Local Culture in Balikpapan Folktales: an Analysis of Motifs
Diyan Kurniawati Balai Bahasa Kalimantan Timur
Jalan Batu Cermin 25, Sempaja Utara, Samarinda 75119 Telp. (0541) 250256, Faks. (0541) 250256, No. Hp : 085246016849
Pos-el: kurniawati_diyan@yahoo.com
Diajukan: 20 Februari 2017, direvisi: 16 April 2017
Abstract
This paper discusses motives in Balikpapan folklores. This study analyzes the elements of folklore motifs using the theory of folklore and Thompson’s motif elements in order to find the main ele-ments of local culture. The analysis shows that there is a local belief in sacred things, like tomb and animals. Society also believes that their ancestors can guide them in terms of treatment. Therefore, they hold rituals and taboos. The motifs also indicate the origin of places from super-natural objects. The motifs of Balikpapan folklore reveal human belief in power outside of them, like their belief to sacred things. They hold rituals and taboos for their safety. They also asked to their ancestors that they believe can give them guidance to treat sick people.
Keywords: culture, belief, rituals, taboo
Abstrak
Tulisan ini membahas motif cerita yang ditampilkan dalam cerita rakyat Balikpapan, Kalimantan Timur. Dengan menggunakan teori foklor dan unsur motif Thompson, penelitian ini menganalisis unsur motif cerita rakyat tersebut. Dengan analisis tersebut maka unsur utama budaya masyarakat dapat terlihat. Analisis menunjukkan bahwa terdapat kepercayaan masyarakat pada beberapa hal yang dikeramatkan, yaitu makam dan binatang. Masyarakat juga mempercayai bahwa para leluhur dapat memberikan petunjuk pada mereka dalam hal pengobatan. Oleh karena itu, masyarakat mengadakan ritual dan pantangan. Melalui motif tersebut ditunjukkan pula asal usul tempat yang berasal dari benda gaib. Motif-motif cerita rakyat Balikpapan menampilkan kepercayaan manusia pada kekuatan di luar dirinya. Hal tersebut ditunjukkan melalui kepercayaan manusia terhadap hal-hal yang dikeramatkan. Oleh karena itu, manusia mengadakan ritual dan pantangan untuk keselamatan mereka. Masyarakat juga meminta pada leluhur yang mereka percayai dapat memberikan petunjuk bagi pengobatan orang yang sakit.
200
1. Pendahuluan
Cerita rakyat menampilkan nilai-nilai kearifan lokal yang dapat digali. Analisis mengenai nilai-nilai kearifan lokal ditelusuri melalui unsur-unsur budaya yang ada dalam cerita rakyat tersebut. Dengan demikian cerita rakyat dapat dikatakan sebagai media untuk pembelajaran moral yang merujuk pada masyarakat masa lampau. Oleh karena itu, inventarisasi dan apresiasi terhadap cerita rakyat penting dilakukan demi penerusan kearifan lokal dari masyarakat masa lampau ke masa kini. Pudentia, dkk (2003:1) menyebut cerita rakyat sebagai prosa rakyat.Prosa rakyat, sebagai produk kultural, mengandung berbagai hal yang menyangkut hidup
dan kehidupan komunitas
pemiliknya,misalnya sistem nilai,
kepercayaan dan agama, kaidah-kaidah sosial, etos kerja, bahkan cara
bagaimana dinamika sosial
berlangsung atau dilakukan (Pudentia, dkk, 2003:1). Cerita rakyat telah
banyak diteliti oleh peminat
kebudayaan.William R. Bascom (dalam Danandjaya, 1986:50) menjelaskan bahwa cerita rakyat dapat dibagi dalam mite, legenda, dan dongeng.
Balikpapan merupakan salah satu kota pesisir di wilayah Kalimantan Timur. Penduduk di kota ini berasal dari etnis yang heterogen, dari suku Bugis, Jawa, Banjar, Mandar, dan beberapa suku lain. Kesepahaman antarpenduduk Balikpapan mampu
menghindarkan Balikpapan dari
kerusuhan atau konflik berbau SARA. Balikpapan mengalami perkembangan pesat sejak tahun 1895. Minyak adalah salah satu faktor yang sangat mempengaruhi kota ini berkembang secara pesat. Minyak telah menarik modal dan juga manusia untuk datang ke Balikpapan. Sejak zaman kolonial, Balikpapan telah memiliki fungsi
ekonomis yang cukup berharga (Matanasi, 2015:2—3). Balikpapan juga mempunyai potensi cerita rakyat yang beragam. Cerita rakyat tersebut perlu dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui perwujudan nilai-nilai kemanusiaan masyarakat setempat. Cerita rakyat Balikpapan yang akan dianalisis yaitu ”Hutan Lindung Sungai Wain”, “Macan (Timang). “Naga (Loden)”, “Ritual Pengobatan”, “Asal Usul Balikpapan (1)”, dan “Asal Usul Balikpapan” (2).
