• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penyampaiannya, kebudayaan dapat divisualisasikan melalui bahasa. Dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penyampaiannya, kebudayaan dapat divisualisasikan melalui bahasa. Dengan"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keanekaragaman kebudayaan Jawa sangat menarik untuk diteliti. Dalam penyampaiannya, kebudayaan dapat divisualisasikan melalui bahasa. Dengan bahasa, maka kebudayaan dapat dikenal dan berkembang di masyarakat.

Para petani mengekspresikan tentang apa yang dirasakan, dipikirkan dan dilihatnya dengan bahasa verbal. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dalam anggota masyarakat pemakai bahasa dan merupakan dokumentasi kegiatan atau aktivitas hidup manusia. Selain itu, bahasa berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan invetaris ciri-ciri kebudayaan (Nababan, 1993: 38). Petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar masih menggunakan bahasa verbal tertentu dalam aktivitasnya bertani. Setiap daerah memiliki bahasa yang berbeda untuk mengungkapkan bentuk aktivitasnya, begitu pula petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar yang mayoritas masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani terutama petani padi karena sebagian besar tanah di desa tersebut merupakan sawah pertanian padi.

Pada umumnya bahasa yang digunakan petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar merupakan piranti untuk mencapai sistem pengetahuan masyarakat di daerah tersebut, melalui pengungkapannya dapat diketahui pandangan hidup, pandangan dunia atau pola pikir pendukung budaya

(2)

masyarakatnya. Bahasa dalam budaya Jawa yang berupa istilah-istilah aktivitas pertanian padi biasanya terkandung kearifan lokal berupa pengetahuan-pengetahuan.

Pentingnya masalah bahasa dalam budaya tersebut dikaji karena dalam ranah pertanian tersimpan sistem pengetahuan tradisional para petani yang diwariskan secara turun temurun. Sistem pengetahuan tersebut menyiratkan kearifan lokal yang perlu diberdayakan dan dikembangkan untuk merevitalisasi keunggulan budaya warisan leluhur.

Dewasa ini, banyak generasi muda yang tidak mengetahui tentang bahasa Jawa dan budaya dalam aktivitas pertanian padi seperti: kêrik „menghaluskan sawah agar siap untuk ditanami padi‟, ndhaut ‘mecabut benih padi‟, ngalisi ‘membersihkan pematang sawah‟, mberok ‘menanam padi menggunakan bantuan tali‟, apalagi makna dari bahasa tersebut. Oleh karena hal-hal tersebut, bahasa dalam budaya Jawa terkait istilah-istilah aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar penting untuk dikaji melalui disiplin ilmu etnolinguistik. Alasan penelitian mengenai bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi dapat dikaji secara etnolinguistik berdasarkan pengertian bahwa objek kajian etnolinguistik adalah berusaha mencari hubungan bahasa dan budaya yang terdapat di dalam masyarakat. Berdasarkan fakta dalam masyarakat di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar yang masih mengenal dan memakai istilah-istilah aktivitas pertanian padi secara turun temurun tersebut, maka dapat digali hubungan makna bahasa dan budaya Jawa yang terdapat di balik pemakaian istilah aktivitas pertanian padi secara

(3)

linguistik. Dalam penelitian ini, penulis ingin ikut melestarikan budaya sehingga generasi muda dapat memahami budaya yang dimilikinya.

Secara linguistik pengkajian bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi tersebut perlu adanya pengkajian dari aspek mikrolinguistik dan makrolinguistik. Mikrolinguistik mempelajari bahasa di dalamnya, dengan perkataan lain, mempelajari struktur bahasa itu sendiri (Kridalaksana, 2008: 154). Objek kajian mikrolinguistik mencakup cabang fonologi, sintaksis, leksikon, dan morfologi (Chaer, 2014: 4). Sedangkan makrolinguistik adalah bidang linguistik yang mempelajari bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa, termasuk didalamnya bidang interdisipliner dan bidang terapan (Kridalaksana, 2008: 149). Salah satu bidang terapan yang dikaji makrolinguistik adalah etnolinguistik. Berdasarkan pengertian mengenai aspek mikrolinguistik dan makrolinguistik tersebut, maka dalam penelitian ini aspek mikrolinguistik yang akan dikaji meliputi aspek morfologi dan sintaksis. Pengkajian dari aspek morfologi bertujuan untuk mengklasifikasi bentuk bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi, apakah terdiri atas satu morfem (monomorfemis) atau terdiri lebih dari satu morfem (polimorfemis) sedangkan pengkajian dari aspek sintaksis bertujuan untuk mengklasifikasi bentuk bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi apakah berbentuk berbentuk frase atau berbentuk klausa. Sedangkan aspek makrolinguistik yang akan dikaji dalam penelitian ini yakni pencermatan terhadap keterkaitan antara makna leksikal dan makna kultural yang terangkum dalam bahasa dan budaya terkait aktivitas pertanian padi secara mendalam atas data penelitian yang didapatkan yang

(4)

merupakan cerminan kognisi, pandangan hidup, pandangan dunia dan pola pikir masyarakat di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar.

Hal tersebut terekspresikan dalam bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi yang dapat dideskripsikan melalui interdisipliner etnolinguistik sebagai berikut.

Dêrêp [d|r|p]

Satuan lingual dêrêp berbentuk monomorfemis. Satuan lingual dêrêp berkategori verba yang dapat berdiri sendiri, berarti dan belum mengalami proses morfologis.

Dêrêp yaiku mèlu nggarap sawah sarta ngênèni (opahane bawon) „ikut menggarap sawah dan mengunduh (upahnya bulir-bulir padi)‟ (Poerwadarminta, 1939: 206). Makna leksikal dêrêp adalah ikut menggarap sawah dan memanennya kemudian mendapat upah berupa bulir-bulir padi yang biasa disebut bawon.

Makna kultural dêrêp menurut informan berasal dari jarwa dhosok diêrêp-êrêp yang bermakna harapkan, karena ddiêrêp-êrêp yang selalu diharap-harapkan oleh buruh tani saat panen tiba agar nantinya mendapatkan bawon. Dêrêp dilakukan dengan mengunduh padi dengan cara membantu atau menjadi buruh saat panen pada petani lain saat panen dan mendapat upah yang disebut bawon. Bawon yaitu gabah „bulir-bulir padi‟ sebagai upah.

Deskripsi makna leksikal dan makna kultural tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar menyebut aktivitas tersebut dengan satuan lingual dêrêp bukan sekedar penamaan belaka namun ada makna yang terkandung di dalamnya. Selain

(5)

itu, istilah aktivitas terkait pertanian padi yang lain dalam bentuk yang berbeda pasti akan memiliki makna yang berbeda pula.

Para Petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar memiliki pola pikir yang berupa prinsip dan aturan dalam mempersiapkan benih yang akan disebar, benih yang akan disebar harus dijemur sampai kering kemudian direndam. Cara merendam gabah yang dilakukan petani satu dan petani lainnya berbeda-beda, ada yang setelah dijemur kering langsung dimasukkan ke dalam ember yang berisi air dingin, ada pula yang menggunakan air mendidih saat merendam gabah, yang sebelumnya air mendidih dimasukkan garam sedikit setelah itu gabah dimasukkan, garam dipercaya dapat memperbanyak dan mempercepat tumbuhnya gabah. Gabah direndam selama satu hari satu malam dalam ember atau bak, kemudian setelah itu gabah bisa diangkat untuk selanjutnya dipêp „menutup rapat agar tidak terkena angin‟ dalam karung dan di atas gabah diberi daun sarilaya selanjutnya karung bisa ditutup rapat, setelah itu karung yang berisi gabah dimasukkan ke dalam tenggok dan disimpan di tempat yang lembab selama dua hari. Ngêpêp gabah dilakukan agar gabah tidak terkena angin yang nantinya akan membuat gabah menjadi lembab dan dapat tumbuh. Jika sudah dua hari gabah sudah mulai tumbuh maka gabah siap untuk disebar. Gabah yang dijadikan benih tidak boleh sembarangan, gabah harus berkualitas baik, karena masyarakat Desa Bangsri berpandangan bahwa jika menanam benih yang baik maka hasil yang akan diunduh nantinya akan baik pula. Pandangan terhadap dunia masyarakat petani Desa Bangsri yakni masyarakat petani menyebar benih di tanah yang subur, tanah merupakan bagian dari

(6)

dunia, menyebar benih di tanah yang subur dan gembur akan membuat benih dapat tumbuh subur pula, sehingga dapat mempercepat proses menanam padi dengan begitu tanaman padi akan cepat berbuah.

