• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang Bukit Lawang merupakan salah satu daerah wisata yang terletak di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang Bukit Lawang merupakan salah satu daerah wisata yang terletak di"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Bukit Lawang merupakan salah satu daerah wisata yang terletak di Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat. Bukit lawang yang terkenal dengan panorama dan keindahan alam yang banyak menarik wisatawan baik lokal maupun wisatawan mancanegara, dan juga merupakan kawasan konservatif dari hutan dan hewan langka di dalam Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Hutan Leuser kaya akan kehidupan flora dan fauna, dan kawasan ini juga kerap dinobatkan sebagai paru–paru dunia. Selain kawasan hutan yang membukit dan memiliki keanekaraganam pohon, Bukit Lawang juga memiliki hewan langka seperti, orangutan (pongo pygmaeus) yang harus dijaga kelestariannya dan dilindungi agar tidak punah. Hal ini yang dapat menggambarkan keindahan alam Bukit lawang.

Keindahan dan keunikan Bukit Lawang terusik, dengan terjadinya banjir bandang pada 2 November 2003 lalu. Banyak korban jiwa dan materil pada saat kejadian tersebut, kerusakan pada bangunan rumah penduduk, hotel yang berada di sekitar aliran sungai bahorok ikut rusak akibat bencana banjir bandang. Kondisi Bukit Lawang pada saat itu, sangat memprihatinkan. Keadaan pemukiman penduduk yang rusak total, dan kejadian ini banyak merenggut korban jiwa hingga ratusan orang. Pasca banjir bandang, masyarakat yang mengalami bencana terlambat mendapatkan bantuan dari pemerintah. Menurut masyarakat sekitar, bantuan yang diberikan oleh pemerintah berupa pemukiman baru untuk masyarakat yang telah kehilangan tempat tinggal dan uang tunai sebesar Rp 200

(2)

juta. 1

Hutan yang dalam hal ini sebagai sarana pencegah banjir, kurang dijaga kestabilan dan kelestariannya. Pemanfaatan atas hutan yang dilakukan berlebihan seperti sejumlah oknum memanfaatkan izin yang diberikan oleh pemerintah Data WALHI tahun 2003 menyebutkan bahwa kerusakan hutan di Bukit Lawang telah mencapai 17.726 Ha dari luas Taman Nasional Gunung Leuser yang mencapai 1.095.192 Ha.

Sejumlah asumsi masyarakat dan pengamat lingkungan menyatakan, bahwa kejadian banjir bandang ini terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan, serta adanya oknum-oknum tertentu yang juga merusak keseimbangan ekosistem hutan. Selain itu, adanya tindakan penebangan hutan dan pembukaan lahan baru bagi HPH (Hak Pengusahaan Hutan) untuk menggunakan lahan (dalam hal ini hutan) sebagai perkebunan, sehingga memungkinkan terjadinya banjir bandang. Menurut penduduk sekitar, pembabatan hutan yang dilakukan secara berlebihan di daerah hulu sungai yang perlahan tapi pasti itu mengancam kegiatan di daerah hilir, tetapi dibiarkan berlangsung bertahun- tahun. Inilah yang menyebabkan bencana longsor di daerah bukit yang merupakan aliran hulu sungai.

Longsor di tebing-tebing curam yang menyumbat aliran sungai di sebuah daerah aliran sungai bak sebuah bendungan. Penyumbatan-penyumbatan ini mengakibatkan penumpukan material hingga suatu saat "bendungan" tersebut tidak mampu menahan volume beban yang tertumpuk. Jadilah banjir bandang bermuatan lumpur, kayu, dan bebatuan. Fenomena ini bisa mencapai klimaks pada aliran yang secara perlahan atau cepat dapat terjadi di semua sisi bukit.

(3)

daerah setempat dan juga Dinas Kehutanan untuk menggunakan lahan hutan. Namun meski telah diberi izin, oknum-oknum tersebut juga membabat hutan yang tidak sepantasnya di tebang, seperti hutan yang mendekati kawasan Taman Nasional.

Dari data yang ada, terlihat bahwa 22 persen kawasan hutan dirambah oleh oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan hutan untuk keuntungan ekonomis semata, namun tidak memperdulikan akibat yang terjadi di masa depan. Salah satu akibat yang ditimbulkan bila melakukan eksploitasi terhadap hutan adalah seperti terjadinya banjir bandang yang terjadi pada november 2003 lalu.