Oleh karena itu, masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana motif cerita rakyat Kabupaten Balikpapan. Melalui analisis tersebut unsur-unsur utama yang menjadi ciri khas budaya masyarakat setempat dapat terlihat. Penelitian ini menggunakan teori foklor dan motif. Karena foklor berkaitan dengan sastra lisan, konsep studi sastra lisan juga akan dimunculkan. Foklor berasal dari bahasa Inggris folklore, folk berarti kolektif dan lore adalah tradisi folk. Secara keseluruhan folklor dapat diartikan sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, di antara koletif. Folklor dapat berbentuk lisan maupun contoh gerak isyarat atau alat
pembantu pengingat (Dananjaya,
1997: 2). Penyebaran dan pewarisan folklor biasanya dilakukan secara lisan, yaitu dari mulut ke mulut.
Ciri lain dari folklor antara lain adalah bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relative atau standar. Foklor disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi). Foklor bersifat ada dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya yang berbeda-beda dari mulut ke mulut. Selain itu, folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi. Kegunaan
201
folklor jelas ada di dalamnya, misalnya cerita rakyat mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, atau kritik sosial. Jan Harold Bruvan (dalam Danandjaya, 1997:21—22) membagi foklor menjadi foklor lisan, folklor sebagian lisan, dan foklor bukan lisan. Foklor lisan adalah foklor yang bentuknya murni lisan. Bentuk ini, misalnya bahasa rakyat (logat, julukan,
pangkat tradisional, titel
kebangsawanan, ungkapan tradisional (peribahasa, pepatah, dan pameo), pertanyaan tradisional (teka-teki), puisi rakyat (pantun, gurindam, syair), cerita prosa rakyat (mite, legenda, dongeng), dan nyanyian rakyat.
Taum (2011:27) menyebutkan bawa studi sastra lisan merupakan
bagian dari studi kebudayaan.
Kebudayaan didefinisikan sebagai
jawaban kolekstif masyarakat
terhadap perubahan-perubahanyang terjadi di sekitarnya, dan sebagai bidang pertemuan dengan modernitas. Kebudayaan dipandang sebagai suatu manifestasi dari nilai-nilai yang dijunjung bersama, mnaifestasi dari kesediaan untuk hidup bersama serta cara bersama-sama pula mendapatkan tempatnya di dalam sejarah suatu bangsa. Dalam rangka studi sastra lisan tersebut timbul keinginan yang mendalam mengumpulkan sastra lisan, misalnya cerita-cerita rakyat yang tersebar di Indonesia. Dalam Taum (2011:27--28) disebutkan pula bahwa pengetahuan tentang sejarah dirinya sendiri merupakan suatu persyaratan dasar untuk timbulnya kesadaran tentang identitas diri. Hal ini sejalan pula yang terdapat dalam Sudikan
(2014:5), dijelaskan bahwa
sebagaimana sastra tulis, sastra lisan juga memiliki wilayah kajian sejarah sastra, teori sastra, dan kritik sastra. Sejarah sastra lisan mempelajari asal usul cerita rakyat (dongeng, mite,
fabel), migrasi cerita rakyat,
perubahan (transformasi) cerita,
perkembangan puisi lisan, dan
sebagainya. Analisis tradisi lisan bertujuan mengungkapkan hal yang terkandung dalam teks lisan, yaitu hal-hal yang terlahir dan mentradisi dalam suatu masyarakat yang merupakan warisan nenek moyang (Hoed dalam Pudentia, 2008:192).
Studi sastra atau studi budaya
dapat dengan cara
mendokumentasikan berbagai cerita rakyat di wilayah tertentu. Cerita rakyat yang telah didokumentasi kemudian dapat dianalisis melalui berbagai pendekatan. Selain kearifan lokalnya, cerita rakyat dapat dianalisis melalui pendekatan motif. Dengan
pendekatan motif kita dapat
mengetahui unsur utama budaya masyarakat pemegang cerita rakyat tersebut. Dalam Dananjaya (1997:53—
54), disebutkan bahwa yang
dimaksudkan motif dalam ilmu foklor adalah unsur-unsur suatu cerita. Motif teks suatu cerita adalah unsur utama cerita dan tidak biasa sifatnya. Unsur-unsur tersebut dapat berupa benda (seperti tongkat wasiat), hewan luar biasa (kuda yang berbicara), konsep (larangan atau tabu), suatu perbuatan
(ujian ketangkasan), penipuan
terhadap suatu tokoh (raksasa atau dewa), atau tipe orang tertentu (si Pandir, si Kabayan). Ribuan unsur tersebut telah disusun oleh Thompson dalam bukunya. Thompson menyusun ribuan unsur (motif) di dalam buku indeks motif. Indeks motif Thompson tersebut disusun secara sistematik
dilengkapi referensi daftar
kepustakaan dan keterangan tempat unsur-unsur cerita itu terdapat di dunia. Meskipun indeks motif Thomp-son tersebut dipergunakan bagi
penelitian perbandingan dan
penganalisisan mite, legenda, dan foklor lisan lainnya. Motif-motif
202
tersebut tersebar dalam seluruh jilid buku indeks A s.d. Z.
2. Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Huberman dan Miles (dalam Denzin dan Lincoln, 1994: 428) menyebutkan bahwa metode kualitatif menggunakan proses manajemen data dan metode analisis. Huberman dan Miles menyatakan bahwa manajemen
data secara pragmatik dalam
pengoperasiannya memerlukan
sebuah sistem, koherensi proses pengumpulan data, pengarsipan data, dan penelusuran ulang data-data.
Analisis data mengandung tiga
subproses, yaitu reduksi data, tampilan data, dan verifikasi data.
