• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional Indonesia adalah bertujuan untuk mewujudkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional Indonesia adalah bertujuan untuk mewujudkan"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan Nasional Indonesia adalah bertujuan untuk mewujudkan

masyarakat yang adil dan makmur, materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dalam suatu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu

pemenuhan kebutuhan rohani dalam masyarakat yang modern sekarang ini adalah sarana hiburan, termasuk di dalamnya musik atau lagu dan film atau karya sinematografi.

Pada tingkat kehidupan masyarakat seperti sekarang ini musik, lagu dan juga film yang termasuk sinematografi bukan lagi sekedar sarana hiburan yang hanya habis setelah dinikmati tanpa memberikan dampak apapun bagi pencipta maupun penikmatnya. Lebih dari itu sekarang ini telah mampu menampakkan diri sebagai potensi ekonomi yang memiliki dampak sosial bahkan politik bagi suatu negara.

Apabila dilihat dari segi ekonomi, hak cipta lagu, musik dan film sebagai suatu karya cipta pada perwujudannya telah kian membuktikan kemampuannya untuk memberikan berbagai kemungkinan finansial yang tidak terbatas sifatnya, karena tidak bisa ditentukan berapa banyak yang menggunakan lagu untuk kepentingan komersil yang bukan merupakan ciptaannya sendiri.

(2)

Jika dilihat segi sosial, sarana hiburan berupa hak cipta lagu dan film sebagai

karya sinematografi juga mampu memberikan citra baik ke dalam maupun ke luar. Ke dalam hak cipta lagu dan sinematografi memberikan status sosial

tertentu kepada pemilik atau pemegang hak ciptanya dari lagu tersebut, sedangkan ke luar hak cipta memberikan cermin atas sikap dan apresiasi masyarakat terhadap karya cipta serta penciptanya sendiri. Begitu pula secara politis masalah ini memberikan cermin terutama bagi pemerintah yaitu tentang seberapa jauh upaya-upaya yang telah dilakukan dalam membina dan menata kehidupan masyarakatnya.1

Perkembangan bidang karya cipta lagu atau musik dan juga sinematografi saat ini telah menjadi lahan yang kian subur dan juga menarik minat untuk industri perekaman ataupun untuk “show business”. Bagi setiap orang yang berkecimpung dalam dunia ini terutama pihak yang berkaitan langsung dalam dunia musik/perfilman seperti pencipta karya cipta musik dan sinematografi maupun pemakai/pengguna (user), akan mendapat manfaat yang besar sekali dari lahan baru ini karena bisa mendatangkan keuntungan secara finansial serta kepopuleran.2

1

Bambang Kesowo, dalam Andreas Argo Batoro, Pelaksanaan Perjanjian Lisensi Hak Cipta

Atas Lagu Antara Pencipta Dengan User Di Indonesia, http://www.menulisyuk.com/html/ . Maret 2010

2

(3)

Karya cipta sinematografi sebagai suatu karya cipta dapat berupa film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun, seperti halnya jenis karya cipta lainnya yang merupakan hasil karya yang perlu mendapat perlindungan oleh hukum. Perlindungan hukum yang diberikan atas hak cipta bukan saja merupakan pengakuan negara terhadap ciptaan tersebut akan dapat memberikan semangat dan minat yang lebih besar untuk melahirkan ciptaan baru di bidang tersebut di atas.

Perlindungan hak cipta di Indonesia mulai disuarakan pada dekade tahun 1960 yang dilanjutkan dengan kajian-kajian pada dekade 1970-an. Indonesia menerbitkan peraturan yang mengatur hak cipta ini pada tahun 1982 yaitu dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta”.3

Susilo Halim mengatakan bahwa :

Kemunculan undang-undang hak cipta ini, dari hari ke hari kian dianggap penting, sehingga secara terus menerus disempurnakan. Terbitnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta membuka wawasan dan kesadaran bangsa untuk memberikan perlindungan-perlindungan yang berkait dengan hak cipta, sehingga tahun 1987 terbit Undang-undang Nomor 7 tahun 1987, Undang Nomor 12 tahun 1997 dan terakhir Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002.4

Dalam Pasal 1 angka (1) Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut Undang-undang Hak Cipta) disebutkan bahwa, hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk

3

Susilo Halim, Pengaturan Hak Cipta di Indonesia, LP3S, 2006, Jakarta, hal.2.

4

(4)

mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izinnya untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut undang-undang yang berlaku.

