• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN PENYIDIK TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM (Studi di Polresta Bandar Lampung) (Jurnal Skripsi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERANAN PENYIDIK TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM (Studi di Polresta Bandar Lampung) (Jurnal Skripsi)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PERANAN PENYIDIK TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM

(Studi di Polresta Bandar Lampung)

(Jurnal Skripsi)

Oleh

DESTEA SUSAGIANI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PERANAN PENYIDIK TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM

(Studi di Polresta Bandar Lampung) Oleh

Destea Susagiani, Diah Gustiniati, Dona Raisa Monica Email: teasusagiani@gmail.com.

Pemberlakuan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak mengamanatkan penyidik anak untuk memenuhi persyaratan yaitu berpengalaman sebagai penyidik, mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak serta telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak. Pada kenyataannya belum semua penyidik anak memenuhi persyaratan tersebut. Permasalahan penelitian ini adalah: Bagaimanakah peranan penyidik terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dan apakah faktor penghambat peranan penyidik terhadap anak yang berkonflik dengan hukum? Pendekatan penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris, dengan narasumber yaitu Penyidik Polresta Bandar Lampung dan Akademisi Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan: Peranan penyidik terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di Polresta Bandar Lampung termasuk dalam peranan normatif yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang dan peranan faktual yang dilaksanakan berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan. Pelaksanaan peranan tersebut meliputi menyediakan penyidik khusus anak, menyediakan ruang pemeriksaan khusus anak, melaksanakan penyidikan dengan suasana kekeluargaan, meminta laporan penelitian kemasyarakatan, melaksanakan upaya paksa dengan berpedoman pada Undang-Undang Sistem Peradilan Anak dan mengupayakan diversi dalam perkara anak. Faktor paling dominan yang menghambat Peranan penyidik terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di Polresta Bandar Lampung adalah faktor masyarakat, khususnya korban dan keluarga korban menolak diversi dan menginginkan agar anak yang berkonflik dengan hukum tetap diproses secara hukum.

(3)

ABSTRACT

THE ROLE OF INVESTIGATORS AGAINST CHILDREN IN CONFLICT WITH THE LAW

(Study at Bandar Lampung Police)

The enactment of the Criminal Justice System Law mandates child investigators to meet the requirements of being experienced as an investigator, having an interest, concern, dedication, and understanding of children's issues and having followed technical training on Juvenile justice. In fact, not all child investigators have met the requirements. The research issues are: What is the role of investigators against children in conflict with the law and what are the factors inhibiting the role of investigators against children in conflict with the law? The research approach used is juridical normative and juridical empirical, with the speakers of Police Investigator Bandar Lampung and Academician of Criminal Law Department Faculty of Law Unila. Data collection was done by literature study and field study. Data analysis is done qualitatively.The results of the study and discussion show: The role of investigators against children in conflict with the law in Bandar Lampung Police is included in the normative role implemented based on the law and the factual role that is implemented based on the facts that occur in the field. Implementation of such roles involves providing child-specific investigators, providing special child-checking chambers, conducting investigations in a family atmosphere, soliciting community research reports, carrying out forced efforts by referring to the Juvenile Justice System Act and seeking diversion in child cases. Most dominant factor that inhibit the role of investigators against children in conflict with the law at the Bandar Lampung Police Station is community factor, especially the victim and the victim's family, refusing to be diverted and wanting the child in conflict with the law to be processed by law.

(4)

I. PENDAHULUAN

Anak sebagai generasi penerus bangsa memiliki harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.1

Pengertian anak menurut Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Artinya anak adalah sebutan untuk janin atau bayi yang masih dalam kandungan sampai dengan usia di bawah 18 tahun.

Keberlangsungan hidup sebuah bangsa dan negara tidak dapat dipisahkan dari eksistensi anak, oleh karena itu kepentingan anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup manusia. Anak perlu mendapat perlindungan dari hal-hal negatif yang ada di sekitarnya. Perlindungan terhadap

1

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung. 2009. hlm. 44

anak tidak terbatas pada pemerintah, tetapi harus dilakukan juga oleh orang tua, keluarga dan masyarakat untuk bertanggung jawab menjaga dan memelihara hak asasi anak.

