• Tidak ada hasil yang ditemukan

KECENDERUNGAN BERPERILAKU AGRESIF DITINJAU DARI IDENTITAS PERAN GENDER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KECENDERUNGAN BERPERILAKU AGRESIF DITINJAU DARI IDENTITAS PERAN GENDER"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

i Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Di susun oleh: Frenky Dwiyono NIM : 049114048

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii

DARI IDENTITAS PERAN GENDER

Oleh:

FRENKY DWIYONO NIM : 049114048

Telah disetujui oleh:

Pembimbing I

(3)

iii

Dipersiapkan dan ditulis oleh Nama : FRENKY DWIYONO NIM : 049114048

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 1 Desember 2008

dan dinyatakan memenuhi syarat

Susunan Panitia Penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. ……… Sekretaris Dr. Christina Siwi, M.Psi. ……… Anggota P. Henrietta PDADS., S.Psi. ………

Yogyakarta, Januari 2009 Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Dekan,

(4)

iv

Dedicated to My parents

Tjong Kha Liong

&

(5)

v

karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.

Yogyakarta, November 2008 Penulis,

(6)

vi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kecenderungan berperilaku agresif subjek dewasa awal ditinjau dari identitas peran gender. Aspek-aspek kecenderungan berperilaku agresif, yaitu agresif fisik, agresif verbal, kemarahan, dan permusuhan. Sedangkan bentuk identitas peran gender terdiri dari identitas peran maskulin, feminin, androgini, dan tak terbedakan.

Subjek dalam penelitian ini berjumlah 110 orang yang berstatus mahasiswa dengan usia 19-25 tahun. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk skala. Skala penelitian ini terdiri dari skala kecenderungan berperilaku agresif dan skala identitas gender. Koefisien reliabilitas dari skala identitas gender berturut-turut dari yang tertinggi adalah 0,897 untuk identitas peran maskulin, 0,853 untuk idenitas peran androginy dan tak terbedakan, dan 0,825 untuk identitas peran feminin. Sedangkan untuk skala kecenderungan berperilaku agresif adalah 0,897.

Hasil yang diperoleh dari data yang diolah dengan anava adalah F hitung = 10,48 yang lebih besar dari F tabel = 2,69 (Fhitung > F tabel) dan p = 0,00 (p<0,05). Hal ini

menunjukkan hipotesis penelitian diterima, berarti bahwa ada perbedaan kecenderungan berperilaku agresif yang signifikan ditinjau dari identitas peran gender, dimana identitas peran maskulin (mean 100,04) memiliki kecenderungan berperilaku agresif yang lebih tinggi dibandingkan dengan dengan identitas peran tak terbedakan (mean = 89,97), androgini (mean = 86,63) dan feminin (mean = 77,60).

(7)

vii

Frenky Dwiyono Psychology Faculty University of Sanata Dharma

Yogyakarta 2008

This research aimed to know the difference of early adolescent aggressive behaviour tendency based on the their gender role identity. The aspects of aggressive behavior tendency consist physical aggression, verbal aggression, anger, and hostility. Whereas gender roles identity form consisted of masculine role identity, feminine role identity, androginy role identity, and undifferentiated role identity.

The whole research subject were 110 university students, which were about 19-25 years old. The methods of data collection were obtained by applying scales. The scales of this research were the scale of aggressive behavior tendency and gender role identity scale. The reliability of variable of gender roles identity were 0,897 for masculine role identity, 0,853 for androginy and undifferentiated role identity, and 0,825 for feminine role identity. Whereas the reliability for aggressive behavior tendency scale was 0,897.

The research result that processed by anova shown F count = 10,48 larger than F table = 2,69 (Fcount>Ftable) and p = 0,00 (p<0,05). This result shown that hypothesis on this

research was accepted. It means theres was a significant difference of aggressive behavior tendency among the subjects gender role identity. The subject with masculine role identity (mean = 100,04) significantly have much higher aggressive behavior tendency than the subjects with undifferentiated (mean = 89,97), androginy (86,63), and feminine (mean = 77,60) role identity.

(8)

viii

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Frenky Dwiyono

Nomor Mahasiswa : 049114048

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

Kecenderungan berperilaku agresif ditinjau dari identitas peran gender

beserta perangkat yang diperlukan. Dengan demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan loyalty kepada saya selama tetap mencamtumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 20 Desember 2008 Yang menyatakan,

(9)

ix

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria atas segala berkah dan karunia-Nya yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kecenderungan berperilaku agresif ditinjau dari Identitas Peran Gender” ini. Penulis merasa tidak akan dapat menyelesaikan skripsi ini dan melewati setiap hambatan dan tantangan yang penulis alami selama proses penulisan ini tanpa kemurahan dan penyertaan-Nya.

Dalam menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis tidak lepas dari bantuan dan dorongan dari berbagai pihak yang senantiasa meluangkan waktu dan pikirannya, yang telah memberikan saran, nasehat, bimbingan, waktu, pemikiran, tenaga, dukungan materi, dan dukungan moril. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yoygakarta dan dosen pembimbing skripsi penulis. 2. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi Sanata Dharma Yogyakarta yang

telah membantu dan mengajarkan banyak hal kepada penulis.

3. Karyawan-karyawan Universitas Sanata Dharma, khususnya karyawan di Fakultas Psikologi yang telah banyak memberikan sumbangan ilmu dan tenaga. 4. Papa dan mama terkasih, terima kasih atas segala cinta, semangat, dukungan, dan

(10)

x lainnya… thanks

7. Teman-temanku Hetty yang kecil, Galih dudul, Aji, Yoan, Nico, Ronald, Nana dan seluruh teman lainnya, terima kasih telah menjadi bagian dalam kuliah dan hidupku, Tetap Bersemangat dan selamat berjuang menuju The New Real World…

8. Saudara-saudaraku yang tersebar di seluruh penjuru dunia, yang telah memberi pelajaran berharga tentang kehidupan kepadaku.

9. Semua pihak yang telah memberikan dukungan baik moral maupun material yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya dan semoga berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Yogyakarta, Oktober 2008 Penulis

(11)

xi

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………... ii

HALAMAN PENGESAHAN ……….. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ………... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………...… v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ……….. viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II LANDASAN TEORI ... 8

A. Kecenderungan Berperilaku Agresif ... 8

(12)

xii

1. Pengertian Identitas Peran Gender ... 18

2. Bentuk-bentuk Identitas Peran Gender... 21

3. Perkembangan Pembentukan Identitas Peran Gender ... 26

C. Penelitian yang relevan ... 30

D. Kecenderungan Berperilaku Agresif Berdasarkan Identitas Peran Gender 30 E. Hipotesis ... 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 35

A. Jenis Penelitian ... 35

B. Identifikasi Variabel Penelitian... 35

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian... 35

D. Subjek Penelitian ... 38

E. Alat Pengumpulan Data ... 38

F. Validitas dan Reliabilitas ... 40

G. Analisis Data... 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 44

A. Persiapan Penelitian ... 44

1. Uji coba alat ukur ... 44

2. Hasil uji coba alat ukur ... 44

B. Pelaksanaan Penelitian ... 49

(13)

xiii

2. Uji homogenitas varian ... 54

3. Uji hipotesis ... 54

E. Pembahasan ... 56

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

A. Kesimpulan ... 60

B. Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62

(14)

xiv

Tabel 2.1 Pembagian bentuk agresi menurut Buss ... 12 Tabel 2.2 Perbedaan Emosional dan intelektual antara laki-laki dan perempuan ... 23 Tabel 3.1 Blueprint Skala Identitas peran gender sebelum uji coba ... 39 Tabel 3.2 Blueprint Skala Kecenderungan berperilaku agresif sebelum uji coba … 39 Table 4.1 Skala kecenderungan berperilaku Agresif setelah uji coba ... 46 Tabel 4.2 Skala Identitas peran gender setelah uji coba ... 48 Tabel 4.3 Deskripsi data penelitian ... 50 Tabel 4.4 Pengkategorisasian Identitas peran gender subjek dengan median split.. 51 Tabel 4.5 Subjek penelitian berdasarkan identitas peran gender ... 52 Tabel 4.6 Kecenderungan berperilaku agresif subjek berdasarkan

identitas peran gender ... 53 Tabel 4.7 Urutan perbedaan kecenderungan berperilaku agresif subjek

(15)

xv

Reliabilitas Skala Identitas Peran Gender dan Daya beda item

(16)

Dalam masyarakat ada anggapan bahwa laki-laki cenderung memiliki

perilaku agresif yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Padahal,

saat ini juga telah banyak tindak kekerasaan yang dilakukan perempuan.

