• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

TIONGHOA 1991-1998

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)

Oleh :

FIRDAUS ALANSYAH 1111022000003

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1438 H/2017 M

(2)

i

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan sudah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karta orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 10 Mei 2017

(3)
(4)
(5)

v

Muhammad, Ahmad Sobari, Devi Mutiara Sula, dan semua yang telah terlibat dalam penyelesaian skripsi ini.

(6)

vi ABSTRAK Firdaus Alansyah

Muslim Tionghoa di Jakarta: Peran Yayasan Haji Karim Oei Sebagai Wadah Dakwah Muslim Tionghoa 1991-1998

Dalam penulisan ini akan dijabarkan peranan penting dari Yayasan Haji Karim Oei sebagai wadah muslim Tionghoa Jakarta dalam berdakwah. Yayasan Haji Karim Oei menjadi salah satu ujung tombak Tionghoa untuk mengenalkan Islam ke etnis Tionghoa ditengah pandangan negatif yang masih berkembang dikalangan etnis Tionghoa terhadap Islam. Sejarah panjang tentang keberadaan etnis Tionghoa dan juga peranannya dalam perkembangan agama Islam di Indonesia khususnya di pulau Jawa merupakan salah satu fakta bahwa Islam dan Tionghoa di Indonesia tidak dapat dipisahkan. Namun dalam perjalanannya terjadi berbagai peristiwa mulai dari politik, sosial, hingga budaya yang membuat pribumi dipandang kurang baik dimata etnis Tionghoa dan juga sebaliknya, akhirnya berdampak pula pada citra Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia dimata etnis Tionghoa akibat dari pemahaman yang salah tentang Islam karena kurangnya informasi tentang agama Islam dikalangan etnis Tionghoa.

Oleh karena itu maka didirikanlah sebuah yayasan yang berfungsi sebagai sebuah tempat informasi mengenai Islam untuk etnis Tionghoa bernama Yayasan Haji Karim Oei. Yayasan Haji Karim Oei merupakan sebuah yayasan yang berada di jalan Lautze Pasar Baru Jakarta Pusat. Yayasan ini didirikan pada tahun 1991, sejak saat itu yayasan ini secara aktif menjadi wadah Tionghoa dalam berdakwah. Yayasan ini didirikan untuk mengenang jasa Oei Tjeng Hien atau yang lebih dikenal dengan nama H. Abdul Karim Oei yang meninggal pada tahun 1988. Beliau dikenal juga sebagai bapa pembaruan dan pembauran bagi muslim Tionghoa. Yayasan Haji Karim Oei atau yang biasa disebut dengan YHKO berdiri dengan tujuan untuk menyebarkan agama Islam di kalangan etnis Tiongoa, mendekatkan Islam dengan etis Tionghoa, menjadi pusat informasi tentang Islam untuk Tionghoa, dan memberikan pendampingan bagi orang Tionghoa yang baru masuk Islam.

(7)

vii

Subhanahu wata’ala yang telah memberikan nikmat yang tiada terhitung, dan

dengan kasih sayang –Nya kita dapat terus bernafas dan berbuat di dunia tercinta ini. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada baginda Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Karena berkat perjuangan beliaulah kita dapat hijrah dari the dark age menuju the enlightenment age.

Banyaknya rintangan dan hambatan yang penulis hadapi dalam merampungkan skripsi yang berjudul: Muslim Tionghoa di Jakarta: Peran

Yayasan Haji Karim Oei Sebagai Wadah Dakwah Muslim Tionghoa 1991-1998. Namun, semua rintangan dan hambatan itu bisa terlewati sedikit demi

sedikit dan setahap demi setahap dengan usaha dan kerja keras. Oleh sebab itu penulis ingin menyampaikan terima kasih setulus-tulusnya kepada mereka semua, diantaranya:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.Ag. selaku Dekan Faultas Adab dan Humaniora.

3. Bapak Nurhasan, MA. selaku Ketua Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam yang telah membantu penulis selama menjadi mahasiswa dalam beberapa hal yang berhubungan dengan birokrasi universitas sehingga segalanya menjadi mudah.

(8)

viii

4. Ibu Sholikatus Sa’diyah, M.Pd. selaku Sekretaris Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam yang telah banyak membantu penulis saat menjadi mahasiswa di prodi Sejarah dan Peradaban Islam tercinta ini baik yang berkenaan dengan surat menyurta maupun motivasi untuk terus berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.

5. Bunda Imas Emalia, M.Hum. selaku dosen pembimbing skripsi yang memberikan banyak masukan serta saran kepada penulis untuk terus mencari sumber primer dalam penulisan sejarah, serta segala kemudahan yang penulis dapatkan ketika menjadi mahasiswa bimbingan beliau. 6. Bunda Tati Hartimah, MA. selaku dosen pembimbing akademik yang

selalu memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan kewajiban menulis skripsi.

7. H. Ali Karim, SH. selaku narasumber sebagai ketua Yayasan Haji Karim Oei yang juga merupakan anak kandung dari Haji Karim Oei telah bersedia meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya untuk penulis wawancarai.

8. Yusman Iriansyah, SE. serta seluruh pengurus harian Yayasan Haji Karim Oei, selaku narasumber yang telah bersedia meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya untuk diwawancarai serta memberikan informasi yang penulis butuhkan.

9. Keluargaku, Ayahanda Latif Suwirya, Ibunda Nurhaemah, Kakakku Laela Hasanah, serta Adik-adik tercintaku Ali Muhammad, Ahmad Sobari, dan Devi Mutiara Sula yang selalu memberikan dukungan setiap

(9)

ix

10. Yunita Amanda, yang telah menemani penulis dalam melakukan pencarian sumber, penelitian dan wawancara, dan memberi motivasi bagi penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi, serta telah menemani penulis sejak awal perkuliahan hingga skripsi ini selesai. 11. Himpunanku, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Fakultas

Adab dan Humaniora (KOFAH) Cabang Ciputat, yang telah menjadi tempat penulis belajar berorganisasi dan belajar banyak hal.

12. Teman-teman seperjuangan di SPI 2011, dan senior-juniornya yang saking banyaknya sehingga tidak bisa disebutkan satu-persatu, namun penulis merasa harus berterima kasih kepada, Bang Mayong, Bang Johan, Bang Ali Tauan, Bang Mugni Labib, Yudha bengbeng, Ahmad Al-Faiz, Ikhwanuddin, Illham, Humaedi, Cipay, dan Naufan sahabat penulis yang banyak membantu selama masa perkuliahan ini.

13. Arif Ableh dan Giri, sahabat serta saudara penulis dari semasa SMP dulu hingga kini, terima kasih telah menjadi tempat menuangkan segala cerita dan memberi motivasi untuk penulisan skripsi ini.

(10)

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iv

DEDIKASI ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR ISTILAH ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan dan Manfaat penelitian ... 12

D. Tinjauan Pustaka ... 13

E. Metode penelitian... 15

(11)

vii

A. Awal Kedatangan Muslim Tionghoa ke Indonesia Hingga Masa Orde

Baru (1407-1990)... 18

B. Keadaan Muslim Tionghoa 1991-1998: ... 40

1. Aktifitas Ekonomi, Sosial, danBudayaMuslim Tionghoa Jakarta ... 40

2. FasilitasDakwah Muslim Tionghoa Jakarta... 43

3. Tokoh Muslim Tionghoa: Sebuah Simbol Yayasan ... 48

BAB III SEJARAH BERDIRINYA YAYASAN HAJI KARIM OEI (YHKO) .... 54

A. Sejarah BerdirinyaYayasan Haji Karim Oei ... 54

B. Stuktur Kepengurusan Yayasan Haji Karim Oei ... 58

BAB IV PERAN YAYASAN HAJI KARIM OEI SEBAGAI WADAH DAKWAH MUSLIM TIONGHOA ... 63

A. Aktifitas dan Kegiatan Yayasan Haji Karim Oei... 63

A.1 Pengajian Mingguan ... 63

A.2 Bimbingan Baca Al-Qur’an ... 66

A.3 Bimbingan Shalat ... 67

A.4 Konsultasi Agama Islam ... 68

A.5 Shalat Berjamaah ... 69

A.6 Kegiatan Sosial ... 70

A.7 Pengislaman ... 71

(12)

viii

C. Peranan Yayasan Haji Karim Oei Sebagai Wadah Dakwah Muslim

Tionghoa ... 78

BAB V KESIMPULAN ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 82

(13)

xi

Chiese Offcieren Kapitan Cina (tenaga administrasi dan

penarik pajak Cina)

Devide Et Impera Politik pecah belah

Geschoren Cinezeen Orang-orang Tionghoa cukuran

Hollandsch Chineesche School Sekolah untuk anak-anak Tionghoa yang didirikan pemerintah Belanda

Inlander Sebutan mengejek oleh orang Belanda untuk

masyarakat asli Indonesia (pribumi) pada masa penjajahan Belanda

Ius Soli Hak mendapatkan kewarganegaraan

berdasarkan tempat lahir di wilayah dari suatu negara

Landraad Pengadilan untuk Pribumi pada masa

Kolonial

Pecinan Daerah pemukiman yang didominasi atau

di khususkan untuk etnis Tionghoa

Sinshe Pengobatan tradisional

Tiong Hoa Hwee Koan Perkumpulan Tionghoa

Vereenigde Oost Indische Compagnie Persekutuan dagang asal Belanda yang didirikan pada 1602

Wijkenstelsel Peraturan untuk menciptakan pemukiman

etnis Tionghoa disejumlah kota besar di Hindia Belanda

(14)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perkembangan Jumlah Etnis Tionghoa di Pulau Jawa Tabel 2 Data Pengislaman PITI 1965-1978

Tabel 3 Jumlah Pengislaman di Yayasan Haji Karim Oei 1997-Oktober 2016

(15)

xiii

Gambar 1 Tampak depan Masjid Lautze Jakarta (Yayasan Haji Karim Oei) sebelum dan sesudah direnovasi

Gambar 2 Kaligrafi yang dipasang di belakang mimbar Masjid, Percampuranantaraseni Arab danCina

Gambar 3 Buya Hamka, Karim Oei, Soekarno Gambar 4 Haji Abdul Karim Oei

Gambar 5 Suasana makan bersama yang dilaksanakan setiap hari minggu, terlihat muallaf Tionghoa dengan akrab bercengkrama dengan pribumi.

