RESPON FOTOSINTESIS DAN RESPIRASI PADA KEDELAI TOLERAN DAN
PEKA INTENSITAS CAHAYA RENDAH
La Muhuria
Staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Darussalam Ambon
Diterima 10-12-2011; Terbit 25-03-2012
ABSTRACT
The ability of plants to overcome low light intensity depend on their ability to regulate photosynthetic rate. The experiment to knowing photosynthetic and respiration under 50% and 100% light intensity. We used Ceneng as tolerant genotype and Godek as sensitive genotype. The result showed that photosynthetic and electron transport rate, light compensation point and dark respiration rate decreased under low light intensity. Under 50% light intensity, Ceneng has higher photosynthetic and electron transport rate compare to Godek. They reached 73% and 85% compare to control. In Godek, they reached 68% and 74% compare to control. Ceneng has lower light compensation point and dark respiration rate compare to Godek. They reached 64% and 60% compare to control. In Godek, they reached 69% and 84% compare to control.
Keywords: Photosynthetic rate, electron transport rate, light compensation point, dark respiration,
tolerant and sensitive genotype
PENDAHULUAN
Dalam percobaan “mekanisme efisiensi penangkapan cahaya” serta “aktivitas enzim fotosintesis dan respirasi” diketahui genotipe toleran Ceneng memiliki morfo-anatomi dan pigmen yang memungkinkan penangkapan cahaya lebih tinggi, aktivitas enzim fotosintesis (rubisco dan SPS) lebih tinggi, serta aktivitas enzim respirasi (MDH dan AI) lebih rendah. Penangkapan cahaya serta aktivitas enzim fotosintesis yang tinggi memungkinkan laju fotosintesis dan transpor elektron juga tinggi sedangkan aktivitas enzim respirasi yang rendah menyebabkan rendahnya laju respirasi.
Fotosintesis dipengaruhi oleh umur daun, genotipe tanaman, besarnya kebutuhan asimilat, dan pengaruh lingkungan seperti kandungan CO2, kelembaban dan suhu udara, ketersediaan
air, dan cahaya. Menurut Sinclair, dkk (1989), Sassenrath-Cole, dkk (1994), Chritchley (1997), Evans, dkk (2001), dalam kondisi tanpa cekaman, intensitas cahaya merupakan faktor lingkungan terpenting yang menyebabkan perbedaan laju fotosintesis. Intensitas cahaya yang berbeda menyebabkan laju fotosintesis juga berbeda. Dalam intensitas cahaya rendah, tanaman yang memiliki fotosintesis yang lebih efisiensi akan mempunyai kecepatan pertumbuhan yang lebih besar dan akan sukses dalam berkompetisi, seperti yang terjadi pada
vegetasi yang rapat atau pada habitat yang ternaungi (Lawlor, 1987). Jadi, keberhasilan tanaman dalam mengatasi cekaman intensitas cahaya rendah tergantung pada kemampuannya melanjutkan dan mempertahankan laju fotosintesis pada kondisi intensitas cahaya yang terbatas tersebut (Levitt, 1980; Hale,dkk., 1987; Salisbury, dkk., 1992; Taiz, dkk., 2002).
Fotosintesis akan berlangsung apabila energi cahaya yang dibutuhkan terpenuhi. Diduga, genotipe toleran intensitas cahaya rendah akan membangun mekanisme penangkapan cahaya secara efisien sehingga kebutuhan energi fotosintesis dapat terpenuhi. Sebaliknya, genotipe peka intensitas cahaya rendah memiliki kapasitas penangkapan cahaya yang terbatas sehingga kebutuhan energi fotosintesis juga terbatas. Ini berarti, perubahan dalam laju fotosintesis menjadi salah satu strategi dalam aklimatisasi tanaman terhadap intensitas cahaya dalam periode waktu yang lama (Murchie, dkk., 1997).
