• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di tiap tahunnya. Berdasarkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di tiap tahunnya. Berdasarkan"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kawasan perkotaan di Indonesia mengalami permasalahan yang sama, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di tiap tahunnya. Berdasarkan hasil sensus jumlah penduduk Kota Yogyakarta tahun 2000 mencapai angka 397.398 orang yang terdiri dari 194.530 orang (48,95 persen) laki-laki dan 202.868 orang (51,05 persen) perempuan. Jumlah penduduk berdasarkan hasil Supas tahun 2005 sebanyak 435.236 orang. Dengan demikian rata-rata pertumbuhan penduduk periode tahun 2000-2005 sebesar 1,9 persen (BPS Kota Yogyakarta, 2011). Hal ini tentunya dapat menyebabkan keberadaaan ruang kota menjadi padat. Kecamatan Gondokusuman merupakan daerah perkotaan di Kota Yogyakarta yang padat akan penduduknya. Hal ini dapat dilihat berdasarkan data BPS Kecamatan Gondokusuman dalam angka yang menyebutkan bahwa terjadi peningkatan jumlah penduduk diantara tahun 2006 hingga tahun 2009. Data di tahun 2006 menyebutkan bahwa jumlah penduduk di Kecamatan Gondokusuman mencapai 76.134 jiwa, di tahun 2007 bertambah menjadi 76.664 jiwa, di tahun 2008 mencapai 80.021, dan di tahun 2009 mencapai 83.738 jiwa. Artinya peningkatan jumlah penduduk di Kecamatan Gondokusuman sangat cepat dalam kurun waktu tersebut. Tingkat keberhasilan suatu kota dapat dilihat dari perkembangan kota tersebut. Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat

(2)

dan banyaknya jenis infrastruktur menunjukkan laju perkembangan kota yang semakin padat. Aspek penduduk jika tidak diperhatikan dan ditangani secara menyeluruh dapat menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan wilayah setempat.

Meningkatnya jumlah penduduk disetiap waktu merupakan akibat dari tingginya arus urbanisasi menuju perkotaan. Jumlah penduduk perkotaan yang tinggi dan terus meningkat dari waktu ke waktu tersebut akan membawa dampak pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota. Salah satunya ialah terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan ruang dengan jumlah penduduk yang ada. Kebutuhan akan ruang bagi penduduk jauh lebih tinggi daripada keberadaan ruang wilayah yang ada. Hal tersebut tentunya akan mengakibatkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kawasan perkotaan yang semakin sempit karena beralih fungsi menjadi kawasan permukiman atau gedung-gedung yang sifatnya komersil. Sehingga penataan ruang kota kawasan perkotaan perlu mendapatkan perhatian yang khusus, terutama terkait dengan penyediaan ruang-ruang terbuka hijau publik (open spaces) di perkotaan. Ruang terbuka hijau kawasan perkotaan merupakan kawasan lindung yang bersifat alami dan keberadaannya perlu disediakan untuk mewujudkan lingkungan perkotaan yang seimbang dengan lingkungan kawasan terbangunnya. Lingkungan perkotaan hanya berkembang secara ekonomi, namun menurun secara ekologi. Padahal keseimbangan lingkungan perkotaan secara ekologi sama pentingnya dengan perkembangan nilai ekonomi kawasan perkotaan.

(3)

Kondisi demikian mengakibatkan tidak seimbangnya antara lingkungan yang terbangun (binaan) dan lingkungan perlindungan (alami) sehingga menurunkan mutu kualitas hidup di kawasan perkotaan. Oleh karena itu, untuk mencapai lingkungan perkotaan yang ideal bagi seluruh kalangan masyarakat, penataan ruang terbuka hijau dalam suatu kota menjadi pertimbangan yang serius. Sedangkan definisi Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang mengacu pada Undang-Undang Penataan Ruang Nasional Nomor 26 Tahun 2007 adalah merupakan area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, untuk tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Menurut Ning Purnomohadi (2008) dalam Kajian Rencana Aksi Ruang Terbuka Hijau Kota Yogyakarta Tahap I (Bappeda, 2010), Ruang Terbuka Hijau adalah bagian dari ruang-ruang terbuka suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi. Sedangkan Fandeli (2004) menyatakan Ruang Terbuka Hijau kota merupakan bagian dari penataan ruang perkotaan yang berfungsi sebagai kawasan lindung sehingga ruang terbuka hijau diklasifikasikan berdasarkan status kawasan, seperti kawasan hijau kota yang terdiri atas pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau fasilitas olahraga, dan kawasan hijau perkarangan. Ruang terbuka hijau dikasifikasikan berdasarkan status kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya.

Harapannya kedepan keberadaan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan semakin meningkat terutama untuk mengembalikan keseimbangan lingkungan, terutama untuk ruang terbuka hijau di kawasan pemukiman daerah

(4)

perkotaan. Kawasan pemukiman merupakan lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian secara menyeluruh dan terpadu, yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan (Kementrian Pekerjaan Umum,2010). Manfaat pengembangan ruang terbuka hijau pada daerah permukiman perkotaan salah satunya ialah untuk meningkatkan cadangan oksigen dan memperbaiki iklim mikro setempat. Selain itu juga sebagai aspek penambah estetika ruang wilayah. Menurut Peraturan Menteri No.1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) yang salah satunya jenisnya adalah Ruang terbuka hijau taman lingkungan permukiman dan perumahan adalah merupakan taman dengan klasifikasi yang lebih kecil dan diperuntukan untuk kebutuhan rekreasi terbatas yang meliputi populasi/masyarakat sekitar. Taman lingkungan ini terletak disekitar daerah permukiman dan perumahan untuk menampung kegiatan-kegiatan warganya. Taman ini mempunyai fungsi sebagai paru-paru kota (sirkulasi udara dan penyinaran), peredam kebisingan, menambah keindahan visual, area interaksi, tempat bermain, dan menciptakan kenyamanan lingkungan.

