• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. a. Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. a. Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA , RERANGKA PEMIKIRAN , DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka

1. Manajemen Sumber Daya Manusia

a. Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia

Manajemen Sumber Daya Manusia adalah suatu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan atas pengadaan, pengembangan, kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan dan pemutusan hubungan kerja dengan maksud untuk mencapai tujuan organisasi perusahaan secara terpadu Umar dalam Sunyoto (2012).

Menurut Griffin (2005) manajemen sumber daya manusia (Human Resources Management) adalah rangkaian aktivitas organisasi yang diarahkan untuk menarik, mengembangkan dan mempertahankan tenaga kerja yang efektif. Manajemen SDM diperlukan dalam konteks lingkungan yang kompleks dan terus berubah. Tiga komponen utama yang sangat penting dari konteks tersebut adalah kepentingan strategis manajemen sumber daya manusia, lingkungan hukum dan sosial dari manajemen sumber daya manusia.

Menurut Simamora dalam Sutrisno (2009) manajemen sumber daya manusia adalah pendayagunaan, pengembangan, penilaian, pemberian balas jasa, dan pengelolaan individu anggota organisasi atau kelompok pekerja.

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, manajemen sumber daya manusia adalah suatu proses menangani berbagai masalah pada ruang lingkup karyawan,

(2)

pegawai, buruh, manajer dan tenaga kerja lainnya untuk dapat menunjang aktivitas organisasi atau perusahaan demi mencapai tujuan yang telah ditentukan. 2. Budaya Organisasi

a. Pengertian Budaya Organisasi

Menurut Mangkunegara dalam Sembiring (2012) budaya organisasi adalah seperangkat atau asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal.

Menurut Torang (2013), budaya organisasi adalah belief, value, norma dan system yang membentuk dan mewarnai perilaku pimpinan dan anggota organisasi sehingga menjadi kebiasaan yang sulit diubah. Budaya oganisasi merupakan norma-norma yang telah disepakati untuk menuntun perilaku individu dalam organisasi.

Menurut Robbins (2006), budaya organisasi adalah sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi terdiri dari ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, perilaku/kebiasaan masyarakat, asumsi-asumsi dasar, sistem nilai, pembelajaran, masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal. Budaya organisasi merupakan suatu komponen penting di dalam sebuah perusahaan

(3)

karena merupakan suatu nilai yang akan menentukan perilaku dari seluruh karyawan yang berada di dalam perusahaan tersebut.

b. Bentuk Budaya Organisasi

Menurut Jeff Cartwright dalam Torang (2013) membagi empat bentuk budaya yang dipandang sebagai siklus budaya, yaitu sebagai berikut :

1. Monoculture, individu atau kelompok berpikir sama sesuai dengan norma budaya yang sama, dicirikan yang sama, dicirikan ekstrem (fanatik dan fundamentalis).

2. Superordinate Culture, subkultur terkoordinasi (setiap individu bergerak dengan keyakinan dan nilai-nilai, gagasan dan sudut pandang sendiri, namun bekerja dalam satu organisasi dan semua termotivasi). Superordinate Culture merupakan bentuk ideal budaya organisasi. Perbedaan budaya menjadi akibat pemisahan dan konflik atau sumber vitalitas, kreativitas dan enegri.

3. Divisive Culture, bentuk ini memecah belah karena setiap individu ditarik agenda dan tujuannya sendiri. Dalam model ini, organisasi ditarik kearah yang berbeda. Gejala budaya ini adalah kejahatan, infisiensi dan kekacauan.

4. Disjunctive culture, diindikasikan dengan pemecahan organisasi menjadi unit budaya individual.

Menurut Robbins dalam Torang (2013) mengelompokkan bentuk budaya, yaitu dengan; networked culture, mercenary culture, fragmented culture dan communal culture. Penetapan bentuk budaya tersebut melalui hubungan antara

(4)

tingkat sosiabilitas dan solidaritas. Dimensi sosiabilitas adalah tingkat persahabatan di antara anggota organisasi.

1. Network Culture

Organisasi memandang anggota sebagai keluarga dan teman (high on sociability but low on solidarity). Orang-orang dalam network culture sangat bersahabat dan bersuka ria dalam gaya, cenderung berbicara tentang bisnis secara bebas, kebiasaan informal dan menggunakan banyak waktu untuk sosialisasi dan tanpa masalah serta saling mengetahui satu sama lain dengan cepat dan merasa bahwa mereka adalah bagian dari organisasi.