Kecukupan energi fotosintesis memungkinkan laju transpor elektron yang tinggi sehingga laju fotosintesis juga menjadi tinggi (Atwell, dkk., 1999). Daun yang ternaungi memperlihatkan perkembangan grana yang lebih intensif tetapi kapasitas transpor elektron cenderung berkurang. Sebagai contoh, transpor elektron melalui kedua fotosistem 14 kali lebih tinggi pada kloroplas yang diekstrak dari daun
yang beradaptasi pada cahaya penuh dibandingkan daun yang ternaungi (Lawlor, 1987). Sitokrom f dan b yang merupakan bagian dari sistem transpor elektron juga berkurang pada tanaman ternaungi (Jones, 1996). Laisk, dkk. (2005) juga mengemukakan bahwa laju transpor elektron melalui kompleks sitokrom b6f sangat tinggi pada kondisi jenuh cahaya dibanding kondisi cahaya rendah atau gelap.
Keberhasilan tanaman dalam mengatasi cekaman intensitas cahaya rendah juga diperoleh dengan menurunkan titik kompensasi cahaya (Levitt, 1980 dan Taiz, dkk., 2002). Titik kompensasi cahaya (LCP) adalah keadaan cahaya pada permukaan daun yang menginduksi kecepatan asimilasi CO2 aktual
sama dengan kecepatan evolusi CO2 respirasi,
asimilasi CO2 sama dengan nol (zero). Jadi,
tanaman toleran naungan dicirikan oleh rendahnya titik kompensasi cahaya sehingga dapat mengakumulasi produk fotosintesis yang lebih tinggi dibandingkan tanaman peka naungan. Di atas titik kompensasi cahaya, proses fotosintesis pada tanaman toleran naungan masih dapat berlangsung sedangkan proses fotosintesis pada tanaman peka naungan tidak dapat berlangsung lagi (Salisbury, dkk., 1992 dan Taiz, dkk., 2002).
Selain fotosintesis, keberhasilan tanaman untuk tumbuh dan berkembang pada kondisi intensitas cahaya rendah juga tergantung pada laju respirasi. Hasil penelitian Awada, dkk. (2000) pada bibit White spruce memperlihatkan bahwa respirasi gelap berkurang 70% bila bibit ditumbuhkan di bawah naungan meskipun tidak berbeda nyata dengan yang ditumbuhkan pada cahaya penuh. Atwell, dkk. (1999) juga menjelaskan bahwa perbedaan genetik dalam laju respirasi karena interaksinya dengan lingkungan menentukan keberhasilan pertumbuhan dan reproduksi tanaman.
Cahaya mempengaruhi kecepatan respirasi tanaman dan spesies toleran intensitas cahaya rendah memiliki kecepatan respirasi yang lebih rendah daripada tanaman cahaya penuh (Levitt, 1980). Pada intensitas cahaya penuh, laju fotosintsis tingi, demikian juga respirasi (karena bertambahnya komponen growth respiration), sehingga pengaruh cahaya merupakan indirect influence terhadap respirasi. Respirasi juga bekorelasi positif dan sangat erat dengan suhu. Pada cahaya penuh, suhu daun tinggi (June, 2002) sehingga laju respirasi juga tinggi. Lebih lanjut disebutkan bahwa salah satu strategi tanaman agar toleran terhadap intensitas cahaya rendah adalah mengurangi kecepatan respirasi untuk menurunkan titik kompensasi. Sejalan
dengan hal tersebut, Taiz, dkk. (2002) mengemukakan bahwa laju respirasi yang rendah merupakan dasar adaptasi tanaman naungan agar tetap dapat tumbuh pada kondisi lingkungan cahaya yang terbatas. Respirasi yang rendah pada spesies ternaungi merupakan sesuatu yang kritikal agar terjadi keseimbangan karbon yang positif (Fitter, dkk., 1989). Bila respirasi rendah, daun memerlukan lebih sedikit cahaya untuk berfotosintesis untuk mengimbangi CO2 yang dilepaskan respirasi, sehingga titik
kompensasi cahaya menjadi lebih rendah pula (Salisbury, dkk., 1992).
