BAB II
UPAYA PENCEGAHAN PERUSAKAN HUTAN
A. Upaya-Upaya yang dapat dilakukan dalam Mencegah Perusakan Hutan
Seperti yang telah kita lihat bahwa perusakan hutan di Indonesia sudah
kerap kali terjadi dan benar-benar membawa dampak buruk bagi masyarakat dan
negara, oleh karena itu maka perlu kita cegah untuk menghindari terjadinya
berbagai dampak buruk.Pencegahan berarti adalah proses, cara, tindakan
mencegah atau tindakan menahan agar sesuatu tidak terjadi.15
Pencegahan perusakan hutan adalah segala upaya yang dilakukan untuk
menghilangkan kesempatan terjadinya perusakan hutan.16
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai hutan terluas di
dunia atau sering juga disebut sebagai paru-paru dunia, yang apabila kerusakan
hutan terjadi semakin banyak akan membawa dampak bukan hanya pada negara Memang kita sadari
bukan hal yang mudah untuk dapat mencegah terjadi perusakan hutan di
Indonesia, butuh perencanaan yang matang dan berkelanjutan tidak bisa di
kerjakan setengah-setengah. Dalam menangani pencegahan perusakan hutan
butuh kerja yang serius agar dapat membawa mendapat yang positif, banyak
oknum atau pejabat yang terlibat.Ini merupakan salah satu kendala yang memeang
harus di tindak langsung selain itu, sebagian masyarakat juga banyak terlibat
dalam hal ini, sehingga memang di perlukan penanganan yang serius.
15
Kamus Besar Bahasa Indonesia
16
ini saja namun negara luar juga akan terkena dampaknya. Indonesia mempunyai
kekayaan alam yang luas, yang sudah seharusnya kita memang harus tetap
menjaganya dan melastarikannya demi dan untuk kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat.
Persoalan kerusakan hutan dan lahan seperti yang banyak kita lihat di
pengaruhi oleh kegiatan pembakaran hutan dan lahan sebagai akibat pembukaan
lahan (land clearing) melalui pembakaran. Pembakaran hutan dan lahan ini telah
menimbulkan pencemaran asap, yang menyebabkan pemanasan bumi (global
warming) dan perubahan iklim (climate change), perubahan fungsi hutan yang
menyebabkan erosi dan dampak buruk lainnya, yang pada akhirnya memberikan
beban dan gangguan tersendiri bagi ekosistem hutan.
Penggunaan hutan dan lahan secara tidak berkelanjutan dan tidak
berwawasan ekologi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor
hukum, manusia, penegak hukum, dan sebagainya. Bagian ini dimaksudkan untuk
mengungkapkan faktor hukum dari faktor hukum dari pemanfaatan sumber daya
hutan dan lahan serta kegiatan manusia dalam bentuk lain yang ikut memberikan
kontribusi terhadap kerusakan hutan dan lahan.
Ancaman serius terhadap sumber daya hutan ditimbulkan oleh kegiatan
pembakaran hutan yang menimbulkan pencemaran asap lintas batas negara
(transboundary haze pollution). Pembakaran hutan yang secara besar-besaran
Penyebab kebakaran hutan adalah kegiatan manusia, seperti pembukaan lahan,
perladangan berpindah, praktik pertanian, tebang bakar, dan logging.17
Langkah ketiga adalah pencegahan dan peringanan. Pencegahan di sini
dimaksud kegiatan penyuluhan / penerangan kepada masyarakat lokal akan
penting menjaga fungsi dan manfaat hutan agar dapat membantu dalam menjaga
kelestarian hutan dan penegakan hukum yang tegas oleh aparat penegak
hukum,Polisi Republik Indonesia (POLRI) yang dibantu oleh Polisi Hutan
Langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai penentu
kebijakan harus segera melakukan pemulihan terhadap kerusakan hutan harus
untuk menjaga agar tidak terjadi kerusakan yang lebih parah. Untuk melaksanakan
pemulihan terhadap kerusakan hutan yang telah terjadi, pemerintah dengan
mengajak seluruh lapisan masyarakat, dari kalangan individu, kelompok maupun
organisasi perlu secara serentak mengadakan reboisasi hutan dalam rangka
penghijauan hutan kembali sehingga pada 10 - 15 tahun ke depan kondisi hutan
Indonesia dapat kembali seperti sedia kala. Pelaksanaan penghijauan tersebut
harus lebih mengaktifkan masyarakat lokal (masyarakat yang berada di sekitar
hutan) untuk secara sadar dan spontan turut menjaga kelestarian hutan tersebut.
Langkah kedua, pemerintah harus menerapkan cara-cara baru dalam
penanganan kerusakan hutan. Pemerintah mengikutsertakan peran serta
masyarakat terutama peningkatan pelestarian dan pemanfaatan hutan alam berupa
upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan dan latihan
serta rekayasa kehutanan.
17
(POLHUT) dalam melaksanakan penyelidikan terhadap para oknum pemerintahan
daerah atau desa yang menyalahgunakan wewenang untuk memperdagangkan
kayu pada hutan lindung serta menangkap dan melakukan penyidikan secara
tuntas terhadap para cukong - cukong kayu yang merugikan negara trilyunan
rupiah setiap tahunnya. Peringanan yang dimaksud di sini adalah pemerintah
harus melaksanakan analisa terhadap pelaksanaan peraturan tersebut di dalam
masyarakat. Bila ditemukan hal - hal yang tidak cocok bagi masyarakat sebaiknya
pemerintah mengadakan revisi terhadap undang - undang tersebut sepanjang
tujuan awal pembuatan undang - undang itu tidak dilanggar.
Langkah terkahir adalah adanya kesiapsiagaan yang berlangsung selama
24 jam terhadap penjagaan terhadap kelestarian hutan ini. Pemerintah harus
melaksanakan pengawasan dan pengendalian secara rutin dan situasional terhadap
segala hal yang berkaitan adanya informasi kerusakan hutan yang didapatkan
melalui media massa cetak maupun elektronik ataupun informasi yang berasal
dari masyarakat sendiri. Pemerintah harus melakukannya secara kontineu dan
terus - menerus sehingga kalaupun ada kerusakan hutan yang dilakukan oleh
oknum tertentu dapat segera diambil langkah yang tepat serta dapat mengurangi
akibat bencana/ disaster yang akan ditimbulkan kemudian.18
Dalam beberapa kasus terakhir seperti yang kita lihat di televisi maupun
yang kita baca di Koran dan media sosial kerusakan hutan yang terjadi adalah
akibat ulah manusia itu sendiri, seperti penebangan liar dan kebakaran hutan,
sehingga perlu perhatian yang lebih untuk menangani masalah ini.