2. Mercenary culture

Organisasi berorientasi pada tujuan (low on sociability but high on solidarity), komunikasi cenderung cepat, langsung dan dikendalikan dengan cara yang tidak ada yang tidak mungkin, tidak toleran pada kebiasaan menghabiskan waktu, menonjolkan bisnis dan omongan kosong, toleransi dalam menggunakan waktu yang lama untuk mewujudkan tujuannya.

3. Fragmented Culture

Low on sociability and low on solidarity, budaya ini menggambarkan orang yang bekerja dengan sedikit melakukan kontak bahwa tidak saling mengenal, tidak saling menampakkan identifikasi organisasi, serta cenderung mengidentifikasi dengan profesi di mana mereka diposisikan.

4. communal culture

High on sociability and high on solidarity, anggota organisasi sangat bersahabat dan bergaul, baik secara pribadi maupun secara profesional,

(5)

umumnya terjadi pada perusahaan yang menggunakan teknologi tinggi, individu dalam organisasi cenderung berbagi dalam banyak hal, komunikasi mengalir dengan sangat mudah, mereka mengenakan logo perusahaan, hidup dalam kepercayaan perusahaan dan membela dari orang lain.

Selain itu, Kreitner dan Kinicki dalam Torang (2013) mengemukakan tiga bentuk umum budaya organisasi, yaitu constructive, passive-defensive, dan aggressive-defensive.

c. Karakteristik Budaya Organisasi

Untuk memberikan pengertian yang lebih mudah, terdapat 10 (sepuluh) karakteristik penting menurut Pabundu Tika (2006), yang dapat dipakai sebagai acuan esensial dalam memahami serta mengukur keberadaan budaya organisasi tersebut yaitu :

1. Inisiatif Individual

Yang dimaksud inisiatif individual adalah tingkat tanggung jawab, kebebasan atau independensi yang dipunyai setiap individu dalam mengemukakan pendapat. Inisiatif individu tersebut perlu dihargai oleh kelompok atau pimpinan suatu organisasi sepanjang menyangkut ide untuk memajukan dan mengembangkan organisasi.

2. Toleransi terhadap tindakan beresiko

Dalam budaya organisasi perlu ditekankan sejauh mana para pegawai dianjurkan untuk dapat bertindak agresif, inovatif dalam mengambil resiko. Suatu budaya organisasi dikatakan baik, apabila dapat memberikan toleransi

(6)

untuk memajukan organisasi serta berani mengambil resiko terhadap apa yang dilakukannya.

3. Pengarahan

Pengarahan dimaksud sejauh mana suatu organisasi dapat menciptakan dengan jelas sasaran dan harapan yang diinginkan. Sasaran dan harapan tersebut jelas tercantum dalam visi, misi dan tujuan organisasi. Kondisi ini dapat berpengaruh terhadap kinerja organisasi.

4. Integrasi

Integrasi dimaksud sejauh mana suatu organisasi dapat mendorong unit-unit organisasi untuk bekerja dengan cara yang terkoordinasi. Kekompakan unit-unit organisasi dalam bekerja dapat mendorong kualitas dan kuantitas pekerjaan yang dihasilkan.

5. Dukungan Manajemen

Dukungan manajemen dimaksudkan sejauh mana para manager dapat memberikan komunikasi atau arahan, bantuan serta dukungan yang jelas terhadap bawahan. Perhatian manajemen terhadap pegawai sangat membantu kelancaran kinerja suatu organisasi.

6. Kontrol

Alat kontrol yang dapat dipakai adalah peraturan-peraturan atau norma-norma yang berlaku dalam suatu organisasi. Untuk itu diperlukan sejumlah peraturan dan tenaga pengawas (atasan langsung) yang dapat digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan pegawai dalam suatu organisasi.

(7)

7. Identitas

Identitas dimaksudkan sejauh mana para pegawai dalam suatu organisasi dapat mengindentifikasi dirinya sebagai satu kesatuan dan bukan sebagai kelompok kerja tertentu. Identitas diri sebagai satu kesatuan sangat membantu manajemen dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi.

8. Sistem Imbalan

Sistem imbalan dimaksud sejauh mana alokasi imbalan (seperti kenaikan gaji, promosi dan sebagainya) didasarkan atas prestasi kerja pegawai, bukan senioritas atau pilih kasih.

9. Toleransi

Terhadap konflik sejauh mana para pegawai didorong mengemukakan konflik dan kritik secara terbuka. Perbedaan pendapat atau kritik merupakan fenomena yang sering terjadi namun bisa dijadikan sebagai media untuk melakukan perbaikan atau perubahan strategi untuk mencapai tujuan suatu organisasi. 10. Pola

Komunikasi sejauh mana komunikasi dibatasi oleh hierarki kewenangan yang formal. Kadang-kadang hierarki kewenangan dapat menghambat terjadinya pola komunikasi antara atasan dan bawahan atau antara karyawan itu sendiri.

