• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Kemiskinan Rumah Tangga Petani. Bila ditinjau dari kerangka ekonomi, rumah tangga dapat dipandang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Karakteristik Kemiskinan Rumah Tangga Petani. Bila ditinjau dari kerangka ekonomi, rumah tangga dapat dipandang"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Kemiskinan Rumah Tangga Petani

Bila ditinjau dari kerangka ekonomi, rumah tangga dapat dipandang sebagai suatu unit ekonomi (unit konsumsi), yang terdiri dari individu-individu yang mempunyai sejumlah hak dan tanggung jawab yang saling berkaitan satu sama lainnya, serta saling berbagi daiam ha1 tenaga kerja dan konsumsi. Unit konsumsi dalam ha1 ini berkaitan dengan empat ha1 utama, yaitu: (1) standar hidup, yang tergantung pada kesamaan (custom), kebiasaan, emulasi, rasa dan arti dari konsumsi keuangan, misalnya pekerjaan dan pendapatan; (2) status sosial-ekonomi dan ranking dari sejumlah indikator, misalnya pekerjaan, sumber pendapatan, pendidikan, perumahan, serta barang-barang materi dan jasa; (3)

prilaku konsumen, keinginan serta kebutuhan yang merupakan suatu motivasi disamping konsumsi; dan (4) kondisi ekonomi masyarakat, yaitu kesejahteraan relatif masyarakat dan lingkungan yang bisa menjatuhkan keluarga (Rice, 1967). Sedangkan menurut Sensus Pertanian (SP) tahun 1993, petani diartikan sebagai orang yang mengusahakan atau mengelola satu atau lebih usahatani yang menggunakan lahan, baik penanamanlpemeliharaan tanaman padilpalawija, hortikultura, pekerbunan, budidaya kayu-kayuanltanaman kehutanan, budidaya ikanlbiota lainnya di tambak, air payau, dan juga usaha penangkapan ikanlbiota lain di laut, penangkapan ikanlbiota lain di perairan urnum, pemungutan hasil hutan dan atau penangkapan sahva liar dan jasa pertanian. Rumah tangga pertanian sendiri diartikan sebagai rumah tangga yang sekurang-kurangnya satu anggota rumah tangganya melakukan kegiatan bertani atau berkebun, menanam tanaman kayu-kayuan, beternak ikan di kolam, karamba maupun tambak,

(2)

menjadi nelayan, melakukan perburuan, menangkap satwa liar atau mengusahakan ternaklunggas, atau berusaha dalam pertanian dengan tujuan

sebagianlseluruhnya hasilnya untuk dijual atau memperoleh

pendapatanlkeuntungan atas resiko sendiri

Adapun karakteristik rumah tangga (RT) terutama di pedesaan (Jawa) adalah:

1. Memiliki fungsi rangkap sebagai unit produksi, unit konsumsi, unit reproduksi dan juga unit interaksi sosial ekonomi politik.

2. Mempunyai tujuan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan anggotanya. Konsekuensi dari tujuan ini mendorong rumah tangga untuk mengambil keputusan dan berprilaku ekonomi secara rasional, terutama dalam usaha produksi.

3. Di daerah padat seperti pulau Jawa, banyak rumah tangga yang menghadapi kekurangan tanah dan modal. Oleh karena itu, untuk menaikkan penghasilannya dilakukan dengan menambah unit tenaga kerja, sebagai satu-satunya unit ekonomis yang relatif tidak langka. Dalam rumah tangga petani, ukuran rumah tangga berkaitan erat dengan nilai ekonomis anak, artinya semakin banyak anak dalam suatu rumah tangga pedesaan, terutama anak-anak yang berada dalam usia kerja

(>I0

tahun), akan semakin besar nilainya dalam kaitannya untuk membantu kegiatan ekonomi RT (Prasodjo, 1993).