Gambar 6 Seorang muallaf yang baru saja bersyahadat sedang belajar gerakan-gerakan sholat bersama muallaf lainnya di bawah pengawasan atau bimbingan Ustadz Suhaimi.

Gambar 7 Proses pengislaman etnis Tionghoa yang dilakukan di Masjid Lautze (lantai satu Yayasan Haji Karim Oei).

(16)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan Islam di Indonesia sampai saat ini tidak lepas dari peran Muslim Tionghoa dalam dakwah Islam di Nusantara. Peran Muslim Tionghoa dalam penyebaran Islam di Indonesia salah satunya dengan berdirinya Kesultanan Islam pertama di Jawa yaitu Kesultanan Demak. Menurut Sumanto Al-Qurtubi berdirinya Kesultanan Demak tidak lepas dari peran yang cukup besar dari orang-orang Tionghoa, mengingat Raden Fatah sebagai Sultan atau raja pertama Kesultanan Demak adalah keturunan Cina dengan nama Tionghoa yaitu Jin Bun. Dalam catatan Babad Tanah Djawi, Serat Sunda, serta Tembang Babad Demak menyebutkan bahwa Raden Fatah alias Jin Bun adalah seorang anak dari raja Brawijaya V dan putri Cina bernama Sio Ban Chi anak dari Syekh Bentong.1 Bukti lain yang menunjukan peran Muslim Tionghoa dalam penyebaran agama Islam di Indonesia adalah beberapa wali yang merupakan keturunan peranakan Tionghoa. Sebagai contoh Sunan Ampel alias Raden Rahmat adalah seorang Tionghoa yang memiliki nama asli Bong Swi Hoo berasal dari Yuan, beliau merupakan cucu dari penguasa Campa bernama Bong Tak Keng yang berkuasa 1413-1446. Sunan Ampel menikah dengan Ni Gede Manila yang merupakan anak dari seorang Kapten Cina yang bernama Gan Eng Yu dengan perempuan pribumi yang berkedudukan di Tuban, perkawinan tersebut melahirkan

(17)

keturunan peranakan bernama Boang Nang alias Sunan Bonang.2

Di Tiongkok sendiri Islam sudah bersentuhan dengan masyarakat Tionghoa terutama ketika jazirah Arab dipimpin oleh Khalifah ketiga yaitu Utsman Bin Affan (644-656 M). Saat itu Utsman Bin Affan mengirim utusannya yakni Saad Ibn Abu Waqqas ke Cina pada tahun 651 M untuk menghadap kaisar Yong Hui di kota Changan. Tujuannya adalah memberi teguran kepada kaisar agar tidak turut campur dalam masalah peperangan antara pasukan Islam dan Persia. Pada saat itu Dinasti Tang berkuasa di negri Cina sekitar tahun 618-905 M, bahkan peristiwa tersebut diperkuat oleh fakta berupa naskah annals pada masa Dinasti Tang.3 Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat pada masa Dinasti Ming, bahkan ada yang berpendapat bahwa Dinasti Ming saat itu adalah Dinasti Islam di Cina. Karena untuk pertama kalinya seorang ratu Kaisar Chu Yuan Chang (Kaisar pertama dinasti Ming) yakni Emprass Ma Hoe adalah Muslimah.4 Pada masa ini pula di tahun 1410-1416 Laksamana Cheng Ho diutus oleh Kaisar Dinasti Ming untuk mengamankan jalur pelayaran niaga di Nanyang. Hal ini dikarenakan lokasi terebut banyak diganggu oleh bajak laut Hokkian pimpinan Lin Tao-Ch’ien.5

Pada tahun 1407 Dinasti Ming melakukan ekspansi dengan misi untuk merebut Kukang (Palembang) dari para perampok Tionghoa non Islam dari Hokkian.6

2Selamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam

di Nusantara, (Yogyakarta: LkiS), hlm. 84-86.

3Kong Yuan Zhi, Muslim Tionghoa Ceng Ho, (Jakarta: Pustaka Popular Obor, 2000), hlm.273 4Ibrahim Ying Ma, Perkembangan Islam di Tiongkok, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm.7. 5

Sachiko Murata, Gemerlap Cahaya Sufi dari Cina, (Jakarta: Pustaka Sufi, 1999), hlm.19.

6

H. J. De Graaf, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI: Antara Histotitas dan Mitos, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), hlm.4.

(18)

3

Di Kukang (Palembang) sendiri telah dibentuk komunitas Cina muslim bermazhab Hanafi pertama di kepulauan Indonesia.7 Selain itu ketika ekspansi Cheng Ho yang dikatakan di catatan Ma Huan menyebutkan secara jelas dan menggambarkan bahwa pedagang Cina Muslim telah Menghuni kota-kota dan ibukota Majapahit pada abad ke-15.8 Dapat dikatakan ini merupakan cikal bakal dari komunitas etnis Tionghoa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Menurut Leo Suryadinata ada kejadian dimana masyarakat etnis Tionghoa masuk Islam pada masa sebelum datangnya Belanda ke Nusantara.9 Menurutnya kedatangan Belanda datang ke Nusantara pada tahun 1596 dan berdirinya Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkannya telah menghambat proses asimilasi etnis Tionghoa. Kedekatan etnis Tionghoa dengan pribumi serta kepiawaian mereka dalam hal perdagangan yang diatas pribumi membuat VOC memberi perhatian khusus kepada etnis Tionghoa. VOC mengangap etnis Tionghoa mampu memainkan peranan sebagai penguhubungan antara pribumi dalam bidang perdagangan eceran/lokal, sehingga kegiatan ekonomi pedesaan di Indonesia mayoritas dikuasai oleh etnis Tionghoa.10 Hal ini membuat VOC memberikan kebijakan perlindungan dan keleluasaan yang lebih kepada etnis Tionghoa, sehingga muncullah anggapan dimata pribumi bahwa etnis Tionghoa adalah kaki tangan VOC.

7

H. J. De Graaf, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI, hlm.5.

8Mely G. Tan, Golongan Minoritas Tionghoa di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1981), hlm.

11.

9

Leo Suryadinata, Mencari Identitas Nasional Dari Tjoe Bou San Sampai Yap Thiam Hien, (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 175.

(19)

Salah satu kebijakan VOC yang terkenal adalah politik devide et impera atau politik pecah belah. Dalam penerapan politik pecah belahnya pemerintah Belanda menggolongkan masyarakat Indonesia kedalam tiga golongan, yaitu: golongan atas atau pertama adalah golongan untuk bangsa eropa, golongan menengah atau kedua untuk bangsa pendatang dari timur asing (mayoritas Cina), dan golongan yang terakhir dan yang terendah adalah untuk masyarakat pribumi. Pemerintah VOC tidak mengingikan etnis-etnis yang ada di negri jajahannya, termasuk etnis Tionghoa berbaur dengan pribumi. Ini dimaksudkan untuk mencegah segala kemungkinan yang dapat menimbulkan pemberontakan di wilayah jajahannya. Pengelompokan golongan sosial yang diberlakukan oleh VOC ini menempatkan pribumi di golongan terakhir, sehingga pribumi dianggap sebagai masyarakat rendahan, miskin, dan bodoh. Sehingga secara tidak langsung hal itu berdampak kepada citra Islam di mata etnis Tionghoa.11

Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 terjadi gelombang migrasi besar-besaran orang Tionghoa menuju Hindia Belanda. Hampir seluruhnya berasal dari dua propinsi di Tiongkok, yaitu Fujian dan Kwangtung yang terbagi ke dalam tiga kelompok bahasa yang berbeda, yaitu Hokkian, Hakka, dan Kanton.12 Migrasi ini merupakan dampak dari kekacauan dimana pada masa itu Tiongkok di bawah pemerintahan Dinasti Qing (1644-1911) terjadi pembantaian besar-besaran terhadap umat Islam di Tiongkok. Kedatangan orang-orang Tionghoa yang sangat besar pada

11

Tanti Restiasih Skober, “Orang Cina di Bandung, 1930-1960: Merajut Geliat Siasat Minoritas Cina”, Makalah Konferensi Nasional Sejarah VIII , Jakarta: 14-17 November 2006, hlm.1.

(20)

5

abad ke-19 hingga awal abad ke-20 ini secara drastis mengubah tatanan masyarakat Hindia Belanda pada waktu itu. Jumlah mereka yang cukup banyak lambat laun menggeser keberadaan orang-orang Tionghoa peranakan yang sudah menetap ratusan tahun lebih dulu di Indonesia.13 Menurut Afthonul Afif14, Spirit nasionalisme Tiongkok yang dibawa oleh para imigran pada migrasi yang mereka lakukan di awal abad ke-20, memberi penegasan betapa mereka lah yang paling pantas menyebut diri sebagai orang Tionghoa asli. Sementara mereka yang sudah membaur dengan penduduk pribumi terlebih mereka yang memutuskan masuk Islam tidak lagi dianggap sebagai orang Tionghoa asli. Situasi ini membuat sentimen yang timbul tidak hanya antara etnis Tionghoa peranakan dengan Pribumi saja, namun timbul pula perpecahan antara Tionghoa peranakan dengan Tionghoa totok.Kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia dalam rangka penyatuan diri mereka dengan pribumi tidaklah mulus. Kenyataan bahwa mereka adalah imigran yang berasal dari kelompok ras dan memeluk agama yang berbeda dari pribumi menyulitkan penyatuan itu.15

Setelah Indonesia merdeka, banyak dari masyarakat pribumi meragukan nasionalisme Indonesia yang dimiliki oleh etnis Tionghoa. Ini bermula dari sikap Tionghoa peranakan yang awalnya mendukung Indonesia, berbalik menjadi pihak netral antara pihak Belanda dengan Pihak Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut, etnis Tionghoa yang berada di Indonesia dan pemerintah Indonesia berusaha untuk

13

Chang Yau Hoon, Identitas Tionghoa Pasca Soeharto: Budaya, Politik dan Media, (Jakarta, Yayasan Nabil dan LP3ES, 2012), hlm.xxxviii.

