan hal yang berbeda dan lebih pro-rakyat dibandingkan sistem politik dan ekonomi yang ada pada saat itu yakni sistem ekonomi kepemilikan tanah atau feudalisme.13 Dengan semakin membesarnya

bentuk serta jumlah massa pendukungnya, Partai Ba’ath Irak di dalam sejarahnya telah melakukan kudeta sebanyak dua kali yaitu tahun 1963 dan 1968. Pada kudeta tahun 1968 inilah yang dianggap oleh beberapa orang sebagai titik balik—tipping point—karir Saddam Hussein di politik Irak.

Saddam Hussein disumpah menjadi presiden Irak pada tahun 1979 setelah presiden sebelumnya, Al-Bakr, dilengserkan dari jabatannya oleh loyalis Saddam Hussein di dalam pemerintahan serta partai dengan membuat Dewan Komando Revolusi (Revolutionary Command Council).14 Hal tersebut mengubah jalannya dinamika sistem politik, sosial, dan

ekonomi yang ada di Irak. Partai Ba’ath praktis dimonopoli oleh kelompok-kelompok pendukung serta orang-orang terdekat Saddam Hussein. Berangkat dari kondisi ini, sistem rekrutmen partai menganut asas kekerabatan (kinship). Oleh karena sistem politik domestik dikuasai oleh Partai Ba’ath, tata cara pelaksanaan pemerintahan seperti distribusi public goods, akses politik, ekonomi, dan pendidikan juga terpengaruh oleh prosedur yang sudah

12 Miranda Sissons dan Abdulrazzaq Al-Saiedi, “A Bitter Legacy: Lessons of De-Baathification in Iraq,” (Research Paper, International Center for Transnational Justice, Maret 2013), p. 3.

(8)

diimplementasikan terlebih dahulu oleh Partai Ba’ath. Dalam hal ekonomi misalnya, seorang atau sebuah keluarga yang merupakan anggota dari partai akan mendapatkan tunjangan per bulannya sebesar US$ 250 pada tahun 2002.15 Selain dari tunjangan tersebut, masih terdapat

beberapa keuntungan lainnya yang didapatkan oleh anggota partai dibandingkan rakyat biasa yaitu kemudahan akses pendidikan menengah, promosi jabatan, serta kemudahan mendaftar sebagai pegawai negeri sipil. Hal tersebut merupakan keuntungan yang didapatkan oleh anggota dengan pangkat menengah di partai; keuntungan yang lebih besar akan didapatkan seiring semakin tingginya jabatan di dalam partai. Untuk memberikan gambaran mengenai struktur Partai Ba’ath tersebut, terdapat tabel di bawah ini:

Tabel 1.1 Struktur Partai Ba’ath Sumber: Sissons dan Al-Saeidi, pp. 6-7, dimodifikasi penulis

(9)

Dengan struktur partai sekaligus sistem pemerintahan yang demikian, pemerintah Irak hingga pada tahun 2003 sebelum tidak seratus persen menjalankan kewajiban negara sebagai entitas politik tertinggi untuk mendistribusikan public goods kepada masyarakat yang berada di wilayahnya.

Mengacu kepada tulisan Rotberg, sebuah negara berkewajiban untuk menghadirkan [1] keamanan [2] kebebasan berpolitik [3] kemudahan ekonomi dan pendidikan terhadap masyarakat yang teregistrasi ke dalam undang-undangnya sebagai bentuk distribusi public goods.16 Oleh sebab itu, menurut Rotberg, apabila sebuah negara tidak dapat memenuhi hal

tersebut—indikator kuat atau tidaknya sebuah negara—maka dapat dikatakan bahwa negara tersebut berada di dalam status negara yang lemah, menuju kepada kegagalan, atau gagal (weak/failing/failed states).17 Selain dari ketiga hal tersebut, sebuah negara dapat dikatakan

sebagai negara yang lemah apabila terdapat konflik-konflik sektarian yang akan atau sudah pecah menjadi konflik bersenjata serta ketidaksanggupan atau bahkan keengganan negara di dalam menegakkan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di dalam wilayahnya.18 Berangkat dari kondisi tersebut, negara lemah biasanya memiliki sistem

pemerintahan yang otokrasi dengan distribusi public goods yang sedikit dan tidak merata.19

