• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTERPRETASI CITRA DAN FAKTOR FAKTOR YAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "INTERPRETASI CITRA DAN FAKTOR FAKTOR YAN"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

INTERPRETASI CITRA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEBARAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

STUDI KASUS : KOTA BANDUNG Oleh :

Nana Suryana, Ketut Wikantika, T. Lukman Aziz.

Abstrak

Dikarenakan di Indonesia banyak daerah yang sering terjadi kasus DBD, maka persoalan Demam Berdarah Dengue (DBD) menjadi masalah kesehatan yang amat ditakuti di Indonesia, hal ini dimungkinkan terkait lokasi penderita yang kurang terisolir, jumlah penduduk yang membengkak, cuaca yang kondusif bagi nyamuk, ditambah kepedulian penduduk dan pemerintah yang rendah terhadap lingkungan yang sehat.

Adanya teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) sangat bermanfaat sebagai penyedia data secara kontinyu dan sebagai tools yang dapat memvisualisasikan dan memanajemen data spasial dan data tekstual faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran DBD.

Berdasarkan hasil analisis spasial dan faktor-faktor yang mempengarahi penyebaran DBD dari tahun 2003 hingga tahun 2004 menunjukan faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran DBD adalah :

a. Jumlah penderita dalam tiap lokasi

b. Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) di masyarakat c. Kepadatan penduduk

d. Kepadatan pemukiman

e. Faktor kesehatan lingkungan masyarakat lainnya

Akhirnya, hasil dari proses analisis spasial dalam penelitian ini divisualisasikan dalam Peta Indeks Rawan DBD.

Kata Kunci : analisis spasial, SIG, faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran DBD I. PENDAHULUAN

Persoalan Demam Berdarah Dengue (DBD) menjadi masalah kesehatan yang amat ditakuti di Indonesia. Atas dasar itu, pada penelitian ini dicoba untuk menguraikan hubungan kejadian DBD dengan faktor-faktor fisik yang mempengaruhinya. Data inderaja digunakan untuk mengetahui lingkungan fisik dari vektor DBD. Sistem Informasi Geografis (SIG) menjadi alat analisisnya.

2. Metodelogi Penelitian

Secara garis besar penelitian ini mengikuti tahapan tahapan sebagai berikut (gambar 1):

Gambar 1. Tahapan kegiatan penelitian

Analisis spasial berdasarkan pola hidup nyamuk dan penutupan lahan Analisis spasial berdasarkan pola hidup nyamuk dan suhu permukaan Analisis rentan DBD berdasarkan faktor kesehatan lingkungan

Analisis rawan DBD berdasarkan faktor kesehatan lingkungan dan jumlah penderita DBD dalam tiap lokasi kejadian

Proses Keluaran Informasi Spasial

Peta Bahaya DBD Berdasarkan Pola Hidup Nyamuk Tahun 2003 - 2004

Peta Bahaya DBD Berdasarkan Pola Hidup Nyamuk dan Kondisi Penutupan Lahan Tahun 2003 - 2004

Peta Bahaya DBD Berdasarkan Pola Hidup Nyamuk dan Keadaan Suhu Permukaan Tahun 2004

Peta Indeks Rawan DBD 2003 - 2004

Informasi Non Spasial Nilai Rentan DBD 2003

– 2004

(2)

2. Pengadaan Data

2.1. Pengadaan Data Terjadinya Kasus DBD

Data terjadinya kasus DBD dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2005 diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Bandung dalam bentuk tabel. Dari data tersebut dipilih tahun 2003 dan 2004 sebagai bahan kajian.

Data banyaknya penderita DBD tahun 2003 dan 2004 dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Data kejadian DBD tahun 2003 dan 2004 di Kota Bandung

2.2. Pengadaan Data Kesehatan Lingkungan Masyarakat

Data kesehatan lingkungan masyarakat dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2004 diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Bandung.