14Afthonul Afif,Identitas Tionghoa Muslim Indnonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri,

(Depok: Kepik, 2012), hlm. 35.

15

Leo Suryadinata,Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia, (Jakarta: Gramedia,1988), hlm.97.

(21)

menghilangkan semua sentimen yang ada dikalangan pribumi, dengan cara melakukan pembauran dengan masyarakat pribumi. Pada 1946 pemerintahan Soekarno mengeluarkan kebijakan tentang masalah kewarganegaraan terhadap kelompok minoritas ini. Bentuk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saat itu berupa undang-undang kewarganegaraan yang berdasarkan pada asas ius soli.16 Dalam sistem ini seorang Tionghoa dapat menjadi warga negara Indonesia tanpa melakukan apapun. Hal ini dikarenakan setiap etnnis Tionghoa yang lahir di Indonesia merupakan warga negara Indonesia. UU Kewarganegaraan ini berlaku hingga diadakannya perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara Indonesia dengan Repubik Rakyat Cina pada 1955.17 Perjanjian Dwi Kewarganegaraan ini baru diterapkan pada 1960.18

Situasi politik di Indonesia berubah secara drastis saat terjadi peristiwa berdarah Gerakan 30 September 1965 (G 30 S). Berbekal Surat Peritah 11 Maret atau yang sering kita sebut dengan SUPER SEMAR, Letnan Jendral Soeharto membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dianggap bertanggung jawab atas peristiwa tersebut, peralahan tapi pasti posisi Soekarno digantikan oleh Soeharto.19 Pada G 30 S/PKI etnis Tionghoa diindikasikan ikut terlibat dalam peristiwa tersebut, hal dikerenakan Cina kala itu merupakan negara yang menganut

16Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa,(Jakarta: Grafiti Pers. 1984), hlm.116. 17

Prof. Mr. Dr.s Gautama, Warganegara dan Orang-Orang Asing Berikut 42 Peraturan dan

Contoh,(Bandung: Alumni,1975),hlm.121-128.

18Isi perjanjian Dwikenegaraan dapat dilihat selengkapnya dalam Prof. Mr. Dr.s Gautama,

Warganegara dan Orang-Orang Asing Berikut 42 Peraturan dan Contoh, hlm.185.

19

Cosmas Batubara, Sejarah Lahirnya Orde BaruHasil dan Tantangannya, (Jakarta; Prahita,1986), hlm.27.

(22)

7

sistem komunis. Sehingga pada awal pemerintahannya, Soeharto dengan segera mengeluarkan kebijakan-kebijakan yeng berkaitan dengan etnis Tionghoa di Indonsia terutama terkait masalah pembauran. Salah satunya mengeluarkan Intruksi Presiden No.14/1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina tanggal 6 Desember 1967.20Dalam Instruksi Presiden tersebut, semua hal yang berhubungan dengan Cina yang bisa mengakibatkan terhambatnya proses pembauran seperti perayaan tahun baru Cina, dilarang. Dengan demikian dapat dikatakan semenjak berkuasa, presiden Soeharto pada saat itu berusaha untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mempercepat proses asimilasi demi tercapainya kedamaian di masyarakat pasca peristiwa G 30 S.

Oleh sebab itu, etnis Tionghoa yang berada di Indonesia berusahauntuk berasimilasi, mereka tidak segan-segan mengganti nama Tionghoa menjadi nama Indonesia atau pun dengan cara memeluk agama Islam sebagai agama mayoritas yang dipeluk oleh pribumi. Hal ini menunjukan bahwa mereka serius dalam mengatasi sentimen negatif yang berkembang di masyarakat, serta agar bisa diterima secara utuh sebagai bagian dari masyarakat Indonesia itu sendiri.

Menurut Leo Suryadinata, beberapa orang Tionghoa memeluk agama Islam karena alasan praktis. Misalnya usahawan akan lebih mudah membuka usaha atau menjalankan usaha mereka karena ketika masuk Islam, karena akan lebih mudah diterima masyarakat pribumi yang mayoritas Islam. Atau tertarik terhadap Islam

20

Stuart W Grief, WNI Problematik Orang Indonesia Asal Cina, (Jakarta: Pusaka Utama Grafiti, 1991), hlm. xvii-xviii.

(23)

karena hubungan erat mereka dengan sahabat-sahabat muslim pribumi mereka.21 Namun terlepas dari pendapat tersebut, tidak sedikit pula yang masuk Islam dikarenakan hubungan yang kuat dan tidak mengenal perbedaan suatu ras atau golongan sesama muslim dalam Islam yang membuat mereka lebih memilih agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia.

Menurut Junus Jahja, dengan etnis Tionghoa memeluk agama Islam dilihat sebagai tindakan atau penyempurnaan terakhir dan final dari proses pembauran.22 Untuk itu, demi mengenalkan Islam kepada etnis Tionghoa dan menjaga keimananorang-orang Tionghoa yang baru memeluk agama Islam, maka didirikanlah suatu organisasi atau lembaga yang kemudian dikenal dengan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia atau yang disingkat PITI pada tahun 1961.23

PITI merupakan gabungan dari dua organisasi muslim sebelumnya, yaitu Persatuan Islam Tionghoa (PIT) dan Persatuan Tionghoa Muslim (PTM). Persatuan Islam Tionghoa oleh Yap A Siong di Medan, dan Persatuan Tionghoa Muslim didirikan oleh Kho Goan Tjin di Bengkulu.24Penggabungan ini diakukan karena sifat kedua organisasi ini masih bersifat kedaerahan, sehingga pengaruh kedua organisasi ini masih belum dirasakan oleh seluruh masyarakat Tionghoa muslim di Indonesia pada saat itu. Kala itu ketua PP Muhammadiyah, H. Ibrahim memberikan saran

21Leo suryadinata, Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia,(Jakarta: Gramedia, 1988).

hlm.95

22Junus Jahja,Islam Dimata WNI, hlm.15

23Afthonul Afif,Identitas Tionghoa Muslim Indnonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri,

hlm.92.

24

Benny G Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik,(Jakarta: Trans Media Pustaka, 2008), hlm.81.

(24)

9

kepada Abdul Karim bahwa tidak ada organisasi yang secara khusus meyebarkan agama Islam di kalangan etnis Tionghoa, sehingga Abdul Karim Oei mengusulkan untuk menggabungkan dua organisasi Islam yang sudah telebih dahulu berdiri yaitu Persatuan Islam Tionghoa dan Persatuan Tionghoa Muslim untuk menjadi satu organisasi yang di namakan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia di Jakarta pada 14 April 1961.25 Pasca peristiwa G 30 S, PITI mengubah nama menjadi Pembina Iman Tauhid Islam dari sebelumnya Persatuan Islam Tionghoa Indonesia. Respon ini dilakukan karena adanya kebijakan pemerintah Orde Baru yang saat itu sedang menggalakan kebijakan politik anti Cina.26

Seperti yang sudah dikemukakan diatas, bahwasanya lahirnya PITI sebagai suatu wadah Muslim Tionghoa di Indonesia tidak lepas dari peran Haji Karim Oei sebagai tokoh sentral. Haji Karim Oei atau Haji Abdul Karim lahir di Padang Panjang pada 6 Juni 1905 dengan nama Tionghoa Oei Tjeng Hien. Pada 1929 ia masuk Islam, sesuatu yang sangat langka di kalangan Tionghoa pada saat itu. Karena ketaatannya ia kemudian diangkat sebagai Konsul Muhammadiyah untuk wilayah Bengkulu dan salanjutnya untuk seluruh wilayah Sumatra Selatan. Selain aktif dalam bidang dakwah terlihat dengan posisinya yang cukup strategis di Muhammadiyah Sumatra

25

Mustopa, Islam dan Pembaruan: Studi Mengenai Tionghoa Muslim di Jakarta, (Tesis, UI:2006), hlm.26-27.

(25)

Selatan, ia juga seorang pebisnis yang sukses dan juga politisi yang ulung. Tercatat ia pernah menjadi anggota DPR dan anggota Konstituante.27

Setelah H. Abdul Karim Oei meninggal pada 1988, para pengikutnya kemudian mendirikan sebuah yayasan bernama Yayasan Haji Karim Oei (yang selanjutnya akan disebut menjadi YHKO) yang didirikan pada 19 april 1991 dengan tujuan untuk menyebarkan agama Islam dikalangan etnis Tionghoa, mendekatkan Islam dengan etnis Tionghoa, dan memberikan pendampingan bagi orang Tionghoa yang baru masuk Islam.28 Penggunaan nama Haji Karim Oei pada Yayasan ini ditujukan untuk mengenang jasa dan kontribusinya dalam upaya dakwah Islam dikalangan etnis Tionghoa.

