• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum bagi Konsumen Perumahan atas Kualitas Bangunan Oleh: Zaidah Nur Rosidah *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perlindungan Hukum bagi Konsumen Perumahan atas Kualitas Bangunan Oleh: Zaidah Nur Rosidah *"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh: Zaidah Nur Rosidah * Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk mengentahui kecukupan peraturan perundang-undangan yang mengatur kualitas bangunan perumahan yang dikaitkan dengan tanggung jawab pengembang atas kualitas bangunan perumahan serta upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen yang dirugikan oleh pengembang. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan metode penelitian yuridis normatif yang mengacu pada norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk perundang-undangan yang berlaku, khususnya bidang perumahan dan pemukiman dan perjanjian jual beli rumah.

Dari penelitian yang telah dilakukan dihasilkan tiga temuan yaitu, pertama, peraturan perundang-undangan yang mengatur kualitas bangunan perumahan sudah mempunyai kecukupan berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Kedua, tanggung jawab pengembang pada tahap pra transaksi tidak ada karena iklan dianggap sebagai bentuk penawaran umum yang belum mengikat selama tidak dituangkan dalam perjanjian pengikatan jual beli. Sedang dalam tahap transaksi konsumen yang tertuang dalam perjanjian pengikatan jual beli, tanggung jawab pengembang atas kualitas bangunan perumahan sangat terbatas. Dalam tahap pasca transaksi konsumen, pengembang hanya memberikan jaminan pemeliharaan bangunan rumah selama jangka waktu 3 bulan sejak serah terima bangunan. Ketiga, tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen yang dirugikan oleh pengembang menurut pasal 45 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen dapat ditempuh melalui dua jalur yaitu jalur di luar pengadilan dan jalur pengadilan yang berada di bawah peradilan umum. Apabila telah disepakati penyelesaian sengketa di luar pengadilan, maka jalur pengadilan hanya dapat ditempuh apabila jalur di luar pengadilan tidak diperoleh kata sepakat.

Berdasarkan hasil temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab pengembang pada perjanjian jual beli rumah kurang memberikan perlindungan hukum kepada konsumen.

Kata kunci: konsumen perumahan, tanggung jawab pengembang, kualitas bangunan perumahan.

(2)

A.Pendahuluan

Rumah merupakan kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia di samping kebutuhan lainnya. Dalam mewujudkan kebutuhan tersebut diperlukan adanya usaha pembangunan perumahan yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial. Pembangunan perumahan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal baik dalam jumlah maupun kualitasnya dalam lingkungan yang sehat serta kebutuhan akan suasana kehidupan yang memberikan rasa aman, damai, tenteram dan sejahtera.

Perkembangan tuntutan manusia akan kebutuhan perumahan yang merupakan kebutuhan pokok di samping sandang dan pangan menyebabkan selalu muncul berbagai masalah baru dalam pengadaan

perumahan, terutama sekali di kota-kota besar yang pesat

perkembangannya, tinggi laju pertumbuhan penduduknya dan sangat heterogen masyarakat penghuninya.1 Masih banyaknya warga masyarakat

yang belum memiliki rumah tempat tinggal terutama bagi yang berpenghasilan rendah, kurang mampu membeli rumah yang layak, maka

penyelenggaraan pembangunan perumahan perlu diadakan

pengklasifikasian jenis tipe rumah dengan memperhatikan aspek pendapatan dan keterjangkauan serta perlindungan terhadap konsumen.

Mengingat arti pentingnya perumahan yang merupakan unsur pokok dari kesejahteraan rakyat, maka sewajarnyalah kalau setiap warga negara berhak memperoleh dan menikmati perumahan yang laiak. Hak warga negara untuk memperoleh serta menikmati perumahan yang laiak dipertegas dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. Penjelasan pasal ini menegaskan bahwa rumah yang layak adalah bangunan rumah yang sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan keselamatan bangunan dan kecukupan minimum luas bangunan serta kesehatan. Lingkungan yang aman, sehat, serasi dan teratur adalah lingkungan yang memenuhi persyaratan penataan ruang, persyaratan penggunaan tanah dan kepemilikan hak atas tanah dan kelayakan prasarana dan sarana lingkungannya.

Prinsip dasar pembangunan perumahan pada hakekatnya bertolak dari pemikiran bahwa pembangunan perumahan didasarkan atas prakarsa dari swadaya masyarakat sendiri. Peran pemerintah terutama diarahkan

1 Eko Budihardjo, Sejumlah Masalah Pemukiman Kota, (Bandung: Alumni, 1998), p.

(3)

pada peningkatan kemampuan masyarakat dan penciptaan iklim yang mendorong tumbuhnya prakarsa dan swadaya masyarakat serta pada penyediaan prasarana dan sarana. Sasaran pembangunan perumahan dititikberatkan pada pemenuhan kebutuhan perumahan khususnya bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah.

Dalam memiliki rumah, pihak pengembang menyediakan berbagai tipe sesuai keinginan dan kemampuan masyarakat dengan membayar secara tunai maupun secara angsuran yang akan dibiayai oleh pihak bank sebagai pemberi kredit pemilikan rumah (KPR). Oleh karena itu, untuk membantu masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah pemerintah memberikan fasilitas kredit pemilikan rumah melalui bank yang ditunjuk atau lembaga penyedia kredit pemilikan rumah lainnya.

