• Tidak ada hasil yang ditemukan

penyakit menular baru harus dilakukan secara holistik dan terpadu dengan melakukan pelayanan kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "penyakit menular baru harus dilakukan secara holistik dan terpadu dengan melakukan pelayanan kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner dan"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBAHASAN UMUM

Sampai dengan tahun 2006 ada beberapa penelitian serologi tentang penyakit Query fever (Q fever) di Indonesia. Tahun 1955 ditemukan positif pada 188 serum sapi mengandung antibodi Coxiella burnetii (C. burnetii) (Kaplan dan Bertagna 1955). Selanjutkan oleh Rumawas (1976) menemukan 1.2% positif antibodi Q fever dari darah sapi yang diambil dari Bogor, Bandung, Surabaya dan Semarang serta 2.1% seropositif Rickettsia terhadap penduduk di Kepulauan Gag Irian Jaya menggunakan ELISA (Richards et al. 2003). Terakhir baru pada tahun 2006 ditemukan 31.88% dan 20.29% seropositif pada domba dan kambing di Bogor menggunakan IFA, serta secara molekuler pada sapi bali dan brahman cross ditemukan 6.12% serta 3.64% positif DNA C. burnetii pada kambing dan domba di Bali dan Bogor menggunakan metode nested PCR (Mahatmi 2006).

Data penelitian terhadap keberadaan C. burnetii sebagai penyebab penyakit Q fever di Indonesia adalah nyata secara serologi dan molekuler, walaupun masih

perlu dibuktikan dengan melakukan isolasi dan identifikasi mikroorganisme

C. burnetii. Di Indonesia Q fever termasuk penyakit eksotik yaitu penyakit zoonosa

yang belum ditemukan atau dilaporkan terjadi di Indonesia (Komnas FBPI 2010). Q fever adalah penyakit zoonosa yang penyebarannya ada dimana-mana di seluruh dunia kecuali New Zealand. Sejak tahun 1999-2004 dilaporkan terjadi 18 kasus pada hewan seperti domba, kambing, kucing, anjing dan hewan liar di 12 negara di dunia (Angelakis dan Raoult 2010). Penyakit Q fever sangat mudah menyebar dan tidak menutup kemungkinan masuk ke Indonesia melalui lalu lintas hewan, produk hewan, dan manusia antar negara sebagai penyakit menular baru yang sebelumnya tidak pernah ada (emerging infectious diseases/EID). Sampai saat ini Indonesia masih mengimpor sapi sekitar 650 000 ekor per tahun dan sebagian besar dari Australia (Apfindo 2010). Hal inilah yang perlu diwaspadai mengingat Q fever pertama sekali ditemukan di Australia dan sampai sekarang penyakit ini masih bersifat endemik di Australia.

Penanganan zoonosis kedepan tidak hanya terbatas pada zoonosis yang sudah ada di Indonesia, yang lebih penting adalah bagaimana mencegah masuknya zoonosis yang EID dari negara-negara lain ke Indonesia. Untuk itu pengendalian

(2)

penyakit menular baru harus dilakukan secara holistik dan terpadu dengan melakukan pelayanan kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner dan kesehatan lingkungan secara konsisten (Komnas FBPI 2010).

Menurut Muramatsu et al. (2006) Q fever diketahui juga sebagai salah satu penyakit yang dapat ditularkan melalui makanan (food-borne diseases). Selain itu dilaporkan bahwa infeksi C. burnetii pada ayam bersifat transovarial (menular dari induk ayam melalui telur). Walaupun di dunia masih sedikit laporan tentang keberadaan C. burnetii pada ayam dan produknya, tetapi telur dan olahannya belakangan ini diduga (suspected) menjadi sumber penularan Q fever pada manusia di Jepang. Untuk itu perlu dilakukan penelusuran lebih lanjut tentang keberadaannya di dalam telur di Indonesia.