Sementara itu, menurut Ratna
(2006:46—47), metode kualitatif
memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Sumber data penelitian kualitatif dalam ilmu sastra adalah karya, naskah, dan data penelitiannya. Data formalnya adalah kata-kata, kalimat, dan wacana.
Data-data dianalisis dengan teknik deskriptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2006: 53). Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Menentukan data primer, yaitu cerita rakyat dari wawancara dengan informan di Hutan Lindung Sungai Wain,
Balikpa-pan. Cerita takyat yang
dijadikan data yaitu ”Hutan Lindung Sungai Wain”, “Macan (Timang). “Naga (Loden)”, “Rit-ual Pengobatan”, “Asal Usul Ba-likpapan (1)”, dan “Asal Usul Balikpapan” (2), “Ayus”, “Suku Paser Balik”, dan “Putri Petung”.
2. Mendeskripsikan dan
menganalisis motif cerita asal-usul Kota Balikpapan. Motif
cerita rakyat ditentukan
berdasarkan indeks motif
Thompson. Melalui motif-motif tersebut akan diketahui unsur-unsur budaya yang khas yang
ditemukan pada budaya
masyarakat pemegang cerita rakyat tersebut.
3. Hasil dan Pembahasan
Cerita rakyat Balikpapan yang akan dibahas berjudul ”Hutan Lindung Sungai Wain”, “Macan (Timang). “Naga (Loden)”, “Ritual Pengobatan”, “Asal Usul Balikpapan (1)”, dan “Asal Usul Balikpapan” (2).”, “Ayus”, “Suku Paser Balik”, dan “Putri Petung”. Motif cerita akan menunjukkan unsur-unsur yang menjadi ciri budaya masyarakat setempat.
3.1 Motif Cerita “Hutan Lindung Sungai Wain”
Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) merupakan salah satu obyek wisata alam di Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. HLSW adalah perpaduan obyek wisata hutan dan sungai. Luas keseluruhan kawasan HLSW adalah 10.025 hektar
dan dilalui sungai Wain yang
panjangnya 18.300 m dengan airnya yang jernih dengan hutan bakau dan habitat burung, ikan , kepiting dan orang hutan.
Hutan Lindung Sungai Wain secara Administratif Pemerintahan terletak di Kelurahan Karang Joang Kecamatan Balikpapan Utara dan Kelurahan Kariangau Kecamatan Ba-likpapan Barat Kota BaBa-likpapan, Provinsi Kalimantan Timur. Secara geografis terletak antara 116º47′ – 116º55′ Bujur Timur dan 01º02′ –
203
01º10′ Lintang Selatan, dengan batas-batas antara lain
Kawasan HLSW selalu
dikembangkan dari tahun ke tahun. Sejak tahun 1934, HLSW secara langsung dipelihara oleh Sultan Kutai. Pada tahun 1947, kawasan ini mulai dimanfatakan sebagai penampungan air bersih. Pada tahun 1992 dan 1996,
HLSW dikembangkan untuk
merehabilitasi 80 orangutan hasil tangkapan Borneo Orangutan Survival Foundations (BOSF). HLSW juga
difungsikan sebagai pusat
laboratorium flora dan fauna di Balik-papan. Di samping itu, HLSW juga berfungsi sebagai pusat pendidikan lingkungan.
Hutan Lindung Sungai Wain pada mulanya dikenal sebagai “Hutan Tutupan” yang ditetapkan oleh Sultan Kutai pada tahun 1934 dengan Surat Keputusan Pemerintah Kerajaan Kutai No. 48/23-ZB-1934 sebagai Hutan Lindung. Berdasarkan pada peta kawasan hutan Provinsi Kalimantan Timur, dengan luas ± 3.295 ha (lampiran SK Menteri Pertanian No.
24/Kpts/Um/I/1983) merupakan
bagian dari kelompok hutan lindung Balikpapan, sedangkan sisanya seluas ± 6.100 ha termasuk hutan produksi
yang dapat dikonversi (HPK).
Untuk selanjutnya mengingat kondisi hutan tersebut masih terawat dengan baik, berdasarkan hutan tersebut diusulkan agar kelompok hutan Sungai Wain seluas ± 6.100 ha tersebut ditetapkan sebagai Hutan Lindung. Dengan masuknya daerah aliran Sungai Bugis seluas 3.925 ha ke dalam kawasan HLSW, luas areal kawasan secara keseluruhan menjadi 10.025 ha. (http://thetravelous.weebly.com/huta n-lindung-sungai-wain.html, Diunduh 23 Februari 2017).
Dalam cerita rakyat “Hutan Lindung Sungai Wain” terdapat beberapa motif cerita rakyat, yaitu
mo-tif hukuman atas pelanggaran tabu, motif kepercayaan terhadap makam, dan motif strata sosial.
3.1.1 Motif Hukuman atas
Pelanggaran Tabu (punish-ment for breaking tabu, C900) (Thompson, 1955: 544)
Motif hukuman atas
pelanggaran tabu ditunjukkan oleh seorang nenek yang melanggar tabu memancing di Hutan Sungai Wain,
Ba-likpapan. Hutan Sungai Wain
merupakan hutan lindung yang terdapat di Balikpapan. Pada masa dahulu terdapat cerita kasus manusia dengan buaya.