Penggunaan lahan di Kecamatan Gondokusuman banyak didominasi oleh permukiman. Di Kecamatan Gondokusuman banyak dijumpai berbagai jenis permukiman, salah satunya permukiman perkampungan, permukiman mewah, permukiman asrama tentara, permukiman disepanjang jalan kereta api, dan lain-lain. Setiap permukiman memiliki ketersediaan ruang terbuka hijau yang bermacam-macam. Tergantung pada banyaknya liputan vegetasi hijau yang terdapat pada permukiman tersebut. Sebaran ruang terbuka hijau tentunya

(5)

mengikuti pola dari sebaran permukiman tersebut. Pada keterangan tersebut dijelaskan mengenai keberadaan ruang terbuka hijau pada kawasan permukiman di Kecamatan Gondokusuman.

Berdasarkan uraian keterangan diatas digambarkan kondisi jumlah penduduk yang meningkat disetiap waktunya menjadi ancaman bagi keberadaan ruang terbuka hijau di Kecamatan Gondokusuman. Pemerintah Kota seharusnya merencanakan pengembangan dan peningkatan ketersediaan ruang terbuka hijau yang lebih dari cukup. Dalam rangka pengadaan dan peningkatan ketersediaan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan ternyata Pemerintah Kota mengalami kendala yakni kesulitan mengganti tingginya harga tanah. Berdasarkan uraian Anonim (2012) dalam berita Harian Koran Kedaulatan Rakyat tanggal 4

Desember 2012 halaman 9, Rencana Pemerintahan Kota (PemKot) Yogyakarta

yang hendak membeli tanah warga untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) publik bagi kelurahan masih tersendat prosesnya. Hal ini lantaran pemilik tanah mematok harga yang cukup tinggi dengan di diatas Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Sebagai contoh dalam uraian berita tersebut ialah sebidang tanah di Kelurahan Klitren dengan luasan mencapai 731 meter persegi dengan harga dari pemilik tanah mencapai Rp.1,5juta per meter persegi. Sementara penawaran Pemerintah Kota hanya berani di angka Rp.600 ribu per meter perseginya. Lain lagi dengan sebidang tanah seluas 370 meter persegi di Kelurahan Purwokinanti. Warga pemilik tanah mematok harga jual Rp. 1,08 juta per meter persegi. Padahal sesuai ketentuan NJOP harga tanah di sekitar daerah tersebut mencapai Rp.200 ribu per meter persegi, sementara Pemerintah Kota menyodorkan harga sekitar

(6)

Rp. 407 ribu per meter perseginya. Warga pemilik tanah belum bersedia melepas keberadaan tanahnya dengan alasan ketidaksepakatan soal harga yang diinginkan. Harga jual tanah yang akan dibeli pemerintah kota untuk peningkatan ruang terbuka hijau jauh dari harapan. Ketidakmampuan dalam aspek finansial menjadi faktor penghambat bagi pemerintah kota dalam meningkatkan ruang terbuka hijau (RTH) di tiap Kelurahan. Sehingga ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) saat ini belum optimal keberadaannya. Dalam Undang-Undang Penataan Ruang Nasional Nomor 26 Tahun 2007 disebutkan bahwa jumlah RTH disetiap kota harus sebesar 30 % dari luas total kota tersebut. Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah perkotaan adalah sebesar 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat. Apabila luas ruang terbuka hijau baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar daripada peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.

1.2 Perumusan Masalah

Suatu kota merupakan suatu bidang kajian yang sangat menarik, karena kompleksitas permasalahan yang dimilikinya. Dalam wilayah kota inilah semua aspek kehidupan manusia muncul dengan ciri utama peri kehidupan non-agraris. Hal inilah yang membedakannya dengan daerah bukan kota. Kota dapat didelineasi dari segi administratif spasialnya dan juga dari keberadaan morfologi fisik lahan terbangunnya. Kompleksitas fisik lahan terbangun dari suatu wilayah dapat untuk mengidentifikasi keberadaan suatu kota. Semakin banyak jumlah fisik

(7)

lahan terbangun dan semakin lengkap jenis fisik bangunan tersebut menunjukkan derajat daerah kekotaan yang tinggi pula.

Daerah inti yang menjadi cakupan penelitian ini adalah Kecamatan Gondokusuman. Merupakan salah satu kecamatan yang masuk dalam administrasi Kota Yogyakarta. Kecamatan Gondokusuman memiliki luasan wilayah sekitar 3,98 Km² dan mempunyai jumlah penduduk sekitar 47.568 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 23.497 jiwa dan perempuan 24.071 jiwa (Kecamatan Gondokusuman Dalam Angka, 2012). Kecamatan Gondokusuman berada dibagian utara dalam Kota Yogyakarta, sehingga berbatasan secara langsung dengan Kabupaten Sleman terutama Kecamatan Depok. Secara letak stategis Kecamatan Gondokusuman merupakan daerah pinggiran kota karena berbatasan langsung dengan wilayah kabupaten lain. Kondisi ini tidak begitu mempengaruhi kondisi kekotaan yang ada di Kecamatan Gondokusuman, yang sejatinya tetap merupakan daerah perkotaan. Kecamatan Gondokusuman juga dilalui jalan penghubung antar kota yaitu Jalan Yogyakarta-Solo, sehingga menjadi prioritas pilihan tempat seseorang untuk bertempat tinggal dan membangun tempat usaha. Kondisi penggunaan lahan di Kecamatan Gondokusuman didominasi oleh lahan pemukiman yang tersebar di 5 Kelurahan yang ada, yakni di Kelurahan Klitren, Terban, Demangan, Baciro, dan Kotabaru. Di kecamatan Gondokusuman terdapat variasi kenampakan pemukiman yang satu dengan lainnya antara lain kenampakan pemukiman perkampungan, permukiman mewah, permukiman di bantaran sungai atau rel, dan kenampakan permukiman di sekitar kawasan pendidikan.

