HUKUM OTONOMI DAERAH
Pemekaran Wilayah Sebagai Kebijakan Meningkatkan
Kesejahteraan Masyarakat Di Daerah
Diterbitkan Oleh R.A.De.Rozarie
(Anggota Ikatan Penerbit Indonesia) Jl. Ikan Lumba-Lumba Nomor 40 Surabaya, 60177 Jawa Timur – Negara Kesatuan Republik Indonesia
Hukum Otonomi Daerah
Pemekaran Wilayah Sebagai Kebijakan Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Di Daerah
© Agustus 2017
Eklektikus: Dr. Drs. H. Undunsyah, M.Si., M.H. Editor: Dr. Slamet Suhartono, S.H., M.H. Master Desain Tata Letak: Eko Puji Sulistyo
Angka Buku Standar Internasional: 9786021176207 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
Katalog Dalam Terbitan
Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang digunakan atau direproduksi dengan tujuan komersial dalam bentuk apapun
tanpa izin tertulis dari R.A.De.Rozarie kecuali dalam hal penukilan untuk keperluan artikel atau karangan ilmiah dengan
menyebutkan judul dan penerbit buku ini secara lengkap sebagai sumber referensi.
Terima kasih
i
SAMBUTAN I
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan ikut bangga kepada Dr. Drs. H. Undunsyah, M.Si., M.H., yang telah berhasil menuangkan pikiran kritis ilmiahnya
da-lam sebuah buku yang berjudul “HUKUM OTONOMI
DAERAH: Pemekaran Wilayah Sebagai Kebijakan
Mening-katkan Kesejahteraan Masyarakat di Daerah”. Sebagaimana diketahui, pembentukan daerah otonom baru merupakan kebijakan reformatif dalam sistem pemerintahan daerah sebagai pelaksanaan amanat perubahan konstitusi, seka-ligus sebagai sarana mengekspresikan prinsip-prinsip de-mokrasi. Pembentukan daerah otonom baru ini sekaligus merupakan representasi peran serta masyarakat, pemera-taan keadilan dan kesejahteraan masyarakat di daerah perbatasan dan pedalaman.
Perubahan konstitusi tersebut juga telah membawa perubahan mendasar dalam sistem pemerintahan daerah yang dimulai dengan diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Peme-rintahan Daerah. Perubahan tersebut terkait dengan ke-wenangan daerah otonom untuk mengurus rumah tang-ga daerahnya sendiri, hubuntang-gan antara pusat dan daerah, dan hubungan antar daerah, termasuk permasalahan ke-wilayahan yang dihadapi daerah otonom baru.
kebi-ii
jakan konkrit mewujudkan kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan dan pedalaman yang sangat jauh dari pusat-pusat pelayanan.
Di samping itu, pembentukan daerah otonom baru juga dihadapkan pada dinamika perubahan ketatanega-raan yang sangat dinamis, terutama perubahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, yang diikuti dengan peru-bahan persyaratan pembentukan daerah otonom baru. Dinamika perubahan ketetanegaraan ini juga dialami pa-da saat pembentukan Kabupaten Tana Tidung Provinsi Kalimantan Timur (sebelum dimekarkan menjadi Provin-si Kalimantan Utara), yang dimulai dari perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang digunakan seba-gai dasar pengusulannya dan Peraturan Pemerintah Re-publik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persya-ratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapu-san, dan Penggabungan Daerah. Namun pada saat penge-sahannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 ini diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebelum diubah dengan Undang-Undang Repu-blik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014, dan pergantian Pe-raturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Ta-hun 2000 dengan Peraturan Pemerintah Republik Indone-sia Nomor 78 Tahun 2007 tentang Persyaratan Pemben-tukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Peng-gabungan Daerah.
iii
pembentukan Kabupaten Tana Tidung. Sehubungan
de-ngan itu, buku yang berjudul “HUKUM OTONOMI
DAERAH: Pemekaran Wilayah Sebagai Kebijakan
Mening-katkan Kesejahteraan Masyarakat Di Daerah”, yang ditulis oleh Dr. Drs. H. Undunsyah, M.Si, M.H., yang berisi analisis kritis ilmiah kiranya dapat memberikan pencera-han kepada masyarakat terkait dengan isu keabsapencera-han hukum pembentukan Kabupaten Tana Tidung. Buku ini juga berisi strategi pencapaian sasaran guna mening-katkan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Tana Ti-dung Provinsi Kalimantan Utara, terutama dalam me-nyongsong masa depan yang lebih baik, dengan ter-penuhinya kebutuhan dasar masyarakat.
Akhir kata, saya sebagai dosen dan sahabat, me-nyambut baik dan mengapresiasi gagasan-gagasan ilmiah kritisnya terkait dengan pembentukan daerah otonom baru dengan segala problematikanya, yang dituangkan dalam buku yang diterbitkan ini. Semoga buku ini dapat menjadi sumber referensi bagi pihak-pihak yang membu-tuhkannya, bagi akademisi, mahasiswa, politisi, birokrat, dan masyarakat untuk melengkapi referensi, mengingat terbatasnya referensi tentang pembentukan daerah oto-nom baru. Semoga penuangan gagasan-gagasan kritis il-miah penulis tidak berhenti di buku ini, untuk itu saya berharap masih banyak buku-buku lain yang diterbitkan kembali di masa yang akan datang, terima kasih.
Jakarta, Juli 2017
iv
SAMBUTAN II
Cogito ergo sum, ungkapan dari René Descartes yang menyatakan bahwa manusia ada karena manusia berpi-kir. Dan tentunya ia menjadi tiada ketika sudah tidak berpikir. Ungkapan René Descartes ini cocok untuk me-nggambarkan sosok Dr. Drs. H. Undunsyah, M.Si., M.H., sebagai sosok yang tidak mau berhenti untuk berpikir. Setidak-tidaknya dapat dilihat dari jenjang pendidikan yang beliau tempuh pada tingkat kesarjanaanya dari Stra-ta Satu (S-1), StraStra-ta Dua (S-2) dengan menempuh 2 (dua) Program Studi, yaitu Magister Sains dan Magister Hu-kum. Jenjang pendidikan ini dilanjutkan ke program Stra-ta Tiga (S-3) dengan gelar akademik tertinggi Doktor Hu-kum. Sosok pemikir seorang Dr. Drs. H. Undunsyah, M.Si., M.H., terlihat dari keseriusannya menuangkan ga-gasan ilmiahnya untuk dikomunikasikan kepada masya-rakat melalui buku yang ditulisnya.
v
mengantarkan masyarakat Kabupaten Tana Tidung ke gerbang kesejahteraan dan kemajuan peradaban modern, melalui capaian-capaian program pemerintah daerah yang direncanakannya.
Sebagai sosok pekerja keras dan juga pemikir yang cerdas, Dr. Drs. H. Undunsyah, M.Si., M.H., bekerja siang dan malam menggeluti karirnya dengan pengabdian tu-lus untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang dipimpinnya. Keberhasilannya mengantar masyarakat menjemput asa terwujudnya hidup yang lebih baik, telah dibuktikan dengan terpilihnya kembali untuk menduduki pucuk pimpinan di Kabupaten Tana Tidung untuk kedua kalinya. Dipundaknyalah semua harapan dan cita-cita masyarakat Tana Tidung disandarkan, dan atas keperca-yaan itulah segala daya upaya yang dimiliki diperta-ruhkan, untuk mensejahterakan masyarakat, khususnya masyarakat di Kabupaten Tana Tidung.
Kesungguhan sosok Dr. Drs. H. Undunsyah, M.Si., M.H., sebagai pemikir yang cerdas, antara lain juga dit-unjukkan melalui pikiran-pikiran rasional, kritis, dan ilmiah dalam menjawab isu-isu keabsahan pembentukan Kabupaten Tana Tidung. Pikiran-pikiran ilmiah kritisnya itu selanjutnya dituangkan dalam bukunya yang berjudul
“HUKUM OTONOMI DAERAH: Pemekaran Wilayah Se -bagai Kebijakan Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Di
vi
terjadi perbedaan dasar hukum antara pengusulan dan pengesahannya.
