• Tidak ada hasil yang ditemukan

KARAKTERISASI ANATOMI STOMATA DAUN SAGU (Metroxylon sagu Rottb.) PADA TAHAP ANAKAN DAN NYORONG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KARAKTERISASI ANATOMI STOMATA DAUN SAGU (Metroxylon sagu Rottb.) PADA TAHAP ANAKAN DAN NYORONG"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

1

KARAKTERISASI ANATOMI STOMATA DAUN SAGU (Metroxylon sagu Rottb.) PADA TAHAP ANAKAN DAN NYORONG

Nor Elina1, Fitmawati2, Dyah Iriani2

1

Mahasiswa Program Studi S1 Biologi, FMIPA-UR 2

Dosen Jurusan Biologi FMIPA-UR

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Riau Kampus Bina Widya Pekanbaru, 28293, Indonesia

e-mail: yong_ina@yahoo.co.id

ABSTRACT

The stomata density of sago increases along with sago growth. The highest starch production is found at nyorong stage. The spiny sago has higher starch production than unspiny sago, therefore it is necessary to characterize the leaf stomata at seedling and

nyorong stage. Leaf samples of spiny and unspiny sago were taken from the base of the

midrib of three different trees. The stomata observation of upper and lower epidermis of the young leaf was carried out at three different parts i.e. at the base, in the middle and at the tip of the leaf by making paradermal incisions. The result showed that the stomata density of seedling increased at the nyorong stage on both types of sago, however the highest stomata density was only found in the spiny sago. The stomata density showed a reduction from the base to the leaflet tip as well as leaf thickness.

Key words: Nyorong, Sago (Metroxylon sago Rottb.), Seedling, Stomata anatomy, Quality of starch.

ABSTRAK

Densitas stomata sagu meningkat seiring dengan tahap pertumbuhan sagu. Pembentukan pati tertinggi terjadi pada tahap nyorong. Produktivitas sagu berduri lebih tinggi dari sagu tak berduri, sehingga perlu dilakukan karakterisasi anatomi stomata daun sagu pada tahap anakan dan nyorong. Sampel daun sagu berduri dan tak berduri diambil pada pelepah bagian pangkal dari tiga pohon yang berbeda. Pengamatan stomata dilakukan pada epidermis atas dan bawah dari anak daun yang dipotong menjadi bagian pangkal, tengah dan ujung dengan membuat sayatan paradermal. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan densitas stomata terjadi dari tahap anakan sampai ke tahap nyorong pada kedua jenis sagu, namun densitas stomata tertinggi terdapat pada sagu berduri. Perubahan

(2)

2

densitas stomata mengalami penurunan dari bagian pangkal menuju ke bagaian ujung

leafleat seiring dengan berkurangnya ketebalan daun.

Kata kunci: Anakan, Anatomi stomata, Mutu pati, Nyorong, Sagu (Metroxylon sagu Rottb.).

PENDAHULUAN

Kebutuhan akan pangan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, dan krisis ketersediaan pangan di Indonesia dapat menjadi ancaman yang sangat membahayakan jika tidak segera diatasi. Upaya untuk mengatasi ketersediaan pangan salah satunya adalah dengan melakukan diversifikasi pangan dan memanfaatkan sumber daya pangan lokal. Sumber daya pangan lokal yang dapat dijadikan alternatif usaha diversifikasi pangan adalah pati dari pohon sagu (Metroxylon sagu). Pati sagu diperoleh dari ekstrak empulur batang sagu yang merupakan hasil dari proses fotosintesis. Salah satu faktor yang terlibat dalam siklus fotosintesis yaitu stomata. Kabupaten Kepulauan Meranti memiliki areal perkebunan sagu terluas di Provinsi Riau, mencapai 60.042 Ha dari total luas perkebunan sagu Riau pada tahun 2001 yaitu 61.759 Ha. Pulau Padang merupakan salah satu pulau yang memiliki luas areal sagu terbesar di Kabupaten Kepulauan Meranti yaitu seluas 9.544 Ha (Purnimasari 2010). Rahayu (2012) menyampaikan bahwa berdasarkan analisis korelasi Pearson, karakter morfologi yang berkolerasi cukup kuat adalah pucuk merah pada anakan yang dapat digunakan sebagai penanda seleksi anakan sagu karena karakter ini berkolerasi dengan tinggi tanaman dan jumlah leafleat. Karakter morfologi ini perlu dilanjutkan melalui analisis stomata leafleat pada tahap anakan dan nyorong.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September hingga Desember 2012. Sampel daun diambil dari perkebunan sagu pada habitat kilang manis di Desa Bagan Melibur Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Daun sagu pada tahap anakan diambil ketika anakan sagu berumur 2 tahun dan daun sagu nyorong diambil ketika pohon sagu berumur 10 tahun. Sampel daun diambil pada 3 pohon yang berbeda untuk jenis sagu berduri dan 3 pohon berbeda untuk jenis sagu tak berduri pada tahap anakan dan nyorong. Pada setiap pohon diambil anak daun pangkal pada pelepah bagian pangkal. Anak daun tersebut dipotong menjadi tiga bagian, sehingga didapat 72 preparat yang terdiri atas 36 preparat permukaan abaksial dan 36 preparat permukaan adaksial daun. Pengamatan stomata dilakukan dengan membuat sayatan paradermal yang diwarnai dengan safranin 0,01% dalam aquades (Sass 1951). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Analysis