Kombinasi laju fotosintesis yang lebih tinggi dengan laju respirasi yang rendah, akan memungkinkan genotipe toleran intensitas cahaya rendah menghasilkan asimilat sukrosa dan pati yang lebih tinggi seperti yang ditemukan pada padi gogo (Lautt, dkk., 2000 dan Soverda, 2002).
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mempelajari efisiensi penggunaan cahaya pada tanaman kedelai melalui aspek fotosintesis dan respirasi. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui perbedaan laju fotosintesis, laju transpor elektron, titik kompensasi cahaya, dan respirasi gelap antara kedelai genotipe toleran dan peka sebagai respon atas perlakuan intensitas cahaya dalam periode yang lama (long-term exposure), dan (2) mengetahui perubahan laju fotosintesis, laju transpor elektron, titik kompensasi cahaya, dan respirasi gelap pada kedelai genotipe toleran dan peka sebagai respon atas berbagai kondisi intensitas cahaya periode singkat (short-term exposure).
METODE PENELITIAN
Dalam percobaan ini, faktor yang diuji adalah intensitas cahaya sebagai petak utama yang terdiri dari dua taraf yaitu: IC100 = intensitas cahaya 100% (kontrol) dan IC50 = intensitas cahaya 50%. Faktor kedua adalah genotipe sebagai anak petak yang teridiri dari: G1 = Ceneng dan G2 = Godek. Kombinasi
perlakuan diulang tiga kali sehingga terdapat 12 satuan percobaan, dan setiap satuan percobaan menggunakan 50 tanaman. Percobaan menggunakan rancangan petak terpisah (split plot) dengan anak petak tersarang (nested) pada petak utama.
Perlakuan intensitas cahaya 50% dilaksanakan dengan cara meletakkan paranet hitam di sisi atas dan keempat sisi rangka bambu setinggi 2 m sehingga pertanaman kedelai terkurung (terselubungi) oleh paranet.
Paranet yang digunakan adalah paranet yang meloloskan cahaya kurang lebih 50%.
Polibag diisi dengan 8 kg campuran tanah dan pupuk kandang (1 kg tanah : 20 g pupuk kandang). Selanjutnya, benih kedelai dilumuri dengan inokulan rhizobium kemudian dimasukkan ke dalam lubang tanam (tiga butir benih/lubang) sedalam 2 cm – 3 cm. Setelah seputar benih ditaburi Carbofuran 3-G, lubang tanam ditutup tanah kemudian disiram. Pada umur 1 MST tanaman diberi pupuk dengan dosisi 30 kg urea/ha, 100 kg SP-36/ha, dan 100 kg KCl/ha, sekaligus penyulaman dan penjarangan tanaman sehingga tiap polibag berisi dua tanaman. Pada umur 2 MST dilakukan penjarangan lagi sehingga tiap polibag hanya berisi satu tanaman.
Dalam setiap satuan percobaan diambil tiga tanaman sampel. Pengukuran aspek fotosintesis dan respirasi dilakukan pada daun yang telah membuka penuh (daun ketiga dan keempat dari atas pada batang utama, demikian juga untuk pengukuran kandungan sukrosa dan pati. Pengamatan dilakukan setelah tanaman berumur 10 MST.
Peubah yang diamati meliputi : laju fotosintesis (A), laju fotosintesis maksimum (Amax), laju teranspor elektron (J), laju transpor elektron maksimum (Jmax), titik kompensasi cahaya (LCP), dan respirasi gelap (Rd). Dalam analisis Rd, diasumsikan bahwa respirasi terang sama dengan respirasi gelap. Pengukuran dilakukan menggunakan gas exchange system LCA-4M (ADC Bio Scientific).
Analisis Data
Pertama-tama dilakukan analisis terhadap titik kompensasi cahaya dan laju respirasi gelap, keduanya ditentukan berdasarkan hubungan linier sederhana (Y = a + bX) antara laju fotosintesis (Y) dengan intensitas cahaya (X) di bawah 150 µmol.m-2.s-1. Titik potong antara garis
regresi dengan sumbu X merupakan nilai titik kompensasi cahaya sedangkan titik potong garis regresi dengan sumbu Y merupakan nilai respirasi gelap, hal ini seperti yang dikemukakan oleh June (2002) dan Taiz, dkk. (2002).