Berdasarkan data yang tersedia tahun 2003, faktor-faktor kesehatan lingkungan yang mempengaruhi terjadinya DBD terdiri dari :

1. Kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan

2. Fasilitas pengelolaan limbah (Sistem Pengelolaan Air Limbah/SPAL) yang tidak memenuhi syarat kesehatan 3. Jamban yang tidak memenuhi syarat kesehatan

4. Kepadatan penduduk

5. Tidak memiliki Sarana Air Bersih (SAB) 6. Tidak memiliki jamban

7. Tidak memiliki tempat sampah 8. Tidak memiliki pengelolaan limbah

Sedangkan pada tahun 2004, faktor-faktor kesehatan lingkungan yang mempengaruhi terjadinya DBD selain delapan faktor yang terdapat di tahun 2003, tahun 2004 ditambah dengan :

1. Sarana Air Bersih (SAB) yang tidak memenuhi syarat kesehatan 2. Tempat sampah yang tidak memenuhi syarat kesehatan

2.3. Pengadaan Data Citra Satelit

Data citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

Citra Q-Bird 2004 untuk mengetahui pola pemukiman dan jenis penutupan lahan pada tahun 2004. Citra IKONOS 2003 untuk mengetahui pola pemukiman dan jenis penutupan lahan pada tahun 2003. Citra Aster 2004 untuk mengetahui kondisi suhu permukaan tahun 2004.

Citra satelit yang tersedia hanya mencakup daerah bagian barat kota Bandung yang terdiri dari 10 kecamatan mempunyai luasan > 60% dari luas kecamatannya, dan 6 kecamatan mempunyai luasan < 60 % dari luas kecamatannya.

2.4. Pengadaan Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

 Peta Rupa Bumi Indonesia, skala 1 : 25.000, diperoleh dari DISHUT Propinsi Jawa Barat

(3)

3. Pengolahan Data

3.1. Pembuatan Peta Kejadian DBD Tahun 2003 dan 2004

Untuk memudahkan dalam analisis spasial data kasus DBD tahun 2003 dan 2004 dari Dinas Kesehatan Kota Bandung dibuat menjadi Peta Kasus DBD per Kecamatan tahun 2003 dan 2004, yaitu seperti terlihat pada gambar 2 dan gambar 3.

Gambar 2. Peta Jumlah Penderita DBD Tahun 2003 Gambar 3. Peta Jumlah Penderita DBD Tahun 2004

3.2. Pembuatan Peta Penutupan Lahan 2003 dan 2004

Peta penutupan lahan tahun 2003 (Gambar 4) dan 2004 (Gambar 5) diperoleh dari interpretasi citra Ikonos tahun 2003 dan Q-Bird tahun 2004.

Gambar.4. Peta Penutupan Lahan 2003 Gambar 5. Peta Penutupan Lahan 2004

3.3. Pembuatan Peta Temperatur Permukaan Tahun 2004

Peta Temperatur Permukaan Tahun 2004 didapat dari ekstraksi temperatur permukaan dari band 14 citra Aster, hasilnya seperti terlihat pada Gambar 6.

(4)

4. Analisis Spasial Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran DBD 4.1. Analisis Spasial Berdasarkan Faktor Pola Hidup Nyamuk

Analisis spasial berdasarkan pola hidup nyamuk didasarkan dua pertimbangan : jarak terbang nyamuk sepanjang hidupnya, dan rata-rata jarak bepergian perhari dari nyamuk tersebut. Rata-rata nyamuk betina Aedes Aegypty hidup selama 8-15 hari dan rata-rata nyamuk tersebut dapat terbang 30-50 m per hari. Ini mengindikasikan umumnya nyamuk betina berpindah sekitar 240-750 m selama hidupnya. Karenanya, analisis spasial ini dilakukan dengan operasi buffer dari tempat kejadian dengan jarak 240 m dan 750 m.

Idealnya operasi buffer tersebut dilakukan dari lokasi rumah tiap-tiap penderita, dikarenakan keterbatasan data yang tersedia, jarak buffer dilakukan dari batas wilayah 3 kecamatan yang mempunyai jumlah penderita terbesar.

Tiga daerah yang paling banyak terjadi kasus DBD tahun 2003 pada daerah sampel kajian adalah kecamatan Bandung Kulon (37 penderita), Lengkong (37 penderita), dan Cibeunying Kaler (50 penderita). Dari tiga daerah tersebut dilakukan proses buffer dengan jarak 240 m dan 750 m sehingga didapat Peta Bahaya DBD Tahun 2003 Berdasarkan Faktor Pola Hidup Nyamuk (gambar 7).

Tiga daerah yang paling banyak terjadi kasus DBD tahun 2004 pada daerah sampel kajian adalah kecamatan Coblong (162 penderita), Lengkong (214 penderita), dan Sukajadi (158 penderita). Dari tiga daerah tersebut dilakukan proses buffer dengan jarak 240 m dan 750 m sehingga didapat Peta Bahaya DBD Tahun 2004 Berdasarkan Faktor Pola Hidup Nyamuk (gambar 8).