Ketidak seimbangan inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih dalam tentang sejauh mana peran serta masyarakat terhadap kelestarian ekosistem hutan dan sungai di Bukit Lawang. Mengingat kehidupan masyarakat yang bergantung dengan hutan, karena masyarakat memanfaatkan hutan dalam bidang pariwisata. Melalui bidang pariwisata, masyarakat dapat menjamin kehidupan ekonomi mereka dengan bantuan hutan yang kaya akan pohon dan hewan langka yang dapat menarik minat wisatawan untuk berkunjung. Keadaan hutan yang baik akan memberikan efek jangka panjang bagi kepentingan masyarakat, bukan hanya masyarakat sekitar Bukit Lawang saja, melainkan masyarakat secara keseluruhan yang ikut merasakan manfaat dari hutan tersebut. Fungsi dari hutan yang kaya akan pohon-pohon dapat memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar hutan untuk kesejahteraan. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, menyatakan : “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang

(4)

terkandung didalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Sebagian besar laju pertumbuhan dan pembangunan negara dipengaruhi oleh pengusahaan sumber alam yang kaya, terutama minyak bumi, kayu, hasil pertanian dan lain-lain. Namun perhatian terhadap pengaruh lingkungan dari pengusahaan sumber daya itu masih langka, salah satunya dengan pemberdayaan hutan dan melestarikan hutan. Data Departemen Kehutanan pada tahun 2003 menyebutkan, 43 juta hektar dari total 120.35 juta hektar hutan Indonesia sudah rusak. Pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat juga berperan aktif dalam menegakkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan kelangsungan lingkungan. Sejauh ini kelestarian ekosisitem hutan belum terjamin khususnya hutan di Sumatera, salah satunya hutan lindung di Bukit lawang. Hal ini terlihat dari masih adanya praktek penebangan hutan di sekitar kawasan TNGL, walaupun para ranger menolak mengakui hal tersebut. Namun hal itu sudah menjadi rahasia umum yang tidak mungkin bermuara di media-media elektronik.

Untuk itu, peranan masyarakat lokal dan masyarakat lain yang tinggal di Bukit lawang sangat penting untuk menjaga dan melestarikan hutan. Kalau bukan masyarakat sekitar yang menjaga kawasannya, namun siapa lagi yang akan menjaganya. Kesadaran masyarakat mulai tumbuh untuk melestarikan hutan, setelah terjadi banjir bandang. Masyarakat lokal mulai menumbuhkan betapa pentingnya menjaga hutan sebagai sarana membantu menghijaukan bumi dan menahan air sungai agar tidak terjadi banjir lagi. Selain masyarakat lokal, peranan lembaga lain untuk membantu masyarakat menjaga hutan melalui program-programnya yang juga sangat diperlukan. Untuk itu, beberapa Lembaga Swadaya

(5)

Masyarakat dan organisasi masyarakat setempat mengajak masyarakat untuk bersama-sama menjaga ekosistem hutan agar antara pemanfaatan dan pelestarian hutan seimbang.

Adapun yang dilakukan masyarakat luar dalam menjaga kelestarian ekosistem seperti adanya sejumlah LSM yang terdapat di Bukit Lawang, salah satunya adalah YEL2

Kerusakan hutan memungkinkan terjadinya banjir bandang, erosi dan bencana lainnya bila tidak menjaga kelestarian hutan dan kurang stabilnya kondisi hutan sebagai sarana pencegah banjir. Pasca banjir bandang pengawasan kawasan hutan mulai diperketat, para ranger

(Yayasan Ekosistem Lestari), ALIVE dan lain-lain yang memiliki sejumlah program dalam melestarikan lingkungan hidup. Lembaga-lembaga ini sedikit banyak memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang cara-cara melestarikan lingkungan. Terkadang mereka menberikan sejumlah penyuluhan pada masyarakat untuk menjaga hutan, melakukan penanaman pohon, serta memaksimalkan penciptaan penangkaran hewan-hewan langka seperti orangutan. Selain itu juga terdapat Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), yang juga membantu sebagai tempat atau kawasan hutan lindung dalam melestarikan dan menjaga kawasan hutan agar tidak disalah gunakan oleh orang-orang tertentu seperti penebangan pohon secara illegal.

3

2 YEL adalah salah satu dari sekian banyak Lembaga Swadaya Masyarakat di Bukit Lawang yang bergerak dibidang lingkungan, menawarkan konsep pariwisata alternatif pada masyarakat dan wisatawan untuk dapat berempati terhadap pelesterian lingkungan.