Nenek yang memancing
tersebut jatuh di sungai dan dimakan buaya. Di tempat tersebut sudah ada peringatan tidak boleh memancing di sungai tersebut karena ada buaya.
Ada seorang nenek yang sedang
memancing. Nenek itu
memancing dengan membawa anjing. Kemungkinan besar yang
mau dimakan anjingnya.
Anjingnya diterkam, orang tua itu jatuh jatuh di sungai dan
dimakan buaya. Bahkan
keluarganya ingin membalas dendam pada buaya tersebut. Motif itu menunjukkan hukuman atas pelanggaran tabu. Tabu di sungai itu ialah adanya pelarangan memancing di sungai itu karena terdapat habitat buaya. Hukuman ditunjukkan dengan nenek yang memancing itu jatuh dan dimakan buaya.
3.1.2 Motif Kepercayaan terhadap Makam (Religion Beliefs—
miscellaneous, V380)
204
Motif ini ditunjukkan oleh kepercayaan masyarakat terhadap makam. Di dalam hutan Sungai Wain terdapat makam. Pada masa dahulu masyarakat mengadakan ritual di
makam tersebut. Hal tersebut
menunjukkan masyarakat percaya bahwa makan tersebut mempunyai nilai-nilai magis.
Makam yang ada di Hutan Sungai Wain di batu nisan tertulis 1928/1342 H. Makam itu termasuk cagar budaya. Siapa yang wafat di batu nisan itu masih kabur. Kemungkinan buyut perempuan informan.
Hal ini berdasarkan
kesamaannya dengan makam buyut laki-laki yang ada di seberang teluk (maridan), baik bentuk tulisan, bahan makam dari ulin, tempat dan kapan
meninggal hampir sama
waktunya. Makam itu dahulu digunakan untuk ritual.
Pada masa sekarang makam tersebut diamankan dan dijadikan cagar budaya. Dalam cerita rakyat tersebut
ditunjukkan pada masa dahulu
manusia percaya pada kekuatan makam. Mereka mengadakan ritual-ritual di makam yang dianggap keramat supaya hal-hal yang mereka inginkan dapat tercapai.
3.1.3 Motif strata sosial (other so-cial order—miscellaneous, P190), (Thompson,1955:30) Motif strata sosial ditunjukkan dengan adanya strata sosial seseorang yang dimakamkan di Hutan Sungai Wain. Strata sosial itu ditampilkan melalui bentuk nisan yang ada di makam orang tersebut. Seorang laki-laki yang pada waktu hidup berstrata sosial tinggi ditampilkan melalui batu
nisan yang kayu ulinnya lebih besar dan lebih tinggi. Seorang perempuan yang pada waktu hidup berstrata sosial tinggi ditampilkan melalui batu nisan yang kayu ulin dan bentuk pipihnya lebih besar.
Dari simbol makam akan terlihat strata sosial seseorang yang dimakamkan. Makam yang besar dan terdapat ornamen dan ukirannya berjumlah banyak. Apabila makam orang laki-laki bentuknya agak bulat segi
empat. Kalau pada masa
sekarang ukirannya lebih ke
Melayu Islam. Apabila
perempuan bentuknya pipih.
Bentuk-bentuk makam yang
menandakan bahwa orang yang dimakamkan itu berstrata waktu hidup tinggi misalnya pada batu nisan ulinnya lebih besar dan lebih tinggi. Apabila perempuan kayu ulin dan bentuk pipihnya lebih lebar.
Dalam cerita tersebut ditampilkan strata sosial atau kelas sosial seorang laki-laki dan perempuan pada masa hidupnya. Hal tersebut ditunjukkan melalui bentuk makam seseorang tersebut. Laki-laki yang berstrata sosial tinggi pada masa hidupnya bentuk makamnya berbeda dengan seorang perempuan yang berstrata sosial tinggi pada masa hidupnya. 3.2 Motif Cerita Rakyat “Macan
(Timang)”
Banyak binatang-binatang yang dikeramatkan oleh masyarakat di sekitar Hutan Lindung Sungai Wain, salah satu yang sangat dikeramatkan adalah macan (timang).
3.2.1 Motif Binatang yang
mythi-205 cal animals, B90), (Thompson,
1955:30)
Motif ini ditunjukkan oleh binatang-binatang yang dikeramatkan masyarakat di sekitar Hutan Sungai Wain, Balikpapan. Yang pertama ialah binatang macan. Macan dikeramatkan masyarakat asli di sekitar hutan lindung Sungai Wain (masyarakat suku
Paser).
Masyarakat menyebut macan tersebut dengan timang. Apabila masyarakat mengadakan ritual,
timang juga harus mendapatkan
bagian. Motif ini juga ditunjukkan oleh binatang beruang dan buaya.
Urutan binatang yang
dikeramatkan ialah macan,
buaya, dan beruang.
Pada motif ini ditunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap binatang-binatang yang terdapat di Hutan Sungai Wain. Masyarakat mempercayai bahwa macan, buaya, dan beruang merupakan binatang-binatang yang dikeramatkan. Macan merupakan binatang yang paling dikeramatkan di antara binatang-binatang yang lain tersebut. Ketika masyarakat mengadakan ritual, macan juga harus mendapatkan bagian dari ritual tersebut.