Kedudukan anak sebagai bagian dari generasi muda yang berperan strategis dalam kemajuan suatu bangsa pada dasarnya telah disadari oleh masyarakat Internasional. Pada Tahun 1990 lahirlah Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Child) yang telah diratifikasi oleh 192 Negara termasuk Indonesia. Ratifikasi terhadap konvensi tersebut dilaksanakan melalui Kepres Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan

Convention on the Right of the Child.2

Sistem peradilan pidana sebagai jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil ataupun hukum pelaksanaan pidana. Proses Peradilan Pidana Anak mulai dari penyidikan, penuntutan, pengadilan dan dalam menjalankan putusan pengadilan di Lembaga Permasyarakatan Anak wajib dilakukan oleh pejabat-pejabat terdidik khusus atau setidaknya mengetahui tentang masalah Anak Nakal. Perlakuan selama proses Peradilan Pidana Anak harus memperhatikan proses-proses perlindungan anak dan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat anak, meskipun anak tersebut melakukan tindak pidana, tanpa mengabaikan terlaksanan keadilan dan bukan

2

(5)

membuat nilai kemanusiaan anak menjadi lebih rendah.3

Salah satu peran pihak Kepolisian di dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak

pidana dengan memberikan

perlindungan hukum dari bentuk pelanggaran terhadap anak adalah adanya perlakuan buruk. Padahal seharusnya hak-hak anak sebagai pelaku tindak pidana juga perlu mendapatkan perhatian yang serius dari berbagai pihak yang terkait. Anak yang melakukan tindak pidana berhak atas perlindungan dari segala bentuk diskriminasi dalam hukum, hak atas jaminan pelarangan penyiksaan anak dan hukuman yang tidak manusiawi dan hak untuk memperoleh bantuan hukum baik di dalam maupun di luar Pengadilan dan sebagainya.

Penyidik Polri dalam melaksanakan pemeriksaan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, haruslah memperhatikan konsep mengenai keadilan restoratif sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, bahwa penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap cara penanganan kasus anak.

3

Angger Sigit Pramukti dan Fuady Primaharsya,

Sistem Peradilan Pidana Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2015, hlm. 25

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 itu, maka para penyidik yang menangani kasus Pidana Anak harus memperlakukan anak-anak yang berkonflik dengan hukum secara berbeda dengan para pelaku pidana yang sudah dewasa, karena masih adanya para penyidik Polri di bagian PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) yang ada belum sepenuhnya memiliki perspektif yang sama dalam menangani kasus anak yang berkonflik dengan hukum.

Penyidik Anak merupakan penyidik yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk. Adapun syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik Anak sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah sebagai berikut:

a. telah berpengalaman sebagai penyidik;

b. mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan

c. telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak

(6)

Berdasarkan uraian di atas maka akan dideskripsikan Peranan Penyidik Polresta Bandar Lampung terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah peranan penyidik terhadap anak yang berkonflik dengan hukum?

b. Apakah faktor penghambat peranan penyidik terhadap anak yang berkonflik dengan hukum?

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif.

II. PEMBAHASAN

A. Peranan Penyidik terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum

Analisis mengenai peranan penyidik terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam penelitian ini mengacu pada teori yaitu peranan sebagai aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peran. Jenis-jenis peran adalah sebagai berikut:

a. Peranan normatif adalah peranan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada seperangkat norma atau hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat b. Peranan ideal adalah peranan yang

dilakukan oleh seseorang atau

lembaga yang didasarkan pada nilai-nilai ideal atau yang seharusnya dilakukan sesuai dengan kedudukannya di dalam suatu sistem. c. Peranan faktual adalah peranan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada kenyataan secara kongkrit di lapangan atau kehidupan sosial yang terjadi secara nyata4

Sesuai dengan jenis-jenis peranan tersebut maka peranan penyidik terhadap anak yang berkonflik dengan hukum termasuk dalam peranan normatif dan peranan faktual. Peranan ideal tidak termasuk karena dalam penyidikan terhadap anak yang melakukan tindak pidana, penyidik kepolisian melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan (normatif) dan melakukan penyidikan berdasarkan fakta adanya anak yang melakukan tindak pidana (faktual) Peranan ideal tidak termasuk di dalam pembahasan karena penyidik kepolisian secara ideal melaksanakan peranan sesuai dengan kedudukannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepolisian.

