• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKNIK MANIPULASI LINGKUNGAN UNTUK MENGOPTIMALKAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI HUTAN RAKYAT POLA AGROFORESTRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TEKNIK MANIPULASI LINGKUNGAN UNTUK MENGOPTIMALKAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI HUTAN RAKYAT POLA AGROFORESTRI"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012 299 TEKNIK MANIPULASI LINGKUNGAN UNTUK MENGOPTIMALKAN PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI HUTAN RAKYAT POLA AGROFORESTRI

M. Yamin Mile

Balai Penelitian Teknologi Agroforestry

Jl. Raya Ciamis-Banjar Km 4 Po Box 5 Ciamis 46201; Telp. (0265) 771352 Email: yamin.mile@yahoo.com

ABSTRACT

Currently, the development of community forest with agroforestry models facing the facts of raising land degradation and reducing soil fertilities doe to continue haarvesting of wood and other crops yield every year without efford to replaced the nutrient uptake from the soil. The harvestings are means of taking a huge number of nutrients out of ecosystem. In the simple management of comunity forest practiced by the farmers, very little nutrients replaced in the soil after harvest. These may caused a number of constrans in the growth performance of trees in many comunity forest plantation areas, where treees mostly grow slowly, unoptimum and less productive. In order to solved this problems, some component of technologies on environment manipultion have been sucsesfully tested to optimalized the gowth and production of community forest. The teknologies offer, consist of a simple adapted and low input technologies includes: Minimum tillage technologies for land preparation, Appropriate crops trees management, Vertical mulch technology. The preliminery result shows that the environment manipulation using these techniques can increased the growth performance of trees and production of crops, reduction soil erosion , maintain nutrient cycling and increased soil productivities.

Key words: environment manipulation, soil fertilities management, nutrient cycling

1. Pendahuluan

Masalah degradasi lahan dan penurunan kesuburan tanah merupakan gejala yang umum terjadi di lahan tropis. Sesuai Sanches (1976), lahan di daerah tropis yang tertutup hutan memiliki sistem siklus hara tertutup (Close system nutrient cycling). Sekali vegetasi hutan dibuka, siklus hara mengalami gangguan dan menjadi terbuka dimana terjadi ketidak seimbangan antara demand dan supply hara. Unsur hara sebagian besar akan terangkut keluar sehingga degradasi lahan sulit dihindari. Hal ini yang tidak disadari dalam pengelolaan hutan rakyat oleh petani.. Dengan adanya penanaman tanaman pohon yang berumur pendek (fast growing species), pengambilan unsur hara berlangsung intensif dan pada saat mencapai tertentu dimana pengambilan hara mencapai maksimum pohon tersebut dipanen. Dalam pemanenan kayu hutan rakyat, hampir semua bagian-bagian tanaman seperti batang, dahan ranting dan daun ikut diangkut keluar. Ini berarti pengangkutan hara secara besar-

besaran keluar dari ekosistem (Daniel at al., 1979). Sementara dalam pengelolaan hutan rakyat, sangat sedikit unsur hara yang dikembalikan ke dalam tanah.

Dalam setiap pertumbuhan tanaman ada dua faktor yang bekerja yakni pengangkutan hara dari dalam tanah melalui bagian bagian tanaman yang dipanen serta pencucian hara dari permukaan oleh aliran permukaan dan erosi (Every at al., 1991). Di hutan rakyat terjadi kondisi yang tidak seimbang dimana pengangkutan hara lebih besar dari jumlah hara yang masuk. Kondisi yang tidak seimbang ini menyebabkan status hara tanah semakin menurun. Apabila hal ini berlangsung terus menerus tanpa upaya perbaikan maka tanah akan terus menerus mengalami kemunduran sehingga suatu saat tidak dapat lagi mendukung pertumbuhan di atasnya dan berkembang menjadi lahan yang tidak produktif. Inilah yang terjadi pada sebagian besar areal hutan rakyat di Jawa Barat khususnya yang tidak dikelola secara intensif.

