• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dominasi, hegemoni, dan kekuasaan dalam Serat Rangsang Tuban karya Ki Padmasusastra - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Dominasi, hegemoni, dan kekuasaan dalam Serat Rangsang Tuban karya Ki Padmasusastra - USD Repository"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

DOMINASI, HEGEMONI, DAN KEKUASAAN

DALAM SERAT RANGSANG TUBAN KARYA KI PADMASUSASTRA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Brigitta Gangga Tribuana

NIM: 154114043

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

i

DOMINASI, HEGEMONI, DAN KEKUASAAN

DALAM SERAT RANGSANG TUBAN KARYA KI PADMASUSASTRA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Brigitta Gangga Tribuana

NIM: 154114043

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 11 Januari 2019 Penulis

(6)

v

Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah untuk Kepentingan Akademis

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Brigitta Gangga Tribuana

NIM : 154114043

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

Dominasi, Hegemoni, dan Kekuasaan

dalam Serat Rangsang Tuban Karya Ki Padmasusastra.

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata

Dharma hak menyimpan, mengalihkan dalam bentuk lain, mengelolanya dalam

bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya

di internet atau media yang lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta

izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap

mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 11 Januari 2019

Yang menyatakan,

(7)

vi

PERSEMBAHAN

Jangan pernah ragu akan jarak. Karena jarak menghasilkan rindu. Jangan pernah takut akan waktu. Karena waktu yang menyatukan kita.

Karya ini kupersembahkan kepada mamaku tercinta, M.G. Purwini Disriati.

Saudara-saudariku terkasih Padmo Adi dan Angela Padma Dewi.

(8)

vii MOTTO

“Terjadilah padaku, menurut kehendak-Mu”

(Luk.1: 26-38)

“Hidup itu seperti pergelaran wayang, dimana kamu menjadi dalang atas naskah

semesta yang dituliskan oleh Tuhan mu.”

(Sujiwo Tejo)

“Bahagia adalah ketika kita lebih sering tersenyum, lebih berani bermimpi, lebih

mudah tertawa, dan lebih banyak bersyukur.”

(9)

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Yang Maha Sempurna. Berkat

bimbingan dan pertolongan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul Dominasi, Hegemoni, dan Kekuasaan dalam Serat Rangsang Tuban Karya Ki Padmasusastra dengan baik dan tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai dengan tepat waktu

jika tidak didasari dengan niat, memulai, dan menyelesaikan dengan penuh suka

cita yang terbangun dari diri penulis sendiri. Oleh karena itu, penulis ingin

mengucapkan rasa terima kasihnya kepada beberapa pihak yang sudah

memberikan bimbingan, dukungan, semangat dan motivasi dalam penulisan

skripsi ini.

Pertama, penulis mengucapkan terima kasih kepada Susilawati Endah Peni

Adji, S.S., M.Hum. sebagai Dosen Pembimbing Akademik, Kaprodi, dan

sekaligus merangkap sebagai pembimbing I yang selalu memberikan banyak

masukan berharga dan dukungan semangat bagi penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

Kedua, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Yoseph Yapi Taum,

M. Hum. sebagai pembimbing II yang telah memberikan dukungan semangat dan

(10)

ix

Ketiga, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak/Ibu dosen Sastra

Indonesia Universitas Sanata Dharma (USD), Yogyakarta. Kepada Prof. Dr.

Praptomo Baryadi, M. Hum. sebagai dosen terfavorit bagi seluruh mahasiswa

Sastra Indonesia USD, kepada Sony Christian Sudarsosno, S.S., M.A. selaku

Wakil Ketua Program Studi Sastra Indonesia USD, Drs. B Rahmanto, M. Hum.,

Maria Magdalena Sinta Wardani, S.S., M.A., Dr.Paulus Ari Subagyo, M. Hum.

(alm), dan Drs. Hery Antono, M. Hum. (alm) yang sangat berjasa dan telah

bersedia memberikan ilmunya selama saya kuliah di Program Studi Sastra

Indonesia. Serta penulis mengucapkan terima kasih kepada Staf Sekretariat

Fakultas Sastra Indonesia atas pelayanan dan bantuan yang diberikan dengan baik

selama ini.

Keempat, ucapan terima kasih khususnya untuk mama saya, M.G Purwini

Disriati yang selalu memberikan semangat dan doa yang terbaik untuk penulis.

Terima kasih sudah bekerja keras dan mengizinkan penulis meraih mimpinya di

Kota Yogyakarta. Ucapan terima kasih pula untuk kedua kakak saya, Padmo Adi

dan Angela Padma Dewi, kedua kakak ipar saya Kartika Indah dan Antonius Adi,

serta untuk kedua keponakan saya Rama Sanjaya Padmakarna dan Kidung Ayunda

yang tak hentinya memberikan semangat dan dukungan psikologis kepada saya.

Terima kasih juga kepada saudara sepupu saya Adrianus Hendry yang sama-sama

kuliah di Jogja, dia selalu ada disaat saya kesepia dan selalu memberikan semangat

terlebih ketika saya mengerjakan skripsi ini. Tak lupa saya ucapkan terima kasih

kepada bapak saya, Hadrianus Denda Surono (alm) yang memberikan inspirasi

(11)

x

Kelima, untuk sahabat saya, yaitu Susana Saras dan Roswita Yostin yang

selalu setia menemani segala rasa selama saya kuliah di sini. Kalian selalu setia

menjadi tempat bercerita yang asyik dan menjadi tempat hiburan yang

membangkitkan semangat saya. Terima kasih juga untuk anak-anak JO LALI,

Saras, Yostin, Lana, Maya, Berta dan Anin yang menjadi teman terbaik selama

menjalani proses berdinamika di UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Grisadha

(Grup Tari Sanata Dharma). Serta untuk seluruh mahasiswa Prodi Sastra Indonesia

angkatan 2015, terima kasih atas bantuannya selama saya kuliah di sini, teruntuk

Erline, Grey, Ina, Laras, Phelvine, Amanda, Brigitta, Genjikable, Galih, Ditho dan

Semujur.

Terakhir, saya mengucapkan terima kasih kepada Ignatius Wahyu Aji

Wibowo, teman baik saya sewaktu dibangku SMP, yang sudah kembali hadir di

waktu yang sangat tepat, menjadi kado Natal 2018 yang tak terduga bagi saya,

pertemuan singkat kita sangat berarti dan terima kasih sudah membangkitkan

semangatku. Terima kasih juga untuk kedua sahabatku, Yosephine Pratita dan

Dika Sekar, yang meski diam mengamati saja, tetap memberikan perhatian dan

semangat untuk penulis. Serta ucapan terima kasih untuk kakak dan adek temu gedhe ku, yaitu Andreas Eka Wijaya (Pongky) dan Dioda Yotam Paninggar yang sangat berjasa dalam membangkitkan semangat dikala saya terpuruk ketika

(12)

xi

Serta ucapan terima kasih kepada semua pihak, yaitu Mbah Putri, om,

tante, saudara sepupu saya, teman-teman saya, dan orang sekitar yang mengenal

saya, yang tidak dapat saya tuliskan satu-persatu. Skripsi ini adalah bentuk

tanggung jawab saya sebagai salah satu keturunan dari Ki Padmasusastra dan

dengan mengapresiasi karya beliau saya ingin megenalkan kepada dunia bahwa

ada sastrawan daerah dari Surakarta yang memiliki karya yang begitu luarbiasa

menginspirasi.

Yogyakarta, 12 Januari 2019

Penulis

(13)

xii ABSTRAK

Tribuana, Brigitta Gangga. 2019. Dominasi, Hegemoni dan Kekuasaan dalam Serat Rangsang Tuban Karya Ki Padmasusatra. Skripsi Strata Satu (S-1). Yogyakarta: Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengangkat topik tentang “Dominasi, Hegemoni, dan

Kekuasaan dalam Serat Rangsang Tuban Karya Ki Padmasusastra”. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menguraikan struktur cerita dalam serat Rangsang Tuban karya Ki Padmasusastra yang mencakup tokoh, penokohan, dan latar; dan (2) mendeskripsikan dominasi, hegemoni, dan kekuasaan menggunakan prespektif Antonio Gramsci dan Johan Galtung dalam serat Rangsang Tuban karya Ki Padmasusastra. Dalam menguraikan struktur cerita, penulis menggunakan kajian strukturalis. Selain itu, untuk mendeskripsikan dan menganalisa serat tersebut, penulis menggunakan teori dominasi dan hegemoni Antonio Gramsci, serta teori kekuasaan menurut Johan Galtung. Penelitian sastra ini menggunakan paradigma M. H Abrams, yaitu pendekatan objektif dan pendekatan mimetik. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dengan cara metode studi pustaka, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data.