Dari deskripsi tersebut dapat disimpulkan bahwa melalui pengungkapan bahasa dalam budaya terkait aktivitas pertanian padi dapat diketahui pola pikir berupa prinsip-prinsip dan aturan-aturan, pandangan hidup dan pandangan terhadap dunia masyarakat Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar.

Berdasarkan penelusuran yang telah penulis lakukan, penelitian ini belum pernah dilakukan. Ada pun penelitian sebelumnya yang sejenis sebagai berikut.

Penelitian M. V. Sri Hartini H.S. Program Studi Linguistik Deskriptif, Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret (2014) untuk disertasi yang berjudul “Kategori dan Ekspresi Linguistik sebagai Cermin Kearifan Lokal Etnik Jawa di Kabupaten Kebumen Kajian Etnolinguistik Komunitas Petani” yang mengkaji tentang kategori dan ekspresi linguistik yang ditemukan dalam ranah pertanian komunitas petani etnik Jawa yang mencerminkan pemikiran kolektif dan kearifan lokal daerah Kabupaten Kebumen, eksistensi foklor di daerah penelitian yang mencerminkan kearifan lokal petani, pengungkapan pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan dunia komunitas petani Jawa di daerah penelitian di balik ranah bahasa dan budaya yang mencerminkan kearifan lokal, serta alasan ditemukan karakteristik bahasa dan budaya dalam komunitas petani di daerah penelitian sebagai daerah transisi dengan daerah budaya dan daerah periferal.

(7)

Penelitian Dwi Haryanti dan Agus Budi Wahyudi, PBS FKIP, Universitas Muhammadiyah Surakarta (2005) yang dimuat dalam jurnal Kajian Linguistik dan Sastra terbitan Fakultas Ilmu Budaya, UGM Vol. 19 no. 1, Juni 2007: 35-50 yang berjudul “Ungkapan Etnis Petani Jawa di Desa Japanan, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten Kajian Etnolinguistik”. Penelitian ini mengkaji tentang bentuk dan maksud ungkapan para petani di desa tersebut.

Inyo Yos Fernandez, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada menulis hasil penelitiannya dalam jurnal terbitan Fakultas Ilmu Budaya, UGM yaitu, jurnal Kajian Linguistik dan Sastra Vol. 20 no. 2, terbit Desember 2008: 166-177 dengan judul “Kategori dan Ekspresi Linguistik dalam Bahasa Jawa sebagai Cermin Kearifan Lokal Penuturnya: Kajian Etnolinguistik pada Masyarakat Petani dan Nelayan”. Penelitian ini mengkaji tentang pemakaian kosa kata khusus sebagai cermin kearifan lokal yang terkait dengan pertanian atau nelayan oleh petani di Petungkriyonom, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, petani dataran tinggi di Desa Wonosari, Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur, nelayan di Desa Kemadang, Baron, Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta dan Desa Puger di Jember, Jawa Timur.

Penelitian Bebetho Frederick Kamsiadi, Bambang Wibisono, Andang Subaharinto, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Jember (2013) menulis hasil penelitian yang dimuat dalam jurnal Publika Budaya terbitan Bidang Ilmu Budaya dan Media, Universitas Jember Vol. 1 no. 1 November 2013: 64-78 yang berjudul “Istilah-Istilah yang digunakan pada Acara Ritual Petik Pari oleh Masyarakat Jawa di Desa Sumberpucung Kabupaten Malang (Kajian Etnolinguistik)”. Penelitian ini mendeskripsikan dan menjelaskan tentang bentuk,

(8)

makna, dan penggunaan istilah-istilah yang digunakan pada ritual petik pari oleh masyarakat Jawa di Desa Sumberpucung Kabupaten Malang.

Penelitian Saharudin dan Syarifuddin, Fakultas Tarbiyah IAI Qamarul Huda Lombok Tengah, NTB yang dimuat dalam jurnal Adabiyyat terbitan Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Vol. XI no. 1 Juni 2012 yang berjudul “Kategori dan Ekspresi Linguistik dalam Bahasa Sasak pada Ranah Pertanian Tradisional: Kajian Etnosemantik”. Penelitian ini mengkaji tentang kategori dan ekspresi linguistik bidang pertanian Sasak tradisional di pulau Lombok yang berupa kosakata-kosakata beserta makna generiknya.

Penelitian Nurshopia Agustina, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS, UPI (2014) untuk skripsi tentang “Cermin Budaya dalam Leksikon Perkakas Pertanian Tradisional di Pengauban, Kabupaten Bandung (Suatu Kajian Etnolinguistik)” yang mengkaji tentang konsep cermin budaya dalam leksikon perkakas pertanian bahasa Sunda dan klasifikasinya.

Rizal Ari Andani, Program Studi Sastra Daerah, FIB, UNS (2015) untuk skripsi tentang “Istilah-Istilah Sesaji Cok Bakal Menjelang Panen Padi di Desa Sidomulyo Kecamatan Wates Kabupaten Kediri (Kajian Etnolinguistik)” yang mengkaji tentang istilah-istilah, makna leksikal dan makna kultural sesaji cok bakal menjelang panen padi di Desa Sidomulyo Kecamatan Wates Kabupaten Kediri.

Penelitian Fanny Henry Tondo, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dimuat dalam jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, terbitan Badan Penelitian dan Pengembangan

(9)

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Vol. 18, no. 2, Juni 2012 yang berjudul “Bahasa Minoritas Hamap dalam Perkebunan Jagung (Tinjauan Etnolinguistik)”. Penelitian ini mengkaji tentang bentuk-bentuk bahasa yang digunakan oleh orang Hamap di perkebunan jagung.

Penelitian Intan Arvin Yunaeni, Jurusan Sastra Daerah, FSSR, UNS (2014) untuk skripsi tentang “Istilah-istilah Gerak Tari Srimpi Dhempel (Kajian Etnolinguistik)” yang mengkaji tentang bentuk, makna leksikal dan makna kultural istilah-istilah gerak tari Srimpi Dhempel di Keraton Kasunanan Surakarta.

Penelitian Dwi Lestari, Program Studi Sastra Daerah, FIB, UNS (2015) untuk skripsi tentang “Bahasa dan Budaya Jawa dalam Tanaman Berkhasiat Obat Tradisional di Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur (Kajian Etnolinguistik)” yang mengkaji tentang hubungan bahasa dan budaya Jawa, makna leksikal dan makna kultural yang terangkum dalam nama tanaman berkhasiat obat tradisional di Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.

Penelitian tersebut digunakan sebagai acuan dalam menganalisis bentuk, makna, pola pikir, pandangan hidup dan pandangan terhadap dunia penuturnya dalam bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas dan hasil pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penelitian yang mengkaji bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar dari perspektif kajian etnolinguistik belum pernah dilakukan. Maka dari itu, penelitian yang akan dilakukan ini mengkaji bahasa dalam budaya Jawa yang berupa istilah-istilah

(10)

aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar yang terkait dengan aktivitas, cara kerja, dan cara mengelola hasil. Dalam hal ini peneliti meneliti tentang bentuk bahasa dalam budaya, makna leksikal dan makna kultural serta pola pikir, pandangan hidup dan pandangan terhadap dunia dari bahasa Jawa petani yang terkait dengan aktivitasnya di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar. Dalam penelitian ini, makna kultural atau makna yang dimiliki oleh penuturnya akan terjaga, sehingga ajaran yang terkandung dalam bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi akan menambah pengetahuan pembaca. Ada pun judul yang dipilih untuk penelitian ini adalah “Bahasa dalam Budaya Jawa terkait Aktivitas Pertanian Padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar (Kajian Etnolinguistik)”.

B. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam sebuah penelitian sangat diperlukan. Hal ini dimaksudkan agar permasalahan yang akan dikaji tidak meluas pada pembahasan lain. Penelitian yang berjudul “Bahasa dalam Budaya Jawa terkait Aktivitas Pertanian Padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar (Kajian Etnolinguistik)”, penulis membatasi permasalahan yang dikaji, yaitu mengenai bentuk bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar yang berupa monomorfemis, polimorfemis, frase, klausa, mengenai makna leksikal dan makna kultural yang terangkum dalam bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, mengenai pola pikir, pandangan hidup dan pandangan

(11)

terhadap dunia masyarakat petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar.

C. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah bentuk bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar?

2. Apakah makna leksikal dan makna kultural yang terangkum dalam bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar?