3.3 Motif Cerita “Naga (Loden)
Naga (loden) merupakan
binatang yang dikeramatkan oleh suku Paser Balik. Naga tersebut mempunyai nilai ritual yang tinggi bagi mereka.
3.3.1 Motif Binatang yang
Dikeramatkan (Other mythi-cal animals, B90) (Thomp-son,1955:30)
Binatang yang juga
dikeramatkan masyarakat yang
mempunyai nilai ritual yang tinggi ialah naga. Masyarakat biasa menyebut naga tersebut dengan loden. Bagi suku Paser Balik, loden mempunyai nilai rit-ual yang tinggi.
… Menurut suku asli Paser Balik di Pulau Balang terdapat lubang ular naga. Loden dulu tinggal di air putar( Kelo asin) di Pulau Balang. Menurut suku asli Paser Balik di Pulau Balang terdapat
lubang ular naga. Lubang
tersebut tepatnya di bawah pulau, antara Pulau Balang dengan atas (daratan). Tempat ini masuk muara sungai yang bernama kawasan Tempadung yang di situ terjadi pusaran air yang sangat kuat. Ular naga tersebut pada pasang kuat (bulan purnama hari ke 15--17) muncul. Suku Paser Balik yang keluar dari hulu ke hilir pada waktu-waktu itu akan dimakan oleh naga.
Masyarakat suku Paser Balik mempercayai tentang adanya naga atau disebut mereka sebagai loden.
Masyarakat mempercayai bahwa
loden (ular naga) tersebut
benar-benar ada. Dalam motif ini
ditunjukkan bahwa masyarakat Paser Balik percaya naga tersebut tinggal di bawah pulau, antara Pulau Balang
dengan daratan (atas). Karena
menganggap naga tersebut benar-benar ada, mereka mengadakan pantangan supaya terhindar dari ular naga tersebut. Waktu yang diangap pantangan yaitu yang disebut mereka sebagai pasang kuat atau bulan purnama hari ke 15—17. Pada waktu tersebut orang-orang dilarang keluar agar tidak dimakan ular naga.
206
3.3.2 Motif Binatang Gaib (magic reptiles, B170) (Thompson, 1955:30)
Loden dalam cerita rakyat ini
dapat pula dikategorikan sebagai
binatang gaib (magic reptiles).
Masyarakat mempercayai bahwa ular naga ini akan muncul pada waktu-waktu tertentu. Orang yang keluar pada saat bersamaan keluarnya dengan ular naga itu, akan dimakan oleh ular naga.
Ular naga tersebut pada pasang kuat (bulan purnama hari ke 15--17) muncul. Suku Paser Balik yang keluar dari hulu ke hilir pada waktu-waktu itu akan dimakan oleh naga.
Pada motif ini masyarakat percaya tentang adanya binatang gaib yang akan muncul pada waktu-waktu tertentu. Masyarakat percaya bahwa pada bulan purnama, yaitu pada bulan purnama hari ke 15—17, ular naga atau loden tersebut akan muncul. Adanya kepercayaan bahwa mereka yang keluar rumah pada waktu-waktu tersebut akan dimakan naga, membuat mereka mengadakan pantangan untuk keluar rumah pada waktu tersebut. 3.3.3 Motif Kepercayaan terhadap
Ular Naga (Religion Beliefs—
miscellaneous, V380)
(Thompson, 1955:34)
Motif ini ditunjukkan oleh kepercayaan masyarakat terhadap ular naga (loden). Masyarakat percaya bahwa loden mempunyai nilai ritual yang tinggi. Mereka percaya bahwa
loden akan keluar pada waktu pasang
kuat (bulan purnama hari ke 15—17).
Loden akan memakan mereka yang
keluar pada waktu-waktu itu.
Ular naga tersebut pada pasang kuat (bulan purnama hari ke 15--17) muncul. Suku Paser Balik yang keluar dr hulu ke hilir pada waktu-waktu itu akan dimakan oleh
naga. … Satwa yang
dikeramatkan yang
mempunyai nilai ritual tinggi
ialah naga, masyarakat
menyebut loden.
Motif ini ditunjukkan melalui kepercayaan masyarakat Suku Paser Balik tentang adanya naga atau loden. Naga tersebut mempunyai nilai ritual yang tinggi bagi mereka.
3.4 Motif Cerita “Ritual Pengobatan”
Cerita ritual pengobatan ini ialah ritual pengobatan suku Paser Balik dan Paser. Dalam cerita rakyat ini terdapat motif kepercayaan terhadap leluhur dan motif adat.
3.4.1 Motif Kepercayaan terhadap Leluhur (V380,Religious Be-liefs—miscellaneous)
(Thompson, 1955:34)
Motif ini berkaitan dengan rit-ual pengobatan yang dilakukan suku Paser dan Paser Balik. Apabila ada seseorang yang sakit maka akan
diselenggarakan.ritual pengobatan.
Ritual itu meminta petunjuk kepada leluhur. Mereka percaya leluhur-leluhur dapat memberikan solusi bagi pengobatan si sakit. Melalui ritual tersebut akan dapat ditentukan penyebab sakit tersebut berasal dari air, hutan, atau udara (langit).
