• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak merupakan anugrah yang Tuhan berikan untuk dijaga dan dirawat. Anak membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya dalam masa tumbuh kembang. Memahami anak-anak dalam proses pertumbuhan dan perkembangan dapat meningkatkan kesehatan dan menetapkan pola hidup yang sehat. Pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi baik dari pola asuh orang tua maupun dari lingkungan sekitarnya. Tumbuh merupakan penambahan ukuran dalam berat badan maupun tinggi badan. Sedangkan perkembangan merupakan proses perubahan secara fisiologis dan proses seseorang menjadi dewasa. Laju pertumbuhan selama tahun pertama awal sekolah pada usia 6-7 tahun lebih lambat dari pada saat baru lahir. Rata-rata tinggi badan anak meningkat 5 cm pertahun dan berat badan meningkat 2 sampai 3,5 kg. Perkembangan anak usia sekolah dapat dilihat dari ketrampilan motorik halus seperti menggambar, memotong dan melipat; ketrampilan motorik kasar seperti melompat dan meloncat; dan juga perawatan dirinya seperti belajar mandi sendiri tanpa pengawasan, dan menyikat gigi (Potter & Perry, 2005).

Beberapa anak mengalami keterbatasan baik secara fisik maupun mental. Anak dengan keterbatasan secara fisik maupun mental merupakan anak yang berkebutuhan khusus atau disabilitas. Anak dengan kebutuhan khusus beberapa mengalami masalah seperti gangguan fisik (tuna daksa), gangguan emosional,

(2)

penglihatan (tunanetra), komunikasi, pendengaran (tunarungu), wicara (tunawicara), keterbelakangan mental atau retardasi mental (tunagrahita). Ada pula anak yang mengalami ketunaan lebih dari satu (tunaganda) dan akan semakin parah apabila tidak segera mendapat bantuan.

Tunagrahita atau retardasi mental merupakan keterbatasan substansial dalam memfungsikan diri yang ditandai dengan terbatasnya fungsi kecerdasan otak dengan IQ dibawah rata-rata (IQ 70 atau kurang) dan keterbatasan dalam melakukan adaptasi, merawat diri, menyesuaikan dalam kehidupan dirumah, pemanfaatan sarana umum, dan dalam dunia akademik (Napolion, 2010). Keterbelakangan mental (retardasi mental) merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan fungsi kecerdasan umum berada di bawah rata-rata serta berkurangnya kemampuan untuk beradaptasi yang mulai timbul sebelum usia 18 tahun. Orang dengan retardasi mental mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran dan adaptasi sosial dengan lingkungan sekitar. Tanda dan gejala yang muncul tergantung dengan tingkatan retardasi mental anak tersebut.

Anak dengan retardasi mental memerlukan perhatian khusus dalam pengawasan dan bimbingan. Mereka seringkali tidak dewasa dan perkembangan dalam interaksi sosialnya kurang. Mereka juga mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan dengan keadaan yang baru ditemui. Biasanya tingkatan ringan jarang menimbulkan gejala berat hanya seperti koordinasi otot yang sedikit terganggu. Masalah retardasi mental seperti yang dikemukan oleh Budhiman (dalam Sembiring, 2002), memang perlu mendapatkan perhatian khusus. Sejak periode 1981 telah mengemukakan bahwa retardasi

(3)

mental merupakan masalah yang cukup besar di Indonesia. Penolakan dari berbagai kalangan dan mendapat sikap yang tidak sepantasnya. Padahal mereka hanya mendapat hambatan pada perkembangan intelektualnya (Hendriani, dkk, 2006).

Saat ini di Indonesia terdapat sekitar 2,1 juta orang berkebutuhan khusus dan 200 ribu orang diantaranya merupakan penyandang disabilitas mental. Sedangkan hanya sekitar 52 ribu orang yang masih bias ditangani oleh pemerintah Indonesia dan sisanya belum terjangkau karena beberapa faktor (Raditya, 2013). Menurut WHO (dalam Norhidayah, 2013), anak berkebutuhan khusus pada tahun 2007 di Indonesia sekitar 7% dari jumlah total anak usia 0-18 tahun. Dan diperkirakan jumlah 7% tersebut sekitar 6.230.000 orang. Anak dengan disabilitas masih mengalami kesenjangan terhadap tingkat kedatangan mereka di sekolah sekitar 60% untuk SD dan 65% untuk SMA.