3 Ranger adalah sebutan bagi petugas yang menjaga dan mengawasi Taman Nasional

mulai melakukan pengawasan hutan, agar mencegah oknum-oknum tertentu melakukan penebangan hutan di kawasan Taman Nasional.

(6)

Bukan itu saja, peranan LSM dan juga masyarakat lokal dan organisasi lokal seperti HPI dalam bidang pariwisata juga sangat penting. Sebagai penunjang kemajuan wisata di Bukit Lawang pasca banjir bandang, masyarakat maupun LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup, melakukan sejumlah pembangunan untuk kembali memajukan kehidupan wisata di Bukit Lawang. Untuk itu, dilakukan sejumlah perbaikan di sektor pariwisata seperti pembangunan hotel dan perbaikkan sarana penunjang pariwisata lainnya. Kebangkitan pariwisata kembali bermula dan dipelopori oleh pemuda dan pemudi yang menginginkan perubahan sosial dan ekonomi, dengan pengembangan pariwisata bukan hanya sungai tetapi hutan dapat menjadi tempat pariwisata seperti di Bukit Lawang. Berbagai aktivitas-aktivitas pembalakan kayu dan perambahan (yang dilakukan oleh orang tua mereka sendiri) harus dihentikan.

Gerakan pemuda-pemudi tersebut berubah menjadi sebuah gerakan sosial, mereka aktif dalam aktifitas sosial desa, musyawarah maupun berbagai kegiatan adat. Akhirnya menarik simpati kalangan orang tua, melibatkan berbagai lapisan masyarakat, mendorong terciptanya sebuah gagasan baru. Gerakan ini, mempengaruhi banyak pola pikir baru masyarakat tentang nilai-nilai keorganisasian, karena semakin berkembangnya perilaku para cukong-cukong kayu (sebutan untuk pengusaha kayu). Dalam hal ini, diperlukan kesadaran dari masyarakat untuk mencegah hal tersebut tidak terjadi, sebab masyarakat banyak mengambil manfaat dan bergantung pada hutan dan sungai di Bukit Lawang, sehingga dalam hal itu diperlukan hubungan timbal-balik antara manusia dan lingkungan alamnya.

(7)

G. Geertz (1963) mengatakan bahwa ada pendekatan yang memisahkan antara karya manusia dan proses alam menjadi dua bidang pengaruh yang berlawanan yaitu kebudayaan adalah karya manusia, sedangkan lingkungan lebih merupakan proses alam dalam upaya melihat bagaimanakah hubungan keduanya secara dan saling mempengaruhi atau sejauh mana kebudayaan dipengaruhi oleh lingkungan, serta sejauh mana lingkungan dirubah oleh kebudayaan.

Masyarakat banyak berdatangan ke Bukit Lawang karena mereka menganggap Bukit Lawang cukup menjanjikan untuk dijadikan tempat hidup bagi masyarakat pendatang baik itu sebagai tempat mencari nafkah, dimana Bukit Lawang merupakan tempat pariwisata. Pembukaan lahan baru yang dilakukan oleh masyarakat pendatang, sedikit banyak mengambil lahan hutan dan lagi-lagi hutan yang menjadi lahan tempat tinggal mereka. Pembukaan lahan baru tentu saja membawa dampak baru yang di adaptasikan oleh masyarakat pendatang tersebut di mana dari masing-masing individu mempunyai budaya sendiri dalam hubungannya dengan alam lingkungannya. Dimana menurut Spencer dalam bukunya The Survival of the Fittest, dalam Koentjaraningrat, 1985 : “ Hanya sifat egois dapat membuat sejenis makhluk sedemikian kuatnya, sehingga ia cocok dengan alam untuk dapat bertahan dan hidup secara langsung.”

Begitu manusia tidak dapat dipisahkan dengan alam dan lingkungannya, seorang manusia memang bisa hidup hanya dengan bernapas dan makan serta minum untuk mempertahankan hidupnya, dan itu tidak terlepas dari hubungan manusia dengan alam. Manusia menggunakan unsur alam dan benda-benda atau alat-alat untuk memfasilitasi kehidupannya agar tetap bertahan hidup. Manusia memakan biji-bijian ia bernapas dengan udara, ia minum air yang disediakan

