• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimasi suhu pencampuran dan lama pencampuran pada proses formulasi krim sunscreen ekstrak kering teh hijau (Camellia sinensis L.) dengan aplikasi desain faktorial - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Optimasi suhu pencampuran dan lama pencampuran pada proses formulasi krim sunscreen ekstrak kering teh hijau (Camellia sinensis L.) dengan aplikasi desain faktorial - USD Repository"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh : Reni Agustina NIM : 068114036

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

ii

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh : Reni Agustina NIM : 068114036

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

# $$$

v

!!"

(6)
(7)

vii

semua berkat dan penyertaan-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Optimasi Suhu Pencampuran dan Lama Pencampuran pada Proses Formulasi Krim Sunscreen Ekstrak Kering Teh Hijau dengan Aplikasi Desain Faktorial” ini dengan baik, yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Farmasi (S.Farm.) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Selama menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mengalami kesulitan dan hambatan. Namun dengan bantuan dari banyak pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan laporan akhir tersebut. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terimakasih atas bantuan dan motivasi yang telah diberikan kepada :

1. Rita Suhadi, M.Si., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Rini Dwiastuti, S.Farm, M.Sc., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan motivasi kepada penulis.

3. Dewi Setyaningsih, M.Sc., Apt., selaku dosen penguji atas kesediaannya meluangkan waktu untuk menjadi dosen penguji, serta kritik dan saran yang diberikan.

(8)

5. Papa, Mama, Adek, dan seluruh keluarga atas dukungan, kasih sayang, dan cintanya.

6. Eka dan Irene sebagai teman satu tim atas bantuan, kerjasama, dan dukungannya.

7. Teman-teman kos dewi, Wiwit, Nisia, Kaka, ci Siska, ci Nia atas dukungan dan persahabatan kita.

8. Emulsion, cream, soap dan shampoo team atas kebersamaan dan keceriaan selama di laboratorium.

9. Teman-teman kelompok A angkatan 2006 atas suka dan duka selama ini yang telah kita lewati bersama.

10.Pak Musrifin, Mas Agung, Mas Bimo, Pak Iswandi, Mas Ottok, Mas Kayat, serta laboran-laboran lain atas bantuannya kepada penulis dalam menyelesaikan laporan akhir ini.

11.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan laporan akhir ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan akhir ini banyak kekurangan mengingat adanya keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis. Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak. Akhir kata semoga laporan ini dapat berguna bagi pembaca.

(9)
(10)

x

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor dominan antara suhu pencampuran dan lama pencampuran yang menentukan sifat fisis dan stabilitas krim serta mengetahui area kondisi optimum krim yang memiliki sifat fisis dan stabilitas yang baik.

Rancangan penelitian yang dilakukan adalah kuasi-eksperimental dengan metode desain faktorial dua faktor : suhu dan lama pencampuran, masing-masing pada level rendah dan level tinggi. Krim sunscreen diuji sifat fisis dan stabilitasnya. Sifat fisis krim meliputi daya sebar dan viskositas, sedangkan stabilitas krim meliputi index creaming, pergeseran viskositas, ukuran droplet dan pergeseran ukuran droplet setelah satu bulan penyimpanan. Data hasil penelitian dianalisis secara statistik dengan menggunakan yate’s treatment taraf kepercayaan 95%.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa faktor suhu pencampuran dan lama pencampuran mempengaruhi sifat fisis dan stabilitas krim. Suhu pencampuran merupakan faktor yang dominan dalam menentukan sifat fisis daya sebar dan viskositas, sedangkan interaksi antara suhu pencampuran dan lama pencampuran dominan terhadap respon pergeseran viskositas. Superimposed contour plot

menunjukkan area optimum dari daya sebar, viskositas, dan pergeseran viskositas yang diperkirakan sebagai proses pencampuran yang optimum krim sunscreen

pada level yang diteliti.

(11)

xi

ABSTRACT

The aim of this research were to determine the dominant factor beetwen mixing temperature and duration temperature that influence on the physical properties and the cream stabilities and to determine the optimum condition of the mising process which has good physical properties and stabilities of cream.

The study was Quasi-experimental research with two factor of Factorial Design method which are mixing temperature and duration temperature at low and high levels. Sunscreen cream were tested for physical properties and physical stabilities. The physical properties such as spreadability, viscosity, and globule size, and the physical stabilities such as viscosity shift over one month storage, globule size shift over one month storage, and index creaming. The data were analyzed statistically using Yate’s treatment with 95% level of confidence.

The result show that the mixing temperature and mixing duration influence cream’s physical properties and physical stabilities. Mixing temperature was dominant on determining spreadability and viscosity, while interaction between mixing temperature and mixing duration was dominant on determining viscosity shift. The superimposed contour plot showed the optimum area of spreadability, viscosity, and viscosity shift. The area was estimated as optimum mixing process of sunscreen cream on the level studied.

(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vi

PRAKATA ... vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ix

INTISARI ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Keaslian Karya ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Tujuan Penelitian ... 5

(13)

A. Teh ... 6

B. Polifenol Teh ... 7

C. Ekstrak ... 9

D. Krim ... 10

E. Pencampuran ... 11

F. Sinar Ultraviolet ... 13

1. Pengertian dan Pengelompokkan Sinar Ultraviolet ... 13

2. Efek Buruk Sinar Ultraviolet... 14

3. Efek Baik Sinar Ultraviolet ... 15

G. Sunscreen ... 15

H. Sun Protection Factor (SPF) ... 16

I. Spektrofotometri UV ... 17

J. Uji Sifat Fisik ... 18

1. Daya Sebar ... 18

2. Viskositas ... 18

K. Uji Stabilitas ... 19

L. Metode Faktorial Desain ... 19

M.Landasan Teori ... 21

N. Hipotesis ... 23

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 24

A. Jenis Rancangan Penelitian ... 24

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 24

(14)

2. Definisi Operasional ... 24

C. Bahan dan Alat Penelitian ... 26

D. Tata Cara Penelitian ... 27

1. Penetapan kadar polifenol dalam ekstrak kering teh hijau ... 27

2. Penentuan nilai SPF secara in vitro ... 29

3. Optimasi proses pencampuran suhu dan lama pencampuran ... 31

a) Formula Krim Sunscreen ... 31

b) Pembuatan Krim Sunscreen ... 31

4. Pengujian tipe krim sunscreen ... 32

5. Uji daya sebar krim ... 33

6. Uji viskositas krim ... 33

7. Uji mikromeritik ... 34

8. Uji persen pemisahan ... 34

E. Analisis Data dan Optimasi ... 34

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

A. Penetapan Kadar Polifenol dalam Ekstrak Kering Teh Hijau ... 36

B. Penentuan Nilai SPF secara In Vitro ... 40

C. Pembuatan krim ... 42

D. Pengujian Tipe Krim ... 45

E. Uji Sifat Fisik dan Stabilitas Krim Sunscreen ... 46

1. Uji Sifat Fisik Krim ... 47

a. Uji Daya Sebar ... 47

(15)

2. Uji Stabilitas Krim ... 53

a. Uji Pergeseran Viskositas ... 53

b. Uji index creaming ... 56

c. Uji Pergeseran Ukuran Droplet ... 56

F. Optimasi Proses Pencampuran Suhu dan Lama Pencampuran ... 61

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67

LAMPIRAN ... 70

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel I. Komponen teh hijau ... 7

Tabel II. Kategori Nilai SPF ... 17

Tabel III. Rancangan percobaan desain faktorial dengan dua faktor dan dua level ... 20

Tabel IV. Percobaan desain faktorial ... 31

Tabel V. Hasil pengukuran absorbansi senyawa hasil reaksi kolorimetri seri larutan baku pembanding kuersetin... 39

Tabel VI. Hasil perhitungan kadar polifenol dalam ekstrak kering teh hijau... 40

Tabel VII. Hasil perhitungan nilai SPF polifenol teh hijau secara in vitro... 42

Tabel VIII. Hasil pengukuran uji sifat fisis dan stabilitas krim ... 46

Tabel IX. Efek suhu pencampuran, lama pencampuran, dan interaksi keduanya dalam menentukan sifat fisis dan stabilitas krim ... 47

Tabel X. Hasil perhitungan yate’s treatment pada respon daya sebar ... 49

Tabel XI. Hasil perhitungan yate’s treatment pada respon viskositas ... 52

Tabel XII. Hasil perhitungan yate’s treatment pada respon pergeseran viskositas ... 55

Tabel XIII. Modus ukuran droplet krim sunscreen ... 58

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur (-)-Epicatechin, (-)-Epigallocatechin, (-)-Epicatechin gallate, dan (-)-Epigallocatechin gallate ... 9 Gambar 2. Struktur Kuersetin ... 37 Gambar 3. Scanning operating time kuersetin dengan metode

