• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Islam merupakan ajaran agama yang disampaikan kepada para. penganutnya dengan menggunakan simbol-simbol yang bersifat permanen.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Islam merupakan ajaran agama yang disampaikan kepada para. penganutnya dengan menggunakan simbol-simbol yang bersifat permanen."

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Islam merupakan ajaran agama yang disampaikan kepada para penganutnya dengan menggunakan simbol-simbol yang bersifat permanen. Berkenaan dengan proses penyebarannya, secara normatif Islam bersifat elitis dalam arti bahwa secara kewenangan serta kompetensi untuk menyampaikan ajaran ini tidak dimiliki oleh semua orang, tetapi menjadi wilayah orang-orang yang dianggap memenuhi syarat dan kriteria tertentu. Meskipun demikian, secara pragmatis proses penyebaran ajaran Islam tidak selamanya berbanding lurus dengan bagaimana Islam diwacanakan secara normatif. Dalam praktiknya, penyebaran ajaran agama ini berjalan sesuai dengan perkembangan sosio-kultural. Secara kultural, proses penyebaran ajaran Islam baik secara tatap muka langsung maupun melalui media, terjadi melalui beberapa tahapan interpretasi oleh para penyebar serta penerima ajaran. Ajaran agama disebarkan menggunakan simbol-simbol keagamaan yang telah disesuaikan melalui proses interpretasi oleh pembawa risalah, dan diterima dengan cara yang telah disesuaikan dengan pola interpretasi dari penerima risalah.

Seiring dengan dinamika masyarakat serta perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, penyebaran ajaran Islam tidak cukup jika hanya dilakukan dengan cara komunikasi konvensional melalui tatap muka antara komunikator (mubaligh, da’i) dengan komunikan (mad’u, umat, masyarakat).

(2)

2 Salah satu media komunikasi modern yang banyak digunakan untuk menyebarkan ajaran ini adalah televisi. Ketika ajaran Islam disebarkan melalui media televisi, secara tidak langsung format siarannya menyesuaikan dengan karakter entertaining yang dimiliki media tersebut. Dalam hal ini terjadi interaksi antara simbol keagamaan yang bersifat sakral dengan simbol televisi yang bersifat kultural. Percampuran antara simbol-simbol keagamaan dan simbol kultural potensial menyebabkan semakin rumitnya mata rantai interpretasi terhadap ajaran agama.

Berkaitan dengan adanya peristiwa interpretasi yang menimbulkan multitafsir terhadap makna pesan keagamaan, potensi multitafsir semakin kelihatan karena adanya variasi dalam peristiwa representasi ajaran Islam ke dalam bentuk simbol-simbol keagamaan yang sudah disesuaikan dengan budaya media. Disamping itu, para penyebar ajaran Islam yang dijadikan rujukan oleh media televisi mempunyai pola tafsir yang berbeda-beda sehingga hal ini potensial untuk menambah semakin kompleksnya multi proses cara tafsir terhadap ajaran tersebut. Keaneka ragaman penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam merepresentasikan ajaran Islam ini setidaknya bisa dilihat dalam tayangan keagamaan di televisi yang dikemas dalam bentuk hiburan, khususnya dalam bentuk program sinetron.

Secara umum, bentuk-bentuk representasi Islam dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan dalam sinetron reliji bisa dilihat dari adanya proses simplifikasi dalam menjelaskan sebuah ajaran atau doktrin ajaran, misalnya dalam penggunaan atribut keagamaan, eksploitasi ayat-ayat suci, penggunaan dialog, dan

(3)

3 penyederhanaan penyelesaian akhir dalam sebuah problem solving. Bentuk representasi Islam dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan yang demikian ini pada tahapan tertentu bisa mengakibatkan penyederhanaan pemahaman penonton tentang ajaran keagamaan. Taylor dan Harris menjelaskan bahwa ciri televisi dalam menayangkan program fiksi biasanya mengedepankan

meta-story serta melakukan ideological reduction yang bisa mengakibatkan

terjadinya kebanalan atau pendangkalan makna (2008: 163). Penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam sebuah tayangan program sinetron atau film tidak lepas dari konstruksi ide tentang obyek keagamaan yang direpresentasikan dalam bentuk tampilan yang mengedepankan efek easy consuming, sehingga ide pokok dari ajaran Islam lebih mudah diterima oleh penonton.