Yayasan Karim Oei terletak di jalan Lautze no.89 Pasar Baru, Jakarta Pusat.Yayasan ini berdiri dikawasan yang biasa disebut pecinan, artinya daerah yang banyak dihuni oleh warga etnis Tionghoa. Tidak jauh dari lokasi berdirinya Yayasan Haji Karim Oei ini berdiri pula beberapa Vihara yang letaknya berdekatan satu sama lain, yaitu Vihara Tunggal Darma, Vihara Venuvana, Vihara Tri Ratna, dan Vihara Buddhayana.29 Keberadaan Yayasan Haji Karim Oei di tengah-tengah pemukiman Tionghoa ini dimaksudkan agar Yayasan Haji Karim Oei sebagai media untuk mengenalkan Islam kepada warga Tionghoa disekitarnya lebih efektif. Oleh karena

27Junus Jahja, Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok Sampai Teguh Karya, (Jakarta:

Kepustakan Populer Gramedia,2002), hlm.22.

28

Afthonul Afif,Identitas Tionghoa Muslim Indnonesia, hlm.108.

(26)

11

itu selain berdiri di daerah pecinan, Yayasan ini juga mendekorasi eksterior dan interior bangunannya bergaya khas Tionghoa.

Oleh karena itu pemilihan topik mengenai etnis Tionghoa Indonesia, yang mengerucut pada muslim Tionghoa di Jakarta merupakan pembahasan yang cukup menarik untuk dikaji lebih dalam lagi. Dalam penelitian ini, penulis mencoba mengangkat peran Yayasan Haji Karim Oei dalam upaya penyebaran agama Islam dikalangan etnis Tionghoa khususnya di Jakarta.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini saya akan membatasi pembahasannya pada fokus

“Muslim Tionghoa di Jakarta” dengan melihat pada peran Yayasan Haji Karim Oei

sebagai suatu wadah dakwah Islam bagi masyarakat muslim Tionghoa di Jakarta antara 1991-1998. Secara temporal saya mengambil rentang tahun tersebut karena, pada 1991 adalah awal berdirinya Yayasan Haji Karim Oei, sedangkan 1998 peristiwa kerusuhan yang menyasar etnis Tionghoa sebagai objek kerusuhan pada saat itu yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap aktifitas dakwah yayasan ini.

Adapun perumusan masalah penelitian ini dapat diuraikan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah muslim Tionghoa dari sejak kedatangannya ke Indonesia sampai tahun 1990-an?

(27)

3. Bagaimana sejarah berdirinya Yayasan Haji Karim Oei dan peranannya dalam perkembangan agama Islam di kalangan masyarakat Tionghoa di Jakarta? Pertanyaan-pertanyaan di atas akan penulis jawab dalam uraian dan analisis yang didasarkan pada sumber-sumber yang penulis gunakan.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitan

Penelitian ini bertujuan pertama, mengetahui peran Yayasan Haji Karim Oei dalam penyebaran agama Islam di Jakarta khususnya pada masyarakat Tionghoa. Kedua, untuk mengetahui metode yang dilakukan serta peranan Yayasan Haji Karim Oei dalam dakwah Islam di Jakarta.

Adapun dalam penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut: 1. Untuk kepentingan Ilmu pengetahuan sebagai sumbangan sejarah Islam di

Indonesia

2. Mengetahuam keberadaan muslim Tionghoa di Jakarta khususnya antara tahun 1991-1998 melalui peran Yayasan Haji Karim Oei dalam penyebaran agama Islam khususnya pada masyarakat Tionghoa.

3. Memberikan wawasan kesejarahan tentang muslim Tionghoa di Indonesia khususnya di Jakarta.

D. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka sangat diperlukan dalam suatu penelitian, untuk mengetahui sejauh mana penelitian yang relevan dengan topik telah dilakukan, di samping untuk memperkaya data.

(28)

13

Buku Afthonul Afif yang berjudul “Identitas Tionghoa Muslim Indnonesia”,

buku ini secara umum menjelaskan kondisi yang dialami etnis tionghoa dalam hal sosial politik, terdiri dari beberapa bagian yaitu jaman Kolonial, Orde Lama, Orde Baru hingga masa Reformasi, akan tetapi lebih spesifik menjelaskan tentang kondisi muslim Tionghoa di masa reformasi dan perjuangannya dalam mencari identitas sebagai warga negara Indonesia yang diakui masyarakat. Buku ini sangat berguna bagi penulisan skipsi ini, khususnya pada bab I dan II. Untuk menjelaskan tentang kondisi Muslim Tionghoa pasca orde baru.

Buku selanjutnya ditulis oleh Leo Suryadinatayang berjudul Dilema Minoritas Tionghoa dan Kebudayaan Minoritas Tionghoa di Indonesia. Buku yang pertama menjelaskan tentang situasi dan kondisi politik yang dialami etnis Tionghoa pada zaman Orde Lama dan Orde Baru. Dimana etnis Tionghoa pada saat itu mengalami tekanan sosial politik yang cukup berat, terutama pada masa Orde Baru. Sedangkan buku kedua menjelaskan tentang kondisi sosial budaya yang di hadapi etnis Tionghoa pada jaman Orde Baru. Dimana pada masa pemerintahan Presiden Soeharto etnis Tionghoa tidak hanya mengalami tekanan dari sisi sosial politik saja, namun kebudayaan mereka dipaksa untuk dihilangkan salah satu contohnya pelarangan penggunaan nama Tionghoa dan perayaan hari besar Imlek. Buku ini juga sangat berguna bagi penulis, khususnya pada bab II skipsi ini. Untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi etnis Tionghoa Indonesia pada masa orde baru.

Selain buku-buku di atas terdapat beberapa karya hasil penelitian skripsi maupun tesis tentang muslim tionghoa. diantaranya skripsi yang ditulis oleh Nia

(29)

Paramita dari Universitas Indonesia yang berjudul “Pembina Iman Tauhid Islam

(PITI) Sebagai wadah asimilasi etnis Tiongoa di Indonesia”. Skripsi tersebut

membahas peran PITI sebagai wadah asimilasi atau pembauran warga Tionghoa di Indonesia pada masa Orde Baru namun tidak sama sekali tidak membahas tentang Yayasan Haji Karim Oei sebagai salah satu sarana yang di pakai muslim Tionghoa untuk berdakwah. Karena skripsi tersebut membatasi tahun penelitan dari 1961-1987.

Adapun Tesis yang berjudul: “Islam dan Pembauran: Suatu Studi Mengenai Tionghoa Muslim di Jakarta”, karya Mustopa dari Universitas Indonesia. Tesis ini

membahas upaya pembauran yang dilakukan etnis Tionghoa, dan interaksi sosial yang terjadi antara muslim Tionghoa dengan pribumi di Jakarta. Objek penelitian dalam Tesis ini adalah Masjid Lautze Yayasan Haji Karim Oei sebagai tempat observasi penelitian. Namun tidak membahas tentang sejarah berdiri hingga peran Yayasan Haji Karim Oei dalam upaya mengenalkan Islam atau berdakwah ke etnis Tionghoa di Jakarta. Hasil karya tulis dari para mahasiswa Universitas Indonesia ini oleh penulis digunakan untuk bahan perbandingan penelitian, agar terhindar dari plagiarisme.

Karya-karya tersebut pada dasarnya membahas tentang muslim Tionghoa, namun tidak satu pun yang membahas tentang Yayasan Haji Karim Oei sebagai sarana dakwah Muslim Tionghoa. Hal tersebut merupakan celah kajian penting bagi peneliti, sebab hal tersebut mejadi tantangan penulis untuk mengungkapkan peran Yayasan Haji Karim Oei sebagai sarana Dakwah Muslim Tionghoa di Jakarta.

(30)

15

E. Metode Penelitian

Metode yang akan digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode sejarah, yaitu untuk menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau,30dan menggunakan pendekaan sejarah sosial kontemporer. Metode ini diharapkan dapat membantu untuk mengetahui fakta dan sejarah pada masa lampau, sedangkan dalam penelitiannya terdapat 4 tahapan,31 di antaranya adalah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi.

Tahap pertama Heuristik, yaitu proses pencarian dan penemuan sumber data. dalam tahap ini peneliti mendapatkan data atau sumber primer hasil observasi dan wawancara langsung terhadap orang-orang yang terkait dengan Yayasan Haji Karim Oei, separti pengurus Yayasan atau Organisasi seperti Yayasan Karim Oei, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), dan Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Peneliti juga mendapatkan data berupa arsip-arsip dan majalah-majalah atau koran yang berkaitan tentang etnis Tionghoa pada masa orde baru. Data-data tersebut penulis dapatkan dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Nasional (PNRI) dan perpustakaan Yayasan Haji Karim Oei yang berhubungan dengan etnis Tionghoa. Selain itu peneliti juga mendapatkan data sekunder berupa buku dan jurnal dari beberapa perpustakaan dan situs media online yang terkait dengan tema penelitian ini.

30

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (UI Pres: 1975) hlm. 32

(31)

Tahap kedua adalah Kritik Sejarah, yaitu proses penyeleksian sumber. Seluruh data baik sekunder dan primer akan diseleksi kebenaran dan objektivitasnya. Jika dipastikan bahwa sumber-sumber tersebut mengandung fakta terpercaya dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka tahap selanjutnya adalah Interpretasi atau yang sering disebut juga dengan analisis sejarah tujuaannya agar data yang ada dapat digunakan untuk menjelaskan tema kajian penelitan ini sesuai dengan permasalahan yang dibuat. Setelah itu pada tahap terakhir adalah Historiografi atau penulisan sejarah. Yaitu proses penulisan hasil penelitian dengan cara merekonstruksi peristiwa yang terjadi di masyarakat dalam hal ini terkait dakwah Islam yang dilakukan oleh muslim Tionghoa di Jakarta 1991-1998 berdasarkan sumber data yang diperoleh yang kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif analisis.

F. Sistematika Penulisan

Penulis akan membagi penulisan skripsi ini dalam lima bab, dan masing-masing bab tediri dari beberapa bab sebagai berikut:

Bab I: Meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan

dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BabII: Menuliskan tentang sejarah Muslim Tionghoa di Indonesia mulai dari awal

kedatangan muslim Tionghoa ke Indonesia hingga masa Orde Baru, dan menjelaskan keadaan muslim Tionghoa 1991 hingga 1998 beserta aktifitasnya baik ekonomi dan dakwah sosialnya.