Saya selaku guru dan sekaligus sahabat birokrat berharap semoga buku ini dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat maupun para pengambil keputusan di tingkat pusat maupun provinsi terkait dengan pem-bentukan daerah otonom baru sebagai hasil pemekaran wilayah. Dan tentunya sebagai seorang guru, saya sangat berharap pikiran-pikiran kritis Dr. Drs. H. Undunsyah, M.Si., M.H., tidak berhenti pada buku ini, saya dan ma-syarakat tentunya sangat berharap lahirnya buku-buku baru yang berisi buah pikiran kritis ilmiahnya, terima ka-sih.
Jakarta, Juli 2017
vii PRAKATA
Ratio legis pemberian otonomi kepada daerah ada-lah untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dari cita untuk menciptakan dan meningkatkan kesejehteraan masyara-kat. Untuk itu, semenjak reformasi diambil politik hukum dalam bentuk pemekaran dan pembentukan beberapa da-erah otonom, salah satunya adalah Kabupaten Tana Ti-dung.
Pembentukan Kabupaten Tana Tidung tidak dapat dilepaskan dari aspirasi dan partisipasi masyarakat Tana Tidung yang begitu besar untuk memperjuangkan kehi-dupan yang lebih sejahtera. Semenjak terbentuk pada ta-hun 2007 hingga sekarang, tingkat kesejahteraan masya-rakat semakin baik apabila dibandingkan tahun-tahun se-belumnya. Hal tersebut menandakan bahwa pembentu-kan Kabupaten Tana Tidung telah berjalan sesuai alur-nya.
Dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Tana Tidung, maka di tengah ngemban tugas sebagai Bupati Tana Tidung, saya me-nyajikan pemikiran terbaik dalam sebuah buku yang be-rusaha merekam permasalahan utama yang dihadapi oleh Kabupaten Tana Tidung semenjak terbentuk. Semo-ga pikiran yang ada dalam buku ini dapat terealisasi de-mi kesejahteraan masyarakat Kabupaten Tana Tidung pa-da khususnya, pa-dan demi kemaslahatan pa-dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
ya-viii
kin buku ini mampu menjadi literatur orisinal dalam du-nia hukum di Indonesia.
Hal lainnya, saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya pada Prof. Dr. I.B.R. Supancana, S.H., M.H., dan Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, S.H., M.H., yang telah memberikan sambutan sehingga buku ini semakin berharga. Tanta potentia formae est…
Tana Tidung, Juli 2017
ix Daftar Isi
Sambutan I i
Sambutan II iv
Prakata vii
Daftar Isi ix
BAB I
Apologia 1
BAB II
Dimensi Teoritik Pembentukan Kabupaten
Tana Tidung 13
BAB III
Pembentukan Kabupaten Tana Tidung Sebagai
Kebijakan Pemekaran Wilayah 36
BAB IV
Analisis Keabsahan Hukum Pembentukan
Kabupaten Tana Tidung 142
BAB V
Pencapaian Keberhasilan Pemerintah Kabupaten Tana Tidung Dalam Upaya Meningkatkan
Kesejahteraan Masyarakat 189
BAB VI
Uji Keabsahan Hukum Pembentukan Kabupaten
Tana Tidung 234
BAB I
APOLOGIA
Dalam sistem ketetanegaraan Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) merupakan sumber hukum tertinggi, sekaligus merupakan norma hukum yang bersifat fundamental dalam negara. Oleh karena itu, UUD NRI Tahun 1945 merupakan dasar hukum dan tolak ukur uji keabsahan bagi semua ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. UUD NRI Tahun 1945 juga merupakan sumber dan dasar hukum bagi terbentuknya undang-undang yang mengikat semua orang secara
langsung.1 Oleh karenanya, setiap perubahan UUD NRI
Tahun 1945 akan berpengaruh terhadap tertib hukum yang ada di bawahnya.
Dalam hubungannya dengan kedudukan konstitusi
sebagai sumber hukum tertinggi, James Bryce
menyatakan a frame of political society, organized through and by law, that is to say on which law has established permanent institution with recoqnized function definite rights.2
Sedangkan C F Strong menyatakan Constituion is a
colection of principles according to which the power of the
1 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan; Jenis, Fungsi
government, the right of the government, and the relations between two or ajusted.3
Pendapat tersebut mengandung pengertian bahwa konstitusi merupakan kumpulan asas-asas yang berisi kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas); hak-hak yang diperintah; hubungan antara yang memerintah dengan yang diperintah, menyangkut didalamnya masalah hak asasi manusia.
Terkait dengan perubahan UUD NRI Tahun 1945,
Ketua Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
“Perubahan konstitusi tersebut (UUD NRI Tahun 1945)
telah mengubah paradigma kehidupan berbangsa dan bernegara yang merubah pula corak dan format kelembagaan, serta mekanisme hubungan antar lembaga
negara yang ada”.4 Perubahan tersebut diantaranya
ketentuan perundang-undangan tentang pemberian wewenang otonom kepada daerah yang lebih luas. Dengan otonomi yang luas, daerah diharapkan memiliki keleluasaan dalam mengembangkan potensi daerahnya dalam rangka mempercepat pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat di daerah.
Salah satu perubahan mendasar yang memberikan wewenang yang lebih otonom kepada daerah otonom
tersebut dilakukan melalui perubahan terhadap
ketentuan Pasal 18 menjadi Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945. Perubahan mendasar
3 Ibid.
terhadap UUD 1945, juga dikemukakan oleh Bagir Manan, yang menyatakan bahwa baik secara struktur
maupun substansi perubahan tersebut sangatlah
mendasar. Secara struktur, Pasal 18 (sebelum perubahan) sama sekali diganti baru. Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 setelah perubahan terlihat lebih rinci dibandingkan Pasal
18 sebelum perubahan.5 Perubahan mendasar tersebut
juga terlihat dengan dihapuskannya Penjelasan UUD NRI Tahun 1945, yang selama ini merupakan bagian tidak terpisahkan dari UUD NRI Tahun 1945.
Mengenai pertimbangan dihapusnya penjelasan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, karena penjelasan pasal tersebut dianggap menimbulkan keganjilan, kerancuan, bahkan anomali bagi Pasal 18 itu sendiri. Dengan dihapusnya Penjelasan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 tersebut, maka satu-satunya sumber konstitusional pemerintahan daerah adalah Pasal 18, Pasal 18A dan
Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945.6 Perubahan secara
substansial dapat dilihat pada rumusan sebagai berikut:
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai Pemerintah Daerah yang diatur dengan undang-undang.
5 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum FH-UII, Yogyakarta, 2005, hlm. 7.
(2) Pemerintah Daerah Provinsi, daerah Kabupaten, dan
Kota diatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Pemerintah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan
Kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai kepala Pemerintah Daerah Provinsi,
Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis.
(5) Pemerintah Daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai urusan
pemerintah pusat.