(8)

alam, demikian hubungan antara manusia dengan alam dan lingkunganya tidak dapat dipisahkan. Adaptasi atau penyesuaian adalah sebuah proses bangaimana manusia memanfaatkan secara efektif potensi energi yang terdapat di dalam habitatnya untuk tujuan-tujuan produktif (Cohen,1971 dalam Zuska,1995). Manusia beradaptasi dengan lingkungan alam untuk mempertahankan kehidupannya dengan kebudayaanya dan memanfaatkan alam secara efektif dan menggunakannya sebaik-baiknya. Pemanfaatan atas sumber daya alam dalam hal ini hutan, harus dilakukan secara tepat untuk mencegah timbulnya bencana. Sehingga antara pemanfaatan dan pelestarian harus seimbang, dan peranan manusia yang memiliki kebudayaan untuk melakukan kelestarian tersebut dengan cara yang bervariasi. Manusia memiliki gagasan yang tidak terbatas untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannnya. Contohnya masyarakat Dayak yang memanifestasikan adat tebang pilih. Mereka boleh menebang pohon untuk keperluan tertentu untuk membuat rumah misalnya, bila mendapat persetujuan dari tertua adat dan memilih pohon yang sudah tua, serta menanam kembali sejumlah pohon yang telah ditebangnya.

Masyarakat pendatang yang datang ke Bukit Lawang dan memasuki daerah baru dengan kebiasaan dan kebudayaan baru, maka mereka berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan baru yang akan ditempatinya. Atas dasar itu ia menyarankan perlunya dikaji keterkaitan hubungan antara teknologi suatu kebudayaan dengan lingkungannya, antara lain dengan menganalisis hubungan tata kelakuan dalam suatu komunitas dengan teknologi yang dipergunakan sehingga wujud dari suatu kebudayaan dapat melakukan aktivitas mereka dan pada akhirnya mampu bertahan hidup.

(9)

Ada kebudayaan yang menganggap manusia harus mencari keselarasan dan keseimbangan dengan alam. Pandangan ini akan menghasilkan perilaku yang selektif dan bijaksana dalam memanfaatkan sumber daya alam. Namun ada juga kebudayaan yang berpandangan bahwa alam dapat dan harus dikuasai secara maksimal. Kerusakan-kerusakan pada alam akan terjadi bila sebagian masyarakat berpandangan yang demikian. Hal inilah yang melandasi para cukong untuk terus mengekploitasi alam khususnya hutan.

Disamping karena HPH memiliki izin untuk melakukan penebangan dan membuka lahan baru sebagai tempat untuk lahan perkebunan, HPH juga melakukan pelarangan bagi masyarakat untuk memasuki kawasan HPHnya. Sehingga pemilik HPH menganggap izin tersebut boleh digunakan untuk melakukan eksploitasi terhadap hutan tanpa harus memikirkan akibat yang akan ditimbulkan oleh kerusakan hutan tersebut. Tanpa harus takut dengan masyarakat lokal memasuki kawasan hutannya, karena mereka telah mengantongi izin membuka kawasan hutan untuk kepentingan ekonomi oknum-oknum tertentu.

Akibat munculnya eksploitasi hutan dan sungai yang berlebihan yang dilakukan oleh sejumlah HPH dan oknum-oknum tertentu dapat memberikan dampak pada hilangnya sumber alam dan kerusakan lingkungan secara menyeluruh, karena bukan hanya pohon-pohon saja yang hilang. Dengan ketidak seimbangan ekosistem hutan maka segala kehidupan di hutan tersebut pun akan terancam termasuk manusia yang hidup di sekitar hutan. Jika dihitung secara ekonomis, nilainya tidak sesuai karena menyangkut musnahnya keseimbangan makhluk hidup di sekitar hutan. Dalam persfektif yang demikian hutan hanya dipandang sebagai sumber daya penghasil devisa negara. Namun dibalik itu

(10)

semua, ancaman terhadap spesies hewan dan tumbuhan, tapi juga mengancam musnahnya pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat yang bergantung dari hutan tersebut.

Selain mengabaikan peranan penduduk dalam menjaga kelestarian hutan, seringkali kebijakkan pemerintah di sektor kehutanan membatasi akses penduduk lokal terhadap kepemilikkan sumber daya alam yang ada di kawasan hutan. Salah satunya, pemerintah setempat meberikan izin kepada HPH untuk menggunakan lahan hutan untuk kepentingan ekonomi. Namun penduduk sekitar yang membuka lahan untuk perladangan dan lain-lain, tidak diizinkan lagi mengolah lahan tersebut apalagi memasuki kawasan HPH. Hal ini tentu saja mengecewakan masyarakat sekitar yang juga memanfaatkan hutan untuk kehidupan ekonomi mereka, baik itu dibidang pariwisata dan juga bidang pertanian. Hutan salah satu wadah penghijauan bumi dan mencegah banjir, sehingga pengolahannya harus ditingkatkan secara terpadu dan berwawasan lingkungan. Untuk itu peranan masyarakat sangat diperlukan, dan pemerintah seharusnya juga mendukung pelestarian hutan agar kejadian banjir bandang 2003 lalu tidak terulang lagi.