(2)

300 Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012 2. Pertumbuhan dan produktifitas hutan

rakyat saat ini

Untuk mendapatkan gambaran bagaimana perkembangan tanaman hutan rakyat saat ini, dikemukakan hasil pengamatan mengenai pertumbuhan hutan rakyat sengon selama beberapa tahun di daerah Panawangan Ciamis. Panawangan adalah salah satu sentra pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Ciamis. Tanahnya terdiri dari tanah latosol, andosol dan regosol dengan curah hujan 2500- 3000 mm. Dalam klasifikasi kesesuaian lahan untuk sengon termasuk klasifikasi sangat sesuai (Perhimpi, 1990). Daerah ini merupakan daerah pengembangan sengon yang paling luas dan paling sukses di Jawa Barat. Pertumbuhan tanaman sengon di daerah ini pada awalnya sangat subur dan diklasifikasikan sebagai areal dengan klas bonita VI (Suharlan et al. 1989). Namun setelah kurun waktu selama 10 tahun berlalu pertumbuhan tanaman mengalami penurunan . Pada umumnya tanaman sengon saat ini tumbuh kerdil dan banyak yang tidak memenuhi syarat lagi untuk kayu perukangan dan hanya dipanen sebagai kayu bakar. Banyak pengusaha kayu di daerah ini yang menutup usahanya karena tidak mendapat pasokan kayu lagi.

Hasil pengamatan pertumbuhan sample tanaman sengon di daerah Panawangan Ciamis dalam periode 10 tahun dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 memperlihatkan bahwa rata-rata tinggi tanaman sengon umur 5 tahun 1998 adalah 26,2 m dengan diameter 21,56 cm. Pada tahun 2003 untuk hasil pengukuran sample di tempat yang sama diperoleh rata-rata tinggi tanaman 15,8 m dengan diameter 17,2 cm sedangkan pada tahun 2009 turun menjadi rata-rata tinggi 12,0 m dengan diameter 12,7. Penurunan pertumbuhan ini sangat nyata perbedaannya.

Melihat bahwa tanaman tersebut tumbuh pada tanah yang sama dengan kondisi pedoagroklimat yang sangat sesuai, dapat disimpulkan bahwa penurunan pertumbuhan ini disebabkan karena terjadinya penurunan kesuburan tanah. Hal ini didukung oleh hasil analisa tanah yang menunjukan bahwa tanahnya mengandung unsur hara makro rata-rata sangat rendah. Ini berarti telah terjadi penurunan kesuburan tanah walaupun terus menerus diusahakan dengan hutan rakyat.

Gejala penurunan tingkat kesuburan tanah seperti di atas juga ditemukan pada berbagai tempat di areal hutan rakyat di Kabupaten Ciamis dan Tasikmalaya. Berdasarkan fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa penurunan tingkat kesuburan tanah merupakan gejala umum dan terjadi di berbagai tempat di hampir seluruh areal hutan rakyat di Jawa Barat. Akan tetapi, hal ini belum banyak disadari oleh petani maupun pihak-pihak yang berkepentingan lainya. Pemanenan kayu dan tanaman semusim yang terus menerus dengan cara mengangkut seluruh bagian tanaman keluar dari ekosistem tanpa upaya pengembalian dalam bentuk bahan organik maupun pupuk yang memadai merupakan faktor penyebab utama.

Penurunan tingkat kesuburan tanah terlihat dari semakin menurunnya produksi yang dihasilkan oleh petani baik pada tanaman pohon maupun tanaman semusim. Untuk mendapatkan hasil produksi tanaman yang sama saat ini dengan produksi tanaman beberapa tahun yang lalu pada areal yang sama diperlukan penambahan jumlah pupuk hampir dua kali lebih besar dari dosis yang biasa digunakan semula. Ini berarti telah terjadi penurunan kesuburan tanah.