(6) Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan
daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan
pemerinta-han daerah diatur dalam undang-undang.7
Berdasarkan Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, setiap daerah diberikan kewenangan otonom untuk mengatur urusan rumah tangga daerahnya sesuai kewenangan yang dimilikinya dengan memperhatikan prakarsa masyarakat daerah setempat. Perubahan lainnya juga menyangkut kewenangan, tugas, dan kewajiban Kepala
Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota), serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut DPRD). Di samping itu, juga terkait dengan tata cara pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dan pengisian keanggotaan DPRD, yang pada saat ini dilakukan dengan pemilihan secara langsung. Perubahan Pasal 18 UUD NRI Tahun l945 juga menjadi kunci pembuka bagi terbentuknya daerah otonom baru melalui
pemekaran wilayah, baik tingkat provinsi atau
kabupaten/kota. Menurut Zudan Arif Fakrulloh, dengan semangat otonomi daerah yang memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerahnya sesuai dengan kewenangannya, pemerintah daerah dapat mengelolah semua potensi daerah termasuk membuat dan membentuk produk
hukum sesuai dengan masalah yang dihadapi.8 Dengan
demikian diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah secara mandiri dan secara perlahan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kewenangan tersebut diharapkan mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat, sehingga lambat laun menjadikan daerah lebih mandiri, dalam memacu terwujudnya kesejahteraan masyarakat di daerah. Otonomi yang diberikan kepada daerah diharapkan mampu memotong jalur birokrasi, rentang jarak, dan
rentang waktu pelayanan terhadap masyarakat di daerah.9
Setelah diubah, Pasal 18 UUD NRI Tahun l945 pertama kali dijabarkan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun l999 tentang Pemerintahan Daerah, untuk menggantikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menunjukkan adanya perbedaan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, jika dibandingkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah. Perbedaan tersebut terkait dengan kewenangan kepala daerah, kewenangan DPRD, tata cara pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah, serta menyangkut produk-produk hukum yang dihasil-kan oleh daerah sebagai wujud kemandirian daerah.
Harapan-harapan otonomi itu ternyata jauh dari kenyataan, sebab terjadi persepsi yang keliru dalam memaknai otonomi yang memberikan kewenangan luas kepada daerah. Tidak sedikit pemerintah daerah yang mengambil kebijakan sendiri dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan daerahnya melalui penetapan peraturan daerah.10 Kebijakan itu justru disalahgunakan.
9 Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia No-mor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Hal ini tentunya tidak sesuai dengan prinsip, bahwa apabila peraturan pusat telah menetapkan, maka
peraturan daerah menyesuaikan sebagaimana mestinya,11
sehingga tidak terjadi pertentangan peraturan daerah dengan peraturan yang lebih tinggi.
Otonomi daerah juga telah dipersepsikan sebagai kebebasan untuk menentukan sendiri kebijakan daerah sesuai dengan selera pimpinan daerah. Bahkan ada anggapan seolah-olah tidak ada hubungan antara
kabupaten/kota dengan provinsi, dan dengan
pemerintah pusat. Asumsi yang demikian sangat tidak benar, sebab sesungguhnya otonomi luas yang diberikan kepada daerah harus dipahami sebagai keleluasaan menjalankan urusan pemerintahan dengan tetap berada dalam kerangka konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan koridor hukum. Namun fakta menunjuk-kan bahwa kebijamenunjuk-kan desentralisasi sejak diberlakumenunjuk-kan di seluruh provinsi di Indonesia, hanya 9 (sembilan) provinsi yang mampu mengurangi angka kemiskinan. Artinya kesembilan provinsi tersebut yang mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, sedang-kan 24 (dua puluh empat) provinsi lainnya justru menga-lami peningkatan jumlah orang miskin, dan dapat
diarti-kan belum mampu mensejahteradiarti-kan masyarakat.12 Hal
ini menunjukkan adanya kegagalan Undang-Undang
11 Ibid.
Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Peme-rintahan Daerah, dalam mewujudkan kesejahteraan ma-syarakat.
Sebagian pendapat menyatakan, bahwa upaya untuk menumbuhkan ekonomi dan pendapatan daerah pada saat berlakunya undang-undang ini tidak signifikan. Banyak pejabat di daerah yang tidak kreatif dan tidak inovatif dalam menumbuhkan ekonomi dan pendapatan asli daerah. Bahkan banyak daerah yang senantiasa hanya mengandalkan sumber daya alam dengan menjual-belikan konsesi-konsesi hutan dan
pertambangan.13 Banyak daerah yang mempermudah
perijinan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hanya untuk menarik investasi tanpa mempedulikan risiko ekologis. Kebijakan demikian tidak sesuai filosofi pemberian otonomi dan desentralisasi kewenangan dari pusat kepada daerah, yang berkeinginan menjadikan daerah sebagai tuan rumah di daerahnya sendiri.
Undang-undang ini dianggap gagal dalam
membawa perubahan terhadap upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat di daerah. Undang-undang ini
bahkan telah menimbulkan kesenjangan tingkat
kesejahteraan antara pusat dengan daerah semakin nyata. Berlakunya undang-undang ini hanya menciptakan sekelompok orang kaya baru, khususnya bagi kepala daerah dan kroninya. Banyak kepala daerah menjadi raja-raja kecil di daerah dengan kewenangannya mengatur
penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Dasar hukum pembentukan daerah otonom baru tersebut diatur di dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota yang
masing-masing mempunyai Pemerintahan Daerah.
Untuk memperjelas maksud ketentuan Pasal 2 ayat (1) tersebut, selanjutnya ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menentukan:
(1) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) ditetapkan dengan Undang-undang.
(2) Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota, kewenangan menyeleng garakan urusan pemerintah, penunjukan pejabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat daerah.
(3) Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan
beberapa daerah atau bagian daerah yang
bersandingan atau pemekaran dari suatu daerah menjadi dua atau lebih.
(4) Pemekaran dari suatu daerah menjadi 2 (dua) daerah
dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.
Pembentukan daerah otonom baru tersebut dilakukan melalui pemekaran wilayah, maupun dengan cara penggabungan daerah yang sudah ada. Tujuan pembentukan daerah otonom baru tersebut dapat dipahami dalam Penjelasan umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menentukan bahwa:
“Pembentukan daerah pada dasarnya dimaksud
kan untuk meningkatkan pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyara-kat di samping sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal. Untuk itu maka pembentukan daerah harus mempertim bangkan berbagai faktor seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, luas wila-yah, kependudukan, dan pertimbangan dari aspek politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan, dan syarat lain yang memungkinkan daerah itu dapat menyelenggarakan tujuan dibentuknya
da-erah dan diberikannya otonomi dada-erah.”
Dengan pemekaran wilayah diharapkan dapat memotong rentang birokrasi dan rentang jarak antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota. Dengan pemekaran wilayah diharapkan dapat memperpendek jarak antara masyarakat dengan pusat pelayanan masyarakat. Dengan demikian pelayanan masyarakat dapat dilakukan dengan efektif dan efisien, sesuai dengan keinginan masyarakat.
Salah satu daerah yang melakukan pembentukan daerah otonom baru melalui pemekaran wilayah tersebut adalah Provinsi Kalimantan Timur, yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Provinsi Kalimantan Timur terdiri atas kabupaten Bulungan, Kabupaten Berau, Kabupaten Kutai, Kabupaten Paser, Kota Samarinda dan Balikpapan.
BAB II
DIMENSI TEORITIK
PEMBENTUKAN KABUPATEN TANA TIDUNG
2.1.Teori Negara Hukum
Hakikat negara hukum berkenaan dengan ide tentang supremasi hukum yang disandingkan dengan ide
kedaulatan rakyat yang melahirkan konsep demokrasi.14
Ide negara hukum pertama kali muncul dengan istilah
“rule of law” yang diperkenalkan Albert Van Dicey. Di Amerika Serikat dikenal dengan the rule of law dan di Eropa, khususnya di Belanda dikenal istilah rechtsstaat. Ide negara hukum banyak dikaitkan dengan istilah demokrasi, yang dalam bahasa Yunani berasal dari kata
“demos” dan “cratos” atau “cratein”, yang merupakan
pengembangan dari istilah “nomocracy”, yang berasal dari
kata “nomos” atau “nomoa” yang berarti norma dan
“cratein” atau“cratos” yang berarti kekuasaan.15
Ide negara hukum bertujuan untuk membatasi penggunaan kekuasaan. Pemikiran dasar konsepsi negara
14 Jimly Assidiqie, Konstitusi Sebagai Landasan Indonesia Baru
Yang Demokratis, (Pokok Pokok Pikiran tentang Perimbangan Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Dalam Rangka Perubahan Undang-Undang Dasar l945, Makalah, Disampaikan Dalam Seminar Hukum Nasional VII, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, 1999, hlm. 146-147.