Folin-Ciocalteu ... 38 Gambar 4. Scanning panjang gelombang serapan maksimum kuersetin dengan metode Folin-Ciocalteu ... 38 Gambar 5. Hasil scanning spektra UV larutan polifenol teh hijau ... 41 Gambar 6. Hasil pengujian tipe krim dengan metode warna menggunakan

(18)

Gambar 14. Contour plot respon daya sebar krim sunscreen ekstrak kering teh hijau ... 62 Gambar 15. Contour plot respon viskositas krim sunscreen ekstrak kering teh hijau ... 63 Gambar 16. Contour plot respon pergeseran viskositas krim sunscreen ekstrak kering teh hijau ... 64 Gambar 17. Superimposed contour plot krim sunscreen ekstrak kering

(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Certificate of Analyze ... 70

Lampiran 2. Penetapan kadar polifenol ekstrak kering teh hijau ... 72

Lampiran 3. Penetapan nilai SPF ... 76

Lampiran 4. Perhitungan jumlah polifenol yang ditambahkan dalam formula krim sunscreen ... 78

Lampiran 5. Perhitungan uji sifat fisis krim sunscreen dan pH sediaan ... 79

Lampiran 6. Data uji stabilitas krim sunscreen ekstrak kering teh hijau ... 82

Lampiran 7. Notasi dan rancangan desain faktorial ... 98

Lampiran 8. Perhitungan persamaan desain faktorial ... 99

Lampiran 9. Perhitungan yate’s treatment ... 108

Lampiran 10. Perhitungan HLB ... 117

(20)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Sinar matahari sangat penting bagi kehidupan manusia. Namun paparan sinar matahari yang berlebihan dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan, termasuk kerusakan kulit. Dua jenis radiasi sinar UV yaitu UVA dan UVB dapat mengakibatkan kanker kulit dan melemahkan sistem imun. Oleh karena itu, dibutuhkan produk sunscreen yang dapat melindungi kulit dari kerusakan akibat paparan sinar UV (Anonim, 2006).

Bahan aktif yang digunakan dalam sediaan sunscreen merupakan senyawa yang dapat mengabsorbsi atau menghamburkan sinar sehingga dapat melemahkan energi sinar UV sebelum berpenetrasi ke dalam kulit. Setiap bahan aktif mengabsorbsi pada daerah UV yang terbatas, tergantung dari struktur kimianya (Stanfield, 2003). Saat ini banyak dikembangkan penelitian mengenai bahan aktif alami yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan aktif

sunscreen. Ekstrak teh hijau dari Camellia sinensis L. dan kandungan polifenol teh hijau terbanyak, yaitu epigllocatechingallate (EGCG) menunjukkan efek

(21)

Sediaan sunscreen banyak dikembangkan dalam bentuk krim dan lotion. Krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai (Anonim, 1995). Dalam formulasi suatu sediaan, proses pencampuran menjadi salah satu hal yang penting untuk diperhatikan sehingga dapat dihasilkan sediaan yang dapat diterima konsumen.

Proses pencampuran merupakan proses penting dalam pembuatan sediaan obat dengan tujuan mencapai homogenitas partikel (Voigt, 1994). Banyak faktor yang mempengaruhi proses pencampuran, antara lain temperatur, kecepatan geser, tegangan geser, tekanan dan waktu pencampuran (Nielloud dan Mestres, 2000). Homogenitas tergantung dari lama pencampuran, namun lamanya waktu pencampuran tidak menjamin tercapainya homogenitas yang ideal (Voigt, 1994).

Dalam proses pencampuran diperlukan energi, baik berupa energi kinetik maupun energi panas. Suhu pencampuran dapat mempengaruhi tegangan antar muka (Nielloud dan Mestres, 2000). Suhu memberikan energi panas yang akan menurunkan tegangan permukaan, sehingga mempengaruhi efektivitas pencampuran.

(22)

sedangkan stabilitas krim dilihat dari pergeseran viskositas, pergeseran ukuran droplet, dan persen pemisahan.

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah desain faktorial, yang digunakan untuk mengetahui efek faktor yang diprediksi dominan dalam menentukan sifat fisik dan stabilitas krim dan dapat diketahui ada atau tidaknya interaksi antara kedua faktor tersebut, serta untuk mengetahui daerah kondisi optimum dari suhu pencampuran dan lama pencampuran yang menghasilkan krim

sunscreen ekstrak teh hijau yang memiliki sifat fisis dan stabilitas yang dikehendaki.

Area kondisi optimum antara suhu pencampuran dan lama pencampuran diperoleh dari penggabungan contour plot masing-masing respon yang disebut dengan superimposed countour plot yang selanjutnya diprediksikan sebagai area kondisi yang optimum terbatas pada level yang diteliti. Analisis data dilakukan dengan teknik yate’s treatment dengan taraf kepercayaan 95% untuk mengetahui signifikasi dari setiap faktor dan interaksi dalam mempengaruhi respon.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan diteliti adalah :

(23)

2. Dapatkah ditemukan area optimum antara suhu pencampuran dan lama pencampuran dalam proses pencampuran krim sunscreen ekstrak kering teh hijau sehingga diperoleh sifat fisis dan stabilitas krim yang baik?

C. Keaslian Penelitian

Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan penulis, penelitian tentang Optimasi Suhu Pencampuran dan Lama Pencampuran pada Proses Formulasi Krim Sunscreen Ekstrak Kering Teh Hijau (Camellia sinensis L.) dengan Aplikasi Desain Faktorial belum pernah dilakukan.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Menambah ilmu pengetahuan dalam pembuatan krim sunscreen ekstrak teh hijau dengan perbandingan suhu pencampuran dan lama pencampuran yang ideal.

2. Manfaat metodologi

Menambah informasi bagi ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang kefarmasian mengenai aplikasi desain faktorial pada proses pembuatan krim

sunscreen.

3. Manfaat Praktis

(24)

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaruh faktor proses pencampuran suhu pencampuran, lama pencampuran, atau interaksi keduanya dalam menghasilkan krim

sunscreen ekstrak kering teh hijau yang mempunyai sifat fisik dan stabilitas yang baik.

2. Mengetahui area perbandingan optimum suhu pencampuran dan lama pencampuran pada superimposed contour plot dalam sediaan krim sunscreen

(25)

6

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Teh

Teh (Camellia sinensis L.) familia Theaceae, merupakan bahan minuman yang secara universal dikonsumsi di banyak negara serta di berbagai lapisan masyarakat. Teh hitam diproduksi oleh lebih dari 75% negara di dunia, sedangkan teh hijau diproduksi kurang lebih di 22% negara di dunia (Tuminah, 2004).

Teh hijau berasal dari pucuk daun tanaman teh (Camellia sinensis L.), yang dibuat melalui proses pengolahan tertentu. Berdasarkan proses penanganan pascapanennya, teh diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yaitu teh oolong, teh hitam, dan teh hijau.

1. Teh hitam

Teh hitam diperoleh melalui proses fermentasi. Fermentasi yang dilakukan tidak menggunakan mikroba sebagai sumber enzim, melainkan dilakukan oleh enzim polifenol oksidase yang terdapat dalam teh itu sendiri. Pada proses fermentasi ini, katekin (flavonol) mengalami oksidasi dan menghasilkan thearubigin. Fermentasi dilakukan pada suhu sekitar 22-28oC dengan kelembaban sekitar 90%. Lamanya fermentasi sangat menentukan kualitas hasil akhir, biasanya dilakukan selama 2-4 jam.

2. Teh oolong

(26)

dilayukan terlebih dulu kemudian dipanaskan pada suhu 160-240oC selama 3-7 menit untuk inaktivasi enzim, selanjutnya digulung dan dikeringkan.

3. Teh Hijau

Teh hijau diperoleh tanpa proses fermentasi, daun teh diperlakukan dengan panas sehingga terjadi inaktivasi enzim. Pemanasan dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan udara kering dan pemanasan basah dengan uap panas (steam). Pada pemanasan dengan suhu 85oC selama 3 menit menyebabkan penurunan aktivitas enzim polifenol oksidase hingga 5,49% (Tuminah, 2004). Komposisi kandungan kimia yang terdapat dalam teh hijau ditunjukkan pada tabel I.

Tabel I. Komponen teh hijau

No. Komponen % Berat kering

1. Kafein 7,43

2. (-)Epicatechin 1,98

3. (-)Epicathecin gallat 5,20

4. (-)Epigallocathecin 8,42

5. (-)Epigallocathecin gallat 20,29

(27)

(-)-epigallocatechin-3-gallate (EGCG), (-)-epigallocatechin (EGC), (-)- epicatechin-3-gallate (ECG), (-)-epicatechin (EC), dan (+)-catechin (Huang et al., 2007).