Seiring dengan itu, pemandu wisata dari Bukit Lawang mulai membawa wisatawan mancanegara dengan memperlihatkan kawasan hutan lindung dan seiring dengan itu pula beberapa warga negara asing yang memiliki suami pemandu di Bukit Lawang ikut menyumbang akomodasi seperti hotel dan lain-lain. Sejak itu wacana maupun berita tentang Ilegal Logging mulai sampai ke dunia internasional seiring dengan promosi kawasan Tangkahan yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Sementara aktivitas pariwisata masih terus berjalan dengan tarik-menarik yang cukup kuat dalam pengolahannya. Tahun 1990-an,

(11)

pemuda-pemudi setempat bermusyawarah merumuskan agenda bersama untuk pemberantasan Ilegal Logging dan menggalakkan periwisata di Bukit Lawang, sehingga terbentuk Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI)

1.2. Rumusan Masalah

Seperti yang dijelaskan pada latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, tentang sebagaimana manusia yang mempunyai gagasan dan pikiran untuk menjaga dan melestarikan hutan. Hutan sebagai aset yang penting bagi kehidupan masyarakat sekitar Desa Perk.Bukit Lawang, karena masyarakat dalam bidang pariwisata tergantung pada kelestarian hutan. Pasca banjir bandang yang banyak ‘menelan’ korban jiwa dan materi, masyarakat mulai sadar tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan. Peranan masyarakat yang dibutuhkan dalam hal ini yang sangat dibutuhkan untuk menjaga hutan agar tetap seimbang. Dari latar belakang yang telah dikemukakan oleh penulis, maka rumusan masalah yang hendak diteliti adalah:

1. Bagaimana kehidupan masyarakat di sekitar hutan.

2. Bagaimana peran serta masyarakat dan organisasi lokal seperti HPI dalam menjaga dan melestarikan ekosistem hutan di Bukit Lawang, serta melihat bagaimana partisipasi masyarakat dalam melestarikan ekosistem hutan pasca banjir bandang.

1.3. Tujuan dan Manfaat

Adapun tujuan yang hendak dikemukakan dari adanya penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang sejauh mana peranan masyarakat dalam menjaga lingkungannya, serta bagaimana interaksi masyarakat dengan alam

(12)

sekitar, dalam hal ini masyarakat yang tinggal dekat hutan. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan:

1. Kehidupan masyarakat yang hidup di sekitar hutan dan TNGL. Menggambarkan bagaimana hubungan masyarakat Bukit Lawang dengan hutan dan kawasan Taman Nasional.

2. Kebudayaan masyarakat yang dideskripsikan dari peranan masyarakat baik itu masyarakat lokal dan organisasi masyarakat lokal untuk menjaga kelestarian ekosistem serta menjaga kelestarian hutan di Bukit Lawang. 3. Kinerja masyarakat dan LSM dalam melestarikan hutan, menggambarkan

apa yang dilakukan oleh masyarakat untuk ekosistem hutan. Peranan dan kinerja dari masyarakat dan juga LSM ini terbentuk dari adanya ide dan gagasan yang merupakan bentuk kebudayaan mereka dalam menjaga dan melestarikan hutan agar tetap seimbang.

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah :

1. Hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat tentang bagaimana kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan. 2. Hasil dari penelitian ini dapat berguna sebagai bahan bacaan bagi

masyarakat luas agar bersama-sama menjaga kelestarian hutan.

