• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab I. Pendahuluan Antara bencana alam di Indonesia dan pembuangan orang Israel

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab I. Pendahuluan Antara bencana alam di Indonesia dan pembuangan orang Israel"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Bab I Pendahuluan

1. Problematika

1.1. Antara bencana alam di Indonesia dan pembuangan orang Israel ke Babilonia1

Dalam tahun-tahun terakhir ini, banyak sekali terjadi bencana di Indonesia. Bencana-bencana itu meliputi bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami, lumpur panas Lapindo, banjir dan tanah longsor, bencana sosial seperti berbagai kerusuhan dan konflik antar agama dan etnis, dan bencana ekonomi yaitu krisis ekonomi yang belum sepenuhnya teratasi hingga saat ini. Semua bencana itu telah menyebabkan rakyat Indonesia mengalami penderitaan (kesakitan dan kesedihan) yang sangat besar. Bencana-bencana itu telah membawa kehancuran, kemiskinan dan kematian.

Sebagai bangsa religius, ada banyak rakyat Indonesia bertanya-tanya “mengapa semua bencana ini harus terjadi? Mengapa Tuhan membiarkan semua ini terjadi sehingga banyak orang menderita dan terluka?”2 Pelbagai jawaban telah diberikan sebagai respon terhadap pertanyaan-pertanyaan ini; Drewes, berdasarkan Kejadian pasal 1 menyatakan bahwa bencana adalah bagian dari kekacauan (chaos) yang belum ditaklukkan oleh Allah. Menurutnya, Allah menciptakan dunia ini bukan dari ketiadaan (creatio ex nihilo) melainkan dari kekacauan, dan dalam penciptaan itu

1 Mengapa peristiwa pembuangan yang bersifat sosial politis tetapi dalam tesis ini dibandingkan dengan berbagai bencana alam di Indonesia yang sama sekali bersifat alamiah, lihat penjelasan dalam poin Penegasan Istilah.

2

Ketika bencana-bencana besar seperti tsunami dan gempa bumi yang memakan ribuan korban terjadi, lagu Ebiet G. Ade yang sebagian syairnya berbunyi ...mengapa di tanahku terjadi bencana.... mungkin

Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita.. langsung diputar di berbagai stasiun TV ketika menayangkan

liputan bencana. Ini hanyalah salah satu tanda dari bagaimana orang Indonesia selalu menghubungkan bencana dengan Tuhan. Mengenai hal ini Oktarini menulis bahwa ketika gempa bumi terjadi di Jogjakarta, banyak orang di sana yang bertanya-tanya mengapa harus ada bencana? apa maksud Tuhan di balik bencana ini? (lih. Farsijana Adeney-Risakotta, Perempuan dan Bencana – Pengalaman

(2)

chaos belum sepenuhnya ditaklukkan sehingga sampai saat ini keberadaannya masih terus mengancam ciptaan yang salah satu bentuknya terwujud dalam bencana.3 Berbeda dengan itu, Singgih, berangkat dari cerita rakyat tentang Mbah Merapi yang di satu sisi indah tetapi di sini lain dasyat, menyatakan bahwa bencana merupakan sebuah makrokosmos (fenomena alam) yang terkait dengan mikrokosmos (keadilan dan keseimbangan dalam masyarakat). Bencana-bencana yang menimpa rakyat misalnya saja letusan gunung Merapi harus diterima sebagai takdir dengan kesadaran bahwa kelimpahan alam sekitarnya juga berasal dari Mbah Merapi. Oleh karena itu, masyarakat harus sabar dan teguh: menghindari malapetaka sebaik–baiknya tetapi juga menerimanya sebagai bagian dari berkat Tuhan.4 Pendapat yang lain, Menurut Campbell-Nelson bencana sebaiknya dilihat sebagai bagian dari karya penciptaan Allah yang memberi berkat. Di sini Campbell-Nelson menggabungkan teologi dengan pengetahuan geologis; bencana gempa bumi adalah karya Tuhan yang sedang dan terus menciptakan bumi melalui gerakan lempeng-lempeng tektonik. Oleh sebab itu, bencana alam tidak bisa dicegah kalau kita bertobat dan hidup saleh.5 Selain itu, ada pula yang menganggap bencana itu sebagai ujian dari Tuhan kepada umatNya. Ketika bencana tsunami terjadi di Aceh, ada banyak selebaran yang menyatakan bahwa bencana itu merupakan ujian Tuhan untuk mengukur keteguhan dan kondisi rakyat Aceh dalam menjalankan syariat islam.6 Namun demikian, di antara semua jawaban itu yang paling populer adalah anggapan bahwa bencana ini sebenarnya merupakan hukuman Tuhan karena dosa-dosa yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia.7

3

Zakaria J. Ngelow dkk., Teologi Bancana – Pergumulan Iman dalam Konteks Bencana Alam dan

Bencana Sosial, Makasar: Yayasan OASE INTIM, 2006. hal. 29.

4

Zakaria J. Ngelow dkk., hal. 30-31. 5

Zakaria J. Ngelow dkk., hal. 34-35. 6

Novrianto, Tuhan Pasca-Tsunami. Kompas, 14 Januari 2005. 7

Dosa apakah yang dimaksudkan? biasanya kurang jelas, tetapi sejak terjadinya gerakan Reformasi tahun 1997, berbagai praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sering dilihat sebagai dosa terbesar bangsa Indonesia. (Bencana itu hukuman Tuhan-kah?, Salimin’s Site). Gerrit Singgih dalam pengamatannya terhadap laporan-laporan TV dan koran mengenai bencana, menyimpulkan bahwa

(3)

Menariknya, penjelasan seperti ini ternyata tidak hanya populer di kalangan komunitas Kristen saja tetapi juga di komunitas Islam. Di banyak komunitas Kristen, tsunami di Aceh dilihat sebagai hukuman Tuhan bagi “orang Aceh yang menindas minoritas Kristen”. Kadang-kadang hal ini dikaitkan dengan pembakaran gereja di Meulaboh pada tahun 1986 (“makanya Meulaboh hancur” demikian argumentasinya). Pandangan teologis semacam ini semula juga amat kuat di kalangan warga Kristen Palu, Sulteng, sampai pada saatnya ketika Palu sendiri diguncang oleh gempa bumi sebulan kemudian.8 Sementara dalam kalangan orang Islam sendiri kepopuleran teologi ini terlihat dalam berbagai ceramah di Masjid-Masjid dan gerakan tobat nasional yang digalakan tidak lama setelah tsunami Aceh terjadi.9 Walaupun akhirnya ilmuwan dapat menjelaskan berbagai sebab dari bencana ini secara ilmiah dan rasional,10 pendekatan teologis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini tetap relevan bagi masyarakat Indonesia. Maka dari itu gerakan tobat nasional seperti disebut di atas masih diterima secara luas oleh masyarakat Indonesia.

