• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG MASALAH. Dinamika yang terjadi selalu berlangsung sesuai dengan hukum-hukum alam,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG MASALAH. Dinamika yang terjadi selalu berlangsung sesuai dengan hukum-hukum alam,"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENGANTAR

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Segala sesuatu yang ada di Bumi ini selalu mengalami dinamika. Dinamika yang terjadi selalu berlangsung sesuai dengan hukum-hukum alam, sehingga dinamika itu bersifat siklik (mendaur) dan ritmik (seirama). Karena siklik dan ritmik maka dinamika itu berlangsung secara harmonis, tidak bertentangan dengan hukum alam (Sunarto, 2005).

Zona patahan atau zona sesar merupakan zona yang lemah dan mudah diterobos oleh aliran magma. Wilayah Indonesia ini banyak dijumpai gunung api. Katili dan Sisowodjojo (1994), menyatakan bahwa para pakar kebumian telah mencatat lebih kurang 400 gunung api tersebar di Sumatra, Jawa, Bali, Nusatenggara, Sulawesi Utara, Halmahera, dan Laut Banda. Dari 400 gunung api di Indonesia tersebut, 129 gunung api dalam kondisi aktif. Kota Yogyakarta dan sekitarnya ditinjau dari kondisi lingkungan merupakan daerah yang berpeluang terjadinya ancaman alam, yaitu gunung Merapi yang merupakan gunung yang paling aktif di dunia yang dapat mengakibatkan timbulnya awan panas maupun luncuran lava. Juga adanya pergeseran Lempengan Australia dan Lempengan Euro Asia di sebelah selatan, berpotensi menimbulkan gempa bumi tektonik yang salah satunya terjadi pada hari Sabtu 27 Mei 2006 lalu.

Seperti halnya yang baru terjadi yaitu letusan gunung Merapi pada bulan Oktober 2010 merupakan bencana alam nasional yang memakan banyak korban jiwa dan kerugian meteril yang tidak sedikit, banyaknya orang yang kehilangan tempat tinggal dan harus mengungsi dalam jangka waktu yang tidak sebentar,

(2)

terlebih lagi ketika radius zona aman diperluas menjadi 20km dari puncak gunung.

Erupsi gunung Merapi pada tahun 2010 merupakan erupsi terburuk sejak tahun 1870 atau dalam kurun waktu 100 tahun, erupsi ini berdampak langsung pada masyarakat dan lingkungan yang ada di empat kabupaten yaitu Sleman, Magelang, Klaten dan Boyolali dengan kerugian mencapai 5,3 triliun rupiah dengan menelan korban 386 jiwa dan sebanyak lebih dari 400 jiwa mengungsi (BNPB, 2010) Erupsi Merapi bukan hanya menyebabkan kerugian akibat banyaknya korban jiwa dan warga yang kehilangan tempat tinggal dan lahan pekerjaan, namun juga menyisakan duka yang mendalam pada korban dan tentu saja meninggalkan traumatik yang mendalam bagi individu yang mengalaminya secara langsung. Idealnya ketika individu mengalami suatu masalah akan bangkit dan menata kembali hidupnya, namun para survivor erupsi merapi masih mengalami trauma, individu yang menderita traumatik lebih banyak daripada yang menderita secara fisik.

Gunung api ketika meletus menjadi bencana, setelah itu menjadi berkah bagi kesuburan tanah dan sumber nafkah dari limpahan material vulkanik dari letusan (Surono, 2010). Dari data BNPB yang diperoleh, didapatkan di daerah Sleman lebih dari 275 jiwa melayang dan jumlah korban tewas belum termasuk pada wilayah Magelang, Klaten dan Boyolali. Dari data yang didapatkan, banyaknya korban jiwa dan kerugian material membawa dampak yang cukup besar baik fisik maupun psikis. Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional telah selesai menghitung kerusakan dan kerugian akibat letusan Gunung Merapi pada 26 Oktober 2010 sampai 5 November 2010. Dampak letusan gunung di perbatasan Jawa Tengah

(3)

dan Daerah Istimewa Yogyakarta itu diperkirakan mencapai Rp.4,23 triliun. Dalam perhitungan tersebut data yang digunakan adalah data per 31 Desember 2010.