Laju fotosintesis maksimum (Amax) dianalisis
berdasarkan persamaan kuadratik (Y = a + bX + cX2) dengan Y = laju fotosintesis dan X =
intensitas cahaya. Nilai Amax merupakan turunan
pertama dari persamaan tersebut (dy/dx = 0). Selanjutnya dianalisis nial a2berdasarkan nisbah
ci/intensitas cahaya dimana ci adalah tekanan
parsial CO2 dalam daun, sedangkan nilai
untuk kedelai ditetapkan sebesar 0.7. Berdasarkan nilai-nilai parameter (Rd, Amax, a2,
) tersebut maka laju fotosintesis (A) pada berbagai intensitas cahaya dapat dianalisis menggunakan persamaan 1 (June 2002, June 2005) sebagai berikut : A =
2
4
2 max 2 max 2 max 2A
Ia
A
Ia
A
Ia
-R; dimana Amax = laju fotosintesis pada kondisi jenuh cahaya (µmol.m-2.s-1), Θ = pembengkokan kurva respon A terhadap I (curvature factor) yang nilainya bervariasi dari 0 (rectangular hyperbola) sampai 1 (two straight lines quasi Blackman), a2 = quantum yield dari fotosintesispada cahaya rendah (efisiensi fotosintesis), R = respirasi daun (µmol.m-2.s-1). Dengan menggunakan nilai A dan Rd, dapat diduga laju
transpor elektron menggunakan persamaan 2 (June, 2003) sebagai berikut :
A= d i i R c c J * * 2 4
Dari persamaan tersebut, laju transpor elektron (J) dapat dihitung sebagai berikut:
J =
)
(
)
8
4
)(
(
* * i i dc
c
R
A
dimana ci = tekanan parsial CO2di dalam daun
(µbar); г* = titik kompensasi CO2 (Pa); R =
respirasi daun (µmol.m-2.s-1); dan J = laju
transpor elektron (µmol.m-2.s-1). Selanjutnya,
laju transpor elektron maksimum (Jmax) dianalisis
berdasarkan persamaan kuadratik (Y = a + bX + cX2) dengan Y = laju transpor elektron dan X = intensitas cahaya. Nilai Jmax merupakan turunan
pertama dari persamaan tersebut (dy/dx = 0). Analog dengan laju fotosintesis, laju transpor elektron (J) dianalisis menggunakan persamaan 4 (June, 2002) sebagai berikut :
J =
2
4
2 max 2 max 2 max 2J
Ia
J
Ia
J
Ia
Hasil analisis berdasarkan persamaan-persamaan di atas, dilanjutkan dengan analisis varian (anova) sesuai rancangan yang digunakan dan uji t pada taraf kepercayaan 95%. Hasil analisis disajikan dalam bentuk Table dan Grafik.
HASIL DAN PEMBAHASAN Laju Fotosintesis
Perbedaan intensitas cahaya maupun genotipe menyebabkan laju fotosintesis juga berbeda. Laju fotosintesis pada intensitas cahaya 50% lebih rendah daripada 100%. Hal ini
sejalan dengan penjelasan Chritchley (1997) bahwa daun yang berkembang pada intensitas cahaya rendah memiliki laju fotosintesis yang rendah. Sassenrath-Cole, dkk. (1994) dalam penelitian mereka menggunakan kedelai kultivar. Williams juga menemukan bahwa aktivitas fotosintesis maksimum pada daun yang dinaungi lebih rendah daripada daun yang memperoleh cahaya penuh. Dalam penelitian Evans, dkk. (2001) disimpulkan bahwa fotosintesis pada intensitas cahaya rendah, hanya mencapai setengah dari intensitas cahaya penuh. Karena itu, perubahan dalam laju fotosintesis menjadi salah satu strategi dalam aklimatisasi tanaman terhadap intensitas cahaya jangka panjang (Murchie, dkk., 1997).