Tokoh utama dalam serat ini adalah Prabu Warsakusuma, Prabu Warihkusuma, dan Raden Udakawimba. Sedangkan tokoh tambahan dalam serat ini adalah Prabu Sindupati, Kyai Umbul Mudal, Endang Wresti, Ki Patih Toyamarta, Ki Tumenggung Jalasenggara, Prabu Hertambang, Dewi Wayi, Kyai Buyut Wulusan atau Kyai Ageng Wulusan, Nyai Buyut Wulusan, Kyai Penghulu, Arya Toyatuli, Raden Lodaka, dan Rara Sendang. Analisis latar dalam serat ini terbagi menjadi tiga, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat dalam serat ini adalah di Negeri Tuban, Gunung Mudal, Banyubiru, Desa Sumbereja, Tirtakandas, dan Gunung Rancakarni. Latar waktu dalam serat ini adalah tahun 1600-an, pada masa kerajaan Tuban, dan latar sosial yang terdapat dalam serat ini adalah kehidupan masyarakat Jawa pada masa Mataram.

Penulis menemukan dominasi, hegemoni, dan kekuasaan di dalam serat ini. Analisis dominasi yang terjadi berujung pada pemberontakan. Terdapat tiga macam hegemoni dalam serat ini, yaitu: (1) hegemoni dalam kebijakan negara, (2) hegemoni dalam pendidikan, dan (3) hegemoni dalam tata cara kenegaraan. Analisis kekuasaan dalam penelitian ini terbagi atas tiga perbedaan, yaitu sebagai berikut: (1) kekuasaan atas diri sendiri dan kekuasaan atas orang lain; (2) kekuasaan ideologi, kekuasaan remeneratif, dan kekuasaan punitif; (3) sumber

kekuasan: “ada”, “memiliki”, dan “kedudukan”. Sumber kekuasaan yang paling

(14)

xiii ABSTRACT

Tribuana, Brigitta Gangga. 2019. Domination, Hegemony, and Power in Romance Rangsang Tuban by Ki Padmasusastra. Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Literature. Faculty of Literature. University of Sanata Dharma.

This research talks about “Domination, Hegemony, and Power in

Romance RangsangTuban by Ki Padmasusastra”. The research wants to (1) describe the srtucture of the story in romance Rangsang Tuban by Ki Padmasusastra, which include personage, personification, and background;

and (2) using Antonio Gramsci and Johan Galtung‟s theories, the research

wants to describe the domination, hegemony, and power in this romance. To describe the structure of the story, the writer uses structuralist study.

Moreover, to describe and to analyze the romance, the writer uses Gramsci‟s theory of domination and hegemony, and Johan Galtung‟s theory of power.

This research uses the paradigm of M.H. Abrams, which is objective approach and mimetic approach.The methods of data collecting in this research are literature review, data analysis, and presentation of the results of data analysis.

The main characters of this romance are Prabu Warsakusuma, Prabu Warihkusuma, and Raden Udakawimba. Meanwhile the additional characters in this romance are Prabu Sindupati, Kyai Umbul Mudal, Endang Wresti, Ki Patih Toyamarta, Ki Tumenggung Jalasenggara, Prabu Hertambang, Dewi Wayi, Kyai BuyutWulusan or Kyai Ageng Wulusan, Nyai Buyut Wulusan, Kyai Penghulu, Arya Toyatuli, Raden Lodaka, and Rara Sendang. There are three backgrounds analysis of this romance, which are background of places, background of time, and background of social. The background of places in this romance areTuban Country, Mudal Mount, Banyubiru, Sumbereja Village, Tirtakandas, and Rancakarni Mount. Background of time in this

romance is year 1600‟s, in the time of Tuban Kingdom. The background of

social in this romance is the life of Javanese people in the era of Mataram. The writer finds domination, hegemony, and power in this romance. There are three kinds of hegemony in this romance, which are (1) hegemony in state policy, (2) hegemony in education, and (3) hegemony in state rules. There are also three kinds of power in this romance, which are (1) the power to oneself and the power to others; (2) the power of ideology, the power of

remunerative, and the power of punitive; (3) the source of power: “being”, “having”, and “position”. The most domination source of power in this

(15)

xiv

1.6.2 Analisis Dominasi, Hegemoni, dan Kekuasaan ... 15

1.7 Metode Penelitian ... 19

1.7.1 Metode Pengumpulan Data ... 20

1.7.2 Metode Analisis Data ... 21

1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ... 21

1.7.4 Sumber Data ... 22

(16)

xv RANGSANG TUBAN KARYA KI PADMASUSASTRA ... 47

3.1 Pengantar ... 47

3.2 Dominasi dan Hegemoni ... 47

3.2.1 Dominasi ... 49

3.2.2 Hegemoni ... 53

3.2.2.1 Hegemoni dalam Kebijakan Negara ... 53

3.2.2.2 Hegemoni dalam Pendidikan ... 55

3.2.2.3 Hegemoni dalam Tata Cara Kenegaraan... 56

3.3 Kekuasaan ... 58

3.3.1 Kekuasaan atas Diri Sendiri dan Kekuasaan atas Orang Lain ... 58

3.3.2 Ideologis, Remuneraif, dan Punitif ... 62

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra adalah karya cipta dari seorang penulis untuk tujuan

estetika kehidupan manusia. Salah satu karya sastra adalah novel. Menurut

Abrams dalam Nurgiyantoro (1995: 9), sebutan novel dalam bahasa Inggris

yang masuk ke Indonesia berasal dari bahasa Itali novella (yang dalam bahasa

Jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti „sebuah barang baru yang

kecil‟, dan kemudian diartikan sebagai „cerita pendek dalam bentuk prosa‟.

Menurut KBBI edisi V (2016), novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di

sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Sedangkan

prosa sendiri adalah karangan bebas (tidak terikat oleh kaidah yang terdapat

dalam puisi), KBBI edisi V (2016).

Objek yang akan menjadi pokok pembahasan dalam skripsi ini adalah

sebuah prosa sastra Jawa modern yang berbentuk serat (bahasa Jawa), dalam

segi penceritaan hampir mirip dengan novel. Serat (bahasa Jawa) berarti sebuah karya sastra yang berisi tentang ajaran-ajaran dari leluhur yang

bertujuan untuk kebaikan. Novel dan serat memiliki perbedaan, di mana novel menceritakan secara detail bagaimana keadaan yang terjadi dalam

(18)

Objek material pada penelitian ini adalah serat Rangsang Tuban karya

Ki Padmasusastra. Serat ini ditulis pertama kali pada tahun 1900

menggunakan tulisan tangan dalam bentuk aksara Jawa, namun baru di

publikasikan pada tahun 1912 oleh Budi Utomo di Surakarta. Pada tahun

1985 Balai Pustaka mengalih aksara Rangsang Tuban ke dalam bahasa Jawa

Latin, serta menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia supaya lebih

mudah dibaca dan dipahami oleh pembacanya. Dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan serat Rangsang Tuban karya Ki Padmasusastra terbitan Balai Pustaka (1985) yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk

menjadi objek pada penelitiannya.

Ki Padmasusastra memproklamasikan dirinya sebagai, „Tiyang mardika

ingkang marsudi kasusastran Jawi ing Surakarta’, artinya „orang merdeka

yang menekuni kesusastraan Jawa di Surakarta‟. Ki Padmasusastra

menyatakan dirinya merdeka karena dia tidak terikat oleh aturan-aturan

keraton seperti gurunya, yaitu Ranggawarsita yang memang keturunan

keraton. Suwardi adalah nama kecil Ki Padmasusastra, beliau lahir di

Kampung Sraten, Surakarta tanggal 21 Maulud 1771 J atau tanggal 20 April

1841 Masehi dan meninggal pada hari Senin Wage tanggal 17 Rajab 1856 J

atau tanggal 1 Februari 1926 Masehi (85 tahun, mengikuti hitungan Jawa),

dengan meninggalkan puluhan karya yang berkualitas. Ki Padmasusastra

tidak hanya seorang penulis sastra fiksi dan sastra wulang (ajar), beliau juga

banyak memperhatikan dunia bahasa, sebenarnya beliau adalah seorang ahli

(19)

Serat Rangsang Tuban, (Padmasusasta, 1985: 6) petikan dari kitab Weddha, karya Empu Manehgunna, kemudian digubah oleh Ki

Padmasusastra. Serat Rangsang Tuban, (Padmasusastra, 1985: 6) mengisahkan tentang dua orang pangeran dari Negeri Tuban yang bernama

Pangeran Warihkusuma dan Pangeran Adipati Anom Warsakusuma. Konflik

awal terjadi ketika Pangeran Adipati Anom Warsakusuma merasa iri kepada

kakaknya Pangeran Warihkusuma yang akan menikah dengan saudara

sepupunya yang bernama Endang Wresti. Kemudian terjadilah penyerangan

dari pangeran Warsakusuma untuk Pangeran Warihkusuma, namun Pangeran

Warihkusuma tidak melawan karena dia merasa malu jika harus berperang

dengan saudaranya sendiri, terlebih bila masalahnya hanyalah

memperebutkan Endang Wresti. Hal ini terdapat dalam kutipan (1) dan (2).