Subtansi atau akar budaya organisasi adalah karakteristik inti yang mengidenfiikasi ciri-ciri, sifat-sifat, unsur-unsur, atau elemen-elemen yang melekat pada budaya organisasi. Menurut Geert Hofstede dalam Torang (2013) membagai 8 dimensi karakteristik budaya organisasi, yaitu:

(8)

1. Power distane, tingkatan dimana pembagian kekuasaan yang tidak sama diterima orang dalam budaya (high power distance).

2. Individualism.

3. Collectividm (berorientasi pada orang dan demi kebaikan kelompok). 4. Quantity of life.

5. Quality of life.

6. Uncertainty Avoidance (individu berusaha menghindar dari situasi yang tidak jelas).

7. Long-term orientation (atribut budaya nasional yang menekankan pada masa depan, sifat hemat dan ketekunan).

8. Versus Short-term Orientation (berorientasi jangka panjang dan menekanankan masa lalu dan menghormati tradisi).

Luthans (2006), menyatakan budaya organisasi mempunyai sejumlah karakteristik penting, beberapa di antaranya adalah :

1. Aturan perilaku yang diamati

Ketika anggota organisasi berinteraksi satu sama lain, mereka menggunakan bahasa, istilah, dan ritual umum yang berkaitan dengan rasa hormat dan cara berperilaku.

2. Norma

Ada standar perilaku, mencakup pedoman mengenai seberapa banyak pekerjaan yang dilakukan, yang dalam banyak perusahaan menjadi “jangan melakukan terlalu banyak, jangan terlalu sedikit”.

(9)

3. Nilai dominan

Organisasi mendukung dan berharap peserta membagikan nilai-nilai utama. Contoh : kualitas produk tinggi, sedikit absen, dan efisiensi tinggi.

4. Filosofi

Terdapat kebijakan yang membentuk kepercayaan organisasi mengenai bagaimana karyawan dan atau pelanggan diperlakukan.

5. Aturan

Terdapat pedoman ketat berkaitan dengan pencapaian perusahaan. Pendatang baru harus mempelajari teknik dan prosedur yang ada agar diterima sebagai anggota kelompok yang berkembang.

6. Iklim organisasi

Ini merupakan keseluruhan ”perasaan” yang disampaikan dengan pengaturan yang bersifat fisik, cara peserta berinteraksi, dan cara anggota organisasi berhubungan dengan pelanggan dan individu dari luar.

d. Indikator Budaya Organisasi

Menurut Robbins (2006) dikemukakan tujuh karakteristik primer berikut yang bersama-sama menangkap hakikat budaya organisasi, yaitu :

1. Inovasi dan pengambilan resiko, sejauh mana para karyawan didorong agar inovatif dan mengambil resiko.

2. Perhatian terhadap detail, sejauh mana para karyawan diharapkan memperlihatkan presisi (kecermatan), analisis, dan perhatian terhadap detail. 3. Orientasi hasil, sejauh mana manajemen memusatkan perhatian pada hasil dan

(10)

4. Orientasi orang, sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan dampak hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu.

5. Orientasi tim, sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan berdasar tim, bukannya berdasar individu.

6. Keagresifan, sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan bukannya santai-santai.

7. Kemantapan, sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo, bukannya pertumbuhan.

3. Komitmen Organisasional

a. Pengertian Komitmen Organisasional

Komitmen organisasional menurut Greenberg dalam Wibowo (2013) adalah sebagai suatu tingkatan dimana individu mengidentifikasi dan terlibat dengan organisasinya atau tidak ingin meninggalkannya.

Menurut Robbins (2008) komitmen organisasional (organizational commitment), didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Jadi, keterlibatan pekerjaan yang tinggi berarti memihak pada pekerjaan tertentu seseorang individu, sementara komitmen organisasional yang tinggi berarti memilhak organisasi yang merekrut individu tersebut.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasional pada dasarnya adalah merupakan kesediaan seseorang untuk mengikatkan diri dan menunjukan loyalitas pada organisasi karena merasakan

(11)

dirinya terlibat dalam kegiatan organisasi. Tiga dimensi terpisah dari komitmen organisasioanal yang diutarakan oleh Robbins (2008) adalah:

1. Komitmen afektif (Affectif Commitment) merupakan perasaan emosional untuk organisasi dan keyakinan dalam nilai-nilainya. Sebagai contoh seorang karyawan Pacto mungkin memiliki komitmen aktif untuk perusahaannya karena keterlibatannya dengan hewan-hewan.