Infeksi C. burnetii pada peternakan ayam umumnya dikaitkan dengan umur ayam, dimana makin tua umur ayam peluang ditemukannya C. burnetii makin besar. Hal ini sejalan dengan laporan (Muramatsu et al. 2006) yang menyatakan bahwa ayam petelur yang berumur 545-766 hari (77.9-109.4 minggu) mempunyai resiko terinfeksi C. burnetii lebih besar, yaitu ditemukan 7% positif dari 100 sampel darah dengan titer antibodi (IgG) berkisar 16-64 dengan metode IFA. Hal ini disebabkan karena ayam petelur yang dipelihara di peternakan dalam periode waktu yang lama (layer) akan beresiko terpapar C. burnetii lebih tinggi dibandingkan dengan ayam periode starter-grower akibat kontak langsung dari ternak lain yang terinfeksi atau melalui vektor caplak.

Caplak bertindak sebagai vektor C. burnetii yang dapat menularkan agen penyakit Q fever dari hewan liar ke hewan domestik maupun dari hewan domestik ke hewan domestik lainnya. Penularan dari hewan ke manusia melalui vektor caplak secara langsung sangat jarang terjadi. Tetapi penularan melalui material atau makanan yang terkontaminasi feses caplak yang terinfeksi C. burnetii dapat terjadi karena konsentrasi C. burnetii sangat tinggi pada feses caplak yang terinfeksi.

C. burnetii mengalami multiplikasi di dalam lisosom sel epitel usus caplak

(Sonenshine et al. 2002). Caplak Ixodidae spp. dan Argasidae spp. berperan penting sebagai vektor C. burnetii pada sapi dan unggas, karena hewan-hewan tersebut merupakan induk semang dari stadium dewasa caplak. Induk semang dari larva dan nimfa caplak-caplak tersebut adalah hewan liar seperti rodensia, logomorphs dan marsupials (Acha dan Szyfres 2003; Angelakis dan Raoult 2010).

(3)

C. burnetii dalam tubuh caplak berada pada fase I yang sangat infeksius serta

mempunyai daya tahan terhadap lingkungan yang panas dan kering (Maurin dan Raoult 1999).

Mekanisme penularan C. burnetii oleh vektor caplak ke caplak lainya dapat secara horizontal dengan co-feeding yaitu transmisi terjadi ketika dua caplak atau lebih menghisap darah hewan yang sama. Jika salah satu caplak terinfeksi

C. burnetii maka akan menulari ke caplak yang lain. Secara vertikal dapat terjadi

melalui telur (transovarial). Untuk memelihara kelangsungan hidup C. burnetii maka harus melalui transmisi transstadial pada induk semang antara (hewan liar). Penularan C. burnetii dari caplak ke hewan domestik dapat dibagi menjadi transmisi secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal dapat melalui saliva (salivarian

transmission) dan melalui feses (stercorarian transmission). Caplak yang terinfeksi

akan mengandung C. burnetii di dalam saliva dan feses. Pada saat caplak menggigit hewan akan timbul respon mengaruk-garuk atau mengesek-gesekan kulit sehingga saliva dan feses masuk ke dalam tubuh hewan tersebut (Edman 2004; Hill dan Donald 2005).

Pada penelitian ini sebanyak 222 butir telur ayam ras dan 130 butir telur ayam lokal yang diambil dari ayam yang berumur 6-8 bulan (24-32 minggu) di wilayah Bogor tidak ditemukan adanya C. burnetii dengan metode nested PCR. Dasar penetapan umur ayam tersebut adalah pada umur tersebut ayam petelur sudah mencapai puncak produksi. Pada masa puncak produksi umumnya ayam petelur akan mengalami berbagai masalah antara lain stres dan penyakit. Stres akan merangsang kelenjar pituitari mengeluarkan adeno-corticosteroid hormone (ACTH). Peningkatan ACTH di dalam darah akan mengakibatkan penurunan metabolisme tubuh dan merusak jaringan limfoid. Kerusakan jaringan limfoid akan menyebabkan atropi jaringan dan menurunkan aktivitas sel T. Aktivitas sel T yang menurun, maka akan mengakibatkan terjadinya gangguan pada sistim kekebalan tubuh sehingga ayam mudah terinfeksi penyakit.