Kawasan bahaya DBD berdasarkan faktor pola hidup nyamuk.terbagi tiga klasifikasi :

 Daerah bahaya tingkat I; untuk daerah yang paling banyak terjadi kasus DBD,

 Daerah bahaya tingkat II; untuk daerah sekitar terjadinya kasus DBD dengan jarak 240 m, dan

 Daerah bahaya tingkat III; untuk daerah sekitar terjadinya kasus DBD dengan jarak 750.

Gambar 7. Peta Bahaya DBD Tahun 2003 Berdasarkan Faktor Pola Hidup Nyamuk.

Gambar 8. Peta Bahaya DBD Tahun 2004 Berdasarkan Faktor Pola Hidup Nyamuk.

4.2. Analisis Spasial Berdasarkan Faktor Pola Hidup Nyamuk dan Kondisi Penutupan Lahan

Analisis ini dilakukan dengan tumpang susun antara Peta Bahaya DBD Berdasarkan Pola Hidup Nyamuk dengan Peta Penutupan Lahan yang menghasilkan Peta Bahaya DBD Berdasarkan Pola Hidup Nyamuk dan Kondisi Penutupan Lahan 2003 (gambar 9), dan tahun 2004 (gambar 10).

Gambar 9. Peta DBD Berdasarkan Pola Hidup Nyamuk dan

(5)

Kondisi Penutupan Lahan Tahun 2004

Berdasarkan analisis daerah rawan DBD berdasarkan faktor pola hidup nyamuk dan kondisi penutupan lahan, maka diperoleh kesimpulan bahwa ”Semakin padat suatu pemukiman maka tingkat rawan DBD cenderung semakin tinggi, dan semakin jarang suatu pemukiman maka tingkat rawan DBD cenderung semakin rendah”.

Hal ini dibuktikan dengan gambar grafik korelasi antara pemukiman padat dengan kejadian DBD tahun 2003 (gambar 11) dan 2004 (gambar 12).

Gambar 11.Grafik hubungan antara pemukiman padat dengan kejadian DBD tahun 2003

Gambar 12. Grafik hubungan antara pemukiman padat dengan kejadian DBD tahun 2004

4.3. Analisis Spasial Berdasarkan Faktor Pola Hidup Nyamuk dan Kondisi Suhu Permukaan

Untuk mengetahui sejauhmana hubungan antara pola hidup nyamuk dengan suhu permukaan, maka pada penelitian ini dilakukan tumpang susun antara Peta Bahaya DBD Berdasarkan Faktor Pola Hidup Nyamuk dengan Peta Suhu Permukaan Tahun 2004 yang menghasilkan Peta Pola Penyebaran Rawan DBD Berdasarkan Faktor Pola Hidup Nyamuk dan Temperatur Permukaan seperti yang terlihat pada gambar 13.

Dari proses tumpang susun tersebut didapat kesimpulan bahwa ”Kejadian DBD lebih banyak berkembang pada suhu permukaan 320C s/d 360C” seperti dibuktikan dalam grafik gambar 14.

Gambar 13. Peta Pola Penyebaran Rawan DBD Berdasarkan Faktor Pola Hidup Nyamuk dan Temperatur Permukaan

Gambar I4. Grafik hubungan antara suhu permukaan dengan jumlah penderita DBD

4.4. Analisis Kejadian DBD Berdasarkan Faktor Kesehatan Lingkungan

Karena persoalan DBD berkaitan dengan faktor lingkungan, penulis kemudian mencoba mengkaji daerah rawan DBD berdasarkan faktor kesehatan lingkungan dengan mempertimbangkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor : 217/KPTS/M/2002 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman

Selanjutnya untuk masing-masing faktor kesehatan lingkungan tersebut diberi bobot dengan menggunakan metode PAIRWISE COMPARISON.

4.4.1 Analisis Kerentanan Daerah Rawan DBD Berdasarkan Faktor Kesehatan Lingkungan

Untuk mendapatkan nilai kerentanan, digunakan perumusan matematik Simple Additive Weighting (SAW) yang merupakan yang merupakan teknik yang sering dipergunakan dalam membuat keputusan spatial multicriteria. Formula matematiknya sebagai berikut :

Y = w1 X1 + w2 X2 + w3 X3 +….+ wn+1 Xn+1 ………….. ………(1)

(6)

X1,2,3,n+1 = Faktor-faktor kesehatan lingkungan

w1,2,3,n+1 = Bobot faktor-faktor kesehatan lingkungan

Berdasarkan hasil analisis faktor kesehatan lingkungan, kecamatan Rancasari dan Sukajadi pada tahun 2004 merupakan daerah yang paling rentan terjadinya DBD. Perbedaan nilai rentan DBD tahun 2003 dan 2004 dapat dilihat pada gambar 15.