Selanjutnya, jika dilihat dari perspektif ideologi media, bergesernya makna akibat penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam merepresentasikan ajaran agama nampaknya menjadi hal yang tak terhindarkan dalam bisnis media. Hal ini ditambah dengan kecenderungan orientasi bisnis dari para penyebar Islam yang terlibat dalam proses tersebut. Ideologi kapitalis yang dianut televisi serta penyebar ajaran Islam dalam mentransmisikan nilai-nilai agama ini memunculkan keprihatinan di kalangan umat Islam. Beberapa akademisi yang memiliki komitmen terhadap Islam seperti Amin Rais, Jalaludin Rahmat, Nurcohlis Madjid, dan Yudi Latif menyatakan bahwa sudah saatnya umat Islam memiliki media yang memadai sebagai wahana komunikasi umat dan bisa memberikan pencerahan kepada umat (dalam Ibrahim: 2005). Masalah yang kemudian dipersoalkan adalah, apakah media itu semestinya secara spesifik menggunakan

(4)

4 label “media Islam” atau media islami. Label khusus sebagai media Islam, yang menurut Dedy Jamaludin adalah proses meliput, mengolah, dan menyebarkan luaskan berbagai peristiwa kepada khalayak yang secara normatif berbeda dengan media pada umumnya, (dalam Hamka, 1987: 198) akan menyebabkan media tersebut terjebak pada eksklusifisme, dan tentunya kurang marketable. Pada sisi yang lain, tidak menutup kemungkinan bahwa dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan, media yang berlabel Islam pun akan melakukan hal yang sama dengan media umum, yaitu penyederhanaan substansi dengan menggunakan simbol-simbol kegamaan.

Menurut Donnan (2002: 3), porsi siaran tentang Islam di televisi Indonesia tidak jauh berbeda dengan porsi yang diberikan pada tayangan Islam di negara-negara barat, dimana Islam adalah agama minoritas. Disamping porsi siaran yang relatif sedikit, wacana tentang Islam di media dinilai oleh Donnan juga diwarnai dengan berbagai interpretasi yang cenderung menyudutkan Islam, seperti asumsi bahwa dalam ajaran Islam memiliki doktrin yang cenderung tidak obyektif, misalnya menyudutkan peran dan posisi wanita. Statemen Donnan tentang porsi siaran keagamaan ini layak untuk dipertanyakan kebenarannya karena pada umumnya stasiun televisi di Indonesia memiliki program siaran agama Islam yang bersifat harian, baik yang berupa dialog keagamaan, ceramah, maupun musik dan sinetron keagamaan. Selanjutnya jika dilihat dari sisi isi, televisi di Indonesia memberi porsi yang relatif lebih besar mengenai Islam secara temporer pada bulan ramadhan serta hari-hari besar Islam. Menurut survey Nielsen

(5)

5 agama mengalami kenaikan sebesar 22% selama enam bulan terakhir, dimana pada bulan January porsi tayangan 182 jam dan meningkat menjadi 222 jam pada bulan Juni. Dari keseluruhan program siar 24 jam, kajian keislaman seperti ceramah dan dialog keagamaan rata rata hanya diberi porsi 60 menit, ditambah dengan informasi yang dikemas dalam bentuk hiburan seperti sinetron dan music selama 60 menit. Meskipun teknik serta hasil riset dari Nielsen Media Research (NMR) perlu dipertanyakan kualitasnya (Panjaitan dan Iqbal, 2006: 86), namun pengumuman hasil rating masih dijadikan patokan oleh beberapa stasiun televisi swasta dalam manajemen program tayangan yang sekiranya disukai pemirsa.

Selanjutnya mengenai klaim bahwa bahwa siaran tentang Islam diwarnai interpretasi yang menyudutkan Islam, hal ini ada kaitannya dengan sistem kerja yang ada pada lembaga media yang bersangkutan. Terjadinya interpretasi dalam media televisi ini bisa difahami sebagai cara kerja yang terjadi secara umum di media yang memiliki sistem yang kompleks. Menurut van Dijk (1985: 18) cara kerja media dibentuk oleh beberapa faktor seperti kepentingan dan tekanan yang dialami lembaga media. Sedangkan menurut Irianto (dalam Ibrahim, 2005: 520), televisi suka bermain-main dalam ranah representasi atas realitas dalam menggambarkan Islam secara semu. Cara mencitrakan kehidupan keagamaan secara semu bisa dilihat pada contoh-contoh tayangan pada bulan ramadhan dimana Islam direpresentasikan dengan menggunakan simbol-simbol kultural yang menunjukkan citra keislaman.