Selain itu, Sumitro (1986) mengemukakan bahwa rumah tangga masyarakat pedesaan Jawa ditandai oleh "pencaharian nafkah yang berganda" pada semua lapisan, baik pada lapisan atas maupun lapisan bawah. Bila dilihat dari penguasaan aset dalam rumah tangga, maka dapat dikatakan bahwa

(3)

penguasaan aset produksi bisa menjadi petunjuk tentang bagaimana potensi sumberdaya suatu rumah tangga. Bagi rumah tangga miskin, penguasaan aset produksi umumnya bersifat terbatas, seperti yang dikemukakan Sajogyo (1979) bahwa bila dilihat dari pola penguasaan lahan di pedesaan, petani lapisan bawah merupakan buruh tani yang tak bertanah; petani lapisan menengah merupakan petani yang penguasaan lahannya kurang dari 0,5 hektar; dan petani lapisan atas adalah petani yang penguasaan tanahnya lebih dari 0,5 ha. Hasil penelitian Sitorus (1999) di daerah Cirebon (Jabar), Jepara (Jateng) dan Sikka

(NTT), menggambarkan bahwa rumah tangga nelayan miskin hanya memiliki aset produksi dalam jumlah yang sedikit, misalnya dari 30 rumah tangga sampel hanya 43 Oh yang menguasai perahu kecil, 42 % menguasai pukatljaring, dan 23 % yang menguasai pancing. Sedangkan untuk bidang pertanaman, hanya 12 % petani yang memiliki sawah (rata-rata 0,4 ha), 39 persen menguasa lahan kering (rata-rata 0,3 ha).

Berkaitan dengan tingkat pendidikan, anggota keluarga petani dari rumah tangga miskin berpendidikan rendah. Dari hasil penelitian Prasodjo (1993) di daerah pedesaan Jawa, tingkat pendidikan anggota rumah tangga umumnya hanya sampai SD. Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh anggda rumah tangga petan~ lni, merupakan faktor penting mengapa rantai kemiskinan sul~t d~putus Dengan pendidikan rendah, para petani tidak bisa bersaing di pasar tenaga kerja dengan mereka yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi, sehlngga bila d~kaltkan dengan tingkat upah yang diterimanya, akan tetap rendah. Selain ~tu, bila ditinjau dari segi perumahan yang dihuni, maka umumnya masih sangat sederhana, yaitu berdinding setengah tembok, beriantai tanah, beratap genteng atau rumbia, berventilasi buruk, serta kondisi pembuangan limbah yang kadangkala juga buruk.

(4)

Bila dilihat pola konsumsi rumah tangga miskin dipedesaan, dari hasil penelitian lstiani

& (1992),

pada musim paceklik terjadi pengurangan makanan, yaitu dari tiga kali sehari pada musim panen menjadi dua kali sehari pada musim paceklik. Pada pagi hari, mereka memakan ubi, jagung atau bubur atau bahkan ada yang tidak makan sama sekali. Untuk memperoleh makananpun dilakukan dengan cara berhutang di warung-warung desa.

Faktor-faktor Penyebab Kerniskinan

Berdasarkan pandangan kelompok agrarian populism, kemiskinan pada hakekatnya adalah masalah campur tangan yang terlalu luas dari negara dalam kehidupan masyarakat pada umumnya dan masyarakat pedesaan khususnya. Dalam ha1 ini masyarakat miskin dianggap mampu membangun dirinya sendiri apabila pemerintah mau memberikan kebebasan bagi kelompok tersebut untuk mengatur dirinya sendiri. Sedangkan kelompok pejabat melihat masalah kemiskinan sebagai masalah budaya, orang miskin dianggap tidak memiliki etos kerja yang tinggi, tidak memiliki jiwa wiraswasta dan berpendidikan rendah (Soetrisno, 1999). Selain itu Mubyarto (1994) mengemukakan bahwa kemiskinan dapat dibedakan ke dalam tiga dimensi yang berbeda, yaitu: (1) dimensi kemiskinan fisik alamiah, yang merupakan rintangan-rintangan yang bersifat fisik yang sudah "terwarisi" pada suatu daerah tertentu, misalnya berkaitan dengan kondisi fisik alam setempat yang kurang mendukung; (2) dimensi struktural-kultural, yang berkaitan dengan hubungan dan interaksi sosial yang khas dalam masyarakat yang membius dan membatasi inisiatif dan semangat untuk berkembang; (3) dimensi sistemik, yang merupakan salah satu penyebab kemiskinan yang prosesnya berlangsung dalam waktu yang cukup

(5)

lama, misalnya karena proses eksploitasi dari orang yang berkuasa terhadap golongan lemah.