Merespon proposisi konsep negara lemah tersebut, Irak di bawah kepemimpinan Saddam Hussein dapat dimasukkan ke dalam kategori negara lemah karena banyaknya kejadian-kejadian yang menunjukkan ketidakmampuan negara di dalam memberikan dan mendistribusikan public goods terhadap rakyatnya. Hal ini ditunjukkan dari investigasi mengenai masalah-masalah HAM oleh Kantor Urusan Luar Negeri dan Commonwealth Kerajaan Inggris di London pada tahun 2002. Investigasi tersebut menyatakan bahwa terdapat banyak pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Irak, terutama orang-orang terdekat Saddam Hussein, mulai dari pemerkosaan hingga pembersihan etnis.

Berkenaan dengan konflik internal dan sektarian di Irak antara Shi’a dengan Sunni— rezim pemerintahan dipimpin oleh minoritas—banyak gerakan-gerakan Islam Shi’a yang mencoba untuk melawan kebijakan negara. Oleh sebab itu, tidak heran apabila terdapat banyak orang yang ditahan atas dasar tuduhan tersebut, tak terkecuali perempuan. Banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi yang dilakukan oleh oknum-oknum pemerintah saat bertugas untuk menyelidiki tuduhan terhadap perempuan-perempuan yang ikut di dalam

16 Robert I. Rotberg (ed.), When States Fail: Causes and Consequences (Princeton: Princeton University Press, 2003), pp. 2-3.

(10)

gerakan separatis tersebut. Bahkan, terdapat segelintir pegawai pemerintah dan keamanan yang bertugas untuk melakukan ‘penistaan terhadap kehormatan perempuan’.20 Hal ini tentu

sangat bertentangan dengan kewajiban dasar negara yaitu memberikan rasa aman kepada seluruh rakyatnya. Di Irak pada zaman pemerintahan Saddam Hussein, tidak ada tempat bagi individu-individu yang menentang kebijakan dan status quo pemerintah. Rakyat non-anggota Partai Ba’ath pun juga tidak bisa menikmati kebebasan, keamanan, akses kesejahteraan sosial dan ekonomi seluas apa yang dinikmati oleh para anggota partai. Berangkat dari kondisi ini, Irak di bawah kepemimpinan Saddam Hussein dapat dikatakan sebagai negara lemah.

II.2 Justifikasi Doktrin Bush dan Invasi Amerika Serikat di Irak

Dipicu oleh tragedi 9/11 pada tahun 2001, pemerintah AS mulai mengadopsi diskursus

War on Terror di dalam upaya berperang melawan terorisme yang diakomodasi oleh kelompok Al-Qaeda. Bukti nyata akan hal tersebut tergambar dari sikap pemerintah AS di bawah kepemimpinan Presiden Bush dengan mengeluarkan otorisasi penggunaan kekerasan di dalam memberantas agen-agen terorisme yang dikenal dengan Doktrin Bush.21 Di dalam

doktrin tersebut dijelaskan bahwa kekhawatiran akan keamanan dan stabilitas AS terletak pada kombinasi radikalisme dan teknologi, terutama kepemilikan senjata pemusnah massal. Kombinasi antara radikalisme dan teknologi yang dapat mengancam keamanan nasional AS dapat tersebar serta dibawa oleh tiga agen utama yaitu [1] kelompok teroris [2] negara lemah dan [3] rogue states. Untuk poin terakhir, Presiden Bush memberikan penekanan khusus mengenai karakteristik rogue states yang tergambar dari cuplikan pidatonya:

“…brutalize their own people and squander their national resources for the personal gain of the rulers; display no regard for international law, threaten their neighbors, and callously violate international treaties to which they are party; are determined to acquire weapons of mass destruction, along with other advanced military tech- nology, to be used as threats or offensively to achieve the aggressive designs of these regimes; sponsor terrorism around the globe; and reject human values and hate the United States and everything it stands for.”.22

Berdasarkan definisi tersebut, Irak di bawah pemerintahan Saddam Hussein dianggap oleh pemerintah AS sebagai ancaman yang nyata karena rogue states memiliki kapabilitas seperti negara kuat namun kemampuan tersebut disalahgunakan oleh segelintir elit politik untuk mendapatkan keuntungan. Dengan kondisi tersebut yang diikuti oleh ‘kudeta yang bisu’ oleh

