• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. INDUKSI DAN PERBANYAKAN POPULASI KALUS, REGENERASI TANAMAN SERTA UJI RESPON KALUS TERHADAP KONSENTRASI PEG DAN DOSIS IRADIASI SINAR GAMMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "III. INDUKSI DAN PERBANYAKAN POPULASI KALUS, REGENERASI TANAMAN SERTA UJI RESPON KALUS TERHADAP KONSENTRASI PEG DAN DOSIS IRADIASI SINAR GAMMA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

III. INDUKSI DAN PERBANYAKAN POPULASI KALUS,

REGENERASI TANAMAN SERTA UJI RESPON KALUS

TERHADAP KONSENTRASI PEG DAN DOSIS IRADIASI

SINAR GAMMA

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan komposisi media kultur in vitro yang terbaik dalam menginduksi dan memperbanyak populasi kalus embriogenik menggunakan BA dan 2,4-D dalam media dasar MS serta untuk mendapatkan media regenerasi yang terbaik dalam menghasilkan regeneran, Selain itu, untuk mempelajari respon kalus embriogenik dalam media selektif PEG serta dosis iradiasi sinar gamma dalam menekan pertumbuhan kalus. Bahan tanaman yang digunakan adalah klon Tapak Tuan hasil perbanyakan secara in vitro. Kalus diinduksi dari eksplan daun menggunakan media dasar MS dan berbagai komposisi BA+2,4-D. Bahan yang diradiasi adalah kalus embriogenik umur 8-12 bulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media MS+BA 0.1 mg l -1 +2,4-D 1.0 mg l -1 merupakan media terbaik untuk menginduksi kalus, sedangkan media MS+BA 0.1 mg l -1 +2,4-D 0.5 mg l -1 merupakan media yang baik untuk perbanyakan populasi kalus. Media MS+BA 0.5 mg l -1 +Prolin 100 mg l -1 merupakan media terbaik untuk regenerasi kalus menjadi tunas. Semakin tinggi konsentrasi PEG dan dosis iradiasi sinar gamma, semakin meningkatkan persentase kematian kalus serta menekan pertumbuhan kalus. Konsentrasi PEG 20 % menyebabkan kematian kalus 75.76 %, dan kalus bertunas 25.0 %. Konsentrasi PEG 20 % dapat dijadikan sebagai konsentrasi subletal untuk seleksi in vitro pada percobaan berikutnya. Dosis iradiasi 20 Gy dapat mematikan kalus kurang lebih 19.72 % pada 90 hari setelah diradiasi, dan merupakan batas toleransi persentase kematian kalus yang dapat ditolerir. Dengan demikian dosis 20 Gy merupakan batas dosis maksimal yang dapat dikombinasikan dengan seleksi in vitro menggunakan PEG pada tanaman nilam. Kata kunci : Induksi kalus, 2,4-D, BA, Polyethelene glycol (PEG) dan iradiasi sinar gamma

INDUCTION AND PROLIFERATION OF CALLI, PLANT REGENERATION AND RESPONSE OF CALLI TO PEG AND GAMMA RAY IRRADIATION

Abstract The objective of this research is to obtain the best medium composition for the induction and proliferation of embriogenic callus using MS based media containing of BA and 2,4-D and to obtain the best regeneration medium for producing regenerant as well as. To study response of embryogenic calli to selective media containing of PEG and response to gamma irradiation in growth calli inhibition. The plant materials used were in vitro culture of Tapak Tuan clones. Calli were induced from leaves as explants on MS based medium containing of BA and 2,4-D. The 8-12 months old calli were irradiated. Result showed that the best medium for calli induction was MS+0.1 mg l -1 BA + 1.0 mg l -1 2,4-D while the best medium for calli proliferation was MS+0.1 mg l -1 BA + 0.5 mg l -1 2,4-D and the medium for shoot regeneration was MS+0.5 mg l -1 BA+ 100 mg l -1 Proline. The higher PEG level and irradiation dosage caused the higher percentage of calli mortality and growth inhibition. The 20 % PEG caused 75,8 % of calli mortality and 25 % shoots regeneration. Therefore the 20 % PEG could be chosen sub lethal dosage for in vitro selection at the following level of 20 Gy gamma irradiation caused 19.7 % calli mortality 90 days after irradiation so that it was concluded that the 20 Gy as the maximal

(2)

dosage that may be combined with PEG for in vitro selection on patchouly. Key words : Calli induction, BA, 2,4-D, polyetilene glycol (PEG), and gamma irradiation.