penderitaan yang dasyat itu telah diterima oleh rakyat Indonesia dengan ikhlas, karena mereka berpikir bahwa bencana ini memang kehendak dari Tuhan, hukuman Tuhan karena dosa-dosa yang mereka lakukan. Selain itu menurut Djawa, Campbell-Nelson dan Eirin Gulo, umat Kristen di Halmahera, Alor dan Nias juga cenderung memahami bencana yang mereka alami itu sebagai hukuman Tuhan. (Zakaria J. Ngelow dkk., hal. 256 & 28).

8

Gerrit Singgih, dalam Zakaria J. Ngelow dkk., hal. 263. Dalam buku yang sama, Yewangoe juga menulis; memang benar bahwa dalam kalangan umat Kristen tsunami Aceh seringkali dilihat sebagai hukuman Tuhan terhadap rakyat Aceh. Malah bencana itu dilihat sebagai “peluang” yang diberikan Tuhan untuk dapat memasuki Aceh. Dalam sebuah acara doa yang diselenggarakan di salah satu hotel di Jakarta, demikian ia memberikan kesaksian, para pendoa berdoa sebagai berikut; “kami telah bertahun-tahun berdoa untuk Aceh, dan sekarang ternyata Engkau menjawab doa kami!” (hal. 223). 9

Kiai Haji Mustofa Bisri, menyerukan tobat nasional untuk merespon berbagai bencana yang terjadi akhir-akhir ini seperti tenggelamnya KM Senopati Nusantara dan hilangnya pesawat Adam Air, selain itu Tobat nasional ini dimasudkan juga untuk menyikapi maraknya korupsi, hidup konsumtif, hingga perusakan alam dan lingkungan. (Natanael Suprapto, Gus Mus gelar tobat nasional, Kompas Cybermedia, Minggu: 07 Januari 2007 - 21:04 wib). Selain itu pada Tanggal 9 Maret 2007 juga diadakan tobat bersama di Masjid Istiqlal, dihadiri presiden, wakil presiden, dan sejumlah menteri kabinet. Seruan untuk mengadakan tobat nasional ini didasarkan pertimbangan, negeri kita mengalami musibah beruntun, di udara, laut, darat, maupun di perut Bumi. Dalam artikel ini secara kritis Kleden melihat bahwa tobat sebenarnya selalu dihubungkan dengan kesalahan. Orang tidak mengadakan pertobatan karena ia mengalami musibah, tetapi ia bertobat karena ia telah melakukan kesalahan. Penulis setuju dengan pandangan ini karena memang banyak rohaniawan yang melihat berbagai bencana itu sebagai akibat dari dosa yang dilakukan oleh bangsa ini. (lih. Ignas Kleden, Fenomena

Tobat dan politik, Kompas: Selasa, 13 Maret 2007).

10 Lih. Tuhana Taufiq A. Mitigasi Bencana Gempa dan Tsunami, Yogyakarta: Global Pustaka Utama Yogyakarta, 2007.

(4)

Kalau orang Indonesia saat ini mengalami kehancuran dan penderitaan karena berbagai bencana di atas, di Alkitab orang Israel mengalami kehancuran dan penderitaan akibat deportasi ke Babilonia (2Raj. 24:10-16; 25:1-21); setelah sebelumnya dikepung dan kemudian dikalahkan, mereka dipaksa pindah dari tanah air mereka ke Babilonia, yang mana dalam keseluruhan peristiwa ini mereka mengalami suatu kehancuran yang sangat besar: Yerusalem ibu kota kerajaan yang mereka banggakan hancur (2Raj. 25:10), dan Bait Suci yang menjadi simbol utama kekuatan mereka juga akhirnya rata dengan tanah (2Raj. 25:9). Ribuan orang mati dan ribuan orang lainnya yang bertahan dibawa sebagai tawanan perang ke Babilonia.11 Akhirnya, orang Israel waktu itu, seperti halnya orang Indonesia saat ini juga bertanya-tanya mengapa mereka harus mengalami sakitnya pembuangan. “Di manakah Tuhan dalam bencana ini?”12 Seperti yang terjadi di Indonesia ketika berbagai bencana itu terjadi, banyak orang/ kelompok dalam masyarakat Israel kemudian mencoba untuk memberikan penjelasan terbaik mengenai bencana ini (mengapa bencana ini terjadi) dan menawarkan solusi kepada mereka yang bertahan. Hal itu secara eksplisit atau implisit terekam dalam banyak teks Perjanjian Lama. Bagaimanakah kelompok-kelompok masyarakat itu memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu? Ketika Yehuda ditaklukkan untuk pertama kalinya oleh Nebukadnezar dan deportasi yang pertama terjadi (597 sM), hampir semua golongan/ kelompok dalam masyarakat Israel mengaminkan kebenaran dari pemberitaan para nabi bahwa Yahweh akan mendatangkan hukuman kepada mereka karena dosa-dosa

11

Menurut kitab Yeremia jumlah orang Israel yang dibuang ke Babel dalam tiga kali pembuangan adalah 4600 orang (Yer. 52:28-30), tetapi menurut 2 Raj.24:14 dalam pembuangan yang pertama saja sudah ada 10.000 orang yang diangkut ke Babel. Menurut Davies dalam peristiwa ini bisa saja Yehuda kehilangan lima puluh persen dari seluruh penduduknya. Hilangnya begitu banyak penduduk itu selain disebabkan oleh kematian dan deportasi tetapi juga banyaknya penduduk yang mengungsi karena tidak kuat dengan buruknya situasi pengepungan dan perang. (lih. Philip R. Davies, In Search of ‘Ancient

Israel’. England: Sheffield Academic Press Ltd. 1995. hal. 75).

12 Kitab Ratapan adalah salah satu dokumentasi penting dalam PL yang berisi tentang keluhan orang Israel dalam pembuangan.