20 Foreign & Commonwealth Office, Saddam Hussein: Crimes and Human Rights Abuses (London: BfS, November 2002), pp. 8-9.

(11)

kaum neo-konservatisme di dalam pemerintahan Bush23, pemerintah AS mengotorisasi

penggunaan militer sekaligus kebijakan invasi yang sangat unilateral terhadap pemerintah Irak demi melawan terorisme yang ditenggarai berpusat di Irak. Menimbang status Irak sebagai sebuah rogue states pada saat itu, pemerintah AS memasukkan strategi demokratisasi —perubahan rezim—sebagai salah satu cara untuk memberantas ancaman yang dihadirkan oleh keberadaan rogue states tersebut.24 Oleh sebab itu tidak heran di dalam perjalanannya,

AS beserta Pasukan Multinasional (Multi-national Forces/Coalition Forces) selain melakukan infiltrasi militer ke dalam kantung-kantung persembunyian kelompok teroris Al-Qaeda di Irak, mereka juga ikut serta di dalam upaya perubahan rezim pemerintahan di Irak yaitu dengan cara menangkap Saddam Hussein, mengadili, menghukum, serta membuat sistem pemerintahan dan pemimpin yang baru. Proses ini lebih dikenal sebagai state-building di dalam pemahaman kebijakan luar negeri AS yang berhaluan neo-Wilsonianisme.

II.3 De-Ba’athifikasi Sebagai Demokratisasi dan Liberalisasi di Irak

Mengingat bahwa Irak di bawah kepemimpinan Saddam Hussein memberikan keistimewaan kepada anggota-anggota Partai Ba’ath mulai dari kemudahan dalam hal ekonomi, politik, hingga sosial dan hukum serta menomorduakan kesejahteraan rakyat Irak non-anggota lainnya, agen perubahan yang berasal dari Irak—yang dibentuk oleh koalisi multinasional—mencetuskan untuk diadakannya sebuah proses atau rencana de-Ba’athifikasi sebagai upaya normalisasi serta demokratisasi sistem pemerintahan di Irak.25 Proses ini

disponsori oleh utusan pemerintah AS dengan cara membentuk Kantor Urusan Rekonstruksi dan Bantuan Kemanusiaan (Office of Reconstruction and Humanitarian Assistance/ORHA). Kantor ini bertujuan pada awalnya untuk mengimplementasikan kebijakan de-Ba’athifikasi yang sifatnya halus/mild. Akan tetapi, melihat respon media AS dan Irak yang negatif, pemerintah AS akhirnya mengadopsi strategi baru yaitu dengan cara menjauhkan eks-anggota Partai Ba’ath—kebanyakan dari mereka adalah Islam Sunni—dari segala hal yang berkaitan dengan pemerintahan. Strategi tersebut diterjemahkan ke dalam beberapa sub-strategi CPA/Coalition Provisional Authority)antara lain:

1. Perintah 1 CPA: Pembersihan Pusat Pelayanan Sipil;

2. Perintah 2 CPA: Pembubaran Organisasi Militer dan Keamanan Ba’ath; 3. Pembentukkan Dewan Pemerintahan Irak (Iraqi Governing Council) dan;

23 Raymond Hinnebusch,” The US Invasion in Iraq: Explanations and Implications,” Critique: Critical Middle

Eastern Studies 16, No. 3 (Fall, 2007): p. 210. (209-228) 24 Record, “The Bush Doctrine,” pp. 14-16.

(12)

4. Pembuatan Kerangka Abadi (Enduring Framework).26

Keempat program atau sub-strategi tersebut merupakan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah AS di dalam menerapkan proses state-building terhadap pemerintah Irak. Menilai pemerintahan otoriter yang lalu—di bawah Sunni—tidak memperlihatkan keberpihakan kepada rakyat Irak secara keseluruhan, penting bagi aktor-aktor eksternal—termasuk AS dan koalisi multinasional—untuk mengambil sikap yaitu menjauhkan posisi-posisi pemerintahan dari eks-anggota Parta Ba’ath yang Sunni. Kebijakan ini tergambar dari beberapa data yang disediakan oleh Council on Foreign Relations (CFR) yang mencatat terdapat lebih dari 100,000 eks-anggota Partai Ba’ath yang sebelumnya menjabat di segala sektor pemerintahan diberhentikan dan diganti.27 Selain itu, kedudukan Sunni di pemerintahan di potong menjadi