EGCG merupakan komponen terbesar dalam teh hijau. EGCG bersifat tidak higroskopis, larut dalam air, dan memiliki kelarutan tertinggi pada pH 5-7. Stabilitas EGCG yang tertinggi adalah pada pH 5 (Kellar et al., 2005).

Gambar 1. Struktur (-)-Epicatechin, (-)-Epigallocatechin, (-)-Epicatechin gallate, dan

(-)-Epigallocatechin gallate (Svobodova et al., 2003)

Polifenol-polifenol dalam teh dapat berfungsi sebagai antiinflamasi atau antikarsinogenik terhadap sistem biologis. Dari semua jenis polifenol teh, EGCG mempunyai fungsi sebagai agen kemoprotektif yang paling efektif dalam melawan inflamasi kulit dan kanker (Svobodova et al., 2003).

(28)

paparan sinar matahari menunjukkan penurunan terjadinya eritema yang diinduksi oleh sinar UVB, aktivitas myeloperoksidase, H2O2 dan produksi NO, serta

peroksidasi lipid pada kulit manusia (Svobodova et al., 2003).

C. Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung (Anonim, 1979). Menurut Voigt (1994), ekstrak dapat dikelompokkan berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki :

1. Ekstrak encer (extractum tenue) : Sediaan ini memiliki konsistensi madu dan dapat dituang.

2. Ekstrak kental (extractum spissum) : Sediaan ini liat dalam keadaan dingin dan tidak dapat dituang. Kandungan airnya berjumlah sampai 30%.

3. Ekstrak kering (extractum siccum) : Memiliki konsistensi kering dan mudah digosokkan. Melalui penguapan cairan pengekstraksi dan pengeringan sisanya terbentuk suatu produk, yang sebaiknya menunjukkan kandungan lembab tidak lebih dari 5%.

4. Ekstrak cair (extractum fluidum) : Sediaan ini dibuat sedemikian sehingga 1 bagian jamu sesuai dengan 2 bagian (kadang-kadang juga satu bagian) ekstrak cair.

(29)

pengaturan dosis. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk (Anief, 2000).

D.Krim

Krim adalah sediaan setengah padat, berupa emulsi mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar (Anonim, 1979). Krim merupakan bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat yang terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai (Anonim, 1995). Krim merupakan padatan lembut atau cairan kental yang keruh (opaque), yang ditujukan untuk aplikasi luar. Krim mengandung zat aktif terlarut atau tersuspensi dalam basis tercuci air (vanishing cream) atau basis emollient (Allen, 2002).

Tipe krim ada dua macam, yaitu tipe air dalam minyak (A/M) dan tipe minyak dalam air (M/A) (Allen, 2002). Jika fase terdispersi bersifat nonpolar (minyak) dan fase luar adalah polar (air), emulsi tersebut adalah tipe M/A. Sedangkan jika fase terdispersi adalah air dan medium dispersi adalah minyak, maka emulsi tersebut adalah tipe A/M. Tipe A/M tidak larut dalam air dan tidak dapat dicuci dengan air, sedangkan tipe M/A dapat bercampur dengan air, dapat dicuci dengan air, dan tidak berminyak (Allen, 1999).

(30)

tersebut distabilkan dengan adanya emulsifying agent (Martin, Swarbick, dan Cammarata, 1993).

Hal yang penting diperhatikan dalam pembuatan emulsi adalah stabilitas fisiknya. Karakteristik stabilitas fisik tersebut dilihat dari tidak adanya fenomena

creaming dan coalescence dan memiliki kenampakan, bau, warna, dan sifat fisik lainnya yang stabil (Allen, 1999).

Creaming terjadi ketika droplet mengalami flokulasi dan terkonsentrasi pada satu tempat spesifik dalam emulsi. Creaming sering terjadi pada emulsi M/A, yaitu droplet minyak terkumpul dan berada di atas. Hal ini disebabkan karena densitas minyak yang lebih kecil daripada air. Creaming bersifat reversible

dan emulsi dapat diredistribusi dengan penggojogan, karena droplet yang terdispersi masih mempunyai lapisan film yang melindungi di sekelilingnya. Peristiwa ini dapat diminimalisasi dengan meningkatkan viskositas fase eksternal dan memperkecil ukuran droplet (Allen, 1999).

Coalescence atau breaking, adalah proses irreversible, yang disebabkan karena rusaknya lapisan film di sekitar droplet. Perubahan viskositas dimungkinkan dapat menambah stabilitas dan meminimalisasi terjadinya

coalescence (Allen, 1999).

E. Pencampuran

(31)

sebagai suatu proses di mana 2 atau lebih komponen berada berdekatan dan memungkinkan adanya kontak antar partikel satu dengan partikel dari komponen lainnya (Aulton, 2002).

Proses pencampuran termasuk ke dalam proses penting diperlukan dalam pembuatan sediaan obat. Pencampuran diperlukan untuk memungkinkan tercapainya homogenitas campuran dari dua atau lebih bahan. Prinsip dasar pencampuran terletak pada penyusupan partikel bahan yang satu di antara partikel bahan lainnya. Tingkat pencampuran umumnya tergantung pada lama pencampuran, meskipun demikian, pencampuran yang lama tidak menjamin tercapainya homogenitas ideal yang dikehendaki, sebab proses pencampuran maupun proses pemisahan pada saat yang sama berlangsung secara kompetitif dan tetap (Voigt, 1994).

Suhu yang tinggi harus dijaga selama proses pencampuran, hal ini dapat mengurangi kemungkinan terjadinya pemadatan atau kristalisasi yang terlalu cepat atau tidak sesuai dari senyawa yang memiliki titik leleh tinggi selama proses pencampuran. Namun perlu diperhatikan pula untuk tidak melakukan pemanasan yang berlebihan yang akan memungkinkan terjadinya degradasi dari komponen yang sensitif terhadap suhu (Lieberman, Riger, dan Banker, 1996).

(32)

Prinsip mekanisme pencampuran cair-cair ada tiga, yaitu : 1. Bulk transport : merupakan analog dari convective mixing pada powder di mana pada pencampuran ini terjadi gerakan sejumlah besar material dari satu tempat ke tempat lain; 2. Turbulent mixing : terjadi dari gerakan secara acak dari molekul yang dipaksa bergerak turbulen; 3. Molecular diffusion : merupakan analog dari

diffusion mixing di mana terjadi gerakan acak partikel secara individu, terjadi redistribusi partikel-partikel (Aulton, 2002).

F. Sinar Ultraviolet

1. Pengertian dan Pengelompokan Sinar Ultraviolet

Ultraviolet (UV) merupakan emisi sinar radioaktif dari matahari. Ada beberapa macam sinar UV, yaitu :

1. UV A memiliki panjang gelombang 320-400 nm teletak pada bagian akhir spektrum UV. Radiasi UVA dapat berpenetrasi jauh lebih dalam ke dalam kulit dan menjadi penyebab utama penuaan dan keriput kulit, tetapi memiliki efek sunburn yang lebih kecil dibandingkan UV B.

2. UVB memiliki panjang gelombang 290-320 nm terletak pada bagian tengah spektrum UV. Sebagian besar UVB diabsorbsi pada epidermis kulit dan tidak mencapai dermis di mana kerutan terbentuk sehingga dapat menyebabkan

(33)

3. UVC memiliki panjang gelombang 200-280 nm terletak pada bagian awal spektrum UV. UV C sangat berbahaya, tetapi tidak sampai ke bumi karena sebelum mencapai bumi telah diabsorbsi oleh gas di atmosfer (Todorov,1999)

2. Efek Buruk Radiasi Ultraviolet

Radiasi sinar UV yang mencapai bumi adalah 90-95% adalah UVA. Sinar UVA sebagai aging ray penetrasi ke dalam epidermis dan dermis. Sinar UVA efektif untuk memproduksi efek immediate tanning yang menyebabkan penggelapan melanin pada epidermis. Sedangkan radiasi UVB dianggap sebagai

burning ray dan mempunyai radiasi 4-5% dari sinar UV. UVB termasuk bagian yang minor tapi merupakan konstituen aktif sinar matahari. Sinar UVB dapat menyebabkan inflamasi pada kulit dan eritema. Sinar UVB signifikan menurunkan daya antioksidan pada kulit, mengurangi kemampuan kulit untuk melindungi diri terhadap terbentuknya radikal bebas karena radiasi sinar ultraviolet. Hal ini memiliki kemampuan untuk menginduksi kanker kulit (squamous dan basal sel karsinoma) karena kerusakan DNA (Svobodova et al, 2003).

3. Efek Baik Radiasi Ultraviolet

(34)

G. Sunscreen

Sunscreen adalah bahan kimia yang dapat menyerap atau memantulkan radiasi ultraviolet sehingga melemahkan energi ultraviolet sebelum terpenetrasi ke kulit (Stanfield, 2003). Menurut Food and Drug Administration (1999), bahan aktif sunscreen merupakan bahan yang dapat menyerap, memantulkan, atau menghamburkan radiasi pada daerah ultraviolet, yaitu radiasi sinar dengan panjang gelombang 290-400 nm.