1. Pencegahan perusakan hutan yang dilakukan oleh korporasi
Korporasi adalah kumpulan orang dan\atau kekayaan yang terorganisasi,
baik yang berupa badan hukum maupun yang bukan badan hukum.19
Bagi korporasi yang melakukan pembakaran hutan harus benar-benar
memperhatikan hutan seperti apa yang akan dibakar, apakah merupakan hutan dalam
mencegahan kebakaran hutan yang dilakukan oleh korporasi memang bukan hal
yang mudah untuk di hentikan, perlu penanganan yang serius karena kejahatan ini
adalah kejahatan yang tersetruktur, dalam mencegah pembakaran hutan ini perlu
suatu peraturan khusus, karena pembakaran hutan yang dilakukan oleh korporasi
bukanlah dalam bidang yang kecil namun sangat banyak merusak hutan, lahan
tersebut banyak digunakan untuk membangun pabrik atau pemanfaatan kayu
untuk bahan bangunan.
Untuk mencegah perusakan yang dilakukan oleh korporasi ini dapat
melalui penerapan peraturan yang tegas, sehingga apabila ada satu korporasi yang
melakukn kejahatan langsung di tindak secara adil agar dapat di jadikan contoh
untuk korporasi lain yang ingin mecoba-coba untuk melakukan kejahatan yang
sama, namun masalah yang sering kita lihat adalah banyaknya pelaku kejahatan
perusakan hutan yang masih saja dapat lari dari jeratan hukum.
Pembentukan Undang-Undang tentang kehutan dapat mencegah terjadinya
perusakan hutan, apabila telah ada peraturan yang tegas yang mengatur tentang
kehutan, semua masyarakat yang sering melakukan kejahatan kehutan akan
berpikir kembali dalam melakukan aksinya.
19
lindung atau tidak. Cara untuk mencegah perusakan hutan yang di lakukan oleh
korporasi bisa dilihat dari melakukan evalusi kepada semuan pihak yang
mempunyai izin, dari evalusi tersebut dapat di simpulkan mana yang telah
menyalahi aturan, dan tidak sesuai dengan izin yang diberikan sehingga
pemerintah dapat mencabut izin meraka.
Selain itu dalam rangka pencegahan perusakan hutan, pemerintah
membuat kebijakan berupa :
a. Koordinasi dalam lintas sektor dalam pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan;
b. Pemenuhan kebutuhan sumber daya aparatur pengamanan hutan
c. Insentif bagi para pihak yang berjasa dalam menjaga kelestarian hutan
d. Peta penunjukan kawasan hutan dan\atau koodinat geografis sebagai
dasar yuridis batas kawasan hutan; dan
e. Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan.20
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997, yang memperkenalkan tanggung
jawab pidana korporasi (corporate criminal liability), merupakan senjata ampuh
untuk memerangi kebakaran hutan yang sebagian besar disebkan oleh kegiatan
perkebunan. Berdasarkan Undang-undang ini, korporasi dapat dijatuhi hukuman
pidana apabila dalam melakukan kegiatannnya korporasi melanggar ketentuan
substantif.
20
Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan pada korporasi yang melakukan
perusakan dan pencemaran lingkungan berdasarkan Undang-undang No. 23
Tahun 1997 adalah sanksi denda, yaitu sepertiga lebih berat dari pelaku
individual. Disamping pidana denda, korporasi juga dapat di kenakan tindakan
tata tertib berupa :
1. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana ; dan/atau
2. penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan /atau
3. perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
4. mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak; dan/atau
5. meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak;/atau
6. menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun.
Sanksi pidana juga dapat dijatuhkan kepada mereka yang memimpin
korporasi (factual leader) dan yang memberi perintah (instruction giver) untuk
melakukan tindakan pidana lingkungan atau kedua-duanya secara berbarengan .
sanksi yang dijatuhkan kepada mereka bukan karena perbuatan fisik/nyata, tetapi
berdasarkan fungsi yang diembannya di perusahaan atau korporasi. Atas dasar
prtimbangan itu, factual leader dan instruction giver diistilahkan sebagai
functional perpetrator yang dianggab sebagai physical perpetrator yang dikenakan
pada subjaak hukum natural person (badan hukum). Factual perpetrator ini juga
bukan merupakan penyertaan (participant) dalam tindak pidana sebagaimana
diatur dalam pasal 55 KUHP yang memberikan ancaman hukuman pada orang
yang melakukan (pleger), yang menyeruh melakukan (done plager), yang turut
pasal 55 KUHP ini merupakan pelaku yang digolongkan sebagai physical
perpetrator.
Untuk menentukan pertanggung jawaban pidana (criminal liability) dari
factual leader, maka penentuanya dapat digunakan teori berdasarkan kreteria
Slavenbrug sebagai berikut :
1. Pemimpin organisasi/korporasi merupakan fungsionaris yang dapat
menghentikan atau mencegah perilaku pidana (kedudukannya cukup kuat, baik
secara de jure maupun de facto).
2. Pemimpin tersebut memahami bahwa terdapat kemungkinan yang cukup bahwa
pelanggaran sangat mungkin terjadi.21
21
Sukanda Husni, S.H. LL.M. op.cit. Halaman. 87
Pertanggung jawaban korporasi ini, salah satu persoalan yang kompleks
adalah menyangkut pembuktian kesalahan, baik sengaja maupun kelapaan, sebab
pembuktian bentuk-bentuk pelanggaran hukum yang dilakukan korporasi di
bidang ekonomi sangat sulit dan kompleks, oleh karena itu, mengingat fungsi
hukum pidana sebagai social defence yang pada hakekatnya merupakan bagian
integral dalam pencapian tujuan kesejahteraan masyarakat, maka dalam rangka
pembuktian tindak pidana korporasi, maka konsep strict liability dan vicarious
liability harus dipertimbangkan untuk diadopsi dalam KUHPidana Indonesia yang
akan datang disamping asas mens rea atau suatu pengecualian asas kulpabilitas,
khususnya dalam mempertanggung jawabkan korporasi sebagai pembuat tindak
Penempatan korporasi sebagai subjek hukum pidana di dukung oleh
beberapa pakar, diantaranya Andi Zainal Abidin, yang mengemukakan bahwa
pembuat delik yang merupakan korporasi itu, oleh rolling dimasukkan sebagai
functioneel dedarschaap. Oleh karena korporasi dalam dunia modern mempunyai
peranan penting dalam kehidupan ekonomi yang mempunyai banyak fungsi
seperti, pemberi kerja, produsen, penentu harga, pemakai devisa, dan
lain-lain.pelaku fungsional disini yang dimaksud adalah pelaku yang tidak melakukan
tindak pidana secara fisik, misalnya tindakan korporasi yang dilakukan oleh
pegawainya menjadikan korporasi bertanggung jawabatas tindakan tersebut.