Dari data yang diperoleh dari BNPB melaporkan per 1 Desember 2010, erupsi tanggal 26 Oktober 2010 dan 5 November 2010 telah menimbulkan korban 196 orang meninggal dunia akibat luka bakar awan panas, 151 meninggal akibat luka non bakar, 258 orang luka-luka, sebanyak 410.388 orang harus mengungsi. Kerugian lain akibat erupsi Gunung Merapi adalah matinya hewan ternak, rusaknya lahan, matinya tanaman, serta kerusakan bangunan. Kerugian dan kerusakan akibat banjir lahar dingin tidak dimasukkan dalam kajian ini. Sebab potensi banjir lahar dingin masih akan terjadi hingga Maret-April 2011 karena masih besarnya peluang terjadinya hujan ekstrem di sekitar Merapi. Jika kajian kerusakan, kerugian dan dampak ekonomi menunggu berakhirnya banjir lahar dingin, maka akan menghambat rencana rehabilitasi dan rekonstruksi. Untuk itulah hasil perhitungan ini adalah hasil di luar dari dampak banjir lahar dingin. Seperti disiarkan BNPB, Minggu 16 Januari 2011, jumlah kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh bencana letusan Gunung Merapi tahun 2010 adalah Rp.4,23 triliun. Jumlah nilai kerusakan adalah Rp1,138 triliun (27%), sedangkan jumlah nilai kerugian adalah Rp.3,089 triliun (73%) (BNPB, 2010).

Dampak letusan Gunung Merapi masih terasa hingga saat ini adalah banjir lahar dingin yang kerap terjadi dan melanda daerah Magelang, dan daerah sekitaran sungai yang berhulu pada Gunung Merapi. Bencana tersebut menimbulkan efek traumatik pada korban yang mengalaminya, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Pasca bencana tersebut menyisakan berbagai kondisi yang sungguh memprihatinkan. Selain menderita luka fisik, para korban selamat

(4)

(survivor) juga mengalami gangguan fisik yang berdampak pada kondisi psikis dan spiritual mereka.

Individu dan komunitas yang tinggal dalam wilayah bencana dan terkena dampak bencana tersebut langsung terposisikan sebagai korban. Namun, individu yang selamat dalam bencana tersebut langsung ditantang untuk tetap survive dalam menjalani hidup pasca bencana. Individu-individu tersebut adalah survivor atau penyintas, bukan hanya korban. Penyintas dapat laki-laki ataupun perempuan, baru menikah, orang hamil, usia bayi, anak, remaja, pemuda, orang dewasa, tengah baya, pasangan bersangkar kosong, masa matang, ataupun usia lanjut (Wiryasaputra, 2006). Bagi sebagian korban yang selamat (survivor) menerima kenyataan bahwa dirinya telah kehilangan banyak hal akibat letusan gunung Merapi adalah hal yang sulit dilakukan, meskipun terasa lebih ringan karena bencana ini melanda banyak orang, namun perubahan yang sangat mendadak dan berkaitan dengan kehidupan selanjutnya sangat sulit diterima.

Semakin luas, dahsyat, ganas, kompleks, tragis, dan masif sebua bencana semakin dalam pula tingkat kehilangan, kedukaan, dan goncangan batin yang dirasakan oleh para korbannya (Wiryasaputra, 2006).

Masyarakat yang menjadi survivor dari suatu bencana cenderung memiliki masalah penyesuaian prilaku dan emosional. Perubahan mendadak sering membawa dampak psikologis yang cukup berat. Beban yang dihadapi oleh survivor tersebut dapat mengubah pandangan mereka tentang kehidupan dan menyebabkan tekanan pada jiwa mereka (Sulistiarini, 2010).

Para penyintas (survivor) yang masih hidup mengalami hantaman psikologis yang lebih berat lagi. Mereka tidak hanya menyaksikan tetapi juga terlibat langsung dalam bencana. Kejadian yang mereka alami akan terekam

(5)

kuat dalam ingatan mereka. Segala sesuatu yang mereka lihat, suara teriakan yang mereka dengar, bau yang mereka cium, dan perasaan yang muncul akan terus ada dalam hidup mereka. Bencana yang dasyat membuat para penyintas (survivor) merasa tidak berdaya, berminggu-minggu paska kejadian mereka mengalami berbagai macam gangguan psikologis. Bagi beberapa orang, duka mendalam, depresi, gelisah, atau rasa bersalah yang kuat. Sebagian orang yang lainnya mengalami, kesulitan mengontrol kemarahan dan mudah curiga. Selain itu ada yang menghindar atau menarik diri dari orang lain, sering mengalami mimpi buruk, sering merasa terkejut seakan-akan kejadian tersebut akan terulang lagi, merasa kehilangan makna hidup, pesimis menghadapi masa depan,