Bahan aktif sunscreen merupakan senyawa yang dapat mengabsorbsi atau menghamburkan sinar sehingga dapat melemahkan energi sinar UV sebelum berpenetrasi pada kulit. Setiap bahan aktif mengabsorbsi pada daerah UV yang terbatas, tergantung dari struktur kimianya (Stanfield, 2003).

Sediaan topical sunscreen dibagi menjadi dua kategori, yaitu agen organik (chemical sunscreen) dan agen inorganik (physical sunscreen).

1. Physical sunscreen

Agen inorganik (titanium dioksida dan seng oksida) memantulkan dan menghancurkan radiasi ultraviolet dan visibel dari selapis partikel logam yang inert, yang membentuk barrier yang buram. Kemampuan physical sunscreen dalam melindungi kulit dari radiasi ultraviolet tergantung pada ukuran partikelnya. Physical sunscreen bersifat fotostabil, dan tidak bereaksi dengan

(35)

2. Chemical sunscreen

Organic sunscreen bekerja dengan mengabsorpsi radiasi ultraviolet. Senyawa yang dapat digunakan sebagai organic sunscreen harus stabil terhadap sinar matahari, terlarut atau terdispersi dengan mudah dalam pembawanya, dan tidak hilang karena keringat atau berenang. Organic sunscreen harus bersifat non-toksik dan tidak menyebabkan iritasi atau alergi (Lautenschlager, 2007).

H. Sun Protection Factor (SPF)

SPF merupakan indikator universal untuk mendeskripsikan efisiensi dari produk sunscreen. SPF menunjukkan kemampuan produk sunscreen dalam mengurangi eritema yang diinduksi oleh sinar UV (El-Boury et al., 2007). SPF merupakan perbandingan Minimal Erythema Dose (MED) pada kulit manusia yang terlindungi oleh sunscreen dengan MED tanpa perlindungan sunscreen.

Secara in vitro, SPF dapat dihitung berdasarkan persamaan SPF = 10A. SPF menurut persamaan tersebut didapat dari nilai absorbansi pada panjang gelombang tunggal, biasanya merupakan puncak absorbansi. Nilai SPF yang dihasilkan umumnya tinggi, bahkan lebih tinggi daripada yang sebenarnya. Hal ini disebabkan persamaan tersebut berlaku bila radiasi yang digunakan merupakan sinar monokromatis, padahal sinar UV matahari merupakan radiasi polikromatis. Hal ini dapat diatasi dengan memasukkan nilai area di bawah kurva dari grafik rentang panjang gelombang λn-λ1 sehingga diperoleh persamaan sebagai berikut :

(36)

λ1 = 290 nm

λn = panjang gelombang di atas 290 nm yang mempunyai absorbansi 0,05

(Petro, 1981) Berdasarkan nilai SPF, sunscreen dapat dikelompokkan menjadi produk proteksi minimal, sedang, ekstra, maksimal, dan ultra.

Tabel II. Kategori nilai SPF

SPF Kategori

2 - < 12 Proteksi minimal 12 - < 30 Proteksi sedang

30+ Proteksi tinggi

(Anonim, 1999)

I. Spektrofotometri Ultraviolet

(37)

J. Uji Sifat Fisik

1. Daya Sebar

Daya sebar berhubungan dengan sudut kontak antara sediaan dengan tempat aplikasinya yang mencerminkan kelicinan (lubricity) sediaan tersebut, yang berhubungan langsung dengan koefisien gesekan. Daya sebar merupakan karakteristik yang penting dari formulasi sediaan topikal dan bertanggung jawab untuk ketepatan transfer dosis atau melepaskan bahan atau obatnya, dan kemudahan penggunaannya (Garg et al., 2002).

Daya sebar dipengaruhi oleh konsentrasi formula, kecepatan dan lama pengaplikasian, suhu permukaan substrat, viskositas, kecepatan penguapan pelarut, dan peningkatan viskositas akibat penguapan pelarut tersebut (Garg et al., 2002).

2. Viskositas

Viskositas adalah suatu pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk mengalir, makin tinggi viskositas akan semakin besar tahanannya (Martin, Swarbick, dan Cammarata, 1993). Viskositas merupakan parameter reologi yang penting dalam sediaan semisolid. Peningkatan viskositas dapat meningkatkan waktu retensi sediaan pada kulit (Garg et al., 2002).

(38)

K. Uji Stabilitas

Uji stabilitas emulsi penting dilakukan untuk mengetahui apakah emulsi tetap stabil selama periode waktu tertentu. Uji yang biasa dilakukan meliputi :

1. Uji makroskopik. Stabilitas fisik emulsi diketahui dari uji derajat creaming

atau koalesens yang terjadi pada periode waktu tertentu. Hal tersebut dilakukan dengan menghitung rasio volume emulsi yang mengalami pemisahan dibandingkan dengan volume total emulsi.

2. Analisis ukuran droplet. Jika rata-rata ukuran droplet meningkat seiring bertambahnya waktu (bersamaan dengan penurunan jumlah droplet) maka dapat diasumsikan peristiwa tersebut disebabkan oleh koalesens.

3. Perubahan viskositas. Adanya variasi pada ukuran droplet dideteksi dengan perubahan viskositas secara nyata (Aulton,2002).

Uji stabilitas fisik pada krim meliputi penampilan, bau, viskositas, kehilangan air, homogenitas secara fisik dan kimia, distribusi ukuran partikel, pembentukan endapan, pH, pemisahan emulsi (Anonim, 2003).

L. Metode Desain Faktorial

(39)

faktor-faktor akan menyebabkan perubahan besar pada responnya. Model yang diperoleh dari persamaan tersebut berupa persamaan matematika (Bolton, 1997).

Desain faktorial dua level berarti ada dua faktor yang masing-masing faktor diuji pada dua level yang berbeda, yaitu level rendah dan level tinggi. Melalui desain faktorial ini dapat diketahui faktor yang dominan yang berpengaruh secara signifikan terhadap suatu respon dalam suatu percobaan Adanya efek dan interaksi dapat ditentukan secara pasti berdasarkan hasil rancangan desain faktorial (Bolton, 1997).

Persamaan umum yang digunakan dalam desain faktorial adalah :

Y = b0 + b1X1 + b2X2 + b12X1X2...(1)

Dimana :

Y = respon hasil atau sifat yang diamati X1,X2 = level bagian A , level bagian B

b0 = rata-rata dari semua percobaan

b1, b2, b12 = koefisien yang dihitung dari hasil percobaan

Pada desain faktorial dua level dan dua faktor dibutuhkan empat percobaan (2n = 4, dengan 2 menunjukkan level dan n menunjukkan jumlah faktor). Penamaan formula untuk percobaan tersebut adalah formula 1 untuk percobaan I, formula a untuk percobaan II, formula b untuk percobaan III, dan formula ab untuk percobaan IV.

Tabel III. Rancangan percobaan desain faktorial dengan dua faktor dan dua level

Formula Faktor A Faktor B Interaksi

1 - - +

A + - -

B - + -

(40)

Keterangan :

(-) = level rendah (+) = level tinggi

Formula 1 = faktor A level rendah, faktor B rendah Formula a = faktor A level tinggi, faktor B rendah Formula b = faktor A level rendah, faktor B tinggi Formula ab = faktor A level tinggi, faktor B tinggi

Berdasarkan persamaan di atas, besarnya efek masing-masing faktor maupun efek interaksi dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

1. Efek A = [(a-1)+(ab-b)]/2...(2) 2. Efek B = [(b-1)+(ab-b)]/2 ...(3) 3. Efek interaksi A dan B = [(ab-b)+(1-a)]/2...(4) (Bolton, 1997). Dari metode desain faktorial, perhitungan efek dapat digunakan untuk memperkirakan efek yang dominan dalam menentukan respon. Keuntungan utama desain faktorial adalah bahwa metode ini memungkinkan untuk mengidentifikasi efek masing-masing faktor, maupun efek interaksi antar faktor (Muth, 1999). Selain faktor dominan yang berpengaruh yang dapat diketahui dari metode ini, dapat juga diketahui komposisi optimum melalui superimposed contour plot pada level yang diteliti (Bolton, 1997).

M. Landasan Teori

(41)

sediaan krim yang memiliki sifat fisik dan stabilitas yang baik dan memenuhi syarat yang ditentukan.