Dalam perjanjian jual beli rumah baik secara tunai maupun kredit antara pengembang dan konsumen, maka timbullah hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Dalam hal perjanjian jual beli rumah, pengembang berkewajiban untuk menyerahkan rumah yang menjadi obyek perjanjian jual beli tersebut. Di samping itu, menurut Pasal 1473 jo. 1491 KUHPerdata, penjual (pengembang) berkewajiban untuk menjamin terhadap pemiliknya yang aman dan tenteram, terhadap cacat tersembunyi dan lain hal yang dapat mengakibatkan batalnya jual beli.2 Ditinjau dari

pihak yang lain, pembeli berhak menuntut jaminan tersebut.

Produsen (pengembang) sebagai pihak penghasil barang dan jasa berhadapan dengan pihak pembeli (konsumen) sebagai pemakai produk akhir yang dihasilkan pihak produsen. Dalam interaksi yang demikian itu, tidak dapat dipungkiri jika pihak produsen cenderung untuk berorientasi pada tujuan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Di lain pihak konsumen mempunyai kepentingan untuk menikmati barang dan jasa yang diperolehnya sebagai imbalan atas prestasi yang telah diberikannya berupa suatu pembayaran kepada pihak produsen.

Karena tuntutan pengadaan rumah yang begitu besar dibandingkan dengan jumlah pengembang, acapkali pengembang kurang begitu memperhatikan kualitas bangunan perumahan. Posisi pengembang sebagai produsen memiliki kedudukan yang lebih kuat dari pembeli rumah (konsumen). Pengembang cenderung menyalahgunakan keadaan tersebut dalam perjanjian baku (perjanjian standar) yang dilakukan dengan konsumen dalam pembelian rumah.

Menurut Anwar Fazal dan Rajeswari Kanniah dalam Yusuf Sofie, di dalam kontrak standar itu sering dimuat klausula-klausula pengecualian

(exemption caluse), misalnya: meniadakan tanggungjawab pengembang dalam

(4)

hal terlambat menyerahkan bangunan, sebaliknya bila konsumen terlambat membayar angsuran uang muka dikenakan penalti atau denda; membebaskan pengembang dari klaim atas kondisi/kualitas bangunan yang melampaui batas waktu 100 hari sejak serah terima bangunan fisik rumah atau rusun, dan sebagainya. 3

Tidak adanya keseimbangan antara para pihak dalam perjanjian standar telah membawa kecenderungan adanya eksploitasi dari pihak yang kuat (pengembang) kepada pihak yang lemah (konsumen). Di satu sisi kewajiban konsumen diatur secara rinci, di sisi lain begitu sampai pada kewajiban pengembang hanya sebagian kecil atau sama sekali tidak diatur dalam perjanjian standar.4

Untuk menghadapi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan keadaan, maka diperlukan perlindungan hukum terhadap pihak-pihak yang mempunyai kedudukan lemah dalam suatu perjanjian. Oleh karena itu, pentingnya perlindungan hukum terhadap konsumen dalam perjanjian lebih didorong adanya kecenderungan kedudukan konsumen dirugikan oleh produsen. Produsen tidak jarang menetapkan akibat pelaksanaan perjanjian dengan syarat-syarat yang sangat memberatkan konsumen yakni dengan cara menghapuskan tanggungjawabnya atas resiko perjanjian yang mungkin terjadi. Terhadap konsumen pembeli rumah yang dirugikan perlu diberi perlindungan hukum. Perlindungan hukum ini diperlukan mengingat di samping lemahnya kedudukan para konsumen, juga masih kurangnya kesadaran hukum masyarakat konsumen pada umumnya terhadap perjanjian yang disodorkan kepadanya. Hal tersebut terlihat dari masih kurangnya konsumen memperhatikan syarat-syarat perjanjian yang dibuat akan tetapi lebih berorientasi pada pertimbangan-pertimbangan praktis seperti bagaimana secepatnya dapat memperoleh perumahan.

B.Pembahasan

1. Pengaturan Kualitas Bangunan Perumahan dalam Perundang-undangan

Dalam rangka peningkatan taraf hidup rakyat Indonesia melalui penyediaan perumahan secara merata, khususnya bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah, sangat rendah dan kelompok berpenghasilan tidak tetap, maka diperlukan upaya penyediaan perumahan

3 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, (Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2000), p. 75.

4 Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya

(5)

murah yang layak dan terjangkau akan tetapi tetap memenuhi persyaratan kesehatan, keamanan dan kenyamanan.

Dalam upaya memenuhi ketiga persyaratan dasar tersebut di atas serta memenuhi tujuan dari penyediaan perumahan bagi kelompok masyarakat tersebut maka perlu disediakan suatu rancangan yang memenuhi standar minimal. Pendekatan penyediaan rumah selama ini lebih diseragamkan, sehingga terdapat beberapa kendala di lapangan di antaranya kesenjangan harga yang sangat menyolok di antara beberapa daerah. Selain itu, terlalu dipaksakan satu standar nasional untuk seluruh daerah, bentuk rancangan tidak mengakomodasikan potensi daerah setempat sehingga menjadi mahal.