Adapun yang dimaksud hak eksklusif dari pencipta ialah tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut kecuali dengan izin pencipta. Hak eksklusif tersebut merupakan hak khusus yang diberikan kepada pencipta untuk mengumumkan, memperbanyak atau memberi izin kepada orang lain untuk menggunakan hak cipta tersebut.

Walaupun dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Hak Cipta ditentukan bahwa Hak Cipta adalah hak ekslusif, tetapi sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, maka ia mempunyai “fungsi sosial”, dalam arti bahwa hak eksklusif itu haknya dibatasi dengan “kepentingan umum”. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

a. Pada kemungkinan membatasi hak cipta demi kepentingan umum atau kepentingan Nasional, maka diwajibkan memberi ganti rugi kepada pencipta.

b. Adanya pengurangan waktu berlakunya hak cipta dari 50 (lima puluh) tahun

c. Ada kemungkinan hak cipta diberikan kepada negara atas benda budaya nasional.5

5

H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1999, hal. 112.

(5)

Untuk memudahkan pembuktian dalam hal sengketa mengenai hak cipta dalam peraturan Undang-Undang Hak Cipta diatur tentang pendaftaran Hak Cipta. Pendaftaran ciptaan ini memang tidak mutlak dilakukan, karena tanpa pendaftaran pun hak cipta dilindungi oleh hukum. Hanya mengenai Hak Cipta yang tidak didaftarkan akan lebih sukar dan lebih memakan waktu untuk membuktikannya, di samping itu hak cipta dapat juga dialihkan kepada orang lain, di mana pengalihan hak cipta ini diatur oleh Undang-Undang Hak Cipta, pengalihan Hak Cipta ini berguna untuk melindungi dan memelihara hasil ciptaannya yang diperoleh dari ilmu pengetahuannya.

Dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Hak Cipta disebutkan bahwa, yang disebut dengan pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.

Dalam Pasal 1 angka (3) Undang-undang Hak Cipta disebutkan bahwa “ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukkan keaslian dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, sastra”. Perlindungan hukum yang diberikan atas hak cipta bukan saja merupakan pengakuan negara terhadap karya cipta tersebut akan dapat memberikan semangat dan minat yang lebih besar untuk melahirkan ciptaan baru di bidang tersebut.

(6)

Pasal 12 Undang-undang Hak Cipta menentukan bahwa :

(1)Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:

a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;

b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu; c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu

pengetahuan;

d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;

f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;

g. arsitektur; h. peta; i. seni batik; j. fotografi; k. sinematografi;

l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.

(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli. (3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),

termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.

Pasal 12 ayat (1) huruf k Undang-undang Hak Cipta menyebutkan bahwa ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang meliputi karya sinematografi. Seperti halnya objek perlindungan

hak cipta lainnya, hak cipta sinematografi merupakan hak absolut, artinya hak cipta sinematografi hanya dimiliki oleh penciptanya sehingga yang

(7)

ciptanya tersebut. Oleh karena itu, suatu hak absolut seperti hak cipta mempunyai segi balik (segi pasif), artinya bahwa setiap orang wajib menghormati hak tersebut.6)

Penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf k Undang-undang Hak Cipta, menyebutkan bahwa Karya sinematografi yang merupakan media komunikasi

massa gambar gerak (moving images) antara lain meliputi: film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun.

Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video,

cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, di layar lebar atau ditayangkan di televisi atau di media lainnya. Karya serupa itu dibuat oleh perusahaan pembuat film, stasiun televisi atau perorangan.7

Ketentuan di atas menunjukkan bahwa ciptaan berupa sinematografi juga memperoleh perlindungan dalam Undang-undang Hak Cipta. Perlindungan

hukum menjadi penting dalam menjamin hak-hak dari pencipta. Dalam sebuah karya sinematografi/film terdapat 2 (dua) jenis perlindungan hukum, yaitu perlindungan terhadap pemegang hak cipta (copyrights) seperti sutradara dan perlindungan terhadap pemegang hak terkait (neighboring rights) seperti kepada pelaku (aktor), produser rekaman, dan lembaga penyiaran.8

6

Muhammad Djumhana, dan R. Djubaidillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, teori dan

Prakteknya di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 30.

7

Lihat Penjelasan Pasal 1 huruf k UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

8

(8)

Jadi Hak Cipta juga mengenal subjek-subjek lain, yaitu subjek yang ikut membantu mengumumkan, membawakan, memperbanyak ataupun menyiarkan karya cipta milik Pencipta. Subyek tersebut, kemudian diberikan suatu hak, yang kemudian disebut dengan Hak Terkait.

