• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA PLEBITIS DI RSUD UNGARAN KABUPATEN SEMARANG ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA PLEBITIS DI RSUD UNGARAN KABUPATEN SEMARANG ABSTRAK"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA PLEBITIS DI RSUD UNGARAN KABUPATEN SEMARANG

Titin Nurhasanah*), Faridah Aini**), Abdul Wakhid***) *) Mahasiswa Program Studi Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo Ungaran

**) Staf Pengajar Program Studi Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo Ungaran ***) Staf Pengajar Program Studi Keperawatan STIKES Ngudi Waluyo Ungaran

ABSTRAK

Pemberian terapi intravena merupakan salah satu tindakan yang paling sering digunakan dalam pelayanan kesehatan, lebih dari 60% pasien yang masuk ke ruamh sakit mendapatkan terapi intravena. Plebitis adalah peradangan yang mengenai lapisan endothelium dalam vena yang disebabkan oleh kimia maupun bakteri. Adapun tanda-tanda plebitis antara lain adanya peningkatan suhu kulit di atas vena, nyeri, timbul kemerahan di tempat insersi, atau di sepanjang jalur vena, teraba hangat pada daerah penusukan dan bengkak. Untuk meminimalkan risiko infeksi, perawat perlu menyadari dan mengenali lebih jauh tentang faktor-faktor apa saja yang berkontribusi terhadap kejadian plebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang

Penelitian yang dilakukan adalah survey analitik dengan pendekatan Cohort terhadap 86 pasien rawat inap yang terpasang infus lebih dari 1 hari di RSUD Ungaran Tehnik pengambilan sampling menggunakan Purposive Sampling. variabel yang diteliti meliputi jenis cairan, jenis obat, tempat insersi, ukuran kateter dan kecepatan tetesan cairan dan kejadian plebitis dengan lembar observasi. Uji statistik yang digunakan adalah Chi Square.

Hasil penelitian. data didapatkan bahwa dari 86 responden yang mengalami plebitis sebanyak 41 responden (47.7%). Hasil uji Chi Square didapatkan variabel yang berpengaruh terhadap kejadian plebitis adalah jenis cairan dengan p-value = 0,04 (α = 0,05), dan ukuran kateter dengan p value = 0,043 (α = 0,05).

Berdasarkan hasil penelitian perlu diperhatikan lebih detail faktor lain yang bisa berpengaruh terhadap kejadian plebitis sehingga bisa diminimalisir angka kejadian plebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang.

Kata kunci : plebitis, terapi intravena

(2)

ABSTRACT

Intravenous therapy is one of the most common treatments to be used in health services, more than 60% of patients admitted in the hospital get intravenous therapy. Phlebitis is an inflammation of the endothelium in the veins caused by chemicals or bacteria. The signs of phlebitis include an increase in the temperature of the skin over the vein, pain, redness at the site of insertion or along the vein, palpable warmth and swelling in the area of the stabbing. To minimize the risk of infection, nurses need to be aware of and recognize more about the factors contributing to the phlebitis in Ungaran hospital.

The research was survey analytic with Cohort approach to 86 inpatients attached with infusion of more than 1 day in the hospital. Sampling technique used purposive sampling. The studied variables included the type of fluid, the type of medication, the insertion site, the catheter size and the speed of the liquid droplets and phlebitis in the observation sheet. The statistical test used Chi Square for the bivariate analysis.

The data showed that of the 86 respondents, 41 respondents (47.7%) experienced phlebitis. Chi Square test results obtained that the variables influencing phlebitis were the kind of liquid with p-value = 0.04 (α = 0.05), and the size of the catheter with p value = 0.043 (α = 0.05).

Based on the results of the study it needs to consider about other factors that can affect the occurrence of phlebitis so that it can minimize the incidence of phlebitis in Ungaran hospital Semarang regency.

Keywords: phlebitis, intravenous therapy

PENDAHULUAN Latar Belakang

Terapi intravena juga disebut dengan terapi infus, merupakan metode yang efektif untuk mensuplai cairan, elektrolit, nutrisi, obat melalui pembuluh darah (intravascular) (Smeltzer & Bare, 2013). Adanya terapi ini dapat menyebabkan terjadinya infeksi pada daerah pemasangan infus atau yang disebut dengan plebitis. Infeksi dapat menjadi komplikasi utama dari terapi intravena (IV) dengan berbagai macam cara. Mayoritas masalah yang berhubungan dengan intravena (IV) terletak pada sistem infus atau tempat penusukan vena, termasuk komplikasi sistemik atau lokal dan plebitis adalah salah satu dari komplikasi lokal (Perry & Potter, 2005).