(32)

17

Bab III: Menjelaskan tentang profil Yayasan Haji Karim Oei (YHKO), sejarah

berdirinya YHKO, hingga struktur kepengurusan di YHKO.

Bab IV: Peranan Yayasan Haji Karim Oei sebagai wadah dakwah muslim Tionghoa

di Jakarta yang meliputi kegiatan dan aktifitas yang dilakukan YHKO, metode dakwah yang digunakan, serta peranannya.

(33)
(34)

19

BAB II

SEJARAH MUSLIM TIONGHOA DI INDONESIA

A. Awal Kedatangan Muslim Tionghoa ke Indonesia hingga Masa Orde Baru (1407-1990)

Perkembangan muslim Tionghoa di Nusantara sudah terjadi sejak zaman Kerajaan Hindu-Buddha. Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia diperkirakan melalui jalur perdagangan dengan pedagang Arab dan Persia. Selain menjalin hubungan dagang dengan saudagar Arab dan Persia, Nusantara juga menjalin hubungan dagang dengan Cina. Para pedagang Cina yang datang ke Nusantara pada saat itu berasal dari Cina bagian selatan (Hangzhou, Guangzhou, Yangzhou), dan kawasan tersebut sejak awal abad ke-9 merupakan daerah komunitas muslim di Cina.32

Persentuhan Islam dengan Tiongkok diperkirakan sudah terjadi pada pertengahan abad ke-7 M, yang ketika itu di jazirah Arab Islam berada di bawah kepemimpinan Ustman Bin Affan 577-656 M (Khalifah ketiga). Saat itu Saad Ibn Abu Waqqas diutus oleh Utsman Bin Affan ke Cina pada 651 M untuk menghadap kaisar Yong Hui dikota Changan dimana pada saat itu Tiongkok di bawah pemerintahan Dinasti Tang (618-905M) dengan misi memberi teguran kepada kaisar Yong Hui agar tidak turut campur dalam masalah peperangan antara pasukan Islam

32

Ong Hok Ham, Riwayat Tionghoa Peranakan Jawa (Cet ke-2), (Depok: Komunitas Bambu, 2009), hlm.89.

(35)

dan Persia.33Pendapat lain mengungkapkan bahwa Islam sudah dikenal di Cina sejak masa Rasulullah. Persentuhan pertama ini dibawa oleh sahabat Rasulullah Saw yaitu

Sa’ad Ibn Lubaid. Perihal kedatanggannya dikarenakan pada masa itu umat Islam

Hijrah ke Ethiopia untuk pertama kali, namun Sa’ad kurang nyaman dengan pola kehidupan di Ethiopia. Oleh karena itu ia berlayar menumpang dengan para pedagang dari Persia dan akhirnya berlabuh di Kanton sebuah pusat perdagangan di wilayah Cina saat itu.34

Di Tiongkok Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat pada masa pemerintahan Dinasti Ming (1368-1644). Melihat besarnya kontribusi Tionghoa muslim dalam menggulingkan Kerajaan Yuan yang akhirnya berdiri Dinasti Ming, maka pada kekaisaran pertama Dinasti Ming banyak di angkat jendral-jendral terkenal yang beragama Islam naik tahta. Jendral-jendral tersebut antara lain, Chang Yuchun, Mu Ying, Hu Dahai, dan Lan Yu.35 Bahkan ada yang berpendapat bahwa Dinasti Ming saat itu adalah Dinasti Islam di Cina karena untuk pertama kalinya seorang ratu Kaisar Chu Yuan Chang (Kaisar pertama dinasti Ming) yakni Emprass Ma Hoe adalah Muslimah.36

Pada abad ke-15 di masa pemerintahan Dinasti Ming, orang-orang Tionghoa dari Yunnan mulai berdatangan ke Nusantara. Kedatangan orang-orang Tionghoa ini tidak lepas dari ekspedisi Laksamana Cheng Ho atau Sam Po Kong (1405-1433) yang

33 Kong Yuan Zhi, Muslim Tionghoa Ceng Ho, (Jakarta: Pustaka Popular Obor, 2000),

hlm.273.

34

Sachiko Murata, Gemerlap Cahaya Sufi dari Cina, (Jakarta: Pusaka Sufi, 2003), hlm.19.

35

Kong Yuan Zhi, Muslim Tionghoa Ceng Ho, hlm.48.

(36)

21

mengemban tugas dari Kaisar Yung Lo (1403-1424) yang memerintah pada Dinasti Ming untuk membangun hubungan politik dan perdagangan ke Nusantara. Menurut ahli sejarah dari China bernama Zhan Zhin Xi, selama pelayaran dengan misi utama membangun hubungan diplomatik terutama dalam bidang ekonomi ke Nusantara, Cheng Ho juga memanfaatkan waktunya untuk menyebarkan agama Islam di tempat yang disinggahinya.37

Ekspedisi pertama laksamana Cheng Ho terjadi pada 1405 dengan tujuan Samudera Pasai. Laksamana Cheng ho bertemu sultan Samudera Pasai, Zainal Abidin Bahian Syah untuk menjalin hubungan politik dan ekonomi.38 Setelah hubungan antara Tiongkok dan Samudera Pasai terjalin dengan baik, semakin banyak saudagar Tionghoa yang datang ke Pasai, dan tidak sedikit pula orang-orang Tionghoa yang memeluk agama Islam. Peninggalan Cheng Ho di Samudera Pasai berupa lonceng raksasa yang bernama Cakradonya hingga kini masi bias kita lihat di Museum Banda Aceh.39 Pada 1407 Dinasti Ming kembali melakukan ekspansi dengan misi untuk merebut Kukang (Palembang) dari para perampok Tionghoa non Islam dari Hokkian yang marak terjadi saat itu.40 Salah satu perompak terkenal asal Hokkian bernama Cen Tsu Yi berhasil ditangkap, lalu ia dihukum pancung di Peking pada 1408. Hukum pancung yang diberikan kepada Cen Tsu Yi merupakan salah satu peringatan dari Kaisar Yung Lo untuk orang-orang Tionghoa Hokkian di seluruh Nanyang agar

37Kong Yuan Zhi, Muslim Tionghoa Ceng Ho, hlm.xviii.

38Selamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam

di Nusantara, (Yogyakarta: LkiS, 2005), hlm.84.

39

Kong Yuan Zhi, Muslim Tionghoa Ceng Ho, hlm. 53.

(37)

tidak ada lagi aksi peompakan serupa di Kukang karena bisa membuat hubungan bilateral yang sedang dibangun oleh Dinasti Ming di Nusantara menjadi hancur. Di Kukang (Palembang) sendiri telah ada komunitas Cina muslim bermazhab Hanafi pertama di kepulauan Indonesia.41

Selain peran Cheng Ho sebagai muslim Tionghoa dalam perkembangan agama islam di Indonesia, tidak lepas pula peran besar dari para Wali Songo dalam penyebaran agama Islam di tahan Jawa pada khususnya. Beberapa sejarawan menganggap beberapa Wali Songo merupakan keturunan Tionghoa. Sebagai contoh Sunan Ampel alias Raden Rahmat adalah seorang Tionghoa yang memiliki nama asli Bong Swi Hoo, beliau adalah anak dari Syekh Maulana Ibrahim Samargandi yang menikah dengan Dewi Candrawulan yang merupakan anak dari penguasa Champa bernama Bong Tak Keng (1413-1446). Sunan Ampel menikah dengan Ni Gede Manila yang merupakan anak dari seorang Kapten Cina yang bernama Gan Eng Yu dengan perempuan pribumi yang berkedudukan di Tuban, perkawinan tersebut melahirkan keturunan peranakan bernama Boang Nang alias Sunan Bonang.42 Bahkan menurut Pramoedya Ananta Toer, Sunan Kali Jaga merupakan keturunan Tionghoa. sunan kali jaga yang selama ini dikenal sebagai anak Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatika, menurutnya merupakan anak dari Brawijaya raja Majapahit yang menikah dengan seorang putri Cina muslim bernama Retna Subanci

41

Graaf, Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI, hlm.5

42

Selamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam

(38)

23

anak dari Babah Bantong alias Tan Go Hwat. Seperti dalam penjelasannya sebagai berikut:

“Babah Bantong adalah Tionghoa Islam, nama sebenarnya Tan Go

Hwat. Benar anaknya (Retna Subanci) telah diselir oleh Sri Baginda Bhra Wijaya, tetapi anak babah Bantong dikaruniakan oleh Sri Baginda kepada Adipati Tuban dan anak yang dilahirkannya di Tuban itu bernama Jaka Seca (Sunan Kali

Jaga)”.43

Fakta sejarah bahwa Sunan Kali Jaga lebih membela Demak dibandingkan dengan Tuban karena Demak adalah rezim Cina, merupakan alasan yang memperkuat pendapat yang di uatarakan Pram dalam bukunya. Pendapat Pram memang berlawan dan sangat berbeda dengan historiografi lokal Jawa seperti Babad Tanah Djawi, Serat Kanda, juga Tembang Babad Demak. Dalam teks-teks tersebut, Sunan Kali Jaga adalah anak kandung dari Adipati Tuban, Arya Teja bukan anak Brawijaya dari Putri Cina yang dititipkan kepada Arya Teja. Namun sebaliknya, dalam Babad-babad tersebut disebutkan bahwa anak Brawijaya dari putri Cina bernama Sio Ban Chi anak dari Syekh Bentong bernama Jin Bun atau Raden Fatah.44 Oleh Brawijaya, Sio Ban Chi yang sedang hamil diserahkan kepada Arya Damar raja muda Palembang bukan Arya Teja, dan di sanalah Raden Fatah dilahirkan. Berdirinya Kesultanan Demak juga tidak lepas dari peran yang cukup besar dari orang-orang Tionghoa. Mengingat

43Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik : Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara di Awal

Abad ke-16, (Jakarta, Hasta Mitra, 2002), hlm.367.