hanya menguasai sebesar 25% dari keseluruhan bangku Majelis Transisi Nasional dengan persentase sisanya dikuasai oleh Islam Shi’a dan Suku Kurdi.28 Dengan diadopsinya

konstitusi nasional yang baru di Irak yang menyatakan bahwa sistem pemerintahan berbasis demokrasi berbentuk federalisme, kondisi keterwakilan penduduk Sunni di dewan perwakilan terancam dan terkesan tidak terlalu terurus.29 Kondisi inilah yang membuat stabilitas dalam

negeri Irak masih belum mencapai tingkatan terkuasai dengan baik.

II. 4 Kemunculan NIIS Sebagai Antagonis Proposisi Neo-Wilsonianisme di Irak

Melihat proses state-building, rekonstruksi pasca-konflik, serta kinerja Majelis Transisi Nasional Irak yang kooperatif dan baik di bawah kepemimpinan Nouri Al-Maliki, pemerintah AS merasa bahwa Irak sudah cukup mapan dan stabil untuk berjalan dan melaksanakan kewajibannya sebagai sebuah negara sendiri. Oleh sebab itu, pada tahun 2009 administrasi Presiden Obama memutuskan untuk melakukan penarikan pasukan militer secara bertahap dan diproyeksikan untuk tuntas pada tahun 2011. Namun, anggapan dan hasil penaksiran pemerintah AS terhadap kondisi di Irak ternyata tidak berjalan paralel dengan keadaan di lapangan. Beberapa saat setelah pasukan militer AS ditarik mundur secara total pada tahun 2011, muncul sebuah kelompok radikal baru yang ditenggarai merupakan pecahan dari sel kelompok Al-Qaeda di Irak (AQI). Menurut Richard Barrett, selain berasal dari pecahan

sel-26 Sissons dan Al-Saeidi, “A Bitter Legacy,” pp. 11-13.

27 Sharon Otterman, “Iraq: Debaathification,” Council on Foreign Relations, modifikasi terakhir 7 April 2005 http://www.cfr.org/iraq/iraq-debaathification/p7853 (diakses pada 15 Desember 2014).

28 Otterman, “Iraq: Debaathification,”

(13)

sel AQI, kemunculan NIIS juga dipicu oleh bergabungnya pemimping-pemimpin Sunni eks-Ba’ath ke dalam organisasi tersebut.30 Di samping itu, pertumbuhan pesat yang dialami oleh

kelompok radikal baru ini juga merupakan hasil dari kontribusi dukungan masyarakat-masyarakat Sunni di Suriah dan terutama di Irak yang ditekan oleh rezim kepemimpinan Shi’a di bawah administrasi Nouri Al-Maliki.

Di dalam menjalankan aksinya, NIIS menggunakan pendekatan yang berbeda dibandingkan kelompok-kelompok radikal dan teroris yang terdahulu. Kelompok ini memberdayakan teknologi informasi dan media sosial seperti Twitter, Facebook, hingga Youtube di dalam upaya mempromosikan tujuan dari aksi-aksi tersebut sekaligus mencari dukungan. Perbedaan lainnya yang diperlihatkan oleh NIIS dibandingkan kelompok-kelompok terdahulu ialah pendeklarasian diri sebagai sebuah embrio ke-khalifah-an Islam di dunia.31 Dengan deklarasi ini, NIIS setidaknya menunjukkan bahwa kemunculannya memiliki

tujuan politik yang jelas dan bukan hanya semata-mata bertujuan untuk mengadakan perlawanan sengit terhadap AS dan negara Barat lainnya. Deklarasi tujuan politik tersebut didukung juga oleh langkah-langkah ekonomi yang diambil oleh kelompok radikal ini di dalam membiayai aksi terorisme yakni dengan menguasai kilang-kilang minyak di beberapa daerah di Irak, penarikan pajak terhadap usaha-usaha dan bisnis yang ada, biaya penggunaan jalan tol, penjualan barang-barang rampasan perang, hingga uang yang berasal dari pembayaran tebusan tawanan.32 Kondisi tersebut tentu berlawanan dengan proposisi yang

digalakan oleh para neo-Wilsonian melalui konsep mengenai ekspor demokrasi, liberalisasi ekonomi, dan politik.