Televisi bukanlah satu-satunya media, namun bagi sebagian masyarakat Indonesia televisi telah menjadi sumber informasi yang penting sebagai sumber

(6)

6 hiburan, bahkan rujukan yang disebabkan oleh kekuatan daya persuasi melalui tampilan audio visual. Ketergantungan masyarakat terhadap televisi ini merupakan peluang bagi media tersebut untuk memasarkan produk-produknya yang berupa informasi. Dengan begitu maka posisi televisi yang strategis dalam sistem sosial ini semakin memantapkan nilai tawarnya di mata masyarakat (pemirsa). Besarnya kecenderungan televisi dalam melakukan komersialisasi informasi ditengarai oleh Wardhana sebagai salah satu karakter televisi Indonesia, terutama sejak munculnya stasiun swasta pada tahun 1990 (Wardhana, 1997: 350). Komersialisasi tidak hanya diwujudkan dalam bentuk tayangan iklan, tetapi juga melalui produk lain, seperti musik dan sinetron.

Secara kuantitatif, tawaran mata acara dan iklan komersial yang secara terus-menerus selama 24 jam telah menghipnotis sosio-psikologis pemirsa untuk selalu setia menonton televisi. Meskipun demikian, belum ada jaminan yang pasti bahwa massive exposure ini mampu mempengaruhi perilaku pemirsanya. Kekuatan pengaruh televisi secara sadar atau tidak telah mengubah ranah pemahaman, pola berpikir, cara bersikap dan bertindak para pemirsanya. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya pola konsumsi dan motif menonton. Menurut Lowery dan DeFleur (1988), teori selektifitas sosial menjelaskan bahwa individu-individu dalam masyarakat memiliki keleluasaan untuk memilih program yang ditawarkan media sesuai dengan karakter individu.

Dalam aspek kultural, televisi menganggap masyarakat adalah penonton yang memiliki karakter sebagai penikmat budaya, oleh karenanya televisi berusaha untuk memasukkan sebanyak mungkin unsur kebudayaan yang menjadi

(7)

7 kebutuhan penontonnya, termasuk di dalamnya budaya dalam beragama. Pada sisi lain, penonton memiliki cara tersendiri untuk mencari kesenangan, dan televisi menangkap peluang ini dengan menghadirkan program yang populer untuk menggaet sebanyak mungkin pemirsa sebagai pencarian kultural sehingga bisa meyakinkan pengiklan (Burton, 2007: 96). Dalam pasar televisi, aspek kebudayaan masyarakat berperan sebagai obyek jual yang dipertimbangkan sebagai bahan materi tayangan. Yang menjadi pertimbangan penting dalam pasar kapitalis adalah kecenderungan selera publik yang diukur menggunakan prinsip

demand and supply, karena dengan memenuhi tuntutan masyarakat maka televisi

akan dapat memenuhi tuntutan popularitas. Pada saat popularitas di mata masyarakat sudah terpenuhi, maka secara tidak langsung popularitas di mata pengiklan juga tercapai. Konsep popularitas serta ideologi kapitalis menjadi salah satu parameter yang digunakan untuk melengkapi klaim bahwa televisi merupakan salah satu bentuk budaya populer, yang dalam catatan Storey, telah muncul pada awal abad 20-an (Storey, 2007: 11). Berdasarkan tesis Storey ini, maka dalam wacana budaya populer, televisi bukan hanya dianggap semata-mata sebagai agent of social changes tetapi juga sudah menjadi bagian dari budaya populer itu sendiri.