2. Komitmen berkelanjut (continuance commitment) adalah nilai ekonomi yang dirasa dari bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan meninggalkan organisasi tersebut. Seorang karyawan mungkin akan berkomitmen kepada seorang pemberi kerja karena ia di bayar tinggi dan merasa bahwa pengunduran diri dari perusahaan akan menghancurkan keluarganya.

3. Komitmen normatif (normative commitment) adalah kewajiban untuk bertahan dalam organisasi untuk alasan-alasan moral atau etis. Sebagai contoh seorang karyawan yang melopori sebuah inisiatif baru mungkin bertahan dengan seorang pemberi kerja karena ia merasa meninggalkan seseorang dalam keadaan yang sulit bila ia pergi.

Terlihat ada suatu hubungan positif antara komitmen organisasional dan kinerja, tetapi hubungan tersebut sangat sederhana. Seperti halnya keterlibatan pekerjaan, bukti penelitian menunjukan hubungan negatif antara komitmen organisasional dengan ketidak hadiran maupun perputaran karyawan. Pada umumnya, tampak bahwa komitmen yamg efektif memiliki hubungan yang lebih erat dengan hasil-hasil organisasional seperti kinerja dan perputaran karyawan

(12)

dibandingkan dengan dua dimensi komitmen lain. (Robbins, 2008).

Satu penelitian menemukan bahwa komitmen efektif adalah prediksi dari berbagai hasil (persepsi karakteristik tugas kepuasan karier dan niat untuk pergi) dalam 72% kasus dibandingkan dengan hanya 36% untuk komitmen normatif dan 7% persen untuk komitmen berkelanjutan. Hasil-hasil yang lemah untuk komitmen berkelanjutan adalah masuk akal karena hal ini sebenarnya bukan merupakan sebuah komitmen yang kuat. Dibandingkan kesetiaan (komitmen efektif) atau kewajiban (komitmen normatif) untuk seorang pemberi kerja, sebuah komitmen berkelanjutan mendeskripsikan seorang karyawan yang terikat dengan seorang pemberi kerja hanya karena tidak ada hal lain yang lebih baik. (Robbins, 2008).

Dikarenakan komitmen organisasional bersifat multidimensi, maka terdapat perkembangan dukungan untuk tiga model yang diajukan Meyer dan Allen dalam Luthans (2006) dalam model pengembangan komitmen mengidentifikasikan tiga indikator komitmen organisasional yaitu, 1. komitmen afektif, 2. komitmen kelanjutan, 3. komitmen normatif. Karyawan yang memiliki komitmen afektif yang kuat akan terus bekerja dalam organisasi karena mereka memang ingin (want to) melakukan hal tersebut. Karyawan yang bekerja berdasarkan komitmen kelanjutan ini bertahan dalam organisasi karena mereka butuh (need to) melakukan hal tersebut karena tidak adanya pilihan lain, dan karyawan yang memiliki komitmen normatif yang tinggi merasa bahwa mereka wajib (ought to) bertahan dalam organisasi. Dengan kata lain, ini merupakan sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada organisasi dan proses berkelanjutan

(13)

dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.

Menurut Meyer dan Allen dalam Luthans (2006) komponen komitmen organisasional yang lain adalah komitmen kelanjutan, ini didefinisikan sebagai komitmen berdasarkan kerugian yang berhubungan dengan keluarnya karyawan dari organisasi, hal ini mungkin karena kehilangan senioritas atas promosi atau benefit.

Individu dengan komitmen kelanjutan yang tinggi akan bertahan dalam organisasi, bukan karena alasan emosional, tapi karena adanya kesadaran dalam individu tersebut akan kerugian besar yang dialami jika meninggalkan organisasi, berkaitan dengan hal ini, maka individu tersebut tidak dapat diharapkan untuk memiliki keinginan yang kuat untuk berkontribusi pada organisasi. Jika individu tersebut tetap bertahan dalam organisasi, maka pada tahap selanjutnya individu tersebut dapat merasakan putus asa dan frustasi yang dapat menyebabkan kinerja yang buruk. Individu dengan komitmen kelanjutan yang tinggi akan lebih bertahan dalam organisasi dibandingkan yang rendah. Meyer dan Allen dalam (Luthans, 2006).

Menurut Dessler dalam Luthans (2006) memberikan pedoman khusus untuk mengimplementasikan membantu memecahkan masalah dan meningkatkan komitmen organisasional pada diri karyawan :

1. Berkomitmen pada nilai utama manusia, membuat aturan tertulis, mempekerjakan manajer yang baik dan tepat, mempertahankan komunikasi.