15 Jimly Assididdiqie, “Cita Negara Hukum Indonesia
hukum bertujuan memberikan legalitas penggunaan
wewenang penguasa agar tidak disalahgunakan.
Sehubungan dengan itu, ide negara hukum sangat
berkaitan dengan keinginan untuk memberikan
kedaulatan tertinggi kepada hukum di dalam negara. Kekuasaan bukan terletak pada orang yang menjalankan pemerintahan, akan tetapi diletakkan pada norma hukum yang mendasari. Prinsip negara hukum mengutamakan norma yang dicerminkan dalam peraturan perundang-undangan, sedangkan prinsip demokrasi mengutama- kan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan.”16
Terdapat dua konsep negara hukum, yaitu pertama, negara hukum formil atau rechtstaat dalam arti formal, dalam konsep negara hukum ini, negara tidak banyak mencampuri urusan warga masyarakatnya. Konsep rechtsstaat dalam arti formal ini disebut sebagai konsep negara hukum liberal.17 Konsep rechtsstaat dalam arti
formil menempatkan negara hanya sebagai penjaga malam, sehingga negara hanya berfungsi menjalankan tugas dan wewenangnya apabila terjadi gangguan keamanan dan ketertiban masyarakatnya.
Ferdinant Lassale, menyatakan bahwa tugas negara hanya sebagai penjaga malam, karena tugas dan fungsi negara hanya mencegah kekacauan, hanya bersumber
16 Ibid.
17 Padmo Wahyono, Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia,
pada kekuasaan sebagaimana halnya dalam
pemerintahan raja yang mutlak.18 Negara hanya
berfungsi mempertahankan kekuasaannya, hal ini tentuya bukan tujuan negara hukum, sebab tujuan negara hukum yang sebenarnya mewujudkan kesejahteraan bagi warga masyarakatnya.
Konsepsi negara hukum yang kedua adalah negara
hukum materiil. Dalam konsepini negara memiliki tugas
untuk menyelenggarakan pelayanan masyarakat, negara harus mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dan tugas ini menurut Lemaire disebut tugas bestuurzorg.19 Negara
harus menyelenggarakan social service atau memberikan
pelayanan untuk kebutuhan hidup masyarakatnya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Menurut J Barent dalam bukunya Der wetenschaap
der politiek menyatakan bahwa tujuan negara yang sebenarnya ialah pemeliharaan ketertiban, keamanan, serta penyelenggaraan kesejahteraan umum dalam arti yang seluas-luasnya, baik politik, ekonomi, sosial dan
kultural.20 Sedangkan menurut Charles E Merriam dalam
bukunya Sistematic Polities menyebutnya dengan istilah welfaar staat,21 atau negara kesejahteraan.
18 Barent, J, Op. Cit., hlm. 152.
19 S F Marbun dan Moh. Mahfud, MD, Pokok-Pokok Hukum
Ad-ministrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 1987, hlm. 45.
20 J Barent, De Wetenschap Der politiek, terjemahan L M Sitorus,
Jacobsen dan Lipman dalam bukunya Political Science, menyebutkan bahwa tujuan yang demikian itu sebagai tujuan negara yang utama.22 Selanjutnya dalam
bukunya The Modern State, Mac Iver menyatakan bahwa
tujuan pendirian negara untuk melakukan pemeliharaan ketertiban, perlindungan, pemeliharaan, dan pengemba-ngan.23
Berdasarkan pada pendapat-pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa tujuan negara umumnya menyelengga-rakan pelayanan masyarakat mewujudkan kesejahteraan umum seluas-luasnya, dengan tetap menjaga ketertiban, keamanan, dan memberikan perlindungan bagi masyara-katnya tanpa pengecualian. Hal demikian tentunya merupakan standar tujuan yang harus dicapai oleh setiap negara hukum modern, yang tidak lagi hanya berfungsi menjalankan tugasnya apabila terjadi gangguan keama-nan dan ketertiban saja.
2.2. Teori Peraturan Perundang-Undangan
Dalam konsepsi negara hukum, perbuatan
penguasa dan rakyatnya hanya dianggap sah apabila didasarkan atas hukum yang berlaku, sehingga hukum dapat dipandang sebagai ujung tombak kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk
memperoleh kepastian, maka hukum harus dituangkan dalam aturan tertulis yang mewujud dalam peraturan
22 F Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Dhirwantara, Bandung, 1967, hlm. 34.
perundang-undangan. Sehubungan dengan itu, berarti harus ada lembaga pembentuk formal, prosedur pembentukan formal, dan bentuk yang formal sebagai produknya. Hukum demikian ini selanjutnya disebut sebagai hukum positif.
Menurut Kaplow, pembentukan peraturan
perundang-undangan harus memenuhi syarat berkaitan dengan derajat ketepatan pengaturan detail kompleksitas isi aturan, khususnya tentang ketepatan pengaturan apa yang diperkenankan dan apa saja yang dilarang; bagaimana standar pengaturan tersebut diterapkan dan ditegakkan pada saat aturannya diundangkan dan diberlakukan secara penuh.24
Menurut Hakim Garuda Nusantara, terdapat dua tradisi hukum yang terkenal, yaitu tradisi continental system, dan tradisi common law system.25 Kedua tradisi
hukum ini sama-sama memiliki pengaruh dan menjadi rujukan bagi negara-negara dalam pembangunan sistem
hukumnya. Common law system dikembangkan di Inggris,
sedangkan tradisi continental system, lahir dan
dikembangkan di negara-negara kawasan Eropa
continental, seperti Belanda, Perancis dan lain sebagainya. Kedua tradisi hukum tersebut dalam pembentukan hukumnya terdapat perbedaan yang sangat signifikan.
24 Louis Kaplow, General Characteristic of Rules, Harvard Law School and National Bureau of Economics Research, l999, hlm. 502.
25 Artidjo Al Kautsar dan M Sholeh Amin, Pembangunan Hukum
Dalam common law system, pembentukan hukumnya lebih banyak dilakukan melalui praktek peradilan melalui putusan putusan hakim. Putusan hakim yang sudah
menjadi presedenhukum, dijadikan rujukan bagi
hakim-hakim berikutnya dalam memeriksa dan mengadili, serta memutus perkara-pekara yang sama. Putusan-putusan hakim ini sekaligus untuk mengetahui atau menunjukkan perkembangan ke arah mana hukum, dan rasa keadilan dalam masyarakat, sebab putusan hakim selalu mengako-modir perkembangan hukum dan keadilan dalam masya-rakat tersebut.