(1) Ringkasnya, sri baginda saat itu masih mampu mempertahankan sikapnya yang wajar terhadap kakaknya, akan tetapi kemudian menyatakan keinginannya utuk langsung kembali ke istana tidak dapat menunggui perkawinan kakaknya karena mendadak badannya merasa kurang enak badan (Padmasusastra, 1985: 11).

(2) Pangeran Warihkusma tidak mau melaksanakan perlawanan karena kuwatir akan menimbulkan kerusakan atau korban di kalangan rakyat. Selain musuh terlampau besar, ia pun merasa malu bermusuhan dengan saudara sendiri hanya karena berebut istri (Padmasusastra, 1985: 13).

Serat Rangsang Tuban karya Ki Padmasusastra dipilih sebagai topik dalam penelitian ini didasarkan alasan sebagai berikut: (i) Novel Rangsang Tuban merupakan serat Jawa yang membuka pintu sastra Jawa untuk pembaca di Indonesia; (ii) Adanya persoalan dalam serat ini, yaitu domiasi,

hegemoni dan kekuasaan yang dapat dilihat dari tokoh-tokoh dalam serat

(20)

prespektif Antonio Gramsci dan teori kekuasaan menurut Johan Galtung,

menurut peneliti serat Rangsang Tuban cocok dianalisis dengan kedua pendekatan tersebut; (iv) Adanya manfaat terhadap hasil penelitian, di mana

peneliti menjadi jembatan antara penulis karya sastra, teks sastra, dan

pembaca sebagai penikmat karya sastra untuk dapat lebih mengenal karya

sastrawan, terutama sastrawan daerah; (v) Belum ada penelitian serat

Rangsang Tuban yang membahas dengan kedua pendekatan tersebut; (vi) Novel Rangsang Tuban digubah oleh sastrawan yang berasal dari daerah Solo, bukan dari pusat Jakarta; dan (vii) Penulis memiliki tanggung jawab

secara biologis, yaitu sebagai salah satu keturunan dari Ki Padmasusastra dan

secara akademis penulis ingin mengapresiasi hasil karya dari sastrawan

daerah, yaitu Ki Padmasusastra.

Dalam penelitian ini, hal pertama yang akan dibahas adalah struktur

cerita dalam serat Rangsang Tuban. Strukturalisme adalah suatu pendekatan penelitian terhadap karya sastra terhadap unsur-unsur yang membentuknya.

Peneliti membatasi dalam mengidentifikasi dan mengkaji unsur intrinsik serat

Rangsang Tuban hanya dengan melihat dari tokoh, penokohan, dan latar yang menjelaskan fungsi antar unsur yang memiliki keterkaitan hubungan

keseluruhan untuk mencapai pemahaman tentang estetik, makna keseluruhan

struktur karya sastra.

Setelah itu, hal kedua yang akan dibahas dalam penelitian tentang serat

(21)

Galtung. Secara literal hegemoni berarti “kepemimpinan”, (Faruk, 2010:

132). Konsep hegemoni menurut Gramsci adalah sesuatu yang lebih

kompleks. Konsep yang digunakan oleh Gramsci berfungsi untuk meneliti

bentuk-bentuk politik, kultural, dan ideologis tertentu. Namun, di dalam

penelitian ini peneliti juga akan mengkalaborasikan antara teori dominasi dan

hegemoni menurut Antonio Gramsci dengan teori kekuasaan menurut Johan

Galtung. Hal ini, karena peneliti menemukan adanya kekuasaan atau

dominasi yang diawali dari sebuah hegemoni dan di akhir cerita terdapat pula

sebuah hegemoni di dalam serat Rangsang Tuban. Perlu diketahui bahwa dominasi adalah bagian dari hegemoni. Dominasi adalah sebuah perlawanan

dan membuat orang yang terdominasi menjadi dirugikan. Sedangkan

hegemoni di sini adalah sebuah tekanan yang mengharuskan pihak yang

terhegemoni menerimanya karena beranggapan bahwa itu merupakan sebuah

takdir dan tidak dapat dilawan.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dapat disusun

rumusan masalah sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimana struktur cerita yang mencakup tokoh, penokohan, dan latar

dalam serat Rangsang Tuban karya Ki Padmasusastra?

1.2.2 Bagaimanakah dominasi dan hegemoni prespektif Antonio Gramsci,

serta kekuasaan menurut Johan Galtung dalam serat Rangsang Tuban

(22)

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun di atas, tujuan

makalah ini adalah sebagai berikut:

1.3.1 Menguraikan struktur cerita dalam serat Rangsang Tuban karya Ki Padmasusastra yang mencakup tokoh, penokohan, dan latar.

1.3.2 Mendeskripsikan dominasi dan hegemoni prespektif Antonio Gramsci,

serta kekuasaan menurut Johan Galtung dalam serat Rangsang Tuban karya Ki Padmasusastra. Hal ini akan dibahas dalam Bab III.

1.4Manfaat Hasil Penelitian

Manfaat hasil penelitian atau kegunaan hasil penelitian dalam serat

Rangsang Tuban karya Ki Padmasusastra dibagi menjadi dua manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis, yaitu manfaat bagi perkembangan disiplin ilmu baik

ilmu bahasa, sastra dan budaya. Dalam penelitian ini peneliti mengemukakan

disiplin ilmu dalam bidang sastra. Beberapa manfaat teoretis yang ada dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.4.1.1Memperkaya kajian sastra Jawa modern dengan teori dominasi dan

hegemoni prespektif Antonio Gramsci.

1.4.1.2Memperkaya kajian sastra Jawa modern dengan teori kekuasaan

(23)

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan profesi

tertentu di luar bidang ilmu bahasa dan sastra (studi budaya dan studi gender).

Beberapa manfaat praktis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1.4.1.3Penulis berharap setiap pembaca memiliki pengetahuan yang mendalam

tentang cerita dalam serat Rangsang Tuban karya Ki Padmasusastra.

1.4.1.4Pembaca dapat mengapresiasi sebuah karya sastra Jawa modern, salah

satunya adalah serat Rangsang Tuban karya Ki Padmasusastra.

1.4.1.5Menambah semangat membaca untuk mempelajari karya sastra,

terutama novel.

1.4.1.6Peneliti mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan

sumbangan bagi siapa saja yang berprofesi dalam bidang pendidikan

maupun sastra untuk mengenal lebih mendalam tentang dominasi dan

hegemoni prespektif Antonio Gramsci, serta kekuasaan menurut Johan

Galtung.

1.4.1.7Memperkenalkan sastrawan asal Surakarta era Hindia Belanda,

bernama Ki Padmasusastra

1.5 Tinjauan Pustaka

Berdasarkan pengamatan penulis sudah ada yang menganalisis serat

Rangsang Tuban karya Ki Padmasustra (versi novel dalam bahasa Jawa) dalam bentuk penelitan berupa jurnal ilmiah, namun penelitian tersebut hanya

(24)

Rangasang Tuban dalam daring. Serta beberapa skripsi yang membahas tentang hegemoni dan kekerasan yang dapat membantu peneliti dalam

menganalisis penelitiannya tersebut. Berikut ini adalah beberapa jurnal ilmiah

dan skripsi yang menjadi bahan bacaan dari peneliti.

Analisis Struktural Novel Rangsang Tuban Karya Padmasusastra dan Pembelajarannya di SMA dalam jurnal yang disusun oleh Isrofi, Program

Studi Pendidikan dan Sastra Jawa, Universitas Muhammadiyah Purworejo.

Hasilnya adalah aspek struktural dalam novel Rangsang Tuban karya Padmasusastra meliputi tema, alur atau plot, tokoh dan penokohan, latar,

judul dan sudut pandang. Pembelajaran novel Rangsang Tuban karya Padmasusastra sesuai Kurikulum 2013 diterapkan pada siswa-siswi SMA

kelas XII semester gasal. Metode pembelajaran yang digunakan adalah

dengan metode diskusi dan tanya jawab. Dalam pelaksanaan pembelajaran,

siswa membaca sinopsis novel Rangsang Tuban karya Padmasusastra, selanjutnya siswa mendiskusikan secara berkelompok dan

mengemukakannya.

Kajian Sosiologi dalam novel Rangsang Tuban Karya Padmasusastra dalam jurnal yang disusun oleh Kurniawan, Program Studi Pendidikan dan

Sastra Jawa, Univeritas Muhammadiyah Purworejo. Hasilnya adalah unsur

intrisik novel Rangsang Tuban karya Padmasusastra, yang terdiri dari tema utama, tokoh dan penokohan, alur maju, latar. Aspek sosial dalam novel,

yang terdiri dari aspek kekerabatan, aspek perekonomian, aspek politik, aspek

(25)

ke dalam aspek kekerabatan dan aspek perekonomian. Serta ada pula

moralitas dalam novel Rangsang Tuban Karya Padmasusastra, yaitu hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan antar manusia dengan

lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan.

Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni dalam Novel Kuil di Dasar Laut Karya Seno Joko Suyono: Prespektif Antonio Gramsci, merupakan sebuah

Skripsi oleh Homba, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, pada Juli 2016.