Mengacu kepada tulisan Chandler mengenai cara pandang neo-Wilsonianisme, aktor-aktor eksternal yang akan mengintervensi sebuah negara lemah (weak state) cenderung memiliki kehendak untuk turut serta di dalam membentuk dan mengkonstruksi proses implementasi demokrasi di dalam sistem politiknya sehingga institusi politik di dalam negara tersebut tidak mencapai titik menuju kegagalan atau bahkan gagal (failing atau failed).33

Proposisi ini lebih dikenal sebagai proses state-building di dalam pendekatan neo-Wilsonianisme. Keberhasilan sebuah proses state-building yang dilakukan oleh aktor-aktor eksternal biasanya merupakan buah dari tidak adanya/absennya kepentingan politik pihak-pihak yang melakukan intervensi terhadap negara yang menjadi target intervensi tersebut. Namun, yang terjadi pada kasus invasi AS terhadap Irak ialah sebaliknya: proses state-30 Richard Barrett, “The Islamic State,” (Research Paper, The Soufan Group, November 2014), p. 5.

(14)

building terkesan dipaksakan serta lebih bernuansakan upaya AS (US-driven process) dibandingkan upaya-upaya endogen dari pihak masyarakat Irak itu sendiri. Hal ini tentu jelas bertolak belakang dengan proposisi penyebaran demokrasi menurut Presiden Wilson yang menyatakan bahwa demokrasi itu harus berasal dari bawah (bottom-up)34 dan bersifat

organik (organically constructed)35.

Selain permasalahan demokrasi, paham neo-Wilsonianisme juga berfokus kepada penciptaan sebuah sistem ekonomi yang berbasiskan pasar di dalam sebuah negara sehingga dapat mendukung keberadaan sistem demokrasi dalam waktu yang lama.36 Di dalam kasus

Irak, program state-building binaan pemerintah AS terkesan hanya lebih mengurusi permasalahan politik dibandingkan ekonomi. Hal ini diperlihatkan dengan kebijakan-kebijakan CPA yang berfokus hanya kepada upaya untuk menjauhkan eks-anggota Partai Ba’ath dari kekuasaan. Meskipun demikian, perubahan sistem pemerintahan dari awalnya yang berbentuk otoriter menjadi federalisme secara tidak langsung memberikan akses kepada semua kalangan rakyat Irak untuk terintegrasi dengan sistem ekonomi pasar, baik itu di kawasan maupun global. Kondisi ini dianggap berisiko oleh Belloni apabila tidak ada perhitungan yang cukup matang oleh aktor eksternal dalam mempromosikan demokrasi dan sistem ekonomi pasar di negara lemah karena kedua hal tersebut memberikan kesempatan yang sama besarnya bagi kelompok-kelompok yang berkonflik satu sama lain untuk berkompetisi sehingga tidak menutup kemungkinan untuk menghasilkan konflik yang lebih parah lagi.37

Kombinasi antara kedua kekeliruan tersebut yang dilakukan oleh pemerintah AS dalam menginvasi Irak menyebabkan kemunculan instabilitas baru dalam bentuk hadirnya kelompok radikal baru. Kelompok NIIS ini muncul sebagai akibat kurang peka dan tajamnya serta kurang sensitifnya para pengambilan kebijakan di lembaga pemerintah AS—terutama saat di bawah kepemimpinan Presiden Bush—di dalam menerapkan langkah-langkah intervensi/invasi sekaligus proses state-building di Irak. Selain daripada itu, upaya penggunaan proposisi neo-Wilsonianisme—promosi demokrasi—di dalam pengambilan kebijakan unilateral oleh para neo-konservatif juga dapat dilihat sebagai penyebab mengapa

34 Slaughter, The Crisis, p. 95.

35 Wertheim, “The Wilsonian Chimera,” p. 347.

36 Roberto Belloni, “Rethinking ‘Nation-Building:’ The Contradictions of the Neo-Wilsonian Approach to Democracy Promotion,” The Whitehead Journal of Diplomacy and International Relations, (Spring/Winter, 2007): p. 98.

(15)

stabilitas politik, ekonomi, dan sosial tidak dapat tercapai sebagaimana proposisi neo-Wilsonianisme mengungkapkan.

BAB III Kesimpulan

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Media Online:

“President Woodrow Wilson’s Fourteen Points.” Yale Law School,

http://avalon.law.yale.edu/20th_century/wilson14.asp (diakses pada 13 Desember 2014).