(14)

berkharisma, menggunakan praktik perekrutan berdasarkan nilai, menekankan orientasi berdasarkan nilai stres dan pelatihan dan membentuk tradisi.

3. Menjamin keadilan organisasi, memiliki prosedur penyampaian keluhan yang komprehensif, menyediakan komunikasi dua-arah yang ekstensif.

4. Menciptakan rasa komunitas, membangun homogenitas berdasarkan nilai, keadilan, menekankan kerja sama, saling mendukung, dan kerja tim, berkumpul bersama.

5. Mendukung perkembangan karyawan, melakukan aktualisasi, memberikan pekerjaan menantang pada tahun pertama, memajukan dan memberdayakan, mempromosikan dari dalam, menyediakan aktivitas perkembangan, menyediakan keamanan kepada karyawan tanpa jaminan.

b. Dimensi Komitmen

Menurut Schermerhorn, Hunt, Osborn dan Uhl-Blen dalam Wibowo (2015) mengemukakan bahwa terdapat dua dimensi utama komitmen organisasional, yaitu rational commitment dan emotional commitment. Rational commitment mencerminkan bahwa pekerjaan memberikan pelayanan pada kepentingan finansial, pengembangan, dan profesional individu. Sedangkan emotional commitment mencerminkan perasaan bahwa apa yang dilakukan seseorang adalah penting, berharga dan memberikan manfaat nyata bagi orang lain. Dikatakan bahwa kenyataan menunjukan emotional commitment yang kuat pada organisasi didasarkan pada nilai-nilai dan kepentingan orang lain dan memberikan pengaruh positif 4 kali lipat terhadap kinerja daripada rational commitment, yang didasarkan pada bayaran dan kepentingan sendiri.

(15)

Dimensi komitmen menurut Meyer dan Allen dalam Luthans (2006) adalah (a) affective commitment, menyangkut ketertarikan emosional pekerjaan pada identifikasi dengan dan keterlibatan dalam organisasi. (b) continuance commitment, menyangkut komitmen didasarkan pada biaya yang bersangkutan dengan pekerjaan dengan meninggalkan organisasi. Ini mungkin karena hilangnya senioritas untuk promosi atau tunjangan. (c) normative commitment, menyangkut perasaan pekerjaan atas kewajiban untuk tetap tinggal dengan organisasi karena itu merupakan yang terbaik untuk dilakukan.

4. Kinerja

a. Pengertian Kinerja

Menurut Mangkunegara (2007) bahwa istilah kinerja dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang) yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan padanya. Lebih lanjut Mangkunegara (2007) menyatakan bahwa pada umumnya kinerja dibedakan menjadi dua yaitu kinerja individu dan kinerja organisasi.

Menurut Simanjuntak (2005) kinerja adalah tingkat pencapaian hasil atas pelaksanaan tugas tertentu, simanjuntak juga mengartikan kinerja individu sebagai tingkat pencapaian atau hasil kerja seseorang dari sasaran yang harus dicapai atau tugas yang harus dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu.

(16)

Menuurt Wirawan (2009) Kinerja adalah keluaran yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau indikator-indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu tertentu seperti yang dilakukan oleh pekerja kasar atau blue collar worker.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja bisa dikatakan sebagai hasil dari proses kerja yang sudah dilewati dan menjadi gambaran bagaimana proses kerja yang dilakukan, bila proses kerja sesuai dengan standar atau aturan kerja yang sudah dilakukan, maka kinerja atau hasil kerja akan sesuai target. Kinerja yang tidak sesuai target dapat menjadi sebuah indikator bahwa ada permasalahan atau penyimpangan dalam sebuah proses kerja. Kinerja adalah prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas. b. Faktor-Faktor Kinerja Karyawan

Menurut Hasibuan (2006) Kinerja merupakan gabungan tiga faktor penting, yaitu kemampuan dan minat seorang pekerja, kemampuan dan penerimaan atas penjelasan delegasi tugas dan peran serta tingkat motivasi pekerja. Apabila kinerja tiap individu atau karyawan baik, maka diharapkan kinerja perusahaan akan baik pula. Faktor-faktor yang Mempengaruhi kinerja karyawan Menurut Hasibuan (2006) mengungkapkan bahwa kinerja merupakan gabungan tiga faktor penting, yaitu kemampuan dan minat seorang pekerja, kemampuan dan penerimaan atas penjelasan delegasi tugas dan peran serta tingkat motivasi pekerja. Apabila kinerja tiap individu atau karyawan baik, maka diharapkan kinerja perusahaan akan baik pula. Faktor penentu kinerja individu dalam organisasi adalah faktor individu dan faktor lingkungan kerja organisasi.