Berdasarkan data Departemen Pendidikan Nasional terdapat 4.253 anak dengan retardasi mental yang terdaftar di seluruh sekolah luar biasa pada tahun 2009. Tetapi dalam beberapa kasus retardasi mental belum diketahui karena kadang-kadang muncul saat anak usia pertengahan (Norhidayah, 2013). Berdasarkan Data Pokok Sekolah Luar Biasa di seluruh Indonesia terdapat penyandang tunagrahita sebanyak 62.011 orang dan sekitar 60% diderita oleh anak laki-laki dan 40% diderita oleh anak perempuan. Dari jumlah tersebut tingkat sangat berat sebanyak 2,5% (Napolion, 2010).

(4)

Di Bali terdapat Sekolah Luar Biasa (SLB) C milik pemerintah yang khusus menangani anak dengan retardasi mental yang berada di Kabupaten Singaraja dan Denpasar. Di SLB C Negeri Denpasar terdapat total anak didik dari tingkat SD yaitu 64 orang untuk laki-laki dan 33 orang untuk perempuan, tingkat SMP terdapat 28 orang untuk laki-laki dan 16 orang untuk perempuan, dan tingkat SMA terdapat 21 orang untuk laki-laki dan 14 orang untuk perempuan. Anak dengan retardasi mental sekitar 54 anak dengan berbagai tingkatan yaitu dari SD, SMP dan SMA (SLB C Negeri Denpasar, 2013).

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, didapatkan ada sekitar 40% dari 64 anak yang tidak ditunggu oleh orang tuanya. Pada saat jam istirahat anak tersebut makan nasi tetapi makan secara berantakan terlihat dari butiran-butiran nasi yang masih menempel di sekitar mulut. Beberapa anak juga terlihat tidak begitu rapi dalam berpakaian terlihat dari pakaian sekolah yang keluar, kaos kaki yang tinggi sebelah dan rambut yang sedikit berantakan. Dari hasil wawancara dengan salah satu guru, mengatakan bahwa terdapat seorang terapis yang melakukan terapi pada anak-anak di SLB C Negeri Denpasar, terapi yang diberikan berupa terapi aktivitas seperti mengajarkan cara perawatan diri anak, tetapi menurut beliau terapi yang dilakukan kurang optimal karena keterbatasan terapis, banyaknya anak yang harus diberikan terapi, dan jadwal yang tidak menentu. Salah satu orang dari anak retardasi mental mengatakan, “Sebenarnya saya merasa sedih dik, anak saya tidak seperti anak normal lainnya, saya harus berkali-kali mengulangi perintah sampai dia mengerti, memang agak berbeda tidak seperti anak normal lainnya”. Orang tua lainnya mengatakan, “Dulu

(5)

saya harus mengajarinya berkali-kali, agak lambat gitu dik kalau menangkap perintah, saya harus mengajari berkali-kali caranya mandi atau pakai baju yang baik, sampai sekarang anak saya masih agak bingung gitu dik kalau mau melakukan sesuatu dia pasti diam dulu”, Orang tua yang lainnya juga mengatakan. “yang saya rasakan pertama kali itu sedih dik, bagaimana saya harus mengajari anak saya, ia saya ngasi tau anak saya pertamanya tapi dia diam saja, kemudian saya nyuru anak saya untuk makan, ia sama dia diam saja, terus saya coba bicara sama dia untuk makan, ngajarin dia caranya makan dengan menggunakan sendok, ia pertama dia makan berantakan sekali, megang sendoknya aja salah dik, tapi saya latih terus ia mulai ada peningkatan, sekarang sudah bisa megang sendok tapi makannya memang masih agak berantakan, nasinya masih jatuh dilantai” (SLB C Negeri Denpasar, 2013). Perawatan diri pada anak memerlukan peran dari orang tua juga. Orang tua merupakan orang yang terdekat dengan anak. Anak dengan retardasi mental memerlukan orang tua dalam mengembangkan pendidikannya maupun ketrampilannya. Orang tua mempunyai peranan penting dalam membentuk pola asuh yang baik untuk anak-anaknya.