Pada intensitas cahaya 100% maupun 50%, laju fotosintesis maksimum (Amax) pada Ceneng masing-masing mencapai 25,357 µmol.m-2.s-1 dan 18,588 µmol.m-2.s-1, dan berbeda nyata
dengan Godek yang masing-masing hanya mencapai 20,667 µmol.m-2.s-1 dan 14,074 µmol.m-2.s-1 (Tabel 1). Pada intensitas cahaya 50%, laju fotosintesis pada Ceneng mencapai 73% kontrol, sedangkan pada Godek hanya mencapai 68% kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa pada intensitas cahaya rendah, Ceneng memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mempertahankan laju fotosintesis dibanding Godek (Gambar 1).
Berdasarkan Gambar 26, tampak pula bahwa pada intensitas cahaya tinggi ( 250 µmol.m-2.det-1 pada Gambar 1a atau 200
µmol.m-2.det-1 pada Gambar 1b) laju fotosintesis
lebih tinggi apabila tanaman kedelai ditanam pada kondisi cahaya penuh tetapi pada intensitas cahaya rendah ( 250 µmol.m-2.det-1
pada Gambar 1a atau 200 µmol.m-2
.det-1 pada Gambar 1b) laju fotosintesis yang lebih tinggi ditemukan pada kedelai yang ditanam dalam intensitas cahaya 50%. Fenomena tersebut sejalan dengan penjelasan Salisbury dan Ross (1992) serta Taiz dan Zeiger (2002) bahwa pada tingkat cahaya yang sangat rendah spesies toleran naungan mampu berfotosintesis dengan laju yang lebih tinggi.
Laju Transpor Elektron
Laju transpor elektron juga berbeda baik karena perbedaan genotipe maupun perbedaan intensitas cahaya (Tabel 1). Pada intensitas
cahaya 50%, laju transpor elektron hanya mencapai 139.77 µmol.m-2.det-1, sedangkan pada intensitas cahaya 100% mencapai 177.07 µmol.m-2.s-1. Jadi laju transpor elektron pada intensitas cahaya 50% hanya mencapai 79% kontrol. Pada Gambar 1, tampak bahwa pada intensitas cahaya 50% laju transpor elektron menurun baik pada genotipe toleran Ceneng maupun pada genotipe peka Godek. Hal ini dapat terjadi karena pada intensitas cahaya 100%, intensitas cahaya mencapai 2500 µmol.m
-2
.det-1 sedangkan pada intensitas cahaya 50%, intensitas cahaya hanya mencapai 1800 µmol.m
-2
.det-1.
Hasil penelitian di atas sejalan dengan penjelasan Atwell, dkk. (1999) bahwa laju transpor elektron tergantung cahaya dan pada intensitas cahaya rendah, laju transpor elektron menurun (Critchley, 1997). Sebaliknya pada intensitas cahaya tinggi kapasitas transpor elektron untuk fotosintesis meningkat (Atwell, dkk., 1999). Laisk, dkk. (2005) juga
mengemukakan bahwa laju transpor elektron melalui kompleks sitokrom b6f sangat tinggi pada kondisi jenuh cahaya dibanding kondisi cahaya rendah atau keadaan gelap. Menurut June (2002) dalam intensitas cahaya penuh, rata-rata laju transpor elektron pada kedelai sekitar 200
µmol.m-2.s-1. Pada intensitas cahaya 100% maupun 50%, laju fotosintesis maksimum (Amax) pada Ceneng masing-masing mencapai 25,357 µmol.m-2.s-1 dan 18,588 µmol.m-2.s-1, dan
berbeda nyata dengan Godek yang masing-masing hanya mencapai 20,667 µmol.m-2.s-1 dan 14,074 µmol.m-2.s-1 (Tabel 1). Pada intensitas cahaya 50%, laju fotosintesis pada Ceneng mencapai 73% kontrol, sedangkan pada Godek hanya mencapai 68% kontrol. Hal ini
menunjukkan bahwa pada intensitas cahaya rendah, Ceneng memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mempertahankan laju fotosintesis dibanding Godek (Gambar 1).