Misalnya Zulkidah alias Idah, bocah berusia enam tahun warga Sanggau,

Kalimantan Barat, menjadi korban penganiayaan ibu tiri hingga lumpuh (16

Agustus 2007, Liputan6.com) dan aksi kekerasan yang dilakukan oleh geng

pelajar putri Sekolah Menengah Atas bernama Geng Nero di Pati, Jawa

Tengah (14 Agustus 2008, Liputan6.com).

Pada kasus-kasus di atas, kita bisa melihat bahwa perilaku agresif

sebenarnya bisa dilakukan oleh siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan.

Contoh-contoh kasus tersebut juga tidak hanya menunjukkan keberanian dan

kenekatan yang dilakukan individu dalam berperilaku agresif, melainkan

sudah menunjukkan adanya kecenderungan berperilaku agresif telah menjadi

suatu fenomena. Fenomena yang dimaksud adalah walaupun individu telah

mengetahui bahwa perilaku yang cenderung agresif itu bertentangan dengan

aturan-aturan yang ada dan memberikan resiko kerugian pada diri sendiri dan

orang lain, tetapi justru mereka melakukannya dengan begitu mudah dan tanpa

beban. Perilaku yang cenderung agresif ini seakan-akan telah menjadi suatu

(17)

Model Agresi Afektif Umum (the General Affective Aggression Model) yang dikembangkan Anderson dan koleganya (Lindsay and Anderson, 2000) juga dikonseptualisasikan teoritis mengenai antesenden agresi yaitu

bahwa antesenden agresi dipengaruhi oleh perbedaan individu dan variabel

situasional. Perbedaan individu tersebut meliputi ciri sifat (ciri sifat

bermusuhan), sikap terhadap kekerasan, keyakinan tentang kekerasan,

nilai-nilai yang berhubungan dengan kekerasan, dan keterampilan (misalnya

berkelahi). Sedangkan variabel situasional meliputi isyarat-isyarat kognitif,

ketidaknyamanan atau kesakitan, frustasi, serangan (misalnya menyebabkan

cedera) dan keterampilan. Penulis dalam hal ini memfokuskan penelitian pada

anteseden perilaku agresif yang terjadi karena perbedaan individual khususnya

sikap terhadap kekerasan, keyakinan tentang kekerasan, dan nilai-nilai yang

berhubungan dengan kekerasan yang sudah tertanam dalam identitas diri

individu.

Menurut Fromm (1986; Koeswara, 1988), sesungguhpun faktor-faktor

genetis atau biologis terlibat dalam kemunculan agresi manusia seperti halnya

dalam agresi hewan, namun agresi manusia tidak dapat disimpulkan sebagai

bersumber pada naluriah. Agresi manusia merupakan persoalan eksistensial

yang bersumber pada kondisi-kondisi sosial dan situasional, dimana

pendidikan, perlakuan, dan situasi-situasi yang diterima individu sejak usia

dini memainkan peranan penting dalam pengembangan agresi pada individu

tersebut. Dalam hal ini, Berkowitz (1995) juga menyetakan bahwa seorang

(18)

konsep diri yang terancam, mengembalikan kekuasaan dan kendali,

meningkatkan status sosial, dan mendapatkan dukungan orang lain.

Para ahli teori belajar juga menekankan bahwa perilaku agresif

dihasilkan oleh “pola asuh (nurture)”, yaitu diperoleh melalui proses belajar seperti kebanyakan bentuk perilaku sosial lainnya (Bandura, 1983; dalam

Krahe, 2001). Selain itu, Huesmann (1998; dalam Krahe, 2001) juga

menyatakan bahwa perilaku sosial pada umumnya, dan perilaku agresif pada

khususnya, dikontrol oleh repertoar perilaku yang diperoleh melalui proses

sosialisasi awal. Sosialisasi (Koeswara, 1988) adalah proses belajar yang luas,

yang mengandung sejumlah faktor, meliputi standar, nilai atau norma dan

kebiasaan yang menjadi kriteria atau ukuran bisa dan tidak bisa diterimanya

atau diharapkannya suatu tingkah laku oleh atau menurut kelompok sosial.

Bila seorang anak-anak telah berulang kali merespon (atau melihat

orang lain merespon) situasi konflik dengan perilaku agresif, dan perilaku itu

mampu mengatasi konflik dengan keuntungan di pihaknya. Mereka

berkemungkinan mengembangkan sebuah representasi kognitif yang

tergeneralisasi di mana konflik berkaitan erat dengan agresi. Dalam skrip

agresif melekatlah keyakinan normatif yang mengarahkan keputusan individu

mengenai apakah sebuah respon tertentu dianggap cocok untuk keadaan

tertentu atau tidak.

Menurut tinjauan model peran sosial (Krahe, 2001), kecenderungan

berperilaku agresif ini diperoleh sebagai bagian peran gender maskulin dalam

(19)

mengambarkan sikap dan perilaku individu yang didasarkan pada kesadaran

dan disesuaikan dengan harapan serta norma-norma masyarakat. Gender

merupakan konstruksi sosial yang sekarang ini sering disebut sebagai konsep

dalam diri laki-laki dan perempuan yang membuat mereka itu berbeda satu

sama lainnya (Belenky, Clinchy, Goldberger, & Tarule, 1986; dalam Joseph,

Markus,& Tafarodi, 1992).

Gender diasumsikan sebagai atribut, minat, dan kebiasaan yang

diasosiasikan dengan kebudayaan khusus bagi pria dan wanita yang akan

direfleksikan sebagai maskulinitas dan femininitas (Ashmore, 1990; dalam

Cramer & Neyedley, 1998). Menurut Santrock (2002), peran gender ini

merupakan seperangkat harapan yang menggambarkan bagaimana laki-laki

dan perempuan seharusnya berpikir, merasa dan bertindak.

Bem (Berk, 1989) mengemukakan bahwa pengenalan peran gender

didasarkan pada proses penyerapan informasi dari lingkungan oleh anak, yang

didasarkan pada skema gender. Skema peran gender mengandung dimensi

sosial dan intelektual, merupakan suatu jaringan yang saling berhubungan dan

membentuk bagian dasar dari kerangka konseptual seseorang individu

mengenai peran gender. Setiap individu berbeda dalam derajat penggunaan

skema peran gender untuk memproses informasi mengenai diri mereka sendiri

dan orang lain. Konsep diri seseorang pada akhirnya berasimilasi dengan

skema gender.

Ada empat tipe peran gender, yaitu maskulin, feminin, androgini dan

(20)

sendiri yang mempengaruhi perilaku seseorang. Bem (1975) mengatakan

bahwa peran gender maskulin lebih menunjukkan peran karakteristik sifat

mandiri, agresif, ambisius, dominan, dan kurang responsif terhadap hal yang

berhubungan perasaan. Feminin dengan sifat ketergantungan terhadap orang

lain, tidak tegas, tidak percaya diri, sensitif terhadap orang lain dan hangat

dalam hubungan interpersonal. Meskipun begitu, peran gender laki-laki dan

perempuan dianggap setara dan dapat dipertukarkan. Artinya pada saat

tertentu laki-laki bisa berperan sebagai orang yang lemah lembut, emosional

dan penuh kasih sayang. Sebaliknya, pada saat tertentu pula perempuan bisa

menjadi perkasa, rasional dan bersikap sebagai pemimpin. Peran gender yang

dapat dipertukarkan disebut peran gender berorientasi androgini. Sedangkan

peran yang tidak terbedakan merujuk pada orang yang memiliki sifat-sifat

maskulin dan feminin yang rendah.