Hasilnya adalah peneliti menemukan perlawanan keras yang dilakukan

dengan cara menerbitkan petisi dan aksi demonstrasi; perlawanan pasif yang

dilakukan melalui cara tapak tilas dan tirakat, menantang maut, dan mencari

ketenangan di luar negeri; perlawanan humanistik yang dilakukan melalui

negosiasi dengan penguasa; perlawanan metafisik yang dilaksanakan melalui

perjalanan spiritual ke pepunden-pepunden untuk mencari wahyu tandingan

melawan Soeharto.

Skripsi oleh Wiharjo, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, pada

tahun 2018 yang berjudul Bentuk-Bentuk Hegemoni dan Counter-Hegemoni dalam Novel Entrok Karya Okky Mandasari Prespektif Antonio Gramasci. Hasilnya adalah peneliti menemukan tahap bentuk-bentuk hegemoni

masyarakat sipil, para pemimpin yang berkuasa penuh terhadap masyarakat

sipil. Sementara tahapan bentuk hegemoni dalam masyarakat politik adalah

ancaman atasan terhadap bawahan, cara mempertahankan kekuasaan, dan

(26)

Skripsi oleh Utami, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, pada

Januari 2018 yang berjudul Kekerasan Struktural dan Personal dalam Novel

Candik Ala 1965 Karya Tinuk R. Yampolsky. Hasilnya adalah peneliti

menemukan tiga jenis kekerasan struktural, yaitu (1) kekerasan strukturan

yang dialami oleh simpatisan PKI, (2) kekerasan struktural terhadap

masyarakt sipil pada masa orde baru, dan (3) kekerasa struktural terhadap

masyarakat sipil di Kamboja. Peneliti juga menemukan empat jenis kekerasan

persolan, yaitu (1) kekerasan personal terhadap anggota oraganisasi

kepemudaan, (2) kekerasan terhadap simpatisan PKI, (3) kekerasan personal

terhadap wanita, dan (4) kekerasan personal terhadap waga sipil di Kamboja.

Bentuk kekerasan yang mendominasi kekerasan personal pada novel tersebut,

yaitu (1) cara yang digunakan adalah menggunakan badan manusia itu

sendiri, (2) bentuk organisasinya adalah TNI, dan (3) sasaran pendekatannya

berbentuk anatomis.

Meski demikian, penulis ingin mendalami atau lebih fokus pada unsur

intrinsik, dominasi, hegemoni, dan kekuasaan yang terdapat dalam serat

Rangsang Tuban karya Padmasusastra, karena analisis sebelumya yang ditemukan penulis sebagian besar menggunakan sosiologi sastra dan hanya

(27)

1.6Kerangka Teori

1.6.1 Analisis Struktural

Sebuah karya sastra memiliki sebuah unsur pembangun yang tersusun

atas unsur-unsur intrinsik (intrinsic). Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita

(Nurgiyantoro, 1998: 23). Struktur tersebut dapat dilakukan dengan analisis

struktural. Analisis Struktural karya sastra, dilakukan dengan mendefinisikan,

mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan antar unsur intrinsik fiksi yang

bersangkutan.

Nugiyantoro (1998: 37) menjelaskan bahwa analisis struktural

bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar

berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah

kemenyeluruhan. Tahap awal dapat diidentifikasi dan dideskripsikan,

misalnya bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan,

latar, sudut pandang. Barulah dijelaskan bagaimana fungsi-fungsi dari

masing-masing unsur itu dalam menunjang makna keseluruhan dan

membentuk totalitas kemaknaan yang padu.

Analisis struktural dalam serat Rangsang Tuban ini akan berfokus pada

tokoh dan penokohan; latar yang terdiri dari latar tempat, latar waktu dan latar

sosial. Hal ini bertujuan agar penelitian lebih efektif dan efisien, maka

diperlukan batasan-batasan sesuai dengan kebutuan penelitian. Hasil dari

analisis tokoh, penokohan dan latar akan memudahkan peneliti dalam

(28)

dominasi dan hegemoni prespektif Antonio Gramsci, serta kekuasaan

menurut Johan Galtung dalam serat Rangsang Tuban.

1.6.1.1Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah pelaku cerita. Tokoh adalah individu rekaan yang

mengalami sebuah peristiwa atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa

cerita. Nurgiyantoro (1998: 165) istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya,

pelaku cerita, misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah

tokoh utama novel itu?”, atau “Ada berapa orang jumlah pelaku novel itu?”,

atau “Siapakah tokoh protagonis dan anatagonis dalam novel itu?”, dan

sebagainya.

Tokoh cerita (character), menurut Abrams (1981:20) dalam Nurgiyantoro (1998: 165-166), adalah orang(-orang) yang ditampilkan dalam

suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki

kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam

ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dari kutipan tersebut juga

dapat diketahui bahwa antara seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat

berkaitan dalam penerimaan pembaca. Dalam hal ini, khususnya dari

pandangan teori resepsi, pembacalah sebenarnya yang memberi arti

semuanya. Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu dilakukan

berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain (nonverbal). Pembedaan

antar tokoh yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh kualitas pribadi

(29)

Penokohan adalah hal-hal yang berkaitan dengan tokoh. Meliputi

permasalahan karakterisasi penggambaran tokoh cerita, dan metode pelukisan

tokoh. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang

yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Penokohan dan karakterisasi sering

juga diartikan dengan karakter dan perwatakan, menunjuk pada penerapan

tokoh-tokoh tertentu dengan watak tertentu dalam sebuah cerita.

Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam

beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu

dilakukan. Berdasarkan perbedaan sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh

dapat saja dikategorikan ke dalam beberapa jenis penamaan sekaligus,

misalnya sebagai tokoh utama-protagonis-berkembang-tipikal (Nurgiyantoro,

1998: 176).

Penelitian ini berfokus pada tokoh utamanya saja, hal tersebut karena

banyaknya tokoh yang terdapat dalam serat Rangsang Tuban, namun tokoh-tokoh tambahan dalam serat ini juga sangat berpengaruh terhadap jalannya

cerita. Dalam serat ini terdapat tiga tokoh utama yang menjadi pusat dan

penggerak dalam alur cerita secara keseluruhan.

1.6.1.1.1 Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan dalam sebuah penceritaan

novel yang bersangkutan. Tokoh utama selalu hadir atau paling banyak

(30)

perkembngan plot. Tokoh utama dalam sebuah novel bisa lebih dari satu

orang.

Sedangakan tokoh tambahan adalah tokoh yang memegang peran

sebagai pelengkap atau sebagai tambahan dalam seluruh jalan cerita novel.

Tokoh tambahan muncul menurut kebutuhan cerita dalam novel. Pemunculan

tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita terbilang lebih sedikit, tidak terlalu

dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh

utama, baik secara langsung maupun tidak langsung.

1.6.1.2Latar

Latar atau setting mengandung pengertian sebagai tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial termpat terjadinya peristiwa yang diceritakan.

Latar dikelompokkan bersama dengan tokoh dan penokohan, ke dalam fakta

(cerita) karena ketiga hal tersebut yang akan dialami dan dapat menjadi

imajinasi pembaca secara faktual jika membaca sebuat cerita fiksi. Latar

memberikan kesan realistik dan sungguh-sungguh terjadi. Penelitian ini

berfokus pada latar tempat, latar waktu dan latar sosial saja.

1.6.1.2.1 Latar Tempat

Latar tempat adalah lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam

sebuah cerita fiksi. Menurut Nurgiyantoro (1998: 227), penggunaan tempat

dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau paling tidak tak

(31)

1.6.1.2.2 Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya

peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu

dalam cerita fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika dikerjakan

dengan teliti, khususnya jika dihubungkan dengan waktu sejarah.

1.6.1.2.3 Latar Sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku

kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya

fiksi (Nurgiyantoro, 1998: 233). Kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,

keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap merupakan masalah

dalam lingkup yang cukup kompleks.

Latar sosial berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan,

seperti rendah, menenengah, dan atas. Latar sosial dapat dipandang atau

menggambarkan suasana kedaerahan, local color, warna setempat daerah tertentu melalui kehidupan sosial masyarakat. Masalah penamaan

tokoh-tokoh juga berhubungan dengan latar sosial. Status sosial adalah salah satu

hal yang perlu diperhitungkan dalam pemilihan latar dalam cerita fiksi. Latar

sosial.

1.6.2 Analisis Dominasi, Hegemoni, dan Kekuasaan

Peneliti menggunakan dua kajian dalam analisis serat Rangsang Tuban

(32)

prespektif Antonio Gramsci, serta teori kekuasaan menurut Johan Galtung.

Kedua teori tersebut digunakan untuk menganalisis beberapa strategi

kekuasaan yang terdapat dalam serat Rangsang Tuban yang diawali dari sebuah hegemoni, kemudian terdapat dominasi-dominasi kekuasaan yang ada

di dalamnya, dan diakhir cerita ditutup dengan hegemoni.