Plebitis merupakan peradangan vena yang disebabkan iritasi kimia, bakterial, dan mekanis. Iritasi kimia merupakan iritasi kimiawi zat adiktif dan obat-obatan yang diberikan secara intravena karena

pengoplosan (Perry & Potter, 2005). Hal ini ditunjukkan dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena.

Jumlah kejadian plebitis menurut distribusi penyakit sistem sirkulasi darah pasien rawat inap, Indonesia Tahun 2010 berjumlah 744 orang (17,11%), sedangkan menurut Fitria (2008) angka kejadian plebitis di RSU Mokopido Tolitoli pada tahun 2006 mencapai 42,4%. Hal ini menunjukkan jumlah presentase pasien yang mengalami infeksi lokal yakni plebitis masih cukup besar, karena masih di atas standar yang direkomendasikan oleh INS (Intrvenous Nurses Society) yaitu sebesar 5%.

Jenis obat, dalam pemberian antibiotik melalui intravena (IV) perlu diperhatikan dalam pencampuran serbuk antibiotik tersebut, hal ini untuk menghindari terjadinya komplikasi seperti tromboplebitis karena kepekatan dan tidak tercampurnya obat secara baik.

(3)

Kecepatan tetesan cairan intravena juga menjadi faktor yang berpengaruh terhadap terkadinya plebitis, mengatur ketepatan aliran dan regulasi infus adalah tanggung jawab perawat. Masalah yang dapat muncul apabila perawat tidak memperhatikan regulasi infus adalah hipervolemia dan hipovolemia. Untuk mengatur tetesan infus, perawat harus mengetahui volume cairan yang akan dimasukkan dan waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan cairan infus. Penghitungan cairan yang sering digunakan adalah penghitungan millimeter per jam (ml/h) dan penghitungan tetes permenit.

Darmadi (2008) menyebutkan infeksi yang terkait kateter intravena dan bakteri biasanya disebabkan oleh mikroorganisme yang ditemukan pada kulit klien atau tangan para petugas kesehatan. Kolonisasi flora kulit juga dapat terjadi sekitar pusat perangkat infus, sambungan infus, atau konektor lain yang melekat pada sistem, demikian juga dengan cairan infus yang terkontaminasi. Akibat infeksi ini dapat menimbulkan syok sehingga akan menyebabkan kematian antara 50-90%.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 3 Oktober 2015 di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang didapatkan data dari Rumah Sakit selama 5 bulan terakhir, 3.858 pasien rawat inap di ruang Mawar yang terjadi plebitis sebanyak 644 pasien (19,3%) dan rata-rata adalah pasien dewasa. Hal ini menunjukkan prosentase pasien yang mengalami infeksi lokal yakni plebitis masih cukup tinggi, karena masih di atas standart yang direkomendasikan oleh INS (Intravenous Nurses Society) yaitu 5%. Hasil wawancara terhadap 3 dari 17 perawat di ruang Mawar mengatakan bahwa salah satu penyebab dari plebitis adalah pergerkan yang terlalu sering dilakukan oleh pasien pada anggota gerak yang diinfus, tidak sesuainya ukuran kateter yang dipakai dan tempat penusukan yang kurang tepat. Jadi perlu dianalisa faktor-faktor apa saja yang menyebabkan

kejadian plebitis di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang. Dengan tingginya angka kejadian plebitis dan belum ada yang pernah maelakukan penelitian tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang mengenai faktor-faktor yang menyebabkan kejadian plebitis.

Rumusan Masalah

“Apakah faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya plebitis di RSUD Ungaran?”

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara jenis cairan intravena, jenis obat yang diberikan melalui intravena, tempat insersi, ukuran kateter intravena, kecepatan tetesan cairan intravena dengan kejadian plebitis di RSUD Ungaran.

Manfaat Penelitian

Bagi RSUD Ungaran, penelitian ini sebagai masukan kepada yang bertugas terhadap Pengendalian Infeksi Nosokomial RSUD Ungaran dalam pengambilan kebijakan mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya plebitis untuk mengurangi angka kejadian plebitis.