(8)

Laju perkembangan wilayah di daerah Kecamatan Gondokusuman cukup pesat, hal ini ditandai dengan banyaknya fasilitas yang mudah dijumpai dan tersebar dipinggir jalan raya maupun jalan lingkungan. Yaitu baik fasilitas pendidikan, ekonomi-sosial, maupun kesehatan. Perkembangan wilayah tidak terlepas dari meningkatnya jumlah penduduk baik secara langsung maupun tidak langsung. Pertumbuhan penduduk merupakan salah satu tolok ukur dalam perkembangan suatu wilayah. Tingginya pertumbuhan penduduk di Kecamatan Gondokusuman disebabkan oleh adanya arus urbanisasi menuju daerah perkotaan. Sehingga keberadaan ruang kota menjadi padat dan kebutuhan akan ruang bagi penduduk lainnya menjadi meningkat. Padahal keberadaan ruang perkotaan sangat terbatas dan tidak mungkin dapat diperbaharui keberadaaan luasanya. Kondisi demikian menyebabkan ketidakseimbangan antara kebutuhan ruang penduduk dengan kondisi ruang yang ada sebenarnya. Kebutuhan ruang yang meningkat dalam hal ini ialah permukiman untuk tempat tinggal/hunian penduduk. Peningkatan lahan permukiman dipengaruhi oleh tingginya jumlah penduduk yang ada diwilayah tersebut. Lahan permukiman berkembang dan mendesak keberadaan ruang-ruang kawasan hijau lainnya. Ruang kawasan hijau merupakan kawasan lindung perkotaan yang bersifat alami. Ruang kawasan hijau merupakan ruang terbuka hijau yang merupakan tempat untuk tumbuh kembang tanaman/vegetasi hijau yang bersifat terbuka. Keberadaan ruang terbuka hijau di kawasan permukiman sebagai pengendali stabilitas lingkungan permukiman setempat. Semakin banyak keberadaan ruang terbuka hijaunya didalam kawasan permukiman maka semakin baik keberadaan lingkungan permukimannya.

(9)

Secara garis besar mengenai berbagai permasalahan di atas, maka dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah tingkat ketersediaan RTH di Kecamatan Gondokusuman? 2. Bagaimanakah pola persebaran spasial RTH di Kecamatan

Gondokusuman?

3. Variabel-variabel apa sajakah yang berpengaruh terhadap luasan RTH di Kecamatan Gondokusuman?

Berdasarkan uraian di atas, penyusun mencoba melakukan penelitian yang berkaitan dengan kawasan hijau di daearah pemukiman, sehingga judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah “KAJIAN KETERSEDIAAN RUANG

TERBUKA HIJAU DI KECAMATAN GONDOKUSUMAN KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2009”

1.3 Tujuan Penelitian

Dengan latar belakang serta rumusan masalah yang ada, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui tingkat ketersediaan RTH di Kecamatan Gondokusuman. 2. Mengetahui pola persebaran keruangan RTH di Kecamatan

Gondokusuman.

3. Mengetahui variabel-variabel yang paling berpengaruh terhadap luasan RTH di Kecamatan Gondokusuman.

(10)

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapakan mempunyai manfaat sebagai berikut :

1. Dapat memberikan informasi berupa sebaran spasial RTH pada kawasan permukiman di Kecamatan Gondokusuman Kota Yogyakarta. 2. Memberikan masukan dan pertimbangan bagi pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan tentang pengelolaan lingkungan dalam kaitan pengembangan penataan RTH permukiman serta pengambil keputusan dalam kebijakan pengembangan kota

1.5 Tinjauan Pustaka 1.5.1 Ilmu Geografi

Ilmu geografi sebagai ilmu murni dan ilmu terapan mempunyai kaitan yang erat dengan pembangunan dan pengembangan wilayah. Ilmu geografi merupakan ilmu yang menerangkan dan menceritakan sifat bumi, menganalisis gejala alam dan penduduk, mempelajari corak yang khas dalam kehidupan dan berusaha mencari fungsi dan unsur-unsur bumi dalam ruang dan waktu. Geografi pembangunan adalah suatu studi yang memperhatikan aspek-aspek geografi yang menunjang suatu pembangunan wilayah (Bintarto, 1991). Pembangunan sangat berhubungan dalam konteks keruangan karena penentuan kebijakan nasional mempunyai efek langsung pada wilayah-wilayah di bawahnya.

Dikemukakan juga oleh Bintarto (1991) bahwa objek ilmu geografi ada dua macam, yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah geosfer yang meliputi litosfer, atmosfer, hidrosfer, biosfer, antroposfer dan pedosfer.

(11)

Objek formalnya menekankan pada sudut pandang atau cara memandang dan cara berfikir terhadap suatu gejala di permukaan bumi baik yang bersifat fisik maupun sosial, yaitu sudut pandang secara organisasi keruangan atau spatial setting. Semua komponen yang menjadi objek studi geografi tersebut dipandang sebagai satu kesatuan yang utuh untuk mensejahterakan masyarakat dengan cara pembangunan.

Dari deskripsi di atas tersirat bahwa pendekatan geografi antara lain pendekatan secara kajian keruangan, kewilayahan, ekologi dan sistem, serta historis. Tetapi dalam perkembangannya studi geografi mengerucut menjadi tiga macam pendekatan (Bintarto dan Surastopo, 1979) :

1. Analisa keruangan (spatial analysis) yaitu mempelajari perbedaan lokasi mengenai sifat-sifat penting, yang memperhatikan penyebaran penggunaan ruang yang telah ada dan penyediaan ruang yang akan digunakan untuk berbagai kegunaan yang dirancangkan.

2. Analisa ekologi (ecological analysis) yaitu pendekatan yang memperhatikan interaksi organisme hidup dengan lingkungannya.

3. Analisa kompleks wilayah (regional complex analysis) yaitu suatu pendekatan yang merupakan kombinasi antara analisa keruangan dan analisa ekologikal.