Hak pencipta termasuk hak cipta sinematografi dapat dialihkan kepada pihak atau diberikan wewenang untuk memperbanyak dan menyebarluaskan, menyiarkan, atau menyewakan suatu hasil ciptaan atau menggunakankan kepada pihak lain untuk keperluan komersil. Hal ini diperbolehkan oleh undang-undang dan dilakukan melalui pemberian lisensi. Lisensi selalu dikaitkan dengan kewenangan dalam bentuk privilege untuk melakukan sesuatu oleh seseorang atau suatu pihak tertentu. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu.9

Pengalihan hak cipta ini juga merupakan efek dari perdagangan bebas yang selama ini didengungkan telah banyak menimbulkan kebutuhan akan adanya peraturan-peraturan yang dapat dipatuhi oleh pihak-pihak dalam melakukan perdagangan internasional. Peraturan-peraturan yang dimaksud dapat memenuhi kebutuhan akan terciptanya sistem perdagangan yang lebih bebas, adil dengan

9

Lihat Poin 1 huruf H Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-33/Pj/2009 Tentang

(9)

tetap memperhatikan perbedaan tingkat sosial ekonomi dari negara-negara dunia. Hal ini sangat berpengaruh pada penggunaan/pemanfaatan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Penggunaan Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) melintasi batas negara-negara, mulai terjadi menjelang akhir abad ke-19, yang mengakibatkan perlunya perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual tidak hanya secara bilateral, melainkan juga secara multilateral atau secara global.10

Perkembangan perdagangan bebas di dunia dewasa ini juga merupakan salah satu pemicu timbulnya perjanjian lisensi. Pemberian lisensi ini dilakukan melalui suatu kesepakatan atau perjanjian yang juga dikaitkan dengan ketentuan asas kebebasan berkontrak dari pencipta atau pemegang hak cipta dengan penerima lisensi. Pasal 1313 KUH Perdata menentukan bahwa ”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Selanjutnya dalam Pasal 1338 KUH Perdata menegaskan bahwa

(1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

(2) Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

(3) Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

10

Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 29

(10)

Ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata tidak dapat berjalan sendiri, akan tetapi selalu berdampingan dengan Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat

sahnya perjanjian, yaitu (1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, (2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, (3) Suatu hal tertentu, dan (4) Suatu sebab yang halal.

Pasal 45 – 47 Undang-undang Hak Cipta mengatur secara khusus mengenai lisensi, yang pada intinya memberikan hak kepada pemegang Hak Cipta untuk memberikan lisensi kepada pihak lain melalui perjanjian lisensi untuk melaksanakan atau mempergunakan suatu karya cipta secara komersil dengan menerima royalti atas penggunaan hasil ciptaannya.

Pasal 45 Undang-undang Hak Cipta menentukan bahwa :

1) Pemegang Hak Cipta berhak memberikan Lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

2) Kecuali diperjanjikan lain, lingkup Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berlangsung selama jangka waktu Lisensi diberikan dan berlaku untuk seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

3) Kecuali diperjanjikan lain, pelaksanaan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan kewajiban pemberian royalti kepada Pemegang Hak Cipta oleh penerima Lisensi.

4) Jumlah royalti yang wajib dibayarkan kepada Pemegang Hak Cipta oleh penerima Lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi.11

11

(11)

Ketentuan tersebut di atas menjelaskan bahwa lisensi harus dibuat berdasarkan perjanjian untuk melaksanakan perbuatan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, dimana dalam hal ini Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta atas karya

sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut

untuk kepentingan yang bersifat komersial.12

Perjanjian pemberian lisensi menurut ketentuan Pasal 47 ayat (2) ditentukan bahwa “agar mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga, perjanjian lisensi wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal”. Hal ini dimaksudkan perjanjian lisensi yang dibuat antara pemegang hak cipta dengan penerima lisensi harus didaftarkan pada Direktorat Jenderal Hak Milik Intelektual pada Kanwil Departemen Hukum dan HAM Provinsi yang sekarang dikenal dengan Kementrian Hukum dan HAM.