1.6.2.1Dominasi dan Hegemoni Perspekif Antonio Gramsci

Hegemoni adalah sebuah dominasi oleh satu kelompok yang lain, tanpa

ancaman kekerasan, sebagai ide-ide yang dituntun oleh kelompok dominasi

terhadap kelompok yang didominasi atau dikuasai, diterima sebagai sesuatu

yang wajar dan tidak memberatkan. Hegemoni membuat masyarakat percaya

dengan prinsip-prinsip, aturan-aturan dan hukum yang dianggap dapat

mensejahterakan bersama, meskipun sebenarnya tidak. Menurut Faruk (2010:

144), Gramsci berpegang teguh pada penyatuan kedua aspek tersebut secara

bersama-sama. Salah satu cara yang di dalamnya “pemimpin” dan “dipimpin”

disatukan adalah lewat “kepercayaan-kepercayaan populer”.

Istilah hegemoni diturunkan dari istilah Yunani, hegeisthai yang berarti

kepemimpinan (Sehandi, 2016: 188). Konsep hegemoni banyak digunakan

oleh sosiolog untuk menjelaskan fenomena terjadinya usaha untuk

mempertahankan kekuasaan oleh pihak penguasa. Penguasa tidak hanya

terbatas pada penguasa negara (pemerintah). Teori hegemoni digunakan

untuk memahami model kekuasaan, tetapi bukan atas dasar pemaksaan,

(33)

Hegemoni adalah suatu dominasi kekuasaan suatu kelas sosial atas

kepada kelas sosial lainnya melalui kepemimpinan intelektual dan moral yang

dibantu dengan dominasi atau penindasan. Hegemoni mendefinisikan sifat

kompleks dari hubungan antar masyarakat dengan kelompok-kelompok

pemimpin masyarakat. Pemimpin dan yang dipimpin disatukan lewat

kepercayaan-kepercayaan populer.

Ada tiga tahapan hegemoni menurut Gramsci dalam Faruk (2010: 137),

yaitu (1) dominasi, (2) kepemimpinan intektual, dan (3) hegemoni.

Kepemimpinan intelektual dan hegemoni di sini dapat diasatukan karena

memiliki arti yang hampir sama. Sedangkan dominasi berdiri sendiri karena

dominasi adalah bagian dari hegemoni tersebut. Menurut Faruk (2010: 135),

kekerasan adalah cara dominasi, yaitu penamaan kekuasaan dari kelas yang

berkuasa terhadap kelas yang tertindas dengan cara paksa, dengan melibatkan

aparat-aparat kekerasan seperti polisi dan sejenisnya, sedangkan kesetujuan

adalah cara hegemoni, yaitu penamaan kekuasaan yang sama, tetapi yang

dilakukan untuk mencapai kesepakatan dari kelas yang dikuasai, penerimaan

yang ikhlas dari kelas itu.

Menurut Gramsci dalam Taum (2015: 37), untuk melestarikan

kekuasaan, dominasi harus dilengkapi dengan hegemoni. Hegemoni adalah

asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang membentuk makna dan mendefinisikan

(34)

1.6.2.2Teori Kekuasaan Menurut Johan Galtung

Kekuasaan adalah kemampuan atau wewenang untuk menguasai orang

lain, memaksa dan mengendalikan mereka sampai mereka patuh, mencampuri

kebebasannya, dan memaksakan tindakan-tindakan dengan cara yang khusus

(Windhu, 1992: 32). Kekuasaan (power) sebagai sebuah konsep yang paling dasar dan kaya dalam ilmu politik.

Konsep kekuasaan dibangun dalam sebuah relasi yang tidak seimbang.

Hal ini, memperlihatkan perbedaan antara otoritas atau wewenang dengan

kekuasaan. Kekuasaan lebih cenderung menaruh kepercayaan kepada

kekuatan. Sedangkan, otoritas adalah sebuah kekuasaan yang dilegitimasikan

yang telah mendapat pengakuan umum. Konsep kekuasaan Galtung betolak

dari prinsip hidup manusia, yaitu “ada” (being) dan “memiliki” (having)

(Windhu, 1992: 34). Kekerasan terjadi karena ada relasi yang tidak seimbang.

Ketidakseimbangan itu terjadi karena adanya perbedaan dalam segi ada,

memiliki dan kedudukan dalam struktur sosial.

Kekuasaan sering disebut dengan dominasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam daring, arti kata dominasi adalah penguasa oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lemah (dalam bidang politik,

militer, ekonomi, perdagangan, olahraga, dan sebagainya). Kekuasaan sama

halnya dengan dominasi namun berbeda arti dengan hegemoni.

Ada tiga dimensi kekuasaan yang dijabarkan oleh Galtung, (1)

“kekuasaan atas diri sendiri” dan “kekuasaan atas orang lain”, (2) tiga tipe

(35)

sumber kekuasaan, yaitu “ada”, “memiliki”, dan “kedudukan” manusia dalam

struktur sosial.

1.7Metode Penelitian

Metode berasal dari kata methodos (bahasa Latin), yang berakar dari kata meta (menuju, melalui, mengikuti) dan hodos (jalan, cara, arah). Metode

merupakan cara, strategi untuk memahami realitas, sebuah langkah-langkah

yang sistematis agar dapat memecahkan rangkaian sebab akibat. Secara

konkret, metode merupakan cara mengumpulkan data, menganalisis data, dan

menyajikan data yang dianalisis.

Paradigma penelitian sastra yang digunakan dalam penelitian ini adalah

paradigma M. H Abrams. Abrams membagi kritik sastra menjadi empat

pendekatan, yaitu: (1) pendekatan objektif, (2) pendekatan ekspresif, (3)

pendekatan mimetik, dan (4) pendekatan pragmatik. Dalam penelitian sastra

ini, penulis hanya memfokuskan pada dua pendekatan saja yaitu, pada

pendekatan objektif dan pendekatan mimetik. Pada pendekan objektif yang

membahas tentang struktur cerita yang mencakup tokoh, penokohan dan latar

yang terdiri dari latar tempat, latar waktu dan latar sosial. Sedangkan

pendekatan mimetik yang mencakup dua teori, yaitu teori Antonio Gramsci

yang membahas tentang dominasi dan hegemoni, serta teori dari Johan

Galtung yang membahas tentang kekuasaan yang terdapat dalam serat

(36)

Metode penelitian adalah cara atau prosedur yang akan ditempuh oleh

peneliti dalam memecahkan masalah dalam penelitian. Penelitian ini akan

melalui tiga tahap, yaitu metode pengumpulan data, metode analisis data, dan

metode penyajian hasil analisis data. Berikut ini akan diuraikan

masing-masing tahap serta sumber data yang diperoleh peneliti dalam melaksanakan

penelitian, kemudian akan dijabarkan pula sumber data yang diperoleh

peneliti dalam melaksanakan penelitian.

1.7.1 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data merupakan proses pengambilan data, agar

data yang diambil dapat mewakili dan dapat memudahkan proses analisis

dalam sebuah penelitian. Metode yang digunakan dalam analisis serat

Rangsang Tuban adalah dengan studi pustaka. Peneliti menggunakan teknik baca dan teknik studi pustaka. Teknik baca digunakan oleh peneliti untuk

membaca serat Rangsang Tuban dan teori-teori yang berkaitan dengan penelitian. Hasil bacaan akan dicatat dan menghasilkan data. Hasil catatan

tersebut adalah poin-poin yang berkaitan dengan tokoh, penokohan, latar, dan

stategi kekuasaan hegemoni yang terdapat dalam serat Rangsang Tuban.

Metode studi pustaka digunakan untuk mendapatkan data serta

beberapa referensi yang akurat untuk menganalisis serat Rangsang Tuban dengan teori yang akan digunakan. Studi pustaka berkaitan dengan objek

(37)

1.7.2 Metode Analisis Data

Metode analisis data berupa deskripsi tentang tokoh, penokohan, dan

latar. Setelah data terklasifikasi, data tersebut akan dirumuskan dalam stategi

dominasi, hegemoni, dan kekuasaan. Analisis mengenai tokoh, penokohan,

dan latar (latar tempat, latar waktu dan latar sosial) yang sangat penting

untuk membantu peneliti dalam mengaitkan bentuk-bentuk strategi dominasi,

hegemoni, dan kekuasaan yang ada dengan konteks latar tempat, latar waktu,

dan latar sosial yang ada dalam serat Rangsang Tuban.

Metode analisis data dalam penelitian ini akan dirumuskan dengan

analisis isi dan analisis formal. Metode analisis isi atau analisis konten akan

mengungkapkan isi dari karya sastra yang dianalisis sebagai bentuk

komunikasi antara pengarang dan pembaca karya sastra. Sedangkan metode

formal atau struktural, peneliti menganalisis unsur-unsur yang ada dalam

karya sastra tersebut.