Tidak dipungkiri bahwa bencana akan mengakibatkan kekacauan yang terjadi dalam waktu cukup lama dan mengganggu aktivitas individu, kelompok/komunitas dan fungsi organisasi, sebagaimana disampaikan oleh Bell (1996). Pendapat senada juga ditegaskan Veitch dan Arkkelin (1995) bahwa bencana selain menyebabkan kerusakan fisik juga menyebabkan kekacauan kehidupan sosial.

Menurut pendapat Bolin (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) hal yang perlu diperhatikan adalah kondisi kesehatan mental akibat bencana alam. Kesehatan mental dipengaruhi oleh interaksi perubahan fisik, psikologis, situasi sosial dan masalah-masalah material. Quarentelli dan Dynes (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) menegaskan bahwa sebagian besar orang yang terkena bencana akan terlihat panik walaupun demikian sebagian kecil orang tampak terlihat tenang dan berusaha rasional. Perry, Lindell dan Green (dalam Veitch & Arkkelin, 1995) mengatakan bahwa orang-orang yang tenang adalah mereka yang bisa

(6)

memperkirakan terjadinya bencana tersebut (biasanya bencana yang familiar) dan cukup memiliki „data‟ dari proses learning helplessness.

Musibah bencana alam tidak hanya menimbulkan kerugian fisik seperti kematian, cacat, dan menimbulkan kerugian materi di berbagai bidang saja. Bencana alam juga meninggalkan dampak psikologis bagi masyarakat yang selamat dan bertahan hidup. Kehilangan anggota keluarga karena meninggal serta musnahnya seluruh harta benda dalam waktu singkat menyebabkan individu yang selamat harus mampu bertahan hidup dengan keadaan yang serba minimal (Amawidyati & Utami, 2007).

Korban bencana alam akan mengalami gangguan kurang tidur, mimpi buruk, kehilangan keleluasaan beraktifitas, tercerabut dari hubungan sosialnya yang teratur. Keadaan ini akan menjadi stressful. Dukungan sosial akan memberikan stress-buffering effect bagi korban (Bolin, 1983; Lindy & Grace, 1985 dalam Veitch & Arkkelin, 1995).

Dalam kehidupan seseorang seringkali tidak dapat dihindari terjadinya berbagai peristiwa tragis yang menimpa baik diri sendiri, keluarga, dan lingkungannya. Salah satu diantara peristiwa-peristiwa tragis itu adalah mendapat musibah yang dapat merenggut nyawa keluarga dan merampas harta benda yang dimilikinya. Peristiwa yang tak terelakkan tersebut sudah pasti mengakibatkan stress dan menimbulkan perasaan-perasaan kecewa, tertekan, susah, sedih, cemas, hampa, dan tidak bermakna, serta penghayatan-penghayatan yang tidak menyenangkan lainnya. Bahkan mungkin saja peristiwa-peristiwa itu mengembangkan sikap mental dan citra negatif terhadap diri sendiri dan terhadap lingkungannya. Hal ini dapat menimbulkan sejumlah gangguan,

(7)

penyakit organik dan psikis serta berbagai perilaku menyimpang (Bastaman, 1994).

Lazarus dan Folkman (1984) menekankan bahwa ketika individu menghadapi peristiwa besar atau situasi kronis, mereka benar-benar menghadapi dua sumber stress yang dirasakan. situasi itu sendiri dapat mengancam kelangsungan hidup dan reaksi seseorang terhadap situasi yang mungkin mengancam juga.

Selanjutnya adalah bagaimana cara survivor menjalani hidup selanjutnya dengan keadaan yang berubah setelah terjadinya bencana, makna hidup para survivor dapat menentukan bagaimana langkah selanjutnya para survivor. Bagi sebagian survivor yang mengalami trauma akibat bencana yang menghilangkan harta benda bahkan anggota keluarganya mengalami keterpurukan untuk melanjutkan hidup dan berpendapat hidupnya tidak lagi bermakna tanpa orang-orang yang dicintai.