Selain itu, berdasarkan hasil informasi dari Sub.Seksi Hak Kekayaan Inteletual pada Seksi Pelayanan Jasa Hukum dan Pengembangan Hukum Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Sumatera Utara diketahui bahwa sampai saat ini tidak adanya perjanjian lisensi khususnya yang menyangkut Karya Cipta Sinematografi yang terdaftar pada instansi yang berwenang. Hal ini

menunjukkan bahwa masih kurangnya kepedulian para pihak dalam yang terlibat dalam penggunaan karya cipta sinematografi yang belum memahami

12

(12)

pentingnya suatu Karya Cipta Sinematografi yang merupakan suatu hasil karya cipta sinematografi yang merupakan media komunikasi massa gambar gerak (moving images) dan meliputi: film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun yang dalam penggunaan oleh pihak lain tidak melalui perjanjian lisensi termasuk juga dalam pendaftaran lisensi karya cipta sinematografi sangat jarang dilakukan. Padahal banyak karya cipta sinematografi yang dipakai menjadi objek bisnis tetapi tidak dilakukan melalui perjanjian lisensi sesuai dengan ketentuan dalam hukum perjanjian dan tidak menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut mengenai perjanjian pemberian lisensi karya cipta sinematografi dilihat dari hukum perjanjian.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang dibahas dalam pada penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengikatan suatu perjanjian lisensi dan ketentuan royalti ditinjau ketentuan hukum perjanjian ?

2. Bagaimanakah pengaturan mengenai lisensi dan pembayaran royalti hak cipta sinematografi ?

3. Bagaimanakah kewenangan notaris dalam pemenuhan ketentuan umum perjanjian dalam suatu perjanjian lisensi sinematografi ?

(13)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui proses pengikatan suatu perjanjian lisensi dan ketentuan royalti ditinjau ketentuan hukum perjanjian.

2. Untuk mengetahui pengaturan lisensi dan pembayaran royalti hak cipta sinematografi

3. Untuk mengetahui kewenangan notaris dalam pemenuhan ketentuan umum perjanjian dalam suatu perjanjian lisensi sinematografi

D. Manfaat Penelitian

Pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan perlindungan hak kekayaan intelektual khususnya, terutama mengenai masalah lisensi dan pembayaran royalti hak cipta sinematografi menurut hukum perjanjian.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat khususnya yang terlibat dalam lisensi dan pembayaran royalti hak cipta

(14)

sinematografi, agar lebih mengetahui tentang hak dan kewajibannya dalam penyebarluasan dan penggunaan hak cipta sinematografi orang lain dan peranan notaris sebagai pembuat akta perjanjian lisensi, sekaligus pula memberi masukan kepada aparat dan praktisi hukum yang berkaitan dengan hak milik intelektual.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan sejauh yang diketahui, ditemukan beberapa judul penelitian yang menyangkut dengan Hak Kekayaan Intelektual diantaranya :

1. Penelitian dengan Judul “Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta atas Lagu

yang Tidak di Ketahui Penciptanya”, Oleh Sandhiyaning Wahyu A Arifani, 077011086/MKn

2. Penelitian dengan Judul “Analisis Yuridis Mengenai Kedudukan Para Pihak

Dalam Perjanjian Lisensi Merek Jasa Perhotelan”, Oleh Fithri Mutiara Harahap, 077011022/MKn.

(15)

3. Penelitian dengan Judul “Perlindungan Hukum Hak Cipta Atas Karya Rekaman

Suara Studi Mengenai Jasa Pengisian Ringtone Di Kota Medan, A. Enrico Tandean, 057011026/MKn

Dilihat dari topik yang dikaji pada kedua diatas jelas sangat berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan. Oleh karena itu, penelitian tentang “LISENSI DAN PEMBAYARAN ROYALTI HAK CIPTA SINEMATOGRAFI MENURUT HUKUM PERJANJIAN, belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Soerjono Soekanto mengatakan bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.13 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.14

13

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986, hal. 6.

14

J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, , 1996, hal. 203.

(16)

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis.15

Lahirnya beberapa peraturan hukum positif diluar KUHPerdata sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat dalam lapangan hukum kekayaan dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini, dengan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin yang mengartikan:

Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical

system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk.16

Selain menggunakan teori positivisme hukum dari Jhon Austin, juga digunakan teori sistem dari Mariam Darus Badrulzaman yang mengemukakan bahwa “Sistem adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu, yang merupakan landasan diatas mana dibangun tertib hukum.17 Hal yang sama juga dikatakan oleh Sunaryati Hartono bahwa sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah

15

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Penerbit Mandar Maju, Bandung 1994, hal 80.

16

Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filasafat Hukum, Mandar Maju, Bandung 2002, hal. 55.

17

Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung 1983, hal 15.

(17)

unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas.18

Jadi dalam sistem hukum terdapat sejumlah asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam pembentukan norma hukum dalam suatu perundang-undangan. Pembentukan hukum dalam bentuk hukum positif harus berorientasi pada asas-asas hukum sebagai jantung peraturan hukum tersebut.