3. Bagaimanakah pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan terhadap dunia masyarakat petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar?

D. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan bentuk bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar.

(12)

2. Mendeskripsikan makna leksikal dan makna kultural yang terangkum dalam bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar.

3. Mendeskripsikan pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan terhadap dunia masyarakat petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dibedakan bersifat teoretis dan praktis.

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat teoretis yaitu menambah khazanah teoretis tentang etnolinguistik.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat praktis sebagai berikut. a. Terdokumentasikannya istilah-istilah aktivitas terkait pertanian padi di

Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar beserta cara kerja dan makna kulturalnya.

b. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat pada umumnya dan masyarakat di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar tentang aktivitas-aktivitas terkait pertanian padi.

(13)

F. Landasan Teori

1. Bahasa dan Budaya Jawa a. Bahasa Jawa

Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Gorys Keraf, 2004: 1). Bahasa merupakan manifestasi terpenting dari kehidupan mental penuturnya dan dapat digunakan sebagai dasar pengklasifikasian pengalaman (Franz Boas dalam Abdullah, 2014: 5). Bahasa (language) adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana, 2008: 24). Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dalam anggota masyarakat pemakai bahasa dan merupakan dokumentasi kegiatan atau aktivitas hidup manusia. Selain itu, bahasa berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan invetaris ciri-ciri kebudayaan (Nababan, 1993: 38).

Bedasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah alat komunikasi berupa simbol bunyi yang bersifat arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, yang merupakan bagian dari manifestasi terpenting dari kehidupan penuturnya, yang dipergunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Selain itu, bahasa berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan. Bahasa Jawa berarti alat komunikasi berupa simbol bunyi yang bersifat arbitrer yang dihasilkan oleh alat

(14)

ucap orang Jawa, yang merupakan bagian dari manifestasi terpenting dari kehidupan penuturnya, yang dipergunakan oleh anggota masyarakat Jawa untuk bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasikan diri. Selain itu, bahasa tersebut berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan Jawa.

b. Budaya Jawa

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1990: 180). Kata kebudayaan dan kata culture. Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti „budi‟ atau „akal‟, dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal (Koentjaraningrat, 1990: 181). Adapun kata culture, yang merupakan kata asing yang sama artinya dengan kebudayaan berasal dari kata Latin colere yang berarti „mengolah, mengerjakan‟ terutama mengolah tanah atau bertani, dari kata itu berkembang arti culture sebagai „segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam‟ (Koentjaraningrat, 1990: 182). Koentjaraningrat membagi kebudayaan atas 7 unsur yaitu sistem religi, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan, bahasa, dan kesenian. (Koentjaraningrat, 1990: 203).

(15)

Selain itu Koentjaraningrat(1983: 5) juga membagi kebudayaan atas 3 wujud yakni:

1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya. 2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan

berpola dari manusia dalam masyarakat.

3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Jadi budaya Jawa adalah keseluruhan budi, sistem gagasan, nilai-nilai, aktivitas, dan hasil karya yang dimiliki manusia Jawa dalam kehidupan masyarakat Jawa yang didapatkan melalui proses belajar. Aktivitas pertanian padi merupakan wujud kebudayaan Jawa.

c. Keterkaitan Bahasa dan Budaya

Robert Sibarani menjelaskan dalam hubungan bahasa dan kebudayaan, bahasa berperan sebagai alat atau sarana kebudayaan, baik untuk perkembangan, transmisi maupun penginventarisanya. Pengembangan konsep-konsep budaya selalu dilakukan dengan bantuan bahasa. Pola pikir, tingkah laku, adat istiadat, dan unsur kebudayaan lainnya hanya bisa disampaikan melalui bahasa. Selain itu bahasa sebagai suatu sistem komunikasi merupakan wujud kebudayaan yang termasuk sistem sosial yang mendasari tindakan berpola manusia. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Bahasa digolongkan sebagai unsur kebudayaan karena pada hakikatnya bahasa mengikuti kebudayaan. Bahasa juga merupakan hasil kebudayaan, artinya bahasa yang digunakan atau diucapkan oleh suatu kelompok masyarakat

(16)

adalah suatu refleksi atau cermin keseluruhan kebudayaan masyarakat tersebut (Sibarani dalam Sri Hartini, 2014: 16 ).

2. Istilah

Istilah (term) adalah kata atau gabungan kata dengan cermat mengungkapkan konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu (Kridalaksana, 2008: 97). Istilah adalah perkataan yang khusus mengandung arti yang tertentu di lingkungan sesuatu ilmu pengetahuan, pekerjaan atau kesenian (Poerwadarminta, 1976: 388).

Berkaitan dengan penelitian ini, peneliti menyimpulkan bahwa istilah adalah kata atau gabungan kata sebagai penyebutan atau penamaan terhadap sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan yang memiliki maksud tertentu.

3. Makna

Makna adalah maksud pembicara, pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia, hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya, cara menggunakan lambang-lambang bahasa (Kridalaksana, 2008: 148). Makna adalah arti yang dimiliki oleh sebuah kata (leksem) karena hubungannya dengan makna leksem lain dalam sebuah tuturan (Edi subroto, 2011: 23).

Penelitian ini akan membahas lebih lanjut makna leksikal dan kultural dari bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas pertanian di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar.

(17)

a. Makna Leksikal

Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apa pun (Chaer, 2014: 289). Makna leksikal ini dipunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaannya atau konteksnya (Kridalaksana, 2008: 149). Makna leksikal (lexical meaning) atau makna semantik (semantic meaning), atau makna eksternal (external meaning) adalah makna kata ketika kata itu berdiri sendiri, entah dalam bentuk leksem atau bentuk berimbuhan yang maknanya kurang lebih tetap, seperti yang dapat dibaca di dalam kamus bahasa tertentu (Pateda, 2001: 119). Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa makna leksikal adalah makna yang dimiliki bahasa yang terlepas dari konteks.

b. Makna Gramatikal

Makna gramatikal adalah makna yang timbul karena relasi satuan gramatikal baik dalam konstruksi morfologi, frase, klausa/kalimat (Subroto, 33: 2011).

c. Makna Kultural

Makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki bahasa sesuai dengan konteks budaya penuturnya (Subroto dalam Abdullah, 2014: 20). Konsep makna kultural ini dimaksudkan untuk lebih dalam memahami makna ekspresi verbal maupun nonverbal suatu masyarakat yang berhubungan dengan sistem pengetahuan (cognition system) terkait pola-pikir, pandangan hidup (way of life) serta pandangan terhadap dunianya (world view) suatu masyarakat (Abdullah, 2014:

(18)

20). Jadi, makna kultural adalah makna bahasa yang sesuai dengan konteks kebudayaan masyarakat penuturnya.

Berikut ini adalah contoh makna leksikal dan makna kultural yang ditemukan dari data tentang bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar ini ditemukan data sebagai berikut.

a. Makna Leksikal

Kêrik yaiku nyukur sathithik sarta dipacak rêsik „memotong sedikit dan menata bersih‟ (Poerwadarminta, 1939: 656). Makna leksikal kêrik adalah memotong sedikit dan menata bersih.

b. Makna Gramatikal

Mopok yaiku nèmplèkake blêthok lan sapiturute ing „menempelkan gumpalan tanah di‟ (Poerwadarminta, 1939: 1027). Mopok berasal dari kata popok kemudian mendapatkan prefix m- menjadi mopok. Makna gramatikal mopok adalah menempelkan gumpalan tanah pada galengan „batas petakan pada sawah‟.

c. Makna kultural

Makna kultural mopok menurut masyarakat Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar dikarenakan saat melakukan aktivitas ini blêthok „gumpalan tanah‟ yang ditaruh di

galengan „pematang sawah‟ lalu digacrokne „dipukul-pukul‟

menggunakan cangkul akan terdengar bunyi pok-pok-pok, jadi dinamakan mopok.

(19)

Mopok dilakukan setelah galengan „pematang sawah‟ sudah dialisi. Mopok dilakukan dengan cara menaruh blêthok „gumpalan tanah‟ ditaruh di galengan „pematang sawah‟ lalu digacrokne „dipukul-pukul‟ menggunakan cangkul dan dihalus-haluskan. Para petani melakukan mopok untuk memperbaiki pematang sawah agar menjadi baru serta air dapat menggenang dipetakan sawah dan air tidak bocor ke petakan sawah lain.