Dalam lingkungan sosial, individu yang menghayati makna hidupnya akan tampak supel dan luwes dalam pergaulan, tetapi tidak sampai hanyut sehingga kehilangan identitas diri, baik dalam kondisi yang menyenangkan ataupun dalam kondisi yang memprihatinkan. Individu akan senantiasa tabah dan menyadari serta mengambil hikmah yang tersirat dalam setiap kejadian yang dialaminya. Hal ini disebabkan karena individu sadar bahwa hidup ini bukan untuk mengejar kesenangan atau menghindari penderitaan, melainkan untuki menemukan makna dibalik kehidupannya (Frankl, 2004).

Frankl mengungkapkan (dalam Bastaman, 1994) bahwa hidup itu tetap memiliki makna (arti) dalam setiap situasi, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan sekalipun. Makna adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar,

(8)

berharga dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang yang layak dijadikan tujuan hidup. Setiap manusia selalu mendambakan hidupnya bermakna, dan selalu berusaha mencari dan menemukannya. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk mengambil sikap terhadap penderitaan dan peristiwa tragis yang tidak dapat dielakan lagi yang menimpa diri sendiri dan lingkungan sekitar, setelah upaya mengatasinya telah dilakukan secara optimal tetap tak berhasil. Ajaran Logoterapi mengenai eksistensi manusia dan makna hidup mencangkup beberapa hal, yaitu: dalam setiap keadaan, termasuk dalam penderitaan sekalipun, kehidupan ini selalu mempunyai makna; kehendak untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama setiap orang; dalam batas-batas tertentu manusia memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi untuk memilih, menentukan, dan memenuhi makna dan tujuan hidupnya; hidup yang bermakna diperoleh dengan jalan merealisasikan tiga nilai kehidupan, yaitu nilai-nilai kreatif (creative values), nilai-nilai penghayatan (experiential values), dan nilai-nilai bersikap (attitudinal values).

Kebermaknaan hidup oleh Frankl (2004) disebut sebagai kualitas penghayatan individu terhadap seberapa besar individu dapat mengembangkan dan mengaktualisasikan potensi-potensi serta kapasitas yang dimilikinya, dan terhadap seberapa jauh individu telah berhasil mencapai tujuan-tujuan hidupnya, dalam rangka member makna atau arti kepada kehidupannya. Menurut Madjid (dalam Bastaman, 1994), seluruh sejarah umat manusia adalah wujud dari rentetan usahanya menemukan hakekat diri dan makna hidup. Sebab dengan adanya rasa dan kesadaran akan makna hidup itulah kebahagiaan dapat terwujud, baik secara pribadi maupun secara sosial. Frankl (dalam Koeswara, 1992) mengatakan bahwa salah satu jalan untuk membuat hidup jadi bermakna

(9)

adalah dengan memberi makna pada ketentuan dan nasib yang tidak dapat diubah, terutama pada penderitaan.

Sejumlah penelitian di beberapa negara maju menunjukkan bahwa hasrat untuk hidup bermakna benar-benar ada dan dihayati setiap orang sebagai sesuatu yang dirasakan penting dalam kehidupan manusia (dalam Bastaman, 1994). Suatu hasil pengumpulan pendapat umum di Prancis, misalnya, menunjukkan 89% responden percaya bahwa manusia membutuhkan “sesuatu” demi hidupnya, sedangkan 61% di antaranya merasa bahwa ada sesuatu yang untuknya mereka rela mati (dalam Koeswara, 1992).

Untuk pencapaian kebermaknaan hidup, seseorang tidak dapat lepas dari bagaimana ia memandang dirinya secara realistis dengan segala kelebihan, kekurangan, kekuatan dan kelemahannya. Bertindak positif dengan mencoba dan menerapkan hal-hal yang dianggap baik dan bermanfaat dalam prilaku dan tindakan-tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga dengan survivor letusan Gunung Merapi, bagaimana ia memandang dirinya secara positif akan memotivasi hidupnya kedepan.

