6 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tumbuhan Kelapa Sawit 2.1.1 Habitat
Habitat asli kelapa sawit adalah di hutan dekat dengan sungai di Guinea Savanna Afrika Barat yang kering.Tumbuhan ini dapat tumbuh baik pada daerah di luar habitat aslinya.Di Indonesia penyebarannya di daerah Aceh, pantai timur Sumatra, Jawa dan Sulawesi (Adlin, 2008).
2.1.2. Morfologi
7 2.1.3. Nama daerah
Nama daerah dari tumbuhan kelapa sawit adalah afrikaanse oliepalm (Belanda), oelpalme (Jerman), oilpalm (Inggris), kelapa bali (Melayu), salak minyak (Sunda), dan kelapa sawit (Jawa) (Heyne, 1987).
2.1.4Sistematika tumbuhan
Menurut herbarium medanense (2013), sistematika kelapa sawit sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis guineensis Jacq. Nama lokal : Kelapa sawit
2.1.5 Kandungan kimia
Daun kelapa sawit mengandung alkaloid, flavonoid, glikosida, steroid/triterpenoid, saponin dan tanin (Sreenivasan, 2010; Bate’e, 2014; Hasibuan, 2014).
2.1.6 Khasiat tumbuhan
8
sebagai bahan bangunan rumah, getah digunakan sebagai pencahar (Chong, dkk., 2008). Akar digunakan untuk mengobati sakit kepala di Nigeria.Bubuk akar ditambahkan keminuman sebagai obat untuk bronkitis (Sreenivasan, 2010). Daun mempunyai senyawa polifenol tinggi yang efektif sebagai antioksidan (Yin, dkk., 2013; Runnie, dkk., 2003).
2.2 Metode Ekstraksi
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Dengan diketahui senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat (Depkes RI, 1995).Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara dan pelarut yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung (Depkes RI, 1979).
Menurut Departemen Kesehatan RI (2000), beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut yaitu:
a. Cara dingin
9
dengan cairan penyari secukupnya sehingga diperoleh 100 bagian. Pindahkan ke dalam bejana tertutup, biarkan ditempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari. Enap tuangkan dan saring (Depkes RI, 1979).
ii. Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/ penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1 – 5 kali bahan.
b. Cara panas
i. Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
ii. Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40 – 50oC.
iii.Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan menggunakan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
iv.Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90oC selama 15 menit.
10 2.3 Toksisitas
Toksisitas adalah kemampuan suatu zat kimia dalam menimbulkan kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam lingkungan (Priyanto, 2009).Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji.Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai derajatbahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia (OECD, 2008).
Obat sebelum dipasarkan atau digunakan harus menjalani serangkaian uji untuk memastikan efektivitas dan keamanannya (Priyanto, 2009).Umumnya uji toksisitas terdiri atas dua jenis, yaitu toksisitas umum (akut, subkronik dan kronik) dan toksisitas khusus (teratogenik, mutagenik dan karsinogenik) (Priyanto, 2009; Lu, 1994).
2.3.1Toksisitas umum 2.3.1.1Toksisitas akut
Uji toksisitas akut adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji yang diberikan secara oral dalam dosis tunggal, atau dosis berulang yang diberikan dalam waktu 24 jam (BPOM RI, 2011).
11
Tujuan toksisitas akut adalah untuk mendeteksi toksisitas dari suatu zat, untuk memperoleh informasi awal yang dapat digunakan untuk merancang uji toksisitas selanjutnya serta untuk menentukan LD50(potensi ketoksikan) akut dari
suatu senyawa (Priyanto, 2009; BPOM RI, 2011).
LD50 didefinisikan sebagai “dosis tunggal suatu bahan yang secara statistik
diharapkan akan membunuh 50% hewan coba”.Pengujian ini juga dapat menunjukkan organ sasaran yang mungkin dirusak dan efek toksik spesifiknya, serta memberikan petunjuk tentang dosis yang sebaiknya digunakan dalam pengujian yang lebih lama (Lu, 1994).LD50 adalah dosis perkiraan ketika suatu zat
diberikan langsung kepada hewan uji, menghasilkan kematian 50% dari populasi di bawah kondisi yang ditentukan dari tes (Hudgson dan Levi, 2004).
Nilai LD50 sangat berguna untuk hal-hal sebagai berikut:
a. Klasifikasi lazim zat kimia sesuai dengan toksisitas relatifnya yang dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Kategori penggolongan sediaan uji
Kategori LD50
Supertoksik 5 mg/kg atau kurang
Amat sangat toksik 5-50 mg/kg
Sangat toksik 50-500 mg/kg
Toksik sedang 0,5-5 g/kg
Toksik ringan 5-15 g/kg
Praktis tidak toksik >15 g/kg
12 2.3.1.2 Toksisitas subkronik
Uji toksisitas subkronik adalah suatu pengujian untuk mengetahui efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis yang diberikan secara oral pada hewan uji, biasanya setiap hari atau lima hari dalam seminggu selama 28 hari (BPOM RI, 2011).
Tujuan toksisitas subkronik oral adalah untuk memperoleh informasi adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut, informasi kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu (OECD, 2008), untuk memberikan informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik dan mempelajari adanya efek reversibilitas zat tersebut (BPOM RI, 2011).
Prinsip uji toksisitas subkronik oral adalah sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari (OECD, 2008), bila diperlukan ditambahkan kelompok satelit untuk melihat adanya efek yang bersifat reversibel (BPOM RI, 2011).