Nasoetion (1996) yang membedakan kemiskinan atas kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural menyatakan bahwa penyebab kemiskinan alamiah adalah karena rendahnya kualitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia. Rendahnya kualitas sumberdaya tersebut menyebabkan peluang produksi menjadi relatif kecil atau jika bisa dilakukan kegiatan produksi tersebut pada umumnya dengan tingkat efisiensi yang relatif rendah. Pada lingkungan pertanian, sumberdaya alam yang paling utama yang mempengaruhi fenomena kemiskinan adalah lahan dan iklim. Sedangkan berdasarkan kemiskinan struktural, faktor tatanan kelembagaanlah yang menyebabkan terjadinya kemiskinan. Berkaitan dengan faktor tatanan kelembagaan tersebut, penyebab terjadinya kemiskinan struktural dapat dibedakan atas beberapa, yaitu:

1. Terjadinya ketimpangan dalam struktur perekonomian nasional.

2. Akibat konversi penggunaan lahan dari penggunaan pertanian ke penggunaan non-pertanian yang menyertai terjadinya proses transformasi struktural.

3. Akibat perkembangan ekonomi di dalam dan luar negeri yang menyebabkan terjadinya inflasi.

4. Akibat pengintroduksian teknologi yang bersifat undivisible dan padat modal. Hasil penelitian lstiani &( (1992) di desa Kancilan (Kecamatan Bangsr~)

dan di desa Karangaji (Kecamatan Kedung), Kabupaten Jepara, menunjukkan bahwa telah terjadi kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural di daerah tersebut. Kemiskinan alamiah disebabkan oleh kondisi ekologis, yaitu karena

(6)

keringnya lahan serta kurangnya ketersediaan air untuk mengairi lahqn-lahan kering tersebut. Sedangkan kemiskinan struktural karena rendahnya penguasaan aset produksi serta dampak dari pembangunan pertanian dengan diperkenalkannya teknologi baru berupa introduksi alat pasca panen yang menyebabkan semakin berkurangnya lapangan kerja bagi kaum wanita. Selain itu terdapat kerniskinan yang disebabkan oleh aspek sosial-budaya seperti karena warisan kerniskinan dari orang tua, karena judi atau hidup berfoya-foya, memiliki sikap hidup yang pasrah terhadap nasib, serta karena sistem pewarisan yang berpengaruh pada semakin sempitnya lahan yang dimiliki.

Wilayah Pinggiran Perkotaan

Daerah pinggiran kota merupakan daerah yang terdapat di sekitar perkotaan, sebagai akibat dari perluasan kota. Ditinjau dari segi demografi, Ginsburg, Koppel dan McGee (1991 dalam Jones dan Mamas, 1996) menyatakan bahwa ciri dari wilayah perluasan metropolitan adalah wilayah dirnana populasinya padat dan terdapat interaksi antara aktivitas pertanian dengan aktivitas non-pertanian. Browder

&

&

(1995) mengartikan daerah pinggiran perkotaan diartikan sebagai daerah penambahan dari pusat metropolitan. Selain itu, Office of Rural and Institutional Development (ORID) mengadops~ konsep pinggiran perkotaan sebagai zona dinamis, yang menghubungkan antara desa dengan kota, dimana beragam aktivitas bantuan b~sa merangsang pertumbuhan ekonom~ yang sangat cepat bagi kedua daerah tersebut Lenskap plngglran perkotaan dicirikan oleh beragam penggunaan lahan, d~mana ser~ngkal~ terdapat beragam hubungan fungsional dengan sektor perkotaan dan sektor pedesaan Daerah pinggiran perkotaan ini dipertimbangkan untuk rnenjad~ 'transls~onal" dalam rangkaian penggunaan yang

(7)

terpola sehingga menjadi daerah pertanian progresif dalam orientasinya sebagai salah satu pemecahan masalah karena penyusutan daerah pertanian di daerah pusat perkotaan.