Beberapa kemungkinan DNA C. burnetii tidak ditemukan pada telur ayam ras dan lokal yaitu pertama, penggunaan antibiotika golongan quinolon dan doksisiklin sering diberikan sejak dari day old chick (DOC) sampai menjelang masa produksi pada peternakan ayam ras. Antibiotika golongan quinolon dan doksisiklin merupakan antibiotika yang digunakan di dalam pengobatan Q fever fase akut

(4)

maupun kronis (Maurin dan Raoult 1999). Kedua adalah tingkat invasi C. burnetii pada ayam sangat kecil sekali sehingga tidak terdeteksi dengan metode nested PCR. Hal ini sejalan dengan penelitian Muramatsu et al. (2006) yang menyatakan bahwa bila ditemukan prevalensi C. burnetii di suatu wilayah berkisar 1-3% dan juga titer antibodi C. burnetii sangat rendah pada ayam maka apabila dideteksi dengan metode nested PCR hasilnya akan negatif. Kemungkinan lain adalah belum adanya penularan C. burnetii dari sapi, kambing atau domba sebagai reservoir utama ke unggas melalui vektor caplak. To et al. (1998) melaporkan bahwa infeksi C. burnetii pada burung di wilayah Jepang terjadi karena dipelihara dan makan disekitar atau dekat dengan ternak yang terinfeksi. Hal ini sejalan dengan hasil pengamatan dilapangan bahwa ternak sapi, kambing maupun domba tidak ada di sekitar lokasi peternakan ayam petelur ras maupun lokal serta tidak ditemukannya caplak di dalam kandang dan juga pada tubuh ayam petelur tersebut.

Prinsip dasar PCR adalah memperoleh target DNA yang banyak dengan bantuan oligonukleotida sintetik yang sesuai sekuen target dengan menggunakan enzim polymerase DNA. Peningkatan secara eksponensial dari target DNA diperoleh setelah dilakukan denaturasi (denaturation), perlekatan primer (primer

annealing) dan perpanjangan (extension) oleh polymerase DNA (Latchman 1995).

Menurut Meena et al. (1995) keberhasilan teknik PCR ditentukan berdasarkan konsentrasi (optimalisasi) magnesium klorida (MgCl2

Teknik PCR yang digunakan pada penelitian ini adalah nested PCR yang menggunakan dua pasang primer. Penggunaan metode nested PCR sangat bermanfaat manakala konsentrasi C. burnetii dalam sampel tidak mencukupi untuk dideteksi dengan PCR. Tingkat sensitivitas menggunakan dua pasang primer (OMP1-OMP2) dan (OMP3-OMP4) mampu mendeteksi DNA C. burnetii hingga 300 pg/µl. Jika konsentrasi DNA C. burnetii di dalam telur ayam ras maupun lokal ≥ 300 pg/µl atau setara dengan 6 x 10

), kalium klorida (KCl),

deoxyribo-nucleotide-triphosphat (dNTP), Taq polymerase, primer, pH, suhu

perlekatan (annealing temperature) dan siklus (cycles).

4 sel bakteri dapat dideteksi dengan nested PCR.

Beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Ogawa et al. (2004) menunjukkan bahwa primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4 dapat mendeteksi sampai dengan 2 x 102 sel bakteri per sampel. Hirai et al. (2005) telah mengembangkan metode nested PCR hingga mampu mendeteksi C. burnetii

(5)

sampai 3.2 x 101 sel bakteri per 1 gram kuning telur. Tetapi dengan metode real

time PCR (quantitative PCR test) konsentrasi bakteri C. burnetii 104-106 pada sampel telur baru dapat terdeteksi (Tatsumi et al. 2006).

Perbedaan hasil dengan peneliti lain mungkin karena pada penelitian ini dilakukan optimasi MgCl2, yaitu dengan melakukan titrasi sehingga diperoleh

konsentrasi MgCl2 dalam reaksi PCR yang optimal. Titrasi MgCl2 diperlukan untuk

meningkatkan sensitivitas uji. Konsentrasi MgCl2 dalam reaksi PCR harus optimal.