Salah satu teori yang diterapkan dalam pembuatan perjanjian antara

underwriter dan emiten adalah teori hasrat yaitu teori yang merupakan prestasi kedua belah pihak dalam suatu kontrak yang menekankan kepada pentingnya “hasrat” (will atau intend) dan pihak yang memberikan janji. Ukuran dan eksistensi, kekuatan berlaku dan substansi dan suatu perjanjian diukur dan hasrat tersebut, yang terpenting dalam suatu kontrak atau penjanjian bukan apa yang akan dilakukan oleh para pihak dalam kontrak tersebut, tetapi apa yang mereka inginkan. Jadi suatu perjanjian mula-mula dibentuk berdasarkan kehendak para pihak.19

18

Lihat, Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hal 15, menyatakan bahwa disebut demikian karena dua hal, yakni pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, artinya peraturan hukum itu pada akhirnya bias dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kedua, sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio

legis dari peraturan hukum.

19

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dan Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra AdityaBakti,, Bandung, 2001, hal. 5

(18)

Selanjutnya menurut teori yang dikemukan oleh Van Dunne, yang mengartikan tentang perjanjian, yaitu “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.20

Teori tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian, yaitu :21

1. Tahap pra contractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan

2. Tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak;

3. Tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian

Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk mengenai kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus menguasai materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling penting dalam perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian serta syarat-syarat atau ketentuan yang disepakati.

Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa permasalahan lisensi di dalam Undang-undang Hak Cipta di atur di dalam bab V mulai dari Pasal 45 – 47 Undang-Undang-undang Hak Cipta. Berdasarkan Pasal 45 Undang-undang Hak Cipta maka pemegang hak cipta berhak memberikan lisensi kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian

20

Lely Niwan, Hukum Perjanjian. Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, Yogyakarta 1987, hal. 26

21

Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Tehnik Penyusunan Kontrak, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Mataram, 2002 hal. 26.

(19)

lisensi untuk melaksanakan perbuatan mengumumkan, memperbanyak ciptaan serta menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.

Sedangkan pengertian lisensi berdasarkan Pasal 1 angka 14 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemegang hak terkait kepada pihak lain untuk mengumumkan dan/atau memperbanyak ciptaannya atau produk hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu.

Gunawan Widjaya mengelompokkan lisensi atas dua kelompok yaitu : 1. Lisensi umum

2. Lisensi paksa, lisensi wajib (compulsory license, non voluntary

license).22

Lisensi umum adalah lisensi yang secara umum dikenal di dalam praktek perdagangan yang merupakan pemberian izin dari satu pihak kepada pihak lain setelah melalui proses negosiasi antara kedua belah pihak, yaitu antara pemberi lisensi kepada penerima lisensi.

Lisensi paksa atau lisensi wajib adalah pemberian izin yang diberikan tidak dengan sukarela oleh pemilik atau pemegang Hak Kekayaan Intelektual kepada penerima lisensi melainkan lisensi diberikan oleh suatu badan nasional yang berwenang.

22

(20)

Dalam praktek, lisensi dikategorikan atas 3 macam lisensi, yaitu :

1. Lisensi eksklusif, yaitu penerima lisensi yang memberikan izin hanya kepada penerima lisensi untuk menjalankan perbuatan yang diperjanjikan di dalam perjanjian lisensi.

2. Lisensi tunggal yaitu perjanjian lisensi yang berisikan ketentuan bahwa pencipta atau pemegang hak cipta mengalihkan hak ciptanya kepada pihak lain akan tetapi si pemegang hak cipta tetap dapat mempergunakan haknya sebagai pemegang hak cipta.

3. Lisensi non eksklusif yaitu perjanjian lisensi yang berisikan ketentuan bahwa pencipta atau pemegang hak cipta mengalihkan hak cipta kepada sejumlah pihak serta tetap pencipta atau pemegang hak cipta tetap dapat mempergunakan haknya sebagai pemegang hak cipta.23

Lisensi yang diberikan berdasarkan Pasal 45 ayat (2) Undang-undang Hak Cipta terhadap perbuatan mengumumkan, memperbanyak ciptaan serta menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial berlangsung selama jangka waktu lisensi yang diberikan serta berlaku di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.