Penelitian yang dilakukan oleh Napolion tentang pengalaman keluarga dalam merawat anak tunagrahita di Bogor Barat dengan metode kualitatif pada beberapa keluarga yang memiliki anak tunagrahita, didapatkan beberapa tema seperti keluarga melakukan upaya-upaya pada anak mereka seperti mengunjungi tenaga professional dan tempat pelayanan kesehatan (praktek dokter, puskesmas dan rumah sakit) untuk mendapatkan penjelasan dan upaya yang harus dilakukan pada anaknya. Keluarga lainnya mengatakan juga membawa anak mereka ke

(6)

pengobatan tradisional. Beberapa keluarga juga mengalami hambatan dalam hal perawatan anaknya seperti faktor finansial seperti biaya selama perawatan dan biaya transportasi. Keluarga lain juga mengatakan harapannya terhadap pelayanan kesehatan pada perawatan anaknya seperti manajemen yang efektif dan efisien dalam hal pelayanan kesehatan yang proaktif, jaminan dari pemerintah terhadap anaknya, dan kunjungan dari petugas kesehatan untuk memeriksakan kondisi anaknya secara berkala (Napolion, 2010).

Orang tua serta keluarga dekat merupakan pihak yang menanggung beban paling banyak dari anak dengan retardasi mental (Somantri, 2007). Orang tua sering merasa tidak dapat menerima kenyataan dengan kondisi anaknya dan membuat mereka tidak melakukan tindakan yang tepat, serta tidak dapat mendorong dan memberikan motivasi pada anaknya untuk meningkatkan kemampuan perawatan diri dan bersosialisasi dengan lingkungannya (Napolion, 2010). Respon orang tua yang satu dan lainnya juga berbeda, ada orang tua yang merasa sedih dan depresi saat mengetahui kondisi anaknya, ada pula orang tua yang menerima dan memberikan perawatan yang tepat bagi anaknya (Hamid, 2004). Perawatan yang tepat dapat membantu mengembangkan kemampuan yang dimiliki anak. Orang tua dapat mempelajari lebih mendalam mengenai retardasi mental, lebih banyak yang dapat diketahui oleh orang tua maka orang tua akan lebih membantu anaknya. Orang tua juga dapat mendorong anaknya untuk mempelajari latihan pemenuhan ADL (Activities Daily Living) seperti cara berpakaian yang baik, menggunakan kamar mandi dan cara makan sendiri (National Dissemination Center for Children with Disabillities, 2011).

(7)

Self-care atau kemampuan dalam berpakaian, menggunakan toilet, makan secara mandiri, mandi, dan sebagainya dapat memberikan pengaruh secara langsung terhadap pola pikir dari anak. Membentuk kemampuan dalam pemenuhan kebutuhan ADL dari anak dengan retardasi mental tidak dapat terjadi dengan spontan atau cepat. Melatih kemampuan seperti itu merupakan salah satu tugas dari orang tua. Anak dengan retardasi mental memiliki emosional yang tidak stabil. Dalam memberikan pelatihan untuk membentuk kemampuan ADL dari anak retardasi mental diperlukan interaksi antara anak dan orang tua, agar anak merasa bahwa mereka tidak sendiri dan mempunyai orang yang memberikan perhatian terhadap dirinya (Ivanovna, 2014).