Berdasarkan Gambar 26, tampak pula bahwa pada intensitas cahaya tinggi ( 250 µmol.m-2.det-1 pada Gambar 1a atau 200
µmol.m-2.det-1 pada Gambar 1b) laju fotosintesis
lebih tinggi apabila tanaman kedelai ditanam pada kondisi cahaya penuh tetapi pada intensitas cahaya rendah ( 250 µmol.m-2.det-1
pada Gambar 1a atau 200 µmol.m-2
.det-1 pada Gambar 1b) laju fotosintesis yang lebih tinggi ditemukan pada kedelai yang ditanam dalam intensitas cahaya 50%. Fenomena tersebut
sejalan dengan penjelasan Salisbury dan Ross (1992) serta Taiz dan Zeiger (2002) bahwa pada tingkat cahaya yang sangat rendah spesies toleran naungan mampu berfotosintesis dengan laju yang lebih tinggi.
Laju Transpor Elektron
Laju transpor elektron juga berbeda baik karena perbedaan genotipe maupun perbedaan intensitas cahaya (Tabel 1). Pada intensitas cahaya 50%, laju transpor elektron hanya mencapai 139.77 µmol.m-2.det-1, sedangkan pada intensitas cahaya 100% mencapai 177.07 µmol.m-2.s-1. Jadi laju transpor elektron pada intensitas cahaya 50% hanya mencapai 79% kontrol. Pada Gambar 1, tampak bahwa pada intensitas cahaya 50% laju transpor elektron menurun baik pada genotipe toleran Ceneng
maupun pada genotipe peka Godek. Hal ini dapat terjadi karena pada intensitas cahaya 100%, intensitas cahaya mencapai 2500 µmol.m -2
.det-1 sedangkan pada intensitas cahaya 50%, intensitas cahaya hanya mencapai 1800 µmol.m
-2
Hasil penelitian di atas sejalan dengan penjelasan Atwell, dkk. (1999) bahwa laju transpor elektron tergantung cahaya dan pada intensitas cahaya rendah, laju transpor elektron menurun (Critchley, 1997). Sebaliknya pada intensitas cahaya tinggi kapasitas transpor elektron untuk fotosintesis meningkat (Atwell, dkk., 1999). Laisk, dkk. (2005) juga mengemukakan bahwa laju transpor elektron melalui kompleks sitokrom b6f sangat tinggi pada kondisi jenuh cahaya dibanding kondisi cahaya rendah atau keadaan gelap. Menurut June (2002) dalam intensitas cahaya penuh, rata-rata laju transpor elektron pada kedelai sekitar 200 µmol.m-2.s-1.
Hasil penelitian di atas sejalan dengan hasil penelitian Sopandie, dkk. (2006) bahwa pada genotipe toleran Ceneng, ekspresi gen JJ3 yang homolog dengan gen psaD yang mengkode protein PsaD PSI sub unit semakin meningkat dengan semakin rendahnya intensitas cahaya. Gen JJ3 berperan penting dalam pengaturan
efisiensi transpor elekron yang diinduksi cahaya rendah sehingga proses fotosintesis berjalan normal (Sopandie, dkk., 2006). Dengan terekspresinya gen JJ3 pada kondisi intensitas cahaya rendah maka memungkinkan genotipe toleran Ceneng memiliki laju fotosintesis yang lebih tinggi.
Respirasi Gelap.
Perbedaan genotipe maupun intensitas cahaya menyebabkan perbedaan laju respirasi gelap (Rd) (Gambar 3). Pada intensitas cahaya
100%, Ceneng memiliki Rd yang lebih tinggi
dibanding Godek, sebaliknya pada intensitas cahaya 50%, Ceneng memiliki Rd yang lebih
rendah. Meskipun demikian, Rd kedua genotipe
tidak berbeda nyata, baik pada intensitas cahaya 100% maupun 50% (Tabel 1). Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Awada dan Redmann (2000) pada bibit white spruce bahwa respirasi gelap berkurang 70% bila bibit ditumbuhkan di bawah naungan tetapi tidak berbeda nyata
dengan yang ditumbuhkan pada cahaya penuh. Lebih jauh Atwell, dkk. (1999) menjelaskan bahwa perbedaan genetik dalam efisiensi respirasi karena interaksinya dengan lingkungan menentukan keberhasilan pertumbuhan dan reproduksi tanaman.