Penentuan sakit tersebut berasal dari air, hutan, atau, udara
(langit), mereka melakukan
207
Mereka mengadakan ritual kepada leluhur minta petunjuk. Melalui ritual itulah ditentukan sakit tersebut berasal dari air, hutan, atau udara (langit). Hal ini misalnya sakit tersebut berasal dari, air yang disebabkan anak kecil berjalan di air dan terkena teguran oleh buyutnya. Atau bisa juga apabila sakit tersebut berasal dari air, buyut diminta
menyembuhkan cicitnya
tersebut. air buyut juga diminta menyembuhkan cicitnya (dalam hal ini hubungan dengan sakit yang disebabkan misalnya sakit perut karena kedinginan setelah berjalan di air).
Dalam motif tersebut
ditunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap leluhur. Mereka mengadakan ritual untuk meminta petunjuk pada leluhur. Masyarakat mempercayai
leluhur-leluhur mereka dapat
memberikan petunjuk bagi
pengobatan untuk orang yang sedang sakit. Melalui petunjuk itu maka akan dapat ditentukan asal penyebab si sakit, yaitu berasal dari air, hutan, atau berasal dare udara (langit).
3.4.2 Motif Adat (customs, P600) (Thompson, 1955:34)
Motif adat istiadat yang
ditampilkan dalam cerita ini
ditunjukkan melalui ritual
pengobatan.
Ritual pengobatan terdiri atas banyak jenis. Ritual yang kecil-kecil (sebelum belian), yaitu
bedewa, besipung, benyaru, betore. Pada suku Paser Balik
sebelum belian dilakukan
besipung (ritual kecil). Setelah besipung si sakit obat-obatan.
Apabila tidak sembuh kemudian
dilakukan belian. Belian
merupakan upacara pengobatan
tingkatan terakhir. Dukun
mendapat pesan dari alam ke tiga. Mereka mencari bahan- bahan obat di hutan, seperti akar, kayu, untuk diminum si sakit. …
Belian biasanya diselenggarakan di rumah kayu panjang. Orang yang sakit dibuatkan ayunan dan akan diayun oleh dukun untuk prosesi pengobatanya. Keluarga si sakit berkumpul rumah kayu tersebut. Motif tersebut menunjukkan adat ritual pengobatan yang dilakukan masyarakat suku Paser dan Suku Paser Balik. Ritual pengobatan tersebut terdiri atas berbagi ritual, yaitu
bedewa, besipung, benyaru, betore.
Adapula ritual besipung. Ritual-ritual tersebut merupakan ritual-ritual kecil dalam ritual pengobatan. Apabila setelah ritual-ritual kecil tersebut si sakit belum sembuh, maka akan diadakan ritual pengobatan belian.
Belian merupakan ritual pengobatan
tingkat akhir. Adat belian dilakukan di rumah kayu berbentuk memanjang.
Prosesi pengobatan berupa
pengayunan si sakit oleh dukun belian. Terdapat pula perbedaan ritual pengobatan yang dilakukan suku Paser Balik dengan suku Paser pada umumnya.
Terdapat perbedaan antara ritu-al pengobatan yang diadakan suku Paser Balik dan suku Paser pada umumnya. Pada ritual suku Paser Balik ada puncak ritual mereka atraksi. Pada saat puncak
ritual tersebut mereka
menunjukkan kekuatan leluhur mereka mengobati orang sakit. Mereka memotong badannya
208
dengan mandau atau pisau, lidah dipotong di depan penduduk.
Setelah orang melihatnya
badannya berdarah, ia lalu memasukkan obat ke badannya untuk menyembuhkan luka-luka tersebut. Hal tersebut merupakan
pembuktian bahwa mereka
mampu mengobati anak cucu mereka lagi.
Pada kutipan tersebut
ditunjukkan adat ritual pengobatan suku Paser Balik yang berbeda dengan ritual pengobatan suku Paser pada umumnya. Dalam ritual pengobatan yang dilakukan suku Paser Balik terdapat pembuktian bahwa mereka mampu mengobati orang yang sedang sakit. Pembuktian tersebut dilakukan dengan pemotongan bagian-bagian
badan yang ditunjukkan pada
penduduk. Mereka kemudian
memasukkan obat ke badan mereka sendiri. Hal tersebut menunjukkan
mereka akan dapat pula
menyembuhkan orang yang sedang sakit.
3.5 Motif Cerita “Asal Usul Balik-papan” (1)
Balikpapan adalah kota penting sejak era kolonial (zaman Hindia-Belanda). Balikpapan bermula dari
kampung nelayan kecil ketika
Kasultanan Kutai Kartanegara berjaya di era kolonial, lalu menggeliat hebat karena ditemukannya minyak bumi.
Balikpapan juga menjadi kota
pelabuhan penting di Kalimantan Timur (Matanasi, 2015:89).
3.5.1 Motif Pemberian Gaib (magic object a gift, D810) (Thomp-son, 1955:30)
Asal usul Balikpapapan (1) ditunjukkan melalui papan ritual yang
menghilang dengan sendirinya. Motif pemberian gaib ditunjukkan melalui papan ritual yang menghilang dengan sendirinya. Pada awalnya prajurit dari Kutai melihat papan yang sangat bagus di suatu kampung. Papan-papan tersebut ternyata merupakan papan ritual. Prajurit meminta papan-papan itu untuk dipersembahkan kepada raja Kutai. Namun, perahu yang membawa papan-papan itu terbalik. Papan itu terdampar dan dipakai penduduk nelayan untuk mencuci pakaian. Masyarakat tidak terima papan ritual tersebut digunakan sebagai tempat untuk mencuci pakaian. Papan itu kemudian hilang dengan sendirinya.