4. Aspek Mikrolinguistik

Mikrolinguistik adalah bidang linguistik yang mempelajari bahasa di dalamnya, dengan perkataan lain, mempelajari struktur bahasa itu sendiri atau mempelajari bahan bahasa secara langsung (Kridalaksana, 2008: 154). Objek kajian mikrolinguistik mencakup cabang fonologi, sintaksis, leksikon, dan morfologi (Chaer, 2014: 4). Penelitian ini mempergunakan aspek mikrolinguistik yaitu cabang morfologi yang meliputi teori tentang pengertian monomorfemis, polimorfemis dan cabang sintaksis yang berupa pengertian tentang frase dan klausa.

a. Monomorfemis

Monomorfemis (monomorphemic) terjadi dari suatu morfem (Kridalaksana, 2008: 157). Morfem (morpheme) merupakan satuan bunyi terkecil yang relatif stabil dan yang tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil misalnya (ter-), (di-), dan sebagainya (Kridalaksana, 2008: 158). Morfem terdiri atas dua jenis yaitu morfem bebas dan morfem terikat. Morfem bebas adalah morfem yang secara potensial dapat berdiri sendiri dan sudah memiliki makna, misal rumah,

(20)

tanah dan sebagainya sedangkan morfem terikat adalah morfem yang tidak mempunyai potensi untuk berdiri sendiri dan yang selalu terikat dengan morfem lain untuk membentuk ujaran, misal pe, juang, temu, mayur (Kridalaksana, 2008: 158).

Menurut Kentjono (1982: 44-45) satu atau lebih morfem akan menyusun sebuah kata. Kata dalam hal ini ialah satuan gramatikal bebas yang terkecil. Kata bermorfem satu disebut kata monomorfemis dengan ciri-ciri dapat berdiri sendiri sebagai kata, mempunyai makna dan berkategori jelas, sedangkan kata bermorfem lebih dari satu disebut kata polimorfemis. Penggolongan kata menjadi jenis monomorfemis dan polimorfemis adalah menggolongkan berdasarkan jumlah morfem yang menyusun kata.

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa suatu kata dapat diklasifikasikan ke dalam bentuk monomorfemis apabila kata tersebut berupa morfem bebas yaitu dapat berdiri sendiri dan bermakna.

Pentingnya penjelasan tentang monomorfemis untuk penelitian yang berjudul “Bahasa dalam Budaya Jawa terkait Aktivitas Pertanian Padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar (Kajian Etnolinguistik)” ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi bentuk bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di wilayah tersebut yang terdiri atas satu morfem. Dalam penelitian terkait bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten

(21)

Karanganyar ini ditemukan sejumlah satuan lingual yang termasuk kategori bentuk monomorfemis seperti matun, dêrêp, sulam, dsb.

b. Polimorfemis

Polimorfemis adalah kata bermorfem lebih dari satu. Kata yang dapat diklasifikasikan ke dalam bentuk polimorfemis adalah hasil kata dari proses morfologis yang berupa perangkaian morfem. Proses morfologis meliputi:

1) Afiksasi

Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar. Afiks adalah sebuah bentuk, biasanya berupa morfem terikat, yang diimbuhkan pada sebuah dasar dalam proses pembentukan kata (Chaer, 2014:177). Kata berafiks adalah kata yang mengalami proses afiksasi. Penambahan afiks dapat dilakukan di depan (prefiks), di tengah (infiks), di akhir (sufiks) serta dapat di depan dan akhir (konfiks). Afiksasi ialah proses pembubuhan afiks pada suatu bentuk baik berupa bentuk tunggal maupun bentuk kompleks untuk membentuk kata-kata baru. (Rohmadi, Muhammad, Yakub Nasucha, Agus Budi Wahyudi, 2012: 41). Afiks ialah suatu bentuk linguistik yang keberadaannya hanya untuk melekatkan diri pada bentuk-bentuk lain sehingga mampu menimbulkan makna baru (baru) terhadap bentuk-bentuk yang dilekati tadi. Bentuk-bentuk yang dilekatinya bisa terdiri atas pokok kata, kata dasar, atau bentuk kompleks (Rohmadi, Muhammad, Yakub Nasucha, Agus Budi Wahyudi, 2012: 41). Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa

(22)

afiksasi adalah proses penambahan afiks yang berupa morfem terikat pada kata dasar maupun bentuk kompleks yang menimbulkan makna baru.

2) Reduplikasi

Reduplikasi adalah perulangan bentuk atas suatu bentuk dasar. Bentuk baru sebagai hasil perulangan bentuk tersebut lazim disebut kata ulang (Rohmadi, Muhammad, Yakub Nasucha, Agus Budi Wahyudi, 2012: 83). Reduplikasi adalah proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, secara sebagian (parsial), maupun dengan perubahan bunyi (Chaer, 2014: 182). Reduplikasi adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonologi atau gramatikal (Kridalaksana, 2008: 186). Abdul Chaer (2014: 182-183) membedakan reduplikasi menjadi 3 yaitu: reduplikasi penuh, seperti meja-meja, reduplikasi sebagian seperti lelaki, dan reduplikasi dengan perubahan bunyi, seperti bolak-balik, Sutan Takdir Alisjahbana dalam Abdul Chaer (2014:183) masih mencatat adanya reduplikasi semu, seperti mondar-mandir, yaitu sejenis bentuk kata yang tampaknya sebagai hasil reduplikasi, tetapi tidak jelas bentuk dasarnya yang diulang. Jadi, reduplikasi adalah proses pengulangan kata, baik secara keseluruhan, sebagian, maupun dengan perubahan bunyi.

3) Kata Majemuk

Kata majemuk ialah dua kata atau lebih yang menjadi satu dengan lainnya erat sekali dan menunjuk atau menimbulkan satu

(23)

pengertian baru (Rohmadi, Muhammad, Yakub Nasucha, Agus Budi Wahyudi, 2012: 103). Kata majemuk adalah gabungan dua kata atau lebih yang membentuk satu kesatuan arti (Keraf, 2004: 124). Kata majemuk ialah kata yang terdiri dari dua kata sebagai unsurnya. Makna muncul bukanlah gabungan makna pada tiap unsur, melainkan makna lain dari unsur pembentuknya (Ramlan dalam Pateda, 2001: 145). Jadi, kata majemuk adalah gabungan dua kata atau lebih yang membentuk makna baru.

Pentingnya penjelasan tentang polimorfemis pada penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi bentuk bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar yang mengalami proses morfologi baik karena proses afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan. Kata polimorfemis yang ditemukan dalam penelitian ini misalnya istilah pêlakan yang termasuk dalam kelompok kata yang mengalami proses morfologi yaitu afiksasi, pêlakan berasal dari kata dasar pêlak kemudian mendapatkan sufik –an. Pêlakan berarti para petani memulai untuk menggarap sawah.

c. Frase

Frase lazimnya didefinisikan satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazimnya juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat (Chaer, 2014: 222). Frase adalah satuan gramatikal yang terdiri atas dua atau lebih dari dua kata yang tidak berciri klausa dan pada

(24)

umumnya menjadi pembentuk klausa (Kentjono, 1982: 57). Frase pada umumnya dapat diperluas dengan cara menyisipkan kata pada dua unsur kata pembentuk frase tersebut, dengan menambahkan kata di depan, di belakang maupun dengan merubah susunan frase (Kentjono, 1982: 58). Frase dapat didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak melebihi batas fungsi unsur klausa, maksud frase tidak melebihi batas fungsi unsur klausa adalah karena frase selalu terdapat dalam satu fungsi unsur klausa, yaitu sebagai subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan (Ramlan, 2001: 139).

d. Klausa

Klausa merupakan satuan sintaksis yang berada di atas satuan frase dan di bawah satuan kalimat, berupa runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen berupa kata atau frase, yang berfungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, sebagai objek, dan sebagainya. (Chaer, 2009: 41). Unsur yang cenderung selalu ada dalam klausa ialah predikat. Unsur-unsur lainnya mungkin ada mungkin juga tidak ada. (Ramlan, 2001: 80). Kehadiran predikat adalah wajib dalam sebuah konstruksi klausa (Sidu, 2013: 43).

Ramlan, 2001 menggolongkan klausa berdasarkan kategori kata atau frase yang menduduki fungsi P. Klausa digolongkan menjadi 4 yaitu: klausa nominal, klausa verbal, klausa bilangan, klausa depan.

(25)

1) Klausa Nominal

Klausa nominal ialah klausa yang P-nya terdiri dari kata atau frase golongan nomina. Misalnya: ia guru

2) Klausa Verbal

Klausa verbal ialah klausa yang P-nya terdiri dari kata atau frase golongan verba.