Pendahuluan

Penggunaan kultur jaringan berkembang dengan pesat sejalan dengan semakin besarnya manfaat dari penggunaan kultur jaringan tersebut . Pada mulanya kultur jaringan digunakan untuk perbanyakan tanaman yaitu untuk mendapatkan bibit tanaman dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang relatif singkat, serta mempunyai sifat morfologi dan fisiologi yang sama dengan induknya. Perkembangan selanjutnya kultur jaringan digunakan untuk keperluan program pemuliaan tanaman dalam upaya memperoleh keragaman genetik atau karakter unggul secara efesien tanpa melalui proses persilangan yang membutuhkan waktu yang relatif lama. Perbanyakan secara vegetatif dalam kultur in vitro dimungkinkan untuk memperoleh individu baru yang berbeda dengan tanaman induknya. Perbedaan ini mengindikasikan terjadinya keragaman somaklonal. Keragaman somaklonal dapat disebabkan oleh penggunaan zat pengatur tumbuh, yaitu akusin, serta pengaruh dari lamanya kalus disubkultur (Larkin dan Scowcroft 1981). Menurut Li dan Gray (2005) faktor yang mempengaruhi terjadinya keragaman somaklonal meliputi faktor fisiogi, genetik dan biokimia. Efektivitas penggunaan teknik kultur jaringan dalam melakukan eksploitasi keragaman somaklonal dan seleksi in vitro tergantung dari tersedianya metode baku yang efesien untuk menginduksi terbentuknya kalus serta dapat meregenerasikannya menjadi tanaman lengkap (planlet) (Mythli et al. 1997). Beberapa faktor penting yang mempengaruhi induksi kalus dan regenerasi tanaman yaitu pemilihan jenis eksplan, genotipe dan suplemen media yang digunakan, mencakup tipe dan kuantitas zat pengatur tumbuh, dalam hal ini auksin dan sitokinin (Denchev dan Conger 1995). Komposisi auksin dan sitokinin dalam media kultur in vitro memainkan peranan penting dalam induksi dan regenerasi kalus menjadi tunas (Zheng et al. 1999). Interaksi antara sitokinin dan auksin merupakan hal yang krusial dalam mengontrol proses pertumbuhan dan perkembangan dalam kultur in vitro (Gaba 2005). Walaupun auksin berperan utama dalam pembelahan sel, namun pada beberapa tanaman sitokinin juga sangat dibutuhkan untuk proliferasi kalus (Wattimena et al. 1992). Nisbah antara sitokinin dan auksin yang akan menentukan apakah kalus akan beregenerasi

27 membentuk tunas, akar atau tunas dan akar (Gaba 2005). Penggunaan auksin seperti 2,4-D yang dikombinasikan dengan sitokinin seperti BA dapat menginduksi terbentuknya kalus pada tanaman nilam (Mariska et al. 1997). Penggunaan auksin seperti 2,4-D memainkan peranan yang sangat penting dalam menginduksi dan memelihara kelangsungan pembelahan sel (Dudits et al. 1995; Mahalakshmi at al. 2003) dan mengarahkan perkembangan sel membentuk kalus yang embriogenik (Raghavan 2000, Chugh and Khurana 2002), namun demikian 2,4-D juga dapat menyebabkan ketidak stabilan genetik dari materi kultur (Ma Guohua 1998) sehingga dapat menyebabkan terjadinya keragaman somaklonal (Kuksova 1997). Menurut Jayasankar (2005), penggunaan 2,4-D atau 2,4,5 T dapat menginduksi terbentuknya keragaman somaklonal dan keragaman tersebut dapat diturunkan pada generasi berikutnya. Keberhasilan dalam menginduksi dan memperbanyak kalus embriogenik harus pula diikuti oleh keberhasilan melakukan regenerasi kalus menjadi planlet. Regenerasi tunas dari eksplan kalus merupakan proses yang kompleks, karena dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya faktor genotipe, tipe eksplan dan keseimbangan zat pengatur tumbuh, dalam hal ini

(3)

auksin dan sitokinin serta kondisi fisiologi kalus (Gaba 2005). Mengacu dari penelitian sebelumnya, kalus nilam dapat beregenerasi menjadi tunas menggunakan media MS+BA 0.5 mg l -1 dan dilakukan pengurangan BA 0.1 mg l -1 setiap kali subkultur hingga terbentuk tunas (Mariska et al. 1997), namun sejalan dengan lamanya tunas disubkultur sebagai materi penelitian ini, kalus nampaknya menjadi sulit beregenerasi, sehingga perlu mencari komposisi media regenerasi yang tepat untuk mendapatkan regeneran. Ketersediaan kalus dalam jumlah yang banyak dan kualitas yang baik (kalus embriogenik) serta kalus tersebut dapat diregenerasikan menjadi planlet, memungkinkan penggunaan kalus sebagai material untuk iradiasi sinar gamma dapat dilakukan. Perlakuan iradiasi sinar gamma pada kalus yang telah mengalami beberapa subkultur dimaksudkan untuk meningkatkan variasi somaklonal sebagai material untuk seleksi in vitro menggunakan agen penyeleksi polyethylena glicol (PEG) dalam upaya mendapatkan tanaman nilam yang toleran terhadap cekaman kekeringan.