Pendapat senada juga dikemukakan Bagir Manan,
yang menurutnya tradisi common law system berkembang
melalui penanganan kasus-kasus hukum konkrit di pengadilan, dan dari kasus-kasus hukum konkrit ini kemudian dapat ditemukan kaidah hukum dan asas-asas
hukum.26 Dalam tradisi common lawsystem menggunakan
tradisi logika berpikir induktif, yaitu ditentukan fakta hukumnya lebih dulu, baru kemudian ditarik dan dirumuskan norma dan asas-asas hukumnya. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Lili Rasjidi dengan menyatakan bahwa negara-negara yang menganut tradisi
common law system, kewenangan pembentukan hukum
dilakukan oleh hakim.27
26 Ibid.
27 Lili Rasjidi dan I.B. Wiyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu
Mengingat pembentukan hukum melalui putusan hakim memerlukan waktu yang lama, sebab proses pemeriksaan perkara dilakukan melalui lembaga peradilan berjenjang, dan dilakukan melalui penyelesaian kasus demi kasus, maka dalam perkembangannya
pembentukan hukum dalam tradisi common law system
tidak selalu melalui pengadilan dengan putusan hakim atas peristiwa konkrit, tetapi juga dapat dilakukan
melalui pembentukan undang-undang oleh parlemen.28
Pada tradisi hukum continental law system, hukum dibentuk parlemen. Dalam tradisi continental law system mengedepankan asas kepastian hukum, yang tercermin dalam peraturan perundang-undangan atau hukum tertulis yang diupayakan terkodifikasi dan terunifikasi. Bagir Manan menyatakan, bahwa pada negara-negara
yang berada dalam continental law system selalu berusaha
untuk menyusun hukum-hukumnya secara tertulis, bahkan dalam suatu sistematika yang diupayakan selengkap mungkin dalam sebuah kitab undang-undang (kodifikasi).29
Dalam perkembangannya, tradisi continental law
system juga tidak dapat mempertahankan tradisi hukum undang-undang sebagai sumber hukum, karena sering tidak sesuai dengan tuntutan kebutuhan, sementara penerapan hukum oleh hakim semakin jauh dari
28 Soenaryati Hartono, Kapita Selekta Perbandigan Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, l991, hlm. 104.
nilai keadilan, maka yurisprudensi diperg unakan untuk
mengatasi kelemahan-kelemahan dalam peraturan
perundang-undangan.30 Permasalahan hukum dalam
masyarakat sangat cepat mengikuti dinamika peradaban yang didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Meskipun Roscou Pound dalam teorinya ingin menempatkan hukum di depan permasalahan
de-ngan meletakkan fungsi hukum sebagai law as a tool of
so-cial engineering, namun fakta menunjukkan sangat tidak mungkin mendahulukan hukum di depan permasalahan hukum.
Sehubungan dengan itu, perbedaan antara kedua tradisi hukum tersebut dalam pembentukan hukum akhirnya bertemu dalam satu titik, masing-masing tradisi mempunyai kelemahan dan kelebihan dan pada akhirnya saling melengkapi, karena kedua tradisi hukum tersebut sama-sama menggunakan peraturan perundangan dan yurisprudensi sebagai sumber hukumnya. Hakim dalam pembentukan hukum melalui putusan-putusan hukum terhadap kasus-kasus konkrit, yang kekuatan mengikat-nya terbatas pada pihak-pihak yang bersengketa. Namun apabila putusan-putusan hakim tersebut diulang-ulang dalam kasus yang sama, dapat menjadi yurisprudensi dan berlaku secara umum. Putusan-putusan hakim yang berlaku umum memiliki karakter sebagai peraturan-peraturan umum, yang mengikat seperti undang-undang,
30 Sirajuddin, Legislatif Drafting Dalam Pembentukan Peraturan
sebab putusan hakim itu mengandung asas-asas hukum umum.
Satu hal yang harus diperhatikan ketika melakukan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah:
a. harus tahu apa yang akan diatur, terkait dengan
substansi atau materi yang akan diatur,
b. mengapa hal itu perlu diatur, hal ini terkait dengan alasan-alasan yang mendasari perlunya pengaturan;
c. untuk apa diatur, hal ini terkait dengan tujuan
pengaturan;
d. bagaimana mengatur, terkait dengan isi aturan atau isi
norma yang terdapat dalam aturan;
e. siapa yang mengatur, hal ini berkaitan dengan kewe-nangan yang berhubungan dengan substansi atau materi yang diatur;
f. dengan apa mengatur, hal ini terkait dengan bentuk yang akan dipergunakan untuk membuat mengatur.
Di Indonesia, pembentukan hukum banyak
dipe-ngaruhi oleh continental system. Hukum di Indonesia
pembentukannya lebih banyak dilakukan oleh lembaga legislatif yang mewujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan formal, baik di tingkat pusat mau-pun di tingkat daerah. Namun demikian di Indonesia juga menggunakan hukum tidak tertulis untuk meleng-kapi hukum tertulis, serta menggunakan yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia.
pembentukannya tidak hanya memperhatikan keabsahan legal formalnya saja, baik menyangkut prosedur maupun keabsahan lembaga pembentuknya, tetapi juga harus memperhatikan substansi atau isinya. Isi peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan nilai-nilai hukum yang diakui dan hidup di dalam masyarakat, sehingga dapat diterima oleh masyarakat.
Dewasa ini, teori pembentukan peraturan
perundang-undangan tidak lagi semata-mata didasarkan pada keinginan pembentuknya, tetapi harus disesuaikan dengan pemangku kepentingan atau siapa yang akan dikenai oleh peraturan perundang-undangan tersebut. Metode baru ini telah banyak dianut dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya bagi produk legislasi, yaitu undang-undang dan peraturan daerah.
Perancang perundang-undangan ketika sedang
menyusun rancangan prundang-undangan pada
umumnya dihadapkan berbagai persoalan yang sangat kompleks, yang menjadi pertimbangan dalam perancang perundang-undangan. Untuk memperoleh identifikasi yang baik terhadap permasalahan yang ada guna memberikan solusi yang tepat terhadap penyelesaian permasalahan tersebut, Robert B Seidman menawarkan
sebuah metode yang dikenal dengan nama ROCCIPI.
Nama ini sebenarnya merupakan akronim dari rule,
opportuniy, capacity, communication, interset, process, dan ideology.31 Selanjutnya dikatakan Himawan, bahwa
metode ROCCIPI merupakan metode yang lebih mengajak para perancang perundang-undangan untuk melakukan penelitian faktual/empiris, untuk mempero-leh data langsung tentang masalah sosial yang akan diatur dalam peraturan (daerah). Maksudnya adalah perancang (perundang-undangan) dapat dengan jelas menyebutkan apa masalah sosialnya dan bagaimana hal
itu akan diselesaikan.32 Dengan demikian
undang-undang yang akan dibentuk diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan yang terjadi yang telah diidentifikasi sebelumnya.
2.3. Teori Tujuan Hukum
Tujuan hukum yang utama untuk mewujudkan keadilan. Keadilan merupakan terminologi yang tidak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang hukum, bahkan selalu menarik untuk dibicarakan. Keadilan merupakan makna yang hakiki dalam hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa keadilan merupakan esensi dari hukum, keadilan juga dapat diidentikkan dengan hukum.
Keadilan disebut-sebut berasal dari kata justice. Menurut
Institute of Justinian, istilah “justice” dirumuskan sebagai justice is the constant and continual purpose which given to everyone his own.33
Keadilan berkaitan dengan hak seseorang yang seharusnya diberikan oleh orang atau pihak lain,
32 Ibid.
33 Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di
sehingga apabila seseorang tidak menerima apa yang menjadi haknya, maka kondisi demikian dapat dianggap tidak adil, bahkan tidak mencerminkan rasa keadilan. Menurut Plato, keadilan merupakan masalah kesenangan yang berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan antara satu orang dengan orang lainnya, akhirnya
keadilan hanyalah merupakan suatu bentuk kompromi.34
Keadilan merupakan kebajikan yang mengandung keselarasan dan keseimbangan yang tidak dapat
dijelaskan dengan argumentasi rasional.35 Selanjutnya
Plato membagi kebajikan ke dalam klasifikasi
kebijaksanaan atau kearifan; keberanian atau keteguhan hati; kedisiplinan; serta keadilan.36
Senada dengan Plato, Ulpianus menyatakan bahwa keadilan disebutnya sebagai justitia constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi (keadilan merupakan kehendak yang terus menerus dan memberikan kepada
masing-masing apa yang menjadi haknya) atau tribuere
cuique suum-to give every body his own, keadilan memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi
haknya.37 Ulpianus mempertegas pengertian pengakuan
terhadap apa yang menjadi hak seseorang yang harus diterimakan sesuai dengan apa yang seharusnya
34 Ibid, hlm. 92
35 W Friedmann, Legal Theory, Stevens and Son Limited, London, 1960, Dalam Munir Fuady, Op. Cit.
36 Sudarsono, Ilmu Filsafat suatu Pengantar, Rineka Cipta, Jakar-ta, 2001, hlm. 271.
diterima.38 Dalam teori keadilan Aristoteles, keadilan
yang demikian dikenal dengan istilah keadilan distributif.