44

Sumanto Al-Qurtubbi, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa

(39)

Raden Fatah sebagai Sultan atau raja pertama Kesultanan Demak (1475-1507) adalah keturunan Cina dari darah ibunya dengan nama Tionghoa Jin Bun.45

Pengaruh muslim Tionghoa terhadap perkembangan Islam di Indonesia khususnya di Jawa tidak bisa dipandang sebelah mata, ini dibuktikan juga dengan berbagai peninggalan yang menunjukan adanya pengaruh Tionghoa yang cukup kuat sehingga menimbulkan sebuah alkuturasi kebudayaan antara Tionghoa, Islam, dan Jawa. Alkuturasi Tionghoa, Islam, dan kebudayaan Jawa bisa kita lihat dari segi arsitektur. Contohnya adalah ukiran padas di masjid kuno Mantingan Jepara, menara masjid di pecinan Banten, Kontruksi pintu makam sunan Giri di Gersik, kontruksi masjid Demak terutama bagian soko tatal penyangga masjid berserta lambang kurakura, dan konstruksi masjid Sekayu di Semarang.46 Peninggalan lainnya yang berada di Jakarta ialah Masjid Angke yang terletak di Kebon Jeruk yang didirikan pada 1761 oleh Tamiem Dosol dan Nyonya Tan. Masjid ini sangat kental akan arsitektur Chinaanya, mulai dari bentuk pintu masuk, mimbar dan ujung-ujung atap yang juga menyerupai atap-atap pagoda atau klenteng yang berasal dari Tiongkok. Selain itu, bedug masjid di daerah utara pesisir Jawa juga menyerupai bedug-bedug yang biasa tergantung di serambi klenteng.47 Adanya aktifitas masyarakat Tionghoa di daerah tersebut sehingga dimungkinkan adanya kontak sosial dalam hal pembangunan masjid atau pertukaran barang-barang budaya.

45Sumanto Al-Qurtubbi, Arus Cina Islam Jawa, (Yogyakarta, Inspeal Press, 2003), hlm.214. 46Sumanto Al-Qurtubbi, Islam di Tiongkok dan China Muslim di Jawa Pada Masa

Pra-Kolonial Belanda, di akses pada 21 mei 2016.

47

Amin Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia, (Semarang: Tanjung Sari, 1979), hlm. 38.

(40)

25

Proses asimilasi dan keharmonisan antara pribumi dengan etnis Tionghoa mengalami kemunduran yang cukup siginifikan oleh beberapa peristiwa. Diantaranya, ketika Kesultanan Demak yang dikenal memiliki kedekatan dengan etnis Tionghoa dikarenakan sultan pertamanya merupakan keturunan Tionghoa mengamali keruntuhan pada 1549 akibat dari konflik internal kesultanan. Ketika terjadi masa transisi pemerintahan dari kesultanan Demak hingga berdirinya Kesultanan Mataram 1588 etnis Tionghoa merasa kehilangan tempat. Sikap Kesultanan Mataram pada saat itu dianggap etnis Tionghoa tidak berpihak kepada mereka menjadi penyebab berubahnya sikap loyalitas mereka kepada pihak Belanda.48

Migrasi besar-besaran etnis Tionghoa ke Nusantara yang terjadi pada masa VOC membuat populasi penduduk etnis Tionghoa semakin banyak dan sulit dikendalikan. Migrasi ini didominasi oleh orang-orang Hokkian dan Yunan sebagai pelarian menghindari bangsa Manchu. Pada saat itu di Tiongkok sedang terjadi pemberontakan oleh bangsa Manchu kepada dinasti Ming yang terjadi pada tahun 1616-1644, yang pada akhirnya dinasti Ming mengalami keruntuhan dan berdiri imperium baru yaitu Dinasti Qing (1644-1911). Dalam pemberontakan dan masa transisi pemerintahan tersebut diperkirakan 25 juta penduduk tewas dan jutaan penduduk lainnya bermigrasi ke berbagai penjuru negeri, termasuk ke Nusantara.49 Sebagai gambaran besarnya gelombang migrasi etnis Tionghoa pada saat itu, pada

48

Teguh Setiawan, Tionghoa Indonesia : Cina Muslim dan Runtuhnya Republik Bisnis. (Jakarta: Republika, 2012), hlm.31.

(41)

1619 etnis Tionghoa yang ada di Batavia hanya berjumlah 400 jiwa meningkat menjadi 2000 jiwa pada 1629, dan pada 1725 melonjak tajam menjadi 10.000 jiwa.50 Walaupun pada saat itu pemerintah VOC telah memberlakukan peraturan yang sangat ketat dengan hanya memperbolehkan satu perahu yang membawa para imigran tidak lebih dari 100 orang saja. Berikut gambaran jumlah etnis Tionghoa di Jawa masa Hindia Belanda:

Tabel 1: Perkembangan Jumlah Etnis Tionghoa di Pulau Jawa51

Wilayah 1815 1920 1930 1972 1983 Banten 628 4.545 7.823 60.974 81.452 Batavia 52.394 97.870 149.225 20.432 37.767 Bogor 2.633 24.748 37.577 89.872 81.871 Priangan 180 14.093 33.003 42.474 37.314 Jawa Barat 58.178 167.751 259.718 329.381 360.934

Semakin banyaknya etnis Tionghoa pada masa itu membuat VOC merasa kekuasaannya terancam, etnis Tionghoa yang sudah dianggap anak emas dan memiliki peran strategis dalam bidang ekonomi semakin mendominasi. Hal ini membuat kekuasaan VOC di Nusantara terancam disebabkan munculnya berbagai konflik antara etnis Tionghoa dengan Pribumi, seperti pada 1740 terjadi Kerusuhan etnis Tionghoa di Jakarta dengan pribumi. Kerusuhan ini disebabkan ketidakpuasan masyarakat pribumi terhadap pemerintah Belanda pada waktu itu yang dianggap berat sebelah terhadap etnis Tionghoa. Pada saat itu pribumi melakukan pembantaian

50Hembing Wijayakusuma, Pembantaian Masal 1740 : Tragedi Berdarah Angke. hlm.78 51

Raffles, I, 1978:II Volkstelling 1930, VIII, 1936: 164-166: sensus 1972 dalam Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah Jilid I, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), Hlm. 42.

(42)

27

terhadap etnis tionghoa yang mereka temui, membakar rumah-rumah, gudang-gudang logistik, dan melakukan penjarahan terhadap aset-aset yang dimiliki etnis tionghoa di batavia. Pada peristiwa ini Hembing menyebutnya dengan tragedi Chinezenmood (pembantaian orang-orang Cina/Tionghoa).52 Setelah peristiwa Chinezenmood untuk mengatasi gelombang migrasi yang cukup besar etnis Tionghoa pada masa itu, VOC memberlakukan kebijakan dan memberikan pengawasan yang sangat ketat terhadap para imigran serta pedagang-pedangang Tionghoa. Bagi para imigran Tionghoa yang baru datang dan hendak tinggal di Batavia mereka diharuskan memiliki izin khusus yang dikeluarkan oleh VOC.

Selain kebijakan migrasi, VOC juga memisahkan pemukiman Tionghoa muslim dengan yang non muslim serta memberlakukan kebijakan cukur rambut untuk etnis Tionghoa muslim. Dalam dokumen-dokumen VOC etnis Tionghoa yang telah

menjadi muslim disebut dengan “geschoren cinezeen” artinya orang-orang Tionghoa

cukuran.53 Peraturan-peraturan yang diberlakukan VOC ini dimaksudkan untuk memudahkan Belanda dalam membedakan etnis Tionghoa yang sudah menjadi muslim dengan etnis Tionghoa yang non muslim dan pribumi.

Kebijakan selanjutnya adalah penerapan politik devide et impera atau politik pecah belah.Dalam sistem politik ini VOC mengelompokkan masyarakat Indonesia kedalam tiga golongan, yaitu: golongan atas atau pertama adalah golongan untuk bangsa Eropa, golongan menengah atau kedua untuk bangsa pendatang dari timur

52

Hembing Wijayakusuma, Pembantaian Masal 1740: Tragedi Berdarah Angke. (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2005), hlm.65.

(43)

asing (mayoritas Cina), dan golongan yang terakhir dan yang terendah adalah untuk masyarakat pribumi. Pemberlakuan sistem ini karena VOC tidak menginginkan etnis-etnis yang ada di negeri jajahannya, termasuk etnis-etnis Tionghoa berbaur dengan pribumi. Ini dimaksudkan untuk mencegah segala kemungkinan munculnya pemberontan yang bisa mengganggu stabilityas politik dan ekonomi yang sedang dibangun VOC. Pengelompokan golongan sosial yang diberlakukan oleh VOC yang menempatkan pribumi di golongan terakhir, sehingga muncul anggapan bahwa pribumi sebagai masyarakat rendahan, miskin, dan bodoh, yang akhirnya secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap citra Islam dimata etnis Tionghoa. Ditambah lagi dengan kepiawaian yang dimiliki etnis Tionghoa dalam bidang perekonomian jauh melebihi kamampuan penduduk pribumi, fenomena inilah yang membuat jurang pemisah dan sentimentil yang terjadi semakin tinggi.54

Pada 1830 pemerintahan Hindia Belanda membentuk Chiese Offcieren atau Kapitan Cina sebagai tenaga administrasi dan penarik pajak. Mereka diberi tugas untuk menjelaskan berbagai peraturan pemerintah Hindia Belanda kepada kaum sebangsanya dan mengumpulkan pajak yang mereka harus bayar. Sebagai imbalannya, mereka diberi hak monopoli atas pembuatan garam, pertambangan timah, dan pembuatan mata uang perak.55 Walaupun terdapat diskriminasi terhadap etnis Tionghoa muslim seperti penerapan peraturan mengenai cara berpakaian dan

54Tanti Restiasih Skober, “Orang Cina di Bandung, 1930-1960: Merajut Geliat Siasat Minoritas Cina”, hlm.1.