of Variances (ANOVA). Hasil analisis ragam yang berpengaruh nyata diuji lanjut

menggunakan Duncan’s New Multiple Range Test (DNMRT) taraf uji 5%. Data dianalisis dengan menggunakan program SPSS versi 16.

(3)

3

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Anatomi Stomata Daun Sagu

Karakterisasi anatomi stomata dilakukan pada tahap pertumbuhan anakan dan

nyorong dari dua jenis sagu berbeda yakni sagu berduri dan tak berduri. Pengamatan

dilakukan pada epidermis atas (adaksial) dan epidermis bawah (abaksial) karena stomata terdapat pada kedua epidermis daun sagu. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tipe stomata tanaman sagu adalah tetrasiklik karena panjang poros sel tetangga sejajar dengan porus stomata (Gambar 1). Stomata daun sagu memiliki sel penutup berbentuk halter yaitu sel penjaga yang memanjang, menyempit pada bagian tengah dan menggembung pada bagian ujung.

Gambar 1. Stomata daun sagu Densitas Stomata Daun Sagu dalam Satu leafleat

Jumlah stomata daun sagu dalam satu leaflet mengalami penurunan dari bagian pangkal daun menuju ke bagian ujung daun sehingga densitas stomata yang dihasilkan juga berbeda seperti yang terlihat pada Tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Rerata Densitas Stomata Sagu Bagian Pangkal, Tengah dan Ujung dalam satu

leaflet. Epidermis Bagian Leafleat Anakan Berduri (/mm2) Nyorong Berduri (/mm2) Anakan Tak Berduri (/mm2) Nyorong Tak Berduri (/mm2) Atas (Adaksial) Ujung 16,43a 121,40a 14,17a 89,56a Tengah 26,07b 185,95b 23,23b 131,51b Pangkal 43,08c 225,07c 31,73c 181,41 c Bawah (Abaksial) Ujung 79,93a 513,04a 35,15a 454,64a Tengah 123,03b 640,60b 70,31b 527,77b Pangkal 162,70c 681,97c 130,37c 574,25c

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf 5%.

Sel tetangga Epidermis

Porus Sel penutup

(4)

4

Stomata daun sagu bagian pangkal, tengah dan ujung ditemukan pada permukaan abaksial dan adaksial, adaptasi ini akan meminimalkan kehilangan air yang lebih cepat melalui stomata pada permukaan adaksial daun yang terkena matahari. Meskipun memiliki stomata pada kedua permukaan, densitas stomata daun sagu lebih besar pada permukaan abaksial. Hal ini dikuatkan oleh Campbell et al. (1999) melalui pernyataan bahwa, pada sebagian besar tumbuhan, stomata lebih banyak di permukaan bawah daun dibandingkan dengan permukaan atas.

Hasil uji lanjut DNMRT pada taraf uji 5% menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara bagian pangkal, tengah dan ujung dalam satu leaflet dari kedua jenis sagu berbeda pada tahap pertumbuhan yang berbeda. Hal ini membuktikan bahwa densitas stomata semakin menurun dari bagian pangkal sampai bagian ujung daun seiring menurunnya ketebalan daun (Gambar 2). Pernyataan ini didukung oleh Omori et al., (2000) bahwa besarnya densitas stomata pada kedua permukaan anak daun cenderung menurun dari pangkal daun sampai bagian ujung daun.