Mardjono Reksodiputro menyebutkan ada tiga sistem pertanggung
jawaban pidana korporasi sebagai subjek tindak pidana, yakni sebagai berikut :
1. Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggung
jawab.
2. Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab
3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.22
Sebelum tahun 1985, yaitu ketika kehutanan diatur dengan
Undang-undang No. 5 Tahun 1967, tidak ada kententuan yang melarang pembakaran Dengan ini sudah cukup jelas bagi meraka baik perorangan atau korporasi
yang melakuakan tindak pidana. Sehingga meraka tidak punya alasan lagi, dengan
penjelan ini akan membuat meraka untuk berpikir kembali dalam menjalankan
kegiatan yang melanggar peraturan atau tindak pidana.
2. Kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah
22
hutan, oleh karena itu, pelaku kebakaran hutan hampir tidak dapat digiring ke
pengadilan karena polisi dan jaksa menganggab bahwa meraka tidak punya
ketentuan yang sahih untuk menuntut pelaku. Pikiran ini sejalan dengan asas
nullum delictum, sebagaimana dinyatakan dalam pasal 1 KUHP. Pada tahun 1985,
pemerintah mengelurkan peraturan pemerintah No. 28 Tahun 1985, yang secara
tegas melarang aktivitas yang menyebabkan kebakaran hutan.23
Untuk mengatasi hambatan diatas, pemerintah indonesai mengeluarkan
peraturan pemerintah No. 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan Hutan
dan/ atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan
dan lahan.
peraturan
pemerintah ini ditindak lanjuti dengan keputusan Direktur Jendral Perkebunan No.
38/KB-110/SK/DJ.BUN.05.95, yang mengharuskan pembukaan lahan tanpa bakar
(zero burning). Namun sayangnya, disektor kehutanan sendiri, namun pemerintah
ini tidak dilaksanakan secara konsisten.
Dengan berlakunya Undang-Undang No. 41 Tahun 1999, perbuatan
membakar di kawasan hutan menjadi perbuatan terlarang. Aka tetapi,
Undang-undang ini masih mempunyai hambatan dalam pelaksanaannya karena kejadia
kebakaran hutan tidak melulu disebabkan oleh kegiatan di dalam kawasan hutan,
tetapi juga oleh kegiatan perkebunan yang berada di luar kawasan sebagaimana
dimaksud oleh Undang-undang ini.
24
23
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1985 Tentang Pelindungan Hutan, Pasal 10 (1) dan (2)
24
Peraturan pemerintah Republik Indonesia No. 2001 tentang Pengadilan kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.
Undang-undang No. 41 Tahun 1999 dengan memasukkan kebakaran lahan, yang diatur
dalam Undang-undang ini.
Berdasarkan peraturan pemerintah No. Tahun 2001, pemilik kegiatan tidak
saja diwajibkan mencegah kebakaran hutan dan lahan, tetapi juga dianggab
bertanggung jawab atas kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di wilayah
kerjanya. Ketentuan ini sangat berguana untuk mengantisipasin argumentasi
pemilik usaha perkebunan yang selalu mengatakan bahwa kebakaran hutan yang
terjadi akibat oleh petani. Argumentasi ini sering digunakan di pengadilan untuk
membela diri. Apabila argumentasi ini di sampaikan di siding pengadilan , hakim
tentu meminta jaksa untuk membuktikan pelaku fiksi, yang tentunya
mengharuskan bukti tradisional seperti korek api, atau bahan bakar atau jerry can
yang digunakan untuk membakar hutan dan lahan, yang tentunya tidak mungkin
di tampilkan di pengadilan.25
1. Jeda Penebangan Hutan (Moratorium Logging)
pemerintahdapat mengeluarkan peraturan sesuai dengan kebutuhan dan
demi kelestariah hutan, pemerintah dapat menerapkan berbagai sistem seperti :
Jeda penebangan hutan adalah metode pembekuan atau pengehentian
sementara seluruh aktivitas penebangan kayu skala besar untuk sementara
waktu tertentu sampai suatu kondisi yang dinginkan tercapai. Lama waktunya
biasanya di tentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapi
waktu yang di butuhkan tersebut.
Beberapa langkah penerapannya adalah :
25
a. Penghentian pengeluaran izin baru
Sebagai kebijakan awal yang pertama dapat dilakukan ialah penghentian
pengeluaran izin-izin HPH (Hak Pengusahaan Hutan) hal ini diharapkan
dapat menjadi salah satu cara untuk mengurangi kerusakan hutan, dengan
menutup pengeluaran izin-izin baru dapat mengurangi resiko bertambahnya
areal hutan yang akan rusak, selain itu dapat dijadikan evaluasi bagi atau
terhadap HPH yang ada sebelumya dalam mengelola kawasan hutan.
b. Penyelesaian sengketa\konflik sosial dalam pengelolaan hutan
Disini pemerintah, swasta dan masyarakat bersama membicarakan solusi
yang baik dalam pengelolaan hutan berikutnya
c. Melibatkan masyarakat dalam proses evaluasi
Masyarakat merupakan sosok yang berada dalam siklus hutan dan sudah
selayaknya pemerintah memberikan ruang yang banyak dalam mendengarkan
aspirasi masyarakat. Hutan merupakan sumber daya alam yang mampu
meyediakan bahan-bahan kebutuhan masyarakat, sebaliknya masyarakat
dapat menjamin kesinambungan pemanfaatannya oleh sebab itu masyarakat
diharapkan dapat memelihara dan bekerja sama dengan pemerintah dalam
menjaga hutan agar tetap lestari.