55

Leo Suryadinata, Politik Etis Tionghoa Indonesia 1900-2002, (Jakarta: LP3ES, 2002). hlm. 121.

(44)

29

gaya rambut yang berbeda, namun pemerintah Hindia Belanda dengan adil memberikan hak monopoli dan perdagangan kepada etnis Tionghoa tanpa memandang agama. Hal ini membuat perbedaan status sosial dan ekonomi antara muslim Tionghoa dengan pribumi semakin besar, sehingga memunculkan kecemburuan sosial yang akhirnya menghambat proses asimilasi antara keduanya.

Berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda tidak selalu pro terhadap etnis Tionghoa. Keberhasilan etnis Tionghoa dalam membuat jaringan komersial hingga kepelosok daerah membuat pemerintah Hindia Belanda khawatir, sehingga pada 1863 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan untuk etnis Tionghia untuk izin perjalanan bernama passenstelsel. Kebijakan ini mengatur etnis Tionghoa yang akan berpergian selama beberapa hari, mereka harus mendapatkan izin dari pemerintah Hindia Belanda dan bagi yang melanggar akan dikenakan denda

sebesar ƒ25.56Peraturan ini dibuat agar pemerintah Hindia Belanda dapat mengawasi dan mengontrol segala aktifitas perdagangan etnis Tionghoa dan mendapatkan keuntungan dari aktifitas mereka tersebut. Pada 1900 pemerintah Hindia Belanda kembali mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan etnis Tionghoa untuk bermukim di daerah tertentu dengan nama wijkenstelsel. Sistem ini dibuat bertujuan untuk mempermudah pengawasan terhadap etnis Tionghoa. pelanggaran atas kebijakan ini

56

Ong Hok Ham. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, (Depok: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 146.

(45)

akan dianggap tindakan kriminal, demikian pula pelanggaran atas ketentuan surat izin perjalanan.57

Problematika yang dialami etnis Tionghoa tidak hanya sampai disitu. Pada masa pergerakan kemerdekaan, masyarakat pribumi meragukan nasionalisme Indonesia yang dimiliki oleh etnis Tionghoa. Ini terjadi akibat adanya kebangkitan gerakan-gerakan nasionalis dan membawa spirit nasionalisme yang berorientasi ke negri Tiongkok melibatkan orang-orang Tionghoa Indonesia. Tonggak awal munculnya nasionalisme Tionghoa yang berorientasi ke Tiongkok di Indonesia adalah dengan didirikannya Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) atau perkumpulan Tionghoa pada tanggal 17 Maret 1900 di Jakarta.58

Gerakan ini lahir karena adanya perlakuan diskriminatif yang dirasakan etnis Tionghoa dalam bidang hukum dan peradilan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai contoh, dalam perkara kriminal tertuduh Tionghoa harus diadili di Landraad (pengadilan untuk Pribumi) karena dalam aturan hukum pidana etnis Tionghoa statusnya disamakan dengan pribumi oleh pemerintah Kolonial,walaupun pada penerapan devide et imperaetnis Tionghoa berada di strata sosial kedua.Tujuan utama gerakan ini adalah pengembangan ajaran Khonghucu, kebudayaan, dan tradisi Tionghoa. Ini terlihat jelas dari bunyi pasal 2 ayat 1 dalam anggaran dasar THHK ini yang berbunyi:

57

Ong Hok Ham. Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina, hlm.146.

58

Leo Suryadinata, Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917-1942, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1986), hlm. 43.

(46)

31

”Untuk mengembangkan adat-istiadat dan tradisi Tionghoa sesuai

dengan ajaran-ajaran Khonghucu dan mengembangkan ilmu pengetahuan terutama di bidang tulis-menulis dan bahasa

Tionghoa”.59

Tepat setahun kemudian THHK pada tahun 1901 mendirikan sekolah khusus etnis Tionghoa di Jakarta dan mendidik mereka untuk menjadi nasionalis Tiongkok. Ini bisa dilihat dari buku-buku pelajaran berbahasa Tionghoa yang digunakan pada sekolah tersebut umumnya didatangkan langsung dari Tiongkok.60 Dalam waktu singkat etnis Tionghoa di kota-kota lain ikut mendirikan sekolah-sekolah serupa yang bernaung dibawah THHK, sehingga ratusan sekolah THHK berdiri diberbagai kota dan menampung ribuan anak-anak Tionghoa.

Gerakan-gerakan yang dilakukan etnis Tionghoa dengan THHK membuat pemerintah Hindia Belanda semakin khawatir.Berdirinya THHK telah menumbuhkan rasa nasionalisme etnis Tionghoa di Hindia Belanda yang berkiblat ke Tiongkok yang merupakan bagian dari Gerakan Tiongkok Raya (Gerakan Pan Tionghoa).61 Untuk meredam pergerakan etnis Tionghoa yang semakin berkiblat ke Tiongkok, akhirnya pemerintah Hindia Belanda mendirikan Hollandsch Chineesche School (HCS) yaitu sekolah untuk anak-anak Tionghoa pada 1908.Sekolah ini menerapkan sistem pendidikan Barat dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.62Walaupun diperuntukan

59Benny G. Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, hlm. 306.

60Leo Suryadinata, Politik Etis Tionghoa Indonesia 1900-2002, (Jakarta: LP3ES, 2002), hlm.

272.

61

G. William Skiner, Golongan Minoritas Tionghoa, hlm. 14.

(47)

untuk anak-anak dari etnis Tionghoa, dalam penerapannya sekolah ini juga menerima siswa dari kalangan Eropa dan pribumi, namun dengan kriteria-kriteria tertentu saja.

Selain itu, surat kabar berbahasa peranakan Tiongoa Sin Po, mendukung nasionalisme politik Tionghoa. Ini bisa dilihat dari isi koran Sin Po yang lebih banyak memuat berita tentang perkembangan keadaan sosial politik di negeri Tiongkok dibandingkan dengan berita perkembangan di Hindia Belanda. Mereka mendesak etnis Tionghoa di Hindia Belanda menarik diri dari institusi-institusi politik lokal, dan menghimbau untuk terlibat secara aktif dalam politik di Tiongkok.63 Mereka menginginkan kesetaraan dengan Belanda di depan hukum dan juga menuntut pendidikan Tionghoa bagi etnis Tionghoa di Hindia Belanda.

Gerakan-gerakan yang terus terjadi hingga masa kemerdekaan Indonesia, sehingga menimbulkan keraguan akan nasionalisme Indonesia yang dimiliki oleh etnis Tionghoa. Untuk mengatasi masalah nasionalisme etnis Tionghoa tersebut, pemerintah Indonesia berusaha dengan berbagai cara untuk menghilangkan semua sentimen yang ada dikalangan etnis Tionghoa, dengan cara melakukan pembauran dengan masyarakat pribumi. Pada 1946 pemerintahan Soekarno mengeluarkan kebijakan tentang masalah kewarganegaraan terhadap kelompok minoritas ini. Bentuk kebijakan yang dikeluarkan pemerintahsaat itu berupa undang-undang kewarganegaraan yang berdasarkan pada asas ius soli.64Dalam sistem ini menyatakan bahwa warga negara adalah orang yang bertempat tinggal di negara tersebut, dengan

63

Leo Suryadinata, Politik Etis Tionghoa Indonesia 1900-2002, hlm. 5.

(48)

33

kata lain seorang Tionghoa secara otomatis menjadi warga negara Indonesia tanpa melakukan apapun. Hal ini dikarenakan setiap etnnis Tionghoa yang lahir di Indonesia merupakan warga negara Indonesia. UU Kewarganegaraan ini berlaku hingga diadakannya perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara RI dengan Repubik Rakyat Cina pada 1955.65Perjanjian Dwi Kewarganegaraan ini baru diterapkan pada 1960.66

Langkah yang di ambil pemerintahan Soekarno selanjutnya adalah dengan mengeluarkan kebijakan yang sersifat asimilatif, yaitu pergantian nama bagi etnis Tionghoa pada tahun 1961. Kebijakan tersebut berupa UU No.4 Tahun 1961 tentang perubahan atau penambahan nama keluarga yang berbunyi:

“Sesuai dengan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sementara, dirasakan perlu untuk mengadakan penyeragaman dan penertiban dalam peraturan perubahan atau penambahan nama keluarga, sebagai suatu langkah untuk menghomogenkan warga

negara Indonesia.”67

Kebijakan ini dimaksudkan agar menyesuaikan dengan nama khas Indonesia, sebagai contoh Ong Gie Kong menjadi Ongkojaya.68 Pergantian nama di kalangan etnis Tionghoa diharapkan menjadi cara asimilasi yang tepat bagi permasalahan Tionghoa di Indonesia. Namun kebijakan tersebut sulit untuk dilaksanakan karena rumitnya proses yang harus ditempuh. Bagi etnis Tionghoa yang ingin mengganti

65Prof. Mr. Dr.s Gautama, Warganegara dan Orang-Orang Asing Berikut 42 Peraturan dan

Contoh, (Bandung: Alumni,1975), hlm.121-128.

66Isi perjanjian Dwi Kenegaraan dapat dilihat selengkapnya di Prof. Mr. Dr.s Gautama,

Warganegara dan Orang-Orang Asing Berikut 42 Peraturan dan Contoh, hlm.185.

67

Lampiran Undang-Undang No.4 tahun 1961 tentang perubahan atau penambahan nama keluarga.

(49)

namanya diharuskan untuk melapor ke pengadilan dan kemudian mengumumkan perubahan namanya tersebut dalam Berita Negara.69 Sulitnya proses tersebut membuat kebijakan ini jalan di tempat bahkan tidak berjalan.