Bila tidak optimal, pita (band) yang dihasilkan akan kabur (smear) bahkan tidak ada sama sekali. Kalau menggunakan kit, konsentrasi MgCl2

Walaupun hasil penelitian keberadaan DNA C. burnetii belum ditemukan pada telur di wilayah Bogor, tetapi tetap perlu diwaspadai mengingat keberadaan

C. burnetii secara serologis dan molekuler sudah ditemukan pada ternak sapi (bali, brahman cross), domba dan kambing (Mahatmi 2006). Penularan mikroorganisme

ini dapat terjadi kapan saja dari ternak ruminansia yang terinfeksi ke ternak lain. Hal tersebut tergantung dari keanekaragaman jenis ternak, kepadatan populasi ternak keberadaan vektor, jumlah bakteri dan tingkat biosekuriti di suatu wilayah.

sudah tetap dan tidak bisa diubah.

Hasil uji spesifisitas diatas menunjukkan penggunaan satu pasang (OMP1-OMP2) atau dua pasang primer (OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4) dapat mendeteksi

C. burnetii secara spesifik (conserved) dan tidak terjadi hibridisasi silang (cross-hybridization) dengan B. abortus, E. coli, P. aeruginosa dan C. jejuni. Hal ini sejalan

dengan penelitian Ogawa et al. (2004) yang menunjukkan adanya pita yang spesifik dari C. burnetii dibandingkan 12 bakteri lain (Staphylococcus aureus, Streptococcus

pyogenes, Pseudomonas aeruginosa, Legionella pneumophila, Haemophilus infuenzae, Streptococcus pneumoniae, Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium intracellulare, Mycobacterium avium, Mycobacterium kansasii, Mycobacterium gondonae, Chlamydia pneumoniae) dengan metode nested PCR.

Primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4 sangat sensitif dan spesifik serta telah digunakan sebagai metode diagnostik laboratorium yang cepat dan akurat untuk mendeteksi DNA C. burnetii (Ogawa et al. 2004; Zhang et al. 1998). Primer yang didisain dari sekuen nukleotida gen com 1 tersebut lebih sensitif dibandingkan primer CB1 dan CB2 serta sepasang primer Q3-Q5 dan Q4-Q6 untuk mendeteksi

(6)

Menurut Angelakis dan Raoult (2010) apabila sapi dimasukkan ke dalam wilayah endemik Q fever, maka 40% dari sapi tersebut akan terinfeksi dalam kurun waktu enam bulan. CFSPH (2004) melaporkan bahwa ternak ruminansia yang terinfeksi akan mengeluarkan (shedding) C. burnetii ke lingkungan sebanyak 109

Pengendalian zoonosis tidak dapat dipisahkan dari pengawasan keamanan pangan (food safety), seperti Q fever yang dapat ditularkan ke manusia akibat mengkonsumsi pangan asal hewan (foodborne disease). Aspek pengaturan dan pengawasan peredaran bahan pangan asal hewan di dalam negeri serta masuknya bahan pangan dari luar negeri (impor) harus diperketat dan dikoordinasikan dengan sebaik-baiknya diantara institusi terkait. Pemasukan hewan dan produk hewan akan berdampak terhadap resiko masuknya mikroorganisme patogen atau penyakit hewan menular/zoonosis ke Indonesia. Bila hal tersebut terjadi, maka akan mempengaruhi kesehatan hewan, kesehatan manusia, kesehatan lingkungan dan perekonomian nasional. Oleh sebab itu penerapan sanitary-phytosanitary (SPS) yang mengacu pada standar OIE Terrestrial Code serta penerapan analisa resiko (risk analysis) perlu dilakukan bagi negara impor.

bakteri per gram plasenta pada saat melahirkan atau abortus dan akan mengkontaminasi tanah, debu dan air. Kontaminan yang terdapat pada tanah dan debu akan terbawa oleh angin sejauh lebih dari 805 meter, sedangkan pada air dapat menyebar melalui irigasi sawah, kali dan sungai.