Bagi profesi keperawatan, sebagai tambahan ilmu dan informasi dalam pengelolaan meminimalkan kejadian plebitis dengan memperhatikan faktor-faktor yang berkontribusi baik faktor-faktor yang mempengaruhi maupun faktor resiko terjadinya plebitis sehingga kejadian plebitis di RSUD Ungaran dapat dikurangi dan dicegah.

METODOLOGI PENELITIAN Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey analitik dengan pendekatan Cohort, yaitu peneliti mempelajari tentang jenis cairan, jenis obat, tempat insersi dan ukuran kateter

(4)

dengan kejadian plebitis dengan menggunakan lembar observasi dan pengumpulan data pada waktu yang sama tanpa dilakukan tindak lanjut atau pengulangan pengukuran.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada pasien yang terpasang kateter intravena di ruang rawat inap RSUD Ungaran. Penelitian dilakukan mulai dari tanggal 9-23 pada bulan Januari 2016.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien rawat inap di RSUD Ungaran yang terpasang infus. Populasi rata-rata pasien rawat inap yang terpasang infus selama 1 tahun yaitu pada tahun 2015 sebanyak 644 pasien rawat inap.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagian pasien rawat inap di RSUD Ungaran. Teknik sampling yang dipakai dalam penelitian ini adalah Non probabality sampling dimana setiap subjek dalam populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih atau tidak terpilih sebagai sampel. Tehnik pengambilan sampel menggunakan non random sampling dan menggunakan teknik purposive sampling dimana sampel diplih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan kriteria inklusi. Didapatkan 86 responden yang menjadi sampel.

Pengumpulan Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu peneliti mengambil data ke responden atau objek penelitian yang bersangkutan dengan cara melakukan observasi langsung kepada objek penelitian atau responden. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi.

Analisis Data Analisis univariat

Analisis ini bertujuan

mendeskripsikan angka atau nilai jumlah variabel dalam bentuk distribusi frekuensi. Dalam penelitian ini yang dianalisa adalah variabel tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya phlebitis.

Analisi Bivariat

Uji statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji chi square atau kai kuadrat dengan alasan karena tehnik ini menggunakan data nominal dan ordinal yang termasuk dalam kategorik.

HASIL PENELITIAN Analisis Bivariat

Hubungan jenis cairan intravena dengan kejadian plebitis

Tabel 1

Hubungan jenis cairan intravena dengan kejadian plebitis di ruang rawat inap RSUD Ungaran, Januari 2016 Jenis cairan Kejadian plebitis OR p-value Plebitis Tidak plebitis Total f % f % f % Kristaloid Kombinasi kristaloid dan koloid 36 5 58,1 20,8 26 19 41,9 79,2 62 24 100 100 0,190 0,004 Total 41 47,7 45 52,3 86 100

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahawa yang paling banyak terjadi plebitis yaitu pada pasien yang mendapat terapi jenis cairan kristaloid sebanyak 58,1%, dan pasien yang mendapatkan terapi jenis cairan kombinasi kristaloid dan koloid akan lebih berisiko 0,190 kali lebih banyak terjadi plebitis dibandingkan dengan jenis cairan kristaloid saja dan terdapat hubungan yang signifikan antara jenis cairan dengan kejadian plebitis.

(5)

Hubungan jenis obat dan kejadian phlebitis.

Tabel 2

Hubungan jenis obat dengan kejadian plebitis di ruang rawat inap RSUD Ungaran, pada bulan januari 2016

Jenis obat Kejadian plebitis OR p-value Plebitis Tidak plebitis Total f % f % f % 1,5 0,433 Obat tunggal Kombinasi 23 18 43,4 54,3 30 15 56,6 45,5 53 33 100 100 Total 62 85,3 49 53,2 86 100

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahawa yang paling banyak terjadi plebitis yaitu pada pasien yang mendapat terapi jenis obat kombinasi sebanyak 54,3%, dan pasien yang mendapatkan terapi jenis cairan kombinasi akan lebih berisiko 1,5 kali lebih banyak terjadi plebitis dibandingkan dengan jenis cairan obat tunggal saja dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis obat dengan kejadian plebitis.