Ketiga pendekatan tersebut telah menjadi dasar dalam pemikiran-pemikiran geografi baik saat masih berparadigma nomotetik (sebelum 1980-an) hingga paradigma positivisme (1980 – sekarang). Begitu pun dalam salah satu aplikasi ilmu geografi yaitu ilmu tata ruang. Ilmu tata ruang secara umum

(12)

mencakup perencanaan, proses penataan ruang, pengendalian dan evaluasi penataan ruang. Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian kali ini adalah analisa keruangan yaitu mengetahui pola distribusi keruangan wilayah penelitian dengan memperhatikan lingkungan sekitarnya serta menilai tingkat ketersediaan ruang hijau pemukiman yang ada di daerah penelitian.

1.5.2 Wilayah Perkotaan

Kota ditinjau dari segi eksistensi wilayahnya yang dibatasi oleh batas-batas yang telah diatur oleh Undang-Undang, maka kenampakan wilayahnya pada umumnya tidak hanya menunjukkan kekotaan saja baik dari segi fisik, ekonomi, sosial maupun kultural, namun di beberapa bagian wilayahnya sangat mungkin terlihat kenampakan kedesaan. Walaupun demikian, secara yuridis administratif / legal, wilayah yang berada di dalam batas-batas yang telah ditentukan, baik yang mempunyai kenampakan kekotaan maupun mempunyai kenampakan kedesaan adalah berstatus sebagai kota.

Menurut Yunus (2005), kota dari aspek yuridis administratif dapat didefinisikan sebagai suatu daerah tertentu dalam wilayah negara dimana keberadaannya diatur oleh Undang-Undang (peraturan tertentu), daerah mana dibatasi oleh batas-batas administratif yang jelas yang keberadaannya diatur oleh Undang-Undang/peraturan tertentu dan ditetapkan berstatus sebagai kota dan berpemerintahan tertentu dengan segala hak dan kewajibannya dalam mengatur wilayah kewenangannya.

(13)

Dengan demikian sangatlah jelas delimitasi wilayah kota dari tinjauan aspek yuridis administratif dan segala konsekuensi keruangan yang timbul karenanya. Semua daerah yang berada di luar batas-batas kota yang telah ditetapkan apa pun kenampakannya adalah bukan kota dan sementara itu semua kenampakan yang berada dalam batas-batas wilayah yang telah ditetapkan adalah kota. Namun perlu diingat kembali bahwa kata kota tidak serta merta identik dengan kata kekotaan tetapi lebih tepat dengan istilah perkotaan. Ungkapan lain yang dapat digunakan untuk itu adalah bahwa semua daerah yang berada dalam batas-batas kota merupakan daerah perkotaan, sementara itu di luar batas-batas kota, walaupun kenampakan fisikalnya sama dengan daerah kekotaan yang berada didalam batas-batas kota bukan daerah perkotaan, namun merupakan daerah kekotaan (dapat dalam artian fisik, sosial, ekonomi, dan atau kultural)

Kota dari tinjauan morfologi kota menurut Sujarto, 1970 dalam Yunus (2005 : 17) adalah tinjauan fisik morfologis merupakan salah satu nodal point dalam suatu wilayah yang luas, dan merupakan konsentrasi penduduk yang padat, bangunan yang didominasi oleh struktur permanen dan kegiatan-kegiatan fungsionalnya. Elemen-elemen diatas dalam rangka berkembang dan tumbuhnya suatu kota juga akan mengalami perubahan sesuai dengan sifat dinamikanya perkembangan dan pertumbuhan kota yang bersangkutan.

Untuk tujuan identifikasi kenampakan fisikal morfologi kota, lebih disarankan untuk menggunakan media foto udara atau citra penginderaan jauh lainnya. Media tersebut merupakan gambaran permukaan bumi yang direkam dari ketinggian tertentu sehingga kenampakan yang diperoleh serupa benar dengan apa

(14)

yang ada seperti kalau dilihat dari atas dengan alat inderawi manusia. Makin besar skala foto atau citra yang digunakan untuk mencerminkan kenampakan permukaan bumi, akan makin jelas kenampakan fisikal yang dapat diamati. Disamping itu perkembangan tekhnologi yang semakin canggih, telah menciptakan teknik-teknik analisis foto udara maupun citra penginderaan jauh lainnya semakin canggih pula sehingga makin memudahkan peneliti untuk mengenali obyek-obyek kajian yang akan dikehendaki.

Menurut Yunus (2005 : 16) dalam pengenalan elemen morfologi kota melalui foto udara maupun citra dapat dilakukan dengan menerapkan 8 elemen interpretasi pada umumnya, yaitu: analisis – analisis (1) pola (pattern); (2) struktur (structure); (3) bentuk (shape); (4) situs (site); (5) ukuran (size); (6) rona (tone); (7) bayangan (shadow); (8) tekstur (texture). Dalam mengaplikasikan

teknik penginderaan jauh ini harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang mewadahi. Dasar inilah yang dipakai peneliti dalam upayanya mendelineasi kenampakan kota secara morfologis. Dalam tinjauan ini akan terlihat perbedaan yang secara nyata antara kenampakan kekotaan dan sekaligus dapat dikenali kenampakan kotanya.