Mattew (2003), melakukan wawancara pada salah satu orang tua anak yang mengalami keterbatasan intelektual dan epilepsi. An. J mengalami perkembangan yang normal dan pada umur tiga tahun An. J mengalami kejang yang tidak dapat dikontrol yang menyebabkan masalah pada otaknya dan berdampak pada fungsi intelektual dan perilakunya. An. J memerlukan bantuan dalam berpakaian, makan serta toileting, dan ayahnya harus memperhatikannya apabila dia melepas pakaiannya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti merasa perlu mengetahui cara orang tua dalam merawat anak dengan retardasi mental. Hal ini mendorong peneliti ingin melakukan penelitian dan menggambarkan secara medalam tentang pengalaman keluarga yang memiliki anak dengan retardasi mental.

(8)

1.2 Rumusan Masalah

Anak dengan retardasi mental juga membutuhkan perhatian khusus, bantuan dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dan arahan dalam berperilaku sehingga nantinya tidak ada ketergantungan dengan orang lain. Keluarga mempunyai peran penting dalam melakukan bimbingan pada anak dengan retardasi mental untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Perawatan yang dilakukan orang tua berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan perawatan diri anak dengan retardasi mental. Oleh karena itu peneliti ingin menjawab secara kualitatif tentang “Bagaimana cara orang tua dalam merawat anak dengan retardasi mental”, dan juga diharapkan dapat menguraikan tentang perawatan yang dilakukan oleh orang tua pada anak dengan retardasi mental.

(9)

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan secara mendalam mengenai cara keluarga dalam merawat anak dengan retardasi mental di SLB C Negeri Denpasar.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

a. Hasil penelitian ini memberikan kontribusi pada pengembangan ilmu keperawatan khususnya keperawatan komunitas dan keperawatan keluarga yang berperan dalam penatalaksanaan retardasi mental. Serta berperan dalam memberdayakan keluarga dalam melakukan perawatan anak dengan retardasi mental.

b. Sebagai dasar acuan bagi peneliti selanjutnya dalam penelitian yang terkait pengalaman orang tua dalam merawat anak dengan retardasi mental.

1.4.2 Manfaat praktis

a. Sebagai sumber informasi untuk meningkatkan pengetahuan perawat komunitas dan perawat keluarga tentang pengalaman keluarga dalam merawat anak dengan retardasi mental. Sehingga dapat dijadikan dasar memberi pelayanan untuk anak dengan retardasi mental.

b. Sebagai sumber informasi bagi lembaga pelayanan dan SLB C Negeri Denpasar bekerja sama dalam proses pendidikan untuk memahami

(10)

pengalaman yang dialami keluarga selama merawat anak dengan retardasi mental.

Referensi

Dokumen terkait

(American Petroleum Institute, 2016) Tahap kelima adalah menentukan interval inspeksi berdasarkan tingkat resiko dengan mempertimbangkan remaining life yang telah

Format merupakan bentuk atau ukuran yang dipakai untuk menentukan suatu model, dalam hal ini adalah model wayang kulit purwa, untuk dalang anak-anak, anak, remaja awal, remaja

Adapun beberapa penelitian terdahulu yang telah dilakukan terkait dengan Pemberdayaan Ekonomi Keluarga Melalui Usaha Pembuatan Tempe di dusun Truka Jaya Desa Buluh

Kantor BMT Bina Ummat Sejahtera cabang Genuk (CB16) dapat menjadikan kantor BMT Bina Ummat Sejahtera cabang Blora (CB12) dengan bobot 0,386, cabang Purwodadi (CB17)

16 Metode penarikan kesimpulan yang dipakai adalah metode deduktif yaitu data primer yang diperoleh setelah dihubungkan dangan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan

Terdapat banyak cara untuk me- ningkatkan Economic Value Added (EVA) tersebut akan sangat tergantung pada peran Sumber Daya Manusia peru- sahaan, untuk memaksimalkan

Berdasarkan hasil penelitian bahwa : “Pelimpahan Wewenang Dokter kepada Perawat dalam Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit” menurut perspektif hukum perdata dan

Reputasi merek dapat dinyatakan bahwa jika seorang konsumen telah merasakan bahwa perusahaan di belakang suatu merek dikenal jujur, maka konsumen akan merasa lebih aman dalam