Pemerintah daerah juga dapat membuat kebijakan sendiri melihat kondisi
hutan sekitarnya dan bekerja sama dengan pemerintah pusat, dan sebagai sumber
3. Penegakan Peraturan dan Penegakan sanksi administratif yang tegas Dengan menerapkan peraturan yang tegas dan jelas adalah salah satu cara
yang cukup ampuh dalam mencegah semakin meningkatnya kejahatan perusakan
hutan. Seperti yang tertulis di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan perusakan hutan dalam ketentuan umum
yaitu :
a. Pasal 1Undang-undang No.18 Tahun 2013 tentang P3H :
Hutan adalah suatu sesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam kumunitas alam
lingkungannya yang tidak dpat dipisahkan antara yang satu dengan yang
lainnya.
b. Pasal 2 Undang-undang No.18 Tahun 2013 tentang P3H :
Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk
di pertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap
c. Pasal 3 Undang-undang No.18 Tahun 2013 tentang P3H :
Perusakan hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui
kegiatan pembalakan liar, penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau
penggunaan izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan pemberian izin
di dalam kawasan hutanyang telah ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun
yang sedang diproses penetapannya oleh pemerintah.
d. Pasal 4 Undang-undang No.18 Tahun 2013 tentang P3H :
Pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara
e. Pasal 5Undang-undang No.18 Tahun 2013 tentang P3H :
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah kegiatan terorganisasi yang
dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan atau pertambangan
tanpa izin menteri.
f. Pasal 6 Undang-undang No.18 Tahun 2013 tentang P3H :
Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompak yang
terstruktur, yang terdiri atas dua (2) atau lebih, dan yang bertindak secara
bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan,
tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau dikawasan
sekitar hutan yang melakukan perladangan tradisional dan\atau melakukan
penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.26
Ada pula pendapat yang keliru seolah-oleh penegakan hukum adalah
tanggung jawab aparat penegak hukum. Penegakan hokum adalah kewajiban dari Dengan penerapan pasal-pasal ini akan membuat masyarakat mengerti,
akan aturan dalam mengelola hutan dan agar tidak sembarangan dalam melakukan
pemanfaatan hasil hutan, dan tidak ada alasan bagi mereka untuk mengelak dari
perbuatan yang sudah bertentangan. Pembuatan peraturan ini di sampaikan kepada
seluruh masyarakat agar semaunya tau tentang peraturan kehutanan.
Ada suatu pendapat yang keliru, yang cukup meluas di berbagai kalangan,
yaitu penegakan hukum hanya melalui proses di pengadilan. Perlu di perhatikan
bahwa penegakan hukum di laksanakan melalui berbagai jalur dengan berbagai
sanksinya, seperti sanksi administrative, sanksi perdata dan sanksi pidana.
26
seluruh masyarakat dan untuk ini pemahaman untuk hak dan kewajiban menjadi
syarat mutlak. Masyarakat bukan penonton bagaimana hukum di tegakkan, akan
tetapi masyarakat aktif berperan dalam penegakan hokum, masyarakat yang tidak
membuang sampah ke sungai ikut menegakkan hukum, karena membuang
sampah di sungai adalah pelanggaran.
Keith Hawkins mengemukakan bahwa penegakan hukum dapat dilihat dari
dua system atau strategi, yang di sebut compliance dengan conciliatory style
sebagai karakteristiknyadan sanctioning dengan penal style sebagai
karakteristiknya. Block, sebagaimana di kutip oleh Hawkins, menyatakan, bahwa
conciliatory style itu remedial, suatu metode sosial repair and maintenance,
assitence of people in trouble, berkaitan dengan what is necessary to ameliorate a
bad situation. Sedangkan penal control prohibits with punishment, sifatnya adalah
accusatory, hasilnya binary, yaitu : all or nothing, punishment or nothing
(Hawkins, 1984 : 3-4).
Di dalam Notitie handhaving milieurecht 1981 di negeri belanda,
penegakan hukum di artikan sebagai het door controle en het toepassen (of
dreigen daarme) van administratiefrechtelijke, strafrechtelijke of
privaatrechtelijke middelin bereiken dat de algemeen en individueel geldende
rechtsregels en voorschriften worden nageleefd. Dalam hubungan controle ini
termasuk pengawasan pemerintah atas peraturan, maupun penyidikan dari
tindakan yang melanggar hukum.
Penyidikan serta pelaksanaan sanksi administrative atau sanksi pidana
dahulu adalah penegakan preventif, yaitu pengawasan atas pelaksanaan praturan.
Pengawasan preventif ini ditujukan kepada pemberian penerangan dan saran serta
upaya meyakinkan seseorang dengan bijaksana agar beralih dari suasana
pelanggaran ke tahap pemenuhan ketentuan peraturan (Milieurecht, 1990:
389-399).
Dari uraian tersebut diatas dapat di ambil kesimpulan , bahwa upaya yang
lebih dulu di lakukan adalah yang bersifat compliance, yaitu pemenuhan
peraturan, atau penegakan preventif dengan pengawasan preventifnya,27
Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH)
memungkinkan Gubernur atau bupati dan/atau walikota melakukan paksaan
pemerintah untuk mengawasi dan memaksakan penataan oleh pemilik kegiatan
dan/atau usaha atas persyaratan lingkungan, baik yang ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan maupun yang ditetapkan oleh izin. Paksaan
pemerintah yang dimaksud dapat berupa kepada pemilik kegiatan dan/atau usaha
untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran. Disamping paksaan Salah satu instrument atur dan awas yang sangat penting adalah
penjatuhan sanksi administrasi. Sanksi administrasi di sini harus dibedakan
dengan putusan pengadilan tata usaha negara. Sanksi administrative didefinisakan
sebagai suatu tindakan hukum (legal action) yang diambil pejabat tata usaha
negara yang bertanggung jawab atas pengelolaan lingkungan hidup atas
pelanggaran persyaratan lingkungan.
27
pemerintah, sanksi adminitratif bisa juga pencabuta izin khususnya pelanggaran
tertentu.
Seperti diketahui bahwa penggunaan hukum adminitratif dalam penegakan
hukum lingkungan mempunyai dua fungsi, yaitu preventif dan represif. Misalnya,
Pasal 25 UU No. 23 Tahun 1997 memungkinkan gubernur untuk mengeluarkan
paksaan pemerintah untuk mencegah dan mengakhiri pelanggaran, untuk
menaggulangi akibat dan untuk melakukan tindakan penyelamatan,
penanggulangan dan pemulihan.
Dalam rangka merangsang peran serta masyarakat (public participation).
UUPLH memungkinkan pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan
permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan peksaan
pemerintah. Provisi pasal 25 ayat (3) UUPLH ini merupakan ketentuan yang
mengakomodir control sisosal, oleh kerana itu , pejabat yang berwenang harus
secara serius melaksanakan permohonan pihak kedua ini untuk menciptakan iklim
penegakan hukum yang efektif.
Di samping paksaan pemerintah, upaya prevnetif lain yang dapat
dilakukan Pemerintah terhdapa kegiatan yang mempunyai potensi untuk merusak
dan mencemarkan lingkungan adalah melalui audit lingkungan. MenurutPasal 28,
UUPLH pemerintah harus mendorong penanggung jawab usaha untuk melakukan
audit lingkungan, atau dikenal juga sebagai volunteer environmental audit. Dalam
konteks ini, pemilik kegiatan melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang
ada. Seandainya, pemilik kegiatan telah melanggar peraturan atau telah
maka pemerintah dapat mewajibkan pemilik kegiatan untuk melakukan audit
lingkungan, yang sering di sebut dengan compulsory environmental audit (Pasal
29 ayat (3) UUPLH).