1.5.3 Ruang Terbuka Hijau

A. Pengetian Ruang Terbuka Hijau

Definisi Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh

(15)

tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Ruang terbuka hijau kota merupakan bagian dari penataan ruang perkotaan yang berfungsi sebagai kawasan lindung. Kawasan hijau kota terdiri atas pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olahraga, kawasan hijau pekarangan. Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan, Ruang terbuka hijau adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana di dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka pada dasarnya tanpa bangunan. Dalam ruang terbuka hijau pemanfatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 1 Tahun 2007 Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika. Secara fisik, RTH dapat diklasifikasikan menjadi RTH alami dan non-alami. RTH alami berupa habitat liat/alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, sedangkan RTH non-alami atau binaan seperti taman kota, lapangan olahraga, kebun bunga, pemakaman, dan jalur-jalur hijau jalan. Berdasarkan fungsinya, RTH diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologis, sosial budaya, estetika, dan ekonomi. Berdasarkan strukturnya, bentuk dan susunan

(16)

RTH dapat merupakan konfigurasi ekologis yang berbasis bentang alam seperti kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, danau, dan pesisir, dan konfigurasi planologis berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur kota seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan, RTH kota maupun taman-taman regional/nasional. Ruang Terbuka Hijau terdiri dari RTH publik dan RTH privat. Proporsi RTH di wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota yang terdiri dari proporsi RTH publik paling sedikit 20% dan RTH privat 10%. Ruang Terbuka Hijau publik diharapkan dapat tersebar merata dari mulai tingkat RT sampai dengan tingkta kecamatan serta disesuaikan dengan sebaran penduduk dan hierarki pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur dan pola ruang. Dalam penjelasan UU Nomor 26 Tahun 2007 RTH publik terdiri dari taman kota, taman pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, dan pantai. Sedangkan RTH privat terdiri dari kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan. Status kepemilikan RTH dapat berupa RTH publik yang penyediaan dan pemeliharaan menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota, dan RTH privat atau non-publik yang penyediaan dan pemeliharaannya menjadi tanggung jawab pihak/lembaga swasta, perseorangan dan masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang oleh pemerintah kabupaten/kota. Adapun tujuannya adalah menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan, mewujudkan keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, serta meningkatkan kualitas lingkungan yang sehat, indah, bersih, dan nyaman.

(17)

B. Hutan Kota Permukiman

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan menyebutkan bahwa Hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang.

Pola pembangunan kota yang tidak terkonsentrasi di kota ini memberi manfaat yang baik dengan mempertahankan ruang-ruang terbuka hijau di kota. Ruang terbuka hijau di kota satelit dapat ditata dengan tata ruang yang baik, termasuk dihadirkannya hutan kota. Pola pembangunan pemukiman terpadu kota satelit telah diadopsi oleh beberapa kota di Indonesia, termasuk Yogyakarta yang saat ini mulai membangun Bantul Kota mandiri (Fandeli, 2004:66)

Ruang-ruang terbuka terdapat hampir diseluruh permukiman. Suatu permukiman di kota bisa dipastikan terdapat ruang terbuka tepi jalan, sempadan sungai, lapangan olahraga, lapangan bermain atau disekitar rumah. Ruang terbuka hijau disekitar rumah berfungsi untuk menunjang kehidupan pemilik rumah terdapat disekitar rumah (didepan,tengah,kiri atau kanan dan di belakang).

Ruang terbuka dalam pekarangan rumah sekitar rumah dimungkinkan untuk dibangun hutan kota. Pembangunan dengan menghadirkan hutan kota di dalam kawasan permukiman sebenarnya lebih mudah dilakukan di kawasan real estate. Beberapa bagian kawasan perumahan real estate dapat dirancang untuk

hutan kota permukiman. Kawasan permukiman kota tua pada umumnya memiliki

(18)

ruang terbuka yang cukup luas. Hutan kota pada kawasan seperti ini akan mudah dibangun dengan pola dan jenis yang disesuaikan dengan lingkungan (Fandeli, 2004:66).

Menurut Fandeli (2004:67), Ada beberapa fungsi hutan kota yang dapat dirancang dan dibangun di permukiman yaitu :

1. Hutan kota untuk complimentory architecture

Kumpulan pepohonan dan tanaman di daerah pemukiman dapat memberikan kesan yang lebih indah dan arti yang lebih bagi bangunan pemukiman yang ada.

2. Hutan kota untuk soften line

Kehadiran banyak jenis pohon dengan ukuran yang tidak sama akan memberikan kesan lebih lunak dan nyaman. Bangunan yang terkesan keras karena pola bangunan yang lurus (kearah horisontal atau vertikal) akan menjadi lebih serasi dan terkesan lembut apabila di sekitarnya terdapat pohon.

3. Hutan kota untuk back ground

Dengan adanya kumpulan beberapa pohon yang muncul di belakang rumah memberikan nilai yang tingi terhadap pekarangan rumah ini. 4. Hutan kota untuk menghilangkan kesan keruangan atau large space

into smaler

Kumpulan pohon dan tanaman yang dibangun dan diatur untuk mengisi suatu ruang di pemukiman dengan areal yang luas akan menimbulkan kesan lebih menyatu.

(19)

5. Hutan kota untuk mereduksi luasan atau space reduction

Ruang terbuka yang cukup luas antara dua bangunan dapat diperbaiki suasananya dengan menanam sekumpulan pohon di antara dua bangunan tersebut.

6. Hutan kota untuk accent

Bangunan pemukiman yang berdiri kokoh dan bertingkat dapat diberi aksen, pemanis, penyedap pemandangan dengan ditanami sekumpulan pohon dan tanaman.

7. Hutan kota untuk unity

Bangunan pemukiman rumah yang terpencar yang menempati suatu areal yang luas akan menjadi lebih menyatu apabila ditanami pohon. 8. Hutan kota untuk creating shadow

Kesan yang teduh di sekitar pemukiman akan terwujud nyata apabila jalan masuk ke areal pemukiman ditanami sekumpulan pohon.

Beberapa fungsi ruang terbuka hijau di atas merupakan fungsi ruang terbuka hijau daerah hutan kota pemukiman yang dilihat dari sudut pandang keindahan dan estetikanya. Pembangunan ruang terbuka hijau di daerah pemukiman juga dapat berfungsi sebagai pengatur tata air, penyerap dan pengaman bahan pencemaran serta menambah kesejukan di daerah pemukiman. Kesejukan yang dimaksud adalah kenyamanan daerah pemukiman yang berada di luar ruangan tinggal atau rumah dan bersifat alami yang dihasilkan oleh sekumpulan pohon atau ruang terbuka hijau.