Secara finansial kehidupan televisi sangat tergantung kepada besar kecilnya iklan yang masuk, oleh karenanya, televisi memerlukan popularitas dengan cara menghadirkan program-program populer yang ditujukan kepada masyarakat yang diasumsikan bersifat pasif dan kurang kritis. Untuk mempertahankan popularitas sebuah program, maka televisi memiliki tingkat ketergantungan yang relatif tinggi terhadap hasil rating. Akibatnya, dalam upaya

(8)

8 untuk memperoleh popularitas serta menarik perhatian penonton, secara logis televisi memiliki kecenderungan untuk berkiblat pada ideologi kapitalis yang lebih mementingkan aspek keuntungan dibanding aspek sosio-kultural. Fenomena mementingkan aspek komersial juga diberlakukan dalam menghadirkan pesan-pesan keagamaan yang sifatnya sakral. Televisi mencoba ‘melayani kebutuhan masyarakat’ akan informasi, namun terminologi kebutuhan itu hanya sebatas dimaknai sebagai “kebutuhan untuk diterima masyarakat” dalam rangka memperoleh popularitas serta untuk menjual kebutuhan artifisial masyarakat dan bukan kebutuhan untuk menyajikan informasi yang benar-benar diperlukan masyarakat. Dalam peristiwa konsumsi informasi, karakter selective manner pemirsa sebagaimana dijelaskan Lowery dan De Fleur (1988: 22) menjadi hal yang signifikan, sehingga pengaruh yang muncul terhadap penonton televisi berbanding lurus dengan apa yang ditonton dan bagaimana pola interpretasi individu penonton.

Berdasarkan pengamatan penulis, belakangan ini trend menu sajian televisi swasta di Indonesia semakin menuju ke arah kemiripan satu sama lain. Ketika satu stasiun mengalami keberhasilan dalam menayangkan satu tema tertentu, maka stasiun yang lain segera mengikutinya dengan menyajikan tayangan serupa. Program sinetron yang bertema keagamaan atau sinetron religi juga tidak lepas dari trend kemiripan satu sama lain, dengan diawali oleh tayangan Rahasia Ilahi di TPI (yang berganti nama menjadi MNCTV) pada awal tahun 2004, yang kemudian diikuti oleh station yang lain dengan tema serupa, seperti Pintu

(9)

9 Tayangan televisi merupakan upaya narasi dan visualisasi ide serta gagasan melalui sebuah program di layar kaca dengan menggunakan teknik representasi sedemikian rupa, untuk memberikan kesan nyata dan dekat dengan kepentingan pemirsanya. Pada umumnya, pesan-pesan keagamaan yang direpresentasikan televisi melalui sinetron yang menggunakan simbol-simbol keagamaan (Islam) atau sinetron religi yang maknanya bisa bersifat universal dan mudah dipahami. Secara umum, dalam sinetron jenis ini simbol-simbol keagamaan (Islam) seperti butir-butir tasbih, surban, dan ayat al Qur'an secara sederhana digunakan sebagai alat untuk menyelesaikan masalah yang bersifat supra-natural serta senjata yang efektif untuk melawan kekuatan jahat, untuk menggambarkan citra keislaman. Disamping penggunaan logika sederhana, dalam tayangan sinetron religi juga menampilkan logika kontradiktif dimana terjadi ketidak sesuaian antara tema cerita dengan teknik penyajian cerita, misalnya ungkapan verbal yang digunakan dalam dialog. Asumsi ini didasarkan pada pengamatan sementara yang dilakukan penulis terhadap produk-produk sinetron bertema keagamaan yang ditayangkan oleh beberapa televisi swasta di Indonesia yang mulai bermunculan pada awal tahun 2007.

Jika dilihat dari salah satu karakter media massa yang bersifat umum, penyederhanaan jenis pesan-pesan keagamaan dalam sinetron televisi ini dibuat dengan tujuan agar pesan yang disampaikan lebih mudah dicerna dan dipahami oleh pemirsa yang heterogen, sehingga pemirsa mendapat hiburan yang bernilai religius. Dengan menggunakan teori DeFleur sebagaimana telah dijelaskan di muka, pada dasarnya persepsi komunikan terhadap pesan komunikasi bisa

(10)

10 berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lain. Terjadinya perbedaan pola persepsi pemirsa ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor latar belakang pendidikan, faktor sistem kepercayaan (belief system) serta faktor pandangan dunia (world view) yang dimiliki komunikan. Dengan demikian maka diasumsikan bahwa penyederhanaan penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam merepresentasikan realitas Islam juga akan dimaknai secara berbeda-beda sesuai dengan karakter pemirsa.

Penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam merepresentasikan citra Islam terlihat pada sinetron religi “Bukan Islam KTP” yang ditayangkan SCTV. Upaya merepresentasikan realitas ajaran Islam dalam sinetron ini menjadi terlihat menarik karena penggunaan simbol-simbol keagamaan dihadirkan melalui program hiburan tersebut dihadirkan dalam format komedi. Pengalaman dalam mengamati beberapa tayangan sinetron bertema kegamaan ini kemudian mendorong semangat penulis untuk melakukan penelitian dalam proyek disertasi dengan tema representasi Islam melalui simbol-simbol keagamaan pada sinetron religi “Bukan Islam KTP” di SCTV.

B. Permasalahan Penelitian

Ajaran Islam yang berkembang di Indonesia telah mengalami dinamika secara kultural yang disebabkan oleh peristiwa multiple interpretation dari para pembawa risalah terhadap ajaran Islam, serta percampuran ajaran tersebut dengan budaya masyarakat Indonesia. Ketika ajaran Islam disampaikan melalui televisi dalam peristiwa komunikasi massa dan dikemas dalam bentuk hiburan yang berupa sinetron, maka representasi Islam dengan menggunakan simbol-simbol

(11)

11 keagamaan dalam tayangan tersebut potensial menimbulkan citra yang berbeda karena simbol-simbol tersebut belum tentu mewakili entitas Islam yang sesungguhnya. Penelitian ini melihat lebih lanjut tentang cara televisi merepresentasikan citra keislaman dalam tayangan sinetron “Bukan Islam KTP” serta ideologi yang dianut televisi dalam penggunaan simbol-simbol keagamaan tersebut. Untuk mengetahui realitas ajaran yang terkandung dalam tayangan sinetron serta bagaimana cara televisi merepresentasikan realitas tersebut, maka peneliti merumuskan masalah pokok penelitian sebagai berikut:

1. Apa makna simbol-simbol keagamaan dalam tayangan sinetron “Bukan Islam KTP”?

2. Bagaimana ajaran Islam direpresentasikan dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan dalam tayangan sinetron “Bukan Islam KTP”?

3. Apa saja ideologi yang dianut oleh televisi dalam merepresentasikan ajaran Islam dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan dalam tayangan sinetron “Bukan Islam KTP”?.

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis dalam melakukan kajian tentang representasi Islam menggunakan simbol keagamaan dalam tayangan sinetron religi “Bukan Islam KTP” ini adalah:

1. Untuk melihat bagaimana ajaran-ajaran Islam yang terkandung dalam cerita sinetron “Bukan Islam KTP” direpresentasikan dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan melalui media televisi.

(12)

12 2. Untuk mengetahui realitas keagamaan yang dihadirkan televisi dengan mengkaji makna simbol-simbol keagamaan yang ditayangkan dalam sinetron “Bukan Islam KTP”.

3. Untuk mengetahui ideologi yang dianut televisi berkenaan dengan cara merepresentasikan ajaran Islam dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan.

D. Manfaat Hasil Penelitian

Sebuah pekerjaan bisa dikatakan berhasil apabila hasil akhirnya mampu memberikan manfaat serta kontribusi positif bagi orang lain. Setelah melakukan penelitian terhadap representasi Islam dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan dalam sinetron yang ditayangkan stasiun televisi SCTV dengan judul “Bukan Islam KTP” serta melakukan analisis data, maka penulis berharap hasil penelitian ini bisa memberi manfaat kepada berbagai pihak, baik manfaat secara teoretis maupun secara praktis.

1. Manfaat teoretis.

Penelitian ini memiliki tujuan untuk melihat bagaimana realitas keagamaan direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol keagamaan yang dilakukan stasiun televisi dalam tayangan sinetron keagamaan. Dari hasil kajian tersebut, penelitian ini telah berhasil menemukan beberapa hal yang penulis kategorikan dalam tiga dimensi utama, yaitu dimensi realitas keagamaan yang dihadirkan dalam tayangan televisi, dimensi representasi Islam menggunakan simbol-simbol kegamaan, serta dimensi ideologi yang dianut televisi dalam merepresentasikan Islam.

(13)

13 Oleh karena itu, penulis berharap, hasil penelitian ini bisa memberikan kontribusi teoretis dalam tiga dimensi tersebut, yaitu:

(a) Dari hasil analisis terhadap isi pesan berupa temuan ide-ide pokok ajaran Islam yang terkandung dalam tayangan sinetron.

(b) Dari hasil kajian terhadap isi pesan yang berupa temuan tentang bentuk-bentuk representasi dalam penggunaan simbol-simbol keagamaan.