Bila ditinjau dari segi perencanaan wilayah, Firman dan Dharmapatni (1995), mengemukakan bahwa munculnya daerah pinggiran perkotaan (peri- urban) sebagai dampak pertumbuhan perkotaan, dicirikan oleh adanya hubungan yang kuat dengan desa dan kota, serta mempunyai aktivitas campuran antara aktivitas perkotaan dan aktivitas pedesaan. Selanjutnya Firman (1992) menambahkan bahwa daerah

peri-urban

dan koridor yang menghubungkan kota-kota besar masih merupakan area dimana pertanian merupakan sektor utama. Pertanian tradisional dilakukan pada lokasi yang berdampingan dengan area industri, kota-kota baru, bahkan lapangan golf. Selain itu lsarankura (1990 dalarn Firman, 1992) menyatakan bahwa konfigurasi spasial baru tersebut (daerah peri-urban) mempunyai beragam ciri yang berbeda dengan wilayah perkotaan konvensional. Daerah tersebut secara normal dicirikan oleh adanya suatu percampuran aktivitas perkotaan dan aktivitas pedesaan (pertanian dan non pertanian), tetapi dengan interaksi yang meningkat sebagai tipe-urban.

Selanjutnya McGee (1987 galam Firman, 1992) mengidentifikasikan daerah peri-urban sebagai daerah desa-kota, yang dicirikan oleh: (1) kepadatan populasi tinggi; (2) secara umum tetapi tidak ekslusif merupakan daerah sawah dengan sangat sedikit pemilik lahan (landholding); (3) daerah tersebut menyediakan kesempatan kerja bagi para migran dari pedesaan dan pasar bagi produk pertanian; (4) daerah tersebut dicirikan oleh beragam aktivitas non- pertanian, termasuk industri, transportasi dan perdagangan; (5) ada interaksi antara aktivitas perkotaan dengan aktivitas pedesaan; (6) penggunaan lahan

(8)

merupakan suatu campuran yang kuat sebagai daerah pemukiman, daerah industri, pembangunan suburban dan penggunaan-penggunaan lainnya yang saling berdampingan. Sedangkan desa sendiri dapat diartikan sebagai pemukiman manusia yang letaknya di luar kota dan penduduknya sebagian besar hidup di bidang agraris (Daldjoeni, 1987). Bila ditinjau dari segi geografis, desa bisa diartikan sebagai suatu hasil perpaduan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya. Hasil dari perpaduan ini adalah suatu wujud atau kenampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial, ekonomi, politik dan kultural yang saling berinteraksi antar unsur tersebut, dan juga dalam hubungannya dengan daerah-daerah lain (Bintarto, 1984).

Pada studi komunitas2 yang dikemukakan Arensberg dan Kimball (1972), dikatakan bahwa setiap komunitas menggunakan ruang geografis sebagai karakteristiknya, yang disebut sebagai pola pemukiman (settlement pattern). Selain itu, komunitas tidak eksis di dalam ruang kosong, setiap orang menempati latar belakang fisik masing-masing, dan secara spasial dikitari oleh komunitas- komunitas lain yang relatif sama organisasi, budaya dan fungsinya. Pada komunitas, aturan-aturan lembaga memberikan suatu framework, dimana beragam anggota dari komunitas yang berbeda berhubungan satu sama lain dalam kegiatan-kegiatan kerjasama yang permanen. Dalam settap komunttas, setiap orang akan menemukan aktivitas-aktivitas ekonomi, polltlk, rellgl, soslal, bahkan juga familial yang menyajikan keterpaduan diantara anggota- anggotanya, serta terdapat perluasan ke dalam komunitas lain. Selanjutnya

7

Murdock (1949) Arensberg dan Kimbail (1972), menganikan komunitas sebagai sekelompok orang-orang yang secara nonnal tinggal bersama dalam asosiasi yang saling bertatap n~uka fice to face u.s.sosiution). Soekanto (1999) mengartikan komunitas sebagai masyarakat setempat, dimana setiap anggota dalam kelompok masyarakat tersebut hidup bersatna sedeti~ikian rupa, sehingga merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan-kepentingari hidup yang utama.