Tindakan represif yang dapat dilakukan pemerintah dalam rangka
penegakan hukum lingkungan di temukan dalam Pasal 25 ayat (5) UUPLH dan
Pasal 27 ayat (2) UUPLH. Pemerintah dapat menetapkan uang paksa kepada
pencemar dan perusak lingkungan untuk kelalainnya melakukan tindakan
penyelamatan, penaggulangan dan/atau pemulihan lingkungan. Pasal 27 ayat (1)
UUPLH memberikan mandate kepada pemeritah untuk mencabut izin usaha
dan/atau kegiatan yang menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.
Untuk itu gubernur dapat mengajukan usul pencabutan izin usaha dan/atau
kegiatan tersebut kepada pejabat yang berwenang.28
Perizinan juga merupakan instrumen penting dan mempunyai fungsi
prevnetif, yaitu untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan (hutan) dan
juga pencemaran lingkungan. Melalui izin, pemerintah dapat menetapkan
syarat-syarat lingkungan tertentun yang harus di penuhi oleh pemilik kegiatan. Ada
beberapa izin yang relavan untuk menceha terjadinya pencemaran dan perusakan
hutan.29
(1). Setiap usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai Pasal 18 UUPLH menyatakan :
28
Sukanda Husni. S.H. LL.M. loc. cit Halaman. 101-102
29
dampak lingkungan hidup untuk memperoleh izin melakukan usaha
dan/atau kegiatan.
(2). Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan
pertaran perundang-undangan yang berlaku.
(3). Dalam izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicamtumkan
persyaratan dan kewajiban untuk melakukan upaya usaha
pengendalian dampak lingkungan.
Sehingga dengan adanaya izin ini dapat mengurangi terjdinya perusakan
hutan. karena bagi meraka yang tidak mempunyai izin yang resmi dari pejabat
yang berwenang akan langsung ditindak tegas, dan tidak dapat sewenag-wenang.
pejabat berwenang juga harus lebih hati-hati dalam mengeluarkan izin,
pemerintah harus tau betul kemana tujuan permintaan izin tersebut, tidak hanya
asal mengelurkan izin saja dan di tuntut harus tegas, dan mempunyai kesadaran
akan kepentingan Negara ini, jangan hanya memikirkan kepentingan individu
saja. Meliahat banyak pejabat menyelahgunakan wewenangnya.30
30
Koesnadi Hardjosoemantri.op.cit. Halaman. 329
Selain itu pemerintah juga harus menyatakan Dalam izin tersbut seperti yang
tercamtum dalam, Pertauran Pemerintah No. 13 Tahun 1987 Pasal 14 yaitu
perusahaan wajib :
1. Melaksanakan upaya keseimbangan, dan kelestarian sumber daya alam serta
pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup
2. Melaksanakan upaya yang menyangkut keamanan dan keselamatan alat, proses
serta hasil produksinya termasuk pengangkatannya, dan keselamatan kerja;
3. Melaksanakan upaya hubungan dan kerjasama antara pengusahan nasional
untuk mewudkan keterkaitan yang saling menguntungkan.31
Dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah No.13 Tahun 1987 yang berbunyi :
izin pemanfaatan hasil kayu usaha yang diberikan oleh menteri untuk
memanfaatkan hasil hutan berupa kayu pada hutan produksi melalui kegiatan
pemanenan atau penebangan, pengayangan, pemeliharaan, dan pemasaran.32
Sistem peringatan dini sangat di perlukan baik unutk kegiatan pencegahan
mauapun pemadam kebakaran hutan. System peringatan dini dikembangkan
antara lain melalui penilaian bahaya kebakaran (fire danger rating system).
Penilaian bahaya kebakaran hutan dapat dilakuakn dengan cara sederhana dan
dengan cara yang lebih canggih.
Membatasi pengeluaran izin HPH bagi para peminta izin baik yang
bersifat perorangan maupun kelompok, dengan mempertimbngkan pengeluaran
izin ini juga dapat bermanfaat, bagi mereka yang meminta izin HPH harus
mempunyai tujuan yang jelas, dan pejabat yang berwenang juga harus bijaksana
dalam memberikan izin.bila yang diberi izin belum mengetahui apa saja
syarat-syarat dalam memegang izin tersebut pejabat yang berwenang harus dapat
menejelasakannya, dan hutan yang seperti yang dapat minfaatkan dan juga mana
yang tidak boleh untuk ganggu apalagi melakukan pembalakan.
4. Sistem Peringatan Dini
31
Lihat ,Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1987, Pasal, 14
32
Di Indonesia belum ada system penilaian bahaya kebakaran hutan yang
berlaku secara nasional. Berbagai negara maju juga menggunakan system
penilaian bahaya kebakaran hutan yang berbeda-beda, tergantung pada kondisi
hutan, kondisi iklim/meteorology dan sumber penyebab kebakarannya. Di
Kanada, misalnya, digunkan system peringatan nilai kebakaran (SPBK) atau
forest fire danger rating system (FDRS) yang membagi kelas bahaya kebakaran
manjadi empat yaitu : aman (biru), sedang (hijau), berat (kuning), sanagat berat
(merah)
Di Amerika Serikat digunakan pendekatan dengan menggunakan indeks
kekeringan (drought index) dari ketch-byrem (KBDI) dan membagi kebakaran
menjadi 3 kelas yaitu, rendah, sedang dan tinggi. Setiap kelas bahaya kebakaran
hutan tersebut memberi informasi tentang kemungkinan terjadinya kebakaran,
besarnya kebakaran dan kesulitan yang akan dihadapi dalam operasi
pemadamannya. Dari operasi tadi dapat di persiapkan upaya pencegahannya dan
sarana dan prasarana untuk melakukan pemadamannya.33
33
Supryanto, Lailan Syaufuna. 2010.Pengendalian Kebakaran Hutan.Bogor :Pusdiklat Kehutanan-Departemen Kehutanan R.I. Secam-Korea Internasional Cooperation Agency. Halaman. 65
1. Tingkat Pusat
a. Mengumpulkan informasi tentang perkiraan awal dan lamanya musim
kemarau di seluruh indonesia dari badan meteorology dan geofisika
(BMG), pusat dan menyebarluaskan informasi sehingga setiap unit
b. Melakukan penilaian bahaya kebakaran secara nassional denan sistem
peringatan bahaya kebakaran(SPBK/FDRS), sehingga setiap hari dapat di
ketahui daerah yang rawan kebakaran.