Saat ini sebenarnya sudah banyak penelitian tentang kecenderungan

perilaku agresif tetapi kebanyakan penelitian itu melihat perbedaan tersebut

sekedar terjadi karena perbedaan jenis kelamin yaitu berbeda antara laki-laki

dan perempuan yang disebabkan secara biologis atau fisik. Padahal

sebenarnya perbedaan kecenderungan berperilaku agresif juga bisa terjadi

karena perbedaan pemahaman akan dunia sosial, dimana perilaku agresif

sebenarnya terkait dengan maskulinitas seseorang. Maskulinitas dalam diri

individu yang membuat individu berkecenderungan berperilaku agresif.

(21)

untuk membuktikan bahwa peran gender yang berbeda akan menunjukkan

perilaku agresif yang berbeda pula.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan kecenderungan perilaku agresif ditinjau dari identitas

peran maskulin, feminin, androgini dan tidak terbedakan?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan

kecenderungan perilaku agresif ditinjau dari identitas peran maskulin, feminin,

androgini dan tak terbedakan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian diharapkan dapat memberi sumbangan pengetahuan pada ilmu

psikologi sosial, terutama dalam konteks penelitian – penelitian yang

berkaitan dengan perilaku agresif dan gender.

2. Manfaat Praktis

Penelitian diharapkan dapat membantu mahasiswa dan masyarakat luas

untuk memahami tentang perilaku agrsif sehingga mereka bisa membantu

untuk membina dan mengembangkan perilaku yang lebih bisa diterima

(22)

A. Kecenderungan berperilaku Agresif

1. Pengertian Kecenderungan Berperilaku Agresif

Berkowitz (1999) menyebutkan bahwa perilaku agresif adalah bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun secara verbal (dengan kata-kata). Orang yang mengalami dorongan agresif adalah orang yang sering melihat ancaman dan tantangan, dan yang cepat menyerang orang yang membuatnya tidak tenang sehingga mereka sangat mungkin mempunyai sikap jahat terhadap orang lain. Aronson (1972; dalam Koeswara, 1988) juga mendefinisikan agresi sebagai tingkah laku yang dijalankan individu dengan maksud melukai atau mencelakakan individu lain dengan ataupun tanpa tujuan tertentu. Sementara itu, menurut Moore dan Fine (1968, dalam Koeswara, 1988), agresi didefinisikan sebagai tingkah laku kekerasan secara fisik ataupun verbal terhadap individu lain atau terhadap objek-objek.

(23)

Baron (1977, dalam Koeswara, 1988) juga menyatakan bahwa perilaku agresi adalah tingkah laku individu yang ditunjukan untuk melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya tingkah laku tersebut. Baron dan Richardson (1994, dalam Krahe, 2001) juga menambahkan bahwa agresi merupakan segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong untuk menghindari perlakuan itu.

Buss (1995) menyatakan bahwa kemarahan dan permusuhan juga mengikuti atau mengarahkan pada tindakan agresi. Kemarahan sebagai suatu emosi negatif yang dialami seseorang dapat menimbulkan perasaan terganggu dan tidak nyaman. Sedangkan permusuhan sebagai komponen dari agresi mengandung unsur ketidaksukaan, dendam atau sakit hati dan kebencian terhadap orang lain. Permusuhan juga melibatkan kecurigaan bahwa orang lain menyembunyikan atau bermaksud membahayakan dirinya. Permusuhan meliputi ketidaksukaan, dendam atau sakit hati dan kebencian yang berlangsung bertahun-tahun lamanya.

Dari berbagai pengertian tentang perilaku agresif di atas, maka inti dari definisi kecenderungan berperilaku agresif mencakup ciri-ciri sebagai berikut:

a. Suatu bentuk kecenderungan berperilaku

b. Adanya maksud yang artinya dilakukan secara sengaja

(24)

d. Tujuan atau harapannya adalah mencelakakan fisik ataupun psikologis korban.

e. Mengandung unsur kekerasaan, serangan, permusuhan.

f. Korban tidak menghendaki perilaku agresi tersebut dan agresor menyadari hal tersebut.

g. Ada rasa ketidaksukaan, dendam, sakit hati dan curiga dari agresor kepada korban.

2. Bentuk-bentuk Perilaku Agresif

Berkowitz (1995) membedakan agresi ke dalam dua macam bentuk agresi, yakni agresi instrumental dan agresi emosional atau agresi impulsif. a. Agresi instrumental adalah perilaku agresif yang mempunyai tujuan lain

disamping kejahatan, atau perilaku agresif yang dilakukan oleh organisme atau individu sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan tertentu. Agresor memiliki tujuan lain dibenaknya saat menyerang korbannya.

b. Agresi emosional atau agresi impulsif adalah agresi yang dilakukan ketika seseorang merasa tersinggung dan berusaha ingin menyakiti atau melukai orang lain.

(25)

1. Agresi fisik-aktif-langsung, adalah perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti dengan menggunakan fisik dimana individu aktif dan secara langsung melakukannya terhadap orang lain, misalnya memukul orang lain. 2. Agresif fisik-aktif-tidak langsung, adalah perilaku yang dimaksudkan untuk

menyakiti dengan menggunakan fisik dimana individu aktif dan secara tidak langsung melakukannya terhadap orang lain, misalnya membuat jebakan untuk mencelakakan orang lain.

3. Agresi fisik-pasif-langsung, adalah perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti dengan menggunakan fisik dimana individu pasif dan secara langsung melakukannya terhadap orang lain, misalnya tidak memberi jalan orang yang mau lewat.

4. Agresi fisik-pasif-tidak langsung, adalah perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti dengan menggunakan fisik dimana individu pasif dan secara tidak langsung melakukannya terhadap orang lain, misalnya menolak untuk mengerjakan sesuatu yang diperintahkan oleh orang lain.

5. Agresi verbal-aktif-langsung, adalah perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti dengan menggunakan kata-kata dimana individu secara aktif dan secara langsung melakukannya terhadap orang lain, misalnya mencaci maki orang lain.

(26)

secara tidak langsung melakukannya terhadap orang lain, misalnya menyebarkan gosip.

7. Agresi verbal-pasif-langsung, adalah perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti dengan menggunakan kata-kata dimana individu secara pasif dan secara langsung melakukannya terhadap orang lain, misalnya menolak untuk berbicara.

8. Agresi verbal-pasif-tidak langsung, adalah perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti dengan menggunakan kata-kata dimana individu secara pasif dan secara tidak langsung melakukannya terhadap orang lain, misalnya menggerutu.

Tabel 2.1 Pembagian bentuk Agresi menurut Buss

Aktif Pasif

Perilaku

Agresif Langsung Tak Langsung Langsung Tak Langsung

Fisik Memukul Menjebak Tidak memberi jalan Menolak melakukan sesuatu

Verbal Memaki Menyebar gossip

Menolak berbicara / menjawab pertanyaan

(27)

Selain itu, Buss & Perry (1992, dalam Silvia & F. Iriani R.D., 2003) dalam

Aggression Questionnaire–nya juga menyatakan bahwa ada 4 aspek yang terkandung dalam perilaku agresi seseorang, yakni:

1. Agresi Fisik

Bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai seseorang secara fisik, yaitu memukul, menendang, menusuk, membakar, dan sebagainya.

2. Agresi Verbal

Bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai seseorang secara verbal atau melalui kata-kata, termasuk di dalamnya adalah perilaku argumentatif dan kata-kata yang mengandung unsur permusuhan. Bila seseorang sedang mengumpat, membentak, berdebat, mengejek dan sebagainya, orang itu dapat dikatakan sedang melakukan agresi.

3. Kemarahan

Kemarahan sebagai suatu emosi negatif yang dialami seseorang yang dapat menimbulkan perasaan terganggu dan tidak nyaman. Kemarahan merupakan perasaan tidak senang sebagai reaksi atas cedera fisik maupun psikis yang diderita individu.