(9)

dikatakan oleh Arensberg dan Kimball, bahwa pengkajian tentang lingkungan juga termasuk kedalam studi komunitas. Selain itu, Soekanto (1999) mengemukakan bahwa dalam kehidupan suatu komunitas terdapat tiga unsur utama yang selalu ada, yaitu: (1) seperasaan, yang menyebabkan seseorang berusaha untuk mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain yang ada dalam kelompok tersebut dengan sebutan "kelompok kami", "perasaan kami", dsb; (2) sepenanggungan, dimana setiap individu sadar akan peranannya dalam kelompok dan keadaan masyarakat sendiri memungkinkan peranannya dalam kelompok dijalankan, sehingga dia mempunyai kedudukan yang pasti di dalam kelompok tersebut; (3) saling memerlukan, dimana individu yang tergabung dalam komunitas tersebut merasa dirinya tergantung pada komunitasnya, baik dalam kebutuhan fisik maupun kebutuhan psikologis.

Strategi Bertahan Hidup Rumah Tangga Petani Miskin

Seperti yang dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa dengan terbatasnya sumberdaya alam, dalam ha1 ini lahan, dan juga langkanya kesempatan kerja di pedesaan, maka pendapatan rumah tangga petani tidak hanya bersurnber dari pertanian saja, tetapi juga bersumber dari berbagai sumber di luar pertanian. Menurut White (1977 &lam Sumitro, 1986), untuk dapat memenuh~ kebutuhan hidupnya yang paling minimum mereka terpaksa mengerahkan hampir seluruh anggota rumah tangganya termasuk anak-anak untuk mencari nafkah optimal is as^ sumberdaya rumah tangga3). Mereka

--

h e n u r u t Sitorus ( 19119). optimalisasi sumbcrdaya rumah tangga rnengandung beberapa proposisi, yaitu: ( I ) Suatu rumall tangga mcmiliki sumbcrdaya tcnaga Lcrja dalam jumlali dan mutu tertentu;

(2) Suatu rumah tangga dilladapkan pada scjumlah pcluang kcgiatan sosial dan ekonomi yang merniliki ciri tertentu dalam ha1 pcnnintaarl tcnaga maupurl inibalan: (3) Untuk tnencapai hasil yang optimal bagi perticnuhan kcbutuhan sorial tkonom~. suatu rumall tangga nicngalokasikari

(10)

banyak terjun ke dalam kegiatan ekonomi bukan hanya untuk mendukung usahataninya, tetapi dalam beragam kegiatan nafkah, termasuk pekerjaan buruh serabutan. Selain itu mereka juga melakukan perubahan-perubahan dalam mata pencahariannya, dimana salah satu perubahan-perubahan mata pencaharian tersebut disebabkan oleh tekanan pertambahan penduduk terhadap tanah pertanian (Sumitro, 1986). Akibat pertambahan penduduk dan angkatan kerja yang lebih cepat daripada pertambahan luas areal di satu sisi dan tuntutan peningkatan taraf hidup di sisi lain, maka mereka perlu merubah pola mata pencahariannya atau rnenambah jenis pekerjaan lain yang tidak hanya di sektor pertanian tetapi juga di sektor luar pertanian. Pola pekerjaan seperti ini umum dikatakan sebagai pola nafkah ganda. Strategi pola nafkah ganda ini berbeda-beda dari satu lapisan ke lapisan lainnya dalam rumah tangga petani. Seperti yang dikemukakan oleh Sajogyo (1991), strategi pola nafkah ganda tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Strategi akumulasi, yang umumnya merupakan strategi petani lapisan atas, yaitu upaya mentransfer surplus pertanian untuk membesarkan usaha di luar sektor pertanian; (2) Strategi konsolidasi, yang umumnya merupakan strategi petani lapisan menengah, yaitu upaya mempertimbangkan sektor luar pertanian sebagai pengembangan ekonomi; dan (3) Strategi bertahan hidup, yang merupakan strategi petani lapisan bawah, yaitu menunjuk pada pentingnya struktur di luar sektor pertanian sebagai sumber nafkah untuk menutupi kekurangan di sektor pertanian.

Menurut Sitorus (1999), strategi yang bisa diterapkan rumah tangga miskin untuk mengatasi kehidupannya hingga tidak semakin jatuh ke kemiskinan

sirriibcrdaya tcnaga kerja yang ditnilikinya secara rasional ke dalam sejumlah kegiatan sosial cLonorii i.