Peranan normatif dilaksanakan oleh penyidik kepolisian dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan. Pelaku tindak pidana yang masih masuk dalam kategori usia anak juga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum, namun demikian, mengingat usianya yang masih di bawah umur, hukum positif yang berlaku di Indonesia memberikan perlakuan secara

4

(7)

khusus melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam hal menghadapi dan menangani proses peradilan anak yang terlibat tindak pidana, maka hal yang pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya sebagai anak dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus, dengan demikian orientasi adalah bertolak dari konsep perlindungan terhadap anak dalam proses penanganannya sehingga hal ini akan berpijak pada konsep kejahteraan anak dan kepentingan anak tersebut.

Peranan penyidik terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di Polresta Bandar Lampung secara faktual dilaksanakan sebagai berikut:

1. Menyediakan Penyidik Khusus Anak

Sistem peradilan pidana anak menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang berkonflik dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana. Artianya seluruh proses penegakan hukum terhadap anak harus sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Sesuai Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menegaskan bahwa pejabat Penyidik adalah Penyidik Anak. Penyidik, yang dapat melakukan penyelidikan terhadap anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu adalah penyidik yang secara khusus hanya dapat dilakukan oleh Penyidik Anak.

Penyidik anak yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Syarat untuk dapat ditetapkan sebagai Penyidik Anak sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah telah berpengalaman sebagai penyidik, mempunyai minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah Anak; dan telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak.

2. Menyediakan Ruang Pemeriksaan Khusus Anak

Untuk melakukan pemeriksaan tersangka anak maka yang perlu diperhatikan adalah ruangan pemeriksaan tersangka yang memungkinkan terselenggaranya proses pemerikasaan, dalam rangka mengungkap perkara yang sedang disidik. Unit PPA Polresta Bandar Lampung menyediakan ruangan Pemeriksaan Khusus Anak. Hal ini diupayakan agar penyidikan terhadap anak tidak tercampur dengan ruang penyidikan ruang penyidikan terhadap pelaku tindak pidana dewasa, sebagai wujud perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum

Penjelasan di atas sesuai dengan himpunan buku petunjuk pelaksanaan dan buku petunjuk teknis tentang proses penyidikan tindak pidana menyebutkan bahwa ruang pemeriksaan memiliki persyaratan ruang pemeriksaan sebagai berikut:

(8)

menimbulkan kesan menakutkan atau menyeramkan;

b. Tempat pemeriksaan harus tenang, bersih serta tidak ada hal-hal lain yang dapat mengalihkan perhatian yang diperiksa;

c. Tempat pemeriksaan harus dijamin keamananannya

d. Lingkungan tempat pemeriksaan diusahakan dalam suasana tenang; e. Tersedia tempat bagi penasehat

hukum; dan

f. Dilengkapi dengan sarana pemeriksaan seperti meja, kursi sesuai kebutuhan, media tulis, alat tulis, tape recoder dan alat-alat elektronika sebagai penolong pemeriksaan apabila diperlukan, kelengkapan administrasi penyidikan.

3. Melaksanakan Penyidikan dengan Suasana Kekeluargaan

Pelaksanaan penyidikan dengan suasana kekeluargaan merupakan amanat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 yang mengatur bahwa proses penyidikan yang dilakukan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan susasana kekeluargaan tetap terpelihara

Berdasarkan penjelasan di atas maka diketahui bahwa Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menghendaki pemeriksaan dilakukan dengan pendekatan secara efektif dan simpatik. Efektif dapat diartikan bahwa pemeriksaannya tidak memakan waktu lama, pertanyaan yang mudah dimengerti, dan dapat mengajak tersangka memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya. Simpatik maksudnya

pada waktu pemeriksaan, penyidik bersifat sopan dan ramah serta tidak menakut-nakuti tersangka. Tujuannya ialah agar pemeriksaan berjalan dengan lancar, karena seorang anak yang merasa takut sewaktu menghadapi Penyidik, akan mengalami kesulitan untuk mengungkapkan keterangan yang benar dan sejelas-jelasnya.