Seiring berjalannya waktu, Soekarno tidak mempermasalahkan keputusan etnis Tionghoa yang memilih berasimilasi atau berintegrasi.70 Oleh sebab itu, pada masa tersebut banyak perdebatan mengenai jalan mana yang harus di pilih oleh etnis Tionghoa Indonesia. Dalam hal ini Soekarno lebih mementingkan kesatuan bangsa yang berdasarkan nation-building demi tercapainya kestabilan negara. Oleh sebab itu Soekarno mendukung organisasi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) dan Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) dalam memperjuangkan dukungan etnis Tionghoa di Indonesia untuk menentukan arah pembauran yang mereka inginkan. Meskipun dalam perkembangannya presiden Soekarno lebih dekat dengan Baperki dibanding LPKB, ini karena aktivitas Baperki yang selalu setia mendukung kebijakan-kebijakan Politik Soekarno.71

Situasi politik di Indonesia berubah secara drastis saat terjadi peristiwa berdarah G 30 S. Pada 11 maret 1966, Presiden Soekarno menandatangani Surat Perintah yang dimandatkan kepada Letnan Jendral Soeharto untuk mengatasi permasalahan peristiwa G 30 S tersebut. Surat yang sekarang kita kenal dengan SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) itu menjadi landasan untuk

69

Benny G Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, hlm. 965

70Asimilasi adalah peleburan sifat-sifat asli yang dimiliki dengan sifat-sifat lingkungan

sekitar. Kamus Besar Bahasa Indonesia Ed.2, (Jakarta: Balai Pustaka. 1991), hlm. 60. Integrasi adalah penyesuaian unsur kebudyaan yang salig berbeda, sehingga menciptakan suatu keserasian. Kamus

Besar Bahasa Indonesia Ed.2, (Jakarta: Balai Pustaka. 1991), hlm. 383

(50)

35

memulihkan keadaan dari berbagai sektor, mulai dari sosial, ekonomi hingga politik di Indonesia.72 Pasca peristiwa G 30 S banyak terjadi pengusiran- pengusiran etnis Tionghoa yang terjadi diberbagai daerah di Indonesia.73Hal ini merupakan imbas dari kecurigaan masyarakat pribumi atas etnis Tionghoa terlibat dalam PKI karena negri asal etnis Tionghoa yaitu Cina merupakan negara yang meganut paham komunis. Selain membubarkan PKI, Soeharto juga bergerak memulihkan kondisi sosial di Indonesia terutama menangani permasalahan etnis Tionghoa di Indonesia. Akibat peristiwa September 1965 yang secara tidak langsung menjadikan etnis Tionghoa sebagai objek kerusuhan, maka Soeharto mengeluarkan beberapa kebijakan yang bersifat asimilatif. Ini dimaksudkan agar etnis Tionghoa dapat berbaur secara menyeluruh dengan masyarakat Indonesia.

Kebijakan pertama kali yang dikeluarkan oleh pemerintah Soeharto pada masa kekuasaannya terkait etnis Tionghoa adalah Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/KEP/12/1966. Kebijakan ini mengenai ganti nama bagi etnis Tionghoa yang merupakan terusan dari UU No.4 tahun 1961 yang dikeluarkan presiden Soekarno. Dalam Keppres 127/U/KEP/12/1966 disebutkan:

“Pergantian nama dari orang Indonesia keturunan asing dengan nama

yang sesuai dengan nama Indonesia asli akan dapat mendorong usaha asimilasi ini, oleh karena itu bagi warganegara Indonesia yang masih memakai nama Cina, yang ingin mengubah namanya yang sesuai dengan nama Indonesia asli perlu diberikan fasilitas yang

seluas-luasnya.”74

72

Benny G Setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, hlm. 933

73

Antara, Pengusiran WNA Tjina adalah wajar dan tepat, Sabtu 29 Maret 1967

(51)

Dikeluarkannya kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mempermudah proses pergantian nama untuk etnis Tionghoa dan dengan maksud mempercepat proses asimilasi. Jika pada masa pemerintahan Soekarno etnis Tionghoa yang ingin mengganti nama harus melakukannya di pengadilan dan di umumkan di Berita Negara75, maka dengan dikeluarkannya Keppres ini etnis Tionghoa dapat mengganti namanya di kantor walikota atau kabupaten saja.

Salah satu faktor lain yang menjadi penghambat tejadinya proses Islamisasi dikalangan masyarakat keturunan Tionghoa adalah kebijakan-kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan pemerintah Orde Baru. Menurut Jendral A.H Nasution, setelah terjadinya peristiwa 30 September 1965, banyak perwira yang melihat asimilasi sebagai faktor penting dalam menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa demi terciptanya keamanan nasional.76 Oleh sebab itu saat Soeharto menjabat sebagai Presidium Kabinet ia mengeluarkan beberapa peraturan terkait dengan asimilasi dikalangan etnis Tionghoa. Setelah Soeharto secara resmi menjadi Presiden Indonesia, ia pun tetap mengeluarkan berbagai kebijakan terkait pembauran etnis Tionghoa di Indonesia dalam upaya menyukseskan program pembangunan nasional. Kebijakan-kebijakan pemerintah Soeharto terhadap etnis Tionghoa, diantaranya adalah77:

75Lampiran Undang-Undang No.4 tahun 1961 pada Pasal 6 mengenai Prosedur Ganti Nama. 76

Junus Jahja, Non Pri Di Mata Pribumi, (Jakarta: Yayasan Tunas Bangsa,1991), hlm. 168.

77

Junus Jahja, Masalah Tionghoa di Indonesia Asimilasi vs Integrasi, (Jakarta: LPMB, 1999), hlm. 126.

(52)

37

1. Keputusan Presidium No.127/U/Kep/12/1966 tentang peraturan

ganti nama. “Pergantian nama dari keturunan asing dengan nama

yang sesuai dengan nama Indonesia asli akan dapat mendorong

usaha asimilasi.”78

2. Intruksi Presiden No.37/U/IN/6/1967 tentang Badan Kordinasi

Masalah Cina. “Pembinaan warga negara asing dijalankan dengan

melalui proses asimilasi terutama untuk mencegah terjadinya kehidupan yang ekslusif rasial.”79

3. Intruksi Presiden No.14/1967 tentang agama, kepercayaan dan

adat istiadat Cina. “Perayaan-perayaan pesta agama dan adat

istiadat Cina dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga atau

perorangan.”80

4. Intruksi Presiden No.15/1967 tentang pembentukan staf khusus

urusan Cina. “Untuk peningkatan daya guna dan kelancaran

pelaksanaan penyelesaian masalah Cina di daerah,

Gubernur/Kepala Daerah dapat dibantu oleh staf khusus.”81

5. Keputusan Presiden No.240/1967 tentang kebijaksanaan pokok

yang menyangkut warga negara keturunan asing. “Terhadap warga

negara Indonesia keturunan asing yang masih memakai nama Cina dianjurkan mengganti nama-namanya dengan nama Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.”82

78Lampiran, Keputusan Presidium Kabinet No.127/U/Kep/12/1966, pada poin Menimbang. 79 Wahyu Efendi, “Tinjauan atas Rumusan Pasal mengenai Diskriminasi Rasial dalam

Rancangan KUHP”, (Jakarta: Focus Grup Discussion, 23 November 2006).

80

Lampiran,Intruksi Presiden No.14 tahun 1967, tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina pada poin Intruksi Pertama.

81Lampiran,Intruksi Presiden No.15/1967, tentang Pembentukan Staf Khusus Urusan Cina

pada Pasal 1 ayat 2.

82

Lihat lampiran,Keputusan Presiden No.240/1967, tentang Kebijaksanaan Pokok Yang Menyangkut Warga Negara Keturunan Asing pada Pasal 5.

Gambar

Tabel  1 Perkembangan Jumlah Etnis Tionghoa di Pulau Jawa Tabel 2 Data Pengislaman PITI 1965-1978
Gambar 1 Tampak depan Masjid Lautze Jakarta (Yayasan Haji Karim Oei) sebelum dan sesudah direnovasi
Tabel 1: Perkembangan Jumlah Etnis Tionghoa di Pulau Jawa 51
Tabel 2: Data Pengislaman PITI 1965-1978 90 Tahun Jumlah Muallaf
+7

Referensi

Dokumen terkait

Diharapkan kepada petani padi sawah di Kecamatan Peureulak Timur untuk dapat meningkatkan pendapatan usahatani yang dikelolanya dengan cara pengelolaan yang baik

PROGRAM- PROGRAM INI DITUJUKAN UNTUK MENGHASILKAN MASYARAKAT YANG MANDIRI DALAM MENINGKATKAN STANDAR KEHIDUPAN MEREKA DENGAN MEMANFAATKAN POTENSI EKONOMI YANG ADA...

Secara umum system yang diusulkan yaitu berupa website yang menjadi media penyampaian informasi seputar airplanesystm bandung berserta informasi tentang

Sedangkan pendekatan yang menekankan pada komponen atau elemennya bahwa sistem adalah kumpulan dari elemen-elemen yang akan berinteraksi untuk mencapai

yang terdapat dalam tuturan tersebut ialah tindak tutur direktif karena penutur meminta mitra.. tutur untuk melakukan sesuatu yang termasuk ke dalam kategori verba meminta

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti kelas VII SMP Negeri 21 Bandar Lampung, pada implementasi strategi quantum quotient menyatakan adanya

Jika menilik prinsip-prinsip hukum Hak Kekayaan Intelektual sebagaimana telah diuraikan, di situ juga terdapat adanya prinsip sosial disamping prinsip-prinsip lainnya

Seorang manajer harus mengetahui tentang penelitian dikarenakan pengetahuan penelitian tidak saja menolong seseorang melihat informasi yang tersedia dengan cara canggih