13
Parameter efek toksik adalah mortalitas, pertambahan berat badan, berat organ relatif, konsumsi makanan dan minuman, uji laboratorium klinik, serta gambaran histopatologi organ.Berat badan dan konsumsi makanan diukur setiap minggu.Berkurangnya pertambahan berat badan merupakan indeks efek toksik yang sederhana namun sensitif.Konsumsi makanan juga merupakan indikator yang berguna, konsumsi makanan yang nyata berkurang dapat menimbulkan efek yang mirip manifestasi toksik suatu zat (BPOM RI, 2011).Uji laboratorium klinik biasanya mencakup pemeriksaan hematologi, biokimia klinis dan histopatologi.Disamping itu, berat relatif organ harus diukur karena merupakan indikator yang berguna bagi toksisitas (Lu, 1994).
2.3.1.2Toksisitas kronik
Uji toksisitas kronis dilakukan dengan memberikan senyawa uji berulang-ulang selama masa hidup hewan uji atau sebagian besar masa hidupnya (Priyanto, 2009). Prinsip toksisitas kronik oral pada umumnya sama dengan uji toksisitas subkronik, hanya pada toksisitas kronik sediaan uji yang diberikan lebih lama yaitu tidak kurang dari 12 bulan (BPOM RI, 2011).
2.3.2Toksisitas khusus 2.3.2.1Uji teratogenik
Uji teratogenik adalah suatu pengujian untuk memperoleh informasi adanya abnormalitas fetus yang terjadi karena pemberian suatu zat dalam masa perkembangan embrio (Priyanto, 2009).
14
sebelumwaktu melahirkan, uterus diambil dan dilakukan evaluasi terhadap fetus (OECD, 2008).
2.3.2.2Uji mutagenik
Uji mutagenik adalah uji yang dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai kemungkinan terjadinya efek mutagenik suatu senyawa.Efek mutagenik merupakan efek yang menyebabkan terjadinya perubahan pada sifat genetika sel tubuh makhluk hidup (Loomis, 1978).
2.3.2.3Uji karsinogenik
Uji karsinogenik adalah uji yang dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai efek korsinogenik suatu senyawa pada hewan percobaan (Lu, 1994) dan untuk mengetahui apakah zat jika dipakai dalam jangka panjang akan dapat menimbulkan kanker (Priyanto, 2009).
2.4Hati
2.4.1 Anatomi hati
15
terdiri dari dua segmen. Lobus kanan dibagi menjadi segmen anterior dan posterior.Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral.
Menurut Syaifuddin (2006) fungsi hati adalah sebagai berikut:
a. Mengubah zat makanan yang diabsorpsi dan yang di simpan di suatu tempat dalam tubuh, dikeluarkan sesuai dengan pemakaiannya dalam jaringan.
b. Mengubah zat buangan dan bahan racun untuk diekskresi dalam empedu dan urin.
c. Menghasilkan enzim glikogenik glukosa menjadi glikogen.
d. Sekresi empedu, garam empedu di buat di hati, dibentuk dalam system retikuloendotelium, dialirkan ke empedu.
e. Pembentukan ureum, hati menerima asam amino diubah menjadi ureum, dikeluarkan dari darah oleh ginjal dalam bentuk urin.
f. Menyiapkan lemak untuk pemecahan terakhir asam karbonat dan air. 2.4.2. Gambaran histopatologi hati
Komponen struktur utama dari hati adalah sel hati atau hepatosit.Hepatosit tersusun berupa lempeng-lempeng yang saling berhubungan dan bercabang membentuk anyaman tiga dimensi (Junqueira dan Carneiro, 2003).
16
merupakan sumbu asinus hati.Venula pendek berasal dari vena pembagi dan berakhir langsung pada sinusoid (Delman dan Brown, 1992). Vena sentral merupakan sebuah pembuluh vena yang dikelilingi oleh sel endotel yang tersusun rapat, terletak dipusat lobulus dengan hepatosit yang tersusun secara radier kearah vena sentral (Price, 1997), berperan pada proses sirkulasi dimana vena sentral menerima darah dari sinusoid-sinusoid yaitu 25% dari arteri hepatika dan 75% dari vena porta (Underwood, 1997).
Sinusoid merupakan pembuluh darah kapiler yang mengisi lobulus, yang membawa darah dari arteri dan vena interlobularis masuk ke sinusoid dan menuju vena sentralis.Susunan percabangan ini menjamin hepatosit memiliki permukaan yang berhadapan dengan sinusoid yang hanya dibatasi oleh ruang perisinusoid yaitu ruang sempit diantara sinusoid dan sel-sel hati.Ruang demikian tidak tampak dalam biopsy hati manusia atau hati hewan uji (Delman dan Brown, 1992; Junqueira dan Carneiro, 2003).Gambar skematis struktur hati dapat dilihat pada Gambar 2.1.
17 2.4.3 Pemeriksaan fungsi hati
Tujuan pemeriksaan fungsi hati adalah untuk mengetahui ketidaknormalan fungsi hati yang dilakukan dengan menentukan kadar enzim yang terlibat di dalam proses metabolisme hati. Penetapan aktivitas enzim dalam serum yang saat ini banyak dilakukan di laboratorium klinik sebagai test rutin untuk keperluan diagnosa kerusakan hati, antara lain penentuan kadar enzim transminase yaitu Serum Glutamat Oksaloasetat Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamat Piruvat Transaminase (SGPT) (Kang, dkk., 2008).
Transminase merupakan jenis enzim intraseluler yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat dan asam amino.Enzim transminase terdapat di dalam sel-sel beberapa organ seperti jantung, hati, ginjal, dan pankreas.SGOT terdapat dalam jantung, otot rangka, otak, dan ginjal sedangkan SGPT terdapat dalam sel hati (Widmann, 1995).