Papan itu terdampar di tepi
pantai (tempatnya dari
Klandasan sampai Kampung Baru). Papan itu yang terdampar itu dipakai oleh ibu-ibu nelayan untuk mencuci pakaian. Mereka tidak mengetahui bahwa papan itu ialah papan ritual (suci) yang dipakai orang tidur pada saat upacara belian. Masyarakat tidak terima papan ritual tersebut dipakai untuk tempat mencuci. Papan itu kemudian hilang
dengan sendirinya setelah
diketahui bahwa papan itu papan ritual. Tempat ditemukannya papan itulah kemudian disebut Balikpapan.
Dalam motif tersebut
ditunjukkan motif pemberian gaib, yaitu papan ritual. Papan yang akan dipersembahkan kepada raja Kutai. Di tengah-tengah perjalanan ke Kutai, perahu yang membawa papan-papan tersebut terbalik dan papan-papan itu terdampar. Motif pemberian gaib ditunjukkan ketika papan-papan itu menghilang dengan sendirinya setelah
209
tersebut merupakan papan-papan rit-ual.
3.6 Motif Cerita “Asal Usul Balikpapan (2)”
Dalam cerita rakyat “Asal Usul Balikpapan” (2) terdapat pula motif pemberian gaib.
3.6.1 Motif Pemberian Gaib (magic object a gift, D810) (Thomp-son, 1955:30)
Motif pemberian gaib dalam cerita rakyat “Asal Usul Balipapan (2)” ditunjukkan oleh pemberian upeti
masyarakat Balikpapan kepada
Kasultanan Kutai yang berupa papan. Papan-papan itu dibawa dari hulu ke Kutai. Namun, papan-papan itu kembali lagi ke hulu dan tidak sampai Kutai.
Ada upeti berupa papan sepuluh lembar dikirim ke Kutai Lama. Papan itu dibawa dari hulu ke Kutai. Namun, papan itu kembali lagi ke hulu. Dengan kekuatan magis papan itu kembali lagi ke hulu dan tidak sampai Kutai.
Motif ini ditampilkan melalui
pemberian gaib berupa papan-papan yang dikirim ke Kutai Lama. Akan tetapi, papan-papan itu kembali ke hulu dan tidak sampai ke Kutai.
3.7 Motif Cerita Rakyat “Ayus”
Cerita ini menampilkan
seseorang yang bernama Ayus. Ayus digambarkan sebagai orang yang kekuatan besar melebihi manusia pada umunya.
3.7.1 Motif Manusia yang
Mempunyai Kekuatan
(re-markably strong man, F610), (Thompson, 1955:31)
Motif ini ditunjukkan oleh seorang pemuda bernama Ayus yang mempunyai kekuatan luar biasa. Kekuatan ini ditunjukkan ketika ia berhasil menangkap dan melemparkan ular naga (loden) ke tempat yang jauh.
Ia memancing loden di antara Pulau Balang dan Pulau Lipan. Ayus berhasil menangkap loden
lalu dilemparkannya loden
tersebut. … Loden terlempar dan menyeberang ke suatu tempat. Ayus berhasil membunuh loden tersebut.
Motif ini ditampilkan melalui Ayus yang mempunyai kekuatan melebihi manusia pada umumnya. Kekuatan tersebut ditunjukkan ketika Ia menangkap dan melempar naga tersebut.
3.8 Motif Cerita Rakyat “Suku Paser Balik”
Suku Paser Balik mendiami daerah yang dinamai Tanah Balik, yaitu sekitar Balikpapan dan daerah Penajam Paser Utara. Pada cerita rakyat “Asal Usul Penamaan Suku Paser Balik” terdapat motif cerita kekuasaan kerajaan.
3.8.1 Motif Kekuasaan Kerajaan (royalty and nobility, P0) (Thomp-son, 1955:34)
Cerita “Suku Paser Balik” mempunyai motif cerita kekuasaan kerajaan atau dapat dimasukkan pada motif royalty and nobility. Hal tersebut ditunjukkan oleh suku Paser Balik yang posisinya berada di antara dua kerajaan.
210
Suku Paser Balik tidak mengakui sebagai suku Paser. Mereka tidak mengakui mereka di bawah Kutai atau Paser. Mereka berada di posisi perbatasan antara dua kerajaan, yaitu kasultanan Paser dan Kutai. Dengan masuknya koloni Belanda di Balikpapan, Kutai melakukan ekspansi wila-yah sampai ke Balikpapan
seberang (yang sekarang
menjadi menjadi Penajam Paser Utara). Kesultanan Paser tidak ada kekuasaan lagi ketika masuk Belanda. Dari sisi defacto suku Paser Balik termasuk dalam masyarakat Paser. Komunitas masyarakat Paser Balik sekarang berada di Penajam Paser Utara (PPU) yaitu di Sepaku.