Gambar 2. Stomata daun sagu (a) bagian pangkal, (b) bagian tengah dan (c) bagian ujung. Densitas stomata pada tahap anakan lebih kecil dibandingkan densitas stomata pada tahap nyorong (Tabel 1 dan Gambar 3). Hal ini menandakan bahwa terjadi penambahan jumlah stomata pada kedua permukaan di bagian pangkal, tengah dan ujung untuk kedua jenis sagu tersebut sehingga densitas stomata mengalami peningkatan. Diduga peningkatan densitas stomata pada kedua permukaan daun terjadi sejak anakan sagu berumur sekitar 2 tahun dan masih tetap meningkat selama tahap pembentukan batang. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan terhadap stomata daun sagu oleh Omori et al. (2000) yang mengatakan bahwa densitas stomata abaksial meningkat dari umur sagu 1-3 tahun (400 - 900/mm2) dan meningkat secara perlahan (1000/mm2) pada umur 5 tahun yakni pada tahap pembentukan batang. Pada permukaan adaksial, densitas stomata juga meningkat bersamaan dengan umur sagu, tetapi densitas permukaan adaksial (50 - 120/mm2) lebih kecil dari pada permukaan abaksial (400-1000/mm2).

b c

a

(5)

5

Gambar 3. Stomata daun sagu pada tahap (a) anakan dan (b) nyorong berduri; (c) anakan dan (d) nyorong tak berduri.

Densitas stomata tertinggi pada tahap anakan dan nyorong dimiliki oleh jenis sagu berduri. Hal ini terlihat dari hasil pengamatan pada ketiga bagian daun (pangkal, tengah dan ujung), anakan berduri memiliki densitas stomata yang lebih tinggi dibandingkan anakan tak berduri. Begitu juga pada tahap nyorong, nyorong berduri memiliki densitas stomata yang lebih tinggi dibandingkan nyorong tak berduri. Tingginya densitas stomata tergantung dari banyaknya jumlah stomata pada daun. Dari hasil pengamatan, jenis sagu berduri memiliki jumlah stomata yang lebih banyak dibandingkan dengan jenis sagu tak berduri. Banyaknya jumlah stomata pada jenis sagu berduri membuat densitas stomata meningkat sehingga hasil fotosintesis juga mengalami peningkatan. Hal ini didukung dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rahayu (2012) di lokasi yang sama dan mendapatkan hasil bahwa produktivitas pati dari jenis sagu berduri (21,05/100 gram empulur) lebih tinggi daripada pati dari jenis sagu tak berduri (17,47/100 gram empulur).

a b

d c

50 µm 50 µm

(6)

6

Ukuran Porus, Sel Penutup dan Sel Tetangga Stomata Daun Sagu

Hasil pengamatan menunjukkan terdapat perbedaan ukuran porus, sel penutup dan sel tetangga pada stomata daun sagu (Tabel 2) berikut ini:

Tabel 2. Rerata Pengukuran Porus, Sel Penutup dan Sel Tetangga Stomata Epidermis Tahap

Pertumbuhan

Porus Sel Penutup Sel Tetangga Panjang Lebar Panjang Lebar Panjang Lebar

Atas (Adaksial) Anakan Berduri 18,49b 5,16b 24,48b 7,44ab 29,96b 7,56a Nyorong Berduri 16,66 a 5,09b 22,60a 7,93bc 28,51ab 7,62a Anakan Tak Berduri 15,93 a 4,19a 22,08a 7,16a 27,87a 7,96ab Nyorong Tak Berduri 16,15 a 4,08a 22,65a 8,33c 28,61ab 8,21b Bawah (Abaksial) Anakan Berduri 19,19b 5,09c 24,38b 7,04a 29,91b 7,71a Nyorong Berduri 16,05 a 4,51b 22,16a 7,87b 27,96a 7,90ab Anakan Tak Berduri 16,08 a 3,92a 22,47a 7,10a 29,04ab 8,20b Nyorong Tak Berduri 16,27 a 4,36b 22,56a 7,81b 28,61ab 7,93ab

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf 5%.

Berdasarkan tabel hasil uji lanjut DNMRT pada taraf 5% pada permukaan adaksial dan abaksial daun, panjang porus anakan berduri berbeda nyata terhadap anakan tak berduri. Panjang porus anakan berduri juga terlihat berbeda nyata terhadap nyorong berduri, namun panjang porus pada anakan tak berduri tidak berbeda nyata terhadap

nyorong tak berduri. Hal ini diduga sejak tahap anakan berumur 2 tahun, anakan sagu

berduri telah melakukan input CO2 lebih besar dibandingkan anakan sagu tak berduri sehingga pati yang diproduksi oleh sagu berduri pada tahap nyorong jauh lebih tinggi. Tingginya produktivitas pati yang dihasilkan melalui fotosintesis berkaitan erat dengan ukuran porus pada stomata. Besarnya porus menunjukkan bahwa terjadinya peningkatan laju transpirasi sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Gardner et al. (1985) bahwa peningkatan laju transpirasi dapat dilakukan dengan memperbesar porus atau jumlah stomata. Dengan transpirasi, laju unsur hara tetap berlangsung dan turgor yang berlebih dapat dicegah. Transpirasi dapat menurunkan potensial air di dalam sel sehingga turgor

menjadi tidak terlalu tinggi, namun penutupan stomata penting untuk mencegah kehilangan

air pada waktu persediaan air terbatas sekaligus membatasi pengambilan CO2 untuk fotosintesis.