Tabel 2. Pengukuran pertumbuhan tanaman sengon di lokasi penelitian Panawangan Ciamis

No Petak 1998 2004 2009 Umur Rerata tinggi total Rerata diameter Umur Rerata tinggi total Rerata diameter Umur Rerata tinggi total Rerata diameter 1 5 25,8 20,3 5 16 18,0 5 10 12,0 2 5 24,5 19,5 5 16,5 14,9 5 12,5 11,5 3 5 28,7 22,0 5 18 21,5 5 11,5 10,0 4 5 26,5 20,5 5 13 17,2 5 13,5 15,5 5 5 25,5 24,5 5 15,5 14,5 5 12,5 14,5 Rerata 5 26,2 21,56 5 15,8 17,2 5 12,0 12,7

(3)

Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012 301 3. Hasil ujicoba penerapan teknik

manipulasi lingkungan pada hutan rakyat pola agroforestry

Untuk mengatasi permasalahan degradasi lahan dan penurunan tingkat kesuburan tanah seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, diperlukan berbagai upaya antara lain menyangkut penerapan teknologi yang telah diadaptasi dengan input rendah sehingga terjangkau dan mudah diadopsi petani. Beberapa teknik manipulasi lingkungan yang diuraikan berikut ini merupakan teknologi rendah input yang telah diujicobakan efektifitasnya dalam pola agroforestri.

3.1.Penerapan teknik olah tanah minimum dalam penyiapan lahan

Sesuai hasil penelitian Mile (2009), teknik pengolahan tanah yang sesuai pada berbagai pola agroforestri yang diujicobakan adalah Teknik Olah Tanah Minimum dimana tanah diolah seperlunya dan seminimal mungkin. Dalam teknik Olah Tanah Minimum, pengendalian gulma dilakukan dengan menggunakan herbisida yang aman lingkungan sebagai pengganti teknik pengolahan tanah secara penuh untuk mengendalikan gulma seperti yang biasa dilakukan petani. Dengan teknik ini, tanah tidak banyak terganggu sehingga biopori dalam tanah tetap terpelihara yang memungkinkan terpeliharanya sistem aerasi dan drainase tanah. Kondisi ini merangsang pertumbuhan akar tanaman lebih baik. Teknik penyiapan lahan dengan cara diolah secara penuh (cara yang biasa dilakukan petani) dalam menanam tanaman semusim kurang efektif diterapkan dalam pola agroforestri dan memerlukan tenaga dan biaya yang besar serta tidak menjamin pertumbuhan tanaman yang lebih baik. Kenyataan menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata dalam pertumbuhan tanaman semusim antara pengolahan minimum dan pengolahan tanah secara sempurna. Pada kondisi setelah hujan tidak ada perbedaan kondisi antara tanah yang di olah dan yang tidak diolah dimana pada tanah yang diolah, pada waktu hujan permukaan tanah akan mengalami dispersi dan menutup semua pori tanah sehingga kemampuan infiltrasi air hujan berkurang. Pada tanah miring berkurangnya kemampuan infiltrasi menyebabkan aliran permukaan dan erosi ,(Mile, 2004)

3.2.Manajemen tumpangsari yang sesuai Pengaturan jarak tanam dan manajemen tumpangsari yang tepat dalam pola agroforestri berpengaruh nyata baik terhadap upaya mempertahankan kesuburan tanah dan meningkatkan pertumbuhan tanaman pohon maupun pertumbuhan dan produksi tanaman semusim. Sebagai indikasi perlunya manajemen tupangsari yang sesuai dikemukakan hasil penelitian dan pengamatan terhadap pengaruh naungan terhadap pertumbuhan dan produksi nilam dalam pola wanafarma sengon nilam (Mile, 2009). Tanaman sengon ditanam dengan 3 jarak tanam yakni 2m x 3m; 3m x 3m dan 4m x 3m. Dalam pola ini diadakan pengamatan terhadap pertumbuhan dan produksi nilam yang ditanam dengan teknik agroforestri dan membandingkannya dengan nilam rakyat yang ditanam secara monokultur. Hasil penelitian menunjukan bahwa produksi nilam yang ditanam secara monokultur sedikit lebih tinggi, namun dari aspek kualitas minyak ternyata kualitas minyak nilam yang ditanam sercara tumpangsari lebih baik. Dalam hal ini faktor naugan berpengaruh terhadap kualitas minyak nilam yang dihasilkan. Untuk itu manajemen tumpangsari seperti pengaturan jarak tanam pohon merupakan salah satu faktor penting dalam pola agroforestri berbasis nilam agar menghasilkan produksi yang tinggi baik kuantitas maupun kualitasnya.