(11)

yang semakin dalam ada dual yaitu di bidang produksi meialui pola nafkah ganda dan di bidang non-produksi melalui lembaga kesejahteraan asli. Dalam pola nafkah ganda ini sejumlah anggota rumah tangga usia kerja terlibat dalam usaha mencari nafkah dalam berbagai sumber, baik di sektor pertanian sendiri maupun di luar sektor pertanian dan bisa merupakan usaha sendiri ataupun bekerja sebagai buruh. Sayogyo (1991) menyatakan bahwa bagi rumah tangga miskin, arti pola nafkah ganda adalah strategi bertahan hidup, dimana sektor luar pertanian merupakan sumber nafkah penting untuk menutup kekurangan dari sektor pertanian. Sumitro (1986), dari hasil penelitiannya di salah satu pedesaan Jawa Barat menyatakan bahwa pada saat jumlah penduduk belum begitu banyak dan lahan pertanian masih luas, umumnya mata pencaharian penduduk hanya satu jenis saja, yaitu pertanian. Akan tetapi dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan juga meningkatnya kebutuhan ekonomi, maka mata pencaharian penduduk juga berubah menjadi semakin kompleks. Spesialisasi pekerjaan perorangan adalah masih mungkin, akan tetapi spesialisasi mata pencaharian rumah tangga adalah tidak memungkinkan, karena untuk mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangga tidak bisa diandalkan dari satu jenis mata pencaharian saja, tetapi harus dari berbagai mata pencaharian.

Sitorus (1999) selanjutnya mengemukakan bahwa keterlibatan prla dan wanita anggota rumah tangga pada beragam kegiatan ekonomi juga menunjuk pada gejala nafkah ganda pada rumah tangga miskin. Pola nafkah ganda sebagai salah satu strategi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga, sangat terkait dengan ketersediaan waktu berlebih dalam rumah tangga tersebut. Pembagian peran antara pria dan wanita dalam kegiatan reproduktif sangat penting sekali dalam menentukan ketersediaan waktu dalam kegiatan

(12)

produktif. Dalam pembagian peran antara pria dan wanita ini sangat perlu adanya koordinasi dalam alokasi tenaga kerja dalam rumah tangga, sehingga strategi nafkah ganda ini dapat berlangsung secara optimal. Berkaitan dengan adanya pembagian peran tersebut, maka dalam kerja reproduktif peranan wanita masih lebih dominan dari pada pria. Hal ini juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Prasodjo (1993), yang meneliti tentang pola kerja wanita dan pria dalam pertanian berdasarkan musim normal dan paceklik, bahwa dalam kedua musim tersebut wanita masih tetap lebih dominan dalam bekerja di sektor reproduktif dibandingkan dengan pria. Namun tidak demikian halnya dengan sektor produktif, dimana antara pria dan wanita mempunyai kedudukan seimbang dalam bekerja.

Berkaitan dengan sektor yang dimasuki RT, Sumitro (1986) mengemukakan bahwa, karena pada umumnya rumah tangga petani miskin mempunyai pendidikan dan keahlian yang terbatas, maka sektor infomal merupakan sektor yang sering dimasuki, terutama sektor informal yang berteknologl sederhana, seperti menjadi buruh pada industri rumah tangga, sebagai pengojek, perdagangan, dsb. Dari hasil penelitian Prasodjo (1993), di desa Pengarengan dan Japura Lor (Astanajapura, Cirebon), bidang pekerjaan yang umum dlmasuki keluarga selain bidang pertanian adalah kontruksi dan perdagangan. Kesempatan menjadl buruh merupakan sumber nafkah yang sangat penting bag1 rumah tangga m~sk~n, karena dengan kesempatan itu berarli telah member1 pekerjaan dan pendapatan bag1 mereka.

Selain strategi dengan pola nafkah ganda strategi lain yang dilakukan adalah memanfaatkan lembaga kesejahteraan ash Dalam sektor non-produksi, menurut Sitorus (1999) salah satu sektor yang penting bagi rumah tangga miskin adalah lembaga sosial, baik lembaga formal (bentukan pihak "atas-desa")

(13)

maupun lembaga informal (bentukan masyarakat sendiri). Lembaga informal bentukan masyarakat sendiri disebut sebagai lembaga kesejahteraan asli. Dari hasil penelitian Sitorus di Cirebon (Jabar), Jepara (Jateng) dan Sikka (NTT), jenis lembaga kesejahteraan asli yang dimasuki masyarakat antara lain adalah: kelompok arisan, kelompok pengajian dan merangkap arisan, serta perkumpulan kematian. Manfaat yang diperoleh dari keterlibatan dalam lembaga kesejahteraan asli ini adalah: (1) manfaat ekonomi, yaitu sebagai sumber modal (untuk produksi dan konsumsi) dan tabungan; (2) manfaat sosial, yaitu peningkatan pengetahuan dan kebersamaan (solidaritas).