Hubungan tempat insersi dan kejadian plebitis Tabel 3

Hubungan tempat insersi dengan kejadian plebitis di ruang rawat inap RSUD Ungaran, pada bulan januari 2016

Tempat insesrsi Kejadian plebitis O R p-value Plebitis Tidak plebitis Total f % f % f % 0,2 4 0,06 3 Distal Medial 38 3 52,8 21,4 34 11 47,2 78,6 72 14 100 100 Total 41 74,2 45 52,3 86 100

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahawa yang paling banyak terjadi plebitis yaitu pada pasien yang terpasang infus pada bagian vena distal yaitu sebanyak 52,8%, dan pasien yang terpasang infus pada bagian vena distal akan lebih berisiko 0,24 kali lebih banyak terjadi plebitis dibandingkan dengan pasien yang terpasang infus pada bagian vena medial dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tempat insersi dengan kejadian plebitis.

Hubungan antara ukuran kateter dengan kejadian plebitis

Tabel 4

Hubungan ukuran kateter dengan kejadian plebitis di ruang rawat inap RSUD Ungaran pada bulan januari 2016

Ukuran kateter Kejadian plebitis OR p-value Plebitis Tidak plebitis Total f % f % f % 5,2 0,043 Besar Sedang-kecil 8 33 80,0 43,3 2 43 20,0 56,6 10 76 100 100 Total 41 47,7 45 52,3 86 100

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahawa yang paling banyak terjadi plebitis yaitu pada pasien yang terpasang infus dengan ukuran kateter besar yaitu sebanyak 80%, dan pasien yang terpasang infus dengan ukuran kateter besar akan lebih berisiko 5,2 kali lebih banyak terjadi plebitis dibandingkan dengan pasien yang terpasang infus dengan ukuran kateter sedang dan kecil dan terdapat hubungan yang signifikan antara ukuran keteter dengan kejadian plebitis.

Hubungan antara kecepatan tetesan cairan infus dengan kejadian plebitis

Tabel 5

Hubungan ukuran kateter dengan kejadian plebitis di ruang rawat inap RSUD Ungaran, pada bulan Januari 2016

Kecepatan tetesan Kejadian phlebitis p-value Plebitis Tidak plebitis Total f % f % f % 0,520 Cepat Lambat Sangat lambat 21 13 7 44,7 46.4 63,6 26 15 4 53,3 53,6 36,4 47 28 11 100 100 100 Total 41 63,6 45 36,4 86 100

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahawa yang paling banyak terjadi plebitis yaitu pada pasien yang terpasang infus dengan dengan kecepatan tetesan cepat yaitu sebanyak 44,7%, dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara ukuran kateter dengan kejadian plebitis.

(6)

PEMBAHASAN

Gambaran Kejadian Plebitis di RSUD Ungaran

Tingginya angka kejadian plebitis di RSUD Ungaran bukan hanya disebabkan oleh faktor-faktor yang diteliti oleh peneliti seperti jenis cairan, jenis obat, tempat insersi, ukuran kateter dan kecepatan tetesan, akan tetapi faktor lain yang dianggap suatu hal yang kecil oleh perawat juga akan berpengaruh terhadap kejadian plebitis jika tidak diperhatikan dengan teliti seperti tehnik aseptik cuci tangan, memakai hanscond saat pemasangan infus, perawatan infus minimal 1 x 24 jam, kemudian penggantian kateter intravena maksimal 3 x 24 jam, hal ini juga sangat penting untuk diperhatikan untuk meminimalisir sekaligus mencegah tingginya angka kejadian plebitis di RSUD Ungaran. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh pusat penelitian Amerika (CDC) yang merekomendasikan penggantian dan pindah tempat insersi dilakukan 48-72 jam pada pasien dewasa (Pearson, 2002).

Hubungan Jenis Cairan Intravena dengan Kejadian Plebitis di RSUD Ungaran

Berdasarkan uji Chi Square (Continuity Correction) di peroleh p-value 0,004 oleh karena p-value = 0,004 < α (0,05), disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara jenis cairan intravena dengan kejadian plebitis di RSUD Ungaran. Dari hasil uji juga diperoleh nilai Odds Ratio sebesar 0,190, ini berarti bahwa dengan jenis cairan kombinasi kristaloid dan koloid berisiko 0,190 kali lebih besar mengalami plebitis dibanding dengan jenis cairan kristaloid dan lainnya dikontrol oleh variabel lain.