(17)

Dari beberapa faktor di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan. Diantaranya faktor internal antara lain: kemampuan intelektualitas, disiplin kerja, komitmen dan motivasi karyawan. Faktor eksternal meliputi: gaya kepemimpinan, lingkungan kerja, kompensasi dan sistem manajemen yang terdapat di perusahaan tersebut.

Menurut mangkunegara (2009) bahwa faktor-faktor penentu prestasi kerja individu adalah faktor individu dan faktor lingkungan kerja organisasi, yaitu: 1. faktor individu

Secara psikologi, individu yang normal adalah individu yang memiliki integritas yang tinggi antara fungsi psikis (rohani) dan fisiknya (jasmaniah). Dengan adanya integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik, maka individu tersebut memiliki konsentrasi diri yang baik. Konsentrasi yang baik ini merupakan modal utama individu manusia untuk mampu mengelola dan mendaya gunakan potensi dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerja sehari-hari dalam mencapai tujuan organisasi.

2. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan kerja organisasi sangat menunjang bagi individu dalam mencapai prestasi kerja. Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, autoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja efektif, hubungan kerja harmonis, iklim kerja respek dan dinamis, peluang berkarir dan fasilitas kerja yang relatif memadai. Sekalipun jika faktor lingkungan organisasi kurang menunjang, maka bagi individu yang memiliki tingkat kecerdasan emosi baik, sebenarnya ia tetap

(18)

dapat berprestasi dalam bekerja. Hal ini bagi individu tersebut, lingkungan organisasi itu dapat diubah bahkan dapat diciptakan oleh dirinya serta merupakan pemacu (pemotivator), tantangan bagi dirinya dalam berprestasi di organisasi.

Menurut Mathis (2006) faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan yaitu kemampuan karyawan untuk pekerjaan tersebut, tingkat usaha yang dicurahkan, dan dukungan organisasi yang diterimanya. Sehubungan dengan fungsi manajemen manapun, aktivitas manajemen sumber daya manusia harus dikembangkan, dievaluasi, dan diubah apabila perlu sehingga mereka dapat memberikan kontribusi pada kinerja kompetitif organisasi dan individu di tempat kerja.

c. Indikator Kinerja Karyawan

Menurut Wirawan (2009) model evaluasi kinerja yang digunakan DP3 adalah Behavior Anchor Rating Scale (BARS) yaitu:

1. Kesetiaan yaitu kesetiaan, ketaatan, dan pengabdian kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah Republik Indonesia.

2. Prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seorang pegawai negeri sipil dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya.

3. Tanggung jawab adalah kesanggupan seorang pegawai negeri sipil dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya.

4. Ketaatan adalah kesanggupan seorang pegawai negeri sipil untuk menaati segala peraturan perundang-perundangan dan peraturan kedinasan yang berlaku, menaati perintah kedinasan yang diberikan oleh atasan yang

(19)

berwenang, serta kesanggupan untuk tidak melanggar larangan yang ditentukan.

5. Kejujuran yaitu ketulusan hati seseorang pegawai negeri sipil dalam melaksanakan tugas dan kemampuan untuk tidak menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya.

6. Kerja sama adalah kemampuan seorang pegawai negeri sipil untuk bekerja sama denga orang lain dalam menyelesaikan suatu tugas yang ditentukan sehingga mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar – besarnya.

7. Prakarsa adalah kemampuan seorang pegawai negeri sipil untuk mengambil keputusan dalam melaksanakan tugas pokok tanpa menunggu perintah.

8. Kepemimpinan adalah yang diterapkan oleh pimpinan kepada bawahan d. Penilaian Kinerja Karyawan

Menurut Sedarmayanti (2011) Penilaian kinerja merupakan proses subjektif yang menyangkut penilaian manusia. Dengan demikian, penilaian kinerja sangat mungkin keliru dan sangat mudah dipengaruhi oleh sumber yang tidak aktual. Tidak sedikit sumber tersebut mempengaruhi proses penilaian, sehingga harus diperhitungkan dan dipertimbangkan dengan wajar. Penilaian kinerja dianggap memenuhi sasaran apabila memiliki dampak yang baik pada tenaga kerja yang baru dinilai kinerja/keragaannya.