28 Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan komposisi media kultur yang terbaik dalam menginduksi dan memperbanyak populasi kalus embriogenik menggunakan komposisi BA dan 2,4-D dalam media dasar MS serta untuk mendapatkan media regenerasi yang terbaik dalam menghasilkan regeneran (planlet). Selain itu, untuk mempelajari respon kalus embriogenik dalam media selektif PEG dan pengaruhnya terhadap iradiasi sinar gamma dalam menekan pertumbuhan kalus Bahan dan Metode Bahan tanaman yang digunakan adalah klon nilam Tapak Tuan hasil perbanyakan secara in vitro dan merupakan salah satu klon harapan yang dikoleksi oleh Balitbiogen. Induksi dan perbanyakan populasi kalus embriogenik sebagai bahan untuk seleksi in vitro Kalus dikembangkan dari eksplan daun tunas hasil perbanyakan secara in vitro. Daun di iris-iris dengan ukuran kurang lebih 0,6 x 0,6 mm, selanjutnya di tanam dalam media dasar MS ditambahkan gula sukrosa 30 g l -1 dan agar 8 g l -1 dan diperkaya dengan BA dan 2,4-D dengan konsentrasi berdasarkan perlakuan. Setiap botol kultur diisi sebanyak 5 eksplan. Pemindahan eksplan ini dilakukan setelah sebelumnya media tersebut diautoklaf pada tekanan 20 psi selama 15 – 25 menit. Botol kultur yang sudah ditanami disimpan dalam ruang kultur dengan temperatur ruang yang konstan 26 o C. Penyinaran ruang kultur menggunakan lampu TL 100 wat dengan intensitas penyinaran selama 16 jam per hari. Untuk mengatur gelap dan terang, digunakan timer di ruang kultur. Kalus yang terbentuk dipisahkan dari bagian daun yang tidak terbentuk, juga dari kalus yang terbentuk dipilih kalus yang embriogenik. Kalus yang embriogenik selanjutnya di subkultur dalam media yang sama dengan penambahan BA dan 2,4-D dengan konsentrasi berdasarkan perlakuan. Perbanyakan populasi kalus embriogenik dilakukan terus menerus untuk memenuhi kebutuhan iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro pada percobaan berikutnya.

Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap, terdiri atas lima perlakuan, diulang 10 kali, sehingga terdapat 50 unit percobaan (50 botol kultur), setiap 1 botol kultur terdiri atas 5 eksplan daun. Perlakuan tersebut adalah : MS+2,4-D 0.5 mg.l -1 ; MS +BA 0,1 mg l -1 + 2,4-D 0.5 mg l -1 ; MS+BA 0.1 mg.l -1 + 2,4-D 1.0 mg l -1 ; MS+BA 0.2 mg l -1 + 2,4-D 0.5 mg l -1 ; MS+BA 0.2 mg l - 1 +2,4-D 1.0 mg l -1 . Peubah yang diamati meliputi persentase eksplan yang berkalus, persentase luas area eksplan berkalus, diameter kalus dan bobot segar kalus. Media yang memberikan respon yang terbaik terhadap pertumbuhan kalus selanjutnya digunakan untuk media induksi kalus. Kegiatan subkultur dilakukan sebanyak enam kali dengan empat minggu sekali. Perbanyakan kalus

(4)