Aristoteles juga menyatakan, bahwa keadilan itu akan tercapai apabila seseorang mentaati norma-norma hukum yang berlaku; dan seseorang tidak boleh mengambil lebih dari haknya, sehingga keadilan berarti
persamaan hak.39 Equal atau equality mengehendaki
adanya penyamarataan dari masyarakat yang satu terhadap masyarakat yang lainnya, sehingga manakala terdapat ketidaksamaan dalam penerimaan, maka hak itu menciderai rasa keadilan.
Jeremy Bentham menyatakan bahwa keadilan akan didapatkan jika terjadi maksimum penggunaan barang
bagi suatu komunitas, sehingga akan diperoleh suatu the
greatest happiness of the greatest number.40 Pendapat Jeremy
Bentham memperoleh kritik dari John Rawls, bahwa kebahagiaan itu bersifat utopis dan relatif, artinya kebahagiaan selalu bersanding dengan ketidakbahagiaan. Kebahagiaan tidak dapat digunakan sebagai parameter bagi ditaatinya aturan atau norma hukum, tidak semua orang yang memperoleh kesenangan selalu taat pada hukum, dan kenyataannya banyak orang yang hidupnya bahagia tetapi melanggar hukum.
38 Ibid.
39 Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 93.
Konsep keadilan menurut Jeremy Bentham bersifat semu, selanjutnya John Rawls menyatakan, bahwa terdapat prinsip keadilan yaitu each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with a similar liberty for others; social and economic inequalities are to be arranged so that they are both (a) reasonably expected to be
to everyone’s advented, and (b) attached to positions and offices
open to all.41
Ajaran utilitarian Jeremy Bentham ini diteruskan oleh John Stuart Mill, dan David Hume, yang mengajarkan bahwa kebahagiaan merupakan prinsip untuk mengukur keadilan hukum. Untuk mewujudkan kebahagiaan, maka kelembagaan negara, termasuk institusi sosial, dan institusi hukum lainya harus diukur
dari manfaatnya. Selanjutnya John Stuart Mill
menyatakan ”...and the test of what laws there ought to be, and what laws ought to be, was utility”.42 Suatu peraturan
perundang-undangan hanya dapat dilaksanakan dengan baik apabila bersifat adil. Keadilan bukan hanya sekadar tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan hukum.43
Mendasarkan pendapat Santo Thomas Aquinas, John Rawls menyatakan bahwa kebijakan pemerintah dan kebijakan hukum didistribusikan secara proporsional
41 John Rawls, A Theory of Justice, Harvard University Press, Masacusetts, 1971, hlm. 60.
42 Ibid.
43 Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan
atas dasar harkat dan martabat manusia demi
mewujudkan kesejahteraan umum.44 Pemikiran ini
didasarkan pada asumsi bahwa hasrat dan kehendak dari
pihak yang berwenang membentuk peraturan
perundang-undangan bukan merupakan dasar yang eksklusif dari sebuah tertib hukum. Legislasi hukum positif mengandung pengertian keadilan, yaitu keadilan substantif dan keadilan prosedural.
Keadilan prosedural berkaitan dengan prosedur yang jujur dan benar dalam melaksanakan hukum. Suatu prosedur hukum yang jujur dan benar harus memenuhi syarat-syarat, semua hukum yang dinyatakan berlaku harus diundangkan. Akibat hukum tidak boleh mencerminkan sebuah upaya pembalasan, isi hukum harus koheren dan secara substansial tidak boleh ada
pertentangan dan harus memiliki kontinuitas.45
Untuk mempertahankan norma-norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut, maka harus ditegakkan oleh sebuah otoritas yang memiliki kompetensi untuk mempertahankannya. Penegakan hukum norma-norma dalam peraturan perundang-undangan berkaitan dengan perbuatan lahir manusia dan sama sekali tidak berhubungan dengan sikap batin manusia. Kepastian hukum tidak memberi sanksi kepada seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, akan tetapi yang diberikan sanksi adalah
44 Ibid.
perwujudan dari sikap batin yang buruk, atau
menjadikannya perbuatan yang nyata atau konkrit.46
Gustav Radbruch membagi jenis kepastian hukum ke dalam kepastian hukum oleh karena hukum, dan
kepastian hukum dalam atau dari hukum.47 Konsep
kepastian hukum demikian dapat dikatakan bahwa apabila norma-norma yang tertuang di dalam hukum diterapkan secara tegas, dalam pengertian apabila seseorang yang bersalah diancam hukuman tertentu, kemudian ancaman hukuman tersebut diterapkan, hal ini berarti terwujudlah apa yang disebut kepastian hukum.
Kepastian hukum memberikan apa yang menjadi hak dan kewajiban seseorang secara pasti. Pelanggaran atau gangguan terhadap hak yang sudah dijamin oleh hukum, akan melahirkan konsekuensi bagi pemegang haknya untuk mempertahankan haknya, dan juga memberikan hak untuk mengajulan klaim atau tuntutan terhadap pihak lain yang menggangggu hak tersebut.
Tujuan hukum lainnya adalah untuk mewujudkan kemanfaatan. Menurut teori kemanfaatan atau teori utilitarian, hukum menyandarkan pada nilai etis, dan atas dasar etika inilah hukum harus mewujudkan prinsip-prinsip kegunaan/kemanfaatan, yang kemudian menjadi madzhab utilities.
Dalam pemikiran filsafatnya, Jeremy Bentham beranggapan bahwa secara alamiah manusia sebagai
46 Soetanto Soepiadhy, Op. Cit.
penguasa di bumi, memiliki kewenangan penuh untuk
mengatur alam guna mewujudkan kebahagiaannya.48 Di
dunia hanya terdapat dua realitas kehidupan manusia, yaitu sengsara atau penderitaan, dan kesenangan. Hanya ada pilihan bagi manusia kalau ingin senang atau bahagia, maka kesenangan atau kebahagiaan itu harus diwujudkan, dan salah satunya dengan membentuk hukum.
2.4. Teori Keberlakuan Norma Hukum
Sebuah norma hukum hanya akan berarti apabila norma hukum tersebut berlaku dan mengikat kepada subjek yang diaturnya. Demikian juga sebuah undang-undang hanya dikatakan berlaku efektif manakala undang-undang itu mengikat secara umum sesuai dengan tujuannya. Norma hukum dapat dikatakan berlaku tidak semata-mata hukum itu dipaksakan oleh sebuah kekuasaan yang memiliki otoritas untuk itu. Keberlakuan sebuah norma hukum sangat dipengaruhi
dan ditentukan oleh banyak faktor.49 Selanjutnya
dikatakan Jimly Assiddiqie, bahwa norma-norma hukum dimaksud dapat dianggap berlaku karena pertimbangan
yang bersifat filosofis, pertimbangan yuridis,
pertimbangan politis, atau pertimbangan administratif.50
J J H Bruggink dengan menggunakan istilah yang berbeda dengan Jimly Assiddiqie menyatakan bahwa
48 Ibid.
keberlakuan norma hukum dibedakan ke dalam
keberlakuan faktual atau keberlakuan empiris;
keberlakuan normatif atau keberlakuan formal;
keberlakuan evaluatif.51 Berdasarkan pendapat-pendapat
di atas, dalam penelitian ini menggunakan parameter keberlakuan norma hukum ke dalam 3 (tiga) macam saja, yaitu:
a.
keberlakuan faktual atau empiris, yaitu apabilamasyarakat dimana kaidah hukum itu berlaku mentaatinya. Tolak ukur keberlakuan empiris terletak pada sikap perilaku masyarakat terhadap ketaatannya pada hukum, dan hal itu tentunya harus dilakukan melalui penelitian empirik.52 Untuk jenis keberlakuan
empiris ini, Jimly Assiddiqie menggunakan istilah keberlakuan sosiologis dengan menggunakan kriteria keberlakuan yang sama dengan Bruggink. Namun Jimly menawarkan beberapa kriteria keberlakuan empiris, yaitu kriteria pengakuan kriteria penerimaan dan kriteria faktisitas hukum.53
b.