Kompensasi dari pemberian lisensi oleh pemberi lisensi kepada penerima lisensi adalah adanya pembayaran sejumlah royalti kepada pemberi lisensi, yaitu pemegang hak cipta oleh penerima lisensi dan jumlah royalti yang diberikan oleh penerima lisensi adalah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dengan berpedoman kepada kesepakatan organisasi profesi.24

23

Swari N. Tarigan, Perlindungan Hukum Hak Cipta Atas Karya Rekaman Suara (Studi

Mengenai Jasa Pengisian Rington Di Kota Medan, Thesis, PPS USU, Medan, 2008, hal. 69.

24

(21)

Berdasarkan uraian tersebut di atas, jelas bahwa bahwa dasar dari lisensi tersebut adalah perjanjian sehingga di dalam prakteknya disebut dengan perjanjian

lisensi. Hal ini tampak dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-undang Hak Cipta yang menentukan bahwa pemegang Hak Cipta berhak memberikan Lisensi

kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi untuk melaksanakan perbuatan mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, dan Pencipta dan/atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan Program Komputer memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut unt uk kepentingan yang bersifat komersial.25

Kecuali diperjanjikan oleh kedua belah pihak, pemegang hak cipta masih diperbolehkan untuk melaksanakan sendiri perbuatan mengumumkan, memperbanyak ciptaan serta menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial atau memberikan lisensi lain kepada pihak ketiga. Hal ini tampak di dalam Pasal 46 Undang-undang Hak Cipta. Dari ketentuan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa lisensi yang diberikan oleh pemberi lisensi belum tentu merupakan lisensi eksklusif yang hanya dapat dipegang oleh satu pihak penerima lisensi.

25

Lihat Pasal Pasal 45 ayat (1) Jo Pasal 2 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

(22)

Menurut Swari N. Tarigan isi dari perjanjian lisensi adalah :

Pemberian izin untuk mengumumkan, memperbanyak ciptaan serta menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial dan di dalam perjanjian lisensi dilarang dimuat ketentuan yang dapat menimbulkan kerugian bagi perekonomian Indonesia atau ketentuan yang mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat. Hal ini sesuai dengan Pasal 47 ayat 1 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.26 Lebih lanjut Husain Audah menyebutkan bahwa

Lisensi hak cipta dituangkan di dalam bentuk kontrak tertulis. Klausul yang termuat di dalam kontrak tersebut disusun untuk tidak membuka peluang adanya penafsiran yang argumentatif serta termuat di dalamnya ketentuan yang dapat dilakukan dan dipertanggungjawabkan dengan jelas dan tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku serta tidak menyalahi asas kepatutan.27

Oleh karena itu, yang harus diperhatikan di dalam perjanjian lisensi adalah : 1. Para pihak dimana masing-masing penandatangan kontrak tersebut

harus jelas kedudukannya baik nama, jabatan dan domisili.

2. Materi dimana materi yang dilisensikan harus disebutkan dengan jelas judul lagunya dengan lampiran lirik dan notasinya, rekaman dasar karya ciptanya.

3. Pemberian hak yaitu batasan hak yang diberikan dalam lisensi tersebut harus dicantumkan dengan lengkap dan jelas baik format kemasan (kaset, CD, VCD dan lain sebagainya) maupun jenis musiknya (pop, dangdut, campursari, dan lain sebagainya).

4. Durasi atau jangka waktu. Pencantuman jangka waktu penggunaan hak cipta bagi hak lisensi tersebut harus tertuang dengan pasti.

5. Wilayah. Batasan wilayah bagi penggunaan hak cipta dalam lisensi itu juga sebaiknya jelas dan terinci.

6. Pembayaran. Sistem pembayaran yang dilakukan dalam bentuk flatpay (langsung) atau royalti dengan atau tanpa advance (bertahap).

26Ibid

., hal. 70

27

Husain Audah, Hak Cipta dan Karya Cipta Musik, Pustaka Litera Antar Nusa, Bogor. 2004, hal. 32

(23)

7. Kontrol. Dalam perjanjian yang menganut sistem royalti, dimuatkan klausul yang menyangkut hak inspeksi atau kontrol keuangan secara reguler minimal 3 bulan sekali terhadap perkembangan hasil eksploitasi karya cipta tersebut.

8. Jaminan. Jaminan dari pemberi lisensi (licensor) bahwa karya cipta yang diperjanjikan tersebut adalah asli atau original. Harus dimuat sebagai jaminan bagi penerima lisensi (licensee) dalam penggunaan karya cipta tersebut.