Dilaporkan bahwa 75% EID dalam 20 tahun terakhir, disebabkan oleh mikroorganisme patogen yang dapat menginfeksi manusia (zoonosis) dan 1415 mikroorganisme patogen pada manusia yang telah diketahui, 61.6% bersumber dari hewan (CDC 2005). Untuk itu perlu pengendalian yang sistematis dengan menerapkan konsep One World One Health (OWOH), yaitu konsep tentang penanganan masalah kesehatan yang dikaitkan antara kesehatan manusia (human

health), kesehatan hewan (animal health) dan kesehatan lingkungan (ecosystem health) dalam satu kesatuan. OWOH mengutamakan suatu pendekatan interdisiplin

dan lintas sektoral dalam pengendalian penyakit, diantaranya surveilans dan monitoring penyakit. Belajar dari pengalaman menangani zoonosis di Indonesia, maka prioritas pengendalian penyakit harus pada sumbernya, yakni hewan. Untuk itu perlu dibangun sistem kesehatan hewan nasional (siskeswanas) yang terpadu dengan koordinasi yang kuat dari pemerintah pusat sampai daerah.

(7)

Untuk menjamin kesinambungan pengendalian zoonosis, peran serta swasta dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan dengan membangun kesadaran masyarakat (public awareness) dalam rangka mencegah dan mengendalikan zoonosis berbasis masyarakat (community based zoonoses control) secara terus menerus. Disamping itu perlu adanya komunikasi, informasi dan edukasi antara pemerintah, swasta dan masyarakat tentang pengendalian zoonosis.

Pengendalian zoonosis di dalam negeri sudah sangat mendesak, oleh karena itu perlu dilakukan (1) penataan wilayah (zoning) usaha peternakan yang serumpun (ruminasia/unggas) dalam suatu kawasan sesuai dengan peruntukkannya dan dengan jarak antar peternakan yang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) kegiatan monitoring dan surveilans terpadu dengan melibatkan laboratorium kesehatan maupun laboratorium veteriner yang mempunyai fasilitas

biosafety level 2 (BSL 2) dan BSL 3 di beberapa wilayah di Indonesia, sehingga

dapat dirumuskan sistim pengendalian menghadapi EID yang tertuang dalam sebuah pedoman; serta (3) mewujudkan kelembagaan bidang zoonosis yang yang bersifat multidisiplin dan multisektor yang bertugas mengkoordinasikan antar kementerian teknis dan lembaga-lembaga lain yang terkait dalam pencegahan dan pengendalian zoonosis di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah selesai pendaftaran secara online, pelamar wajib menyampaikan seluruh dokumen persyaratan administrasi dalam 1 (satu) amplop tertutup mulai hari Jumat, 11

Minyak yang terkandung pada adsorben bekas ini dapat diperoleh kembali dengan proses recovery minyak, dan minyak hasil recovery dapat digunakan sebagai bahan baku

yaitu (a) tradisi yang masih hidup di dalam kehidupan masyarakat pedesaan, (b) masyarakatnya masih menggunakan bahasa dan budaya Jawa, (c) sebagai satu bentuk upaya pelestarian

Chak (2007: 141) berpendapat bahwa keingintahuan sering digambarkan sebagai karakteristik alami dan penting dari anak-anak, namun karakter tersebut belum banyak mendapatkan

Sumari (Tergugat/Terbanding) yang berupa obyek sengketa, akan tetapi para Penggugat/para Pembanding bermaksud menarik kembali hibah yang telah diberikan kepada

Hasil penelitian pada taraf signifikansi 5% menunjukkan bahwa: (1) Iklan berpengaruh positif terhadap keputusan pembelian Handphone Dual Simcard buatan Cina pada Mahasiswa

Puji serta syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini dengan judul Perancangan dan

Pencacahan di lapangan harus menggunakan daftar HKD-2.1, setelah dikoreksi barulah perdesaan dan juga untuk penyusunan Indeks Harga Yang Dibayar Petani Kelompok N