Keberlakuan normatif atau keberlakuan formal,merupakan keberlakuan norma hukum yang berkaitan sistem kaidah hukum secara keseluruhan. Sebuah norma hukum hanya dinyatakan berlaku apabila secara hierarki tidak bertentangan dengan norma hukum yang diatasnya.
51 J J H Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa Arief Si-dharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 149-154.
52 Ibid, hlm. 149.
c.
Keberlakuan politis yaitu keberlakuan norma hukum yang secara politis memperoleh dukungan mayoritas di parlemen, sebuah norma hukum meskipun secara faktual diterima, dan ditegakkan di dalam masyarakat, apabila tidak memperoleh dukungan parlemen, maka norma hukum tersebut dianggap kurang validitaskeberlakuannya.54
Sempurnanya keberlakuan norma hukum apabila norma hukum tersebut memenuhi ketiga kriteria keberlakuan. Dalam pengertian ini, maka norma hukum harus memperoleh dukungan mayoritas di parlemen sebagai indikasi keberlakuan politis, diterima masyarakat sebagai indikasi keberlakuan sosiologis, dan tidak
bertentangan secara hierarki dengan peraturan
perundang-undangan yang ada di atasnya, sebagai indikasi keberlakuan yuridis. Jika persyaratan ini dipenuhi, maka kiranya peluang untuk diuji materiilkan sangat kecil, sebab tidak terdapat celah untuk itu.
2.5. Teori Wewenang
Istilah wewenang penggunaannya sering disetara-kan dengan kewenangan dan mengesandisetara-kan tidak terdapat perbedaan antara kedua istilah tersebut. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, membedakan
antara wewenang dan kewenangan. Pengertian
wewenang diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 5, yang
dirumuskan “Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh
badan dan atau Pejabat Pemerintahan atau
penyelenggara negara lainnya untuk mengambil
keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan”. Sedangkan pengertian kewenangan
diatur dalam Pasal 1 angka 6, yang dirumuskan Kewenangan Pemerintahan yang selanjutnya disebut kewenangan adalah kekuasaan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk bertindak dalam ranah hukum publik. Memperhatikan kedua rumusan tentang pengertian wewenang dan kewenangan tersebut, maka dapat dikemukakan asumsi bahwa wewenang lebih luas dari kewenangan, sehingga wewenang dapat dikatakan sebagai genus dari kewenangan. Wewenang bersifat umum terkait dengan
hak untuk mengambil keputusan dalam setiap
pengambilan keputusan terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan atau penyelenggaraan negara. Sedangkan kewenangan penggunaannya dalam kaitannya dengan perbuatan hukum publik bagi badan dan/atau pejabat pemerintahan dan penyelenggara negara.
Dalam konsepsi hukum Belanda tidak dibedakan penggunaannya dalam lapangan hukum publik maupun dalam lapangan hukum privat, berbeda dengan di Indonesia, wewenang selalu digunakannya dalam kaitannya dengan penggunaan kekuasaan, sehingga wewenang berada dalam lapangan hukum publik. Istilah
Kamus Istilah Hukum Fockema Andrea Belanda Indonesia diartikan sebagai kekuasaan, yaitu wewenang
atau kekuasaan.55 Namun demikian dalam kamus yang
lain wewenang diartikan sebagai kekuasaan untuk
menjalankan sesuatu atau right to exercise powers:to
implement and enforce law.56 Berdasarkan pengertian
tersebut, maka seseorang yang memiliki wewenang secara otomatis memiliki kekuasaan untuk melakukan tindakan tertentu sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang pemberian wewenang itu.57
Menurut Henc van Marseveen, wewenang diartikan
sebagai kekuasaan hukum, sedangkan Bagir Manan
menyatakan bahwa kekuasaan tidak sama artinya dengan wewenang. Kekuasaan menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Wewenang berarti hak dan
sekaligus kewajiban,58 artinya bahwa di dalam wewenang
sekaligus melekat kewajiban. Berdasarkan sumbernya wewenang dibedakan dalam wewenang atribusi; wewenang delegasi dan wewenang mandat.
Dalam konsep delegasi ini setelah wewenang diserahkan, pemberi wewenang tidak memiliki
55 N E Algra, Kamus Istilah HukumFockema Andrea Belanda
Indo-nesia, Bina Cipta, Bandung , 1983, hlm. 74.
56 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, West Publish-ing, St. Paul Menesotam, 1990, hlm. 133.
57 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum
Dalam Pembangunan Nasional, PT Binacipta, Jakarta, hlm. 4.
nang lagi.59 Dalam wewenang delegasi hanya
dimungkin-kan apabila pejabat yang menyerahdimungkin-kan wewenang tersebut memperolehnya secara atribusi. Senada dengan pendapat tersebut, Indroharto, pelimpahan suatu wewenang yang sudah ada oleh badan atau pejabat pemerintah yang telah memperoleh wewenang pemerin-tah secara atribusi kepada badan atau pejabat pemerinpemerin-tah
lain.60 Namun menurut Van Wijk, wewenang delegasi
masih dapat disubdelegasikan lagi kepada delegataris, ketentuan delegasi secara mutatis mutandis berlaku juga bagi subdelegasi.61
Wewenang delegasi dan wewenang atribusi pada prinsipnya dapat dilimpahkan kepada badan atau pejabat yang lain. Namun bedanya jika delegasi pelimpahan itu harus dilakukan secara horizontal, sedangkan wewenang mandat pelimpahan wewenang itu diberikan kepada badan atau pejabat yang tingkatnya lebih rendah, yaitu manakala pejabat pemilik wewenang dalam hal ini delegan atau mandan tidak mampu menjalankan sendiri wewenang itu. Pada wewenang mandat, mandataris (penerima mandat) dapat menjalankan wewenang untuk dan atas nama mandan, pada wewenang mandat ini pemilik wewenang (mandan) tetap dapat menggunakan wewenangnya tanpa kehilangan hak menggunakan
59Ibid.
wewenang apabila menginginkan dan masih berwenang memberikan pertunjuk penggunaan wewenang tersebut.
Dalam konsep wewenang mandataris, mandan tetap bertanggung jawab atas penggunaan wewenang oleh mandataris. Sedangkan pada wewenang delegasi, delegaan kehilangan wewenangnya, tanggung jawab dan tanggung gugat sudah berpindah kepada penerima we-wenang (delegataris). Terkait dengan wewe-wenang manda-taris, Indroharto menyatakan pada mandat tidak terjadi perubahan wewenang yang sudah ada dan merupakan hubungan internal pada suatu badan, atau penugasan bawahan melakukan suatu tindakan atas nama dan atas
tanggung jawab mandan.62
Dalam wewenang delegasi, delegataris bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri, sehingga segala akibat yang timbul dari penggunaan wewenang tersebut menjadi tanggung jawab delegataris. Sifat wewenang delegasi yang horizontal dapat dicontohkan dalam pemberian izin pegelolaan hutan yang diberikan kepada pemerintah oleh rakyat melalui DPR berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam hal ini kedudukan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sederajat, yang satu tidak membawahkan yang lainnya.