Eperson (dalam Goodhart, 1985) menyatakan bahwa individu berpikir positif akan mempunyai suasana hati dan perasaan yang lebih positif serta tingkat energi yang lebih tinggi dan bermanfaat. Akibatnya dalam perilaku akan menunjukkan nuansanuansa yang lebih positif dan bernilai. Lain kata, perilaku hidupnya akan mengarah pada makna-makna hidup yang lebih positif dan berarti. Kecenderungan berpikir positif pada seseorang akan membawa pengaruh terhadap proses hidup dan penyesuaian dirinya ke arah yang lebih bermakna. Menurut Epicteus (dalam Miechenbaum, 1971) bahwa individu yang memandang sesuatu sebagai hal menyenangkan atau semacamnya, maka

(10)

individu akan cenderung mengalami kegembiraan dan kepuasan dirinya akibat penilaian tersebut.

Berbagai masalah yang sering dihadapi para survivor bencana alam dimana saja, apalagi datangnya bencana tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Mereka memerlukan cara yang tepat untuk mengatasi masalah yang dialami. Dalam hal ini, konsep coping merupakan hal yang penting. Konsep coping menunjukan pada berbagai upaya, baik mental maupun prilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi atau meminimalkan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan kata lain, coping merupakan satu proses saat individu berusaha untuk menangani dan menguasai situasi yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun prilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya (Mu‟tadin, 2002).

Adanya berbagai tekanan pada survivor, menuntut survivor untuk dapat menyusun suatu strategi penyelesaian masalah. Setiap orang mempunyai strategi penyelesaian yang berbeda. Perbedaan tersebut terlihat dari strategi pemecahan masalah yang diambil. Salah satu bentuk penyelesaian masalah adalah penyelesaian permasalahan yang langsung pada pokok masalah biasa disebut dengan problem focused coping.

Problem focused coping merupakan suatu usaha untuk mengatasi situasi permasalahan dengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapinya dan lingkungan yang menyebabkan terjadinya tekanan (Lazarus & Folkman, 1984). Strategi problem focused coping ini akan membantu remaja untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah secara efektif.

(11)

Kejadian traumatis yang mengakibatkan perubahan yang signifikan, misalnya, individu harus mengalami kecacatan, atau hidup sangat pas-pasan padahal sebelumnya bergelimang kemewahan, tentunya menuntut upaya yang lebih besar dan dukungan sosial yang kuat dari orang-orang terdekat agar dapat kembali hidup wajar seperti sebelumnya (Poerwandari, 2006).

Dukungan sosial dapat memberikan arti bagi individu dalam mengatasi depresi. Individu yang mendapat dukungan sosial merasa bahwa dirinya diperhatikan, dicintai dan dihargai sehingga dapat menjadi kekuatan bagi individu, menolong secara psikologis maupun secara fisik. Dukungan sosial dapat melindungi individu dari macam-macam bentuk patologi.

Menurut Gottlieb (1983) dukungan sosial terdiri dari informasi atau nasehat verbal maupun non verbal, bantuan nyata ataupun tindakan yang diberikan oleh adanya keakraban atau adanya kehadiran individu lain dan bermanfaat serta mempengaruhi prilaku maupun emosi individu yang menerima dari pengaruh tingkah laku.

Kehidupan pasca letusan Gunung Merapi terasa berat dijalani oleh survivor bencana letusan Gunung Merapi yang kehilangan sanak saudara, kehilangan tempat tinggal serta kehilangan mata pencaharian. Mereka harus memulai hidup dari awal dan mereka harus beradaptasi dengan kehidupannya yang baru.

Untuk tetap dapat bertahan hidup dengan keadaan yang baru, para survivor letusan Gunung Merapi harus memaknai apa arti hidup bagi dirinya. Mereka yang menginginkan hidupnya lebih bermakna akan merasa antusias untuk membangun hidupnya kembali dan memotivasi diri dengan harapan-harapan positif sebagai dasar untuk memulai hidupnya yang baru.

(12)

Dalam pengamatan sementara penulis di Daerah Sleman, semenjak pasca letusan Gunung Merapi terlihat masyarakat mulai membersihkan dan membangun kembali tempat tinggalnya, anak-anak usia sekolah tetap antusias dalam mengikuti pelajaran yang diadakan di tempat pengungsian sementara seperti balai desa, sedangkan para bapak memulai membangun rumah dan sebagian lainnya mencari nafkah dan para ibu berkegiatan seperti biasanya seperti memasak dan mencuci. Adanya solidaritas yang kuat membuat pembangunan kembali pasca letusan Gunung Merapi menjadi semakin mudah diakses, bantuan yang dating dari para donator dan pemerintah dinilai sangat membantu dalam pemulihan kondisi para survivor, serta adanya bantuan dari tim relawan yang sengaja dikirim untuk membantu warga daerah letusan Gunung Merapi untuk membangun infrastrukturnya kembali.