Panjangnya porus dalam memproduksi pati berkorelasi dengan lebar porus. Tingginya nilai lebar porus pada permukaan adaksial dan abaksial daun sagu anakan berduri menunjukkan bahwa peningkatan laju transpirasi pada jenis sagu berduri telah dimulai sejak tahap anakan. Pada tahap nyorong berduri, lebar porus sedikit berkurang tetapi transpirasi pada tahap nyorong tetap terjadi namun peningkatan laju transpirasi lebih besar terjadi pada tahap anakan berduri. Hal ini terlihat dari nilai lebar porus pada tahap

(7)

7

nyorong berduri yang tidak jauh berbeda terhadap lebar porus pada anakan berduri.

Peningkatan laju transpirasi pada sagu tak berduri lebih rendah dibandingkan dengan sagu berduri, hal ini dapat dilihat dari kecilnya lebar porus yang dimiliki oleh anakan tak berduri dan nyorong tak berduri. Terjadinya perbedaan ini diduga karena ada perubahan tekanan turgor yang berbeda pula pada sel penutup yang terdapat di kedua jenis sagu tersebut seperti yang telah dikemukakan oleh Lakitan (1996) bahwa mekanisme menutup dan membukanya stomata tergantung dari tekanan turgor sel tanaman, atau karena perubahan konsentrasi karbondioksida, berkurangnya cahaya dan hormon asam absisat. Pernyataan ini juga didukung oleh Fahn (1991) bahwa bertambah dan berkurangnya ukuran celah pada sel penutup adalah akibat perubahan tekanan turgor pada sel penutup.

Panjang sel penutup pada permukaan adaksial dan abaksial daun sagu anakan berduri berbeda nyata terhadap nyorong berduri, sedangkan panjang sel penutup pada anakan tak berduri dan nyorong tak berduri tidak terlihat perbedaan nyata. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi penambahan atau pengurangan panjang porus dan panjang sel penutup yang drastis dari tahap anakan menuju ke tahap nyorong, karena adanya sel penutup dengan serat halus selulosa yang tidak elastis di dinding selnya, sehingga sel penutup hanya melebar dan panjang stomata dalam keadaan tetap saat membuka. Pernyataan tersebut didukung oleh Haryanti et al. (2009) yang menyatakan bahwa sifat serat selulosa ini relatif tidak elastis, sehingga sel penutup tidak memanjang melainkan melebar. Dengan demikian saat membuka, panjang stomata relatif tetap.

Berbeda dengan panjang sel penutup, peningkatan lebar sel penutup terjadi dari tahap anakan sampai ke tahap nyorong. Berdasarkan hasil pengamatan, baik sagu berduri maupun sagu tak berduri mengalami peningkatan lebar sel penutup pada kedua epidermis. Hal ini diduga karena besarnya tekanan turgor yang terjadi pada sel penutup selama proses pertumbuhan dari anakan sampai ke tahap nyorong. Tekanan turgor bisa menyebabkan sel penutup membengkak sehingga lebar sel penutup bertambah, sebagaimana telah dikemukakan oleh Campbell et al. (2003) bahwa sel penutup mengontrol diameter stomata dengan cara mengubah bentuk yang akan melebarkan dan menyempitkan celah di antara kedua sel tersebut. Ketika sel penutup mengambil air melalui osmosis, sel penutup akan membengkak dan semakin dalam keadaan turgid. Perubahan tekanan turgor yang menyebabkan pembukaan dan penutupan stomata terutama disebabkan oleh pengambilan dan kehilangan ion kalium (K) secara reversibel oleh sel penutup.

Panjang sel tetangga anakan berduri berbeda nyata terhadap anakan tak berduri pada permukaan adaksial daun, namun panjang sel tetangga pada permukaan abaksial daun anakan berduri berbeda nyata dengan nyorong berduri. Meskipun demikian, nilai panjang sel tetangga hampir sama untuk kedua jenis sagu pada kedua tahap pertumbuhan. Ukuran sel tetangga yang diduga berhubungan erat dengan lebar porus adalah lebar sel tetangga. Tingginya nilai lebar porus anakan berduri pada kedua epidermis menandakan lajunya transpirasi yang terjadi sehingga tekanan turgor sel tetangga cenderung lebih rendah. Hal ini terlihat dari hasil lebar sel tetangga anakan berduri lebih rendah dibandingkan lebar sel tetangga pada anakan tak berduri, sedangkan lebar porus pada anakan berduri lebih tinggi dibandingkan dengan lebar porus pada anakan tak berduri.