Proses pencampuran merupakan tahap yang penting dalam pembuatan sediaan krim. Dalam proses pencampuran tersebut diperlukan adanya energi, baik energi panas dan energi kinetik. Suhu pencampuran dan lama pencampuran merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam proses pencampuran. Suhu yang tinggi memberikan energi panas dalam proses pencampuran krim. Adanya energi panas tersebut akan menurunkan tegangan permukaan antara fase minyak dan air sehingga mempengaruhi proses pendispersian fase internal ke dalam fase eksternal. Namun suhu pencampuran perlu dijaga agar tidak terjadi degradasi senyawa yang mudah rusak karena pemanasan.

Waktu pencampuran sangat mempengaruhi homogenitas krim. Dalam pembuatan krim, proses pencampuran dan proses pemisahan berlangsung bersamaan secara kompetitif dan tetap, sehingga waktu pencampuran yang digunakan dalam proses pencampuran harus optimum.

Suhu pencampuran dan lama pencampuran mempengaruhi proses pencampuran krim, sehingga suhu dan lama pencampuran perlu dioptimasi agar dihasilkan krim dengan sifat fisis dan stabilitas yang baik.

(42)

Sedangkan stabilitas krim dilihat dari formula yang memiliki kestabilan selama penyimpanan seperti pergeseran ukuran droplet dan viskositas.

N. Hipotesis

1. Suhu pencampuran dan lama pencampuran berpengaruh terhadap respon sifat fisis dan stabilitas krim sunscreen ekstrak kering teh hijau (Camellia sinensis

L.).

(43)

24

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kuasi-eksperimental, karena sampel hanya diberi perlakuan tanpa digunakan kontrol. Desain penelitian ini menggunakan desain faktorial.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

a. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah suhu pencampuran dan lama pencampuran.

b. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah sifat fisis krim sunscreen

(daya sebar, viskositas, dan ukuran droplet) dan stabilitas krim (pergeseran viskositas, pergeseran ukuran droplet, dan index creaming).

c. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah lama penyimpanan dan sifat wadah penyimpanan.

d. Variabel pengacau tak terkendali dalam penelitian ini adalah suhu penyimpanan dan intensitas cahaya.

2. Definisi Operasional

(44)

teh hijau, fase air, dan fase minyak sesuai formula yang ditentukan, dan dibuat sesuai prosedur pembuatan krim pada penelitian ini.

b. Ekstrak kering Teh Hijau adalah ekstrak kering dari daun teh hijau (Camellia sinensis L.) yang berupa serbuk halus dan mengandung sejumlah besar polifenol.

c. Pencampuran adalah proses pendistribusian bahan satu ke bahan yang lain. d. Faktor adalah besaran yang mempengaruhi respon, dalam penelitian ini

digunakan 2 faktor, yaitu suhu pencampuran sebagai faktor A dan lama pencampuran sebagai faktor B.

e. Level adalah nilai atau tetapan untuk faktor, dalam penelitian ini terdapat 2 level, yaitu level rendah dan level tinggi. Level rendah suhu pencampuran pada suhu 45oC dan level tinggi pada suhu 65oC. Level rendah lama pencampuran selama 10 menit dan level tinggi lama pencampuran selama 20 menit.

f. Respon adalah besaran yang akan diamati perubahan efeknya, besarnya dapat dikuantitatifkan.

g. Efek adalah perubahan respon yang disebabkan variasi level dan faktor. Besarnya efek dapat diketahui dengan menghitung selisih antara rata-rata respon pada level tinggi dan rata-rata respon pada level rendah.

(45)

i. Stabilitas fisik krim adalah parameter untuk mengetahui tingkat kestabilan krim, dalam hal ini meliputi index creaming, perubahan viskositas, dan pergeseran ukuran droplet.

j. Contour plotadalah grafik yang merupakan hasil dari respom sifat fisik dan stabilitas krim sunscreen.

k. Superimposed contour plot adalah grafik area pertemuan yang memuat semua arsiran dalam contour plot yang diprediksikan sebagai area optimum krim.

l. Area optimum adalah area kondisi yang menghasilkan krim dengan daya sebar 5 sampai 7 cm, viskositas 22 sampai 64 d.Pa.s, persen pergeseran viskositas (setelah penyimpanan satu bulan) kurang dari 10%.

C. Bahan dan alat penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak kering teh hijau yang diperoleh dari PT Sido Muncul, etanol, Na2CO3, aseton, reagen

Folin-Ciocalteu (p.a Merck, Germany), kuersetin (p.a Sigma Chem Co, USA), asam stearat, Setil alkohol, Trietanolamin, Span 80, Tween 80, asam sitrat, metil paraben (farmasetis, dari PBF Brataco Chemika), VCO, akuades, dan perfume.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mixer (Philips modifikasi Fakultas Farmasi USD), waterbath (Thamson-Holland), pHmeter (Hanna), mikroskop (Olympus), thermometer, pengaduk, cawan porselin, beaker glass, timbangan elektrik, gelas objek dan gelas penutup, kaca bulat berskala,

(46)

seri VT 04 (RION JAPAN), UV-VIS Spectrometers Lambda 20-Perkin Elmer, USA, UV/VIS Spectrophotometer SP-3000 Plus, Optima Inc., Japan.

D. Tata cara penelitian

1. Penetapan Kadar Polifenol dalam Ektrak Kering Teh Hijau

a) Pembuatan Larutan Stok Kuersetin 1 mg/ml

Kuersetin standar ditimbang kurang lebih seksama 0,05 g, kemudian dilarutkan dengan aseton 75% dalam labu ukur 50,0 ml dan diencerkan hingga tanda.

b) Penetapan Operating Time

Larutan stok kuersetin diambil sebanyak 4,00 ml, dimasukkan dalam labu ukur 10ml, lalu diencerkan dengan aseton 75% hingga tanda. Kemudian sebanyak 0,50 ml larutan tersebut diambil dan dimasukkan dalam labu ukur 50,0 ml yang telah ditambahkan pereaksi Folin-Ciocalteu 2N sebanyak 2,50 ml dan dibiarkan selama 2 menit. Setelah itu, ke dalam labu ukur tersebut ditambahkan 7,50 ml larutan Na2CO3 1,9M dan diencerkan dengan akuades hingga tanda. Larutan

kemudian divortex dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 726 nm selama 120 menit.

c) Penetapan Panjang Gelombang Maksimum

(47)

larutan dibiarkan selama 2 menit. Setelah itu, ke dalam labu ukur tersebut ditambahkan 7,50 ml larutan Na2CO3 1,9M dan diencerkan dengan akuades

hingga tanda. Larutan tersebut kemudian divortex dan diinkubasi selama OT, lalu disentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 600-800 nm.

d) Pembuatan dan Penetapan Kurva Baku

Kuersetin standar ditimbang kurang lebih seksama 0,05 g dilarutkan dengan aseton 75% pada labu ukur 50,0 ml, lalu diencerkan hingga tanda. Dari larutan stok terebut, kemudian dibuat seri konsetrasi kuersetin 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,5; dan 0,6 mg/ml, dengan pengenceran menggunakan aseton 75%. Kemudian dari masing-masing seri konsentrasi diambil 0,50 ml dan dimasukkan dalam labu ukur 50,0 ml yang telah ditambahkan 2,50 ml pereaksi Folin-Ciocalteu 2N, lalu dibiarkan selama 2 menit. Sebanyak 7,50 ml larutan Na2CO3 1,9M kemudian

ditambahkan ke dalam labu ukur tersebut dan diencerkan dengan akuades hingga tanda. Larutan divortex dan diinkubasi selama OT, kemudian disentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit. Setelah itu, absorbansi diukur pada panjang gelombang maksimum. Replikasi dilakukan sebanyak 3 kali.

e) Penetapan Kadar Polifenol dalam Ekstrak Kering Teh Hijau

(48)

Folin-Ciocalteu 2N sebanyak 2,50 ml, lalu dibiarkan selama 2 menit. Kemudian ke dalam labu ukur tersebut ditambahkan 7,50 ml larutan Na2CO3 1,9M dan

diencerkan dengan akuades hingga tanda. Larutan kemudian divortex dan diinkubasi selama OT, lalu disentrifuse dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit. Larutan tersebut kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimum. Replikasi dilakukan sebanyak 6 kali. Kadar polifenol dalam sampel dihitung dengan menggunakan persaman kurva baku sehingga diperoleh konsentrasi polifenol yang terhitung ekuivalen terhadap kuersetin.