3.3. Penerapan teknik mulsa vertikal

Hasil peneltian yang dilakukan Mile (1999) menunjukaan bahwa salah satu teknik pengelolaan kesuburan tanah yang dapat diadaptasi dan rendah input dalam pola agroforestri adalah teknik mulsa vertikal berupa pembuatan parit mulsa diantara bedeng tanaman dan memanfaatkan semua bahan organik yang ada dilapangan menjadi kompos organik dengan teknik tertentu. Kompos organik ini dapat dimanfaatkan menjadi pupuk sisipan untuk disebarkan di areal pertanaman secara periodik. Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan pupuk sisipan dari mulsa vertikal yang dilakukan secara kontinyu setiap dua bulan merupakan masukan hara yang cukup efektif untuk memperbaiki ketersediaan hara dalam tanah. Dengan penggunaan kompos organik dari bahan organik yang berlimpah di lapangan tersebut, penggunaan pupuk buatan bisa diminimalkan bahkan dihilangkan sama

(4)

302 Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012 sekali tanpa mengurangi produksi tanaman

tumpangsari. Dengan penggunan teknologi mulsa vertikal ini diharapkan dapat dikembangkan kegiatan agroforestri organik yang aman lingkungan. Penerapan Teknik Mulsa Vertikal dalam pola agroforestri secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut: 1) Buat parit lebar 40-50 cm kedalaman 30

cm – 60 cm dengan panjang disesuaikan dengan kondisi lahan. Parit dibuat mengikuti arah kontur (tidak memotong lereng).

2) Tempatkan mulsa organik berupa serasah, rumput dan limbah organik lainnya kedalam parit.

3) Tambahkan pupuk kandang dan pupuk an organik yang tersedia secukupnya.

4) Tambahkan beberapa cc EM4.

5) Apabila tampingan miring, parit tidak perlu ditutup dengan tanah namun apabila tampingan datar dapat ditutup secara tipis dengan tanah pada bagian permukaan. 6) Interval parit disesuaikan dengan kondisi

lapangan dan tenaga kerja yang tersedia. 7) Kondisi mulsa dikontrol setiap 3 hari. Bila

terdapat konsentrasi rayap dilakukan penyemprotan seperlunya. Pengendalian rayap dapat juga dilakukan dengan pemberian furadan secukupnya sebagai tindakan pencegahan.

8) Setiap 2 minggu diadakan pembalikan untuk mempercepat proses dekomposisi. 9) Setelah dua bulan diharapkan serasah telah

terdekomposisi dan siap digunakan sebagai kompos organik yang dapat ditebarkan ke seluruh bidang tanam.

10) Parit yang telah kosong dapat diisi kembali dengan teknik dan cara seperti semula. 4. Kesimpulan

Penurunan tingkat kesuburan tanah merupakan gejala umum dan terjadi di berbagai tempat di hampir seluruh areal hutan rakyat di Jawa Barat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan penerapan teknologi manipulasi lingkungan yang dapat mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanaman. Teknologi manipulasi lingkungan yang telah diujicobakan efektifitasnya dalam pola agroforestri antara lain adalah Penerapan Teknik Olah tanah Minimum dalam Penyiapan Lahan, Manajemen Tumpangsari yang Sesuai, dan Penerapan Teknik Mulsa Vertikal.

5. Daftar pustaka

Avery, M.E., M.G.R. Cannel, C. Ong, 1991. Biophysical Research for Asean Agroforestry, FFRED, Winrock International, USA.