Kualitas mengandung arti tingkat baik buruknya sesuatu.5 Kualitas

bangunan perumahan berarti tingkat baik buruknya bangunan perumahan. Yang dimaksud dengan bangunan adalah susunan sesuatu yang tertumpu pada landasan dan terikat dengan tanah sehingga terbentuk ruangan dan mempunyai fungsi, sedang bangunan rumah adalah bangunan yang direncanakan dan digunakan sebagai tempat kediaman oleh satu keluarga atau lebih.

Untuk mengetahui baik buruknya bangunan perumahan dipakai standar yang ditetapkan oleh pemerintah tentang bangunan rumah. Standar memiliki arti ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan,6 sehingga dengan adanya standar bangunan rumah dapat dinilai apakah bangunan rumah yang ditawarkan oleh pengembang kualitasnya baik atau buruk. Berbagai peraturan perundangan yang mengatur tentang standar kualitas bangunan rumah merupakan pedoman atau patokan yang harus diikuti oleh pengembang.

Peraturan perundang-undangan sebagai hukum merupakan bagian integral dari kehidupan bersama. Kalau manusia hidup terisolir dari manusia lain, maka tidak akan terjadi sentuhan atau kontak, baik yang menyenangkan maupun yang merupakan konflik. Dalam keadaan semacam itu hukum tidak diperlukan.7 Hukum mengatur dan menguasai

manusia dalam kehidupan bersama, sebagai konsekuensinya maka tata hukum bertitik tolak pada penghormatan dan perlindungan manusia. Penghormatan dan perlindungan manusia ini tidak lain merupakan percerminan dari kepentingannya sendiri. Dalam penghormatan manusia ini terdapat persyaratan-persyaratan umum untuk berlakunya

5 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Balai Pustaka, 1997), p. 603.

6 Ibid, p. 1089.

7 Soedikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1984),

(6)

peraturan hidup yang disediakan bagi manusia.8 Jadi dengan diberlakukannya pedoman teknik pembangunan perumahan bagi para pengembang akan dapat menjamin kepentingan antara pengembang, konsumen dan pihak pemerintah sendiri. Hal yang perlu diperhatikan bahwa asas keterjangkauan harga rumah bagi kelompok sasaran yaitu golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan sedang serta standar minimum kualitas perumahan yang sehat akan tetap menjadi tuntutan kebutuhan pembangunan perumahan di Indonesia pada masa-masa mendatang.

Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaidah mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif. Umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan

bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaidah-kaidah.9

Agar suatu pedoman ataupun patokan yang merupakan norma hukum dapat berfungsi maka kaidah hukum tersebut harus memenuhi tiga unsur kelakuan hukum yaitu berlakunya secara yuridis, sosiologis, dan filosofis. Sebab apabila suatu kaidah hukum hanya mempunyai kelakuan yuridis belaka, maka kaidah hukum tersebut merupakan suatu kaidah yang mati. Kalau suatu kaidah hukum hanya mempunyai kelakuan sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka kaidah hukum yang bersangkutan menjadi aturan pemaksa. Akhirnya, apabila suatu kaidah hukum hanya mempunyai kelakuan filosofis, maka kaidah hukum tersebut hanya boleh disebut sebagai kaidah hukum yang diharapkan atau dicita-citakan. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa apabila kaidah hukum tersebut diartikan sebagai patokan hidup bersama yang damai, maka tidak boleh tidak kaidah tersebut harus mempunyai kelakuan dalam ketiga bidang tersebut.10

Berikut ini inventarisasi peraturan perundang-undangan mengenai kualitas bangunan perumahan :

a. UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman

UU Perumahan dan Pemukiman sebagai UU induk hanya memuat ketentuan-ketentuan yang pokok saja, sedang penjabarannya diatur dalam peraturan pelaksana lainnya. Sebagai UU induk, UU perumahan dan Pemukiman memberikan acuan dasar dalam melaksanakan pembangunan di bidang perumahan dan pemukiman. Salah satu tujuan dilakukannya

8 Ibid, p. 27. 9 Ibid, p. 39.

10 Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung:

(7)

penataan perumahan dan pemukiman adalah untuk mewujudkan perumahan dan pemukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.

Untuk dapat mencapai tujuan tersebut maka bangunan rumah yang akan didirikan harus memenuhi syarat baik syarat administratif, ekologis maupun syarat teknis. Oleh karenanya, di dalam pasal 7 UU Perumahan dan Pemukiman ditentukan bahwa setiap orang atau badan yang akan mendirikan rumah harus mengikuti persyaratan tersebut.

Persyaratan teknis berkaitan dengan keselamatan dan kenyamanan bangunan dan keandalan sarana serta prasarana lingkungan. Persyaratan ekologis berkaitan dengan keserasian dan keseimbangan baik antara lingkungan buatan dengan lingkungan alam maupun dengan lingkungan sosial, budaya, termasuk nilai-nilai budaya bangsa yang perlu dilestarikan. Persyaratan administrasi berkaitan dengan pemberian ijin usaha, ijin lokasi dan ijin mendirikan bangunan serta pemberian hak atas tanah.11

b. UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

Sebagaimana yang telah diatur dalam UU Perumahan dan Pemukiman, UU Bangunan Gedung juga mengatur tentang kualitas bangunan. Pada ketentuan pasal 1 ayat (1) mengenai definisi bangunan gedung, meliputi pula bangunan untuk hunian atau tempat tinggal. Salah satu tujuan pengaturan bangunan tersebut adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan bangunan yang menjamin keandalan teknis bangunan gedung dari segi keselamatan, kenyamanan dan kemudahan.