Menurut Pujasari dalam bukunya Darmawan (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya plebitis adalah jenis cairan, jenis obat, tempat insersi, ukuran kateter, fiksasi yang kurang

adekuat, Sedangkan faktor risiko terjadinya plebitis adalah umur, jenis kelamin, kecepatan tetesan cairan infus dan letak vena.

Pada penelitian ini, secara statistik di dapatkan hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara jenis cairan dengan kejadian plebitis, secara klinis juga ada hubungan antara jenis cairan dengan kejadian plebitis. Adanya hubungan tersebut disebabkan karena cairan dengan osmolalitas tinggi sangat rentan untuk terjadi plebitis karena dalam teori bahwa cairan ini dengan mudah dapat menyebabkan sel mengkerut dan cairan ini menarik air dari kompartemen intraseluler ke kompartemen ekstraseluler.

Hubungan Jenis Obat dengan Kejadian Plebitis di RSUD Ungaran

Berdasarkan uji Chi Square (Continuity Correction) di peroleh p-value 0,433 oleh karena p-value = 0,433 > α (0,05), disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis obat dengan kejadian plebitis di RSUD Ungaran. Bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh pattola dkk yangmengatakn bahwa jenis obat berpengaruh terhadap kejadian plebitis yaitu dari 30 responden yang mengalami plebitis sebanyak 56,7%, hal ini disebabkan karena ketidaksesuaian dalam percampuran serbuk obat tersebut dan kecepatan dalam memasukkan obat.

Pemberian obat melalui selang intravena memiliki resiko terjadinya plebitis dikarenakan pencampuran dan kecepatan yang tidak sesuai. Kecepatan pemberian obat melalui selang intravena merupakan salah satu penyebab plebitis sehimgga pemberian dalam kecepatan rendah dapat mengurangi iritasi pada dinding pembuluh darah. Kecepatan penyuntikan tergantung pada jenis obatnya, umunya tidak ada obat yang boleh disuntikkan secara intravena dengan kecepatan kurang dari 1 menit, kecuali jika pasiennya mengalami gagal jantung atau bila terdapat perdarahan hebat (Salerno,

(7)

1995 yang dikutip Lestari, 2010). Pemberian obat intravena langsung adalah pemberian obat yang dilakukan melalui vena, diantaranya vena mediana cubiti atau sefalika(lengan), serta bertujuan untuk memberikan obat dengan reaksi cepat dan langsung masuk pada pembuluh darah. Sebagian besar obat dapat disuntikkan dalam waktu satu hingga tiga menit dengan beberapa pengecualian penting seperti epineprin (adrenalin), efedrin dan aminofilin ( Matejski, 1991 yang dikutip oleh Lestari, 2010).

Hubungan Antara Tempat Insersi dengan Kejadian Plebitis di RSUD Ungaran

Berdasarkan uji Chi Square (Continuity Correction) di peroleh p-value 0,063 oleh karena p-value = 0,063 > α (0,05), disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tempat insersi dengan kejadian plebitis di RSUD Ungaran dengan Oods Ratio sebesar 0,244. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Asrin dkk bahwa vena fossa kubiti (distal) sebagai tempat gerakan fleksi sehingga memaksimalkan untuk terjadi pergerakan dan pergeseran kateter intravena.

Tempat pemasangan infus pada daerah yang sering digunakan untuk beraktivitas klien dapat meningkatkan kejadian plebitis, hal ini sesuai dengan yang dikatakan Hanskins dkk (2001) bahwa penempatan kateter pada daerah yang bergerak misalnya siku atau pergelangan tangan akan menyebabkan resiko terjadinya plebitis lebih banyak, dibandingkan dengan yang memiliki pergerakan minimal, karena ketika pasien bergerak dapat memicu pergerakan kanul atau kateter sehingga melukai dinding pembuluh darah, dan sebaiknya pada saat melakukan penusukan lebih baik dilakukan mulai dari vena yang lebih distal, apabila penusukan tidak berhasil maka bisa di teruskan ke vena yang medial atau proksimal.