1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Metode penyajian hasil analalisis data dalam penelitian ini akan

dirumuskan secara deskriptif, kualitatif. Hasil analisis data akan berupa

pemaknaan sebuah karya sastra yang disajikan secara deskriptif. Metode

penyajian hasil analisis secara kualitatif merupakan cara penyajian hasil

analisis data dengan memanfaatkan penafsiran menggunakan menyajikan

sebuah penelitian ke dalam bentuk deskriptif. Fakta sosial yang sebagaimana

(38)

1.7.4 Sumber Data

Sumber data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sumber data

tertulis yang memuat informasi yang berkaitan dengan topik penelitian.

Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari dua sumber data,

yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

1.7.4.1Sumber Data Primer

Penelitian ini merupakan penelitian sastra, maka sumber datanya berupa

karya sastra Jawa modern (serat), yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia. Berikut ini rincian sumber datanya.

Judul : Rangsang Tuban

Pengarang : Ki Padmasusastra

Penerbit : Balai Pustaka

Tahun Terbit : 1985

Tebal Buku : 160 halaman

Alih Aksara : Mulyono Sastronaryatmo

Alih Bahasa : Sudibjo Z. Hadisutjipto

1.7.4.2Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder dalam penelitian ini meliputi karangan ilmiah

akademis baik dalam bentuk buku maupun daring (dalam jaringan). Sumber

(39)

1.8Sistematika Penyajian

Penelitian ini akan dibagi ke dalam empat (IV) bab. Pada Bab I berisi

pendahuluan yang terdiri atas, latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode

penelitian, dan sistematika penyajian. Pada Bab II akan dibahas struktur cerita

secara pendekatan struktural yaitu unsur intrinsik yang terdiri dari tokoh,

penokohan, dan latar (tempat, waktu, dan sosial) dalam serat Rangsang Tuban. Selanjutnya pada Bab III akan dianalisis mengenai dominasi, hegemoni, dan kekuasaan yang terdapat dalam serat Rangsang Tuban. Terakhir adalah Bab IV berupa penutup yang berisi kesimpulan dan saran dari

(40)

24 BAB II

ANALISIS STRUKTUR CERITA DALAM SERAT RANGSANG TUBAN KARYA KI PADMASUSASTRA

2.1 Pengantar

Analisis Sturktural yang akan dipaparkan dalam serat Rangsang Tuban

ini akan berfokus pada tokoh dan penokohan; serta latar yang terdiri dari latar

tempat, latar waktu dan latar sosial. Hasil dari analisis unsur intrinsik tokoh,

penokohan, dan latar ini akan memudahkan peneliti merumuskan ke dalam

rumusan masalah selanjutnya, yaitu tentang dominasi dan hegemoni

prespektif Antonio Garamsci, serta teori kekuasaan menurut Johan Galtung.

2.2 Tokoh dan Penokohan

Tokoh adalah pelaku cerita. Tokoh adalah individu rekaan yang

mengalami sebuah peristiwa atau perlakuan di dalam berbagai peristiwa

cerita. Penokohan adalah hal-hal yang berkaitan dengan tokoh. Meliputi

permasalahan karakterisasi penggambaran tokoh cerita, dan metode pelukisan

tokoh.

Tokoh-tokoh dalam serat Rangsang Tuban antara lain, Prabu Sindupati,

Prabu Warihkusuma, Prabu Warsakusuma, Kyai Umbul Mudal, Endang

Wresti, Raden Udakawimba, Ki Patih Toyamarta, Ki Tumenggung

Jalasengara, Prabu Hertambang, Dewi Wayi, Kyai Buyut Wulusan atau Kyai

(41)

Lodaka dan Rara Sendang. Nama-nama tokoh dalam serat Rangsang Tuban banyak menggunakan nama-nama orang Jawa pada masa Mataram.

2.2.1 Tokoh Utama

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritanya dalam novel

yang bersangkutan sesuai dengan jalannya cerita. Tokoh utama selalu hadir

sebagai pelaku, atau yang dikenai kejadian dan konflik penting yang

mempengaruhi perkembangan plot. Terdapat tiga tokoh utama dalam serat

Rangsang Tuban yaitu Prabu Warsakusuma, Prabu Warihkusuma dan Raden Udakawimba. Ketiga tokoh tersebut dikategorikan menjadi tokoh utama

karena intensitas kemunculan mereka cukup banyak dibanding dengan

tokoh-tokoh yang lain.

2.2.1.1Prabu Warsakusuma

Prabu Warsakusuma merupakan anak kedua dari Prabu Sindupati

dengan seorang permaisuri, putri seorang raja. Prabu Warsakusuma berperan

sebagai tokoh utama yang digambarkan sebagai tokoh yang memicu

timbulnya konflik awal dalam cerita. Awalnya Prabu Warsakusuma sangat

sayang dan manja terhadap kakaknya Prabu Warihkusuma, menganggap

seolah-olah seperti ayahnya sendiri. Namun setelah Prabu Warsakusuma

bertemu dengan calon istri dari kakaknya, dia merasa jatuh hati kepada

(42)

menjadi berubah dan sangat kejam terhadap Prabu Warihkusuma. Hal

tersebut terdapat dalam kutipan (3) dan (4).

(3) Sang Prabu seketika itu hatinya berubah menjadi benci terhadap kakaknya. Ia merasa kalah tampan, dan merasa bahwa sang putri sama sekali tidak mengimbangi perhatiannya. Bahkan melihatnya pun tidak (Padmasusastra, 1985: 11).

(4) Matanya melotot, wajahnya merah membara memperhatikan kebengisannya, seolah-olah akan menyala (Padmasusastra, 1985: 13).

Sikap egois dan jahatnya semakin terlihat ketika Raden Warsakusuma

melakukan segala cara untuk mendapatkan Endang Wresti, termasuk

menangkap kakaknya dan mengadakan pemberontakan. Bukan hanya itu,

Prabu Warsakusuma juga berniat untuk membunuh Parabu Warihkusuma

agar dia dapat memiliki Edang Wresti seutuhnya. Hal tersebut terdapat dalam

kutipan (5) dan (6).

(5) Sri baginda sangat murka, lalu memanggil senapati perang Ki Tumenggung Jalasengara, diutus segera kembali ke Mudal membawa bala tentaranya untuk menangkap Pangeran Warihkusuma, Kyai Umul sekeluarga, dan membakar seluruh perumahan mereka. Dakwaannya ialah: Sang Pangeran hendak mengadakan pemberontakan

(Padmasusastra, 1985: 12).

(6) “Uwa Patih. Pergilah engkau ke penjara, lalu bunuhlah kakanda

Warihkusuma. Karena saya sudah mendengar dengan jelas dari abdi kekasih saya bahwa kakanda ingkar janji. Sikapnya berubah, dan berniat

melakukan pemberontakan melawan kekuasaanku. Pergilah segera!”

(Padmasusastra, 1985: 14).

Prabu Warsakusuma tidak dapat menahan asmaranya terhadap Endang

Wresti, niatnya ingin menghibur kesedihan Endang Wresti namun dia selalu

ditolak dengan kata-kata pedas. Keinginan Prabu Warasakusuma untuk

memiliki Endang Wresti sangat besar dia pun melakukan segala hal sampai

(43)

sengaja Prabu Warsakusuma terbunuh dengan cara tertusuk dengan patram,

karena memang pada saat itu Endang Wresti sedang menggenggam patram.

Hal tersebut terdapat dalam kutipan (7) dan (8).

(7) “Kamu memang raja durhaka dan terkutuk di dunia. Kamu tidak tahu

malu, berwatak nista, sampai hati membunuh saudara karena hendak merebut tunangannya. Kamu hanya akan menyentuh tubuhku jika aku sudah menjadi bangkai. Nah, cobalah jika engkau bener-benar seorang

perwira. Terimalah patramku, sesudah itu podonglah aku.”

(Padmasusastra, 1985: 17).

(8)Sang dewi diperkosa dan tidak kuat melawan. Maklumlah tenaga perempuan menghadapi laki-laki perkasa. Sang dewi semakin sedih dan pilu karena pemerkosaan itu, ia terpaksa diam saja ambil memandang sri baginda. Melihat dirinya selalu dipandang oleh sang dewi, sri baginda mersa mendapat hati, dan lupa bahwa sang dewi masih menggenggam patram di tangannya. Ketika sang dewi dipeluk dan dibantai dengan tangan, ditikamnya sang baginda tepat di ulu hatinya, tembuh sampai ke punggung, langsung meninggal tanpa mengeluh (Padmasusastra, 1985: 17).

2.2.1.2Prabu Warihkusuma

Prabu Warihkusuma merupakan anak pertama dari Prabu Sindupati

dengan istri biasa. Prabu Warihkusuma merupakan salah satu tokoh utama

dalam novel Rangsag Tuban. Prabu Warihkusuma merupakan tokoh yang sering muncul dalam penceritaan, dialah tokoh yang menjalankan alur dalam

cerita. Prabu Warihkusuma adalah seorang laki-laki yang tampan, tenang dan

berwibawa. Prabu Warihkusuma belum beristri, namun sejak kecil sudah

bertunangan dengan saudara sepupunya yang bernama Endang Wresti. Hal

tersebut terdapat dalam kutipan (9).