4. Permusuhan

(28)

mengandung unsur ketidaksukaan, dendam atau sakit hati dan kebencian terhadap orang lain. Permusuhan juga melibatkan kecurigaan bahwa orang lain menyembunyikan atau bermaksud membahayakan dirinya. Permusuhan meliputi ketidaksukaan, dendam atau sakit hati dan kebencian yang berlangsung bertahun-tahun lamanya (Buss, 1995)

3. Faktor-Faktor Penyebab Kecenderungan Berperilaku Agresif

Agresi bukanlah variabel yang muncul secara kebetulan atau otomatis, melainkan variabel yang muncul karena terdapat kondisi-kondisi atau faktor-faktor tertentu yang mengarahkan dan mencetuskannya, yang sering dibedakan ke dalam dua jenis faktor yakni faktor-faktor yang berasal dari dalam (internal) dan daktor-faktor yang berasal dari luar (eksternal).

a. Frustasi

Dollard-Miller (Koeswara, 1988) mengagaskan bahwa frustasi bisa mengarahkan individu kepada perilaku agresif. Setiap tindakan agresif pada akhirnya bisa dilacak penyebabnya adalah frustasi. Frustasi sendiri adalah situasi dimana individu terhambat atau gagal dalam usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya, atau mengalami hambatan untuk bebas bertindak dalam rangka mencapai tujuannya sehingga orang yang frustasi akan marah dan menunjukkan perilaku agresifnya.

(29)

(1) tingkat kepuasan yang diharapkan, (2) seberapa jauh ia gagal memperoleh kepuasan, dan (3) seberapa sering ia terhalang untuk mencapai tujuan.

b. Proses Belajar Masa Lalu

Sears, dkk (1991) mengungkapkan bahwa mekanisme utama yang menentukan perilaku agresif manusia adalah proses belajar masa lampau. Ketika masih bayi, seorang anak akan menunjukkan perasaan agresifnya yang sangat impulsif itu dengan cara menangis keras-keras, memukul-mukulkan tangannya, menghantam apa saja yang dapat dijangkaunya. Pada awal kehidupannya, seorang bayi belum menyadari kehadiran orang lain, sehingga perasaan agresifnya belum diarahkan pada diri seseorang.

Berbeda ketika individu sudah memasuki masa dewasa, individu akan melakukan perilaku agresif pada beberapa situasi dan menekan amarah dalam situasi yang lain, bertindak agresif pada orang tertentu dan bukan pada orang lain. Individu dewasa akan semakin mampu untuk mengendalikan dorongan impulsif agresifnya dan hanya melakukan perilaku agresifnya dalam situasi tertentu saja.

1) Reinforcement

(30)

menimbulkan kecenderungan perilaku tersebut akan diulangi di masa yang akan datang. Oregan (dalam Berkowitz, 1995) juga menyatakan bahwa peneguhan dari saudara Si Anak agresif, akan meneguhkan perilaku agresifnya.

2) Modeling

Berkowitz (1995) mengungkapkan bahwa contoh-contoh yang diberikan oleh orang lain kepada anak juga bisa mempengaruhi kecenderungan agresif anak, tak peduli apakah orang lain itu ingin ditiru atau tidak. Teori modeling ini dikemukakan oleh Bandura yang mendefinisikannya sebagai pengaruh yang timbul ketika orang melihat orang lain (model) bertindak dengan cara tertentu dan kemudian meniru perilaku orang tadi. Berbagai tindakan yang dilakukan oleh orangtua atau teman-teman yang ditunjukkan kepada Si Anak adan berkontribusi pada pembentukan kecenderungan tetap terhadap perilaku agresif anak (Berkowitz, 1991). Proses belajar melalui orang lain (Vicarious Learning) ini akan meningkat bila perilaku orang dewasa tersebut diberi penguatan dan bila situasinya mendukung identifikasi terhadap model orang dewasa itu (Sears, dkk, 1991).

c. Perasaan Negatif dan Kejadian Tidak Menyenangkan

(31)

mengakibatkan munculnya dorongan agresif. Bukan terusiknya harga diri seseorang itu sendiri yang menghasilkan dorongan untuk menyerang pengganggu, melainkan karena perasaan terlukanya. Namun, kita semua tahu bahwa orang tidak selalu tidak menyenangkan saat merasa tidak enak, mereka bisa mengendalikan diri dan menahan dorongan agresifnya.

Berkowitz (1995) menjelaskan bahwa ada beberapa kejadian tidak enak yang menyebabkan manusia berperilaku agresif, seperti suhu tinggi yang menyiksa, berada dalam ruangan yang penuh dengan asap rokok, bau tidak sedap dan bahkan pemandangan menjijikan ternyata meningkatkan kekerasan yang ditunjukkan kepada orang lain. Selain itu tekanan sosial dalam bentuk tingginya tingkat pengangguran, inflasi, atau modernisasi yang cepat, keadaan ekonomi yang lemah, dan kondisi politik dapat meningkatkan perilaku agresif.

(32)

B. Identitas Peran Gender

1. Pengertian Identitas Peran Gender a. Pengertian Gender

Gender seringkali diartikan sebagai kelompok laki-laki, perempuan, atau perbedaan jenis kelamin. Untuk memahami kata gender, haruslah dibedakan antara seks atau jenis kelamin dengan gender. Secara struktur biologis atau jenis kelamin, manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan yang masing-masing memiliki alat dan fungsi biologis yang melekat serta tidak dapat dipertukarkan. Laki-laki tidak dapat menstruasi, karena tidak memiliki organ peranakan. Sedangkan perempuan tidak bersuara berat, tidak berkumis, karena keduanya memiliki hormon yang berbeda.

(33)

perkasa, dan jantan. Ciri dari sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu (Ervita, 2002), dimana ada pula laki-laki yang jantan, emosional, lembut, maupun perkasa, begitu pula dengan wanita ada yang kuat, rasional, perkasa dan sebagainya.

Unger (1979, dalam Brannon, 1996) mendeskripsikan gender sebagai sifat-sifat dan perilaku-perilaku yang dianggap sesuai atau pantas untuk laki-laki dan perempuan oleh kebudayaan. Gender merupakan label sosial dan bukan deskripsi dari biologis. Label ini termasuk karakteristik yang berasal dari kebudayaan untuk setiap jenis kelaminnya dan karakteristik jenis kelamin ini yang kemudian ditanamkan individu dalam dirinya sendiri. Corolyn Sherif (1982, dalam Brannon, 1996) juga mendeskripsikan gender sebagai sebuah skema sebagai kategorisasi sosial individu.

b. Pengertian Peran Gender

(34)

masyarakat bagi lelaki dan perempuan. Sebagai hasil bentukan sosial, tentunya peran gender sangat mungkin dipertukarkan diantara laki-laki dan perempuan.

Menurut Santrock (2002), peran gender juga merupakan seperangkat harapan yang menggambarkan bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berpikir, merasa dan bertindak. Peran gender merujuk pada suatu set norma perilaku berbeda yang diasosiasikan dengan laki-laki dan perempuan. Individu yang memegang dengan tepat peraturan-peraturan gender tersebut bisa dikatakan memiliki identitas peran gender maskulin atau feminin (Bem, 1974).

c. Stereotipe gender

Stereotipe gender adalah keyakinan yang diterapkan pada gender yaitu pria dan wanita. Konsep ini dapat pula dikatakan sebagai keyakinan mengenai pria dan wanita, yaitu generalisasi tentang peran-peran yang dianggap cocok untuk mempresentasikan kelompok pria atau wanita. d. Pengertian Identitas Peran Gender

(35)

2. Bentuk- bentuk Identitas Peran Gender (Bem, 1981) a. Maskulin

Sifat-sifat maskulin adalah sifat-sifat yang dievaluasi akan lebih cocok untuk laki-laki dibandingkan dengan untuk perempuan dalam masyarakat. Maskulin adalah segala sifat-sifat atau atribut yang secara konvensional telah diasosiasikan dengan laki-laki. Peran gender maskulin lebih menunjukkan peran karakteristik sifat percaya kepada diri sendiri, suka mempertahankan pendapat, mandiri, atletis, tegas, berkepribadian kuat, pemimpin yang kuat, analitis/ suka menganalisis, dapat menjadi pemimpin, mau mengambil resiko, mudah/ cepat dalam mengambil keputusan, dapat berdiri sendiri, dominan, maskulin, berpendirian tetap, agresif, bertingkah laku/ bersikap sebagai pemimpin, individualistis, kompetitif, dan ambisius.

b. Feminin

(36)

lembut, hangat, sabar/ tidak mudah marah, mudah tertipu, kekanak-kanakan, tidak pernah berkata kasar, menyukai anak-anak, dan lemah lembut.

c. Androgini

Androgini adalah suatu istilah yag menggambarkan kesatuan perilaku dan karakteristik kepribadian yang secara tradisional dikenal sebagai feminin dan maskulin. Androginitas dengan demikian dapat dilihat sebagai suatu hal yang positif dan menjadikan seseorang lebih kaya dalam tingkah lakunya daripada bila ia hanya memiliki tingkah laku salah satu peran gender saja. Jadi disini ada pengkombinasian antara ciri-ciri maskulin dan feminin yang kuat. Individu yang androgini adalah individu yang fleksibel dan dapat berfungsi secara optimal, individu tersebut bersifat mandiri dan mempunyai pendapat. Individu yang androgini kemungkinan memiliki pandangan yang lebih egaliter sehingga lebih mengarah kepada pandangan yang lebih modern.