(5)

mereka. Di Yehuda, hal ini akhirnya melahirkan gerakan tobat nasional. Di seluruh wilayah Yehuda penyembahan kepada dewa-dewa asing dilarang dan para budak dilepaskan. Namun demikian, ternyata pembaharuan ini tidak berjalan lama dan sebagian masyarakat segera menangkap budak-budak mereka kembali dan juga kembali pada ibadah mereka yang sinkretis (lih. Yer. 34:8-22). Mengapa bisa terjadi demikian? Penyebabnya adalah munculnya suatu interpretasi baru mengenai deportasi yang baru saja mereka alami itu. Interpretasi baru yang dimunculkan oleh -apa yang disebut Albertz sebagai- partai nasionalis religius, yaitu suatu partai yang tidak mau mengakui kekuasaan Babel atas Yehuda,13 menyatakan bahwa pembuangan dan kekalahan terhadap Babel yang baru saja mereka alami bukanlah hukuman dari Yahweh karena dosa-dosa mereka. Bait Suci di Yerusalem merupakan jaminan dari perkenan dan perlindungan Yahweh terhadap umat Israel. Jadi tidak ada dosa yang mereka lakukan sehingga menjadi alasan bagi Yahweh untuk menghukum mereka. Bagi orang-orang dalam kelompok ini kekalahan yang baru saja mereka alami itu sebenarnya juga merupakan kekalahan Yahweh (atau paling tidak untuk sementara waktu Yahweh mengalah) terhadap bangsa Babel. Namun demikian, mereka yakin bahwa dalam waktu dekat Yahweh akan segera bangkit untuk membalas kekalahan yang sebelumnya mereka derita. Yahweh akan ganti menghancurkan Babel dan membawa kembali orang Israel yang telah dideportasi ke tanah Babel (Yer. 28:1-4). Karena hal ini maka akhirnya masyarakat Yehuda paling tidak terbagi menjadi dua kelompok, yaitu antara yang memandang deportasi yang baru saja mereka alami itu sebagai hukuman Tuhan dan yang menganggap deportasi itu sebagai kekalahan awal atas bangsa Babel semata. Lebih jauh ternyata bukan hanya di Yehuda, tetapi di Babel orang-orang Israel juga terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang

13

Rainer Albertz, A History of Israelite Religion in the Old Testament – from the Exile to the

(6)

menerima pembuangan sebagai hukuman Tuhan dan kelompok yang sama dengan partai nasionalis religius di atas, melihat pembuangan sebagai kekalahan yang segera harus dibalas (Yer. 29:24-28). Orang-orang dari kelompok ini mungkin kemudian memberi dukungan kepada orang-orang dari partai nasionalis religius yang dengan mengharapkan bantuan Mesir (Yer. 37:7) akhirnya memberontak kepada Babel. Tetapi ternyata pemberontakan yang mereka lakukan itu gagal total. Yerusalem dan Bait Suci dihancurkan oleh tentara Babel dan sebagian rakyat Yehuda kembali dideportasi ke tanah Babel. Setelah pemberontakan yang gagal itu, sisa-sisa dari partai nasionalis religius yang selamat akhirnya dalam keputusasaan sekali lagi mencoba balas dendam terhadap Babel dengan membunuh Gedalya beserta dengan orang-orang Babel yang bersama-sama dengan dia, dan setelah itu mereka melarikan diri. Sebagai balasan dari tindakan ini, orang Babel kembali datang ke Yehuda dan sekali lagi mendeportasi sebagian penduduknya ke Babel. Akhirnya setelah semua peristiwa ini, sebagian besar orang Israel –termasuk orang-orang dari partai nasionalis religius- baru benar-benar bisa menerima kebenaran berita para nabi yang mengancamkan hukuman bagi Israel yang berdosa dan akhirnya mengikhtiarkan pertobatan.14 Dalam situasi dan suasana yang baru ini, orang-orang Israel –masing-masing barangkat dari ideologi15 atau kepercayaan awal kelompok mereka- mulai secara sistematis mengembangkan

14

Pertobatan mereka itu paling tidak terlihat dalam empat macam puasa yang mereka selenggarakan setiap tahunnya untuk memperingati peristiwa pembuangan ini yaitu, untuk memperingati permulaan dari peristiwa pengepungan Yerusalem pada bulan kesepuluh, tembusnya tembok pertahanan pada bulan keempat, penghancuran Bait Suci dan istana raja pada bulan kelima, dan untuk memperingati peristiwa pembunuhan Gedalya pada bulan ketujuh. (Rainer Albertz, A History of Israelite Reigion in

the Old Testament – from the Exile to the Maccabees, hal. 377).

15 Menurut Larrain, ideologi adalah satu dari sekian banyak konsep yang paling ekuivokal (meragukan) dan elusif (sukar ditangkap), yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan sosial; tidak hanya karena beragamnya pendekatan teoritis yang menunjuk arti dan fungsi yang berbeda-beda, akan tetapi karena ideologi adalah konsep yang sarat dengan konotasi politik dan digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari dengan makna yang beragam. (Jorge Larrain, Konsep Ideologi. Yogyakarta: LKPSM, 1996. hal.1). Namun demikian yang dimaksudkan dengan kata “ideologi” dalam penelitian ini, seperti yang tertulis dalam kamus (Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2005. hal. 417), adalah himpunan nilai, ide, norma, kepercayaan dan keyakinan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang yang menjadi dasar dalam menentukan sikap terhadap kejadian atau problem (khususnya politik) yang dihadapinya dan yang menentukan langkah yang akan diambil selanjutnya.

(7)

refleksi dan interpretasi mereka terhadap bencana pembuangan dalam sekolah-sekolah yang kemudian mereka adakan di Yehuda maupun di pembuangan Babel. Ada banyak kelompok-kelompok semacam itu pada masa ini, tetapi dalam penelitian ini penulis hanya akan membahas tiga buah kelompok saja yaitu kelompok Yeremia, kelompok Yehezkiel dan kelompok Deutero-Yesaya.