3. Memberikan manfaat bagi masyarakat untuk bersama-sama memberikan kontribusi yang berarti bagi kelangsungan ekosistem hutan dan memberikan pengertian bagi masyarakat tentang pengelolaan hutan

1.4. Tinjauan Pustaka

Secara umum kebudayaan berada dalam pikiran manusia yang didapat dari proses belajar dan menggunakan budaya tersebut dalam aktivitas kehidupan

(13)

sehari-hari. Proses belajar tersebut menghasilkan pengetahuan yang berasal dari pengalaman individu atau masyarakat yang pada akhirnya terorganisisr dalam pikiran individu atau masyarakat tersebut (Spradley,1997 dalam Marzali,1997) dapat didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial, yang digunakan untuk menginterprestasikan dan memahami lingkungan yang dihadapi, dan untuk menciptakan serta mendorong terciptanya dan terwujudnya kelakuan. Dengan demikian kebudayaan merupakan pengetahuan yaitu sistem pengetahuan yang dipunyai oleh individu maupun masyarakat tanpa memperhatikan individunya, yang sebenarnya menjadi pemilik dan yang menggunakan kebudayaan atau pengetahuan tersebut didalam kehidupannya. Sejauh ini pengetahuan manusia pada masa awal adalah berburu dan meramu, berladang, pengembala ternak, dan pertanian. Manusia pada hakikatnya memang tidak bisa lepas dari alam begitupun saat ini dalam mengembangkan perekonomian masyarakat. Hutan merupakan salah satu bagian dari alam yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Pembagian kawasan hutan berdasarkan fungsi-fungsinya dengan kriteria dan pertimbangan tertentu, ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 5 ayat (2), sebagai berikut : a. Kawasan Hutan Konservasi yang terdiri dari kawasan suaka alam (cagar alam dan Suaka Margasatwa), Kawasan Pelestarian Alam (Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam), dan Taman Buru. b.Hutan Lindung; dan c. Hutan Produksi.

(14)

Pemanfaatan hutan dilakukan dengan pemberian ijin pemanfaatan kawasan,izin pemanfaatan jasa lingkungan dan lain-lainnya. UU No. 19 Tahun 2004 dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan Yang Berada di Kawasan Hutan, dengan demikian kawasan hutan, terutama hutan lindung diijinkan dilakukan pertambangan dengan aturan tersebut, demi kepastian hukum dan investasi. Hal ini berarti hutan merupakan sumber daya yang mampu menciptakan sederetan jasa dan ekonomi yang bermanfaat bagi masyarakat. Akhirnya hasil hutan jelas merupakan sumber daya ekonomi yang potensial dan beragam. Di dalams setiap areal kawasan mampu menghasilkan sederetan hasil hutan serbaguna baik hasil hutan kayu maupun non kayu seperti hewan yang hidup didalamnya sebagai sarana pariwisata bagi masyarakat.

Hasil hutan sesungguhnya menjadi sumber daya yang mempunyai potensi dalam menciptakan benda, jasa serta aktifitas-aktifitas ekonomi yang bermanfaat bagi masyarakat. Namun sejauh ini hutan dijadikan sarana petumbuhan ekonomi bagi kelancaran perekonomian bagi segelintir orang saja tanpa mengetahui bagaimana hasil dari eksploitasi hutan secara berlebihan. Hal ini memberikan pengaruh bagi masyarakat yang tinggal di desa Bukit Lawang, dimana banjir yang menewaskan banyak orang pada November 2003 lalu. Eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya hutan yang dilakukan oleh HPH (Hak Pengusahaan Hutan) setidaknya membuat masyarakat dan sejumlah LSM ingin menghentikan perambahan secara berlebihan.

Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin yang diberikan untuk melakukan pembalakan mekanis diatas hutan alam yang dikeluarkan berdasarkan

(15)

Peraturan pemerintah No 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. Pada waktu yang bersamaan, pola pengelolaan hutan disempurnakan melalui penerbitan Pedoman Tebang Pilih Indonesia, yang kemudian disempurnakan lagi menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia. Pada tahun 1969 sampai 1974, sekitar 11 juta hektar konsesi Hak Pengelolaan Hutan (HPH) diberikan hanya di satu Provinsi, yaitu Kalimantan Timur.

Hutan dipandang sebagai sumber daya penghasil devisa bagi Negara. Ancaman terhadap kerusakan hutan bukan hanya hilangnya berbagai spesies tumbuhan dan hewan tapi juga hilangnya pengetahuan lokal tentang melestarikan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Selain mengabaikan peranan penduduk lokal dalam menjaga kelestarian hutan, sering kali kebijakkan pemerintah di sektor kehutanan membatasi akses penduduk lokal terhadap kepemilikan sumber daya yang ada di kawasan hutan (Safitri, 1995). Peranan dan partisipasi masyarakat dalam penggarapan dan kepemilikan lahan sebagai wujud terselenggaranya kelestarian ekosistem dengan mempergunakan setiap hektar lahan untuk kebutuhan tertentu, tanpa melakukan eksploitasi hutan secara berlebihan.