2. Penetapan Kadar SPF secara in vitro

a) Pembuatan larutan stok polifenol teh hijau 30 mg%

Serbuk ekstrak kering teh hijau ditimbang setara dengan 30 mg polifenol teh hijau, kemudian dimasukkan dalam labu ukur 50,0 ml dan diencerkan dengan etanol 90% hingga tanda.

b) Penentuan spektra UV ekstrak kering teh hijau

Larutan stok polifenol diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan dalam labu ukur 10,0 ml, kemudian diencerkan dengan etanol 90% hingga tanda. Spektra UV diperoleh dengan scanning absorbansi larutan pada panjang gelombang antara 250-400 nm.

c) Penentuan nilai SPF

(49)

Absorbansi masing-masing konsentrasi diukur setiap 5 nm pada rentang panjang gelombang 290 hingga panjang gelombang tertentu di atas 290 nm yang mempunyai nilai serapan kurang dari 0,05. Dari hasil tersebut, kemudian dibuat kurva antara nilai absorbansi terhadap panjang gelombang. Luas daerah di bawah kurva (AUC) antara dua panjang gelombang yang berurutan dihitung dengan rumus :

AUC = − + 2 − −

Keterangan :

Ap = absorbansi pada panjang gelombang yang lebih tinggi di antara 2 panjang gelombang yang berurutan

A(p-a) = absorbansi pada panjang gelombang yang lebih rendah di antara dua panjang gelombang yang berurutan

λp = panjang gelombang yang lebih tinggi di antara dua panjang gelombang berurutan

λ(p-a) = panjang gelombang yang lebih rendah di antara dua panjang

gelombang berurutan

Seluruh luas daerah di bawah kurva absorbansi dapat dihitung dengan menjumlahkan semua harga AUC. Nilai SPF dihitung dengan rumus :

Log SPF = λn − λ1AUC

Keterangan :

N = panjang gelombang terbesar di antara panjang gelombang 290 nm hingga di atas 290 nm yang mempunyai nilai absorbansi 0,05

l = panjang gelombang terkecil (290 nm)

(50)

3. Optimasi Proses Pencampuran Suhu dan Lama Pencampuran

a) Formula Krim Sunscreen

Formula Standar (Michael, 1977) :

Asam stearat 10,0

Dari formula tersebut, dilakukan modifikasi : Fase minyak Asam stearat 10 g

Polifenol teh hijau 11,2048 mg (terhitung ekivalen terhadap kuersetin)

Perfume q.s

b) Pembuatan Krim Sunscreen

Tabel IV. Percobaan desain faktorial

Suhu pencampuran (oC) Lama pencampuran (menit)

(1) 45 10

a 65 10

b 45 20

(51)

Asam stearat dan setil alkohol masing-masing dilelehkan di atas waterbath pada suhu 70oC. Setelah meleleh, kedua bahan tersebut kemudian dicampurkan dan ditambahkan VCO, span 80, dan tween 80, sebagai campuran fase minyak. Campuran tersebut dipanaskan di atas waterbath pada suhu 70oC. Sedangkan fase air, yaitu metil paraben, gliserin, TEA dan 2/3 bagian akuades juga dipanaskan di atas waterbath pada suhu 70oC. Fase air kemudian dituang ke dalam wadah pencampuran, lalu fase minyak segera dituang ke dalam wadah tersebut. Kedua fase tersebut dicampurkan dengan menggunakan mixer pada kecepatan 400 rpm selama (10–20 menit) pada suhu (45oC–65oC). Setelah terbentuk massa krim, wadah pencampuran kemudian dipindahkan dari waterbath dan dimasukkan dalam wadah yang sudah diisi air. Kemudian proses dilanjutkan dengan penambahan asam sitrat yang dilarutkan dalam akuades sedikit demi sedikit sambil terus diaduk. Setelah itu, ditambahkan ekstrak teh hijau yang sebelumnya telah dilarutkan dalam sisa akuades dan terakhir ditambahkan beberapa tetes perfume secukupnya. Formula pada tiap perlakuan dibuat 3 kali replikasi.

4. Pengujian tipe krim sunscreen a) Metode warna

Sebanyak 0,5 g krim sunscreen dimasukkan ke dalam Beaker glass dan diencerkan dengan 2 ml akuades. Campuran diaduk kemudian ditambah 2 tetes

(52)

menunjukkan fase air sedangkan bagian yang tidak berwarna merupakan fase minyak.

b) Metode pengenceran

Metode ini dilakukan dengan memberi sedikit air pada sejumlah krim, kemudian digojog. Jika setelah penggojogan diperoleh suatu emulsi homogen, maka terdapat jenis M/A, sedangkan pada emulsi tipe A/M diperoleh hasil kebalikannya.

5. Uji Daya Sebar Krim

Uji daya sebar dilakukan 48 jam setelah pembuatan dengan cara : krim ditimbang seberat 1 gram, diletakkan di tengah kaca bulat berskala. Di atas krim diletakkan kaca bulat lain sebagai pemberat sehingga berat kaca bulat dan pemberat 125 gram, didiamkan selama 1 menit, kemudian dicatat penyebarannya (Garg et al., 2002). Replikasi dilakukan sebanyak 3 kali.

6. Uji Viskositas Krim

(53)

7. Uji Mikromeritik

Sejumlah krim dioleskan pada gelas objek kemudian diletakkan di atas meja benda pada mikroskop. Ukuran droplet yang terdispersi pada krim kemudian diamati. Perbesaran lemah digunakan untuk menentukan objek yang akan diamati kemudian diganti dengan perbesaran kuat. Lalu dicatat diameter terjauh dari tiap droplet sejumlah 500 droplet (Martin, Swarbick, dan Cammarata, 1993).

8. Uji index creaming

Dilakukan dengan menghitung rasio volume emulsi yang memisah dibanding volume total emulsi (Aulton, 2002).

E. Analisis Data dan Optimasi

Dalam penelitian ini, optimasi dilakukan dengan metode desain faktorial, yang kemudian dapat dihitung besarnya efek suhu pencampuran, lama pencampuran dan interaksi keduanya sehingga dapat diketahui faktor yang dominan dalam menentukan sifat fisis dan stabilitas krim. Area kondisi optimum suhu pencampuran dan lama pencampuran diperoleh dari penggabungan contour plot masing-masing respon yang disebut dengan superimposed countour plot. Area yang diperoleh selanjutnya diprediksikan sebagai area kondisi yang optimum terbatas pada level yang diteliti.

(54)

mempengaruhi respon. Berdasarkan analisis statistik ini, maka dapat ditentukan ada atau tidaknya hubungan dari setiap faktor dan interaksi terhadap respon. Hal tersebut dapat dilihat dari harga F hitung dan F tabel. Langkah awal ditentukan hipotesis terlebih dahulu, hipotesis alternatif (H1) menyatakan adanya interaksi

antara 2 faktor dan adanya perbedaan respon antara level rendah dan level tinggi pada tiap faktor, sedangkan H0 merupakan negasi dari H1 yang menyatakan tidak

adanya interaksi antara 2 faktor dan tidak ada perbedaan respon antara level rendah dan level tinggi pada tiap faktor. H1 diterima dan H0 ditolak bila harga F

(55)

36

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penetapan Kadar Polifenol dalam Ekstrak Kering Teh Hijau

Dalam penelitian ini, ekstrak teh hijau yang digunakan merupakan ekstrak kering yang diperoleh dari PT Sido Muncul. Ekstrak teh hijau memiliki ciri-ciri organoleptis berbau khas, berwarna hijau kecoklatan, dan memiliki rasa yang pahit.

Pada penelitian ini dilakukan verfikasi penetapan kadar polifenol dalam ekstrak kering teh hijau. Kadar total polifenol yang tertera pada CoA adalah 18,63% b/b. Kadar kandungan polifenol total dalam ekstrak yang diketahui, digunakan untuk menentukan jumlah ekstrak yang akan ditambahkan ke dalam formula, yang memenuhi nilai SPF yang dapat diterima. Penetapan kadar polifenol ini dilakukan dengan menggunakan metode Folin-Ciocalteu (Lindhorst, 1998). Prinsip dari penetapan kadar menggunakan metode Folin-Ciocalteu adalah pereaksi Folin-Ciocalteu mengoksidasi senyawa fenolik dalam suasana basa, sedangkan asam heteropoli fosfomolibdat dan fosfotungstat dalam pereaksi Folin-ciocalteau akan mengalami reduksi, menghasilkan senyawa kompleks

molibdenum blue (Singleton dan Rossi, 1965). Senyawa kompleks berwarna biru tersebut kemudian diukur absorbansinya pada daerah panjang gelombang visibel. Banyaknya senyawa yang terbentuk ekivalen dengan jumlah senyawa polifenol.

(56)

kering teh hijau dari persamaan kurva baku kuersetin. Kuersetin (Gambar 2) merupakan salah satu polifenol yang paling banyak terdapat dalam senyawa flavonoid alam (Svobodova et al., 2003). Kuersetin sendiri merupakan senyawa fenolik yang memiliki kemiripan struktur dengan polifenol teh (katekin), sehingga dapat digunakan sebagai baku pembanding. Na2CO3 dalam percobaan ini

memberikan suasana basa, sehingga pereaksi Folin-Ciocalteu dapat mengoksidasi polifenol teh.