dengan cara subkultur dapat menyebabkan ketidak stabilan genetik sehingga menyebabkan terjadinya keragaman somaklonal. Regenerasi kalus menjadi tunas (planlet) Kalus embriogenik yang dihasilkan dari percobaan sebelumnya, sebagian diregenerasi dalam media dasar MS diperkaya auksin dan atau sitokinin dengan konsentrasi berdasarkan perlakuan, beberapa media tersebut juga diperkaya dengan prolin 100 mg l -1 . Komponen yang diamati meliputi : jumlah kalus beregenerasi, rata-rata hari yang dibutuhkan untuk bertunas, jumlah tunas dan tinggi tunas. Tunas-tunas yang terbentuk selanjutnya diaklimatisasi dengan menggunakan media campuran tanah, kompos, dan pasir dengan perbandingan 1:1:1. Media selanjutnya dimasukkan dalam polybag berukuran 20 cm x 30 cm dan dilakukan pemeliharaan di rumah kaca, meliputi penyungkupan, penyiraman dan pengendalian hama dan penyakit. Penyungkupan dilakukan hingga umur tujuh hari setelah tanam, menggunakan gelas air mineral. Penyiraman dilakukan setiap hari dengan volume 30 ml per tanaman. Pengendalian hama dilakukan dengan menggunakan Decis 1 g l -1 . Respon kalus embriogenik terhadap media yang mengandung PEG Kalus embriogenik yang dihasilkan dari hasil perbanyakan pada percobaan sebelumnya dipindahkan ke dalam media terbaik dari percobaan sebelumnya 30 dengan penambahan PEG (BM 6000) konsentrasi 0; 5; 10; 15, 20 dan 25 %. Penambahan PEG dalam media, menyebabkan media akan menjadi cair (medium cair), sehingga untuk mencegah agar kalus tidak tenggelam dalam media tersebut, digunakan kertas saring. Kalus yang telah dipindahkan ke dalam medium, disimpan dalam ruang kultur (ruang inkubasi) dengan suhu ruang 26 o C. Setelah kultur berumur 4 minggu kalus embriogenik yang tahan selanjutnya diproliferasi kembali dalam media yang sama yakni media dasar MS, sukrosa 30 g.l -1 dan phytagel 2.5 g.l -1 yang diperkaya dengan BA 0.1 mg l -1. dan 2,4-D 0.5 mg l -1. Setiap empat minggu sekali dilakukan pemindahan eksplan pada media yang baru (segar) atau disubkulturkan dengan menggunakan media berdasarkan perlakuan, subkultur dilakukan sebanyak tiga kali. Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak lengkap, terdiri atas lima perlakuan, diulang sebanyak 10 kali, sehingga terdapat 50 unit percobaan. Setiap unit percobaan menggunakan lima kalus (satu botol), dengan demikian pada percobaan ini menggunakan 50 botol kultur. Perlakuan yang dicobakan adalah konsentrasi PEG dalam media MS+ BA 0.1 mg l -1 + 2,4-D 0.5 mg l -1 yaitu : tanpa PEG (kontrol), PEG 5 %, PEG 10 %, PEG 15 %, PEG 15 %, PEG 20 % dan PEG 25 %. Pengamatan dilakukan setiap kali subkultur, yaitu kondisi dan warna kalus, persentase eksplan mati, persentase kalus yang hidup dan diameter kalus. Dari respon perkembangan kalus embriogenik terhadap media dengan penambahan PEG tersebut dapat ditentukan besarnya konsentrasi PEG subletal . Konsentrasi PEG subletal (LD>95 %) adalah konsentrasi PEG yang dapat menghambat pertumbuhan normal hingga 95 % (Nabors dan Dykers 1995). Kalus yang mampu bertahan terhadap tekanan seleksi PEG, diregenerasikan menjadi tanaman lengkap (planlet) menggunakan media regenerasi MS+BA 0.5 mg l -1 + Prolin 100 mg l -1 . Pengamatan yang dilakukan meliputi persentase kalus bertunas, jumlah tunas dan jumlah tunas per eksplan kalus. Respon kalus embriogenik terhadap iradiasi sinar gamma Iradiasi sinar gamma dilakukan dengan prosedur : Populasi kalus embriogenik dipindahkan pada media MS + 2,4-D 0.5 mg.l -1 . Setiap botol kultur diisi sebanyak 24-25 eksplan kalus yang ukurannya kurang lebih 2 mm x 2 mm

31 dan dibiarkan selama dua hari di ruang kultur. Eksplan tersebut selanjutnya diradiasi sinar gamma dosis : 0 (kontrol), 5, 10, 15, 20 dan 25 Gy menggunakan bahan aktif Co 60

(5)