Menyangkut persyaratan keselamatan meliputi kemampuan bangunan rumah untuk mendukung beban muatan, serta kemampuan bangunan rumah dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran dan bahaya petir. Kemampuan bangunan rumah untuk mendukung beban muatannya merupakan kemampuan struktur bangunan rumah yang stabil dan kukuh dalam mendukung beban muatan.

Kemampuan bangunan rumah yang stabil dan kukuh dalam mendukung beban muatan merupakan struktur bangunan rumah yang stabil dan kukuh sampai dengan kondisi pembebanan maksimum dalam mendukung beban muatan yang timbul akibat perilaku alam.

c. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)

UUPK sebagai UU yang memberikan perlindungan kepada konsumen berlaku secara umum. Hal ini berlaku juga untuk konsumen perumahan. Sebagaimana yang tertuang di dalam pasal 4 huruf a dan b

11 AP. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman dan

(8)

tentang hak konsumen bahwa konsumen barhak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Dalam hal tersebut adalah konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam menikmati rumah yang dibeli dari pengembang.

Agar hak untuk menikmati rumah yang laiak sehingga aman dan nyaman, maka pengembang harus menjamin bahwa mutu barang (kualitas bangunan rumah) tersebut sesuai dengan ketentuan standar mutu yang berlaku. Apabila standar mutu yang berlaku tidak dipenuhi oleh pengembang, maka jika terjadi kerugian di pihak konsumen, pengembang wajib memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan barang dan/atau jasa yang di jual oleh pengembang.

d. Peraturan Menteri

1) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 20/KPTS/1986 tentang

Pedoman Teknis Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun Pedoman teknis pembangunan perumahan sederhana tidak bersusun tersebut dikeluarkan dengan tujuan agar setiap pembangunan perumahan sederhana yang dilakukan oleh pengembang tetap memperhatikan standar yang dikeluarkan oleh pemerintah, dalam hal ini melalui Keputusan Menteri Pekerjaan Umum.

Untuk menjamin struktur yang sesuai dan dapat bekerja dengan baik, harus dipenuhi syarat-syarat :

a) dapat menahan semua beban dan gaya-gaya termasuk gempa bumi

yang bekerja padanya sesuai dengan fungsinya.

b) cukup terlindung dari korosi, kelapukan, serangga-serangga dan

kekuatan-kekuatan perusak lainnya.

c) dapat bekerja/berfungsi secara baik, minimum 20 tahun.

d) dipenuhi norma-norma, standar-standar dan peraturan-peraturan yang berlaku.

e) khusus di dalam merencanakan bangunan maisonette sederhana,

muatan berguna lantai unit hunian diambil 200 kg/m2.

f) ketahanan struktur terhadap kebakaran minimum adalah 1 jam.

2) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 54/PRT/1991 tentang

Pedoman Teknis Pembangunan Perumahan Sangat Sederhana

Di dalam pasal 2 pedoman teknik tersebut dimaksudkan untuk landasan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan serta memudahkan proses pengadaan pembangunan rumah sangat sederhana beserta lingkungannya. Sekalipun pembangunan rumah sangat sederhana diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah, tidak berarti kualitas bangunan rumah tidak diperhatikan. Oleh karena itu,

(9)

pemerintah mengeluarkan pedoman teknik tersebut sebagai landasan bagi para pengembang perumahan untuk membangun rumah sangat sederhana. Hal ini dapat terlihat di dalam pasal 18 ayat (1) dan (2).

(1)pembangunan rumah sangat sederhana harus memenuhi syarat

kesehatan yang menjamin penghuni dapat hidup sehat dalam kegiatan sehari-hari secara layak.

(2)spesifikasi bahan bangunan harus memenuhi syarat-syarat yang telah

ditetapkan dalam Standard Nasional Indonesia sepanjang

menggunakan bahan yang sudah ada standarnya.

Pasal 23 berhubungan dengan struktur, komponen, dan bahan bangunan. Struktur, komponen, dan bahan bangunan harus mempunyai persyaratan :

a. penggunaan bahan bangunan untuk konstruksi yang murah dapat

terdiri dari bahan bangunan lokal atau lainnya yang kekuatannya memenuhi syarat teknis;

b. permukaan lantai harus lebih tinggi 20 cm (dua puluh centi meter) dari permukaan halaman tertinggi dan harus rata, kering, mudah dibersihkan, tidak menimbulkan debu, dan dapat diperkeras antara lain tanah dilapisi dengan air semen, tras;

c. dinding dapat dibuat dari bahan yang sekurang-kurangnya dapat

melindungi penghuni dari cuaca dan sinar matahari langsung, antara lain digunakan bahan dari anyaman bambu atau sejenis yang dipasang sekurang-kurangnya 90 cm (sembilan puluh centi meter) di atas dinding dengan bahan tembok.;

d. dinding dapur, kamar mandi/kakus dengan bahan tembok

sekurang-kurangnya setinggi 1.50 cm (seratus lima puluh centi meter), dinding kamar mandi/kakus harus kedap air;

e. kerangka atap harus mempunyai kekuatan menahan beban sendiri dan

beban-beban lain yang harus didukung antara lain dapat digunakan bahan kayu atau bambu;

a. Penutup atap harus disesuaikan dengan kemampuan dari kerangka

atapnya, antara lain dapat digunakan bahan dari genteng pletong, keramik rakyat, seng gelombang atau asbes gelombang.