BAB III
PEMBENTUKAN KABUPATEN TANA TIDUNG
SEBAGAI KEBIJAKAN PEMEKARAN WILAYAH
3.1. Urgensi Pembentukan Kabupaten Tana Tidung
Sebelum pemekaran Kalimantan Timur, Kabupaten Tana Tidung secara geografis terletak di Provinsi Kalimantan Timur, dan sekarang terletak di Provinsi Kalimantan Utara. Dasar pemikiran pemikiran dan dasar pertimbangan Pembentukan Kabupaten Tana Tidung tidak terlepas dari berbagai dari fakta bahwa Provinsi Kalimantan Timur khususnya dan provinsi-provinsi di Kalimantan, pada umumnya memiliki wilayah yang sangat luas.
Jika dibandingkan dengan saat ini, pada saat pembentukan kabupaten-kabupaten dan kota di wilayah Provinsi Kalimantan Timur pada saat itu jumlah penduduknya relatif sedikit, dan sarana dan prasarana wilayah juga sangat terbatas. Kondisi demikian sangat menyulitkan pemerintah dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat, dan sebaliknya masyarakat juga kesulitan untuk mengakses informasi yang dibutuhkan untuk memperoleh layanan dari pemerintah secara memadai.
terobosan kebijakan oleh pemerintah dan tentunya juga oleh masyarakat. Kebijakan yang paling tepat adalah dilakukan pemekaran wilayah, dalam hal ini Provinsi Kalimantan Tmur, maupun wilayah Kkabupaten/Kota, khususnya yang terdapat di wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Pemekaran wilayah ini diharapkan mampu mendekatkan masyarakat dengan pusat-pusat pelayanan masyarakat, sehingga dapat mempercepat upaya yang dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Secara geografis, wilayah Provinsi Kalimantan Timur sebelum pemekaran, memiliki luas wilayah
mencapai kurang lebih 194.849,08 km2 atau hampir
194.850 km2, dengan jumlah penduduk mencapai hampir
3.000.000 jiwa. Pada awalnya Provinsi Kalimantan Timur hanya terdiri atas 9 (sembilan) kabupaten, dan 4 (empat) kota. Pembagian ini mengakibatkan kompisisi antara luas wilayah masing-masing kabupaten dan kota tidak seimbang dengan jumlah penduduk yang tersebar di pelosok desa, yang jarak di antara desa sangat jauh.
Minimnya sarana dan prasarana, khususnya
transportasi menyebabkan jangkauan pelayanan
otonomi daerah. Kondisi demikian tentunya tidak boleh terjadi, sebab pemberian otonomi kepada daerah akan menjadi sia-sia.
Pada tahun 1999, Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Timur yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 Tentang Pembentukan Kabupaten Tingkat II di Kalimantan, juga mengalami pemekaran. Oleh karena itu, Kabupaten Bulungan wilayahnya menjadi berkurang, karena digunakan untuk daerah otonom baru, yang terdiri atas Kota Tarakan dan Kabupaten Malinau, serta Kabupaten Nunukan. Pembentukan 5 (lima) daerah otonom baru ini berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Timur, dan Kota Bontang.
Secara geografis dan demografis, sebelum
pemekaran yang dilakukan pada tahun 2007, Kabupaten Bulungan memiliki luas wilayah kurang lebih mencapai
18.010,5 km2, dengan jumlah penduduk kurang lebih
109.219 jiwa, yang terdiri atas 13 (tiga belas) kecamatan.63
Berdasarkan luas wilayah dan jumlah penduduk yang demikian, maka secara empirik akan berdampak pada kurang maksimalnya pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat, sebab luas wilayah tidak
sebanding dengan jumlah penduduk. Akibatnya, banyak desa yang letaknya jauh dari pusat pemerintahan, tidak dapat dilayani secara maksimal. Kondisi demikian inilah yang mendorong dilakukannya pemekaran wilayah Kabupaten Bulungan, dengan tujuan memperpendek rentang jarak dan rentang waktu pelayanan kepada masyarakat. Pemekaran wilayah dengan pembentukan kabupaten baru, dianggap sebagai solusi untuk segera mempercepat pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, agar masyarakat dapat merasakan dampak otonomi daerah dengan meningkatnya taraf ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya.
Pada tahun 2007, dilakukan pemekaran kembali terhadap Kabupaten Bulungan, dengan membentuk kabupaten baru, yaitu Kabupaten Tana Tidung dengan ibu kota Tideng Pale. Pembentukan Kabupaten Tana Tidung diharapkan dapat memperpendek rentang jarak dan rentang waktu pelayanan masyarakat, yang selama
ini dipandang sebagai penghambat pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya. Dengan demikian, pembentukan Kabupaten Tana Tidung diharapkan dapat
memudahkan pemerintah daerah menjangkau
masyarakat pedesaan yang semula jauh dengan pusat pemerintahan Kabupaten Bulungan.
presidium daerah pembentukan Kabupaten Tana Tidung yang dideklarasikan melalui perwakilannya pada tanggal
23 November 2002. Dengan demikian, usulan
pembentukan Kabupaten Tana Tidung tersebut bersifat buttom up, sebab murni dari keinginan masyarakat, dan bukan kehendak pemerintah pusat atau kepentingan politik tertentu. Usulan tersebut juga bukan didasarkan oleh keinginan sekelompok elite penguasa, tetapi benar-benar berasal dari masyarakat yang menginginkan perubahan pelayanan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
3.2. Persyaratan Administratif Pembentukan Daerah Otonom
Sebagaimana dikemukakan dalam latar belakang masalah bahwa menurut ketentuan Pasal 18 UUD NRI
Tahun 1945, khususnya ayat (1) “Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten dan Kota itu mempunyai Pemerintah Daerah yang diatur dengan
undang-undang”, dan ketentuan ayat (2), dirumuskan
”Pemerintah Daerah Provinsi, daerah Kabupaten dan Kota diatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
Setiap upaya pembentukan daerah otonom baru melalui pemekaran wilayah, baik itu pembentukan daerah otonom baru atau penggabungan daerah otonom yang sudah ada, secara filosofis semata-mata ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat dilihat di dalam ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000
tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria
Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Ketentuan Pasal 2 tersebut dirumuskan pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
a. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat;
b. Percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi;
c. Percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian
daerah;
d. Percepatan pengelolaan potensi daerah;
e. Peningkatan keamanan dan ketertiban;
f. Peningkatan hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah.
Untuk mewujudkannya, diperlukan persyaratan administratif tertentu, dengan harapan tidak hanya memenuhi tuntutan euforia reformasi semata, tetapi harus benar-benar diarahkan pada pencapaian tujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Keharusan memenuhi persyaratan administratif
Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, yang menggantikan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah.
Selanjutnya mengenai indikator kelengkapan
persyaratan administratif tersebut diatur di dalam ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah, yang dirumuskan dengan daerah dibentuk berdasarkan syarat-syarat:
a. Kemampuan ekonomi;
b. Potensi daerah;
c. Sosial budaya;
d. Sosial politik;
e. Jumlah penduduk;
f. Sarana pariwisata;
g. Jumlah penduduk;
h. Luas daerah;
i. Pertimbangan lain yang memungkinkan
terselengga-ranya otonomi daerah.
huruf i Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah tersebut merupakan syarat pembentukan daerah otonom baru, termasuk Kabupaten Tana Tidung, yaitu menyangkut keamanan dan ketertiban bagi daerah yang akan dimekarkan maupun daerah otonom baru dari hasil pemekaran.
Perlu dikemukakan bahwa setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Pengha-pusan, dan Penggabungan Daerah, mengenai persyaratan pembentukan daerah otonom baru diubah menjadi persyaratan administratif, persyaratan teknis, dan fisik kewilayahan. Mengenai persyaratan tersebut tercantum di dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indo-nesia Nomor 78 Tahun 2007, yang dirumuskan sebagai berikut:
(1) Pembentukan daerah provinsi berupa pemekaran
dan penggabungan beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah provinsi yang berbeda harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
(2) Pembentukan daerah kabupaten/kota berupa