9. Arbitrase. Pencantuman lembaga arbitrase yang akan ditunjuk sebagai mediasi apabila terjadi sengketa yang menyangkut isi perjanjian tersebut perlu dipertimbangkan.28

Supaya perjanjian lisensi yang dilakukan oleh pemberi lisensi kepada

penerima lisensi memiliki akibat hukum bagi pihak ketiga, maka perjanjian lisensi tersebut harus dicatatkan di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual

(Ditjen HKI). Pencatatan pada Ditjen HKI dilakukan sebagai upaya untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan perjanjian lisensi dan sekaligus juga sebagai sarana untuk mewujudkan keseimbangan antara para pihak dalam pelaksanaan perjanjian lisensi.29

Dengan adanya, perjanjian lisensi ini, penerima lisensi sinematografi terdaftar tidak dapat digugat karena, dianggap melanggar hak atas hasil ciptaan sinematografi. Sebab pemilik (pemberi) Lisensi Terdaftar telah memberikan izin kepadanya, untuk menggunakan karya sinematografi tersebut, baik untuk seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau jasa yang didaftarkan.

28Ibid

., hal 33.

29

(24)

2. Konsepsi

Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping penggunaan asas dan standar, karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan hal yang sangat penting dalam pembentukan hukum. Konsep juga dapat diartikan sebagai suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis.30 Kerangka konsep mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.31 Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut :

Berkaitan dengan judul penelitian tesis ini, berikut ini dikemukakan pula beberapa pengertian yang menjadi kerangka konsepsi penelitian, maka

a) Lisensi adalah hak yang dimiliki oleh pihak yang menjadi pemilik suatu bentuk hak kekayaan intelektual untuk mengalihkannya kepada pihak lain.

b) Perjanjian lisensi adalah perjanjian antara pencita atau pemegang hak cipta untuk mengalihkan penggunaan dan pemanfaat hak atas suatu karya cipta sinematografi kepada pihak lain.

c) Karya Cipta adalah hasil imajinasi seorang pencipta yang kemudian bermanfaat bagi orang lain.

30

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, 1996, Bandung hal. 307.

31

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 7

(25)

d) Karya Sinematografi adalah karya cipta yang berupa media komunikasi massa gambar gerak (moving images) antara lain meliputi: film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, di layar lebar atau ditayangkan di televisi atau di media lainnya. Karya serupa itu dibuat oleh perusahaan pembuat film, stasiun televisi atau perorangan;

e) Pencipta adalah orang yang dengan pemikiran dan imajinasinya menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.

f) Penggunaan tanpa izin adalah orang atau badan hukum yang menggunakan karya cipta sinematografi tanpa izin pencipta.

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menurut sifat dan jenisnnya dikategorikan sebagai penelitian yang bersifat deskriptif-analitis. Dengan penelitian yang bersifat deskriptif dimaksudkan untuk melukiskan keadaan obyek atau peristiwanya,32 kemudian menelaah dan menjelaskan serta menganalisis data secara mendalam dengan mengujinya dari berbagai peraturan perundangan yang berlaku maupun dari

32

(26)

berbagai pendapat ahli hukum, sehingga diharapkan dapat diketahui gambaran jawaban atas permasalahan yang diteliti, yakni gambaran mengenai Lisensi dan Pembayaran Royalti Hak Cipta Sinematografi Menurut Hukum Perjanjian.

Sedang jenis penelitian atau metode pendekatan yang dilakukan adalah metode penelitian hukum normatif (yuridis-normatif) atau disebut juga penelitian hukum kepustakaan. Metode penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Hal ini sejalan dengan pendapat Ronald Dworkin menyebut metode penelitian normatif juga sebagai penelitian doktrinal atau doctrinal research, yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it is decided

by the judge through judicial process.33

Sedikitnya ada tiga alasan penggunaan penelitian hukum normatif yang bersifat kualitatif. Pertama, analisis kualitatif didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep dan data yang merupakan umpan balik atau modifikasi yang tetap dari teori dan konsep yang didasarkan pada data yang dikumpulkan. Kedua, data yang akan dianalisis beraneka ragam, memiliki sifat dasar yang berbeda antara yang satu dengan lainnya, serta tidak mudah untuk dikuantifisir. Ketiga, sifat dasar data yang akan dianalisis dalam penelitian adalah

33

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah Disampaikan Pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Penelitian Hukum Pada Makalah Akreditasi Fakultas Hukum USU Tanggal 18 Februari 2003, hal.1.