(37)

d. Tak Terbedakan

Peran Gender yang tidak terbedakan merujuk pada orang yang memiliki sifat-sifat maskulin dan feminin yang rendah.

Berikut merupakan perbedaan emosional dan intelektual antara laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminin) yang diidentifikasi Unger (1973, dalam Ervita, 2002)

Tabel 2.2 Perbedaan Emosional dan Intelektual antara Laki-laki dan Perempuan Laki-laki (maskulin) Perempuan (Feminin)

Sangat Agresif Tidak terlalu agresif Independen Tidak terlalu independen

Tidak emosional Lebih emosional

Dapat menyembunyikan emosi Sulit menyembunyikan emosi Lebih objektif Lebih subjektif

Tidak mudah berpengaruh Mudah berpengaruh Tidak submisif Lebih submisif

Sangat menyukai pengetahuan eksata Kurang menyukai eksata

Tidak mudah goyah terhadap krisis Mudah goyah menghadapi krisis

Lebih aktif Lebih pasif

(38)

Lebih mendunia Berorientasi ke rumah Lebih terampil berbisnis Kurang terampil berbisnis Lebih berterus terang Kurang berterus terang Memahami seluk beluk perkembangan

dunia

Kurang memahami seluk beluk perkembangan dunia

Berperasaan tidak mudah tersinggung Berperasaan mudah tersinggung Lebih suka bertualang Tidak suka bertualang

Jarang menangis Lebih sering menangis Umumnya selalu tampil sebagai

pemimpin

Tidak umum tampil sebagai pemimpin

Penuh rasa percaya diri Kurang rasa percaya diri

Lebih banyak mendukung sikap agresif Kurang senang terhadap sikap agresif Lebih ambisi Kurang ambisi

Lebih mudah membedakan rasa dan rasio Sulit membedakan antara rasa dan rasio

Lebih merdeka Kurang merdeka

Tidak canggung dalam penampilan Lebih canggung dalam penampilan Pemikiran lebih unggul Pemikiran kurang unggul

Lebih bebas berbicara Kurang bebas berbicara

(39)

yang dimiliki oleh setiap individu atau setiap jenis kelamin dipengaruhi oleh perlakuan dan harapan masyarakat dimana individu itu berada. Perlakuan dan harapan masyarakat terhadap masing-masing jenis kelamin untuk memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri tertentu merupakan bagian dari sebuah konstruk sosial yang dikenal dengan sebutan stereotype gender.

Secara umum stereotipe gender adalah keyakinan yang diterapkan pada gender yaitu pria dan wanita. Konsep ini dapat pula dikatakan sebagai keyakinan mengenai pria dan wanita, yang merupakan generalisasi yang dibuat orang tentang wanita dan pria; generalisasi sifat-sifat yang dianggap mewakili ciri-ciri pria dan wanita; generalisasi tentang tingkah laku yang dianggap mempresentasikan kelompok gender tersebut; juga generalisasi tentang peran-peran yang dianggap cocok untuk mempresentasikan kelompok pria atau wanita (Muluk, dalam Handayani, 2002).

(40)

laki-laki saja, melainkan dapat dimiliki oleh perempuan. Sebaliknya, peran-peran yang diberikan kepada perempuan tidak mesti hanya dimiliki oleh perempuan, melainkan dapat dimiliki pula oleh laki-laki. Kedua macam ciri-ciri, maskulin dan feminin itu dapat dimiliki oleh setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, hanya saja kadar atau tingkatannya dapat berbeda-beda. Sifat-sifat ini tidak bersifat mutlak, harus dimiliki oleh masing-masing jenis kelamin karena kadarnya dapat berbeda-beda pada setiap orang. Selain itu, sifat-sifat ini sangat bergantung pada lingkungan kebudayaan dimana individu berada dan berkembang.

3. Perkembangan Pembentukan Identitas Peran Gender

Sejak kanak-kanak individu diperlakukan berbeda, untuk menjamin individu dapat menjalankan tugas peran sosialnya pada masa dewasa. Teori yang membahas mengenai perkembangan pembentukan identitas peran gender, diantaranya adalah :

a. Teori Psikoanalisa

(41)

ini merupakan ikatan yang didasarkan pada kebutuhan anak untuk dicintai dan ketakutan anak terhadap orang tua.

b. Teori Belajar Sosial ( Social Learning Theory )

Berasal dari aliran behaviorist yang menerangkan tingkah laku lebih ditekankan pada hal-hal yang dapat diamati dan konsekuensi yang menyertai, dibandingkan hal-hal yang merupakan perasaan-perasaan atau dorongan dari dalam. Anak belajar melalui proses imitasi dan melalui ganjaran terhadap tingkah laku yang konsisten dengan jenis kelamin. Teori ini berpendapat bahwa anak belajar mengabstraksikan informasi dan perilaku orang lain, mengambil keputusan mengenai perilaku mana yang akan ditiru (imitasi), kemudian melakukan perilaku yang telah dipilih. Hubungan antara pribadi anak dengan orang dewasa, menyebabkan anak meniru atau menyerap perilaku sosial misalnya anak laki-laki boleh berbuat kasar, boleh lebih aktif, lebih ribut daripada anak perempuan; sedangkan anak perempuan diharapkan lebih berperasaan halus dan bersikap tidak kasar. Dengan demikian modeling atau mengamati perilaku orang lain membuat anak belajar membentuk peran gender.

c. Teori Perkembangan Kognitif ( Cognitive Developmental Theory )

(42)
(43)

d. Teori Skema Gender ( Gender Schema Theory )

(44)

C. Penelitian yang relevan

Beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian kecenderungan berperilaku agresif dan identitas peran gender diantaranya adalah penelitian Kernahan (1997; dalam Krahe, 2001) yang menemukan bahwa laki-laki lebih agresif daripada perempuan dengan adanya stimulus yang berhubungan dengan agresi bila tidak ada provokasi yang mendahuluinya. Tetapi, bila mereka sebelumnya telah diprovokasi, perempuan tidak kurang agresifnya dibandingkan laki-laki. Kesimpulan tersebut juga sejalan dengan analisis yang dilaporkan Bettencourt dan Miller (1996; dalam Krahe, 2001).

Lightdale dan Prentice (1994) juga menemukan bahwa laki-laki dan perempuan itu sama agresifnya bila berada dalam kondisi yang terdeindividuasi yaitu saat perbedaan angka rata-rata antara laki-laki dan perempuan dalam kondisi tidak signifikan.

(45)

ini, Berkowitz (1995) juga menyetakan bahwa seorang yang bertindak agresif didorong oleh beberapa tujuan, seperti: mengembalikan konsep diri yang terancam, mengembalikan kekuasaan dan kendali, meningkatkan status sosial, dan mendapatkan dukungan orang lain.

Para ahli teori belajar juga menekankan bahwa perilaku agresif dihasilkan oleh “pola asuh (nurture)”, yaitu diperoleh melalui proses belajar seperti kebanyakan bentuk perilaku sosial lainnya (Bandura, 1983; dalam Krahe, 2001). Agresi merupakan hasil dari proses belajar dalam konteks sosial yang melibatkan faktor-faktor internal berupa situasi atau proses yang berlangsung dalam diri seseorang dan faktor-faktor eksternal yakni faktor-faktor sosial atau situasional seperti situasi, kejadian, atau tingkah laku yang ditampilkan individu lain. Huesmann (1998; dalam Krahe, 2001) juga menyatakan bahwa perilaku sosial pada umumnya, dan perilaku agresif pada khususnya, dikontrol oleh perilaku yang diperoleh melalui proses sosialisasi awal. Sosialisasi (Koeswara, 1988) adalah proses belajar yang luas, yang mengandung sejumlah faktor, meliputi standar, nilai atau norma dan kebiasaan yang menjadi kriteria atau ukuran bisa dan tidak bisa diterimanya atau diharapkannya suatu tingkah laku oleh atau menurut kelompok sosial.