(20)

C. Fungsi Ruang Terbuka Hijau

Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan dalam Fandeli (2004:30) Ruang Terbuka Hijau Perkotaan memiliki fungsi yang serba guna diantaranya dapat dikemukakan sebagai berikut :

1. Perlindungan ekosistem dan penyangga kehidupan.

2. Sarana menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian, dan kenyamanan.

3. Sarana rekreasi yang sangat dibutuhkan oleh penduduk kota.

4. Pengaman pencemaran (darat, air, udara). Bahan pencemar akan diserap oleh tanaman.

5. Sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan bagi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran lingkungan.

6. Tempat perlindungan plasma nutfah.

7. Sarana perbaikan iklim mikro, mempertahankan kualitas lingkungan. 8. Pengaturan tata air / hidroorologis.

D. Manfaat Ruang Terbuka Hijau

Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan dalam Fandeli (2004:30) Ruang Terbuka Hijau mempunyai manfaat antara lain :

1. Memberikan kesegaran, kenyamanan dan keindahan lingkungan. 2. Memberikan lingkungan bersih dan sehat.

(21)

3. Memberikan hasil produksi berupa kayu, daun, bunga dan buah serta biji atau hasil lainnya.

I.5.4 Permukiman

Menurut Undang-Undang No. 4 Tahun 1992, tentang pengertian rumah, perumahan, dan permukiman, adalah sebagai berikut:

1. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga.

2. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.

3. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan, maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

4. Satuan lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang prasarana dan sarana lingkungan yang teratur.

Pemukiman adalah suatu wilayah atau area yang ditempati oleh seseorang atau kelompok manusia. Pemukiman memiliki kaitan yang cukup erat dengan kondisi alam dan sosial kemasyarakatan sekitar. Kawasan pemukiman didominasi oleh lingkungan hunian dengan fungsi utama sebagai tempat tinggal yang

(22)

dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan, tempat bekerja yang memberi pelayanan dan kesempatan kerja terbatas yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan pemukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan terstuktur yang memungkinkan pelayanan dan pengelolaan yang optimal.

Kawasan permukiman adalah kawasan inti yang seringkali mendominasi dalam suatu kawasan perkotaan. Kawasan ini menjadi pusat berawalnya kegiatan yang keberadaannya seringkali mengikuti perkembangan kawasan lainnya. Setiap kawasan fungsional yang dikembangkan akan membutuhkan kawasan permukiman untuk mengakomodasi perkembangan masyarakat yang beraktifitas di dalam kawasan yang dikembangkan tersebut.

1.6 Penelitian Sebelumnya

Keaslian penelitian dapat dipengaruhi oleh faktor lokasi, metode, dan fokus. Perbedaan penelitian terhadap penelitian-penelitian sebelumnya dapat ditentukan oleh perbedaan dari salah satu unsur tersebut. Penelitian mengenai perkembangan dan kondisi RTH telah dilakukan sebelumnya. Penelitian – penelitian tersebut mempunyai perbedaan dapat dilihat dari judul, tujuan, lokasi dan metode.

Budiyanto (2007) dalam penelitian skripsinya yang berjudul Aplikasi

Penginderaan Jauh Untuk Usulan Penataan Ruang Terbuka Hijau Daerah Permukiman Di Sebagian Kota Yogyakarta. Adapun tujuan dari penelitian ini

(23)

ialah : 1) Mengkaji manfaat Citra Quickbird dalam menyadap parameter penentu tingkat tingkat kenyamanan daerah permukiman, 2) Menentukan usulan penataan ruang terbuka hijau daerah permukiman dari data hasil penyadapan citra dan kerja lapangan yang diintregrasikan dengan Sistem Informasi Geografis, 3) Mengetahui hubungan antar parameter penentu tingkat kenyamanan dengan menggunakan analisis statistik. Adapun metode pengolahan citra menggunakan bantuan Sistem Informasi Geografis dengan penyadapan Citra Quickbird tahun 2003 dan kerja lapangan berdasarkan tehnik sampling stratified.

Adapun hasil yang diperoleh yakni : 1) Citra Quickbird komposit warna asli yang digunakan sebagai sumber data dalam meyadap parameter penentu tingkat kenyamanan dapat memberikan ketelitian interpretasi penggunaan lahan sebesar 93,10% , liputan vegetasi 92,09% dan kepadatan bangunan 90,91%. 2) Sebagian besar permukiman di daerah permukiman termasuk kedalam prioritas penataan II. 3) Penataan Ruang Terbuka Hijau daerah permukiman dapat berlainan untuk setiap daerah permukiman yang dapat dipengaruhi oleh ketersediaan lahan yang masih tersisa, liputan vegetasi yang telah ada, dan kesadaran dari masyarakat yang membangun ruang terbuka hijau.

Filkosima (2011) dalam penelitian skripsinya yang berjudul Perubahan

Luas Ruang Terbuka Hijau dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman Tahun 1992-2011. Adapun tujuannya

adalah Tujuan dari penelitian ini adalah 1) Mengidentifikasi persebaran dan perubahan luas ruang terbuka hijau di Kecamatan Depok, 2) Mengetahui kesesuaian luasan dan sebaran RTH berdasarkan Rencana Detail Tata Ruang Kota

(24)

(RDTRK) Kecamatan Depok, 3) Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan luas RTH di Kecamatan Depok. Metode yang digunakan merupakan interpretasi secara visual citra quickbird tahun 2007 dan foto udara 1992 skala 1: 25.000 untuk memetakan ruang terbuka hijau serta survai lapangan, pengolahan data dan analisis uji statistik.