1.2. Laporan mengenai pembuangan orang Israel ke Babel dalam Perjanjian Lama

Secara lebih detail, di dalam Perjanjian Lama peristiwa pembuangan ini tercatat dalam tiga kitab yang berbeda yaitu; 2Raj. 25:7-21; Yer. 39:1-10; 52:1-16 dan 2Taw. 36:20-21, tetapi sayangnya ketiga kitab ini ternyata memberikan laporan yang berbeda-beda. Menurut Yeremia, 3023 orang Israel diangkut ke Babel dalam deportasi yang pertama tahun 597 sM, 832 orang dalam deportasi yang kedua tahun 586 sM dan 745 dalam deportasi yang ketiga tahun 582 sM (Yer. 52:28-30). Keterangan ini berbeda dengan 2Raja-raja yang ternyata malah tidak memberikan catatan mengenai jumlah orang yang dideportasi pada tahun 586 sM dan bahkan sama sekali tidak menyebutkan mengenai deportasi yang ketiga pada tahun 582 sM. Namun begitu dia mencatat jumlah yang cukup besar pada deportasi tahun 597 sM melebihi jumlah keseluruhan dari yang dicatat Yeremia, yaitu sebanyak 10.000 orang (termasuk di dalamnya 7000 prajurit dan 1000 tukang) dalam 2Raj. 24:14.16 Berbeda lagi dengan kedua laporan di atas, pengarang kitab Tawarikh hanya menyebutkan satu kali peristiwa pembuangan saja, yaitu pembuangan pada tahun 586 sM ketika Bait Allah dihancurkan. Walaupun kitab Tawarikh sebenarnya juga menyinggung soal pembuangan Yoyakin (2Taw. 36:10) pada tahun 597 sM, namun menurut Shanks,

16 Hershel Shanks, Acient Israel – from Abraham to Roman Destruction of the Temple, Washington: Biblical archeology Society. 1999. hal. 202

(8)

pengarang tidak memaksudkan peristiwa itu sebagai permulaan dari pembuangan, yang lebih ditekankan oleh pengarang dalam ayat ini bukanlah Yoyakinnya tetapi perkakas Bait Suci yang turut dibawa ke Babel bersamanya.17 Kalau demikian halnya (keberbedaan keterangan), di sini kita bisa bertanya: “manakah dari ketiga laporan itu yang benar? Mengapa laporan itu bisa berbeda-beda? Apakah memang karena kurang data dan informasi, atau sebaliknya ada data tetapi mereka memang sengaja memanipulasi data-data itu demi mencapai tujuan penulisannya sendiri? Atau justru mungkinkah peristiwa “pembuangan” itu sendiri sebenarnya hanyalah sebuah karangan belaka yang tidak pernah terjadi, sehingga mereka tidak bisa bicara konsisten sepanjang waktu?” Kesulitan-kesulitan ini bisa didekati paling tidak dengan tiga cara yaitu yang pertama dengan cara melihat cerita pembuangan hanya sebagaimana adanya cerita itu disampaikan oleh Alkitab, yang kedua dengan cara melihat cerita pembuangan itu dari rekonsruksi historis yang bebas (tidak berdasarkan kerangka yang ada dalam teks-teks alkitabiah), dan yang ketiga dengan cara merekonstruksi historisitas dari cerita-cerita pembuangan di dalam Alkitab berdasarkan kerangka yang ada dalam cerita-cerita alkitabiah itu sendiri.

Dalam pendekatan yang pertama penafsir tidak perlu terlalu pusing dengan berbagai perbedaan yang kita temui di atas. Cerita-cerita pembuangan itu cukup ditafsirkan dalam kerangka cerita itu apa adanya, dan keberbedaan yang ada justru dapat dilihat sebagai kekayaan di mana seorang penafsir akan dapat lebih banyak mengambil pesan rohani (hikmah) di dalamnya. Pendekatan ini tidak pernah jatuh pada pengabaian salah satu kesaksian karena bagi mereka tidak ada yang benar atau salah dalam keberbedaan laporan itu. Semuanya benar dan mereka tidak berkepentingan untuk meng-cros-cek laporan-laporan itu dengan berbagai penemuan arkeologis yang saat ini cukup melimpah untuk merekonstruksi sejarah pada masa itu.

17

(9)

Selanjutnya dalam pendekatan kedua yang mendasarkan interpetasinya pada sejarah yang dikonstruksi secara bebas, disimpulkan bahwa cerita pembuangan sebenarnya hanyalah sebuah mitos belaka yang sengaja diciptakan oleh beberapa orang demi mencapai tujuan untuk menguasai tanah Yehuda seperti halnya dengan cerita Abraham, cerita Keluaran dan cerita penaklukan tanah Kanaan dalam kitab Yosua.18 Bagaimana mitos ini muncul? Menurut Davies, munculnya mitos ini bermula dari kebijakan Koresy untuk mengorganisasi kembali berbagai wilayah yang telah hancur karena perang dan sistem pemindahan penduduk (deportasi) yang biasa dilakukan oleh kerajaan-kerajaan sebelumnya seperti Asyur dan Babilonia. Deportasi ini biasanya dimaksudkan untuk menghukum, mencegah daerah taklukkan dari kemungkinan memberontak, serta untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja (budak) di negara tersebut.19 Seperti yang dicatat dalam Alkitab sendiri, bangsa “Israel”20 tidak luput pula dari bencana ini. Bangsa Babel menaklukkan Yehuda, menghancurkan Yerusalem dan akhirnya mendeportasi sebagian penduduknya ke Babilonia. Tetapi akhirnya kerajaan Persia mengalahkan Babel dan Koresy menggulirkan program reorganisasi daerah-daerah bekas taklukan Babel, sehingga akhirnya orang-orang yang dideportasi itu bisa kembali lagi ke Yehuda yang merupakan negara asal mereka.

Namun demikian, dalam pendekatan kedua ini, proses sesungguhnya dari peristiwa ini tidaklah seperti apa yang digambarkan dalam Alkitab. Menurut Davies, program Koresy ini bersifat bebas, sehingga bukanlah suatu keharusan bagi setiap orang yang dulu dideportasi ke Babel untuk kembali ke tanah air mereka, tetapi

18

Philip R. Davies, hal. 84 19

Philip R. Davies, hal. 84. keterangan ini menolak apa yang digambarkan oleh Yer. 29 dimana diceritakan bahwa kontak yang cukup intensif masih terjadi antara orang yang dibuang dengan mereka yang masih tinggal di Palestina.