Gambar 15. Grafik Perbandingan Nilai Rentan DBD Tahun 2003 dan 2004

4.4.2. Analisis Rawan DBD Berdasarkan Daerah Kejadian dan Faktor Kesehatan Lingkungan

Untuk menganalisis daerah rawan DBD berdasarkan daerah kejadian dan faktor kesehatan lingkungan, hal pertama yang dilakukan adalah melakukan pembobotan sesuai dengan seberapa besar pengaruhnya faktor-faktor tersebut terhadap penyebaran DBD. Pembobotan untuk maksud tersebut, dapat dilakukan dengan menggunakan PAIRWISE COMPARISON.

Analisis kerentanan daerah rawan DBD berdasarkan faktor kesehatan lingkungan dilakukan dengan pendekatan metode SAW, yakni dengan formula matematik sebagai berikut :

R = wD D + wY Y ………...……...………..……(2)

dimana :

R = Indeks daerah rawan DBD (%)

D = Penderita DBD dalam tiap kecamatan (%)

Y = Nilai rentan DBD berdasarkan faktor kesehatan lingkungan per kecamatan (%) wD = bobot penderita DBD dalam tiap lokasi kejadian

wY = bobot nilai rentan DBD berdasarkan faktor kesehatan lingkungan

Berdasarkan hasil analisis daerah rawan DBD dilihat dari faktor lokasi kejadian dan faktor kesehatan lingkungan didapat indeks rawan DBD pada tahun 2003 dan tahun 2004. Perbedaan indeks rawan DBD 2003 dan 2004 dapat dilihat pada gambar 16.

Gambar 16. Grafik Perbedaan Indeks Rawan DBD 2003 dan 2004

Untuk melihat sejauhmana hubungan penderita DBD dengan indeks rawan DBD, dapat dilihat dari koefisien korelasinya. Grafik korelasi antara indeks rawan DBD dengan jumlah penderita DBD dapat dilihat dalam gambar 17 untuk tahun 2003, sedangkan untuk tahun 2004 dapat dilihat pada gambar 18.

(7)

Gambar 17. Grafik korelasi antara indeks rawan DBD dengan

jumlah penderita DBD tahun 2003 Gambar 18. Grafik korelasi antara indeks rawan DBD denganjumlah penderita DBD tahun 2004 Selanjutnya indeks rawan DBD dibagi kedalam 4 kategori, yaitu :

1) Indeks rawan DBD 0 s/d 10 digolongkan indeks rawan DBD rendah 2) Indeks rawan DBD 11 s/d 20 digolongkan indeks rawan DBD sedang 3) Indeks rawan DBD 21 s/d 30 digolongkan indeks rawan DBD agak tinggi 4) Indeks rawan DBD 31 s/d 40 digolongkan indeks rawan DBD tinggi

Indeks rawan DBD tahun 2003 setelah dibagi dalam 4 kategori dapat dilihat pada gambar 19 (Peta Indeks Rawan DBD Tahun 2003). Dimana dalam peta tersebut terlihat bahwa pada tahun 2003 terdapat dua kecamatan yang termasuk daerah rawan DBD rendah, satu kecamatan termasuk agak tinggi, satu kecamatan termasuk tinggi, dan yang lainnya termasuk sedang.

Gambar 19. Peta Indeks Rawan DBD Tahun 2003

Indeks rawan DBD tahun 2004 setelah dibagi dalam 4 kategori dapat dilihat pada gambar 20 (Peta Indeks Rawan DBD Tahun 2004). Terlihat pada peta tersebut pada tahun 2004 terjadi peningkatan rawan DBD dibanding tahun 2003, dimana pada tahun 2004 terdapat 10 kecamatan termasuk rawan DBD sedang, 10 kecamatan termasuk agak tinggi, dan 6 kecamatan termasuk daerah rawan DBD tinggi.

Gambar 20. Peta Indeks Rawan DBD Tahun 2004

4. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Berdasarkan analisis berdasarkan pola hidup nyamuk dan kondisi penutupan lahan didapat kesimpulan bahwa semakin padat suatu pemukiman maka tingkat rawan DBD cenderung semakin tinggi, dan semakin jarang suatu pemukiman maka tingkat rawan DBD cenderung semakin rendah.