4. Meminta Laporan Penelitian Kemasyarakatan

Mengacu pada Pasal 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, Penyidik dalam hal melakukan penyidikan terhadap anak yang dilaporkan atau diadukan melakukan tindak pidana harus meminta pertimbangan atau saran dari Pembimbing Kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, Pekerja Sosial Profesional atau Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan tenaga ahli lainnya

Apabila penyidikan dilakukan tanpa

melibatkan Pembimbing

(9)

kejaksaan atau tidak. Penyidikan yang tidak dilakukan dengan meminta pertimbangan atau sara dari Pembimbing Kemasyarakatan akan dikenakan sanksi administratif berdasarkan ketentuan pasal 95 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

5. Melaksanakan Upaya Paksa dengan Berpedoman pada Undang-Undang Sistem Peradilan Anak

Bentuk perlindungan hukum oleh penyidik di Polresta Bandar Lampung lainnya adalah melaksanakan upaya paksa terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dengan tetap berpedoman pada Undang-Undang Sistem Peradilan anak yang berlaku dan diterapkan pada semua proses hukum terhadap anak.

Adapun implementasi upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik Polresta Bandar Lampung terhadap anak yang berkonflik dengan hukum sesuai dengan Sistem Peradilan anak adalah sebagai berikut: a) Penangkapan Sebagai Upaya

Terakhir

Pasal 3 huruf g Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa seorang anak berhak untuk tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat. Ketentuan pasal ini jelas menunjukkan bahwa perlindungan hukum yang diberikan terhadap seorang anak yang berkonflik dengan hukum tidak wajib untuk ditahan dalam proses peradilan pidana dan walaupun dilakukan penahanan untuk kepentingan

penyidikan terhadap anak tersebut, hal tersebut hanyalah sebagai upaya terakhir atau tindakan terakhir (ultimum remedium) dan dalam waktu yang sangat singkat yaitu paling lama 24 (dua puluh empat) jam.

b) Penempatan Pada Lembaga Khusus Anak

Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Nomor11 Tahun 2012 menyatakan bahwa anak yang ditangkap harus ditempatkan dalam ruang pelayanan

Khusus Anak dan harus

diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan

sesuai dengan umurnya.

Penangkapan terhadap anak untuk kepentingan penyidikan harus tetap melindungi anak dari hak-hak nya dalam proses peradilan pidana dan berusaha untuk menghindarkan anak mendapat perlakuan yang kasar terhadap anak selama penahanan berlangsung

c) Penahanan

Penahanan adalah pengekangan fisik sementara terhadap anak berdasarkan putusan pengadilan atau selama anak dalam proses peradilan pidana.

1) Penahanan Tidak Dilakukan Dalam Hal Adanya Jaminan

(10)

bukti, dan atau tidak akan mengulangi tindak pidana

2) Syarat Penahanan Anak

Ketentuan tentang keringanan untuk tidak dilakukan penahanan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum tidak selamanya berlaku, dengan kata lain bahwa anak yang berkonflik dengan hukum tertentu dapat ditahan dengan syarat bahwa anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.

6. Pelaksanaan Diversi terhadap Perkara Anak

Hal yang pertama sekali dilakukan dalam proses penyidikan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum yang dilaporkan atau diadukan melakukan suatu tindak pidana yaitu Penyidik Polresta Bandar Lampung wajib mengupayakan diversi8 terlebih dahulu dengan ketentuan bahwa tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana

Berdasarkan penjelasan di atas maka diketahui bahwa pengalihan proses peradilan anak atau yang disebut dengan diversi (bentuk pelaksanaan diskresi di dalam penyidikan) berguna untuk menghindari efek negatif dari proses-proses peradilan selanjutnya dalam administrasi peradilan anak, misalnya labelisasi akibat pernyataan bersalah maupun vonis hukuman

Perubahan dan perkembangan dalam kerangka pembangunan hukum

khususnya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Perubahan dan perkembangan tersebut diantaranya adalah adanya diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Menurut Pasal 1 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dinyatakan bahwa diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

B. Faktor-Faktor yang Menghambat Peranan Penyidik Terhadap Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum di Polresta Bandar Lampung 1. Faktor Peraturan

Perundang-Undangan

Faktor perundang-undangan penghambat peranan penyidik terhadap anak yang berkonflik dengan hukum adalah belum adanya pengaturan di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengenai upaya yang harus dilakukan apabila terjadi penolakan diversi oleh masyarakat, khususnya korban atau keluarga korban dari suatu tindak pidana.