20

Diberi tanda kutip karena menurut Davies konsep “Israel” baru muncul setelah jaman”pembuangan. Israel adalah suatu idetitas baru yang diciptakan dan kemudian dipakai sebagai identitas oleh para pendatang yang kemudian datang ke Palestina dalam rangka kebijakan ini. (Philip R. Davies, hal. 85)

(10)

sebaliknya mereka bebas untuk pergi ke tempat mana saja yang termasuk dalam wilayah yang akan direorganisasi tersebut. Jadi karena hal ini, maka orang-orang yang datang ke Yehuda pun bukanlah semata-mata mereka yang berasal dari Yehuda saja tetapi juga orang-orang dari wilayah-wilayah Palestina lainnya atau bahkan menurut Davies ada kemungkinan mereka datang dari segala tempat.21 Mengapa mereka tidak pergi ke tempat lain tetapi lebih memilih datang ke Yehuda? Selain alasan ekonomi, mungkin satu alasan lain yang paling kuat adalah agama. Menurut Marton Smith, mereka yang datang ke Yehuda paling tidak dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu yang pertama para penganut ‘Yahweh-alone’, dan yang kedua adalah keturunan para imam di Yerusalem dari Bait Suci sebelum masa deportasi.22 Bagi orang-orang ini, Yehuda di mana Bait Suci pertama berdiri merupakan satu-satunya tempat yang benar dan seharusnya untuk memuja Yahweh, dan program Koresy ini mereka lihat sebagai kesempatan emas untuk mewujudkan ideal tersebut.

Hanya saja bagi para penduduk Yehuda yang juga adalah penyembah Yahweh, status para pendatang ini tidaklah lebih dari sekedar orang asing yang tidak punya hak lebih kuat untuk menduduki dan menguasai tanah Yehuda, apalagi untuk menjadi penyembah utama Yahweh di tempat itu. Di sinilah akhirnya mitos pembuangan itu muncul. Para pendatang ini menyadari pentingnya sebuah identitas baru yang dapat memberikan legitimasi kepada mereka untuk tinggal di tanah itu dan menjadi penyembah utama Yahweh sekaligus. Dalam mitos ini mereka mengidentifikasikan diri mereka sebagai ahli waris sesungguhnya atas tanah Yehuda karena mereka adalah keturunan yang benar dari nenek moyang yang dahulu mendiami dan memiliki tanah tersebut. Dalam mitos ini mereka mengidentifikasikan diri mereka sebagai keturunan dari pemilik asli tanah Yehuda (yang kemudian mereka beri nama Israel) yang dulu

21 Philip R. Davies, hal. 78

22

(11)

ketika bangsa Babel menyerbu dan mengalahkan kerajaan Yehuda akhirnya dideportasi ke Babilonia. Tetapi deportasi itu sebenarnya terjadi bukan karena kekuatan bangsa Babel melainkan karena mereka telah berdosa kepada Yahweh dan melalui pembuangan ini Yahweh menghukum mereka. Bangsa Israel dulu memang telah gagal dalam mentaati Yahweh, tetapi saat ini, mereka sebagai keturunannya dan sekaligus sebagai Israel yang baru, telah diperkenan oleh Yahweh untuk kembali memiliki tanah Yehuda dan menjadi umatNya.

Dengan demikian menurut pendekatan ini, nama “Israel” dan cerita “pembuangan” hanyalah dua buah konsep yang mereka ciptakan untuk menghubungkan diri mereka sendiri dengan masa lalu yang akhirnya melegitimasi mereka untuk menjalankan misi mereka di tanah Yehuda. Seperti kata Lemche, mitos pembuangan memang memiliki dua fungsi yaitu sebagai pemutus (antara Israel dulu yang berdosa dengan Israel sekarang yang kudus), tetapi sekaligus juga sebagai penghubung antara saat ini dan masa lalu (para pendatang saat ini dan pemilik yang sah atas tanah itu sebelum deportasi).23 Cerita ini adalah sebuah alat yang dipakai untuk menghubungkan dua generasi yang berbeda; tanpa pembuangan sang anak tidak dapat mengklaim hak mereka untuk mewarisi tanah suci, tanpa sebuah pembuangan sang anak tidak dapat mengklaim tanah milik nenek moyang mereka. Dengan demikian -dalam kerangka cerita/ mitos ini- di mata para pendatang itu, para penduduk Yehuda –terutama oleh pengarang Ezra dan Nehemia- tidaklah lebih dari sekedar seorang pengacau dan penyelundup. Mengapa demikian? Karena dalam mitos pembuangan yang mereka ciptakan itu semua Israel telah dibawa ke dalam pembuangan, jadi mereka yang tinggal bukanlah Israel dan mereka tidak memiliki hak apa pun atas tanah itu dan bahkan tidak berhak untuk tinggal di sana sehingga bebas

23 Niel Peter Lemche, The Israelites in History and Tradition. Louisville: Westminster John Knox Press. 1998. hal. 87

(12)

untuk diusir keluar. Mereka tidak memiliki hak untuk mendapat bagian bersama-sama dengan pewaris yang benar dari masa lalu.24

Lebih lanjut, mitos pembuangan inilah yang kemudian dianggap sebagai dasar utama lahirnya Yudaisme, dan dengan demikian juga lahirnya seluruh cerita perjalanan Israel mulai dari Abraham sampai dengan pembuangan, dan bahkan menjadi titik pangkal dari munculnya kitab-kitab Perjanjian Lama.

Yang terakhir, pendekatan ketiga yang berusaha merekonstruksi sejarah pembuangan dengan kerangka narasi alkitabiah ternyata sangat mementingkan keakuratan dari data-data yang dilaporkan oleh Alkitab. Dalam pendekatan ini penemuan-penemuan arkeologis menjadi acuan yang sangat penting (bahkan seringkali dianggap lebih penting dan benar dari apa yang ditulis olah Alkitab sendiri) dalam usaha merekonstruksi suatu peristiwa dalam Alkitab. Berkenaan dengan penelitian ini, peristiwa pembuangan orang Israel ke Babel juga telah lama direkonstruksi dengan membandingkan antara laporan Alkitab dengan data-data arkeologis. Berbagai prasasti dikaitkan dengan laporan Alkitab mengenai peristiwa ini: penggalian di wilayah Palestina yang menunjukan adanya fakta bahwa di sekitar abad 6 sM banyak kota-kota berkubu di jantung kerajaan Yehuda dihancurkan rata dengan tanah, dianggap mendukung laporan Alkitab mengenai peristiwa pengepungan dan akhirnya penghancuran Yehuda, dan khususnya bukti arkeologis ini sesuai dengan gambaran yang diberikan oleh kitab Ratapan 2:2,5.25 Selain data itu, keakuratan Alkitab dalam melaporkan peristiwa ini juga didukung oleh laporan sejarawan Yahudi Plavius Josephus yang ternyata malah secara detail menceritakan bagaimana proses penaklukan Yerusalem oleh Nebukadnezar sampai dengan pernyataan tegas bahwa Nebukadnezar akhirnya membawa dan menempatkan