2. Tingkat Propinsi/Kabupaten/Kota
a. Mengumpulkan informasi tentang perkiraan awal dan lamanya musim
kemarau dari kantor BMG dan menyebarluaskan informasi tersebut ke
seluruh unit pengelolaan hutan yang ada di wilayahnya dan seluruh
masyarakat.
b. Melakukan penilaian bahaya kebakaran di tingkat propinsi dan atau
kabupaten/kota dengan menggunakan SPBK dan menyampaikannya secara
harian ke setiap unit pengelolaan hutan.
c. Jangka penjang mengembangkan sistem peringatan dini melalui
pengembangan sistem-sistem penilaian bahaya kebakaran laian, selain
dengan SPBK.
3. Tingkat lapangan (unit pengelolaan hutan, daerah operasi dsb).
a. Memanfaatkan informasi prakiraan awal dan lamanya musim kemarau untuk
upaya-upaya pencegahan dan Persiapan pemadama kebakaran hutan.
b. Membuat tanda-tanda atau rambu-rambu atau papan peringatan bahaya
kebakaran hutan sesuai dengan peringkat bahayanya sehingga dapat
diketahui oleh seluruh pegawai, petugas pemadam kebakaran dan seluruh
masyarakat.
c. Melakuakn segala macam aktivitas pencegahan dan persiapan sesuai dengan
Pencegahan kebakaran hutan merupakan kunci pokok untuk mengatasi
masalah kebakaran hutan. Oleh karena itu kebakaran hutan di Indonesia pada
umumnya ditimbulkan oleh ulah manusia atau perbuatan manusia, maka upaya
pencegahan dititik beratkan pada peningkatan kesadaran manusia terhadap
ancaman kebakaran, tanpa mengabaiakan upaya-upaya laim yang bersifat teknis
dan yuridis. Pencegahan kebakaran hutan dilaksanakan berdasarkan suatu rencana
pencegahan yang menyeluruh dan seksama.
Rencana pencegahan kebakaran hutan perlu disusun setiap tahunnya
yang secara umum berisi hal-hal sebagai berikut.
1. Data Dasar Perencanaan
a. Luas hutan yang dilindungi dari kebakaran, dirinci menurut tipe hutan (hutan
daratan, hutan gambut dan hutan tanaman), dan keadaan penutupan hutannya,
(hutan primer, hutan skunder, semak belukar dan sebagainya). Untuk areal
HPH dilengkapi dengan umur tegakan sejak tebang pilih (Logged Oover
Area/LOA) dan untuk hutan tanaman disertai dengan umur tegakan.
b. Peta kejadian kebakaran, yang menunjukkan jumlah kejadian kebakaran dimasa
lampau dan lokasinya.
c. Statistik kebakaran hutan yang menguraikan bulan-bulan kejadian kebakaran,
tipe hutan yang terbakar, penyebab kebakaran, luas areal yang terbakar dan lain
lain.
d. Peta resiko kebakaran (fire risk map) yang menunjukkan lokasi-lokasi mana
e. Peta bahaya bahan bakar (fire hazard map) yang menunjukkan tipe bahan bakar
dan daya nyalanya (flammability).
f. Kondisi social ekonomi dan bahaya masyarakat di sekitar hutan (jumlah
penduduk, pendidikan, agama, mata pencaharian, adat istiadat dan sebagainya)
g. Peta-peta tematik lain (peta topografi, peta hidrologi, jaringan jalan, peta lokasi
menara pengeawas kebakaran).
2. Menetapkan Tujuan Pencegahan Kebakaran Hutan.
3.Menyusun Rencana Kegiatan Pencegahan Kebakaran Hutan yang di
laksanakanmelaui jalur
a. Edukatif (Pendidikan)
- Pembinaan pegawai atau sumber daya manusia kehutanan
- Kampanye pencegahan kebakaran hutan
- Penyuluhan
- Pendidikan dan pelatihan
- Penggalangan peran serta masyarakat
b.Yustisi/penegakan Hukum, melalui penyelidikan dan penyedikan kejadian
kebakaran hutan dana penerapan peraturan/ketentuan setempat.
c. Keteknikan hutan yang mencakup :
- Pengelolaan bahan bakar hutan melalui pengurangan bahan bakar
(misalnya pembuatan kompos dan briket arang), isolasi bahan bakar
melalui pembuatan jalur isolasi (sekat bakar, jalur hijau) dan modefikasi
- Tindakan silvikultur di areal hutan produksi alam dan hutan produksi
tanaman.
- Penerapan pemanenan berdampak rendah (reduced impact logging) di
areal hutan produksi alam untuk mengurangi limbah pembalakan, yang
merupaka bahan bakar potensial bagi kebakaran hutan.
d. Menyusun sarana prasarana dan pembiayaan (dana) untuk keperluan
pencegahan, beserta penjadwalannya.
e. Menyusun rencana pemantauan (monitoring) dan evaluasi kegiatan
pencegahan kebakaran hutan.
Pencegahan kebakaran hutan seringkali dapat berhasil dengan
memuasakan apabila dilaksanakan dengan menggunakan kombinasi dengan
metode edukatif, keteknikan dan penegakan hukum. Keberhasilan pencegahan
kebakaran ditentukan oleh :
1. Ketetapan pemilihan program kegiatan yang sesuai dengan sasarannya
2. Ketetapan pemilihan model pendekatan/metoda dan penjadwalannya
3. Sarana, prasarana dan dana yang memadai
4. Jumlah dan sumber daya manusia sebagai pelaksananya34
1. Menyusun petunjuk operasional kegiatan pencegahan kebakaran hutan yang
memperhatikan 5 W dan1 H (apa, dimana, kapan, mengapa, siapa dan
bagiamana)
Kegiatan pencegahan kebakaran hutan dilakukan dengan kombinasi yang
sesuai/kompatibel :
34
2. Melakukan kampanye pencegahan kebakaran hutan secara nasional (program ‘
si pongi’)
3. Melakukan penyuluhan pencegahan kebakaran melalui metoda antara lain :
a. Kontak perorangan
b. Metoda kelompok melalui temu wicara dengan sarana, pramuka, kelompok
tani, organisasi wanita, kader konservasi, kelompok pengajian, kelompok
gereja, dan kelompok keagamaan lainnya, pencinta alam, LSM, organisasi
kepemudaan, olah raga dan lain-lain.
c. Melaui media cetak dan elektronik (penyeluhan massal)
d. Pameran, festival, parade dan sejenisnya
e. Apel siaga, peringatan hari lingkungan hidup, hari bumi dan hari besar
lainnya
4. Melakukan pendidikan pengendalian kebakaran hutan bekerjasama dengan
dinas pendidikan nasioanl dan dinas pendidikan daerah setempat.