(c) Dari hasil kajian representasi berupa temuan tentang ideologi yang dianut televisi dalam menghadirkan citra keislaman melalui imbol-simbol keagamaan.

Pada akhirnya secara keseluruhan hasil penelitian ini diharapkan bisa menambah referensi serta kerangka acuan dalam bidang kajian budaya dan media khususnya dalam kegiatan penyiaran program keagamaan serta politik representasi yang dilakukan media televisi.

2. Manfaat praktis.

Secara praktis hasil penelitian diharapkan bisa dimanfaatkan sebagai ancangan bagi para pelaku media (khususnya televisi) dalam merepresentasikan pesan yang berkaitan dengan nilai-nilai sakral keagamaan. Agama yang bersifat sakral perlu direpresentasikan dengan hati-hati karena setiap agama memiliki komunitas dengan sensitivitas tertentu. Disamping itu hasil penelitian ini juga diharapkan bisa memberi kontribuasi positif bagi umat Islam dalam proses penerimaan pesan-pesan keagamaan yang disampaikan melalui televisi, serta sebagai bahan evaluasi terhadap consuming pattern bagi umat Islam, sehingga umat bisa bersikap lebih selektif dalam menginterpretasikan pesan-pesan keagamaan yang dikemas dalam bentuk hiburan.

(14)

14 E. Tinjauan Pustaka

Pada bagian tinjauan pustaka ini penulis menggunakan tiga wilayah kajian dalam penelitian, yaitu kesamaan lokus penelitian yang berkaitan dengan pesan tayangan televisi, kesamaan fokus penelitian yang merupakan kajian simbolik dalam konstruksi pesan keagamaan dalam tayangan televisi, dan hasil penelitian yang dilihat dari sisi metode penelitiannya.

1. Hasil penelitian yang juga didasarkan pada kesamaan lokus penelitian yang berkaitan dengan konstruksi isi pesan dalam tayangan televisi yang dilakukan Bungin (2001) Kitley (2001), dan Tee (2000). Dari semua hasil penelitian ini ditemukan fenomena umum, bahwa pada hakekatnya pesan-pesan yang disampaikan melalui tayangan televisi sudah mengalami proses konstruksi sebagai akibat dari intervensi dan pengaruh sistem budaya, sistem politik, dan pengaruh kognisi serta praktek sosial. Penelitian Bungin (2001) menjelaskan bahwa dalam menyampaikan pesan, televisi telah melakukan proses konstruksi sosial sedemikian rupa sehingga menghasilkan citra tertentu. Dalam penelitian ini secara khusus Bungin menganalisis iklan televisi dengan cara melihat bagaimana televisi melakukan proses konstruksi sosial terhadap realitas. Pendekatan konstruksi sosial yang digunakan oleh Bungin cukup efektif untuk membedah makna yang secara sosiologis terkandung dalam pesan-pesan iklan televisi. Dengan menggunakan pendekatan ini, Bungin telah berhasil menjelaskan bahwa pada dasarnya televisi cenderung untuk lebih berkiblat pada aspek komersialisme dibanding aspek idealisme media.

Penelitian Kitley (2001) secara komprehensif menganalisis isi tayangan beberapa stasiun televisi pada masa Orde Baru. Penelitian ini juga dilengkapi

(15)

15 dengan deskripsi historis perkembangan televisi di Indonesia. Kitley menemukan bahwa perubahan struktur kebijakan yang dilakukan pemerintah telah mempengaruhi perubahan penyusunan program serta bentuk isi tayangan. Dengan menggunakan kajian sejarah perkembangan politik, secara keseluruhan hasil penelitian ini menjelaskan bahwa televisi adalah salah satu institusi sosial yang menjadi agen pembentuk budaya masyarakat dan budaya bangsa. Bentuk tayangan televisi di Indonesia dinilai sebagai “serupa tapi tak sama” dengan televisi di negara Barat (Kitley, 2001: 356).