Langit-langit dapat ditiadakan dengan membuat kerangka atap dan penutupnya lebih rapi.

3) Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No.

403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat

Kedua pedoman teknik yang sudah ada sebelumnya yaitu pedoman teknis pembangunan perumahan sederhana tidak bersusun dan pedoman teknis pembangunan perumahan sangat sederhana bersifat nasional,

(10)

dikeluarkan terhadap pembangunan perumahan yang ada di seluruh Indonesia, sedangkan pedoman teknik pembangunan perumahan sederhana sehat ini dikeluarkan dengan memperhatikan kondisi geografis, kebudayaan dan bahan bangunan lokal yang ada di masing-masing daerah. Oleh karena ada berbagai alternatif pilihan tipologi rumah sederhana sehat untuk masing-masing daerah.

Dari pedoman yang ada, secara materi sudah cukup memadai artinya spesifikasi teknis dan kebutuhan serta proses pekerjaan telah diuraikan secara rinci, sehingga dari isi uraian tersebut dapat dipakai sebagai patokan di dalam membangun rumah. Apabila ketentuan yang ada di dalamnya tidak diikuti, hal tersebut berdampak pada kualitas bangunan. Misalnya untuk pekerjaan pondasi batu kali, volume pekerjaan pondasi batu kali menggunakan campuran 1 pc: 5 pasir, apabila komposisi campuran tersebut dirubah dengan menambah jumlah pasir menjadi 6 atau 7 akan berakibat kekuatan pondasi menahan beban-beban yang ada di atasnya tidak cukup kuat. Untuk mengantisipasi hal tersebut, ada tim pengawas yang berasal dari Dinas Permukiman dan Tata Ruang.

C.Tanggung Jawab Pengembang terhadap Konsumen dalam Perjanjian Jual Beli Rumah

a. Tanggung Jawab Pengembang pada Tahap Pra Transaksi Konsumen

Iklan sebagai bentuk penawaran memiliki peran yang cukup besar bagi konsumen untuk memutuskan memilih rumah atau tidak. Brosur perumahan yang telah dikeluarkan oleh pengembang merupakan bentuk penawaran umum. Penawaran umum adalah suatu penawaran yang tidak tertuju pada orang atau sekelompok orang tertentu tetapi kepada kelompok masyarakat yang lebih luas baik dengan memajangnya di etalase, memasang advertaisi atau melalui selebaran. 12

Iklan perumahan punya kontribusi yang tidak kecil terhadap tingginya angka pengaduan perumahan. Berangkat dari iklan, konsumen menentukan untuk membeli rumah. Ternyata materi dalam iklan perumahan tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan.

Informasi dari iklan yang benar dan bertanggungjawab akan memberikan dampak positif pada putusan pilihan konsumen, sedang iklan yang sebaliknya melebih-lebihkan, menyesatkan, setengah benar atau menipu tentunya potensial dapat menimbulkan kerugian pada konsumen.

Brosur perumahan sebagai sarana iklan tidak boleh menyesatkan, antara lain dengan memberikan keterangan yang tidak benar, mengelabuhi,

(11)

atau memberi janji-janji yang berlebihan. Hal tersebut sejalan dengan pasal 9 UUPK yaitu pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan/ atau seolah-olah :

1) barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;

2) barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;

3) barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;

4) menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak

berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek samping tanpa keterangan yang lengkap;

5) menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti

b. Tanggung Jawab Pengembang Pada Tahap Transaksi Konsumen

Pada tahap transaksi konsumen terjadi hubungan hukum antara konsumen dengan pengembang yaitu perjanjian pengikatan jual beli rumah. Namun, di dalam mekanisme ini perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian pendahuluan belum bersifat tunai dan riil. Hal tersebut mempunyai dampak yang berbeda, karena benda yang dijadikan obyek jual beli adalah benda tak bergerak maka ketentuan yang mengaturnya juga berbeda.

Perjanjian pengikatan jual beli tunduk pada hukum perdata, sedang akta jual belinya tunduk pada hukum agraria. Namun demikian, perjanjian pengikatan jual beli merupakan landasan adanya perjanjian yang sah sehingga kapan terjadinya perjanjian penting untuk menentukan kapan pelaksanaan perjanjian tersebut.

Ada beberapa ajaran saat terjadinya perjanjian:13

1) teori kehendak: kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak

penerima dinyatakan, misal dengan menulis surat.

2) teori pengiriman: kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang

dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.