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah 1) Periode 1992-2011 luas RTH di Kecamatan Depok telah terjadi penurunan pada RTH produktif yaitu berkurang sebesar 489,94 ha yang terdiri dari RTH produktif sawah sebesar 322,09 ha atau 36,71%, RTH tegalan 109,47 ha atau 39,52%, dan RTH kebun campuran sebesar 58,38 ha atau 17,77%, 2) Kesesuaian RDTRK terhadap RTH eksisting telah terjadi ketidaksesuaian sebesar 118,18 ha yang terdiri dari jalur hijau sebesar 52,79 ha, RTH sawah 41,62 ha, RTH kebun 23,76 ha, sedangkan kesesuaian RTH eksisting terhadap laporan rencanaRTH 2006-2016 di wilayah perkotaan Kecamatan Depok sebagian besar sudah sesuai, akan tetapi masih terdapat ketidaksesuaian yaitu pada RTH pemukiman dan RTH komersil yang masih terjadi kekurangan yang ada di lapangan. 3) Faktor paling dominan yang mempengaruhi penurunan luas RTH di Kecamatan Depok adalah faktor kepadatan penduduk.

Karakteristik penelitian-penelitian tersebut sangat berbeda satu sama lain. Skripsi tentang Kajian Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau Di Kecamatan

Gondokusuman Kota Yogyakarta Tahun 2009 tidak memiliki unsur kesamaan

dengan penelitian sebelumnya. Hanya saja topik bahasan yang dikaji mempunyai esensi yang sama yakni Ruang Terbuka Hijau. Dalam referensi kajian dari

(25)

penelitian sebelumnya sangat menbantu dalam proses finalisasi penyelesaian penelitian ini. Proses langkah kerja finalisasi penelitian sebelumnya memberikan gambaran teknis yang mudah dicerna dan dipelajari sebagai referensi dasar untuk melakukan suatu riset kajian penelitian. Adapun keterangan lanjutan dari penelitian sebelumnya dapat dilihat dalam keterangan Tabel 1.1 berikut ini.

(26)

Tabel 1.1 Penelitian Sebelumnya

No Nama Peneliti Tahun Tujuan Metode Hasil

1 1

EKO BUDIYANTO 2007 1. Mengkaji manfaat citra Quickbird dalam menyadap parameter penentu tingkat kenyamanan daerah pemukiman

2. Menentukan usulan penataan ruang terbuka hijau daerah pemukiman dari data hasil penyadapan citra dan kerja lapangan yang diintegrasikan dengan Sistem Informasi Geografi

3. Mengetahui hubungan antar parameter penentu tingkat kenyamanan dengan menggunakan analisis statistik.

Intepretasi citra Quickbird tahun 2003, kerja lapangan dengan tehnik stratified sampling dan analisis statistik.

1. Citra Quickbird komposit warna asli yang digunakan sebagai sumber data dalam meyadap parameter penentu tingkat kenyamanan dapat memberikan ketelitian interpretasi penggunaan lahan sebesar 93,10% , liputan vegetasi 92,09% dan kepadatan bangunan 90,91%.

2. Sebagian besar permukiman didaerah permukiman termasuk kedalam prioritas penataan II.

3. Penataan Ruang Terbuka Hijau daerah permukiman dapat berlainan untuk setiap daerah permukiman yang dapat dipengaruhi oleh ketersediaan lahan yang masih tersisa, liputan vegetasi yang telah ada, dan kesadaran dari masyarakat yang membangun ruang terbuka hijau

2 WILLY FILKOSIMA 2011 1. Mengidentifikasi persebaran dan perubahan luas RTH di Kecamatan Depok

2. Mengetahui kesesuaian luasan dan sebaran RTH berdasarkan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) dan laporan rencana ruang terbuka hijau 2006-2016 di wilayah perkotaan Kecamatan Depok

3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan luas RTH di Kecamatan Depok

Interpretasi Foto Udara Pankromatik hitam putih skala 1:25.000 tahun 1992 dan citra Quickbird tahun 2007, Analisis spasial temporal, dan Analisis regresi berganda

1. Periode 1992-2011 luas RTH di Kecamatan Depok telah terjadi penurunan pada RTH produktif yaitu berkurangnya sebesar 489,94 ha yang terdiri dari RTH produktif sawah sebesar 322,09 ha atau 36,71%, RTH produktif tegalan sebesar 109,47 ha atau 39,52%, dan RTH kebun campuran sebesar 58,38ha atau 17,77%.

2. Kesesuaian Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) terhadap RTH eksisting

(27)

telah terjadi ketidaksesuaian sebesar 118,18 ha yang terdiri dari jalur hijau sebesar 52,79 ha, RTH produktif sawah sebesar 41,62ha dan RTH produktif kebun/tegalan sebesar 23,76 ha, sedangkan kesesuaian dokumen rencana ruang terbuka hijau 2006-2016 di wilayah perkotaan Kecamatan Depok terhadap RTH eksisting sebagian besar sudah sesuai, akan tetapi masih terdapat ketidak sesuaian yaitu pada RTH permukiman dan RTH komersil yang masih terjadi kekurangan yang ada dilapangan

3. Faktor dominan yang paling berpengaruh terhadap penurunan luas ruang terbuka hijau adalah kepadatan penduduk.

3 WAHYU TRI WIJAYANTO

2013 1. Mengetahui tingkat ketersediaan RTH di Kecamatan Gondokusuman

2. Bagaimanakah pola persebaran RTH di Kecamatan Gondokusuman

3. Mengetahui variabel yang paling berpengaruh terhadap luas RTH.

1. Interpretasi citra Quickbird tahun 2009, Analisis Peta, plotting GPS dan foto dokumentasi lapangan.

2. Analisis peta dengan cara Analisis Tetangga Terdekat (Average

Nearest Neighbour)

3. Analisis Statistik Regeresi Linier Berganda .

(Sumber : Budiyanto, 2007; Filkosima, 2011) Lanjutan Tabel 1.1 Penelitian Sebelumnya

(28)