Sedangkan penelitian Tee (2000) mendeskripsikan bagaimana film drama yang ditayangkan televisi Malaysia diproduksi. Penelitian ini mengkaji interaksi antara tiga kelompok utama yang terlibat dan memiliki peran penting untuk mempengaruhi content dalam proses produksi dalam tayangan film televisi, yaitu rezim Barisan Nasional, beberapa saluran televisi, dan produsen program. Penelitian ini menemukan fakta bahwa rezim Barisan Nasional memiliki kekuatan untuk mempengaruhi produser program agar membuat tayangan yang sesuai dengan keinginan pemerintah, sehingga isi tayangan belum bisa menggambarkan keadaan masyarakat yang sesungguhnya karena adanya peristiwa konstruksi isi tayangan.

Dari beberapa penelitian yang menggunakan paradigma konstruksionis ini para peneliti menggunakan asumsi bahwa proses konstruksi pesan televisi lebih banyak disebabkan ada pengaruh kekuatan yang datang dari luar institusi media seperti sistem politik sebagaimana hasil yang dikemukakan Tee (2000) dan Kitley (2001), serta sistem sosial dan budaya sebagaimana dijelaskan dalam penelitian Bungin (2001). Sedangkan dalam penelitian dengan tema

(16)

16 representasi Islam dalam penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam sinetron religi ini, penulis berangkat dari sudut pandang yang berbeda, yakni melihat bagaimana Islam direpresentasikan melalui simbol-simbol keagamaan, sehingga yang dilihat adalah faktor internal dari teks.

2. Hasil penelitian yang juga didasarkan pada kesamaan konsentrasi atau fokus penelitian, yaitu penelitian tentang tema tayangan yang bermuatan nilai-nilai keagamaan di televisi. Penelitian dengan tema ini telah dilakukan Robinson (1990), Syahputra (2011), Lagerway (2009), dan Roger (2010). Penelitian ini menemukan hasil yang serupa bahwa televisi memiliki kekuatan untuk membentuk pencitraan tertentu tentang fenomena keagamaan melalui tayangan fiksi keagamaan dengan menggunakan kode-kode simbolik yang berupa pesan verbal dan non-verbal. Penelitian Syahputra (2011) yang mengkaji tayangan sinetron “Rahasia Ilahi” di TPI yang didasarkan pada teori Baudrillard tentang Kuadran Simulasi, menemukan bahwa telah terjadi komodifikasi intrinsik atas realitas agama yang berupa kepercayaan adanya azab Allah. Dalam proses komodifikasi ini terjadi perubahan bentuk pesan dari kumpulan informasi ke dalam sistem tanda atau simbol dalam wujud produk yang bisa dipasarkan (Syahputra, 2011: 298). Sedangkan penelitian Robinson (1990) yang mengambil 260 serial fiksi di televisi, menemukan adanya perbedaan pencitraan yang dilakukan televisi terhadap tokoh Kristen (yang digambarkan dalam sisi negatifnya) dan tokoh Katolik (digambarkan secara lebih positif). Tokoh Kristen jarang dimunculkan di televisi kecuali dalam kegiatan di luar acara keagamaan dan dalam kegiatan pelanggaran hukum, sedangkan tokoh

(17)

17 Katolik ditampilkan menggunakan simbol non-verbal sebagai sosok laki laki (berkulit putih) yang memiliki karakter jujur dan rendah hati.

Penelitian Lagerwey (2009) tentang drama televisi Amerika periode 2000-2009 dengan tema fiksi keagamaan yang ditandai sebagai genre yang baru muncul pada awal tahun 2000. Adapun representasi tayangan agama yang dijadikan fokus kajian adalah bagaimana tema-tema keagamaan serta karakteristik agama berinteraksi dengan beberapa aspek pada produksi tayangan televisi dengan menggunakan simbol verbal dan non-verbal.

Jika tiga penelitian yang menggunakan paradigma simbolik ini memaparkan hasil penelitian bahwa tayangan keagamaan yang dilakukan televisi dengan menggunakan simbol-simbol tertentu ini digunakan oleh media sebagai politik pencitraan terhadap agama, maka penelitian yang penulis lakukan ini melihat pada bagaimana simbol-simbol tersebut digunakan untuk merepresentasikan sebuah pesan keislaman. Disamping itu penulis juga melihat makna simbol tersebut dengan cara melihat keterkaitan antar simbol-simbol keagamaan (Islam) yang digunakan dengan fungsi simbol-simbol.