5. Pemasangan rambu-rambu perigatan, himbauan dan laranagan dan
pengumuman di tempat sterategis terutama pada saat tingkat bahaya kebakaran
tinggi (siaga 1)
6. Melakukan pencegahan melalui tindakan teknis :
a. Perlakuan terhadap bahan bakar (limbah kayu dan bahan organic lainnya)
melalui pengurangan bahan bakar termasuk pembakaran terkendali
(controlled burning) dan modifikasi bahan bakar.
b. Pembangunan dan pemeliharaan sekat bakar, sekat bahan bakar, atau jalur
c. Tindakan silvikultur di areal hutan produksi alam dan hutan produksi
tanaman
d. Penerapan pemanenan berdampak rendah (reduced impact logging) di areal
hutan produksi alam untuk mengurangi limbah pembalakan, yang
merupakan bahan bakar potensial bagi kebakaran hutan.
7. Melaksanakan pencegahan kebakaran hutan melalui tindakan hukum.
a. Patroli dan penjagaan daerah rawan kebakaran pada saat tingkat bahaya
kebakaran tinggi.
b. Melakukan penyelidikan dan penyidiakan tentang penyebab terjadinya
kebakaran dan memperosesnya secara hukum bila diketahui bahwa
kebakaran itu dilakukan oleh perbuatan manusia
c. Penutupan hutan konservasi dari kunjungan wisata dana aktivitas lain oleh
masyarakat umum pada saat tingkat bahaya kebakaran tinggi disertai sangsi
bagi yang melanggarnya.
8. Melibatkan masyarakat dalam setiap pelaksanaan pencegahan kebakaran hutan,
misalnya pembuatan sekat bakar, sekatbahan bakar dan jalur hijau,
pengurangan bahan bakar melalui pembuatan kompos atau briket arang,
tehnik-tehnik pembakaran terkendali baik yang dilaksanakan oleh masyarakat
maupun pengelola hutan.
Untuk mencapai pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang efektif dan
efesien, departemen kehutanan telah menyusun prosedur tetap pengendalian
kebakaran hutan dan lahan bidang pencegahan yang meliputi (deroktorat
1. Format blanko diseminasi SPBK kepada instansi terkait
2. Format laporan groundchek hotspot di lapangan
3. Format blanko diseminasi SPBK kepada masyarakat
4. Penghitungan sistem peringkat bahaya kebakaran hutan
5. Apel siaga
6. Rapat kordinasi pencegahan kebakaran hutan dan lahan
7. Kampanye pencegahan kebakaran hutan dan lahan
8. Pembentukan dan pengembangan masyarakat peduli api
9. Patroli pencegahan (darat, air, udara)35
35
Ibid, Halaman. 109
5. Dengan Cara Inventarisasi dan Pengawasan
Inventarisasi hutan sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) terdiri dari
:
1. Inventarisasi hutan tingkat Nasional.
2. Inventarisasi tingkat Wilayah.
3. Inventarisasi hutan tingkat Daerah Aliran Sungai.
4. Inventarisasi hutan tingkat unit pengelolaan.
Inventarisasi Hutan adalah kegiatan pengumpulan dan penyusunan data
dan fakta mengenai sumber daya hutan untuk perencenaan pengelolaan sumber
daya tersebut.ruang lingkup inventarisasi hutan meliputi :
1. Survei mengenai status dan keadaan fisik hutan,
2. Flora dan fauna,
4. Kondisi sosial masyarakat di dalam dan di sekitar hutan.
Inventarisasi hutan wajib dilaksanakan karena hasilnya digunakan sebagai
bahan perencanaan pengelolaan hutan agar diperoleh kelestarian hasil. Tujuannya
adalah untuk mendapatkan data yang dapat diolah menjadi informasi sebagai
bahan perencanaan dan perumusan kebijaksanaan strategis jangka panjang, jangka
menengah dan operasional jangka pendek sesuai dengan tingkatan dan kedalaman
inventarisasi yang dilaksanakan. Dengan data-data ini yang selalu kita
informasikan maka akan dapat mengurangi niat para perusak hutan, karena dapat
lebih mudah mendeteksi apabila terjadi kejahatan tersebut, sehingga mereka pun
takut karena pemerintah mempunyai data yang lengkap.36
Penjelasan Pasal 59 Undang-undang No. 41 Tahun 1999 menyatakan,
yang dimaksud dengan pengawasan kehutanan adalah pengawasan ketaatan aparat
penyelenggara dan pelaksana terhadap semua ketentuan peraturan
perundang-undangan dibidang kehutanan.37
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pengawasan
kehutanan, masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan
kehutanan. Pemerintah wajib memberikan pengawasan terhadap pengurusan hutan
yang diselenggarakan pemerintah daerah, pemerintah daerah dan masyarakat
melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang
36
Abdul Muis Yusuf, S.Sos., M.H, Prof. Muhammad Taufik Makarao, S.H., M.H, Hukum Kehutanan di Indonesia,. Jakarta : Rineka Cipta, 2011
37
dilakukan oleh pihak ketiga, melakukan pementauan, meminta keterangan, dan
melakukan pemeriksaan atas pelaksanaan pengurusan hutan.38
4. Unsur Lian yang terkait.
Dalam Undang-Undang R.I.Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Pasal 54 disebutkan ayat (1) dalam rangka
pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan perusakn hutan, Presiden membentuk
lembaga yang menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, ayat
(2) Lembaga sebagaimana di maksud dalam ayat (1) berkedudukan dibawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden., ayat (3) Lembaga sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas :
1. Unsur Kementerian Kehutanan
2. Unsur Kepeolisian Republik Indonesia
3. Unsur Kejaksaan Republik Indonesia
39
Patroli darat merupakan kegitan yang sederhana, tapi kalau dilaksanakan
dengan benar-benar akan menjadi cara yang sangat baik. Patroli yang dilakukan
secara rutin pada kawasan-kawasan hutan yang sangat bernilai tinggi dan
memiliki tingakat bahaya dalam kebakaran hutan ataupun kerusakannya cukup Pengawasan dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu :
1. Darat
38
Abdul Muis Yusuf, op.cit.Halaman 123
39
bermanfaat. Patrol dapat dilakukan dengan berjaga-jaga berkeliling dengan
kenderaan, seperti sepeda motor dan kenderaan lainnya maupun berjalan kaki.