2. Berdasarkan analisis berdasarkan pola hidup nyamuk dan kondisi suhu permukaan didapat kesimpulan bahwa nyamuk Aedes Aegypty lebih banyak berkembang pada suhu permukaan 320C s/d 360C.

3. Karena penduduk yang terkena DBD dimungkinkan menjadi penyebab penduduk lain untuk terkena DBD pula, maka kepadatan penduduk menjadi faktor penyebab penyebaran DBD ketiga setelah faktor jumlah penderita dan faktor masyarakat kurang ber-PHBS.

(8)

kecamatan Cibenying Kidul mempunyai prosentase jumlah penderita DBD paling tinggi (26 %) dibandingkan kecamatan lainnya di Kota Bandung. Kemudian pada tahun 2004 tetap mempunyai prosentase jumlah penderita DBD tertinggi yakni sebesar 43%, hal ini seharusnya tidak terjadi jika sebelumnya dilakukan langkah-langkah penanggulangannya.

5. Pada tahun 2004, berdasarkan hasil analisis faktor kesehatan lingkungan, kecamatan Sukasari dan Sukajadi merupakan daerah yang paling rentan terjadinya DBD, hal ini dimungkinkan karena di daerah tersebut banyak masyarakat kurang ber-Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) baik di tatanan rumah tangga maupun di luar tatanan rumah tangga, dan ini menjadi salah satu faktor terjadinya peningkatan penderita DBD di Sukasari dari 33 orang pada tahun 2003 menjadi 123 orang pada tahun 2004, dan dari 19 orang pada tahun 2003 menjadi 158 orang pada tahun 2004 di Sukajadi.

6. Pada tahun 2003, berdasarkan hasil analisis daerah rawan DBD dilihat dari faktor lokasi kejadian dan faktor kesehatan lingkungan, kecamatan Cibeunying Kidul dan kecamatan Batununggal mempunyai indeks rawan yang paling tinggi, hal ini mungkin jadi salah satu penyebab peningkatan prosentase jumlah penderita DBD pada tahun 2004, dimana pada tahun 2003 prosentase jumlah penderita DBD di Cibeunying Kidul hanya 26.02 % tapi pada tahun berikutnya meningkat menjadi 43.09 %, begitu juga di Batununggal pada tahun 2003 penderita DBD hanya 14.74 % tapi pada tahun berikutnya meningkat menjadi 24 %.

7. Berdasarkan hasil analisis daerah rawan DBD berdasarkan lokasi kejadian dan faktor kesehatan lingkungan pada tahun 2004, kecamatan Cibeunying Kidul dan kecamatan Sukajadi mempunyai indeks rawan yang paling tinggi, hal ini memungkinkan pada tahun berikutnya pada kedua daerah tersebut akan banyak penderita DBD lagi jika tidak diantisipasi dengan baik. Dan berdasarkan data dari Dinas Kesehatan, pada tahun 2004 di kecamatan Cibeunying Kidul terdapat penderita DBD 159 orang dan pada tahun 2005 jumlah penderita DBD menjadi 201 orang, sedangkan di kecamatan Sukajadi pada tahun 2004 terdapat penderita DBD 158 orang dan pada tahun 2005 berkurang menjadi 143 orang.

8. Berdasarkan perhitungan analisis korelasi antara indeks rawan DBD dan jumlah penderita DBD di tahun 2003 dan tahun 2004 grafiknya naik dengan nilai R2 di atas 0,6. Ini mengindikasikan bahwa antara indeks rawan DBD dengan jumlah

penderita DBD berkorelasi dimana semakin tinggi nilai indeks rawan DBD maka jumlah penderita DBD pun akan semakin tinggi.

5. Saran

Saran-saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk penelitian selanjutnya akan lebih baik menggunakan data pasen DBD dengan posisi rumahnya dan juga posisi dari rumah sakit tempat pasen DBD berada, sehingga analisis pola hidup nyamuk dari tempat penderita dapat lebih optimal.

2. Data penutupan lahan dan suhu permukaan hasil interpretasi citra satelit, untuk penelitian selanjutnya akan lebih baik menggunakan data yang mencakup Kota Bandung seluruhnya, sehingga analisis pola hidup nyamuk berdasarkan kondisi penutupan lahan dan suhu permukaan akan lebih optimal.