Pada intensitas cahaya 50%, Rd pada
Ceneng hanya mencapai 60% kontrol sedangkan Godek mencapai 84% kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa pada intensitas cahaya rendah, Ceneng memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam menurunkan tingkat respirasi dibanding Godek. Laut (2003) juga melaporkan adanya respirasi yang lebih rendah pada genotipe padi toleran naungan.
Titik Kompensasi Cahaya
Titik kompensasi cahaya (LCP) berbeda, baik antar genotipe maupun dalam intensitas cahaya yang berbeda (Gambar 3). Pada intensitas cahaya 100% maupun 50%, Ceneng memiliki LCP yang lebih rendah tetapi tidak berbeda nyata dengan Godek (Tabel 1). Pada intensitas cahaya 50%, LCP pada Ceneng hanya mencapai 64% kontrol sedangkan Godek mencapai 69% kontrol yang berarti bahwa pada intensitas cahaya rendah, Ceneng memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam menurunkan titik kompensasi cahaya dibanding Godek. Hasil tersebut sejalan dengan Taiz dan Zeiger (2002) yang menjelaskan bahwa LCP pada tanaman cahaya penuh berkisar 10-20 µmol.m-2.s-1 sedangkan pada tanaman naungan
hanya berkisar 1-5 µmol.m-2.s-1. Pada intensitas
cahaya penuh, rata-rata LCP kedelai mencapai 60 µmol.m-2.s-1(June 2002, tidak dipublikasikan). Taiz dan Zeiger (2002) menjelaskan bahwa rendahnya LCP pada tanaman naungan disebabkan laju respirasi sangat rendah. LCP yang rendah akibat intensitas cahaya rendah juga dilaporkan Callan dan Kennedy (1995) berdasarkan hasil penelitian mereka menggunakan tanaman Strokesia laevis (Hill) E. Greene.
KESIMPULAN
Laju fotosintesis, laju transpor elektron, titik kompensasi cahaya, dan laju respirasi gelap menurun akibat intensitas cahaya rendah, masing-masing hanya mencapai 71, 80, 71, dan 67% kontrol. Pada intensitas cahaya rendah, genotipe toleran Ceneng memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mempertahankan laju fotosintesis dan transpor elektron dibandingkan dengan genotipe peka Godek. Laju fotosintesis dan transpor elektron pada genotipe toleran Ceneng masing-masing mencapai 73 dan 85%
kontrol sedangkan genotipe peka Godek hanya mencapai 68 dan 74% kontrol.
Pada intensitas cahaya rendah, genotipe toleran Ceneng juga memiliki kemampuan yang lebih tinggi untuk menurunkan laju respirasi gelap sehingga titik kompensasi lebih rendah dibandingkan dengan genotipe peka Godek. Titik kompensasi cahaya dan laju respirasi gelap pada genotipe toleran Ceneng masing-masing hanya mencapai 64 dan 60% kontrol sedangkan pada genotipe peka Godek masih mencapai 69 dan 84% kontrol.
DAFTAR PUSTAKA
Atwell, B., Kriedeman P., Turnbull C. 1999. Plants in Action; Adaptation in Nature, Performance in Cultivation. Ed ke-1. South Yarra : Macmillan Education Australia PTY LTD.
Awada, T., Redmann R.E. 2000. Acclimation to Light in Planted and Naturally Regenerated Population Of White Spurce Seedlings. Can.J.Bot. 789:149-1504. Callan, K. 1995. Intercropping Strokes Aster
(Strokesia laevis (Hill)). E. Greene. CropSci. 35:1110-1115.