Gambar 2. Struktur Kuersetin

Penetapan operating time bertujuan untuk mengetahui rentang waktu yang diperlukan oleh semua polifenol dalam larutan untuk habis berekasi dengan pereaksi Folin-Ciocalteu, sehingga senyawa yang terbentuk dapat memberikan absorbansi yang stabil. Berdasarkan hasil pengukuran (gambar 3), diperoleh

(57)

Gambar 3. Scann

anning operating time kuersetin dengan metode Folin

panjang gelombang serapan maksimum b g gelombang pada saat senyawa hasil reaksi absorbansi yang maksimum, sehingga dap rasi yang baik untuk analisis.

g panjang gelombang serapan maksimum kuersetin Folin-Ciocalteu

(58)

tengah daerah panjang gelombang puncak, yaitu pada 750 nm sebagai panjang gelombang serapan maksimum yang digunakan untuk pengukuran absorbansi pada penetapan kadar polifenol dalam ekstrak kering teh hijau. Panjang gelombang 750 nm ini diasumsikan senyawa telah memberikan absorbansi yang maksimum.

Penetapan kurva baku pembanding kuersetin dilakukan dengan metode yang sama, yaitu dengan metode Folin-Ciocalteu. Larutan kuersetin yang telah dibuat dalam 6 seri konsentrasi, diukur absorbansinya. Kemudian dengan perhitungan menggunakan Regresi Linier (RL) dari plot antara kadar seri larutan baku kuersetin dengan absorbansi, diperoleh persamaaan kurva baku. Dari persamaan kurva baku tersebut dapat dihitung besarnya kadar polifenol total yang terkandung dalam ekstrak kering teh hijau.

Tabel V. Hasil pengukuran absorbansi senyawa hasil reaksi kolorimetri seri larutan baku pembanding kuersetin

Penetapan 1 Penetapan 2 Penetapan 3

kadar

(59)

baku pada penetapan 1 dipilih karena mempunyai nilai koefisien korelasi (r) yang paling besar (mendekati 1) jika dibandingkan dengan nilai r pada penetapan 2 dan 3, yaitu 0,9915. Selain itu, nilai r tersebut lebih besar dari nilai r tabel signifikansi dengan taraf kepercayaan 99%, yaitu 0,917 sehingga kurva baku tersebut memiliki hubungan regresi linier.

Dari persamaan kurva baku yang diperoleh, kemudian dilakukan perhitungan terhadap kadar polifenol dalam ekstrak kering teh hijau (tabel VI).

Tabel VI. Hasil perhitungan kadar polifenol dalam ekstrak kering teh hijau

Sampel Kadar (% b/b)

Dari hasil perhitungan (tabel VI), didapatkan kadar polifenol dalam ekstrak kering teh hijau sebesar (15,6956 + 1,2337)% b/b terhitung ekivalen terhadap kuersetin. Kadar yang didapat tersebut kemudian digunakan sebagai dasar perhitungan dalam penentuan nilai SPF dan jumlah ekstrak yang ditambahkan dalam formula krim sunscreen ekstrak kering teh hijau.

B. Penentuan Nilai SPF Polifenol Teh Hijau

Pada penentuan nilai SPF polifenol teh hijau ini, pertama-tama dilakukan

scanning spektra UV yang diserap oleh larutan polifenol teh hijau, bertujuan untuk mengetahui kemampuan polifenol teh hijau dalam menyerap sinar UV.

(60)

Gambar 5. Hasil scanning spektra UV larutan polifenol teh hijau

Dari hasil scanning spektra UV (Gambar 5) diperoleh hasil bahwa polifenol teh hijau memberikan serapan pada rentang panjang gelombang 250-400 nm dengan puncak serapan pada panjang gelombang 275,0 nm. Hal tersebut menunjukkan bahwa polifenol teh hijau dapat menyerap sinar radiasi UV, sehingga dapat digunakan sebagai bahan aktif sunscreen. Polifenol teh hijau dapat menyerap sinar UV disebabkan karena adanya gugus kromofor dan auksokrom dalam struktur polifenol teh hijau tersebut.

Penetapan nilai SPF polifenol teh hijau secara in vitro dilakukan dengan mengukur besarnya Area di bawah kurva (AUC) absorbansi terhadap panjang gelombang antara 290 nm sampai panjang gelombang di atas 290 nm yang memberikan serapan sebesar 0,05 (Petro, 1981).

(61)

sebagai produk sunscreen berdasarkan kategori yang tercantum dalam Food and Drug Administration (1999).

Tabel VII. Hasil perhitungan nilai SPF polifenol teh hijau secara in vitro

Konsentrasi polifenol teh hijau (mg%)

Nilai SPF rata-rata Kategori perlindungan

6 4,2556 Minimal

12 14,7451 Sedang

18 36,388 Tinggi

Dari hasil perhitungan nilai SPF (tabel VII) dipilih konsentrasi 12 mg% (setara dengan polifenol 0,149% b/b) yang digunakan dalam formula krim

sunscreen ekstrak kering teh hijau, dengan mempertimbangkan absorbansi dan nilai SPF yang cukup memenuhi untuk daerah Indonesia.

C. Pembuatan krim

(62)

digunakan sebagai humectant, agar krim yang dihasilkan mempunyai kenampakan yang lembut dan berkilau. Span 80 dan Tween 80 berfungsi sebagai emulsifying agent. Nilai HLB campuran dari Tween 80 dan Span 80 ini adalah 10,72. Akuades berfungsi sebagai medium dispersi (fase eksternal). Asam sitrat digunakan sebagai

acidifying agent, memberikan suasana asam untuk menjaga stabilitas polifenol, karena polifenol tidak stabil pada suasana basa, sedangkan metil paraben digunakan sebagai pengawet sediaan.

(63)

pengadukan perlahan. Ekstrak teh hijau ditambahkan setelah asam sitrat (setelah pH sediaan menjadi asam).

Kulit memiliki tingkat keasaman tertentu, yaitu sekitar 4,5-6,0 (Siegenthaler, 2005). Hal ini yang disebabkan adanya asam lemak di permukaan kulit yang berasal dari sebum, keringat, sel tanduk, dan kotoran yang menempel. Oleh karena itu, pH sediaan kosmetik harus disesuaikan dengan pH normal kulit. Seluruh krim diukur pH sediaannya dengan menggunakan pHmeter. Dari hasil pengukuran, semua krim memiliki pH 5,4. Hal ini menunjukkan bahwa sediaan krim sunscreen yang dibuat memenuhi batas yang dipersyaratkan sehingga dapat diterima. Selain itu, pembuatan sediaan dengan pH yang cenderung asam tersebut juga bertujuan untuk menjaga stabilitas polifenol teh hijau yang tidak stabil pada suasana basa.

(64)

ripening lebih besar. Oleh karena itu, penggunaan 2 jenis surfaktan ini akan saling mendukung untuk meningkatkan stabilitas emulsi.

D. Pengujian tipe krim

Pengujian tipe krim dilakukan dengan metode warna dan metode pengenceran. Pengujian dengan metode warna menggunakan methylen blue, yang merupakan senyawa warna yang larut dalam air. Methylen blue akan segera bercampur dengan fase air ketika ditambahkan ke dalam emulsi. Fase air akan berwarna biru, sedangkan fase minyak yang tidak bercampur dengan methylen blue tetap berwarna putih.

Hasil pengujian tipe krim sunscreen ekstrak kering teh hijau (gambar 6) menunjukkan bahwa fase eksternal dapat bercampur dengan methylen blue dan berwarna biru, sedangkan fase internal tidak berwarna. Maka dapat disimpulkan bahwa tipe krim sunscreen ekstrak kering teh hijau adalah tipe M/A.

Gambar 6. Hasil pengujian tipe krim dengan metode warna menggunakan methylen blue

perbesaran 4x10

(65)

disimpulkan bahwa krim sunscreen ekstrak kering teh hijau yang dibuat adalah tipe M/A.

E. Uji Sifat Fisik dan Stabilitas Krim Sunscreen

Uji sifat fisis dan stabilitas sediaan perlu dilakukan karena menentukan kualitas dan acceptability suatu sediaan. Uji sifat fisis yang dilakukan meliputi uji daya sebar dan uji viskositas. Uji daya sebar berhubungan dengan mudah atau tidaknya suatu sediaan untuk merata saat diaplikasikan di kulit, sedangkan viskositas sediaan berhubungan dengan kemampuan sediaan untuk mempertahankan matriks semisolid. Uji stabilitas meliputi uji pergeseran viskositas dan pergeseran ukuran droplet setelah penyimpanan 1 bulan.

Tabel VIII. Hasil pengukuran uji sifat fisis dan stabilitas krim

Perlakuan Daya Sebar pencampuran yang dominan dan interaksi keduanya yang menentukan sifat fisis dan stabilitas krim diketahui dari perhitungan desain faktorial dan yate’s treatment. Dari perhitungan desain faktorial dapat diketahui arah respon dan besarnya efek rata-rata dari tiap faktor dan interaksinya dan pengaruh faktor dan interaksinya terhadap respon. Pada perhitungan dengan yate’s treatment, dapat diketahui signifikansi relatif dari faktor dan interaksinya terhadap respon.