Daniel, T.W., J.A. Helms and F Baker. 1979. Principles of Silviculture, McGraw-Hill Inc. New York.

Handayani,W, M.Y. Mile, E. Junaedi, 2010. Kuantifikasi Jasa lingkungan Dalam Peningkatan Produksi Hutan Rakyat. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor dan Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Pusat Penelitian dan Pengembangan, Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor. Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka. 2001.

Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mile, M.Y. 1999. Sistim Penanaman Tanpa

Olah Tanah dan Aplikasinya dalam Kegiatan HTI Pola tumpangsari, Prosiding, Expose Hasil-Hasil Penelitian Teknik Konservasi Tanah dan Peningkatan Partisipasi Msyarakat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Badan Litbang Kehutanan,, Departemen Kehutanan. ---. 2004. Optimalisasi Pertumbuhan

Tanaman Sengon dalam Pola Hutan Rakyat Campuran dengan Perlakuan Pemupukan, Prosiding Expose Terpadu Hasil Penelitian, Badan Litbang Kehutanan Departemen Kehutanan. Jakarrta.

---. 2009 Model Pembangunan Agribisnis Hutan Rakyat untuk Petani Lahan Sempit (smallholder farmer). Prosoding Seminar Hasil Penelitian BPK Ciamis.

---. 2010 . Kajian Permasalahan Teknis Dalam Pengembangan Hutan Rakyat yang Sesuai (Studi Kasus Permasalahan Hutan Rakyat di Kabupaten Ciamis). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor dan Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Bogor.

(5)

Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012 303 Perhimpi. 1990. Peta Kesesuaian Agroklimat,

Pengembangan Hutan Tanaman Sengon di Pulau Jawa. Kerjasama Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perhimpunan meteorologi Pertanian. Rahman, E. dan M.Y. Mile. 2005. Peningkatan

Produktifitas Hutan Rakyat dengan Pola Agroforestry Nilam. Prosiding Seminar Sehari Optimalisasi Peran Litbang Dalam Mendukung Ragam Pemanfaatan Hutan Rakyat dan Hutan Kemasyarakatan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor.

Sanchez, P. 1976. Properties And Management of Soil in the Tropics, , A Willey Intercience, Publication, John Wiley & Sons, Neww Yor, hischester, Toronto, USA.

Suharlan, A., K. Sumarna, Y. Sudiono. 1975. Tabel Tegakan Sepuluh Jenis Kayu Industri, Lembaga Penelitian Hutan Bogor.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan pengujian adalah untuk membandingkan/me- validasi hasil simulasi numerik dengan menggunakan software LS-Dyna untuk memperoleh pemahaman akan karakteristik

6 Bahagian Tertunda Bahagian Tertunda (berkait dengan pinjaman) adalah jumlah yang sama dengan amaun prinsipal dan faedah pembayaran ansuran berhubung dengan pinjaman

Konsep dari acara screening ini bertemakan unsur budaya, dengan nama acara “PESONA” yang memiliki tema pesona budaya Indonesia dikarenakan dari masing-masing karya film

Sebagai salah satu inovasi teknologi pada arus globalisasi, sekarang ini televisi mampu mempengaruhi pola pikir masyarakat dan telah menyentuh kepentingan masyarakat

Jumlah rumah tangga usaha pertanian kelompok umur kurang dari 15 tahun dengan petani utama laki-laki tercatat sebesar 58 rumah tangga, lebih tinggi daripada petani utama perempuan

Diwujudkan dengan sekolah anak jalanan berupa pusat pengembangan Anak Jalanan yang ada di Bandung, diberi nama Rumah Perlindungan Anak Jalanan .Yang berfungsi sebagai tempat

Melakukan hubungan seks secara bebas merupakan akibat pertama dari Melakukan hubungan seks secara bebas merupakan akibat pertama dari  pergaulan bebas yang merupakan lingkaran

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: (1) observasi langsung yang bersifat partisipasi pasif maupun aktif dimana peneliti dapat mengamati obyek penelitian; (2)