3. Paparan hasil penelitian mengenai isi pesan televisi ini berupa review tentang hasil penelitian yang didasarkan pada metode penelitian dalam menemukan ideologi televisi. Dalam review pustaka ini penulis menemukan hasil penelitian yang dilakukan Marie (2009) dan Van Dijk (2011) dengan menggunakan analisis wacana. Secara umum penelitian-penelitian ini menemukan bahwa media memiliki ideologi tertentu dalam membuat citra tertentu terhadap isu tertentu. Penelitian Marie (2009) mengamati tayangan komedi situasi untuk

(18)

18 melihat ideologi dominan masyarakat yang juga menjadi ideologi dominan televisi. Marie memaparkan temuannya, bahwa untuk mencari ideologi dominan yang dipraktekkan oleh masyarakat yang selama ini dianggap sebagai produk televisi, maka sesungguhnya ideologi tersebut berasal dari masyarakat sendiri yang kemudian dikonstruksikan oleh televisi dan akhirnya dikembalikan lagi kepada masyarakat. Sedangkan Van Dijk (2011) secara khusus meneliti pidato Tony Blair tentang Iraq dengan menggunakan analisis kognisi sosial yang mencoba untuk melihat isi pesan dari konteks sosialnya.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan laporan hasil penelitian tentang representasi Islam melalui penggunaan simbol-simbol keagamaan dalam sinetron religi ini, penulis membagi laporan menjadi tujuh bab dengan sistematika sebagai berikut.

Bab I berisi tentang pendahuluan yang meliputi: latar belakang masalah penelitian, permasalahan penelitian, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, tinjauan pustaka, serta sistematika penulisan laporan penelitian.

Bab II berisi tentang kerangka teoretik yang meliputi: pembahasan teori tentang simbol, pembahasan tentang simbol keagamaan, teori tentang televisi, pembahasan tentang representasi simbol keagamaan di televisi, ideologi televisi, serta teori tentang semiotika.

Bab III berisi pemaparan tentang metode penelitian yang meliputi: alasan pemilihan fokus penelitian, jenis penelitian, batasan konseptual, data penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

(19)

19 Bab IV merupakan paparan data serta analisis yang diawali dengan penyajian profil SCTV, representasi Islam dalam tayangan sinetron “Bukan Islam KTP”, paparan sinopsis sinetron, penggolongan karakter pemain, representasi Islam, representasi Islam dengan menggunakan simbol verbal, representasi Islam dengan menggunakan simbol non-verbal, serta representasi Islam dalam format komedi

Bab V berisi paparan analisis mengenai konteks sosial representasi Islam menggunakan simbol kegamaan yang meliputi analisis tentang konteks sosial penggunaan simbol verbal, konteks sosial penggunaan simbol non-verbal, televisi dan penciptaan realitas budaya, serta analisis tentang simbol dan fungsi simbol dalam televisi.

Bab VI berisi tentang paparan analisis ideologi televisi dalam representasi Islam yang diawali dengan deskripsi isi pesan dari episode sinetron yang dipilih, cara representasi pesan, serta ideologi yang terkandung pada masing-masing episode.

Bab VII merupakan bagian penutup yang terdiri atas temuan dan simpulan hasil penelitian, rekomendasi dari hasil penelitian, serta kata penutup.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian pengaruh pemberian susu skim dalam pakan terhadap konsumsi pakan, konversi pakan dan IOFC ayam broiler dilakukan dengan 3 tahapan meliputi tahap persiapan, tahap

Barang-barang yang tidak digunakan baik makanan atau bahan lain disimpan di Barang-barang yang tidak digunakan baik makanan atau bahan lain disimpan di tempat penyimpanannya

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, BBKSDA Jawa Timur selaku UPT yang menangani langsung lembaga konser- vasi telah mengadakan pembinaan yang disambut baik oleh pihak

Green chemistry education adalah solusi melalui pendidikan untuk permasalahan lingkungan dengan menarapkan prinsip pembangunan yang berkelanjutan terkait dengan

tegangan dari saluran itu pada faktor-daya tertentu yang dinyatakan de.. Iam prosen (perserahrs) tertradap nilai tegangan penerJma pada

terjadi adalah tidak murni atau dapat dikatakan tidak terdapat hubungan atau pengaruh yang murni antara disiplin kerja dengan prestasi kerja pegawai di Kantor

disemprotkan pada bidang permukaan logam akan menjangkau pada luasan 17,5 m 2. Apa yang dapat digunakan dengan data-data tersebut di atas ? Secara ekonomi kita dapat