(46)

kognitif yang tergeneralisasi di mana konflik berkaitan erat dengan agresi. Dalam skrip agresif melekatlah keyakinan normatif yang mengarahkan keputusan individu mengenai apakah sebuah respon tertentu dianggap cocok untuk keadaan tertentu atau tidak.

Dalam model Agresi Afektif Umum (The General Affective Aggression Model) yang dikembangkan Anderson dan koleganya (Lindsay and Anderson, 2000) dikonseptualisasikan teoritis mengenai antesenden agresi yaitu bahwa antesenden agresi dipengaruhi oleh perbedaan individu dan variabel situasional. Perbedaan individu tersebut meliputi ciri sifat (ciri sifat bermusuhan), sikap terhadap kekerasan, keyakinan tentang kekerasan, nilai-nilai yang berhubungan dengan kekerasan, dan keterampilan (misalnya berkelahi). Sedangkan variabel situasional meliputi isyarat-isyarat kognitif (misalnya senjata api), ketidaknyamanan atau kesakitan, frustasi, serangan (misalnya menyebabkan cedera) dan keterampilan. Penulis dalam hal ini memfokuskan penelitian pada anteseden perilaku agresif yang terjadi karena perbedaan individual khususnya sikap terhadap kekerasan, keyakinan tentang kekerasan, dan nilai-nilai yang berhubungan dengan kekerasan yang sudah tertanam sebagai identitas diri dalam konsep diri individu.

(47)

masyarakat. Gender merupakan konstruksi sosial yang sekarang ini sering disebut sebagai konsep dalam diri laki-laki dan perempuan yang membuat mereka itu berbeda satu sama lainnya (Belenky, Clinchy, Goldberger, & Tarule, 1986; Joseph, Markus,& Tafarodi, 1992). Eagly (1987; Joseph, Markus,& Tafarodi, 1992) juga menyatakan bahwa pria dan wanita sejak lahir seakan-akan telah diberikan peran yang berbeda yang harus dimainkannya dalam struktur hirarki sosialnya sehingga hal ini meningkatkan perbedaan perhatian dan komitmen sosialnya.

Gender diasumsikan sebagai atribut, minat, dan kebiasaan yang diasosiasikan dengan kebudayaan khusus bagi pria dan wanita yang akan direfleksikan sebagai maskulinitas dan femininitas (Ashmore, 1990; Aube & Koestner, 1992). Menurut Santrock (2002), peran gender juga merupakan seperangkat harapan yang menggambarkan bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berpikir, merasa dan bertindak.

(48)

Ada empat tipe peran gender, yaitu maskulin, feminin, androgini dan tak terbedakan (Bem, 1981). Setiap peran gender memiliki karakteristik sendiri yang mempengaruhi perilaku seseorang. Bem (1975) mengatakan bahwa peran gender maskulin lebih menunjukkan peran karakteristik sifat mandiri, agresif, ambisius, dominan, dan kurang responsif terhadap hal yang berhubungan perasaan. Feminin dengan sifat ketergantungan terhadap orang lain, tidak tegas, tidak percaya diri, sensitif terhadap orang lain dan hangat dalam hubungan interpersonal. Meskipun begitu, peran gender laki-laki dan perempuan dianggap setara dan dapat dipertukarkan. Artinya pada saat tertentu laki-laki bisa berperan sebagai orang yang lemah lembut, emosional dan penuh kasih sayang. Sebaliknya, pada saat tertentu pula perempuan bisa menjadi perkasa, rasional dan bersikap sebagai pemimpin. Peran gender yang dapat dipertukarkan disebut peran gender berorientasi androgini. Sedangkan peran yang tidak terbedakan merujuk pada orang yang memiliki sifat-sifat maskulin dan feminin yang rendah.

E. Hipotesis

(49)

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan kecenderungan berperilaku agresif yang ditinjau dari identitas peran maskulin, feminin, androgini dan tak teridentifikasi.

B. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah identitas peran gender. 2. Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kecenderungan berperilaku agresif.

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Identitas Peran Gender

(50)

Identitas peran gender subjek dilihat dari skor total yang diperoleh subjek dalam skala identitas gender. Subjek dikatakan memiliki identitas peran maskulin jika nilai rata-rata pada item maskulinnya berada di atas nilai tengah (median) kelompok dan nilai rata-rata pada item feminin berada di bawah nilai tengah (median) kelompok. Begitu pula dengan identitas peran feminin, subjek dikatakan memiliki identitas peran feminin jika nilai rata-rata pada item femininnya berada di atas nilai tengah kelompok dan nilai rata-rata pada item maskulinnya berada di atas nilai tengah kelompok. Sedangkan jika kedua nilai rata-rata pada item maskulin dan item feminin berada di atas nilai tengah kelompok maka subjek dikatakan memiliki identitas peran androgini. Sebaliknya, jika subjek mendapatkan nilai rata-rata pada kedua item maskulin dan item feminin di bawah nilai tengah kelompok maka subjek tersebut dikatakan memiliki identitas peran gender yang tak terbedakan.

2. Kecenderungan Berperilaku Agresif

Kecenderungan perilaku agresif adalah suatu bentuk perilaku yang disengaja terhadap orang atau objek lain dengan tujuan mengganggu, merusak, merugikan serta melukai ataupun mencelakakan fisik atau psikologis orang lain secara fisik maupun verbal, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Termasuk di dalam perilaku agresif ini adalah kemarahan dan permusuhan yang bersifat dispoposional.

(51)

a. Agresi Fisik adalah bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai seseorang secara fisik, seperti memukul, menendang, menusuk, dan sebagainya.

b. Agresi Verbal adalah bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai seseorang secara verbal atau melalui kata-kata, termasuk di dalamnya adalah perilaku argumentatif dan kata-kata yang mengandung unsur permusuhan. Bila seseorang sedang mengumpat, membentak, berdebat, mengejek dan sebagainya, orang itu dapat dikatakan sedang melakukan agresi.

c. Kemarahan adalah suatu emosi negatif yang dialami seseorang yang dapat menimbulkan perasaan terganggu dan tidak nyaman. Kemarahan merupakan perasaan tidak senang sebagai reaksi atas cedera fisik maupun psikis yang diderita individu.

d. Permusuhan adalah sikap yang negatif terhadap orang lain karena penilaian sendiri yang negatif. Permusuhan sebagai komponen dari agresi mengandung unsur ketidaksukaan, dendam atau sakit hati dan kebencian terhadap orang lain.

(52)

D. Subjek Penelitian

Pemilihan subjek ke dalam sampel dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu cara pemilihan kelompok subjek yang didasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, subjek yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah mahasiswa pada usia dewasa awal yaitu berumur antara 19 – 25 tahun di daerah Barbasari dan Paingan, Yogyakarta.

Havighurst (1974) menyatakan bahwa pada usia dewasa awal, seorang individu akan menghadapi berbagai tugas perkembangan yaitu: mencari dan memilih pasangan hidup, belajar hidup bersama pasangan, memulai jenjang karir, mengambil tanggung jawab sipil, dan menemukan kelompok sosial yang sesuai. Pada masa dewasa awal ini, individu akan banyak menemukan tugas-tugas baru dengan tanggung jawab dan masalah-masalah baru yang harus dihadapi sehingga memiliki potensi untuk berkencenderungan berperilaku agresif.

E. Alat pengumpulan data

(53)

Tabel 3.1 Blueprint Skala Identitas Peran Gender sebelum uji coba Faktor

Maskulin Feminin Netral

No Butir Item 1, 4, 7, 10, 13, 16,

Sedangkan alat pengumpulan data yang digunakan untuk mengukur kecenderungan perilaku agresi adalah Skala agresi yang diadaptasi dan dimodifikasi dari Aggression Questionnaire (Buss & Perry, 1992). Skala ini sebelum uji coba terdiri dari 40 item dengan 5 pilihan respon mulai dari sangat sesuai dengan diri subjek, agak sesuai dengan diri subjek, netral, tidak sesuai dengan diri subjek, dan sangat tidak sesuai dengan diri subjek. Skala ini mengukur 4 faktor agresi yaitu agresi fisik (10 item), agresi verbal (10 item), kemarahan (10 item), dan permusuhan (10 item).