(8)

8

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, terjadi peningkatan densitas stomata dari tahap anakan sampai ke tahap nyorong pada kedua jenis sagu. Densitas stomata tertinggi untuk tahap anakan dan nyorong terdapat pada sagu berduri. Tingginya densitas stomata menentukan produktivitas pati yang dihasilkan.

Hasil penelitian “Karakterisasi anatomi stomata daun sagu (Metroxylon sagu Rottb.) pada tahap anakan dan nyorong”, dapat dilanjutkan dengan penelitian terhadap anatomi stomata daun sagu pada tahap sapihan (sapling) dan tahap tiang (pole) untuk melihat peningkatan densitas stomata pada setiap tahap pertumbuhan tanaman sagu.

DAFTAR PUSTAKA

Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 1999. Biologi Jilid 2, Edisi ke-2. Erlangga. Jakarta. Cambell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2003. Biologi. Alih Bahasa : L Rahayu, EIM Adil, N

Anita, Andri ,WF Wibowo, W Manalu. Penerbit Erlangga. Jakarta.

Fahn A. 1991. Anatomi tumbuhan, Edisi ke-3. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Gardner FP, RB Pearce, RL Mitchell. 1985. Physiology of Crop Plant. Iowa: The Iowa

State UniversityPress.

Haryanti S dan T Meirina. 2009. Optimalisasi Pembukaan Porus Stomata Daun Kedelai

(Glycine max (L) Merril) pada Pagi Hari dan Sore. Volume 11: Hal 18-23.

Lakitan B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. Jakarta: Rajawali Pers.

Omori K, Y Yamamoto, Y Nitta, T Yoshida, K Kakuda and FS Jong. 2000. Stomatal

density of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) with special references to positional differences in leaflets and leaves, and change by palm age.

http://www.tr.yamagata-u.ac.jp/-handou/publication/00-9.html. [10 Juli 2012].

Purnimasari. 29 Agustus 2010. Disaat Sagu Jadi Nafas Kehidupan: Menggantung Asa di

Pelepah Rumbia. Riau Pos. Pekanbaru.

Rahayu Y. 2012. Analisis Keanekaragaman Sagu (Metroxylon sagu) pada Tiga Tipe

Habitat di Pulau Padang, Kepulauan Meranti. [Skripsi]. Pekanbaru: Universitas

Riau.

Gambar

Gambar 1. Stomata daun sagu  Densitas Stomata Daun Sagu dalam Satu leafleat
Gambar 2. Stomata daun sagu (a) bagian pangkal, (b) bagian tengah dan (c) bagian ujung
Gambar 3.  Stomata daun sagu pada tahap (a) anakan dan (b)  nyorong  berduri; (c) anakan  dan (d) nyorong tak berduri

Referensi

Dokumen terkait

Teknologi pemupukan nitrogen (N) yang digunakan di Indonesia sampai hari ini adalah mengikuti dosis anjuran (Metode dosis) yang dikeluarkan oleh pabrik gula (PG). Teknologi ini

Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan UmumNomor 9 Tahun 2015 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil

memeriksa kualitas dan administrasi serta melaksanakan inventarisasi dan pencatatan barang/aset dan melaporkan pelaksanaannya ke kepala daerah. 8 Kepala bidang aset BPKD Kabupaten

Proses modifikasi adsorben terxantasi merupakan proses yang cukup baik, karena dapat meningkatkan performa dari adsorben (afinitas dan kapasitas adsorpsi dapat

Wanita, 56 tahun datang ke Rumah Sakit Bhayangkara Makassar, dengan keluhan  bercak-bercak merah pada seluruh tubuh yang dideritainya sejak 6 hari yang

Secara geologi endapan gambut terdapat pada dataran rendah yang disusun satuan endapan aluvium yang terbentuk Kala Holosen dan berada diatas batupasir dari Formasi Kuke yang

KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan dari penelitian adalah suplementasi dan proteksi minyak biji kapuk tidak mempengaruhi hasil fermentasi ruminal, namun menurunkan

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa adanya pengaruh yang signifikan dari intensi menggunakan sebagai variabel mediasi terhadap variabel