Penilaian kinerja berbicara tentang kinerja karyawan dan akuntabilitas. Di tengah kompetisi global, perusahaan menuntut kinerja yang tinggi. Seiring

dengan itu, kalangan karyawan membutuhkan umpan balik atas kinerja mereka sebagai pedoman perilakunya di masa depan. Penilaian kinerja pada prinsipnya

(20)

merupakan salah satu aktivitas dasar departemen sumberdaya manusia kadang-kadang disebut juga dengan telaah kinerja, penilaian karyawan, evaluasi kinerja, evaluasi karyawan atau penentuan peringkat personalia. Semua istilah tadi berkenaan dengan proses yang sama.

Penilaian kinerja merupakan suatu proses organisasi dalam menilai kinerja pegawainya. Tujuan dilakukaannya penilaian kinerja secara umum adalah untuk memberikan feedback kepada karyawan dalam upaya memperbaiki tampilan kerjanya dan upaya meningkatkan produktivitas organisasi, dan secara khusus dilakukan dalam kaitannya dengan berbagai kebijaksanaan terhadap karyawan seperti tujuan promosi, kenaikan gaji, pendidikan, pelatihan, dan lain-lain.

Penilaian kinerja (performance appraisal) secara keseluruhan merupakan proses yang berbeda dari evaluasi pekerjaan (job evaluation). Penilaian kinerja berkenaan dengan seberapa baik seseorang melakukan pekerjaan yang ditugaskan/diberikan. Evaluasi pekerjaan menentukan seberapa tinggi harga sebuah pekerjaan bagi organisasi, dan dengan demikian, pada kisaran beberapa gaji sepatutnya diberikan kepada pekerjaan itu. Sementara penilaian kinerja dapat menunjukkan bahwa seseorang adalah pemrogram komputer terbaik yang dimiliki organisasi, evaluasi pekerjaan digunakan untuk memastikan bahwa pemrogram tadi menerima gaji maksimal untuk posisi programmer komputer sesuai dengan nilai posisi tersebut bagi organisasi.

Penilaian kinerja merupakan sarana untuk memperbaiki karyawan yang tidak melakukan tugasnya dengan baik di dalam organisasi. Banyak organisasi

(21)

berusaha mencapai sasaran suatu kedudukan yang terbaik dan terpercaya dalam bidangnya. Untuk itu sangat tergantung dari para pelaksanaannya, yaitu para karyawannya agar mereka mencapai sasaran yang telah ditetapkan oleh organisasi. Kegunaan penilaian kinerja karyawan adalah :

1. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunakan untuk prestasi, pemberhentian dan besarnya balas jasa.

2. Untuk mengukur sejauh mana seorang karyawan dapat menyelesaikan pekerjaannya.

3. Sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas seluruh kegiatan dalam perusahaan.

4. Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektivan jadwal kerja, metode kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja dan pengawasan.

5. Sebagai indikator untuk menentukan kebutuhan akan latihan bagi karyawan yang berada di dalam organisasi.

6. Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan sehingga dicapai performance yang baik.

7. Sebagai alat untuk dapat melihat kekurangan atau kelemahan dan meningkatkan kemampuan karyawan selanjutnya.

8. Sebagai kriteria menentukan, seleksi dan penempatan karyawan.

9. Sebagai alat untuk memperbaiki atau mengembangkan kecakapan karyawan. 10. Sebagai dasar untuk memperbaiki atau mengembangkan uraian tugas (job

(22)

5. Penelitian Terdahulu

No

Nama Penelitian

(Tahun)

Judul Penelitian Variabel Hasil

1 Evans Sokro (2012)

Analysis Of The

Relationship That Exists Between Organisational Culture, Motivation And Performance Independen: Budaya organisasi telah memberikan pengaruh positif terhadap kinerja karyawan Budaya organisasi dan Motivasi Dependen: Kinerja karyawan 2 Prihayanto Susandi (2012) Analisis pengaruh budaya organisasi dan motivasi terhadap kinerja karyawan

Independen: Budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan Motivasi dan Budaya Organisasi Dependen: Kinerja Suwardi dan Joko Utomo (2011) “Pengaruh motivasi kerja, kepuasan kerja dan komitmen organisasional terhadap kinerja pegawai

Independen: Motivasi, kepuasan kerja, komitmen organisasional Dependen: Variabel Komitmen organisasional memiliki korelasi positif dengan kinerja Ni Made Ria Setyawati dan I Wayan Suartana (2014) Pengaruh gaya kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap kepuasan kerja yang berdampak pada kinerja keuangan Independen: Gaya kepemimpinan, budaya organisasi Dependen : Kinerja Intervening : Kepuasan Kerja Budaya organisasi berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja karyawan 5 Nomakhuze Mguqulwa (2008) The Relationship between Organisational Commitment and Work Performance In An Agricultural Company Independen: Komitmen Organisasional Dependen: Kinerja Pegawai menunjukkan hubungan positif yang signifikan antara komitmen dan kinerja karyawan 6 (2016) Ulfiah Pengaruh Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasional Terhadap Kinerja Karyawan Independen: Berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja Karyawan Kepuasan kerja dan Komitmen Organisasional Dependen: Kinerja Karkaryawan

(23)

B. Rerangka Pemikiran dan Pengembangan Hipotesis

1. Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai

Budaya organisasi merupakan suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu atau sistem makna bersama yang dihargai oleh organisasi (Robbins, 2006).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Evans Sokro (2012) diperoleh hasil bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan dari Budaya Organisasi dan Kinerja Karyawan.