3) teori pengetahuan: mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan

seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima.

4) teori kepercayaan: mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.

13 Mariam Darus Badruzzaman, KUHPerdata Buku III, Hukum Perikatan dengan

(12)

Dari beberapa teori tersebut di atas, kiranya teori pengetahuan yang mendekati untuk mengetahui kapan kesepakatan terjadi pada saat yang menawarkan, dalam hal ini pengembang mengetahui bahwa tawarannya diterima konsumen. Untuk selanjutnya antara konsumen dan pengembang sepakat menandatangani perjanjian pengikatan jual beli rumah. Sepakat mereka mengikatkan diri adalah asas esensial dalam hukum perjanjian yang dinamakan asas konsensualisme yang mempunyai hubungan erat dengan asas kebebasan berkontrak yang menentukan adanya perjanjian.

Dengan adanya kesepakatan para pihak yang ditandai adanya perjanjian pengikatan jual beli rumah telah terjadi suatu hubungan hukum antara keduanya yang dapat menimbulkan akibat hukum yaitu adanya hak dan kewajiban yang mana pihak konsumen berhak menuntut prestasi (suatu hal) dari pihak pengembang yang berkewajiban memenuhi prestasi yaitu wajib melaksanakan pendirian bangunan sesuai waktu yang diperjanjikan menurut gambar arsitektur, gambar denah, spesifikasi teknis yang tercantum dalam Akta Pengikatan Jual Beli Rumah.

Namun demikian, ketentuan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang mengatur pemeliharaan bangunan kurang memberikan perlindungan kepada konsumen. Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut:

1) dengan dilakukannya serah terima tanah dan bangunan, maka segala tanggungjawab untuk memelihara dan menjaga tanah dan bangunan menjadi tugas dan tanggungjawab konsumen sepenuhnya.

2) setelah serah terima tanah dan bangunan dilakukan, pengembang

berkewajiban melakukan perbaikan-perbaikan atas kerusakan yang terjadi pada bangunan selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak hari dan tanggal berita acara serah terima tersebut.

3) perbaikan-perbaikan atas bagian bangunan yang rusak dilakukan oleh

pengembang berdasarkan gambar denah bangunan dan spesifikasi teknis yang merupakan lampiran dari pengikatan jual beli ini, dan oleh karenanya segala perbaikan yang menyimpang dari gambar denah bangunan dan spesifikasi teknis bukan merupakan kewajiban pengembang.

4) apabila selama berlangsungnya masa pemeliharaan terjadi kerusakan pada bangunan yang disebabkan oleh keadaan Force Mayeure antara lain gempa bumi, banjir, huru-hara, perang, kebakaran dan tindakan kekerasan yang dilakukan baik perorangan maupun massal, atau karena perbaikan atau perubahan yang dilakukan oleh konsumen atas bangunan, maka pengembang dibebaskan dari kewajiban untuk melakukan perbaikan-perbaikan atas kerusakan yang terjadi dan oleh karenanya hal tersebut menjadi beban dan tanggungjawab konsumen sepenuhnya.

(13)

Ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban yang tertuang dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli mengakibatkan hak-hak konsumen kurang terlindungi karena bersumber dari isi perjanjian tersebut maka konsumen akan sulit untuk menuntut sesuatu yang tidak diperjanjikan dengan pengembang, meskipun pada saat menandatangani akta perjanjian tersebut keadaan konsumen lemah dari segi ekonomi.

Pada umumnya suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak menganut asas kebebasan berkontrak, yaitu pengembang dan konsumen bebas untuk menentukan bentuk dan isi perjanjian. Asas kebebasan berkontrak yang dimaksud meliputi bentuk dan isi dari perjanjian. Bentuk perjanjian berupa kata sepakat saja sudah cukup, dan apabila dituangkan dalam suatu akta hanyalah dimaksudkan sekedar sebagai alat pembuktian semata saja, sedangkan mengenai isinya, para pihak yang pada dasarnya bebas menentukan sendiri apa yang mereka ingin tuangkan. Namun demikian, ada beberapa macam perjanjian yang hanya sah apabila dituangkan dalam bentuk akta otentik yang dibuat di hadapan pejabat umum atau notaris dan PPAT, misalnya akta Jual Beli Tanah, termasuk di dalamnya jual beli rumah karena berikut tanahnya.

Dengan diperlukannya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut.14

Oleh karena PPJB dibuat oleh pengembang, faktor subyektifitas pengembang sangat mempengaruhi di dalam memasukkan kepentingan-kepentingannya di dalam PPJB. Sebaliknya sulit bagi konsumen untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingannya di dalam PPJB itu. Meskipun sudah ada Undang-undang No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman, kepentingan konsumen tidak terlindungi. Pada umumnya kontrak standar dibuat dan dipersiapkan oleh para pihak yang secara ekonomi kedudukannya lebih baik/kuat dari pihak lainnya. Dalam hal ini PPJB sudah disiapkan secara baku dan sepihak oleh pengembang atau kuasa hukumnya.