(44)

Prabu Warihkusuma tidak jadi menikah dengan Endang Wresti karena

Prabu Warsakusuma yang iri dengan dirinya. Prabu Warsakusuma akhirnya

membatalkan pernikahan kakaknya itu dengan cara melakukan pemberontakn

saat menjelang upacara temu pengantin. Melihat hal itu Prabu Warihkusuma

juga tidak melawan, dia merasa malu bermusuhan dengan saudaranya sendiri

hanya karena berebut istri. Hal tersebut sudah dipaparkan dalam latar

belakang pada kutipan (2) .

Prabu Warihkusuma dimasukkan ke dalam penjara dan dituduh akan

melakukan suatu pemeberontakan terhadap kekuasaan adiknya dan dia pun

hendak dibunuh oleh Ki Patih suruhan Prabu Warsakusuma. Pemikiran Prabu

Warihkusuma yang tenang, diapun pasrah dengan apa yang akan dihadapinya.

Hal tersebut terdapat dalam kutipan (10) dan (11).

(10)Hati Sang Pangeran terasa pilu karena hendak dibunuh dengan tuduhan melakukan pemberontakan. Dengan suara tersedat-sendat ia bertanya,

“Uwa. Apakah Anda berserta para menteri sudah mempertimbangkan

masak-masak mengenai tuduhan terhadap saya, yang dituduh memberntak? Lagi pula apakah hasil musyawarah itu memutuskan

hukuman bagi saya?” (Padmasusastra, 1985: 15).

(11)“Kata-kata atau pertanyaan Sang Pangeran itu tidak ada manfaatnya.

Segala sesuatu yang sudah saya lakukan, lebih-lebih yang saya lakukan secara pribadi, sudah pasti menggunakan pikiran yang tenang. Tidak

membabi buta. Tidak ngawur.” (Padmasusastra, 1985: 15).

Kembalinya Prabu Warihkusuma ke Negeri Tuban menyisakan dendam

terhadap adiknya dan dendam tersebut berimbas terhadap keturunan dari

Raden Warsakusuma, yaitu Raden Udakawimba. Dendam masalalu Prabu

(45)

dengan Raden Udakawimba. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (12), (13),

(14), dan (15).

(12)Akan tetapi di dalam hati ia sangat tidak senang terhadap anak tirinya, Raden Udakawimba. Putra Tirinya itu dianggap sebagai tunggal pohon kemanduh. Walaupun demikian perasaannya itu dipendamnya sehingga kemasgulannya tidak tampak (Padmasusastra, 1985: 40).

(13)Adapun keinginan raja ialah hendak melenyapkan Raden Udakawimba (Padmasusastra, 1985: 41).

(14)Nyatanya ia sangat dibenci oleh ayahandanya, dan sering kali dikata-katai dengan ucapan-ucapan yang menyakiti hati, yakni diumpat sbagai keturunan raja angkara (Padmasusastra, 1985: 41).

(15)Prabu tidak menunjukkan perhatianya. Malah menyatakan agar para utusan menutup mulut. Jangan lagi membicarakan hilangnya rajaputra (Padmasusastra, 1985: 42).

Prabu Warihkusuma menjadi pengecut, dia melarikan diri dari Negeri

Tuban karena penyerangan yang dikakukan oleh Raden Udakawimba

terhadap Negeri Tuban. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (16).

(16)Kini diceritakan kembali Prabu Warihkusuma, yang melarikan diri dari medan perang. Ia mengira negerinya sudah diduduki musuh. Apakah musuhnya itu Raden Udakawimba atau orang lain belumlah pasti. Akan tetapi ia sudah pasrah , dan sudah mengambil keputusan yang bulat hendak menjadi seorang biku, lalu meneruskan perjalanannya dengan menyimpang (Padmasusastra, 1985: 70)

2.2.1.3Raden Udakawimba

Raden Udakawimba merupakan salah satu tokoh utama dalam novel

Rangsang Tuban. Raden Udakawimba adalah anak dari Dewi Endang Wresti dengan Prabu Warsakusuma. Perbuatan Prabu Warsakusuma terhadap Dewi

Endang Wresti membuat sang dewi mengandung dan melahirkan bayi

(46)

Udakawimba yang akan menggantikan tahta ayahandanya, Parabu

Warsakusuma. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (17) dan (18).

(17)Dalam pada itu ternyata sang dewi mengandung. Setelah tiba waktunya ia melahirkan seorang bayi laki-laki. Bayi itu diberi nama oleh Ki Patih: Raden Udakawimba. Anak itu cepat menjadi besar. Hal itu membuat hati Ki Patih Toyamarta merasa tenang, mengingat sang dewi telah melahirkan anak laki-laki (Padmasusastra, 1985: 19).

(18)Pikir Ki Patih, jika sekiranya yang mencari Pangeran Warihkusuma tidak berhasil menemukannya, kelak Raden Udakawimbalah yang diangkat

menggantikan ayahandanya, Prabu Warsakusuma, jika telah dewasa.”

(Padmasusastra, 1985: 19).

Raden Udakawimba memang kurang dekat dengan ibundanya. Sejak

kecil ia diasuh oleh Ki Patih Toyamarta. Kembalinya Prabu Warihkusuma ke

Negeri Tuban membuat Raden Udakawimba kebingungan, ia dibenci dan

sering dikata-katai dengan ucapan yang menyakti hati, hal tersebut sudah

dipaparkan dalam kutipan (13).

Raden Udakawimba merupakan anak yang memiliki wajah yang

menarik, cerdas, mahir dalam hal membangun, dan gagasannya sangat luas.

Hal tersebut terdapat dalam kutipan (19), (20), (21), dan (22).

(19) “Kyai Penghulu senang melihat rupa Raden Udakawimba. Bagus,

walaupun masih anak-anak namun menarik hati.” (Padmasusastra, 1985: 43).

(20) “Raden Udakawimba memang mahir dalam hal bangun-bangunan.

Dalam hati ia berkata, seandainya ada biaya dan tenanganya ia akan sanggup membuat sebuah benteng yang sentosa dan sulit dipecahkan musuh. (Padmasusastra, 1985: 44).

(21) “Selagi masih kanak-kanan saja Raden Udakawimba sudh mempunyai

gagasan seperti itu.” (Padmasusastra, 1985: 44).

(22) “Raden Udakawimba duduk bersila dengan sopan. Kyai Ageng

Wulusan merasa senang melihat rupa Raden Udakawimba. Bagus, menarik, raut wajahnya pun manis, beasusila, tajam pandangan

(47)

Meskipun sudah menikah dengan Rara Sendang dan hidup sejahtera di

desa Sumbereja, Raden Udakawimba belum merasa puas jika belum

membalas perbuatan dari pamannya Prabu Warihkusuma. Hal tersebut

terdapat dalam kutipan (23).

(23)“Raden Udakawimba sudah hidup dengan sejahtera. Akan tetapi hatinya

belum merasa puas jika ia belum dapat membalas dendam kepada uaknya. Lama sudah Raden Udakawimba mempersiapkan diri menyusun

kekuatan bala tentara.” (Padmasusastra, 1985: 67).

2.2.2 Tokoh Tambahan

Tokoh tambahan adalah tokoh yang memegang peran sebagai

pelengkap atau sebagai tambahan dalam seluruh jalan cerita novel. Tokoh

tambahan muncul menurut kebutuhan cerita dalam novel. Pemunculan tokoh

tambahan dalam keseluruhan cerita terbilang lebih sedikit, tidak terlalu

dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh

utama, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Tokoh tambahan dalam serat Rangsang Tuban ini terbilang cukup banyak. Sebagian besar tokoh tambahan dalam serat ini sangat berpengaruh

dengan tokoh utamanya. Tokoh tambahan dalam serat ini yaitu Prabu

Sindupati, Kyai Umbul Mudal, Endang Wresti, Ki Patih Toyamarta, Ki

Tumenggung Jalasengara, Prabu Hertambang, Dewi Wayi, Kyai Buyut

Wulusan atau Kyai Ageng Wulusan, Nyai Buyut Wulusan, Kyai Penghulu,

Arya Toyatuli, Raden Lodaka dan Rara Sendang. Berikut ini akan dipaparkan

(48)

2.2.2.1Prabu Sindupati

Prabu Sindupati merupakan seorang maharaja di Negeri Tuban. Prabu

Sindupati adalah orang yang keperwiraan, keberanian dan keahliannya

menerapkan siasat dalam perang, membuat para raja yang belum dikuasi oleh

Negeri Tuban merasa takut. Prabu Sindupati beristrikan sembilan puluh

sembilan orang, namun hanya mempunyai dua orang putra yang bernama

Raden Warihkusuma dan Raden Warsakusuma. Sri Baginda bertahta selama

lima puluh tahun, dan mencapai usia 75 tahun, sampai pada suatu ketika

seluruh tubuhnya merasa sakit. Sri baginda telah merasa akan akhir hayatnya,

dan akhirnya meninggal dunia.