Kemudian, hubungan antara Budaya Organisasi dengan Kinerja Karyawan ditunjukan pula pada penelitian yang dilakukan oleh Ni Made Ria Setyawati dan I Wayan Suartana (2014), penelitian tersebut menyatakan bahwa Budaya Organisasi memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan.

Penelitian yang dilakukan oleh Susandi Prihayanto (2012) hasil penelitian berdasarkan pengujian hipotesis menyatakan adanya pengaruh positif antara budaya organisasi dan kinerja karyawan.

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

H1: Budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja

(24)

2. Pengaruh Komitmen Organisasional Terhadap Kinerja Pegawai

Menurut luthans (2006) komitmen organisasional sering didefinisikan sebagai: (a) sebuah keinginan kuat untuk tetap menjadi anggota organisasi tertentu, (b) keinginan untuk mendesak usaha pada tingkat tinggi atas nama organisasi, dan (c) keyakinan yang pasti dalam dan penerimaan atas nilai – nilai dan tujuan organisasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Suwardi dan Joko Utomo (2011) melakukan penelitian tentang pengaruh komitmen organisasional dan kinerja karyawan dengan hasil dari pengujian hipotesis dalam penelitian tersebut adalah adanya hubungan yang positif dan signifikan antara komitmen organisasional dan kinerja karyawan.

Hasil yang sama juga ditunjukan pada penelitian yang dilakukan oleh Ulfiah (2016) yaitu komitmen organisasional mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan.

Hubungan antara komitmen organisasional dan kinerja karyawan dengan hasil yang positif dan signifikan juga diperkuat dengan hasil yang sama oleh Iqra Abdullah, Rozeyta Omar dan Yahya Rashid (2013).

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

(25)

H1

H2

Gambar 2.1

Model Rerangka Konseptual Penelitian Budaya Organisasi

(X1) Indikator:

-Inovasi dan pengambilan resiko

-Perhatian terhadap detail -Orientasi Hasil -Orientasi Orang -Orientasi Tim -Keagresifan -Kemantapan -Kemantapan Komitmen Organisasional (X2) Indikator: - Affective commitment (komitmen afektif) - Continuance commitment (komitmen berkelanjutan) - Normative commitment (komitmen normatif) Kinerja Pegawai (Y) Indikator: -Kesetiaan -Prestasi Kerja -Tanggung Jawab -Ketaatan -Kejujuran -Kerjasama -Prakarsa -Kepemimpinan

Referensi

Dokumen terkait

Mengetahui hubungan faktor pengetahuan, sikap, dan PMO terhadap kepatuhan minum obat tuberkulosis di Lapas Narkotika Cipinang Jakarta Tahun 2020. Diketahui tingkat pengetahuan

Tuhan pasti telah memperhitungkan Amal dan dosa yang telah kita perbuat Kemanakah lagi kita kan sembunyi Hanya kepadaNya kita kembali Tak ada yang bakal bisa menjawab Mari,

Teori graf adalah salah satu cabang dari matematika yang pertama kali diperke- nalkan oleh seorang matematikawan Swiss yang bernama Leonard Euler pada tahun 1736, sebagai

Knowles dan Moon (2006: 5) menyatakan bahwa terdapat dua jenis metafora, yaitu metafora kreatif dan metafora konvensional. 1) Metafora kreatif adalah metafora yang digunakan

Akibatnya seorang yang terdidik dalam pendidikan jasmani, maka ia telah mempelajari berbagai macam keterampilan yang diperlukan dalam melakukan berbagai aktivitas

Metode pengamatan tidak langsung ini dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya : studi pustaka sebagai media pengumpulan data, hingga studi mengenai

Metode yang dilakuan untuk melakukan analisa sebelum dilakukan implementasi SEO dengan melakukan pengumpulan data kunjungan 3-6 bulan sebelumnya menggunakan google analytic..

Dilihat dari rasio kualitas aktiva produktif yang diwakili oleh rasio NPL, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara Bank Konvensional dan Bank Syariah, karena