1.7 Kerangka Pemikiran.

Dinamika perkembangan wilayah perkotaan tidak terlepas dari permasalahan yang timbul dari akibat pertumbuhan penduduk dan peningkatan aktifitas pembangunan wilayah dari berbagai fasilitas. Peningkatan jumlah penduduk yang tidak terkontrol di dalam suatu wilayah perkotaan dapat menimbulkan efek negatif. Peningkatan penduduk disuatu perkotaan disetiap waktunya membawa konsekuensi kebutuhan akan ruang untuk bertempat tinggal atau hunian. Padahal keberadaan ruang wilayah perkotaan sangat terbatas jumlahnya. Ruang perkotaan yang dalam hal ini adalah Kecamatan Gondokusuman mempunyai permasalahan ruang yang terbatas. Kebutuhan penduduk akan ruang tempat tinggal/permukiman di Kecamatan Gondokusuman sangat tinggi. Kondisi ruang wilayah di Kecamatan Gondokusuman mulai terancam akan keberadaan tingginya tingkat kebutuhan hunian permukiman bagi penduduk yang ada. Ketidakseimbangan antara kebutuhan lahan dengan lahan yang ada membawa dampak terhadap tingginya alih fungi lahan. Lahan terbuka yang sebenarnya fungsi utama sebagai kawasan lindung alami yang tidak boleh ada bangunan permanen (non-terbangun) dan bersifat terbuka mulai beralih fungsi menjadi lahan terbangun untuk menjadi kawasan permukiman penduduk. Kondisi tersebut merupakan perubahan penggunaan lahan yang ada akibat dari adanya peningkatan jumlah penduduk yang tidak terkontrol.

Begitu pula dengan peningkatan aktifitas pembangunan yang tidak sesuai dengan arahan perencanaan dapat menambah beban permasalahan area perkotaan.

(29)

Di dalam aktifitas perkotaan faktor ekonomi lebih penting daripada nilai lingkungan setempat. Maksudnya adalah keberadaan ruang terbuka di area perkotaan dalam hal ini memiliki fungsi sebagai ruang terbuka hijau mulai dikesampingkan nilainya dan lebih memilih area tersebut dijadikan lahan terbangun untuk kepentingan ekonomi yang lebih potensial. Ruang terbuka tersebut memang merupakan area lahan non-terbangun yang fungsi utamanya sebagai paru-paru kota dan tempat tumbuh tanaman. Ruang terbuka hijau mulai terdesak keberadaannya akibat dari perubahan penggunaan lahan yang ada di wilayah tersebut. Sehingga ketersediaan ruang terbuka hijau area perkotaan menjadi berkurang dan aspek lingkungan setempat menurun.

Tingginya perubahan lahan menjadi permukiman untuk memenuhi kebutuhan hunian penduduk yang ada telah mempengaruhi keberadaan ruang terbuka hijau di Kecamatan Gondokusuman. Sehingga keberadaan ruang terbuka hijau mulai turun luasanya akibat dari alih fungsi lahan tersebut. Pola keruangan ruang terbuka hijau di Kecamatan Gondokusuman mengikuti keberadaan pola permukiman yang ada. Setiap permukiman mempunyai karakteristik yang berbeda pula, ada didalam area perkampungan padat bangunan, ada di sepanjang jalan, dan lain-lain.

(30)

Gambar 1.1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penurunan Kawasan RTH

Permukiman

Peningkatan Lahan Permukiman Kebutuhan Lahan Terbangun Meningkat Ketersediaan RTH Permukiman Peningkatan Aktifitas Pembangunan Kecamatan Gondokusuman

Dinamika Perkembangan Wilayah Kecamatan Gondokusuman Peningkatan Jumlah Penduduk

Kecamatan Gondokusuman 1. Fasilitas Ekonomi 2. Fasilitas Kesehatan 3. Fasilitas Pendidikan Kondisi Eksisting RTH Permukiman

Pola Sebaran Spasial RTH Perubahan Penggunaan Lahan

Lahan Non Terbangun Menjadi Terbangun

(31)

1.8 Hipotesis

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan dalam penelitian ini akan diuji beberapa hipotesis sebagai berikut :

1. Pola persebaran keruangan ruang terbuka hijau di Kecamatan Gondokusuman Kota Yogyakarta tersebar secara acak/random.

2. Ketersediaan ruang terbuka hijau di Kecamatan Gondokusuman dipengaruhi oleh variabel luas permukiman, jumlah penduduk, dan luas fasilitas. Dari semua variabel tersebut jumlah penduduk yang paling berpengaruh terhadap luasan ruang terbuka hijau.

Gambar

Tabel 1.1 Penelitian Sebelumnya
Gambar 1.1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran Penurunan Kawasan RTH

Referensi

Dokumen terkait

Efektivitas ekstrak Keberhasilan Ekstrak Daun Beluntas ( Pluchea indica Linn ) mematikan larva ditunjukkan dengan nilai LC 50 dan LC 90 Numerik Rasio Kadar Ekstrak

[r]

Dengan mempertimbangkan pilihan-pilihan adaptasi yang dikembangkan PDAM dan pemangku kepentingan, IUWASH juga merekomendasikan untuk mempertimbangkan aksi-aksi adaptasi

moderator   the moderator, the compere (of a show) paling; yang paling mahal   the most (+ adjective); the most expensive panjang   long (of things or distances, but not

Badan Pemberdayan Masyarakat Desa Kabupaten Boyolali yang dibentuk menurut Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 16 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata

tertentu di dalam laporan keuangan bpjs ketenagakerjaan kanwil sumbagut.. Pada praktiknya kegunaan sumber dan penggunaan kas antara lain. adalah: Untuk mengetahui ada

Setelah dilakukan kajian dan analisa data, dapat disimpulkan: Metode yang digunakan oleh pesantren Al-Bajigur dalam menangani penderita gangguan jiwa, yaitu:

Aplikasi yang dibangun dapat menjawab kebutuhan informasi yang berkaitan dengan penerimaan siswa baru yang dilakukan secara online di SMK Telkom Sandhy Putra Malang