2.2.2.2Kyai Umbul Mudal

Kyai Umbul Mudal adalah ayah dari Endang Wresti. Meraka tinggal di

Gunung Mudal. Kyai Umubul Mudal sangat hormat kepada Raden

Warihkusuma dan Ki Patih Toyamarta. Hal tersebut terdapat dalam kutipan

(24).

(24)Kyai Umbul Mudal berdatang sembah, “Gusti. Hamba merasa beruntung

karena hadirnya raja keturunan dewa, hendak member karunia kepada hamba. Hamba memberanikan diri menyampaikan selamat datang kepada paduka serta kakanda paduka Sang Pangeran. Hamba

menghaturkan sembah ke bawah duli paduka.” (Padmasusastra, 1985:

10).

2.2.2.3Endang Wresti

Endang Wresti adalah anak dari Kyai Umbul Mudal. Endang Wresti

(49)

dalam kutipan (9). Endang Wresti merupakan gadis yang sederhana dan

cantik rupanya, membuat Sang Pangeran terpaku melihatnya. Hal tersebut

terdapat dalam kutipan (25), (26), dan (27).

(25)Sang dewi tidak berani membantah kemauan kakaknya, akan tetapi tidak mau mengenakan pakaian yang indah. Ia hanya mengenakan kain harian biasa untuk mandi, yakni belacu berwarna kuning buatan Kustasawit. Bajunya dipeniti sehingga kutangnya tidak kelihatan (Padmosusastra, 1985: 10-11).

(26)Dengan cara demikian hanya kecemerlangan lehernya saja yang tampak berkilauan bagaikan sinar kilat. Buah dadanya yang tampak baru mulai bertumbuh kelihatan nyata karena terhimpit bajunya. Sinar matanya bagaikan bintang kesiangan. Ditambah lagi karena rambut sinomnya

yang tidak teratur maka tampaklah ia seperti baru saja bangun tidur.” (Ki

Padmasusastra, 1985: 11).

(27)Gerak langkahnya seperti pohon pinang tertiup angin. Telapak kakinya bersinar seperti meteor beralih. Melihat kecantikan sang dewi hati sang raja berdebaran. Keringatnya bercucuran, nafasnya memburu, hingga sulit ketika hendak berkata-kata karena mendadak terpaku melihat sang putri (Padmasusastra, 1985: 11).

Endang Wresti yang tidak jadi menikah dengan Prabu Warihkuma dan

dibawa ke istana secara paksa oleh Prabu Warsakusuma, membuat hati

Endang Wresti menjadi sangat tidak tertarik terhadap Prabu Warsakusuma.

Hal tersebut terdapat dalam kutipan (28).

(28)Tekad Endang Wresti, “Jika sri baginda mendekat, pasti akan kuserang

dengan patram.” Demikian tekad sang dewi yang diceritakan oleh

seorang abdi perempuan (Padmasusastra, 1985: 16).

Tidak hanya mengancam, namun Endang Wresti selalu menjawab

dengan kata-kata pedas dan tidak menggunakan bahasa yang sopan terhadap

Prabu Warsakusuma. Sikap Prabu Warsakusuama yang bringas membuat dia

terbunuh secara tidak sengaja oleh Endang Wresti, kedua hal tersebut sudah

(50)

2.2.2.4Ki Patih Toyamarta

Ki Patih Toyamarta adalah patih Prabu Sindupati, kemudian menjadi

Patih Prabu Warsakusuma. Ketika kekuasaan Prabu Warsakusuma menguasai

Negeri Tuban dan hendak membunuh Prabu Warihkusuma, Ki Patih

Toyamartalah yang menjadi penengah dan menyelamatkan nyawa dari Prabu

Warihkusuma, meski awalnya ia harus mengiyakan keinginan Prabu

Warsakusuma untuk membunuh kakaknya sendiri. Hal tersebut terdapat

dalam kutipan (29) dan (30).

(29)Ki Patih merasa kurang senang. Ia mengiyakan perintah raja sambil

berpikir: apa seyogyanya yang harus ia lakukan, lalu bersembah, “Gusti.

Rasanya lebih baik jika kakanda paduka dibunuh di dalam hutan saja agar tidak diketahui oleh rakyat banyak. Kebaikkanya ialah, paduka tidak akan dimasyurkan sebagai raja yang sampai hati membunuh saudaranya

sendiri. sayalah yang akan melaksanakan perintah paduka.”

(Padmasusastra, 1985: 14).

(30)Dengan suara tersendat Ki Patih menjawab, “Anaknda. Tenang kehendak

sri baginda yang tidak benar itu sudah kami bicarakan dengan teman-teman saya delapan orang menteri, dan sudah dicapai kesempatan yang bulat, Anaknda tidak akan kami bunuh. Namun pergilah Anaknda dari wilayah Negeri Tuban. Tunggulah kehendak dewa atas Anaknda. Tadi

saya menangis pilu karena terpaksa harus berpisah.” (Padmasusastra,

1985: 16).

Ki Patih Toyamarta adalah orang yang mengasuh Raden Udakawimba

waktu kecil. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (31).

(31)“Barang tentu Ki Patih tidak pangling, karena Raden Udakawimba itu dia

asuh sejak kecil.” (Padmasusastra, 1985: 69).

2.2.2.5Ki Tumenggung Jalasengara

Ki Tumenggung Jalasengara adalah senapati perang dari Negeri Tuban.

(51)

diberikan terkadang tidak benar. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (32)

dan (33).

(32)Walaupun perintah itu tidak benar, akan tetapi Ki Tumenggung tidak berpikir lain kecuali hendak melaksanakan perintah rajanya, menepati kedudukannya sebagai seorang senapati. Walaupun dilempar ke gunung batu sekalipun ia pasti tidak akan ingkar. Melawan musuh yang sakti selalu menjadi dambaannya (Padmasusastra, 1985: 12).

(33)Begitulah beratnya menerima tugas dari raja, ditambah pula telah menjadi tugas kewajiban seorang senapati, maka tidak ada pilihan lain bagi Ki Tumenggung Jalasengara kecuali harus mengamuk sekuat tenaga walaupun harus mengorbankan nyawanya (Padmasusastra, 1985: 12).

2.2.2.6Prabu Hertambang

Parabu Hertambang merupakan penguasa di Negeri Banyubiru, gagah

berani di medan perang. Prabu Hertambang merupakan ayah dari seorang

putri yang bernama Retna Wayi. Hal tersebut terdapat dalam kutipan (34) dan

(35).

(34)Di negeri itu yang bertahta sebagai raja bergelar Prabu Hertambang. Masyur gagah berani di medan perang, banyak raja bawahannya yang takluk kepada Negeri Banyu biru (Padmasusastra, 1985: 19).

(35)Tersebutlah Sang Prabu Hertambang itu hanya mempunyai putra seorang bernama Retna Wayi, yang didambakan menjadi putri mahkota (Padmasusastra, 1985: 23).

2.2.2.7Dewi Wayi

Dewi Wayi atau Retna Wayi adalah anak dari Prabu Hertambang,

dialah yang didambakan menjadi putri mahkota kerajaan Banyubiru. Dewi

Wayi pintar dalam ketatanegaraan, karena Prabu Hertambang memang

menyiapkan Dewi Wayi untuk kelak menggantikan dirinya memimpin Negeri

Gambar

Tabel 1 Berdasarkan paparan penelitian dari dominasi, hegemoni, dan kekuasaan pada
Tabel 2 Sumber Kekuasaan:

Referensi

Dokumen terkait

Batin Tokoh Bintoro dalam Cerita Bersambung Janji Kali Code Isih Mili Karya.. Ki Cantrik Code (Suatu Tinjauan

Perjuangan tokoh utama dilihat dari unsur intrinsik (alur, tokoh, penokohan, latar, dan tema) yang terdapat dalam novel 2 karya Donny Dhirgantoro.. Berdasarkan hasil

Pendekatan struktur digunakan untuk menganalisis tokoh penokohan dalam Novel Saman guna mengetahui pribadi-pribadi para tokoh, memahami latar tempat dan latar

dan telah menjadi keutuhan sebuah karya sastra. Para tokoh dalam cerpen tersebut telah menjadi pelaku dalam cerita yang telah menggunakan latar sebagi tempat pendukung

Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan hasil analisis unsur intrinsik cerita pendek “Radio Kakek” karya Ratih Kumala ditinjau dari tema, tokoh dan penokohan, alur, latar,

Dari hasil penelitian disimpulkan: (1) tema dan fakta cerita (tokoh dan penokohan, alur, dan latar) novel 99 Hari di Prancis karya Wiwid Prasetiyo yang meliputi: (a)

Analisis sosok keluarga pejuang dalam cerita novel Ibuk karya Iwan Setyawan digambarkan melalui tokoh, penokohan, latar, penanaman nilai, dan sosok.. keluarga pejuang

Kutipan dalam Serat Sangu Pati Jilid 2 Karya Ki Padma Sujana yang menunjukkan tembung dasanama adalah kata donya, jagad, buwana,bumi. Kata-kata tersebut memiliki arti