3. Untuk penelitian selanjutnya akan lebih baik jika menggunakan data lebih dari dua tahun, sehingga perubahannya akan lebih kelihatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ali, H., 2006, Penentuan Indeks Kerentanan Lingkungan Pantai Berbasis Geospasial dan Parameter Fisik Pada Kawasan Pulau-Pulau Kecil, Tesis, Program Magister Teknik Geodesi dan Geomatika, FTSL ITB, Bandung.

2. Anonimous, 2003, Demam Berdarah Aedes Aegypti, web “http://www.jakarta.go.id/dinas kesehatan DKI Jakarta Demam Berdarah.htm”, [Mei 2006].

3. Anonimous, 2006, Band Spektrum Aster Landsat, web “http://aster.indomicrowave.com/asterlandsat.htm.”, [Mei 2006]. 4. Anonimous,__,web“http://asterweb.jpl.nasa.gov/content/03_data/04_Documents/publications.htm”, [Mei 2006]. 5. Anonimous,__,web“http://geocities.com/geomatika_indonesia/quickbird.htm”, [Mei 2006].

6. Anonimous,__,web“http://www.ccrs,nrcan.gc.ca/ccrs/com/rsnewsltr/3002/3002ra2_e.html”, [Mei 2006].

7. Anonimous,__,Persyaratan Kualitas Minimal Perumahan dan Permukiman Sehat,

web“http://www.jakarta.go.id/dinasperumahan - Dinas Perumahan DKI Jakarta”, [Agustus 2006].

8. Ahmad Sasmito, Hadi Widiatmoko, Riris Adriyanto, Kukuh Ribudiyanto, Ali Mas’at, Dede Tarmana, Ridad Agoes, Aida Fatmi, 2006, Prototipe Model Peringatan Dini Bahaya Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah DKI Jakarta, Laporan Penelitian Pengembangan Meteorologi dan Geofisika, BMG, Jakarta.

9. Kanchana Nakhapakorn and Nitin Kumar Tripathi, 2004, An information value based analysis of physical and climatic factors affecting dengue fever and dengue haemorrhagic fever incidence, web “http:///www.pubmedcentral.nih.gov/redirect3.cgi&&retype=extlink&artid=1177981&iid=18081&jid=122&&http://cre ativecommons.org/licenses/by/2.0”, [Mei 2006]

10. Kep. Ment. Permukiman dan Prasarana Wilayah, Ketua Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional (BKP4N), Nomor : 217/KPTS/M/2002 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Perumahan dan Permukiman (KSNPP)

11. Lipiyandi, Y., 2006, Simulasi dan Analisis Korelasi Cuaca dengan Kelimpahan Vektor Demam Dengue di Kota Bandung, Skripsi, Geofisika dan Meteorologi, ITB, Bandung.

12. Malczewski, Jacek.,1999, GIS and Multicriteria Decision Analysis, John Wiley & Sons, Inc., New York.

Gambar

Tabel 1. Data kejadian DBD tahun 2003 dan 2004 di Kota Bandung
Gambar.4. Peta Penutupan Lahan 2003
Gambar 7. Peta Bahaya DBD Tahun 2003 Berdasarkan
Gambar I4. Grafik hubungan antara suhu permukaan dengan jumlah
+3

Referensi

Dokumen terkait

M enurut Sutarman (2003, p4), internet berasal dari kata interconnection networking yang mempunyai arti hubungan sebagai komputer dan berbagai tipe komputer yang merupakan

Dalam rangka mewujudkan kegiatan yang berfungsi menampung berbagai aktivitas dikalangan generasi muda serta upaya meningkatkan integrasi antar generasi muda,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem yang di tetapkan pada KPSP Setia Kawan Nongkojajar serta mengevaluasi tentang struktur organisasi, Job

[r]

Berdasarkan hasil analisis menggunakan Sidik Ragam Rataan dengan Rancangan Petak Terpisah (RPT) faktorial menunjukkan bahwa penggunaan varietas berbeda dan Dosis

Menguasai materi, struktur, konsep dan pola pikir Mengelola aturan administrasi perawatan dan Menyajikan macam-macam perawatan dan keilmuan yang mendukung mata pelajaran

Fungsi biologis adalah sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground), dan sebagai daerah mencari makan (feeding ground) bagi ikan dan

Kebiasaan dalam pengelolaan pembuatan kue rumahan di Desa Lampanah memiliki kebiasaan kurang baik, hal ini di sebabkan karena pengelolaan kue rumahan oleh