Mereka harus sudah mengenal kawasan yang menjadi tanggung jawabnya, yang
meliputi pengenalan topografi dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat setempat.
2.Air (Sungai/Laut )
Patroli air (sungai/laut) hampir sama dengan patroli darat yang berkeliling
di sekitar kawasan hutan dengan menggunakan kenderaan air, dengan patroli air
ini kemungkina terjadinya dapat membawa informasi yang lebih cepat apabila
terjadi sesuatu yang merusak hutan seperti misalnya kebakaran hutan maupun
perbuatan illegal loging.
Kelemahan cara patroli darat dan air ini adalah terbatasnya kawasan yang
terawasi teru-menerus sehingga tidak semua kawasan hutan dapat kita telusuri
karena keadaan medan dan waktu tempuh yang cukup lama.
3.Udara
Patroli udara merupakan patrol yang terapkan untuk kawasan hutan yang
luas dan berpenduduk jarang, atau daerah yang sulit diawasi dari darat dan air.
Keuntungan patroli udara ini adalah dapat mempermudah dan mempercepat
melakukan pengawasan, baik dari segi informasi dan juga waktu.
a. Memiliki kemampuan untuk melakukan pengawasan sautu daerah yang rawan
terjadi kebakaran atau kejahatan illegal loging dan berpenduduk yang jarang
serta yang sulit di jangkau melalui patroli darat dan air.
b. Sekali saja pengamatan melalui udara sudah dapat mancakup seluruh wilayah
yang rawan terjadi kebakaran atau kejahatan illegal loging, sehingga tidak
perlu dilakukan berulang-ulang. Hal ini dapat menghemat biaya operasional
patroli.40
Informasi yang diberikan /disampaikan kepada pemerintah agar
pemerintah dapat membuat perencanaan untuk menangani masalah ini dan dapat
bertindak cepat. kewajiban peran serta masyarat di atur juga dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 Pasal 15 ayat (3) yang berbunyi : untuk menjamin
terlaksananya perlindungan hutan ini dengan sebaik-baiknya maka rakyat
diikutsertakan. Selanjutnya di jelaskan bahwa kewajiban melindungi hutan bukan B. Peran Serta Masyarakat
Pencegahan kerusakan hutan, peran serta masyarakat juga sangat
dibutuhkan, tidak bisa hanya di tentukan oleh aparatur yang cakap dan terampil,
maka pemerintah harus bekerja sama dengan masyarakat, terutama masyarakat
yang tinggal dalam hutan atau daerah pinggiran hutan.
perlunya peran serta masyarakat dalam pencegahan ini adalah didasari
pemikiran bahwa dengan adanya peran serta masyarakat tersebut dapat
memberikan informasi kepada pemerintah.
40
Supryanto, Lailan syaufuna. Loc.cit Halaman 82
hanya kewajiban pemerintah semata-mata akan tetapi kewajiban dari seluruh
rakyat, kerana fungsi hutan itu menguasai hajat hidup orang banyak.
Peran serta masyarakat ini dapat berfungsi maksimal bila dikerjakan dan
diawasi dengan baik, laporan atau informasi yang di berikan oleh masyarakat
sangat membantu pemerintah atau aparat penegak hukum dalam mencegah
perusakan hutan.
C. Peringatan dan Penyuluhan
Kegiatan dalam rangka pencegahan, peringatan, dan penyuluhan juga
dapat berperan, seperti peringatan dapat dilakukan dengan menggunakan media
masa atau dengan membuat papan peringatan dan tanda peringatan pada
tempat-tempat tertentu yang berisi tentang larangan sanksi dan lain sebagainya. Selain itu
juga dengan membuat aksi tentang pentingnya hutan misalnya seperti
memperingati hari bumi, hari lingkungan hidup dan lain-lain, kampenye tentang
lingkungan dan dampak dari rusaknya lingkungan atau hutan bagi masyarakat,
apabila hutan terus dihabisi sehingga kita harus sama-sama dalam
melestarikannya dan menjegahnya dari kerusakan.
Selain itu pemerintah juga dapat menyusun rencana dan bersama-sama
dengan lapaisan-lapaisanya untuk turun kemasyarakat dan daerah-daerah di
kawasan hutan, memberitahukan bahaya dan dampak dari rusaknya hutan dan
juga menyadarkan mereka manfaat yang dapat kita dapat dari hutan yang lestari.
Memotivasi masyarakat agar bertanggung jawab terhadap lingkungan, agar
meraka tidak sembarangan dan tidak semena-mena terhadap lingkungan, dengan
agar hutan tetap lestari dan apabila menebang pohon dapat memperhatikan pohon
mana yang dapat ditebang tanpa merusak fungsi hutan.41
D. Kerja Sama Internasional
Dalam Undang-Undang No.18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Kerusakan Hutan disebutakan dalam rangka melakukan
pencegahan dan pemberantasan kerusakan hutan dapat melalui Kerja Sama
Internasional, yang tercamtum dalam BAB VII Pasal 64 ayat (1) yang berbunyi :
pemerintah dapat melakukan kerja sama internasional dengan negara lain alam
rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan dengan
mempertimbangkan dan menjaga kepentingan nasional.42
Dalam tindak pidana kejahatan kehutanan ini, tidak sedikit perusahaan
atau korporasi yang melakukan impor ke luar negeri karena banyaknya
permintaan, sehingga memang perlu di lakukan kerja sama internasional dalam
mencegah terjadinya kejahatan ini.kerja sama yang dapat dilakukan misalnya
seperti, disetiap tempat di mungkinkannya terjadinya pengiriman barang, seperi
pelabuhan, pejabat yang berwenang disana harus tegas dengan memeriksa izin
meraka yang melakukan pengiriman barang, apabila mereka tidak mempunyai Upaya yang dapat dilkukan dalam hal kerja sama antar negara ini adalah,
para pejabat yang berwenang perlu melakuka pertemuan dan diskusi yang
membahas bagaimana usaha untuk mencegah terjadi kerusakan hutan, kerja
tersebut dapat di mulai dengan perjanjian dan jalannya komunikasi yang baik
dengan Negara-negara tertentu.
41
Salim, HS.,S.H.,M.S, Dasar-Dasar Hukum Kehutanan,Jakarta, Sinar Grafika, 1997
42
izin dan keterangan yang jelas, atau mencurigakan, petugas tersebut dapat
langsung menagkap meraka, dan menyelidikinya lebih khusus. dengan adanya
kerja sama ini di harapkan juga dapat menakan meraka pelaku kejahatan sehingga