Tabel 3.2 Blue print Skala Kecenderungan Perilaku Agresif sebelum uji coba

Nomor Butir Item Jumlah

(54)

37

F. Validitas Dan Reliabilitas

Data hasil penelitian harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain aspek reliabilitas dan validitas (Azwar, 1995).

a. Validitas

Validitas didefinisikan sebagai ukuran seberapa cermat suatu alat ukur melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 2003). Suatu alat ukur dikatakan memiliki validitas yang tinggi bila alat ukur tersebut memberikan hasil sesuai dengan tujuan pengukuran. Kecermatan suatu alat ukur berarti pengukuran dari alat ukur tersebut mampu memberikan gambaran mengenai perbedaan yang sekecil-kecilnya antar subyek yang satu dengan yang lain. Suatu alat ukur dapat dikatakan valid apabila memiliki ciri-ciri:

a. Seberapa jauh suatu alat ukur dapat menangkap dengan jitu gejala atau bagian-bagian yang hendak diukur.

b. Seberapa jauh alat ukur dapat membaca sesuatu yang diteliti dan dapat menunjukkan dengan sebenarnya gejala atau bagian gejala yang diukur.

(55)

ditetapkan menurut analisis rasional/ professional judgement terhadap isi alat ukur, yang penilaiannya didasarkan atas pertimbangan subyektif individual. Prosedur validitasnya tidak melibatkan perhitungan statistik apapun (Azwar, 2003). Dalam penelitian ini, dosen pembimbing melakukan analisis rasional terhadap aitem-aitem yang telah disusun, hal ini dimaksudkan untuk melihat kesesuaian antara aitem dengan aspek bersangkutan. Uji validitas isi dilakukan sebelum uji coba dilaksanakan. b. Seleksi Item

Seleksi item dilakukan untuk menemukan sejumlah item yang berkualitas dan patut digunakan. Parameter yang akan digunakan dalam seleksi item adalah daya diskriminasi item, yang menunjukkan sejauh mana item mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2003).

(56)

c. Reliabilitas

Reliabilitas merupakan tingkat kepercayaan terhadap hasil suatu pengukuran (Azwar, 2003). Reliabilitas alat ukur menunjukkan sejauh mana pengukuran itu dapat memberikan hasil yang relatif konsisten jika dilakukan pengukuran kembali terhadap aspek yang sama dalam diri subjek dengan menggunakana alat ukur yang sama. Suatu angket yang reliabel akan menunjukkan ketepatan, ketelitian, dan keajegan hasil dalam satu atau berbagai pengukuran (Azwar, 2003).

Pendekatan yang digunakan dalam perhitungan reliabilitas alat tes ini adalah reliabilitas koefisien alpha dari Cronbach, sebab koefisien alpha mempunyai nilai praktis dan efisiensi yang tinggi karena hanya dilakukan satu kali pada sekelompok subjek. Reliabilitas dinyatakan dalam koefisien reliabilitas (rxx) yang angkanya berada dalam rentang 0,00 sampai 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitas alat ukur dan sebaliknya semakin rendah mendekati angka 0,00 berarti semakin rendah reliabilitas alat ukur.

G. Analisis Data

Metode analisis data merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengolah data, menganalisis hasil penelitian untuk menguji kebenarannya Karena data yang digunakan dalam penelitian ini berupa angka-angka maka metode yang digunaka adalah metode statistik.

(57)
(58)

A. Persiapan penelitian

1. Uji coba alat ukur

Uji coba skala kecenderungan perilaku agresif dan identitas peran gender

dilakukan kepada mahasiswa di Yogyakarta. Alat ukur disebarkan kepada 67

orang mahasiswa yang berdomisili di Yogyakarta. Instrument pengukuran ini

disebarkan oleh penulis sendiri kepada teman-teman mahasiswa yang sudah

penulis kenal. Sebagian instrument pengukuran juga dititipkan kepada

teman-teman penulis untuk disebarkan kepada teman-teman-teman-teman kos yang lainnya.

Khusus untuk instrument pengukuran yang dititipkan, penulis sudah

memberikan instruksi kepada teman penulis tentang persyaratan subjek yang

ingin diteliti penulis. Lama waktu keseluruhan proses uji coba alat ukur ini

berjalan dari tanggal 3-13 September 2008. Dari 67 alat ukur yang disebarkan,

hanya 60 sampel yang dapat digunakan dan terdiri dari 32 laki-laki dan 28

perempuan yang berusia dari 19-23 tahun. Sedangkan 7 sampel sisanya tidak

dapat digunakan karena hilang atau tidak dikembalikan kepada penulis. Penulis

kemudian memproses data hasil uji coba alat ukur dengan program SPSS 13.0 for

windows.

2. Hasil uji coba alat ukur

a. Uji Validitas

Validitas alat ukur penelitian yang digunakan adalah validitas isi yang

(59)

pembimbing penulis selama proses bimbingan skripsi.

b. Seleksi item

1) Skala Kecenderungan berperilaku agresif

Berdasarkan hasil uji daya beda pada skala kecenderungan

perilaku agresif dengan jumlah item awal 40 item terhadap 60 orang

subjek diperoleh bahwa daya diskriminasi item untuk item

kecenderungan berperilaku agresif berkisar antara -0,22 – 0,828.

Pemilihan item dilakukan dengan menyeleksi seluruh item yang

memiliki daya diskriminasi item 0,30 dan bila daya diskriminasi item

< 0,30 maka item dianggap gugur. Dari seleksi item tersebut maka

terdapat 11 item yang gugur sehingga diperoleh 29 item yang akan

digunakan dalam penelitian dengan sebaran, yaitu 8 item agresi fisik, 5

item agresi verbal, 10 item kemarahan, dan 6 item permusuhan.

Tabel 4.1 Skala Kecenderungan Perilaku Agresif sebelum uji coba dan item yang gugur

(60)

19*, 23, 26, 30*, 36, 38* * item yang gugur

Setelah dilakukan pengguguran item maka didapatkan skala

penelitian dengan penomoran item sebagai berikut:

Tabel 4.2 Skala Kecenderungan Perilaku Agresif setelah uji coba Nomor Butir Item Jumlah Skala Faktor

2) Skala identitas peran gender

Item pada skala identitas peran gender berjumlah awal 60 item,

namun terdapat 20 item yang bersifat netral yang tidak digunakan dalam

analisis data sehingga jumlah item skala identitas peran gender yang

akan dianalisis adalah 40 item, yaitu 20 item dari aspek maskulin dan 20

dari item aspek feminin. Ke- 40 item tersebut kemudian diuji daya

diskriminasinya untuk menentukan item-item maskulin dan feminin

yang bisa digunakan bersama-sama untuk mengukur identitas peran

(61)

kemudian melakukan seleksi item yang memiliki daya diskriminasi

0,30. Dari seleksi item tersebut maka terdapat 12 item yang gugur

sehingga diperoleh 28 item yang akan digunakan dalam penelitian

selanjutnya dengan sebaran, yaitu 16 item maskulin dan 12 item

feminin.

Selanjutnya, juga dilakukan uji daya diskriminasi terpisah untuk

menentukan item-item yang hanya digunakan untuk mengukur identitas

peran maskulin dan identitas peran feminin. Berdasarkan hasil uji daya

beda pada 20 item maskulin terhadap 60 orang subjek diperoleh bahwa

daya diskriminasi item maskulin berkisar antara 0,228 – 0,699. Penulis

kemudian melakukan seleksi item yang memiliki daya diskriminasi

0,30. Dari seleksi item tersebut maka terdapat 1 item yang gugur

sehingga diperoleh 19 item yang bisa digunakan untuk mengukur

identitas peran maskulin.