pada iradiator Gamma Chamber 4000 A. Laju dosis 204.4437 krad/jam (pada April 2003). Setelah diradiasi selanjutnya dipindahkan pada media yang baru dengan komposisi media yang sama sebelumnya. Setelah kalus diradiasi sinar gamma, kalus tersebut dipindahkan pada media MS + 2,4-D 1.0 mg l -1 , setiap botol kultur diisi sebanyak 10-12 kalus. Waktu pemindahan tidak melebihi 24 jam. Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap, terdiri atas enam perlakuan yaitu lima perlakuan iradiasi sinar gamma dan tanpa iradiasi (kontrol), masing-masing diulang sebanyak lima kali, sehingga terdapat 30 unit percobaan. Setiap unit percobaan menggunakan satu botol kultur (satu botol terdiri dari 10-12 kalus embriogenik). Dengan demikian terdapat 30 botol kultur (352 kalus embriogenik). Peubah yang diamati meliputi keadaan kalus setelah empat minggu pada media sub kultur pertama yaitu kondisi dan warna kalus serta persentase kalus yang mati. Pengamatan dilakukan pada akhir subkultur-2 dan sub kultur-3 (akhir seleksi). Hasil dan Pembahasan Induksi dan perbanyakan populasi kalus Induksi dan perbanyakan populasi kalus merupakan pekerjaan utama dalam mendukung keberhasilan percobaan selanjutnya. Pembentukan kalus dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya bahan eksplan, umur, dan zat pengatur tumbuh. Komposisi dan keseimbangan konsentrasi ZPT dalam hal ini auksin dan sitokinin, berperan dalam mengarahkan eksplan membentuk kalus. Ketidak seimbangan komposisi dan konsentrasi auksin dan sitokinin, mengakibatkan eksplan tidak dapat membentuk kalus, akan tetapi eksplan tersebut membentuk tunas adventif. Pada Tabel 1 menunjukkan bahwa komposisi BA 0.1mg l -1 + 2,4-D 1.0 mg.l -1 dalam media MS menghasilkan persentase eksplan berkalus 78.2 % dan nyata lebih tinggi dibandingkan dengan komposisi lainnya kecuali komposisi BA 0.2 mg l -1 + 2,4-D 1.0 mg l -1 dengan persentase eksplan berkalus 70.59 %. Persentase ekplan berkalus pada media MS+BA 0.1 mg l -1 + 2,4-D 0.5 mg l -1 + dan MS+BA 0.2 mg l -1 2,4-D 0.5 mg l -1 masing-masing 52.83 % dan 55.77 %. Media MS yang diberi 2,4-D 0,5 mg l -1 tanpa pemberian BA memberikan pengaruh buruk terhadap jumlah eksplan berkalus dengan persentase ekplan berkalus 37.7 % Media MS+ BA 0.1 mg l -1 dan 2.4-D 1.0 mg.l -1 juga memberikan pengaruh terbaik dalam membentuk luas permukaan eksplan berkalus dengan persentase luas permukaan berkalus 71.8 %, namun tidak berbeda nyata dengan media MS + BA 0.2 mg l -1 + 2,4-D 0.1 mg l -1 dengan luas permukaan eksplan berkalus 55.69 %. Media MS+ BA 0.1 mg l -1 + 2,4- D 0.5 mg l -1 dan MS+ BA 0.2 mg l -1 + 2,4- D 0.5 mg l -1 membentuk luas permukaan eksplan berkalus masing-masing 46.60 % dan 44.63 %, nyata lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan MS+BA 0.2 mg l -1 + 2,4-D 1.0 mg l -1 . Media MS yang hanya diberi 2,4-D 0.5 mg l -1 (tanpa BA) menginduksi luas permukaan eksplan berkalus terendah yaitu 33.70 %. Kalus merupakan kumpulan sel kompeten yang terdediferensiasi. Kalus terbentuk akibat adanya pelukaan atau irisan pada permukaan eksplan, kelompok sel tersebut terpacu pertumbuhannya karena tersedianya hormon endogen maupun eksogen, dalam hal ini BA dan 2,4-D dalam jumlah yang seimbang. Kalus yang terbentuk tersebut pertumbuhannya menyebar ke berbagai permukaan dan menutupi bagian permukaan eksplan, dan akhirnya membentuk gumpalan sel-sel yang terdediferensiasi. Kalus pada umumnya terbentuk pada umur 3 minggu setelah eksplan dikulturkan. Laju pertumbuhan kalus dipengaruhi oleh keseimbangan antara BA dan 2,4-D dalam media MS. Ketersediaan BA 0.1 mg l -1 + 2,4-D 1.0 mg l -1 dalam media dasar MS dapat memberikan keseimbangan hormon endogen dan eksogen dalam sel tanaman, sehingga sel-sel akan terpacu untuk membelah.

(6)

Aktifnya pembelahan sel menyebabkan kalus berkembang dengan pesat. Hasil penelitian Bhau dan Wakhlu (2001), juga melaporkan hal yang sama dengan hasil penelitian ini, yaitu dengan penambahan BA 0.1 mg l -1 dan 2,4-D 1.0 mg l -1 ke dalam media MS dapat menginduksi kalus pada 3 varietas Murbei Ichinose, Kokuso-27 dan Chinese white berturut-turt 85 %, 60 % dan 80 %, sedangkan pada konsentrasi BA yang lebih tinggi dan tanpa pemberian BA dalam media MS menyebabkan penurunan persentase eksplan berkalus.