Hubungan Antara Ukuran Kateter dengan Kejadian Plebitis di RSUD Ungaran

Berdasarkan uji Chi Square karena tabelnya adalah 2 × 2 tapi mempunyai nilai ekspektasi > 5 maka yang dibaca adalah (Fisher Exact) di peroleh p-value 0,043 (α = 0,05), disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara ukuran kateter dengan kejadian plebitis di RSUD Ungaran. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Endang Triyanto dkk bahwa, ukuran kateter yang paling berpengaruh terhadap kejadian plebitis adalah kateter ukuran sedang (nomor 18) dengan p-value = 0,01, disebabkan karena tehnik pemasangan yang kurang tepat, kurang memperhatikan tehnik aseptik dan kesterilan dalam penggunaan alat sehingga terdapat perbedaan dalam penelitian ini.

Pemilihan ukuran kateter, sebaiknya dipilih sesuai dengan anatomi vena pasien. Kanula terdiri dari ukuran 16-20 untuk pasien dewasa dengan variasi. Pada umumnya, pemilihan kanula dengan ukuran yang kecil seharusnya menjadi pilihan utama pada terapi pemasangan intravena untuk mencegah kerusakan pada vena intima dan memastikan darah mengalir di sekitar kanula dengan adekuat untuk menurunkan resiko kejadian plebitis. Ukuran kateter intravena merupakan bentuk kateter yang digunakan untuk menusuk vena yang bertujuan untuk memasukkan cairan atau obat kedalam tubuh pasien, sehingga lebih cepat untuk bereaksi atau berespon di dalam tubuh. Ukuran kateter yang biasa digunakan pada pasien dewasa adalah ukuran kateter 16-20. Apabila ukuran kateter tidak sesuai dengan ukuran vena pasien maka akan berisiko untuk terjadinya plebitis, sesuai dengan apa yang diungkapkan Pujasari dalam Darmawan (2008) Plebitis mekanik terjadi cedera pada tunik intima vena, plebitis mekanik berkenaan dengan pemilihan vena dan penempatan kanula atau kateter, ukuran kanula atau kateter yang terlalu besar dibandingkan dengan

(8)

ukuran vena, fiksasi kanula yang tidak adekuat, ambulasi berlebihan terhadap sistem dan pergerakan ekstremitas yang tidak terkontrol.

Hubungan Antara Kecepatan Tetesan Cairan dengan Kejadian Plebitis di RSUD Ungaran

Berdasarkan uji Chi Square karena tabelnya 3 × 2 maka yang dibaca adalah (Pearson Chi-Square) di peroleh p-value 0,520 oleh karena p-value = 0,520 α (0,05), disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan kecepatan tetesan cairan dengan kejadian plebitis di RSUD Ungaran. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Winda dkk (2013) bahwa kecepatan tetesan dalam pemberian terapi cairan infus berpengaruh terhadap kejadian plebitis hal ini dikarenakan kepekatan dari cairan yang digunakan dalam pemberian terapi cairan sehingga perlu diperhatikan juga tingkat osmolalitas dari cairan itu sendiri.

Kecepatan tetesan infus lebih tinggi disebabkan osmolaritas dan sifat

biokimiawinya akan menarik

kompartemen intraseivier ke ekstrasevier sehingga sel-sel mengkerut dan mengakibatkan kelebihan cairan dan homeostasis tubuh menurun. makin lambat infus larutan hipertonik diberikan makin rendah risiko plebitis. Namun ada paradigma berbeda untuk pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam. Durasi sebaiknya kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan pemberian tinggi (150 – 330 mL/jam).

Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti mengambil variabel yang mempengaruhi plebitis yaitu jenis cairan, jeni obat, tempat insersi, ukuran kateter dan kecepetan tetesan, tanpa memperhatikan faktor lain

yang berpengaruh terhadap kejadian plebitis seperti tehink aseptik, kesterilan alat saat pemasangan infus, dan perawatan infus yang tidak teratur.

Dalam penelitian ini juga memiliki keterbatasan terkait dengan instrumen penelitian yang digunakan, peneliti menggunakan pertanyaan-pertanyaan tertutup sehingga peneliti tidak bisa menggali data sebanyak-banyaknya.