(27)

bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral holistic, dimana hal itu menunjukkan adanya keanekaragaman data serta memerlukan informasi yang mendalam atau indepth information.34

Ronny Hanitijo Sumitro menyatakan bahwa penelitian yuridis normatif terdiri atas :

1) penelitian inventarisasi hukum positif; 2) penelitian terhadap asas-asas hukum;

3) penelitian untuk menemukan hukum in-konkrito; 4) penelitian terhadap sistematika hukum; dan

5) penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal.35

Dalam penelitian ini maka penelitian yuridis normatif yang tepat adalah penelitian untuk menemukan hukum in-konkrito, yakni suatu penelitian yang berusaha menemukan aspek hukum yang sesuai untuk permasalahan di bidang perjanjian lisensi sinematografi. Dalam penelitian ini metode yuridis normatif digunakan untuk meneliti norma-norma hukum yang berlaku yang mengatur tentang lisensi dan pembayaran royalti.

2. Teknik Pengumpulan Data

Sebagai Penelitian hukum normatif, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library

research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan

34Ibid

., hal 2.

35

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimentri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998. hal. 12.

(28)

penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya.

Penelitian kepustakaan (library research) dalam penelitian ini ditekankan pada pengambilan data sekunder yang dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan yang antara lain adalah sebagai berikut :

Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi:

a. Bahan hukum primer, seperti Undang-undang Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan obyek penelitian. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dan kalangan pakar hukum sepanjang relevan dengan objek telaahan penelitian ini.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukurn sekunder, seperti kamus umum dan kamus hukum.

3. Analisis Data

Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh di lapangan dianalisa secara kualitatif. Metode analisa yang dipakai adalah metode deduktif. Melalui metode deduktif, data sekunder yang telah diuraikan dalam tinjauan pustaka secara komparatif akan dijadikan pedoman dan dilihat pelaksanaannya dalam melihat Lisensi dan Pembayaran Royalti Hak Cipta Sinematografi Menurut Hukum Perjanjian. Data yang diperoleh dari hasil

(29)

penelitian ini dianalisa dengan cara ”kwalitatif, selanjutnya dilakukan proses pengolahan data. Setelah selesai pengolahan data baru ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif.”36 Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul baik inventarisasi karya ilmiah, peraturan perundang-undangan, yang berkaitan dengan judul penelitian baik media cetak dan laporan-laporan hasil penelitian lainnya untuk mendukung studi kepustakaan. Kemudian baik data primer maupun data sekunder dilakukan analisis penelitian secara kuantitatif dan untuk membahas lebih mendalam dilakukan secara kualitatif. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum yang ada dalam tesis ini.

36

Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas Erlangga, Surabaya, halaman 2. Prosedur Deduktif yaitu Bertolak dari Suatu Proposisi Umum yang Kebenarannya telah Diketahui dan Diyakini dan Berakhir pada Suatu Kesimpulan yang Bersifat Lebih Khusus. Pada Prosedur ini Kebenaran Pangkal Merupakan Kebenaran Ideal yang Bersifat Aksiomatik (Self Efident) yang Esensi Kebenarannya Sudah Tidak Perlu Dipermasalahkan Lagi.

Referensi

Dokumen terkait

kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota. Melaksanakan sinkronisasi dan sosialisasi peraturan perundang- undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan

Upaya Orangtua dalam memberikan nasehat kepada anak remaja, dalam rangka membina akhalak mereka. Menyimpulkan berdasarkan data yang penulis dapatkan dilapangan

juga harus sudah dibuat pedoman pelayanan klinik (PPK) dan disusun clinical pathway (CP) untuk tiap penyakit, atau penyakit terpilih, menentukan standar

orangtuanya untuk masuk agama Katholik. Dista mengikuti saran sahabatnya tersebut dengan alasan ingin menjadikan agama Katholik sebagai pedoman hidup yang benar- benar ia

Hukum Konstitusi, sebagai ilmu, adalah Hukum cabang atau spesialisasi Hukum Tata Negara yang mempelajari konstitusi sebagai obyek material dan hukum dasar sebagai obyek

•  Dalam menemukan lokasi yang terbaik untuk menjadi pusat distribusi, metode ini memperhitungkan lokasi pasar, volume barang yang dikirim ke pasar itu, dan biaya pengangkutan.

Langileen Estatutuak arautzen dituen, eta ikusi di- tugun, barruko malgutasunako neurriak eta kaleratzearen arteko interakzioa aztertuz gero, salatu beharra dago legeak ez

Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk meningkatkan rasa ingin tahu dan prestasi belajar IPS siswa materi aktivitas ekonomi dalam memanfaatkan sumber daya