24 Niel Peter Lemche, The Israelites in History and Tradition, hal. 88 25

(13)

orang Yehuda di wilayah Babilonia.26 Alkitab mencatat bahwa setelah penaklukkan ini, Yoyakin beserta dengan banyak penduduk Yehuda diangkut ke Babel. Mengenai hal ini memang tidak ada prasasti yang secara spesifik membuktikannya, tetapi penemuan beberapa teks kuno dari Sargon II yang menceritakan mengenai pembuangan sekitar 27000 orang Israel Utara27 bisa dianggap sebagai dukungan juga atas keakuratan cerita Alkitab tentang pembuangan Yehuda ke Babel. Laporan mengenai pembuangan Yoyakin dan akhirnya pelepasan Yoyakin oleh Amel-Marduk dari penjara pada 561 sM seperti dilaporkan oleh 2Raj. 25:27-30 dan Yer. 52:31-34 ternyata juga bertepatan dengan penemuan suatu dokumen kuno dari arsip-arsip di Babel yang berisi mengenai suatu daftar ransum dari gudang kerajaan yang diberikan kepada raja Yaukin dari Yehuda, beserta dengan 5 orang anaknya dan para pembantunya.28 Selain itu, beberapa prasasti lain seperti dokumen Murashu dan Silinder Koresy dianggap pula sebagai pendukung kuat atas historisitas peristiwa pembuangan ini. Dokumen murashu29 yang mengindikasikan keikutsertaan orang Yahudi dalam proses perekonomian di wilayah Babel dianggap sebagai bukti bahwa orang Israel memang benar-benar pernah dideportasi ke Babel, dan Silinder Koresy30 yang berisi mengenai dekrit raja Koresy tentang keputusannya untuk membiarkan orang-orang yang dulu dibuang oleh kerajaan Babel untuk pulang dan kembali mendirikan kuil dan peribadahan mereka yang telah hancur dilihat sesuai (walaupun tidak tepat sekali) dengan laporan kitab Ezra mengenai perintah Koresy kepada orang Israel supaya kembali ke tanah air mereka.

26

lih. laporan Josephus mengenai peristiwa ini dalam C. Begg. Josephus’ Story of the Later Monarki, Lenven University Press. 2000. hal. 576-595

27

Hershel Shanks, hal. 204 28

Hershel Shanks, hal. 207. lih. juga Albert Champdor, Babylon – Ancient city and temple. London: Elek Books Limitid, 1958. hal. 94

29 Hershel Shanks, hal. 207 30

(14)

Lalu, dalam penelitian ini manakah pendekatan yang akan digunakan dalam melihat fenomena pembuangan tersebut? Seperti yang diakui oleh ketiga pendekatan di atas, asumsi dasar dari penelitian ini adalah bahwa peristiwa penaklukan Yehuda oleh Babel yang selanjutnya diikuti dengan pemindahan paksa orang-orang Yehuda ke Babel adalah peristiwa historis. Tetapi mengenai bagaimana historisitas/ kronologi dari peristiwa ini, penelitian ini akan mengikuti rekonstruksi historis dalam pendekatan ketiga. Secara historis Yehuda memang mengalami tiga kali deportasi oleh kerajaan Babel (tahun 597, tahun 586 dan tahun 582 sM) dan setelah kurang-lebih 70 tahun, pada masa pemerintahan Koresy mereka dibebaskan untuk kembali ke Yehuda.

2. Rumusan masalah

Hampir sama dengan peristiwa Exodus, pembuangan ke Babel merupakan salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah keselamatan. Tetapi berbeda dengan pengalaman “pembuangan” di Mesir yang mengakibatkan lunturnya kepercayaan orang Israel kepada Yahweh, ternyata pembuangan ke Babel justru berakibat sebaliknya,31 yaitu justru membuat mereka semakin paham tentang kehendak Yahweh atas mereka. Melalui peristiwa ini mereka justru semakin dalam merefleksikan hubungan mereka dengan Yahweh. Mereka bertanya-tanya dan berusaha menemukan jawaban atas pengalaman pembuangan ini (apakah maksud Yahweh dalam peristiwa ini?). Tetapi karena ada berbagai macam kelompok (dengan ideologinya masing-masing) dalam masyarakat Israel, maka menurut penulis akan ada banyak pula interpretasi/ refleksi teologis yang muncul berkaitan dengan kenyataan pembuangan itu. Maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

31

(15)

Dalam latar belakang ideologi mereka masing-masing, bagaimanakah interpretasi berbagai kelompok orang Israel, khususnya yang pertama kelompok orang Israel yang tidak turut dideportasi ke Babel dan tetap tinggal di Yehuda, yang kedua kelompok orang Israel yang turut dideportasi ke Babel sesaat setelah pembuangan terjadi dan yang ketiga kelompok orang Israel yang turut dideportasi ke Babel yang hidup menjelang berakhirnya masa deportasi, terhadap peristiwa pembuangan yang mereka alami itu.

3. Bahan penelitian

Tentu saja sebenarnya ada lebih dari tiga kelompok di Israel (seperti dalam rumusan masalah) yang turut memberikan interpretasi mereka terhadap peristiwa pembuangan yang mana interpretasi itu terekam di dalam Perjanjian Lama, tetapi penulis sadar tidak mungkin dalam tesis ini melakukan penelitian atas semua kelompok tersebut. Namun demikian ketiga kelompok yang dipilih, penulis rasa sudah cukup mewakili seluruh kelompok di Israel dari segi tempat dan waktu, yaitu dari segi tempat, kelompok yang turut dideportasi dan tidak dideportasi, dan dari segi waktu kelompok yang hidup pada saat peristiwa deportasi itu baru saja terjadi dan kelompok yang hidup menjelang masa deportasi itu berakhir. Dan selanjutnya mengenai ketiga kelompok tersebut, ternyata juga ada banyak sekali teks dalam Perjanjian Lama yang bisa diteliti untuk mengetahui interpretasi mereka terhadap peristiwa pembuangan, namun demikian penulis sadar tidak mungkin meneliti semua teks tersebut, oleh sebab itu penulis hanya akan mengambil tiga teks saja, yaitu:

a. Yeremia 40:7–12 (mewakili32 kelompok orang Israel yang tetap tinggal di Palestina).

b. Yehezkiel 7:1-22 (mewakili kelompok orang Israel yang dideportasi ke Babel sesaat setelah deportasi itu terjadi).