(11)

dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: a) diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Undang-undang ini tidak mengatur jika terjadi penolakan diversi yang diupayakan oleh aparat penegak hukum, khususnya oleh Kepolisian dan Kejaksaan.

2. Faktor Penegak Hukum

Faktor penegak hukum yang penghambat peranan penyidik terhadap anak yang berkonflik dengan hukum adalah secara kuantitas masih terbatasnya jumlah anggota dalam menangani tindak pidana di seluruh wilayah hukum Polresta Bandar Lampung. Secara kualitas masih kurangnya pengetahuan dan keterampilan penyidik dalam menerapkan diversi dalam penyelesaian tindak pidana

Kepolisian dapat melaksanakan perannya sebagai mediator dalam proses proses diversi antara pelaku tindak pidana dan korban. Proses diversi di sini hanya bersifat memperingan tuntutan, oleh karena belum ada undang-undang yang mengatur pelaksanaan mediasi beserta kekuatan hukum dari akte kesepakatan hasil proses diversi. Jadi pelaku tetap dipidana akan tetapi pidananya diperingan dan dapat dilakukan mediasi di mana korban dapat meminta ganti kerugian kepada pelaku dengan sebuah akta kesepakatan bahwa telah dilakukan pembayaran ganti kerugian kepada korban.

3. Faktor sarana prasarana

Sarana dan fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum, tanpa adanya sarana dan fasilitas tersebut tidak akan mungkin penegak hukum secara aktual menyelaraskan peran yang seharusnya dengan peran aktual. Bermanfaatnya fasilitas yang telah tersedia senantiasa tergantung pada pemakaiannya, apabila pemakai tidak memberikan fasilitas maka akan mungkin terjadi hambatan dalam pelaksanaan tugasnya. Dalam hal ini ada dua hal yang perlu mendapatkan perhatian yakni keperluan atau kebutuhan yang bertitik tolak pada segi individual dan adanya kekurangan-kekurangan yang bertolak pada segi sistemnya. Suatu organisasi tanpa didukung dengan penyediaan sarana dan prasarana penyidikan yang memadai maka pelaksanaannya tidak aka berjalan dengan baik. Demikian pula dengan jumlah dan kondisi serta fasilitas yang ada

(12)

perbuatan yang menyimpang dari aturan hukum yang seharusnya ditegakkan.

4. Faktor masyarakat

Faktor masyarakat yang yang penghambat peranan penyidik terhadap anak yang berkonflik dengan hukum adalah masyarakat terutama korban dan keluarga yang tidak bersedia atau menolak dilaksanakannya diversi atau perdamaian. Hal ini dapat dipahami karena masyarakat sudah geram dengan maraknya tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah pihak ketiga (pihak lain yang tidak terkait secara langsung) yang meminta korban dan keluarganya agar pelaku tetap diproses secara hukum.

Kenyataannya di wilayah hukum Polresta Bandar Lampung, masyarakat tetap menginginkan agar anak yang berkonflik dengan hukum diproses secara hukum, meskipun pada kenyataannya telah dilaksanakan mediasi perdamaian yang menetapkan bahwa pelaku bersedia mengganti kerugian yang dialami korban. Masyarakat menginginkan agar pelaku tindak pidana seperti pembegalan atau penadahan kendaraan curian agar dipenjara.

Kendala lain yang dihadapi pada saat proses mediasi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah ketidak lengkapan data dan informasi yang disampaikan oleh pelaku dan korban yang terlibat dalam tindak pidana. Seharusnya penyidik selaku mediator mendapatkan data secara lengkap dan terperinci mengenai latar belakang dan fakta tindak pidana. Ketidak lengkapan data tersebut disebabkan oleh kurangnya

kesadaran pelaku dan korban bahwa data yang seharusnya diberikan secara lengkap kepada penyidik selaku mediator akan dijaga kerahasiaan dan privasinya, sehingga pelaku dan korban hanya memberikan data yang dianggap tidak berpotensi merugikan pihaknya.