Perjanjian baku mengandung sifat banyak menimbulkan kerugian terhadap konsumen. Perjanjian pengikatan jual beli rumah adalah merupakan salah satu contoh jenis perjanjian baku sepihak yaitu perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya (pengembang) di dalam perjanjian. Perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan kepada konsumen untuk

mengadakan real bargaining dengan pengusaha. Konsumen tidak

(14)

mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian baku, sehingga untuk memenuhi elemen yang dikehendaki pasal 1320 jo 1338 KUHPerdata dan akibatnya tidak ada.

Namun pendapat Stein seperti yang dikutip Mariam Darus bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan para pihak yang mengikatkan diri pada perjanjian tersebut, sehingga jika konsumen menerima dokumen perjanjian itu berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.

c. Tanggung Jawab Pengembang Pada Tahap Pasca Transaksi

Pada tahap ini berarti pelaksanaan jual beli antara konsumen dengan pengembang sudah terjadi. Salah satu aspek yang amat penting dalam perjanjian adalah pelaksanaan perjanjian itu sendiri. Bahkan dapat dikatakan justru pelaksanaan perjanjian inilah yang menjadi tujuan orang-orang yang mengadakan perjanjian, karena justru dengan pelaksanaan perjanjian itu, pihak-pihak yang membuatnya akan dapat memenuhi kebutuhannya, kepentingannya serta mengembangkan bakatnya.

Di dalam melaksanakan perjanjian, peran itikat baik dari pengembang sungguh mempunyai arti yang sangat penting sekali. Menurut Subekti sebagaimana dikutip oleh Riduan Syahrani, bahwa itikat baik dikatakan sebagai suatu sendi yang terpenting dalam hukum perjanjian.15 Apakah suatu perjanjian dilaksanakan dengan itikat baik atau tidak akan tercermin pada perbuatan-perbuatan nyata pelaksanaan perjanjian tersebut.

Tidak terlaksananya pembangunan rumah sesuai dengan yang diperjanjikan seringkali dilakukan oleh pengembang, demikian juga dalam pemeliharaan bangunan. Jangka waktu pemeliharaan sesuai dengan kesepakatan adalah 3 bulan, di mana jangka waktu ini dinilai terlalu singkat untuk menilai kualitas bangunan rumah. Akan tetapi selama jangka waktu tersebut pemeliharaan yang dilakukan oleh pengembang juga tidak memberikan kepuasan kepada konsumen sehingga setelah jangka waktu berakhir konsumen masih mengalami kerugian akibat kerusakan-kerusakan bangunan rumah yang belum selesai diperbaiki, sementara pengembang menolak untuk melakukan perbaikan.

15 Riduan Syahrani, Asas-Asas dan Seluk Beluk Hukum Perdata, (Bandung: Alumni,

(15)

D.Tindakan Hukum yang dapat Dilakukan oleh Konsumen terhadap Perbuatan Pengembang yang Mengakibatkan Timbulnya Kerugian

Pada hakekatnya hukum tidak lain adalah perlindungan kepentingan manusia, yang berbentuk kaidah atau norma. Tiap manusia mempunyai kepentingan baik yang bersifat individual maupun kolektif.16 Hukum bertujuan untuk mengatur tingkahlaku dan perbuatan dalam berbagai cara yang berbeda. Pertama, tingkahlaku dan perbuatan tertentu dianggap tidak diinginkan sehingga hukum melarang melakukannya, hukum menjadikan tingkahlaku dan perbuatan itu suatu perbuatan pidana dan menentukan bahwa pelanggarannya boleh dihukum. Kedua, tingkahlaku dan perbuatan yang merugikan anggota masyarakat lainnya dan peraturan-peraturan hukum perdata memberikan hak kepada pihak yang dirugikan itu untuk menerima ganti rugi atau upaya hukum perdata lainnya. Perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian pada orang lain karena dilakukan dengan kesalahan, dalam hukum perdata disebut kesalahan perdata.17

Pasal 45 ayat (1) dan (2) UUPK memberikan peluang kepada konsumen untuk menggugat pelaku usaha melalui jalur di luar pengadilan dan melalui jalur pengadilan di lingkungan peradilan umum. Adapun bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut :

(1)setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui

lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

(2)penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

Masuknya sengketa konsumen ke Pengadilan Negeri bukanlah karena kegiatan hakim, melainkan keaktifan salah satu pihak atau para pihak yang bersengketa, dalam hal ini pengembang dan konsumen. Konsumen dapat berinisiatif mengajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum terhadap pelaku usaha atas pelanggaran norma-norma UUPK. Sebaliknya, pelaku usaha tidak diperkenankan menggugat konsumen atau mengajukan gugatan balik dengan merujuk pada pelanggaran konsumen atas norma-norma UUPK, kecuali menyangkut pelanggaran hak-hak pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada pasal 6 UUPK.

16 Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai, p. 1.

(16)

Kesalahan perdata yang dilakukan oleh pengembang yang

mengakibatkan kerugian bagi konsumen menimbulkan

pertanggungjawaban bagi pengembang. Namun demikian, ada kalanya pengembang mengelak tanggungjawab yang dituntut konsumen dengan alasan bahwa perjanjian pengikatan jual beli belum bersifat final dan tunai, sedangkan akta yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna adalah akta jual beli. Sementara itu, di dalam akta jual beli tidak disebutkan secara rinci spesifikasi teknis bangunan. Hal tersebut dapat dipergunakan pengembang untuk tidak memberikan ganti kerugian dengan alasan tidak tercantum dalam akta jual beli.