32

Kata “mewakili” dalam tesis ini tidak digunakan dalam arti bahwa teks ini mewakili semua kelompok di masing-masing tempat dan waktu, tetapi kata ini digunakan dalam pengertian bahwa dari tempat dan waktu yang berbeda-beda itu paling tidak diambil satu contoh untuk kita teliti di sini.

(16)

c. Yesaya 42:1-9 (mewakili kelompok orang Israel di pembuangan menjelang berakhirnya masa pembuangan).

4. Penegasan istilah

Seringkali ditanyakan apa hubungan antara pembuangan yang merupakan peristiwa sosial-politik dan bencana alam di Indonesia yang kelihatannya sama sekali bersifat alamiah dan tidak kena-mengena dengan persoalan sosial-politik sehingga dalam penelitian ini kedua hal tersebut dikaitkan. Jawaban mudahnya terletak pada akibat yang ditimbulkan oleh kedua peristiwa di atas yaitu penderitaan: rasa sedih yang dalam akibat kehilangan keluarga atau materi, dan rasa sakit akibat luka-luka fisik dan mental. Entah itu pembuangan atau itu bencana alam semuanya menghasilkan output yang sama yaitu kehancuran yang di dalamnya banyak orang terluka dan bersedih.

Dalam kamus bahasa Indonesia karangan Peter Salim, kata “bencana” memang cuma dikaitkan dengan suatu malapetaka yang diakibatkan oleh bencana alam saja, seperti banjir, gempa bumi dll. Tetapi dalam kamus Guralnik, yang disebut bencana adalah suatu kemalangan yang sifatnya besar dan tiba-tiba, yang kemudian menyebabkan kematian, kehancuran properti dll. yang mana kemalangan itu tidak hanya dalam arti kehancuran yang disebabkan oleh bencana alam saja tetapi juga kehancuran yang terjadi oleh sebab-sebab sosial dan politik.

Hanya saja saat ini dalam pandangan kebanyakan orang bencana alam memang secara mendasar berbeda dengan bencana sosial dan politik. Mengapa bisa begitu? Penulis kira karena tingkat kejelasan dari penyebab masing-masing bencana yang berbeda-beda. Kalau orang mengalami kemalangan karena perang misalnya, dengan mudah ia akan mengetahui penyebabnya yaitu musuh! Tetapi kalau tsunami yang terjadi, orang tidak tahu secara pasti apa penyebabnya. Ketidaktahuan inilah yang

(17)

akhirnya melahirkan banyak pertanyaan teologis dalam bencana alam. Penyebab bencana alam yang misterius itu akhirnya membawa orang untuk mencari penyebabnya di dalam realitas “Tuhan”.

Seperti misalnya dalam kasus pembuangan orang Israel ke Babel, dengan mudah saat ini kita menerangkan mengapa pembuangan itu bisa terjadi. Penyebab sebenarnya adalah ekspansi kerajaan Babel yang mau tidak mau harus mencaplok negara-negara kecil seperti Yehuda. Nah, karena penyebabnya yang jelas inilah kemudian orang tidak menyamakan eksistensinya dengan bencana alam yang penyebabnya masih “misterius”. Tetapi perlu kita ingat, bagi banyak pelaku pembuangan itu sendiri, mengapa tiba-tiba ada tentara besar yang menyerang mereka tidaklah terlalu jelas. Maklum karena analisis sosial-politik mereka belum setajam kita saat ini, sehingga bagi orang-orang Israel waktu itu pembuangan juga merupakan peristiwa misterius (seperti saat ini kita melihat gempa dan tsunami) sehingga mencari penjelasan atas kenyataan itu pada “Tuhan”.

Saat ini sudah banyak penelitian ilmiah untuk mengetahui penyebab dari berbagai bencana alam yang menimpa manusia, dan apalagi dalam hal penelitian masalah-masalah sosial dan politik, sehingga suatu saat kedua macam bencana ini pada akhirnya akan berada pada tingkat kejelasan yang sama. Jadi, berdasarkan hal ini, penulis kira ada alasan kuat dalam tesis ini untuk –dalam batas tertentu- menyamakan antara bencana alam dan becana pembuangan. Tetapi terlepas dari semua itu sebenarnya telah ada banyak orang menyebut secara sama antara tsunani, banjir dan gunung meletus dengan kerusuhan antar agama, perang dll. sebagai bencana. Adeney-Risakotta menyebut banjir, gempa dll. sebagai bencana alam dan kerusuhan antar agama di Halmahera, holocaust Yahudi di Eropa, penderitaan rakyat

(18)

Palestina dll. sebagai bencana manusia.33 Contoh lain, dalam uraiannya mengenai bencana yang akhir-akhir ini banyak menimpa rakyat Indonesia, Mbah Guno mengatakan bahwa berbagai bencana alam itu terjadinya bersifat lokal saja, tetapi ada bencana yang terjadi di mana saja di seluruh Indonesia yaitu bencana ekonomi.34

5. Metode penelitian

Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah di atas, penulis akan menggunakan metode tafsir kritik ideologi. Mengenai metode tafsir ini Robert Setio menulis:

“Pengertian ideologi sendiri adalah pola pemikiran atau cara pandang yang datang dari keyakinan pribadi, komunitas atau masyarakat tertentu... Istilah ini dalam dunia biblika diperkenalkan sebagai alternatif dari istilah teologi yang kurang mewakili sisi sosio-politis. Jika teologi adalah pemikiran yang semata-mata agama, ideologi mengkaitkan apa yang nampaknya bersifat agama tersebut dengan konteks sosio-politik. Prinsipnya tidak ada pemikiran agama yang berada di luar kerangka sosiologis dan kepentigan politik tertentu.”35