Dengan demikian secara jelas dapat dilihat bahwa kebermaknaan hidup memiliki peranan yang penting. Hal ini tidak terlepas dari faktor-faktor seperti berpikir positif, strategi coping dan dukungan sosial. berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa berpikir positif, strategi coping dan dukungan sosial dapat mempengaruhi kebermaknaan hidup pada survivor bencana letusan Gunung Merapi.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan di atas, maka penulis mengajukan rumusan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Apakah ada hubungan antara strategi coping, berpikir positif dan dukungan sosial dengan kebermaknaan hidup survivor Merapi ?

(13)

2. Apakah ada hubungan antara strategi coping dengan kebermaknaan hidup survivor Merapi ?

3. Apakah ada hubungan antara berpikir positif dengan kebermaknaan hidup survivor Merapi ?

4. Apakah ada hubungan antara dukungan sosial dengan kebermaknaan hidup survivor Merapi ?

C. KEASLIAN PENELITIAN

Penelitian kebermaknaan hidup sebelumnya pernah diteliti oleh Prihastiwi (1994) judul Kebermaknaan Hidup Lanjut Usia Pensiun Dikaitkan Dengan Tingkah Laku Coping, Religiusitas dan Tempat Tinggal di Kotamadya Surabaya denga subjek penelitian yang terdiri dari 51 orang lanjut usia pensiun yang mandiri dan 82 orang lanjut usia pensiun yang hidup bersama anak, berusia 65 tahun ke atas dan seorang muslim, pengambilan sample digunakan teknik random sampling. Dari jumlah tersebut, hasil penelitian menunjukan adanya korelasi positif antara tingkah laku koping, religiusitas dengan kebermaknaan hidup dengan sumbangan efektif tingkah laku koping pada kebermaknaan hidup pada lanjut usia pension sebesar 20,459%. Sumbangan efektif religiusitas terhadap kebermaknaan hidup lanjut usia pension sebesar 7,305%. Dari hasil penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pada lanjut usia pensiun yang beragama Islam di Kotamadya Surabaya adalah ada korelasi positif yang signifikan antara tingkah laku koping dengan religiusitas dengan kebermaknaan hidup pada lanjut usia pensiun, adanya korelasi positif yang signifikan antara tingkah laku koping dengan kebermaknaan hidup tanpa adanya pengaruh religiusitas, adanya korelasi positif yang signifikan antara religiusitas dengan

(14)

kebermaknaan hidup tanpa adanya pengaruh prilaku koping dan tidak ada perbedaan kebermaknaan hidup pada lanjut usia pensiun yang mandiri dengan lanjut usia yang hidup bersama keluarga anak.

Selain itu, penelitian tentang kebermaknaan hidup juga pernah dilakukan oleh Aida (2005) dengan judul penelitian Mengungkap Pengalaman Spiritual dan Kebermaknaan Hidup pada Pengalaman Thariqah. Penelitian dilakukan terhadap enam orang pengamal thariqah dengan karakteristik: usia lebih dari 30 tahun, pria dan wanita, telah mengikuti thariqat minimal 3 tahun. Pengambilan data dilakukan melalui PIL test, wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa : memasuki sebuah tarekat adalah coping dimana seseorang berharap “berjumpa” dengan pengalaman spiritualnya, tidak semua orang yang memasuki dunia tarekat bisa mendapatkan pengalaman spiritual dan pengalaman spiritual berpengaruh pada kehidupan orang yang mendapatiinya.