3) Klausa Bilangan

Klausa bilangan atau klausa numerial ialah klausa yang P-nya terdiri dari kata atau frase golongan bilangan. Misalnya: roda truk itu enam, kerbau petani itu hanya dua ekor

4) Klausa Depan

Klausa depan atau klausa yang P-nya terdiri dari frase depan, yaitu frase yang diawali oleh kata depan sebagai penanda. Misalnya: beras itu dari Delanggu, orang tuanya di rumah. Pentingnya penjelasan tentang klausa pada penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi bentuk bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar yang berbentuk klausa. Satuan lingual yang berbentuk klausa yang ditemukan dalam penelitian ini misalnya istilah meme gabah, satuan lingual meme gabah berasal dari kata meme (verba) dan kata gabah (nomina). Meme memiliki fungsi sebagai predikat dan gabah berfungsi sebagai objek. meme gabah berarti dikeringkan di bawah terik sinar matahari.

(26)

5. Aspek Makrolinguistik

Makrolinguistik adalah bidang linguistik yang mempelajari bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa, termasuk didalamnya bidang interdisipliner dan bidang terapan (Kridalaksana, 2008: 149). Salah satu bidang terapan yang dikaji makrolinguistik adalah etnolinguistik. Aspek makrolinguistik yang dipergunakan dalam penelitian dengan kajian perspektif etnolinguistik ini yaitu teori tentang pengertian etnolinguistik, pengkajian etnolinguistik dari aspek bahasa dan budaya serta pengkajian etnolinguistik dari aspek konsep pola pikir, pandangan hidup masyarakat dan pandangan masyarakat terhadap dunia.

a. Etnolinguistik

Etnolinguistik berasal dari kata „etnologi‟ dan „linguistik‟ yang lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa dilakukan oleh para ahli etnologi dengan pendekatan linguistik. Atas dasar inilah, Ahimsa membagi kajian etnolinguistik dalam dua golongan, yaitu kajian etnolinguistik yang memberikan sumbangan bagi etnologi dan kajian etnologi yang memberikan sumbangan bagi linguistik (Shri Ahimsa, 1997: 5). Bidang kajian etnologi mengkaji tentang suku-suku tertentu dan bidang linguistik mengkaji tentang seluk beluk bahasa keseharian manusia atau mengkaji ilmu bahasa (Sudaryanto, 1996:9). Etnolinguistik adalah suatu ilmu bagian yang pada asal mulanya erat bersangkutan dengan ilmu antropologi. Objek penelitiannya yang berupa daftar kata-kata, pelukisan-pelukisan dari ciri-ciri, dan pelukisan-pelukisan tentang tata bahasa dari

(27)

bahasa-bahasa lokal yang tersebar di berbagai tempat di muaka bumi ini, terkumpul bersama-sama dengan bahan tentang unsur kebudayaan sesuatu suku bangsa. (Koentjaraningrat, 1974: 2)

Istilah etnolinguistik juga disebut dengan istilah antropological linguistic yang bervariasi dengan linguistic anthropology (Duranti, 1997: 2). Linguistic anthropology over both antropological linguistic and ethnolinguistics is part of a conscious attempt at consolidating and redefining the study of language and culture as one of the major subfields of anthropology ‘Linguistik antropologi baik antropologi linguistik maupun etnolinguistik merupakan bagian dari usaha nyata (sadar) dalam menggabungkan dan menjelaskan bahwa studi bahasa dan budaya sebagai satu dari subbidang utama dari antropologi‟ (Duranti, 1997: 2). Lebih lanjut menurut Hymes (1963: 277) ethnolinguistics, the study of speech and language within the context of anthropology „etnolinguistik adalah ilmu yang mempelajari cara berbahasa dan bahasa dalam konteks budaya‟ (Duranti, 1997: 2).

Pengertian etnolinguistik yang juga disebut studi linguistik antropologis menurut Kridalaksana adalah cabang linguistik yang mempelajari bahasa dalam konteks budaya, mencoba mencari makna tersembunyi yang ada di balik pemakaian bahasa, merupakan disiplin interpretatif yang mengupas bahasa untuk mendapatkan pemahaman budaya yang bermula dari fakta kebahasaan (Kridalaksana, 2008: 59). Selain itu etnolinguistik juga dipahami sebagai jenis linguistik yang menaruh perhatian terhadap dimensi bahasa (kosakata, frasa, klausa,

(28)

wacana, unit-unit lingual lainnya) dalam dimensi sosial dan budaya (seperti upacara ritual, peristiwa budaya, foklor, dan lainnya) yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktik-praktik budaya dan struktur sosial masyarakat (Abdullah, 2014: 10). Secara konseptual etnolinguistik (anthropological linguistics) memiliki pengertian merupakan jenis linguistik yang menaruh perhatian terhadap posisi bahasa dalam konteks sosial-budaya yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktik-praktik budaya dan struktul sosial (Foley dalam Abdullah, 2014: 1). Lebih lanjut, etnolinguistik yang dapat disebut juga linguistik antropologi (anthropological linguistics) adalah cabang linguistik yang mengkaji hubungan bahasa dan budaya sebagai sub bidang utama dari antropologi (Richards, Platt, Weber dalam Abdullah, 2014: 4).

Etnolinguistik mencoba melakukan klasifikasi kognisi, pandangan hidup, pandangan dunia dan pola pikir masyarakat penuturnya yang bertolak dari data empiris kebahasaan dan sangat bertumpu pada dimensi leksikon berserta dimensi semantik bahasa dan budaya pemiliknya (Abdullah, 2014: 8).

Dari beberapa pengertian para ahli mengenai etnolinguistik di atas dapat disimpulkan bahwa etnolinguistik adalah cabang ilmu linguistik yang mengkaji tentang bahasa dalam konteks budaya. Etnolinguistik mencoba mencari makna tersembunyi yang ada di balik pemakaian bahasa (yang berupa kosakata, frasa, klausa, wacana, unit-unit lingual lainnya) dalam konteks sosial dan budaya (seperti upacara ritual,

(29)

peristiwa budaya, foklor, dan lainnya), mengupas bahasa untuk mendapatkan pemahaman budaya yang bermula dari fakta kebahasaandan yang lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktik-praktik budaya dan struktur sosial. Pada intinya etnolinguistik mencoba melakukan klasifikasi kognisi, pandangan hidup, pandangan dunia dan pola pikir masyarakat penuturnya yang bertolak dari data empiris kebahasaan dan sangat bertumpu pada dimensi leksikon berserta dimensi semantik bahasa dan budaya pemiliknya.

b. Pengkajian Etnolinguistik dari Aspek Bahasa dan Budaya

Budaya itu ada di dalam pikiran (mind) manusia, dan bentuk organisasi pikiran berupa fenomena material. Dalam hal ini fenomena material itu dapat dipahami berupa ekspresi verbal (kosa-kata, frase, klausa, wacana, dan unit-unit lingual lainnya) dan ekspesi nonverbal (upacara ritual, mantra, doa, tempat tertentu, kepercayaan, perangkat sesaji, dan sebagainya). Selanjutnya dijelaskan bahwa jalan yang paling mudah untuk memperoleh budaya adalah melalui bahasa, khususnya melalui daftar kata-kata yang ada dalam suatu bahasa. Maka dari itu, bahasa merupakan jalan yang paling mudah untuk sampai pada sistem pengetahuan (cognition system) suatu masyarakat, yang isinya antara lain klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-prinsip, dan sebagainya. (Abdullah, 2014: 14).

(30)

c. Pengkajian Etnolinguistik dari Aspek Konsep Pola Pikir, Pandangan Hidup Masyarakat dan Pandangan Masyarakat terhadap Dunia

Bahasa dipahami sebagai manifestasi terpenting dari kehidupan mental penuturnya dan sebagai dasar pengklasifikasian pengalaman (Abdullah, 2014: 17). Ahimsa dalam Abdullah (2014: 17) mengemukakan bahwa pola pikir adalah pengetahuan suatu masyarakat yang isinya antara lain klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-prinsip, yang sebagaimana dinyatakan melalui bahasa. Dalam konsep Durkheim, konsep pola pikir dapat mengacu pada pikiran kolektif masyarakat, yaitu dipahami sebagai suatu gagasan yang telah dimiliki sebagian besar warga masyarakatnya yang sudah bukan lagi bentuk pikiran tunggal mengenai suatu hal yang khas, tetapi umumnya telah berkaitan dengan gagasan lain sejenis, sehingga menjadi suatu kompleks gagasan (Koentjaraningrat, 1996: 85-86). Pencermatan melalui ekspresi verbal dan nonverbal dalam bahasa dan budaya masyarakat tertentu akan dapat menguak pola pikir yang dimilikinya secara turun-temurun (Abdullah, 2014: 18).