Ideologi sangat kental mewarnai teks-teks sejarah pembuangan dalam Perjanjian Lama. Karena seperti kata Carroll, memang ada fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa yang obyektif terjadi di sekitar kita dan bahkan pada diri kita. Tetapi ketika kita menjelaskan/ mengkomunikasikan peristiwa itu kita secara sadar atau tidak telah memasukan interpretasi kita ke dalam peristiwa itu.36 Pembuangan adalah peristiwa obyektif, tetapi ketika para penulis Yahudi menuliskannya maka sebenarnya peristiwa pembuangan itu (seperti yang diceritakan dalam teks itu) sudah menjadi tidak obyektif lagi. Peristiwa itu sudah mengandung interpretasi (ideologi) pengarang teks tersebut. Kritik ideologi adalah suatu metode tafsir yang berusaha memahami teks dengan menyadari dan memperhitungkan keberadaan ideologi-ideologi di balik teks

33

Lih. Zakaria J. Ngelow dkk., hal. 24,25. 34

Lih. uraian Mbah Guno –sebuah acara di radio Retjo Buntung, minggu 10-2-2008, jam 20.00 WIB. 35

Robert Setio, Kritik Idiologi- Hermeneutik Perjanjian Pertama II, (silabus kuliah)

36 Robert Carroll, On Representation in the Bible: an ideologiekritik approach, Junrnal of northwest semitic language 20/2 (1994).

(19)

tersebut. Sehingga, memperhitungkan temuan-temuan dalam problematika mengenai keberadaan kelompok-kelompok dalam masyarakat Israel pada jaman pembuangan, maka metode tafsir ini sangat cocok digunakan sebagai metodologi dalam penelitian ini.

Dengan demikian melalui metode ini penulis akan mencermati secara mendalam berbagai kelompok dalam masyarakat Israel, yang dalam sejarah turut memberikan interpretasi mereka terhadap kenyataan pembuangan. Kemudian, setelah menemukan dan memahami kelompok-kelompok ini, penulis akan berusaha menggali apa interpretasi mereka terhadap kenyataan pembuangan dan hal-hal apa saja yang membuat mereka melahirkan interpretasinya tersebut.

6. Tujuan dan manfaat penelitian

Yang pertama, tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah untuk memperkaya wacana teologis mengenai kenyataan penderitaan, khususnya di sekitar pertanyaan-pertanyaan mengapa bencana bisa terjadi dan menimpa manusia. Bencana sebagai hukuman atas dosa sebagai pandangan teologis yang dominan saat ini seringkali tidak lagi menjadi jawaban yang memuaskan atas beberapa peristiwa bencana tertentu seperti misalnya bila para korban itu adalah orang yang sangat baik dan dekat dengan Tuhan.

Yang kedua, penelitian ini akan bermanfaat sebagai semacam contoh untuk menilai/ melihat keberbagaian interpretasi atas satu peristiwa saja. Satu peristiwa pembuangan yang ternyata memiliki banyak interpretasi akan dapat kita lihat sebagai pelajaran untuk menilai bencana-bencana di Indonesia yang juga ternyata ditafsirkan secara beragam oleh banyak orang di Indonesia. Tinjauan kritis untuk fenomena ini akan sangat berguna bagi pembaca yang mungkin malah menjadi bingung dengan banyaknya teologi bencana dewasa ini.

(20)

7. Sistematika penulisan

Dalam bab I akan dibahas mengenai problematika, rumusan masalah, tujuan penelitian, penegasan istilah, manfaat penelitian dan metode penelitian. Kemudian dalam bab II kita akan memulai penelitian ini dengan membahas latar belakang dari pelbagai interpretasi orang Israel terhadap pembuangan. Bab ini akan berisi dua point yaitu yang pertama mengenai situasi sosial politik masyarakat Israel pra pembuangan yang mana seperti telah kita singgung dalam problematika ternyata terpecah dalam kelompok-kelompok, dan yang kedua mengenai kronologis peristiwa pembuangan itu sendiri. Setelah kita mendapat pengertian yang dalam mengenai konteks di mana ketiga teks kita (Yer. 40:7-12; Yeh. 7:1-22; Yes. 42:1-9) ditulis dalam latar belakang sosial politik dan kronologis peristiwa pembuangan dalam bab II, maka dalam bab III kita akan langsung membahas ketiga teks tersebut. Dalam bab ini kita akan berusaha menjawab berbagai pertanyaan yang ada dalam rumusan masalah. Selanjutnya setelah kita mendapatkan bagaimana interpretasi orang Israel terhadap bencana pembuangan yang mereka alami itu, maka kita akan langsung masuk ke bab IV yang akan berisi deskripsi mengenai berbagai bencana alam yang terjadi di Indonesia dan bagaimana orang Indonesia menginterpretasikannya. Dalam bab ini kita akan merelevansikan hasil dari penelitian bab III (interpretasi orang Israel terhadap bencana pembuangan) terhadap realitas bencana dan teologi bencana dalam konteks Indonesia seperti dideskripsikan dalam bagian awal dari bab IV ini. Dan yang terakhir bab V merupakan penutup yang akan berisi kesimpulan umum dari seluruh penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk terus melakukan koordinasi dan mendorong para penyedia teknologi dan penyedia konten pendidikan untuk bergotong

Penelitian pengembangan ini bertujuan untuk menghasilkan produk lembar kegiatan peserta didik (LKPD) berbasis saintifik mata pelajaran layanan lembaga keuangan syariah kelas

Abstrak—Sistem penerima konvensional pada sistem komunikasi DS-CDMA, terjadi degradasi kinerja akibat perbedaan daya dengan sinyal penginterferensi yang tinggi (Near-

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat..

Bagi penulis supaya mengkaji lebih dalam tentang bagaimana pengaruh disiplin dan kompensasi kerja terhadap kinerja karyawan dalam suatu perusahaan, apakah disiplin dan kompensasi

Melalui momentum ini Mahasiswa dapat membantu program pemerintah dalam mensukseskan program menuju Lampung Sehat 2015. Sekaligus dijadikan

Dari beberapa pengertian di atas tentang keputusan pembelian, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa keputusan pembelian merupakan perilaku konsumen dalam

Rubrik tersebut dibuat sebagai nafas dari majalah Cita Cinta , jika pada artikel yang lain pembahasan topiknya cenderung serius, maka pada rubrik “CC Single ” topik yang