Penelitian tentang kebermaknaan hidup juga dilakukan oleh Alfian (2003) dengan judul Perbedaaan Tingkat Kebermaknaan Hidup Remaja Akhir pada Berbagai Status Identitas Ego Dengan Jenis Kelamin Sebagai Kovariabel. Penelitian ini menguji apakah ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat kebermaknaan hidup pada mahasiswa dari Madura yang memiliki status identitas achieve, moratorium, foreclosure dan identity-diffusion, dengan mengendalikan variabel jenis kelamin. Peneliti mengadaptasi kembali Purpose in Live Test (PIL test).Populasi sampling dari penelitian ini ialah mahasiswa dari Madura yang kuliah di Surabaya dan termasuk remaja akhir. Diantara 96 subjek yang layak dianalisis, terdapat 26 subjek yang masuk kategori achieve, 20 subjek yang moratorium, 16 subjek termasuk foreclosure dan 34 subjek yang masuk kelompok identity-diffusion. Hipotesis yang menyatakan bahwa ada perbedaan

(15)

yang signifikan dalam tingkat kebermaknaan hidup pada mahasiswa dari Madura yang memiliki status identitas achieve, moratorium, foreclosure dan identity-diffusion, dengan mengendalikan variabel jenis kelamin, dapat diterima. Hasil ini menunjukkan bahwa variabel status identitas ego dapat digunakan sebagai pembeda bagi tingkat kebermaknaan hidup pada komunitas mahasiswa dari Madura, apabila dilakukan pengontrolan secara statistik terhadap variabel jenis kelamin.

Banyaknya penelitian yang mengangkat kebermaknaan hidup, berpikir positif, strategi coping dan dukungan sosial sebagai variabel dengan subjek yang berbeda menarik peneliti untuk meneliti keterkaitan antara berpikir positif, strategi coping dan dukungan sosial dengan kebermaknaan hidup dengan subjek survivor bencana letusan Gunung Merapi di Yogyakarta sebagai pembaharuan dari topik-topik penelitian sebelumnya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sepanjang penelusuran dan sepengetahuaan penulis, belum ditemukan penelitian tentang hubungan antara berpikir positif, strategi coping dan dukungan sosial dengan kebermaknaan hidup pada survivor Gunung Merapi di Yogyakarta.

D. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan hubungan berpikir positif, strategi coping dan dukungan sosial pada survivor bencana Merapi di Yogyakarta dalam kaitannya dengan kebermaknaan hidup.

(16)

E. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian dapat diketahui lebih jelas mengenai peran berpikir positf, strategi coping dan dukungan sosial terhadap kebermaknaan hidup pada survivor Merapi. Penelitian ini diharapkan berguna antara lain dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Yaitu memberikan informasi mengenai kasus-kasus yang berhubungan dengan berpikir positif, stategi coping stres dan dukungan sosial, kebermaknaan hidup dalam bidang sosial dan psikologi klinis.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan dapat memberikan informasi bagi survivor tentang seberapa berpengaruhnya berpikir positif, strategi coping, dan dukungan sosial terhadap kebermaknaan hidup bagi survivor bencana Merapi. Selain itu dapat juga memberikan masukan tentang pentingnya berpikir positif, strategi coping dan dukungan sosial bagi survivor Merapi.

Referensi

Dokumen terkait

Laporan keuangan konsolidasian menggabungkan aset dan kewajiban pada tanggal neraca dan hasil usaha untuk tahun yang berakhir pada tanggal- tanggal tersebut dari Perusahaan dan

Sediaan CC cream disimpan dalam climatic chamber pada suhu 40 o C dan RH 75% selama 30 hari, kemudian diuji parameter stabilitas fisika, yaitu organoleptis, ukuran

Jagung Asian Honey menunjukkan tinggi tanaman, jumlah daun, dan berat tongkol Isi dengan nilai yang lebih besar dari pada varietas yang lain, sedangkan

Dalam penelitian ini menitikberatkan pada penelitian kepustakaan yakni akan membahas mengenai sejarah pemerintahan Presiden Soekarno di Indonesia, di era globalisasi

Sebelum arahan Perintah Kawalan Pergerakan (PKP) dikeluarkan, kebanyakan kelas-kelas pengajian al-Quran diadakan di surau, masjid, kelas, dewan kuliah, rumah dan,

Hal ini menunjukan bahwa wacana dalam buku teks Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik tahun 2013 terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sesuai untuk

10 Tahun 1998 tentang Perbankan pada pasal 1 ayat 13 menyebutkan bahwa:“Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain

Pada tahap ini dilakukan pengolahan data-data yang diperoleh untuk dijadikan sebagai input dalam perhitungan selanjutnya. Pengolahan data dilakukan untuk mengetahui