Bahasa merupakan jalan yang paling mudah untuk sampai pada sistem pengetahuan (cognition system) suatu masyarakat, yang isinya antara lain klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-prinsip, dan sebagainya. Dalam bahasa inilah tersimpan nama-nama berbagai benda yang ada di lingkungan manusia, sebab melalui proses ini manusia lantas dapat “menciptakan” keteraturan dalam persepsinya atas lingkungan ekologisnya. Dari nama-nama ini dapat diketahui

(31)

patokan apa yang dipakai oleh suatu masyarakat untuk membuat klasifikasi, yang berarti juga kita dapat mengetahui “pandangan hidup” pendukung kebudayaan suatu masyarakat. Selanjutnya klasifikasi ini tidak hanya menyangkut objek-objek atau benda-benda, namun juga mengenai cara-cara, tempat-tempat, kegiatan-kegiatan, pelaku-pelaku, tujuan-tujuan dan sebagainya. (Abdullah, 2014: 14-15). Pandangan hidup itu sendiri adalah konsep yang dimiliki seseorang atau golongan dalam masyarakat yang bermaksud menanggapi dan menerangkan segala masalah di dunia ini (KBBI, 2012: 1011).

Oktavianus mengemukakan bahwa cara pandang dunia penuturnya memperlihatkan keterkaitan bahasa dan budaya dalam menafsirkan pandangan dunia. Melalui sistem gramatika, atau melalui unit lingualnya sebagai pembentuk sebuah struktur wacana dapat diamati di balik pola pikir masyarakat yang ditampilkan dalam budaya. Oleh karena itu analisis terhadap unit lingual sangat penting untuk menguak aspek sosiokultural suatu komunitas karena relasi antar unit lingual dengan nilai budaya bersifat multidireksional (Abdullah, 2014: 16-17). Adapun pandangan terhadap dunia adalah bagaimana masyarakat memandang dunia yaitu bumi dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya.

(32)

6. Aktivitas

Aktivitas memiliki arti keaktifan, kegiatan, kerja atau salah satu kegiatan kerja yang dilaksanakan dalam tiap bagian di dalam perusahaan (KBBI, 2012: 31).

W.J.S. Poewadarminto menjelaskan aktivitas sebagai suatu kegiatan atau kesibukan (http://mugironiggi.blogspot.com/aktivitas diakses 3 Desember 2015 pukul 22.11). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa aktivitas adalah suatu kegiatan atau kesibukan yang dilaksanakan seseorang.

Aktivitas pertanian dalam penelitian ini terdiri dari 4 fase yaitu: fase sebelum menanam padi, fase saat menanam padi, fase sesudah menanam padi, fase saat panen dan setelah panen padi.

7. Pertanian Padi

Definisi pertanian adalah 1) perihal bertani (mengusahakan tanah dengan tanaman); 2) segala sesuatu yang bertalian dengan tanam-menanam (pengusahaan tanah dsb) (KBBI, 2012: 1409). Di samping itu, pertanian adalah sejenis proses produksi yang khas yang didasarkan atas proses-proses pertumbuhan tanaman dan hewan (Mosher, 1968: 17), sedangkan padi adalah tumbuhan yang menghasilkan beras, termasuk jenis oryza (KBBI, 2012: 996). Padi berarti Oryza sativa L. Genus Oryza, famili Graminear; rumput berumpun; helaian daun memanjang 15-80 cm, kebanyakan tepi daun kasar, malai panjang 15-40 cm, tumbuh ke atas dengan ujung menggantung, cabang malai kasar; anak mulai beraneka ragam, tidak berjarum, berjarum panjang atau pendek, berjarum licin atau

(33)

kasar, hijau atau cokelat, gundul atau berambut; merupakan tanaman budi daya terpenting dengan ribuan spesies. (KPU, 2013: 295).

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pertanian padi berarti sejenis proses produksi yang khas dengan cara mengusahakan tanah dengan padi (tumbuhan penghasil beras dengan ciri-ciri: helaian daun memanjang 15-80 cm, kebanyakan tepi daun kasar, malai panjang 15-40 cm, tumbuh ke atas dengan ujung menggantung), yang didasarkan atas proses-proses pertumbuhan padi tersebut.

G. Data dan Sumber Data

1. Data

Data adalah semua informasi atau bahan yang disediakan oleh alam (dalam arti luas), yang harus dicari/dikumpulkan dan dipilih oleh peneliti. Data kebahasaan berupa fenomena-fenomena kebahasaan apapun yang sesuai dengan segi-segi tertentu yang diteliti. (Subroto, 1992: 34).

Data dalam penelitian etnolinguistik yang berjudul “Bahasa dalam Budaya Jawa terkait Aktivitas Pertanian Padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar” ini meliputi: (1) Data lisan berupa bentuk ujaran atau tuturan informan yang berwujud kata, frase, klausa yang berkaitan dengan aktivitas pertanian padi (2) Data lisan yang diperoleh dari informan terpilih terkait penjelasan tentang makna kultural bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi (3) Data tulis terkait penjelasan bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi yang termuat dalam buku-buku dan kamus.

(34)

2. Sumber Data

Sumber data lisan pada penelitian ini yaitu informan yang mengetahui tentang bahasa dalam budaya terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar dan sumber data tertulis yang berasal dari buku-buku, catatan penting, dan kamus. Informan yang dimaksud memiliki kriteria sebagai berikut: 1) Mengetahui tentang seluk beluk bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas pertanian; 2) mengetahui bahasa dan budaya Jawa; 3) Sehat jasmani dan rohani; 4) Memiliki alat ucap dan ujaran yang baik; 5) Bersedia memberikan informasi tentang bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas pertanian dengan jujur; 6) Alat pendengaran masih normal; 7) Usia minimal 30 tahun; 8) Asli penduduk setempat.

H. Metode dan Teknik Penelitian

1. Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif berusaha memahami makna dari fenomena-fenomena, peristiwa-peristiwa, dan kaitannya dengan orang-orang atau masyarakat yang diteliti dalam situasi yang sebenarnya (Subroto, 1992: 7). Adapun penelitian ini bersifat kualitatif maksudnya adalah pengkajian atau penelitian suatu masalah tidak didesain atau dirancang menggunakan prosedur statistik (Subroto, 1992: 5). Penelitian kualitatif ini bersifat deskriptif. Peneliti mencatat data yang berwujud kata-kata, kalimat, wacana, gambar-gambar/foto, catatan harian, memorandum, video-tipe (Subroto, 1992: 7). Penelitian dengan metode ini

(35)

dimaksudkan agar dapat menganalisis data dengan semua kekayaan dan wataknya yang penuh nuansa, sedekat mungkin dengan bentuk aslinya seperti pada waktu dicatat (Sutopo, 2002: 35). Penelitian deskriptif kualitatif bersifat fenomenalogis, artinya penelitian ini berusaha memahami makna dari fenomena-fenomena, peristiwa-peristiwa (yang bersifat verbal maupun nonverbal) dan kaitannya dengan orang-orang atau masyarakat yang diteliti dalam konteks kehidupan, dalam situasi yang sebenarnya bersifat lentur dan terbuka, analisisnya secara induksi dengan meletakkan data-data penelitian bukan saja sebagai alat pembuktian, tetapi sebagai modal dasar untuk memahami fakta yang ada (Sutopo, 2002: 47). 2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, alasan pemilihan lokasi penelitian di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar karena di desa tersebut sebagian besar masyarakatnya bermata percaharian sebagai petani padi dan sebagian besar wilayahnya dimanfaatkan untuk tanah pertanian terutama pertanian padi. Selain itu masyarakat tersebut masih menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasinya dan bahasa yang berupa istilah aktivitas pertanian memiliki makna filosofis didalamnya yang penting untuk dipelajari.