Adapun inti dari pembinaan kawasan hutan dalam Pelita IV yaitu, mutu kawasan konservasi dan pelestarian alam yang ditingkatkan fungsinya dalam rangka perlindungan sistem penyanggah kehidupan. Menjaga keanekaragaman hayati yang dapat di peroleh secara optimal. Fungsi perlindungan terhadap mata air merupakan prioritas utama dalam pengolahan untuk hutan-hutan di wilayah padat penduduk. Sistem pengelolaan taman nasional, taman wisata alam dan hutan

(16)

wisata yang merupakan kawasan konservasi perlu disempurnakan dengan mempertimbangkan kepentingan pembangunan disektor daerah.

Kawasaan pelestarian alam dan kawasan hutan lindung dikembangkan dengan upaya menjamin pelestarian hutan tropis dan ekosistemnya, peningkatan objek wisata alam dan pendidikan sadar lingkungan bagi masyarakat luas. Peningkatan pengelolahan kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam baik darat maupun laut termaksuk flora dan fauna serta keunikan alam dilakukan untuk melindungi dan melestarikan jenis spesies dan ekosistem, (Alam Setia Zain,1998)

Hutan sebagai sumber daya penting bagi kehidupan perekonomian nasional dan pelestarian lingkungan Indonesia. Sebagai mana dikemukakan oleh Spencer dalam bukunya The Survival of the Fittest, “Hanya sifat egois dapat membuat sejenis mahluk sedemikian kuatnya, sehingga ia cocok dengan alam untuk dapat bertahan dan hidup secara langsung”. Manusia menganggap dirinya kuat, dan untuk bertahan hidup maka manusia tersebut harus mengelola alam dengan sedemikian rupa agar dapat makan dan minum unuk mempertahankan hidupnya.

Fungsi ekosistem adalah agar kehidupan makhluk hidup yang ada didalamnya dapat bertahan hidup. Semua makhluk hidup harus mendapatkan masukan (input) yang terus-menerus materi dan energi. Memperoleh energi dan materi saja juga tidak akan membuat organisme hidup, harus ada output (pengeluaran) yang dihasilkan oleh organisme berupa panas dan limbah. Agar tetap hidup, organisme harus dapat menjaga keseimbangan antara input dan output materi dan energi. Begitupun dengan ekosistem hutan yang perlu dijaga

(17)

keseimbangannya antara penebangan dan penanaman hutan pohon kembali agar ekosistemnya tetap seimbang.

Hutan yang dikembangkan dengan sistem swadaya tetap berpedoman pada prinsip kelestarian hutan. Yakni hutan selain dapat dimanfaatkan kayunya juga berfungsi sebagai perlindungan terhadap air dan menguatkan tanah agar terhindar dari banjir. Aspek mengurangi cara perladangan perpindahan dan dapat memenuhi kebutuhan pangan rakyat di kelestarian hutan, turut ditentukan oleh cara dan aturan teknis yang harus dilaksanakan para pengelola hutan maupun masyarakat lokal serta lembaga swadaya masyarakat yang turut berperan aktif dalam melestarikan hutan di Bukit Lawang.

Tujuan pelestarian adalah untuk mempertahankan ekosistem, luas ekosistem memungkinkan proses alam untuk terus berlanjut dengan sedikit mungkin campur tangan manusia. Pelestarian mempertahankan sebanyak mungkin habitat, oleh karena itu, pelestarian juga dilakukan untuk mempertahankan keragaman spesies. Pelestarian merupakan suatu proses pemeliharaan ekosistem, pengelolaan keragaman biologis dan lingkungan. Jadi, dalam melindungi suatu wilayah alam harus di pertimbangkan manusia disekitarnya, (Dr. Hayati, 2002).

1.5. Metode Penelitian a. Sifat Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan

(18)

bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan metode. Menjelaskan realitas sosial melalui observasi menghasilkan data deskritif berupa tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari masyarakat sekitar Bukit Lawang dan orang dalam pengelola Taman Nasional dari Gunung Leuser (TNGL).

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1989:29) penelitian yang bersifat deskritif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan dan gejala suatu kelompok tertentu atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala-gejala lainnya. Metode penelitian kualitatif ini bersifat deskritif yang digunakan untuk mendapatkan informasi dari informan. Informan merupakan orang yang menjadi tujuan wawancara untuk mendapatkan informasi yang bermanfaat melalui wawancara dengan masyarakat lokal dalam kaitannya dengan pelestarian lingkungan dalam hal ini hutan untuk mendapatkan informasi mengenai peran masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan.

b. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam hal ini adalah tehnik wawancara dan observasi (pengamatan). Observasi (pengamatan) biasa yang dilakukan untuk mengamati sejauh mana kegiatan masyarakat dan melestarikan lingkungannya. Hal ini dapat dilihat dari hal terkecil sekalipun yaitu tidak membuang sampah disungai atau contoh lain tidak menebang hutan sembarangan.