(66)

Tabel IX. Efek suhu pencampuran, lama pencampuran, dan interaksi keduanya dalam menentukan sifat fisis dan stabilitas krim

Efek Daya Sebar Viskositas Pergeseran

Viskositas

Suhu pencampuran |− 0,655| 3,325 |−3,9156|

Lama pencampuran |−0,185| 0,835 |−1,3124|

Interaksi |−0,085| 0,835 5,0027

Dari hasil perhitungan yang ditunjukkan pada tabel IX, dapat dilihat efek faktor suhu pencampuran, lama pencampuran, dan interaksi keduanya yang dominan terhadap respon daya sebar, viskositas, dan pergeseran viskositas. Besarnya efek yang dominan dilihat dari nilai yang paling besar, tanpa melihat tanda positif atau negatif. Tanda positif menujukkan bahwa faktor meningkatkan respon, sedangkan tanda negatif menunjukkan bahwa faktor menurunkan respon.

Nilai efek yang didapatkan dari perhitungan desain faktorial memprediksikan faktor antara suhu pencampuran dan lama pencampuran atau interaksi keduanya yang dominan terhadap respon sifat fisis dan stabilitas krim

sunscreen yang baik. Namun prediksi tersebut harus diuji statistik dengan menggunakan yate’s treatment untuk mengetahui kevalidan hasil yang didapatkan.

1. Uji Sifat Fisis Krim

a. Uji Daya Sebar

(67)

memiliki daya sebar yang paling besar dibandingkan dengan percobaan a, b, dan ab, sedangkan formula percobaan ab memiliki daya sebar terkecil.

Hubungan antara suhu pencampuran dan lama pencampuran terhadap respon daya sebar dapat digambarkan dalam grafik :

Gambar 7a Gambar 7b

Gambar 7. Grafik hubungan antara suhu pencampuran dengan daya sebar (7a) Grafik hubungan antara lama pencampuran dengan daya sebar (7b)

Pada gambar 7a, dengan adanya peningkatan suhu pencampuran baik pada level rendah maupun level tinggi lama pencampuran, menunjukkan penurunan respon daya sebar. Sedangkan pada gambar 7b, juga terjadi penurunan respon daya sebar dengan semakin meningkatnya lama pencampuran yang dilakukan dalam pembuatan krim, baik pada level rendah dan level tinggi suhu pencampuran. Gambar 7a dan 7b menunjukkan bahwa adanya interaksi dari suhu pencampuran dan lama pencampuran dalam menentukan respon daya sebar. Hal tersebut dapat dilihat dari garis-garis yang terbentuk pada grafik hubungan suhu pencampuran dengan daya sebar dan grafik hubungan lama pencampuran dengan daya sebar tidak sejajar.

(68)

faktor yang dominan dalam menentukan respon daya sebar. Tanda negatif pada nilai efek menunjukkan bahwa faktor proses pencampuran, baik suhu pencampuran, lama pencampuran maupun interaksi keduanya menurunkan respon daya sebar. Faktor dominan yang diprediksi menentukan respon daya sebar ini dibuktikan dengan analisis statistik yate’s treatment yang ditunjukkan pada tabel X.

Tabel X. Hasil perhitungan Yate’s treatment pada respon daya sebar Source of

Keterangan : a = suhu pencampuran; b = lama pencampuran; ab = interaksi

Perhitungan dengan analisis statistik yate’s treatment dilakukan dengan taraf kepercayaan 95%. Hipotesis alternatif (H1) menunjukkan bahwa adanya

hubungan antara faktor dengan respon, dan H0 adalah negasi dari H1 yang

menyatakan bahwa tidak adanya hubungan antara faktor dengan respon. Jika nilai F hitung lebih besar daripada F tabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima. Hal

(69)

desain faktorial (Tabel IX) dan yate’s treatment (Tabel X), menunjukkan bahwa faktor dominan yang berpengaruh terhadap respon daya sebar adalah suhu pencampuran. Faktor interaksi antara suhu pencampuran dan lama pencampuran tidak berpengaruh secara signifikan terhadap respon daya sebar, yang dilihat dari nilai F hitung yang lebih kecil dari nilai F tabel.

Dengan meningkatnya suhu akan menurunkan tegangan permukaan antara fase minyak dengan fase air, sehingga memudahkan pendispersian satu fase ke dalam fase yang lain, yang akan meningkatkan efektivitas pencampuran. Oleh karena itu, krim yang terbentuk memiliki viskositas yang lebih tinggi. Selain itu, menurunnya respon daya sebar juga dipengaruhi oleh adanya interaksi dengan lama pencampuran, walaupun tidak berpengaruh secara signifikan. Semakin lama pencampuran yang dilakukan, maka kemungkinan pembentukan droplet yang berukuran kecil semakin besar, sehingga menghasilkan krim dengan viskositas tinggi. Viskositas sediaan yang tinggi memiliki daya sebar yang kecil karena daya sebar berbanding terbalik dengan viskositas (Garg et al., 2000).

b. Uji Viskositas

(70)

rata-rata viskositas yang sama, sedangkan perlakuan ab memiliki viskositas terbesar.

Hubungan antara faktor suhu pencampuran dan lama pencampuran dengan respon viskositas ditunjukkan pada gambar 8.

Gambar 8a Gambar 8b

Gambar 8. Grafik hubungan antara suhu pencampuran dengan viskositas (8a) Grafik hubungan antara lama pencampuran dengan viskositas (8b)

Dari gambar 8a, dapat disimpulkan bahwa dengan semakin meningkatnya suhu pencampuran, maka respon viskositas juga semakin meningkat, baik pada level rendah maupun level tinggi lama pencampuran. Gambar 8b menunjukkan bahwa dengan semakin lama pencampuran yang dilakukan dalam pembuatan krim sunscreen ekstrak kering teh hijau, maka respon viskositas akan semakin meningkat pula pada level tinggi suhu pencampuran, sedangkan pada level rendah suhu pencampuran, respon viskositas tetap dengan meningkatnya lama pencampuran. Dari kedua gambar tersebut juga dapat dilihat adanya interaksi antara faktor suhu pencampuran dan lama pencampuran yang ditunjukkan dari tidak sejajarnya garis-garis yang terbentuk.

(71)

dominan dan adanya interaksi perlu dibuktikan dengan analisis statistik yate’s treatment, sebagai berikut :

Tabel XI. Hasil perhitungan Yate’s treatment pada respon viskositas

Source of

Keterangan : a = suhu pencampuran; b = lama pencampuran; ab = interaksi

Analisis yate’s treatment dilakukan dengan taraf kepercayaan 95%. Hipotesis alternatif (H1) menunjukkan adanya hubungan antara faktor dengan

respon, sedangkan H0 merupakan negasi dari H1 yang menyatakan bahwa tidak

adanya hubungan antara faktor dengan respon. H1 diterima bila nilai F hitung

lebih besar dari nilai H0 yang menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dari

Gambar

Tabel I. Komponen teh hijau
Gambar 1. Struktur (-)-Epicatechin, (-)-Epigallocatechin, (-)-Epicatechin gallate, dan (-)-Epigallocatechin gallate (Svobodova et al., 2003)
Tabel II. Kategori nilai SPF
Tabel III. Rancangan percobaan desain faktorial dengan dua faktor dan dua level
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian kerangka teori dan konseptual di atas, maka rumusan hipotesis tindakan pada penelitian ini adalah jika dalam pembelajaran pendidikan agama islam dengan

perdagangan produk kelautan dan perikanan antarnegara maupun antararea di dalam wilayah NKRI. Semakin meningkatnya kegiatan lalu lintas hasil perikanan membawa konsekuensi

Berdasarkan atas rancangan tersebut, maka spatial enclosure untuk elemen hardscape- harscape pada level bangunan podium di Jalan Ikan Hiu dan Jalan Ikan Bawal adalah

Pengelolaan air di tingkat usaha tani adalah segala usaha pendayagunaan air pada petak-petak tersier dan jaringan irigasi pedesaan, melalui pemanfaatan jaringan irigasi

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Proyek Akhir serta Laporan Proyek Akhir

Korelasi ganda Regresi linier berganda merupakan korelasi simultan variabel bebas terhadap variabel terikat, maka dalam hal ini adalah untuk mencari nilai koefisien

Penerapan atas prinsip-prinsip Good Corporate Governance di PT Bank Syariah Bukopin secara umum sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan governace outcome

Latar Belakang: Hipertensi Intradialitik merupakan suatu penyulit yang sering terjadi pada proses hemodialisa dengan prevalensi terbesar 40% (IRR, 2014). Hipertensi