3. Alat Penelitian

Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Alat utama penelitian ini yaitu peneliti itu sendiri. Berkaitan dengan kedudukan peneliti sebagai alat penelitian utama karena dalam penelitian kualitatif

(36)

ada keyakinan bahwa hanya manusia yang mampu menggapai dan menilai makna dari berbagai interaksi (Lincoln & Guba dalam Sutopo, 2002: 36). Seorang peneliti dikatakan alat penelitian utama karena peneliti melakukan penelitian langsung ke lapangan dan langsung menganalisis data bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar. Sedangakan alat bantu dalam penelitian ini adalah pensil, bolpen, buku catatan, laptop, flashdisk, handphone.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode merupakan cara mendekati, menganalisis, dan menjelaskan suatu fenomena (Kridalaksana, 2008: 153). Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode cakap dan studi pustaka. Disebut metode cakap karena memang berupa percakapan dan terjadi kontak antara peneliti selaku peneliti dengan penutur selaku narasumber (Sudaryanto, 1988: 7). Metode cakap ini disebut juga dengan wawancara yaitu peneliti melakukan percakapan dengan mengajukan berbagai pertanyaan kemudian dijawab oleh narasumber. Teknik dasar yang digunakan yaitu teknik pancing. Peneliti untuk mendapatkan data pertama-tama harus dengan segenap kecerdikan dan kemauannya memancing seseorang atau beberapa orang agar berbicara (Sudaryanto, 1988: 7). Memancing seseorang agar berbicara dan memberi informasi hendaknya dilakukan dengan halus dan berhati-hati agar narasumber tidak merasa bahwa dia sedang dipancing. Hal ini dilakukan untuk menjaga alur dan suasana percakapan tetap alami

(37)

dan wajar agar informasi tentang data dapat diungkapkan semakin mendalam.

Teknik lanjutannya yaitu teknik cakap semuka, teknik rekam, dan teknik catat. Kegiatan memancing bicara itu dilakukan pertama-tama dengan percakapan langsung, tatap semuka, atau bersemuka (Sudaryanto, 1988: 7). Pembicaraan antara peneliti dengan narasumber harus tetap dikendalikan oleh peneliti dan diarahkan sesuai dengan kepentingan peneliti. Disamping melakukan teknik cakap semuka, peneliti melakukan teknik rekam. Teknik rekam ini sangat penting untuk mengantisipasi apabila peneliti lupa akan apa yang dituturkan oleh informan. Kemudian diikuti dengan pencatatan data pada kartu data; jadi digunakan teknik catat (Sudaryanto, 1988: 9). Teknik catat ini dilakukan untuk mencatat keseluruhan tuturan atau sebagian tuturan yang dianggap penting dan relevan terhadap data penelitian.

Teknik studi pustaka adalah cara mengumpulkan data secara tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku, tentang pendapat, teori, dalil/hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penyelidikan (Nawawi, 1995: 133). Teknik studi pustaka digunakan untuk mengumpulkan data yang diperlukan untuk menambah data yang dibutuhkan oleh peneliti. Selain itu teknik ini digunakan untuk referensi data yang sebelumnya diperoleh dari informan. Dalam penelitian ini, peneliti memperoleh dan memperdalam informasi yang berhubungan dengan data yang diinginkan melalui kamus.

(38)

5. Metode dan Teknik Analisis Data

Metode analisis data adalah metode yang dilakukan peneliti dalam upaya menangani langsung masalah yang terkandung dalam data (Sudaryanto, 1993: 6). Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode distribusional dan metode padan.

a. Metode Agih (Distribusional)

Metode agih itu alat penentunya justru bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 15). Teknik dasar yang digunakan adalah teknik bagi unsur langsung (BUL). Teknik ini digunakan untuk membagi satuan lingual data menjadi beberapa unsur, dan unsur-unsur yang bersangkutan dianggap sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 31). Metode distribusional digunakan untuk menganalisis bentuk monomorfemis, polimorfemis, frase, dan klausa pada bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi. Penerapan metode distribusional adalah sebagai berikut.

1) Bentuk monomorfemis atau satu morfem

Pada penelitian bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi terdapat beberapa bentuk monomorfemis diantaranya sebagai berikut:

Data 1

matun [mAtUn] → verba

Satuan lingual matun berkategori verba yang dapat berdiri sendiri, berarti dan belum mengalami proses morfologis.

(39)

Data 2

dêrêp [d|r|p] → verba

Satuan lingual dêrêp berkategori verba yang dapat berdiri sendiri, berarti dan belum mengalami proses morfologis.

2) Bentuk polimorfemis atau lebih dari satu morfem

Pada penelitian bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi terdapat beberapa bentuk polimorfemis diantaranya sebagai berikut:

Data 3

ngêlêpi [ G|l|pi ] → verba

ng + lep + i ngêlêpi

Satuan lingual ngêlêpi berasal dari kata lep (verba) mendapat konfiks ng- dan –i menjadi ngêlêpi.

Data 4

Ngêblak [G|blA?] → verba

ng + êblak ngêblak

Satuan lingual ngêblak berasal dari kata êblak (nomina) mendapat prefiks ng- menjadi ngêblak.

3) Bentuk frase Data 5

tandur ngabyak [tAndUr GAbyA?] → frase

(40)

Satuan lingual tandur ngabyak berasal dari kata tandur „menanam‟ dan ngabyak„ menempuh dengan tidak peduli apapun, mengenai sekenanya saja‟.

Tandur ngabyak merupakan bentuk frase karena tandur ngabyak terdiri dari dua kata, tidak berciri klausa, dan dapat disisipkan kata lain, misalnya kata sing ‘yang‟ menjadi tandur sing ngabyak.

4) Bentuk klausa Data 6

meme gabah [meme gAbAh] → klausa verbal

meme (verba) + gabah (nomina) meme gabah

P O

Satuan lingual meme gabah berasal dari kata meme (verba) dan kata gabah (nomina). Meme memiliki fungsi sebagai predikat dan gabah berfungsi sebagai objek.

Data 7

nyêbar winih [¥|bAr winIh] → klausa verbal

nyêbar (verba) + winih (nomina)nyêbar winih

P O

Satuan lingual nyêbar winih berasal dari kata nyêbar (verba) dan kata winih (nomina). Nyêbar memiliki fungsi sebagai predikat dan winih berfungsi sebagai objek.

b. Metode Padan

Metode padan adalah alat penentunya di luar, terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto,

(41)

1993: 13). Alat penentu yang dimaksud yaitu 1) Kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa atau disebut metode padan referensial; 2) Alat penentunya organ pembentuk bahasa (organ wicara) atau disebut padan artikulatoris; 3) Bahasa lain atau langue lain (padan lingual); 4) Perekam bahasa yaitu tulisan (grafis); dan 5) Orang yang menjadi mitra wicara (pragmatis) (Sudaryanto, 1993: 13). Metode padan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan referensial, alat penentunya yaitu referen atau isi tuturan. Metode padan digunakan untuk menganalisis makna leksikal dan makna kultural yang terangkum dalam bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi serta pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan terhadap dunia masyarakat petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar.

Dalam penelitian ini analisis data bersifat kontekstual yaitu analisis data dengan mempertimbangkan konteks sosial yang melatarbelakangi penggunaan bahasa yaitu mengenai bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi. Adapun contoh penerapan analisis metode padan adalah sebagai berikut.

1) Analisis makna leksikal dan makna kultural Data 7

ngrèntèg [GrEntEg]

Ngrèntèg berasal dari kata rèntèg mendapat prefiks ng- menjadi

(42)

(Poerwadarminta, 1939: 1645). Makna gramatikal ngrèntèg adalah membuat rontok semua.

Makna kultural ngrèntèg menurut informan berasal dari kata rèntèg, rèntèg adalah alat perontok padi, dinamakan rèntèg karena rèntèg bermakna padha rontok yang artinya rontok semua.Aktivitas ini dilakukan menggunakan rèntèg agar bulir-bulir padi rontok semua, jadi dinamakan ngrèntèg.