Selain tersebut di atas, Friedman (1992) mengemukakan bahwa ada delapan dasar kekuatan sosial untuk memperbaiki kondisi kehidupan rumah tangga miskin, yaitu: ( I ) Ruang bertahan hidup yang merupakan dasar teritorial dari ekonomi rumah tangga; (2) Waktu berlebih, yaitu waktu yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi rumah tangga, guna mencapai suatu kehidupan rumah tangga yang subsisten; (3) Pengetahuan dan keahlian yang berhubungan dengan tingkat pendidikan dan keahlian khusus anggota rumah tangga; (4) lnformasi tepat yang bisa didapatkan; (5) Organisasi sosial, baik formal dan informal dimana anggota keluarga terlibat di dalamnya; (6) Jaringan sosial yang secara esensial didasarkan pada pola resiprositas; (7) Alat-alat untuk bekerja dan mata pencaharian; (8) Sumberdaya keuangan. Kekuatan-kekuatan sosial tersebut adalah kekuatan yang diasosiasikan dengan masyarakat sivil serta dibatasi melalui kekontrasan, bentuk-bentuk negara, ekonomi dan kekuatan politik. Setiap bentuk dari kekuatan tersebut didasarkan pada sumberdaya tertentu yang bisa diakses melalui aktor kolektif.

Berbagai strategi bertahan hidup yang dilakukan RT seperti yang dikemukakan di atas, tidak terlepas dari beragam motivasi yang dimiSiki oleh

(14)

masing-masing rumah tangga. Mengacu pada teori tindakan yang dikemukakan Weber (dalaq Campbell, 1994) bahwa dalam melakukan suatu tindakan, seseorang atau sekelompok orang didasari oleh 4 hal, yaitu: (1) rasional tindakan, mencakup perhitungan yang tepat dan pengambilan sarana-sarana yang paling efektif untuk tujuan yang dipilih dan dipertimbangkan; (2) rasional nilai, dimana dalam ha1 ini seorang pelaku mengejar nilai-nilai suatu kegiatan tanpa memperhitungkan sarana-sarana yang secara evaluatif netral; (3) tindakan afektiflemosional yaitu tingkah laku yang berada di bawah dominasi langsung perasaan-perasaan, dalam ha1 ini berarti tidak rasional; (4) tindakan tradisional, dimana tingkah laku didasarkan pada kebiasaan yang muncul dari praktek- praktek yang mapan dan menghormati otoritas yang ada.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dari hasil uji signifikansi regresi sederhana ternyata F hitung <F tabel , atau 2,712< 4,35 maka hipotesis ditolak, dengan demikian, dapat disimpulan bahwa

Masalah pada Mega Florist Bandar Lampung itu sendiri yaitu belum terdapat sistem untuk memasarkan penyewaan bunga papan, dan pemasarannya masih menggunakan brosur,

Penelitian ini berguna untuk sinkronisasi kompetensi yang harus dimiliki oleh mahasiswa dengan kurikulum yang berlaku di Jurusan Ilmu Agama Islam.. Penelitian ini

Based on their research, in this research we use tax planning, earnings pressure; debt to equity ratio; and corporate size to test whether these variables are earnings

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa implementasi bahan ajar pendekatan kontektual berbantuan linever efektif digunakan dalam proses perkuliahan program

Sebuah Safety Valve (katup pengaman) adalah mekanisme katup untuk melepas suatu fluida secara otomatis dari HRSG, bejana tekanan, atau sistem lain ketika tekanan atau

Indikator persentase pengguna layanan yang merasa puas terhadap pemenuhan sarana dan prasarana BPS dapat dipenuhi melalui pemenuhan sarana dan prasarana BPS secara akuntabel