3.8 Motif Cerita Rakyat “Putri Petung”
Putri Petung ialah ratu kerajaan Sadurengas di daerah Paser. Putri Petung merupakan nenek moyang suku Paser Balik. Terdapat beberapa versi penaman Putri Petung, Di masyarakat Benuaq ialah Putri Bumbung Bulan (putri dalam bambu). Di suku Dayak yang di Banjarmasin disebut Putri Bumbung Buih.
3.8.1 Motif Kerajaan dan
Bangsawan (royalty and no-bility, P0), (Thompson, 1955:34)
Motif ini ditunjukkan
pembagian wilayah keluarga Putri Petung. Mereka membagi wilayah menjadi 6 wilayah.
Mereka membagi wilayah
menjadi 6 wilayah, di sekitar pesisir, yaitu Pegunugan Meratus ke pesisir selatan dan ke utara sampai Kalimanatan Selatan.
Sa-lah satu nama yang terdapat dalam pembagianwilayah itu ialah Srantak Tulang Tunggel. Srantak Tulang Tunggel menurut suku Paser Balik ialah leluhur mereka. Wilayahnya dibagi oleh bapak Putri dalam Petung ke arah perbatasan dengan Kutai. 3.8.2 Motif Ratu (Queens, P20)
Motif ini ditunjukkan oleh Putri Petung sebagai Ratu Kerajaan Sadurengas di Paser. Kepemimpinan Putri Petung ditunjukkan melalui cara memutuskan hal-hal penting. Ia meminta pertimbangan majelis ulama dari sisi suaminya, dan majelis adat dari sisi Putri Petung.
Putri Petung ketika
mengadakan musyawarah
untuk menentukan keputusan-keputusan penting kerajaan ada pertimbangan majelis.
Majelis ulama dari sisi
suaminya, dan majelis adat dari sisi Putri Petung.
Dalam motif ini ditunjukkan cara kepemimpinan seorang ratu dalam
memutuskan perkara-perkara
penting di kerajaan. Ia meminta pertimbangan majelis ulama dan majelis adat dalam memutuskan perkara-perkara tersebut.
3.8.2 Motif Suami Istri (husband and wife, P210)
Motif suami istri ditunjukkan oleh Putri Petung yang menikah dengan Mansur Indrajaya dari Giri. Putri Petung melibatkan suaminya untuk memutuskan hal-hal penting kerajaan dari sisi suaminya sebagai
ulama. Mereka diceritakan
menghilang bersamaan di sebuah batu yang dinamakan Batu Giri.
211
Putri Petung menikah dengan Mansur Indrajaya dari Giri (kemungkinan nama lain Sunan Giri)…. Mansur Indrajaya dan Putri Petung dahulu menghilang di sekitar batu itu dan diberi tanda. Putri Petung dan Mansur Indrajaya menghilang di sekitar situ.
Putri Petung ketika
mengadakan musyawarah untuk
menentukan
keputusan-keputusan penting kerajaan ada pertimbangan majelis. Majelis ulama dari sisi suaminya, dan majelis adat dari sisi Putri Petung.
4. Simpulan
Motif cerita rakyat Balikpapan yang telah dibahas menunjukkan budaya masyarakat pemegang cerita rakyat tersebut. Melalui “Hutan
Lindung Sungai Wain”, “Macan
(Timang). “Naga (Loden)”, “Ritual Pengobatan”, “Asal Usul Balikpapan (1)”, “Asal Usul Balikpapan (2)”, “Ayus”, “Suku Paser Balik”, dan “Putri Petung” ditunjukkan kepercayaan masyarakat pada beberapa hal yang dikeramatkan, yaitu makam dan
binatang. Masyarakat juga
mempercayai bahwa para leluhur dapat memberikan petunjuk pada mereka dalam hal pengobatan. Oleh karena itu, masyarakat mengadakan ritual dan pantangan. Melalui motif tersebut ditunjukkan pula asal usul tempat yang berasal dari benda gaib. Motif-motif cerita rakyat Balikpapan menampilkan kepercayaan manusia pada kekuatan di luar dirinya. Oleh karena itu,manusia mengadakan ritual dan pantangan untuk keselamatan mereka. Masyarakat juga meminta pada leluhur yang mereka percayai dapat memberikan petunjuk bagi pengobatan orang yang sakit.
Daftar Acuan
Dananjaya, James, 1997. Foklor Indonesia:
Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain.Lain.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Denzin, Norman K, dan Yvonna S. Lincoln
(ed.). 1994. Handbook of Qualitative
Research. California: Sage
Publica-tions.
Matanasi, Petrik. 2015. Balikpapan Tempo
Doeloe. Yogyakarta: Sibuku Media.
Pudentia, dkk. 2003. Antologi Prosa Rakyat
Melayu Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa.
Pudentia (ed.). 2008. Metodologi Kajian
Tradisi Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi
Lisan (ATL).
Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode,
dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogya-karta: Pustaka Pelajar.
Sudikan, Setya Yuwana. 2014. Metode
Penelitian Sastra Lisan. Lamongan:
Pustaka Ilalang Group.
Taum, Yoseph Yapi. 2011. Studi Sastra Lisan:
Sejarah, Teori, Metode dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera.
Thompson, Stith. 1955. Motif-Index of
Folk-Literature. Bloomington: Indiana
Uni-versity Press.
(http://thetravelous.weebly.com/hutan-lindung-sungai-wain.html, Diunduh 23 Februari 2017).