Proses penyelesaian tersebut dilakukan oleh para pihak sendiri karena masing-masing pihak sepakat untuk menyelesaikan tanpa melalui proses yang berbelit-belit dan memakan waktu yang lama, adapun hal ini terjadi karena pengadilan akan mempelajari bukti-bukti yang ada guna mencari kebenaran dan keadilan yang dapat diterima kedua belah pihak tanpa tekanan atau paksaan dari pihak manapun.

5. Faktor Kebudayaan

(13)

III. PENUTUP A. Simpulan

1. Peranan penyidik terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di Polresta Bandar Lampung termasuk dalam peranan normatif dan faktual. Peranan normatif dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangan-undangan, khususnya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Peranan faktual dilaksanakan berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan, yaitu menyediakan penyidik khusus anak, menyediakan ruang pemeriksaan khusus anak, melaksanakan penyidikan dengan suasana kekeluargaan, meminta laporan penelitian kemasyarakatan, melaksanakan upaya paksa dengan berpedoman pada Undang-Undang Sistem Peradilan Anak dan mengupayakan diversi dalam perkara anak

2. Faktor-faktor yang menghambat Peranan penyidik terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di Polresta Bandar Lampung terdiri dari: Faktor perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Sistem Peradilan Anak belum mengatur upaya yang harus dilakukan apabila terjadi pelolakan diversi oleh korban atau keluarga korban. Faktor penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih terbatasnya jumlah anggota dalam menangani tindak pidana dan secara kualitas masih kurangnya pengetahuan dan keterampilan penyidik dalam menerapkan perdamaian dalam penyelesaian tindak pidana. Faktor sarana dan prasarana yaitu masih terbatasnya sarana penyidikan anak.

Faktor masyarakat, khususnya korban dan keluarga korban menolak diversi dan menginginkan agar anak yang berkonflik dengan hukum tetap diproses secara hukum; Faktor Kebudayaan, yaitu karakter personal pelaku dan korban serta kleluarganya yang tidak mendukung penyelesaian perkara di luar peradilan atau perdamaian. Faktor yang paling dominan adalah faktor masyarakat, khususnya korban dan keluarga korban menolak diversi dan menginginkan agar anak yang berkonflik dengan hukum tetap diproses secara hukum.

B. Saran

1. Hendaknya peranan penyidik dalam sistem peradilan pidana terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak dioptimalkan dengan meningkatkan profesionalisme dan kapasitas penyidik anak dalam sistem peradilan pidana, dengan cara terus mengasah potensi yaitu mengikuti berbagai pelatihan untuk

menyesuaikan diri pada

perkembangan teknik diversi dalam perkara anak

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Gultom, Maidin. 2008. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung

Gosita, Arif. 2009. Masalah Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung. 2009.

Pramukti, Angger Sigit dan Fuady Primaharsya. 2015. Sistem Peradilan Pidana Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dikarenakan perhitungan Ecological Footprint berdasarkan data tahunan yang telah berlalu, dan tidak dapat benar-benar tepat mengukur kemampuan daya dukung lingkungan hidup

Berdasarkan tinjauan diatas, maka dilakukan penelitian yaitu sintesis senyawa analgesik yang baru yaitu O-4-trifluorometilbenzoil-5-kloro asam salisilat yang di

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa aktivitas antioksidan pada sampel minuman probiotik whey keju dengan 5% sari tomat pada saat setelah fermentasi selesai

Permukiman Nelayan Terpadu Vertikal di Manado merupakan lingkungan tempat tinggal yang kompleks, terpadu yang menghadirkan tidak sekedar sebuah bangunan tampat tinggal namun sebuah

Pratyaksa Pramana merupakan ajaran tentang pengamatan langsung. Beranalogi dari cara berpikir ini, dalam penelitian ini yang diamati adalah cara atau kegiatan praktik

Yang berarti bahwa dari variabel produk/hasil belum secara signifikan mendukung tercapainya tujuan program BOS SMA dalam mewujudkan Pendidikan Menengah Universal

Pertumbuhan pada tanaman hanya dapat terjadi pada tempat-tempat tertentu saja,yaitu pada jaringan meristem yang terdapat diujung akar,ujung batang,bakal tunas,dan pada