Apabila konsumen mengalami kesulitan untuk menggugat pengembang atas dasar perjanjian yang telah dibuat dengan pengembang sedangkan konsumen mengalami kerugian akibat pembelian rumah dari pengembang, konsumen juga dapat menggugat pengembang berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata yaitu perbuatan melawan hukum. Pengertian perbuatan melawan hukum di dalam pasal tersebut dalam perkembangannya mengalami makna yang lebih luas dari sekedar perbuatan yang melanggar undang-undang saja, tetapi juga perbuatan yang melanggar kesusilaan, kepatutan, dan ketertiban umum. Perluasan makna perbuatan melawan hukum tersebut dapat digunakan oleh konsumen sebagai dasar untuk menggugat pengembang yang merugikan, meskipun tidak diperjanjikan dalam perjanjian pengikatan jual beli.

Dalam KUHPerdata ketentuan tentang tanggungjawab produk sebenarnya dikenal dalam pasal 1504 yang berbunyi: “ Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksudkan, atau yang demikian mengurangi pemakaian itu sehingga sedianya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang”

E.Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah diuraikan dimuka, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan antara lain:

1. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kualitas

bangunan perumahan dapat diinventarisasikan sebagai berikut: UU Perumahan dan Pemukiman, UU Bangunan Gedung dan UU Perlindungan Konsumen dan berbagai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum.

2. Tanggungjawab pengembang dalam perjanjian jual beli rumah tidak seimbang dengan kewajiban konsumen. Tanggungjawab pengembang

(17)

dalam tahap pra transaksi tidak ada karena brosur perumahan yang dikeluarkan oleh pengembang dianggap sebagai bentuk penawaran umum yang tidak mempunyai kekuatan mengikat, sebelum dituangkan dalam perjanjian pengikatan jual beli. Dalam tahap transaksi konsumen yang tertuang dalam perjanjian pengikatan jual beli dan akta jual beli, kewajiban pengembang sangat ringan dibandingkan dengan kewajiban konsumen. Dalam tahap pasca transaksi konsumen, kewajiban pengembang dalam pemeliharaan bangunan rumah hanya berlangsung selama 3 bulan, hal ini terlalu singkat untuk menilai kualitas bangunan perumahan.

3. Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen yang dirugikan

oleh pengembang menurut pasal 45 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen dapat dilakukan melalui dua jalur yaitu melalui jalur di luar pengadilan dan melalui jalur pengadilan yang berada di bawah peradilan umum. Pemilihan penyelesaian sengketa konsumen tersebut tergantung kesepakatan para pihak. Apabila telah disepakati Penyelesaian sengketa di luar pengadilan, maka jalur pengadilan hanya dapat ditempuh apabila jalur di luar pengadilan tidak diperoleh kata sepakat. Gugatan yang diajukan oleh konsumen melalui jalur pengadilan dapat dilakukan atas dasar wanprestasi dan perbuatan melawan hukum .

(18)

Daftar Pustaka

Budihardjo, Eko, Sejumlah Masalah Pemukiman Kota, Bandung: Alumni, 1998.

Darus Badruzzaman, Mariam, KUHPerdata Buku III, Hukum Perikatan

dengan Penjelasannya, Bandung: Alumni, 1996.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Jakarta: Balai Pustaka, 1997.

Mertokusumo, Sudikno, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1984.

Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1980.

Parlindungan, AP, Komentar Atas Undang-undang Perumahan dan Pemukiman

dan Undang-undang Rumah Susun, Bandung: Madar Maju, 2001.

Satrio, J, Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992.

Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya,

Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.

Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum,

Bandung: Alumni, 1989.

Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.

Syahrani, Riduan, Asas-Asas dan Seluk Beluk Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 1992.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian kedua dilakukan oleh Ishaswini (2011) dengan tujuan penelitiannya yakni mempelajari mengenai dukungan kepada perlindungan atau kekhawatiran mengenai

Biaya produksi berbanding lurus sebagai variabel yang mempengaruhi pendapatan, semakin efesien biaya yang dikeluarkan, maka pendapatan bersih yang diterima semakin

Pada tataran implementasi, pelanggaran terhadap Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (2) UU PPLH akan lebih tepat dan efektif jika sanksi administrasi lebih

Dengan adanya rata- rata tingkat pemesanan yang konstan dan interval waktu jumlah pemesanan tidak tergantung pada yang lainnya, maka penentuan safety stock dapat

PENGEMBANGAN GREEN BEHAVIOR MELALUI PROGRAM FARMING AND GARDENING PADA MATA PELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

faktor tipe kepribadian dan harga diri. Untuk itu, dilakukan penelitian yang bersifat komparatif yaitu penelitian untuk mengetahui perbedaan kecenderungan bunuh

5.. Bagian penagihan ini bertanggung jawab untuk membuat dan mengirimkan faktur penjualan kepada pelanggan setelah memperoleh informasi lengkap berkenaan pengiriman barang

Gambar 3.15 Halaman Form Tambah Surat Masuk (Super Admin)