Auksin dan sitokinin yang cukup dan seimbang dibutuhkan dalam kultur in vitro karena auksin seperti 2,4-D dapat meningkatkan daya aktifitas dalam memacu pembelahan sel. Pembelahan sel terus menerus tanpa diikuti pembesaran dan pemanjangan sel akan menyebabkan terbentuknya kalus (Krikorian 2004). Pemberian sitokinin konsentrasi rendah dalam media MS yang mengandung auksin dapat membantu inisiasi kalus (Wattimena 1988), namun jika digunakan dalam konsentrasi yang lebih tinggi akan terjadi pemanjangan dan pembesaran sel yang lebih mengarahkan pada terbentuknya tunas (Gaba 2005). Penelitian organogenesis tidak langsung (melalui kalus) menggunakan kombinasi BA dan 2,4-D telah banyak diteliti sebelumnya, diantaranya hasil penelitian Denchev dan Conger (1995) pada tanaman “ Switchgrass ” yang menunjukkan bahwa penggunaan komposisi media MS dengan penambahan BA dan 2,4-D dapat meningkatkan persentase kalus embriogenik, sedangkan media yang tidak diberi BA pembentukan kalus nonembriogenik meningkat atau menurunkan kalus embriogenik. Hasil penelitian pada tanaman Hypericum brasilence menggunakan eksplan ruas batang, penambahan 2,4-D 1.0 mg l -1 dalam media MS menginduksi eksplan berkalus sebesar 62.2 % dan pengaruhnya berbeda nyata dengan perlakuan 2,4-D 0,5 mg l -1 yang hanya menginduksi kalus 35.5 % (Cardoso dan de Oliveira 1996). Gray (2005) dalam laporannya menyebutkan bahwa penambahan 2,4-D dalam media MS yang terlalu rendah tidak akan memberikan respon yang baik terhadap induksi kalus, sedangkan konsentrasi yang terlalu tinggi, 2,4-D bersifat toksik sehingga mengurangi kemampuan eksplan membentuk kalus. Mahalakshmi et al. (2003) juga melaporkan hal sama, yaitu penggunaan BA tanpa pemberian auksin (2,4-D) dalam media MS menyebabkan eksplan tidak berkalus, sedangkan pemberian BA + 2,4-D masing-masing 10 µM, dapat mempercepat dan meningkatkan kemampuan eksplan membentuk kalus. Beberapa peneliti lain juga menemukan hasil yang sama, bahwa penggunaan 2,4-D tanpa BA dalam media dasar MS berpengaruh kurang baik terhadap kemampuan eksplan berkalus pada tanaman murbei (Kathiravan et al. 1997) dan Morus indica (Sahoo et al. 1997). Kalus yang terbentuk sebagaimana yang dilaporkan pada Tabel 1, disubkultur yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan kalus. Komponen pertumbuhan kalus meliputi diameter dan bobot kalus, diamati pada umur satu bulan (subkultur-1) dan umur dua bulan (subkultur-2) (Tabel 2). Kalus yang disubkultur pada media MS + BA 0.1 mg l -1 + 2,4-D 0.5 mg l -1 nyata lebih cepat petumbuhaannya dibandingkan dengan media MS + BA 0.2 + 2.4- D 1.0 mg l -1 dan MS + BA 0.2 mg l -1 + 2,4-D 0.5 mg l -1 dengan diameter dan bobot segar kalus pada subkultur-2, masing-masing 2.43 cm dan 2.96 cm, sedangkan pada media MS + BA 0.2 mg l -1 + 2,4-D 1.0 mg l -1 dan MS + BA 0.2 mg l -1 + 2,4-D 0.5 mg l -1 diameter kalus masing-masing 1.64 dan 1.98 cm, dan bobot segar kalus masing- masing 2.03 g dan 2.21 g. Diameter kalus dan bobot segar kalus yang disubkultur dalam media MS+ BA 0.1 mg l -1 +2,4-D 1.0 mg l -1 walaupun pengaruhnya tidak berbeda nyata dengan media MS+BA 0.1 mg l -1 + 2,4-D 0.5 mg l -1 , namun

(7)

kualitas kalus berdasarkan penampakan struktur dan warnanya berbeda. Pertumbuhan kalus yang baik dicirikan dari penampakan kalus yang berwarna bening/keputihan dan mempunyai struktur yang remah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.a1 dan 3.a2. Kalus tersebut banyak mengandung air sehingga mempunyai bobot segar yang lebih tinggi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa proliferasi kalus pada tanaman nilam menghendaki 2,4-D dan BA dalam konsentrasi rendah atau tanpa pemberian BA. Penggunaan BA dalam konsentrasi yang lebih tinggi (BA 0.2 mg l -1 ) selain mengurangi diamater dan bobot segar kalus, juga menurunkan kualitas kalus yang dapat dilihat dari perubahan struktur dan warna kalus, yaitu cenderung menjadi lebih kompak dan berwarna putih kekuningan. Menurut Wiedenfeld (1997), struktur kalus yang kompak dan terjadi perubahan warna kekuningan atau kehijaun, mengindikasikan terjadinya diferensiasi sel. Hamama et al. (2001) melaporkan bahwa penggunaan media MS+2,4-D (0.5–1.0 mg l -1 ) + BA 0.1 mg l -1 pada tanaman jojoba, menghasilkan kalus yang lebih berkualitas dibandingkan dengan pelakuan MS+ 2,4-D 2.0 mg l -1 + 2iP dengan terbentuknya kalus yang lebih remah. Kalus embriogenik dengan berstruktur remah dan berwarnah bening yang dihasilkan dari perbanyakan kalus pada umumnya banyak mengandung air. Menurut Van Harten (1998), material yang banyak mengandung air akan