Chritchley, C. 1997. Structure and Function of Photosystem II. Di dalam: Pessarakli M, editor. Handbook of Photosynthesis. New York: Marcel Dekker Inc. pp. 27-48.
Evans, J.R, Poorter H. 2001. Photosynthetic Acclimation of Plants to Growth Irradiance: the Relative Importance of Specific Leaf Area and Nitrogen Partitioning in Maximaizing Carbon Gain. Plant, Cell and Env. 24:755-767.
Fitter, A.H., Hay R.K.M. 1989. Environmental Phyisiology of Plants. London : Academic Press. Ltd.
Hale, M.G, Orcutt DM. 1987. The Physiology of Plants under Stress. New York : John Wiley and Sons.
Jones, H.G. 1996. Plant and Microclimate. A Quantitative Approach to Environmental Plant Physiol. 2nd. Cambridge : University Press.
June, T. 2002. Environmental effects on photosynthesis of C3 plants: Scaling up
from electron transport to the canopy (study case: Glycine max L. Merr.) [disertasi]. Canbera: Australian National University.
June, T. 2003. Pemodelan Fotosintesis: Dari Daun ke Kanopi dengan Menggunakan Model Big Leaf dan Sunshade. Di dalam : Pelatihan fisiologi tumbuhan dosen perguruan tinggi negeri/swasta se-Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Bogor: Kerjasama antara Jurusan Biologi F-MIPA IPB dan Bagian Proyek Peningkatan SDM Dirjen Dikti Depdiknas.
June, T. 2005a. The Light Gradients Inside Soybean Leaves and Their Effect on The Curvature Factor of The Light Response Vurves of Photosynthesis. Biotropia 25:29-49.
Laisk A, Eichelmann H, Oja V, Rasulov B, Padu E, Bichele I, Pettai H, Kull O. 2005. Adjusment of leaf photosynthesis to shade in natural canopy: rate parameters. Plant, Cell & Env. 28:375.
Lautt, B.S, Chozin MA, Sopandie D, Darusman LK. 2000. Perimbangan pati-sukrosa dan aktivitas enzim sukrosa fosfat sintase pada padi gogo yang toleran dan peka terhadap naungan. Hayati 7:31-34.
Lautt, B.S. 2003. Fisiologi Toleransi Padi Gogo terhadap Naungan: Tinjauan Karakteristik Fotosintesis dan Respirasi [disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Lawlor, D.W. 1987. Photosynthesis : Molecular,
Physiological and Environmental
Processes 2nd. Burnt Mill, Harlow : Longman Scientific & Technical.
Levitt, J. 1980. Response of Plants to
Environmental Stress. New York:
Academic Press.
Murchie EH, Horton P. 1997. Acclimation of photosynthesis to irradiance and spectral quality in British plant species. Chlorophyll content, photosynthetic capacity, and habitat preference. Plant, Cell, and Env. 20 : 438-448.
Salisbury, F.B & Ross, C.W. 1992. Plant Physiology. 4th edition. Wadsworth Pub. Co.
Sassenrath-Cole, G.F & Pearcy R.W. 1994. Regulation of Photosynthetic Induction State by The Magnitude and Duration of Low Light Exposure. Pant Physiol. 105:1115-1123
Sinclair, T.R.R. & Torrie, 1989. Leaf Nitrogen, Photosynthesis and Crop Radiation Use Efficiency. A review Crop Sci. 29:90-98. Sopandie, D, Trikoesoemaningtyas, Khumaida
N. 2006. Fisiologi, genetik, dan molekuler adaptasi kedelai terhadap intensitas cahaya rendah: Pengembangan varietas unggul kedelai sebagai tanaman sela. Laporan Akhir Penelitian Hibah Penelitian Tim Pascasarjana-HPTP Angkatan II Tahun 2004-2006. Dirjen Dikti Depdiknas. Soverda, N. 2002. Karakteristik Fisiologi
Fotosintetik dan Pewarisan Sifat Toleran Naungan Pada Padi Gogo [disertasi] Bogor : Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Taiz, L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. California : The Benjamin/Cummings Pub. Co., Inc.