Selain itu peneliti menggunakan teknik wawancara dalam memperoleh informasi melalui wawancara mendalam dan wawancara biasa digunakan untuk

(19)

memperoleh informasi tentang peran seta masyarakat lokal maupun masyarakat luar dalam menjaga kelestarian ekosistem hutan dan sungai serta mengetahui bagaimana kinerja mereka dalam melesarikannya. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara sebagai acuan dan dibantu dengan alat tulis berupa catatan yang menuliskan hasil dari wawancara tersebut.

Informan dalam hal ini adalah pengelola yang mengelola Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di desa Bukit Lawang dan pengelola LSM yaitu YEL (Yayasan Ekosistem Lestari) yang ada di desa Bukit Lawang ini. Kemudian informan lain adalah masyarakat lokal yang tinggal didesa tersebut, tentang bagaimana pandangan mereka tentang pelestarian lingkungan dan peranan masyarakat sebagai pengelola objek wisata di Bukit Lawang.

Menurut Koentjaraningrat (1989:30) dalam suatu masyarakat baru, tentu kita lebih dahulu memulai keterangan dari informan yang dapat memberikan keterangan yang kita butuhkan. Informan-informan ini haruslah orang yang memiliki pengetahuan luas tentang kegiatan pelestarian lingkungan, khususnya hutan yang ingin di kaji oleh peneliti.

1.6. Lokasi Penelitian

Peneliti dalam hal menentukan lokasi penelitian adalah di desa Perk.Bukit Lawang, terutama di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Taman Nasional ini merupakan salah satu suaka margasatwa dan kawasan hutan lindung, serta tempat konservasi orangutan. Penelitian juga dilakukan pada masyarakat sekitar hutan yang bermukim dan menjadi pengelola tempat wisata Bukit Lawang, yaitu kawasan pantai (sebutan untuk daerah pinggiran sungai.

(20)

1.7. Analisis Data

Kegiatan analisis data dimulai dari peneliti mencatat setiap kejadian mengenai berbagai jawaban sebanyak mungkin yang menyangkut tentang masalah yang dikemukakan oleh peneliti. Kemudian hasil pencatatan tersebut, disusun dan berupaya menggabungkan dan menghubungkan atas jawaban dari informan sehingga mencapai tujuan penelitian, dan sesuai dengan masalah penelitian. Dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk bersikap objektif, data yang diperoleh tidak dikurangi, ditambah ataupun dirubah, sehingga tidak mengurangi keaslian data yang diperoleh oleh peneliti dilapangan.

Dalam menggunakan tehnik analisis data yang melakukan pengolahan data agar lebih mudah dipahami, karena data yang terdapat dilapangan diperoleh dalam keadaan tidak beraturan, sehingga penelitian melakuan analisis data, dalam upaya mencari hubungan antara data-data tersebut. Namun dari data di lapangan, peneliti juga mencoba beradaptasi dengan persoalan yang sedang diamati, mencari dan menimbulkan peluang terhadap munculnya data-data baru atau informan baru

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh solvent-feed ratio, waktu kontak, suhu eampuran dan keeepatan putaran pengaduk terhadap volume rafinat, titik anilin, spesific gravity dan angka eetane bahan bakar diesel

Sesuai dengan fokus masalah yang akan diteliti yaitu bagaimana erotisme ditampilkan dalam lirik lagu “Cinta Satu Malam”, “Mojok di Malam Jumat”, dan “Aw Aw”

Sehati Gas dalam hal pengarsipan dan pencatatan penjualan dan produksi tabung.Sistem pengarsipan dan pencatatan sebelumnya menggunakan sistem manual sehingga

(9) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) huruf i yaitu pemanfaatan kawasan peruntukan lain

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan yaitu data analog gelombang otak dapat digunakan sebagai perintah untuk menghidupkan atau

Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan

Kewenangan sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 94, tetapi Tidak

Struktur pasar monopolistik terjadi manakala jumlah produsen atau penjual banyak dengan produk yang serupa/sejenis, namun di mana konsumen produk tersebut