Menurut Masyarakat Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, ngrèntèg adalah merontokkan padi menggunakan rèntèg, rèntèg yaitu alat perontok padi yang didalamnya terdapat bulatan dengan banyak paku tajam yang menempel mengarah ke atas. Rèntèg disertai ayuhan seperti ayuhan sepeda yang berfungsi sebagai penggerak bulantan di dalam mesin itu, serta terdapat kotakan terbuka untuki memasukkan batang padi agar bulir-bulir padi bisa rontok. Ngrèntèg dilakukan setelah padi dirit „dipangkas‟. Ngêrit padi untuk selanjutnya dirèntèg berbeda dengan ngêrit padi untuk ditlèsêr, kalau ngêrit padi untuk selanjutnya dirèntèg, batang padi harus dipangkas sampai bawah agar batang padi masih panjang, hal itu untuk memudahkan petani dalam proses ngrèntèg karena pada saat ngrèntèg petani mengambil dua genggaman padi yang dijadikan satu yang kemudian batang padi dipegang dan digenggam dengan erat menggunakan dua tangan yang dijadikan satu sedangkan kaki kanan petani mengayuh ayunan pada rèntèg agar bulatan kayu yang terdapat paku-paku yang menempel

(43)

dapat berputar untuk merontokkan padi, sedangkan kaki kiri sebagai penyangga agar petani bisa berdiri secara seimbang. Setelah itu batang bagian yang berisi bulir-bulir padi dimasukkan ke dalam mesin rèntèg tanpa melepas batang padi dari genggaman tangan kemudian batang padi dibolak-balik agar bulir-bulir padi dapat rontok seluruhnya. Setelah dirasa bulir-bulir padi sudah rontok seluruhnya, batang padi dikumpulkan di sebelah rèntèg tersebut dan petani melakukan seterusnya hal tersebut sampai seluruh batang-batang yang berisi bulir-bulir padi habis dan telah dirontokkan semua. Setelah gabah jatuh bersamaan dengan kawul/uwuh ‘sisa-sisa dedaunan padi yang jatuh bersamaan dengan gabah saat dirèntèg’ petani melakukan aktivitas ngaraki „membersihkan kawul/uwuh dari gabah‟.

Data 8

mopok [mOpO?]

Mopok yaiku nèmplèkake blêthok „menempelkan gumpalan tanah‟ (Poerwadarminta, 1939: 1027). Makna gramatikal mopok adalah menempelkan gumpalan tanah pada galengan ‘pematang sawah’.

Makna kultural mopok menurut masyarakat Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar berasal dari bunyi pok-pok. Hal ini dikarenakan saat petani melakukan aktivitas mopok, blêthok „gumpalan tanah‟ ditaruh di galengan „pematang sawah‟ lalu digacrokne „dipukul-pukul‟ menggunakan cangkul dan

(44)

menghasilkan bunyi pok pok pok. Mopok dilakukan agar galengan menjadi halus, rapi, dan kuat untuk diinjak.

Data 9

gêbug kawul [g|bUg kawUl]

Satuan lingual gêbug kawul berasal dari kata gêbug dan kawul. Gêbug yaiku gitik gêdhe „alat pukul besar dari kayu‟ (Poerwadarminta, 1939: 418). Kawul yaiku kêsrikan sêrat wit arèn lsp.dianggo êmpan- êmpan dadèn gêni lsp „potongan serat pohon aren dsb. Digunakan untuk menghidupkan api dsb‟ (Poerwadarminta, 1939: 593). Makna gramatikal gêbug kawul adalah memukul-mukul sisa-sisa dedaunan menggunakan pukulan besar dari kayu.

Makna kultural gêbug kawul dikarenakan aktivitas ini menggunakan pemukul dan jika dipukul akan terdengar suara bug-bug-bug sehingga dinamakan gêbug dan yang dipukul-pukul adalah sisa-sisa dedaunan padi yang jatuh bersamaan dengan gabah saat dirèntèg „dirontokkan‟ yang biasa disebut kawul. Jadi dinamakan gêbug kawul.

Gêbug kawul dilakukan setelah ngaraki, gêbug kawul dilakukan dengan cara memukul-mukul kawul „sisa-sisa dedaunan padi yang jatuh bersamaan dengan gabah saat dirèntèg‟ hasil arakan yang telah disendirikan dengan menggunakan kayu. Gêbug kawul dilakukan karena ada bulir-bulir padi yang tidak dapat pisah dengan batang

(45)

padi saat dirèntèg maka petani melakukan gêbug kawul, agar hasil panennya tidak terbuang sia-sia.

2) Analisis pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan terhadap dunia Para Petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar memiliki pola pikir yang berupa prinsip dan aturan dalam mempersiapkan benih yang akan disebar, benih yang akan disebar harus dijemur sampai kering kemudian direndam. Cara merendam gabah yang dilakukan petani satu dan petani lainnya berbeda-beda, ada yang setelah dijemur kering langsung dimasukkan ke dalam ember yang berisi air dingin, ada pula yang menggunakan air mendidih saat merendam gabah, yang sebelumnya air mendidih dimasukkan garam sedikit setelah itu gabah dimasukkan, garam dipercaya dapat memperbanyak dan mempercepat tumbuhnya gabah. Gabah direndam selama satu hari satu malam dalam ember atau bak, kemudian setelah itu gabah bisa diangkat untuk selanjutnya dipêp „menutup rapat agar tidak terkena angin ‟dalam karung dan di atas gabah diberi daun sarilaya selanjutnya karung bisa ditutup rapat, setelah itu karung yang berisi gabah dimasukkan ke dalam tenggok dan disimpan di tempat yang lembab selama dua hari. Ngêpêp gabah dilakukan agar gabah tidak terkena angin yang nantinya akan membuat gabah menjadi lembab dan dapat tumbuh. Jika sudah dua hari gabah sudah mulai tumbuh maka gabah siap untuk disebar. Gabah yang dijadikan benih tidak boleh sembarangan, gabah harus berkualitas baik, karena masyarakat Desa Bangsri berpandangan

(46)

bahwa jika menanam benih yang baik maka hasil yang akan diunduh nantinya akan baik pula. Pandangan terhadap dunia masyarakat petani Desa Bangsri yakni masyarakat petani menyebar benih di tanah yang subur, tanah merupakan bagian dari dunia, menyebar benih di tanah yang subur dan gembur akan membuat benih dapat tumbuh subur pula, sehingga dapat mempercepat proses menanam padi dengan begitu tanaman padi akan cepat berbuah.

6. Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian hasil analisis data merupakan upaya sang peneliti menampilkan dalam wujud laporan tertulis apa-apa yang telah dihasilkan dari kerja analisis; khususnya kaidah (Sudaryanto, 1993: 7). Penyajian hasil analisis dilakukan melalui dua cara yaitu dengan metode yang bersifat formal dan informal. Metode penyajian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa, sedangkan metode penyajian hasil analisis data formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang (Sudaryanto, 1993: 145). Tanda yang digunakan dalam penyajian data penelitian ini di antaranya tanda tambah (+), tanda panah (→), tanda kurung biasa (()), dan tanda kurung siku ([]).

(47)

I. Tabel Waktu Penelitian No . Kegiatan Penelitian Bulan/Tahun 10/ 15 11/ 15 12/ 15 01/ 16 02/ 16 03/ 16 04/ 16 05/ 16 06/ 16 1. Studi Pustaka 2. Survei lokasi penelitian 3. Penyediaan instrumen penelitian 4. Penelusuran pustaka dan referensi terkait tema 5. Penyusunan proposal 6. Menyiapkan data untuk proposal 7. Menyusun proposal penelitian 8. Seminar proposal 9. Perbaikan proposal 10. Analisis data penelitian 11. Analisis data lanjutan

(48)

12. Menyusun draf laporan

13. Mengecek data ke lokasi (jika perlu) 14. Penulisan draf

laporan akhir penelitian 15. Persiapan ujian 16. Ujian

Referensi

Dokumen terkait

a. Menggunakan kekuatan untuk mengatasi tantangan. 1) Sistem pembelajaran dengan PBL (Problem Based Learning) harus dipersiapkan dengan matang dan dikembangkan agar

Sedangkan Swasta, (2000:14) dalam edi (2013:14) keputusan pembelian adalah salah satu tahap dari keseluruhan proses mental dan kegiatan-kegiatan fisik lainnya yang terjadi

Pendekatan yang interaktif dengan fasilitator unggulan dalam bidang GCG dan manajemen risiko terpadu (Enterprise Risk Management - ERM) akan memberikan kesempatan bagi peserta

Dengan ini kami sampaikan laporan kegiatan Instalasi Humas & Pemasaran bulan lanuari 2021, sebagai berikut :d. Setiap

merupakan implementasi dari halaman dashboard warga dalam home yang dapat dilihat dengan login terlebih dahulu yang tersedia di header maka akan muncul

Berdasarkan kurva sebagaimana terlihat pada Gambar 4, tampak bahwa kurva debit aliran melalui pipa berpori berada di bawah kurva hitungan kemampuan daripada :

Assalamualaikum Wr. Salam Sejahtera Bagi Kita Semua. Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas hidayah-Nya maka Seminar Hasil Pengabdian Masyarakat 2020 dapat

Studio musik bisa juga diartikan sebagai sebuah ruang khusus kegiatan musik di dalamnya dengan sistem akustik yang baik sehingga kegiatan bermusik di dalamnya tidak akan