KESIMPULAN

Faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya plebitis adalah jenis cairan dengan Oods Ratio sebesar 1,56 artinya bahwa pasien yang mendapatkan terapi jenis cairan kombinasi kristaloid dan koloid berisiko 1,56 kali lebih banyak terjadi plebitis dibandingkan dengan pasien yang mendapat terapi jenis cairan kristaloid, dan sisanya dikontrol oleh variabel lain dan ukuran kateter dengan Oods Ratio sebesar 0,244 artinya bahwa pasien yang terpasang infus dengan kateter ukuran besar (nomor 16) berisiko 0,244 kali lebih banyak dibandingkan dengan pasien yang terpasang infus dengan kateter ukuran sedang-kecil (nomor 18 dan 20), dan sisanya dikontrol oleh variabel lain.

SARAN

Perawat sebaiknya memperhatikan prosedur dan faktor lain yang sekiranya berkontribusi untuk meningkatkan kejadian plebitis, tehnik yang baik dalam pemasangan infus juga harus diperhatikan, jenis cairan yang diberikan harus sesuai dan memperhatikan ukuran kateter yang digunakan sesuai dengan besar vena dan usia pasien serta memperhatikan dengan detail faktor-faktor lain yang bisa berpengaruh terhadap kejadian plebitis, sehingga kejadian plebitis dapat di minimalisir.

Dari pihak rumah sakit sebaiknya membuat kebijakan tentang pembuatan SOP pemasangan infus yang lebih rinci, sehingga perawat lebih memperhatikan

(9)

prosedur yang akan digunakan dalam pemasangan infus.

Untuk penelitian selanjutnya untuk mengangkat tema yang sama diharapkan mempertimbangkan variabel-variabel lain yang juga mempengaruhi kejadian plebitis seperti tehnik aseptik, kesterilan dari alat yang digunakan kemudian dari frekuensi perawatan kateter infus dan lain ssebagainya dan disarankan juga melakukan penelitian dengan metode penelitian yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Asmadi (2008). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC

[2] Darmadi. (2008). Infeksi Nosokomial. Problematika Dan Pengendaliannya. Jakarta : Salemba Medika.

[3] Darmawan, Iyan. (2008). Penyebab Dan Cara Mengatasi Plebitis. Jakarta : Salemba Medika.

[4] Hening Pujasari (2002) Angka Kejadian Plebitis Dan Tingkat Keparahannya, Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol.6 No.1. Penerbit FIK UI. Jakarta Maret. 2002.

[5] Lestari, (2010) Pemberian Obat Secara Intravena Diakses Tanggal 20 Maret 2012.

[6] Potter Dan Perry (2005). Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses Dan Praktik. Jakarta : EGC

[7] Potter, P.A, Perry,A.G. (2010) Fundamental Of Nursing 7th edition. Salemba Medika, Jakarta.

[8] Pujasari, (2002), Angka Kejadian Plebitis Dan Tingkat Keparahanyya, RS Jakarta, Jurnal Keperawatan Indonesia, Jakarta : FKUI.

[9] Smeltzer Dkk, (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 1 Edisi 8 Jakarta : EGC.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh Capital Adequacy Ratio, Loan Loss Provision (Cadangan Kerugian Penurunan Nilai), dan. Loan to Deposit Ratio

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui pelaksanaan standar ketepatan identifikasi pasien rawat inap di Rumah Sakit Umum Sinar Husni Medan, dengan hasil

Ikatan Fisioterapis Indonesia menjamin pelayanan yang diberikan secara jujur, komplit berdasarkan pada penelitian dan informasi aktual dalam rangka ikut meningkatkan

D (2002 : 40) kamus Data adalah sebuah daftar yang terorganisasi dari elemen data yang berhubungan dengan sistem, sehingga pemakai dan analisis sistem akan memiliki

Berdasarkan hal tersebut maka tujuan dari metode penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa (khususnya kemampuan menulis dan

Aktivitas siswa dalam pembelajaran IPS dengan penerapan strategi pembelajaran kreatif-produktif melalui media audio visual dapat ditingkatkan hasil observasi aktivitas

Pada TIP subjek berusia 36-55 tahun dan lesi lebih dari satu lobus memiliki risiko gangguan kognitif lebih besar, sedangkan pada kelompok TM subjek dengan riwayat w hole-brain

Hastuti &amp; Widyaningrum (2014) membuktikan bahwa ekstrak etil asetat daun seligi mempunyai daya analgetik pada mencit yang diinduksi asam asetat, menurunkan