(8)
(9)
(10)

0.5 mg l -1 + Pro.200 mg l -1 dalam media MS menghasilkan jumlah tunas yang lebih sedikit. Penggunaan media MS+BA 0.1 mg l -1 +Z 0.1; MS+BA 0.5 mg l -1 +Z 0.1 mg l -1 masing-masing menghasilkan 1 tunas, serta tinggi tunas 1.6 dan 1.9 cm, namun waktu munculnya tunas lebih cepat. Penggunaan media MS+BA 0.5 mg l -1 + TDZ 0.1 mg l -1 . Selain menghasilkan jumlah tunas yang sedikit juga memerlukan waktu yang lebih lama untuk tumbuhnya tunas. Berdasarkan jumlah kalus beregenerasi dan jumlah tunas yang dihasilkan sehingga komposisi media MS + BA 0.5 mg l -1 + Pro.100 mg l -1 ditetapkan sebagai media regenerasi terbaik dan media tersebut digunakan pada percobaan berikutnya. Pada awal tahap regenerasi, sebagian kalus mengalami perubahan warna yakni dari warna putih kekuningan berubah menjadi kuning kehijauan dan warna hijau. Sebagian kalus lainnya tidak menampakkan adanya perubahan menjadi hijau, akan tetapi kalus menjadi warna kuning dan kuning kecoklatan dalam media MS+BA 0.1 mg l -1 + Z 0.5 mg l -1 ; MS+BA 0.5 mg l -1 +K 0.5 mg l -1 ; MS+BA 0.5 mg l -1 + 2iP 0.5 mg l -1 . Perubahan warna kalus menjadi hijau tersebut mengindikasikan terjadi perubahan fase kalus yaitu fase meristenoid. Menurut Schwarz et al. (2005), fase meristenoid merupakan suatu fase dimana terjadi suatu proses determinasi, yaitu perubahan dari induksi sel ke diferensiasi sel. Dengan adanya nutrisi dalam jumlah yang cukup dan seimbang serta tersedianya sitokinin dalam konsentrasi yang optimun maka tunas akan terbentuk, sebaliknya ketidak seimbangan auksin dan sitokinin akan menekan pertumbuhan tunas dan merangsang pertumbuhan akar (Wattimena 1988). Akar yang terbentuk dari kalus tanpa tunas tersebut lambat laun menjadi coklat atau kehitaman dan akhirnya mati, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3. b4. Penambahan prolin 100 – 200 mg l -1 dalam media MS yang sebelumnya telah mengandung sitokinin seperti BA dapat merangsang terbentuknya tunas. Prolin merupakan asam amino yang dapat mensuplai N dalam bentuk NH 2 + . Di dalam media kultur jaringan, perbandingan N dalam bentuk NO3 - dan NH4 + berpengaruh terhadap diferensiasi kalus. Unsur N yang tersedia dalam media MS selama proses regenerasi digunakan untuk proses pemanjangan dan pembesaran sel yang sangat intensif. Penambahan prolin 100 mg l -1 dalam media regenerasi yang mengandung BA dalam jumlah yang cukup dan seimbang menyebabkan

(11)
(12)
(13)