Madi, Mohamed. “Haider al-Abadi: A New Era for Iraq?” BBC, modifikasi terakhir 9 September 2014 http://www.bbc.com/news/world-middle-east-28748366 (diakses pada 15 Desember 2014).

Otterman, Sharon. “Iraq: Debaathification.” Council on Foreign Relations, modifikasi terakhir 7 April 2005 http://www.cfr.org/iraq/iraq-debaathification/p7853 (diakses pada 15 Desember 2014).

Buku, Research Paper, Jurnal:

Barrett, Richard. “The Islamic State.” Research Paper, The Soufan Group, November 2014. Belloni, Roberto. “Rethinking ‘Nation-Building:’ The Contradictions of the Neo-Wilsonian

Approach to Democracy Promotion.” The Whitehead Journal of Diplomacy and International Relations, (Spring/Winter, 2007): pp. 97-109.

Chandler, David. “Back to the Future? The Limits of Neo-Wilsonian Ideals of Exporting Democracy.” Review of International Studies 32, No. 3 (Jul., 2006): pp. 475-494. DeConde, Alexander, Richard Dean Burns, dan Fredrik Logevall eds. Encyclopedia of

American Foreign Policy: Volume 3, 2nd ed. New York: Scribner, 2002.

Foreign & Commonwealth Office. Saddam Hussein: Crimes and Human Rights Abuses. London: BfS, November 2002.

Hinnebusch, Raymond. “The US Invasion in Iraq: Explanations and Implications.” Critique: Critical Middle Eastern Studies 16, No. 3 (Fall, 2007): pp. 209-228.

Katzman, Kenneth, et. al. “The ‘Islamic State’ Crisis and U.S. Policy.” Policy Paper,

Congressional Research Service, 12 November 2014.

Mearshimer, John J. dan Stephen M. Walt, “An Unnecessary War,” Foreign Policy

(Januari/Februari, 2003): pp. 51-59.

Record, Jeffrey. “The Bush Doctrine and War with Iraq.” Parameters XXXIII, No. 1 (Spring, 2003): pp. 4-21.

Rotberg, Robert I. ed. When States Fail: Causes and Consequences. Princeton: Princeton University Press, 2003.

Sissons, Miranda dan Abdulrazzaq Al-Saiedi. “A Bitter Legacy: Lessons of De-Baathification in Iraq.” Research Paper, International Center for Transnational Justice, Maret 2013. Slaughter, Anne-Marie, et. al. The Crisis of American Foreign Policy: Wilsonianism in the

Twenty-First Century. Oxford: Princeton University Press, 2009.

Gambar

Tabel 1.1 Struktur Partai Ba’ath

Referensi

Dokumen terkait

Bibliografi/rujukan perlu dinyatakan sebagai penghormatan kepada penulis terdahulu yang telah menulis tentang bidang atau tajuk yang kita tulis dan ia juga untuk mengelakkan

Membuat Basic Ordering Ideas – BOIs untuk Central Topik yang telah dipilih, BOIs biasanya adalah judul Bab atau Sub-Bab dari buku yang akan dipelajari atau bisa juga

Media komunikasi massa (iklan) telah menjadi perantara yang efektif untuk membentuk kebutuhan terhadap suatu produk dan mampu membangun citra (image) modern yang

Skripsi Saudara : SUKARDI dengan Nomor Induk Mahasiswa: 11408030 yang berjudul: PENGARUH PERSEPSI GURU TENTANG KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH TERHADAP SIKAP

Bahwa yang berhak mengambil manfaat dari barang yang digadaikan itu adalah orang yang menggadaikan barang tersebut dan dan bukan pemegang gadai. Meskipun yang mempunyai hak untuk

Sebuah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum diperlukan untuk mengembangkan dan melaksanakan sebuah rencana aksi global yang adil dan merata yang dapat mengatur

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kemampuan siswa kelas IV SD Negeri Gugus Urip Sumoharjo dalam menyelesaikan soal menggunakan sifat komutatif pada penjumlahan

Panitia Pelaksana Sertifikasi Guru Sub Rayon Universitas Muhamamdiyah Surakarta bersama surat ini mengumumkan hasil PLPG Tahap 2 Tahun 2016 sebagaimana