Sejalan dengan nilai indeks kalus, kalus yang mati dalam media seleksi yang mengandung PEG dapat diamati dari perubahan warna kalus dan ukuran (diameter kalus). Semakin tinggi konsentrasi PEG yang dalam media MS, semakin meningkatkan persentase kalus yang mati (menurunkan persentase kalus hidup) dan semakin menurunkan ukuran diameter kalus (Tabel 5). Kalus dalam media MS+ PEG 25 % dapat menyebabkan kematian kalus 100 %, sedangkan kalus dalam media MS+PEG 20 % pada akhir seleksi mampu bertahan hidup 24.24 % yang berarti persentase kematian kalus mencapai 75.76 %. Pertumbuhan kalus dalam media seleksi menggunakan PEG hanya diamati melalui diameter kalus, sedangkan untuk pengamatan bobot segar kalus tidak diamati dengan pertimbangan akan terjadi kontaminasi saat dilakukan pengamatan dan hal tersebut menyulitkan dalam pengamatan komponen lainnya, seperti pengamatan regenerasi. Peningkatan konsentrasi PEG menurunkan pertumbuhan kalus (diameter) dan jumlah kalus yang mati. Kalus mengalami hambatan pertumbuhan dalam media MS+PEG 20% dan MS+PEG 25%, hal tersebut dapat dilihat dari uji statistika yang memperlihatkan pengaruh yang nyata dibandingkan dengan kontrol dan konsentrasi PEG yang lebih rendah. Ketidak mampuan kalus dapat bertahan pada konsentrasi PEG 25 % disebabkan oleh rendahnya potensial air dalam media selektif sehingga sel-sel (kalus) tidak mampu mengabsorsi air dalam media dan hal tersebut dapat menyebabkan kematian kalus. Pada Gambar 4 menunjukkan pertumbuhan kalus dalam media selektif PEG. Kemampuan kalus dapat bertahan hidup pada media selektif PEG tergantung dari konsentrasi PEG, jenis tanaman (genotipe) dan lamanya kalus mengalami tekanan seleksi dalam media selektif (Biswas 2002). Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa beberapa kalus nilam mampu bertahan pada PEG 20 %, sedangkan pada kalus tanaman padi dilaporkan dapat bertahan hidup pada PEG 25 %, tetapi pada subkultur yang lebih singkat (Lestari 2005). Demikian pula pada kalus embriosomatik kedelai dilaporkan mampu bertahan hidup pada konsentrasi PEG subletal 20% (Widoretno 2003), sedangkan kalus embriosomatik kacang tanah dilaporkan mampu bertahan hidup pada konsentrasi PEG subletal 15 % (Hermon 2007).

(14)
(15)
(16)
(17)
(18)

Kesimpulan

1. Media MS+BA 0.1 mg l -1 +2,4-D 1.0 mg l -1 merupakan media terbaik untuk menginduksi kalus dengan persentase eskplan daun berkalus lebih tinggi dan eksplan daun yang berkalus lebih luas. Media MS+BA 0.1 mg l -1 +2,4-D 0.5 mg l -1 merupakan media yang baik untuk perbanyakan populasi kalus. 2. Media MS+BA 0.5 mg l -1 +Prolin 100 mg l -1 merupakan komposisi media terbaik dalam meregenerasikan kalus menjadi tunas serta jumlah tunas yang lebih banyak. 3. Semakin tinggi konsentrasi PEG dalam media MS sebagai media selektif, semakin menurunkan kemampuan kalus bertahan hidup dan menurunkan persentase kalus bertunas serta jumlah tunas yang dihasilkan lebih sedikit. Media seleksi PEG 25 % dapat menyebabkan persentase kematian kalus 100 %, sedangkan media seleksi PEG 20 % persentase kematian kalus 75.76 % dan persentase kalus bertunas 25.0%. Berdasarkan persentase kematian kalus tersebut, konsentrasi PEG 20 % dapat dijadikan sebagai konsentrasi subletal. 4. Semakin tinggi dosis iradiasi sinar gamma, semakin menekan kemampuan kalus bertahan hidup. Dosis iradiasi 20 Gy dapat mematikan kalus kurang dari 20 % pada 90 hari setelah iradiasi, sehingga merupakan batas toleransi kematian kalus yang dapat ditolerir untuk seleksi in vitro pada percobaan selanjutnya.

Referensi

Dokumen terkait

mahasiswa IAIN Sumatera Utara terhadap variabel akuntansi forensik. Sangat berperan terhadap sebuah peluang karir yang menjanjikan

Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Ibu Hamil Dalam Melakukan Pemeriksaan Kehamilan Di Puskesmas Sidorejo Lor Salatiga. Hasil penelitian menunjukan bahwa

BTN Sahlan Bin Hasan terbukti melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap korban bernama Djohan yang diatur dalam Pasal 340 KUHP dengan ancaman pidana

yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-Nya sehingga skripsi dengan judul “E- Museum Berbasis Augmented Reality Sebagai Media Promosi Museum Radya Pustaka ”

Jasa Marga (Persero), Tbk Cabang Surabaya – Gempol, dilakukan penelitian dengan menggunakan SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN PENGUKURAN KINERJA SUMBER DAYA MANUSIA DENGAN METODE

Dari hasil observasi yang telah dilakukan dimana anak autis hiperaktif mengalami gangguan dalam aktivitas belajar yaitu : dalam kegiatan belajar mengajar guru hanya

pelanggan untuk bertanya kembali. Pengetahuan dan kehandalan karyawan pada Restoran A&W sangat penting dengan menunjang program layana prima terutama menguasai

Seperti di Posyandu Kasih Ibu Kelurahan Kelapa Indah Kota Tangerang dalam kegiatan pelayanan dan pengelolaan data kesehatan yang masih menggunakan sistem manual menggunakan