Berdasarkan hasil uji daya beda pada 20 item feminin terhadap

60 orang subjek diperoleh bahwa daya diskriminasi item feminin

berkisar antara 0,014 – 0,683. Penulis kemudian melakukan seleksi item

yang memiliki daya diskriminasi 0,30. Dari seleksi item tersebut maka

terdapat 6 item yang gugur sehingga diperoleh 14 item yang bisa

(62)

Namun untuk meringkas skala penulisan dan menyesuaikan jumlah item

maskulin dan feminin, maka selanjutnya penulis juga mengugurkan 6

item maskulin yang memiliki daya diskriminasi paling rendah sehingga

diperoleh 10 item maskulin dan 10 item feminin untuk skala penelitian

selanjutnya.

Sedangkan untuk pemilihan item netral, penulis juga melakukan

seleksi item terhadap 20 item netral tersebut secara terpisah untuk

menentukan 10 item yang memiliki daya diskriminasi item yang paling

tinggi yang akan digunakan untuk melengkapi skala identitas peran

gender.

Tabel 4.3 Skala Identitas Peran Gender sebelum uji coba dan item yang

digugurkan

Faktor

Maskulin Feminin Netral No Butir Item 1, 4*, 7, 10, 13, ** item yang digugurkan

Item-item yang gugur dan digugurkan dalan item maskulin adalah suka

mempertahankan pendapat, berkepribadian kuat, mau mengambil sikap,

(63)

digunakan dan diperoleh skala penelitian sebagai berikut:

Tabel 4.4 Skala Identitas Peran Gender setelah uji coba

Faktor

Maskulin Feminin Netral No Butir Item 1, 4, 7, 10, 13, 16,

Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat taraf kepercayaan atau keajegan

hasil pengukuran. Adapun pengujian reliabilitas ini menggunakan analisis

statistic Reliability Analysis Scale Alpha (Koefisien Alpha) dari SPSS for

windows 13.0, dimana diperoleh:

1) Skala Kecenderungan Berperilaku Agresif

=

0,897 2) Skala Identitas Peran Gender

Identitas peran androgini dan tak terbedakan

=

0,853 Identitas peran maskulin

=

0,897 Identitas peran feminin

=

0,825 B. Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan data penelitian berlangsung dari tanggal 20 September 2008

sampai 8 Oktober 2008. Pembagian skala kecenderungan perilaku agresif dan

identitas peran gender dilakukan kepada mahasiswa-mahasiswa di Yogyakarta di

(64)

yang lainnya.

Khusus untuk skala yang dititipkan, penulis sudah memberikan instruksi

kepada teman penulis tentang persyaratan subjek yang ingin diteliti penulis. Skala

yang terkumpul berjumlah 90 buah. Namun karena setelah di kategorisasikan jumlah

subjek untuk tiap skala belum mencapai minimal 18 subjek maka penulis kemudian

membagikan 20 skala lagi. Keseluruhan skala yang terkumpul kemudian berjumlah

110 skala yang terbagi atas 55 laki-laki dan 55 perempuan serta berusia antara 19-25

tahun. Penulis kemudian mentabulasikan data penelitian dengan program SPSS 13.0

for windows.

C. Hasil Penelitian

1. Deskripsi data penelitian

Data penelitian menampilkan karakteristik subjek berdasarkan jenjang usia, jenis

kelamin, dan identitas peran gender dengan jumlah total 110 orang subjek

mahasiswa.

Tabel 4.5 Deskripsi subjek penelitian

(65)

a. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan identitas peran gender

Cara pengkategorisasian subjek penelitian dalam kategorisasi identitas

peran gender dilakukan dengan metode median split, yaitu dengan

membandingkan rata-rata skor maskulin dan skor feminin subjek dengan median

skor maskulin dan skor feminin kelompok sampel. Subjek dikatakan memiliki

identitas peran maskulin jika nilai rata-rata pada item maskulinnya berada di atas

nilai tengah kelompok dan nilai rata-rata pada item feminin berada di bawah nilai

tengah kelompok. Begitu pula dengan identitas peran feminin, subjek dikatakan

memiliki identitas peran feminin jika nilai rata-rata pada item femininnya berada

di atas nilai tengah kelompok dan nilai rata-rata pada item maskulinnya berada di

atas nilai tengah kelompok. Sedangkan jika kedua nilai rata-rata pada item

maskulin dan item feminin berada di atas nilai tengah kelompok maka subjek

dikatakan memiliki identitas peran androgini. Sebaliknya, jika subjek

mendapatkan nilai rata-rata pada kedua item maskulin dan item feminin di bawah

nilai tengah kelompok maka subjek tersebut dikatakan memiliki identitas peran

gender yang tak terbedakan.

Tabel 4.6 Pengkategorisasian Identitas peran gender subjek dengan median split

Rata-rata skor maskulin < median median < median Tak terbedakan

(66)

/ 2 b

L = skor nyata bawah dari interval skor yang mengandung median

N = jumlah angka dalam distribusi total

nb = jumlah angka di bawah interval skor median

nw = jumlah angka dalam interval median

I = ukuran interval

feminin maka dilakukan perbandingan rata-rata skor maskulin dan feminin subjek

dengan median kelompok. Dari pengkategorisasian 110 subjek kemudian

diketahui bahwa subjek yang termasuk kelompok identitas peran maskulin

berjumlah 22 orang (17 orang laki-laki dan 5 orang perempuan), yang termasuk

identitas peran feminin berjumlah 20 orang (9 orang laki-laki dan 11 orang

perempuan), yang termasuk identitas peran androgini 30 orang (13 orang laki-laki

dan 17 perempuan), dan yang termasuk identitas peran tak terbedakan 38 orang

(16 orang laki-laki dan 22 orang perempuan).

(67)

Jenis Identitas Peran Gender Laki-laki Perempuan Jumlah

Maskulin 17 5 22

Feminin 9 11 20

Androgini 13 17 30

Tak terbedakan 16 22 38

Total 55 55 110

b. Kecenderungan berperilaku agresif subjek berdasarkan identitas peran gender

Kecenderungan berperilaku agresif subjek dapat dilihat secara keseluruhan

melalui masing-masing identitas peran gender. Jumlah total subjek penelitian

adalah sebanyak 110 orang. Rata-rata mean adalah 88,83. Skor minimum adalah

58 dan skor maksimum adalah 119. Sesuai dengan jenis identitas peran gender

dan rata-rata skor skala kecenderungan berperilaku agresif maka dapat

disimpulkan urutan kecenderungan berperilaku agresif berdasarkan identitas

peran gender dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah adalah identitas

peran maskulin, indentitas peran tak terbedakan, identitas peran androgini, dan

(68)

D. Uji asumsi penelitian.

Beberapa hal yang harus dipenuhi untuk bisa melakukan analisis varian adalah

dengan mengambil sampel secara random, uji normalitas, dan uji homogenitas. Uji

asumsi dilakukan untuk mendapatkan kesimpulan yang tidak menyimpang dari tujuan

penelitian.

1. Uji normalitas sebaran

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sebaran variabel pada

kelompok sampel mengikuti distribusi normal. Uji normalitas dilakukan dengan

menggunakan one-sampel kolmogorov-smirnov test. Dari hasil pengujian

didapatkan nilai probabilitas untuk kecenderungan berperilaku agresif yaitu 0,737,

karena p>0,05 maka distribusi skor untuk variabel kecenderungan berperilaku

agresif adalah normal. Data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.

2. Uji homogenitas varian

Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan program SPSS 13.0 for

windows yaitu melalui Levene’s Test for Equality of variance. Uji ini dilakukan Maskulin Feminin Androgini Tak terbedakan Total

N 22 20 30 38 110

Mean 100,04 77,60 86,63 89,97 88,83

Std Deviasi 15,14 9,94 14,74 12,19 14,83

Min 60 62 58 69 58

(69)

sampel adalah 0,114 yang berarti lebih besar dari 0,05 (p>0,05) sehingga

kelompok sampel dinyatakan memiliki varian yang sama. Data selengkapnya

dapat dilihat di lampiran.

3. Uji hipotesis

Hipotesis alternative (Hi) dalam penelitian ini berbunyi ada perbedaan

kecenderungan berperilaku agresif ditinjau dari identitas peran gender. Orang

dengan identitas peran maskulin akan memiliki kecenderungan berperilaku agresif

yang lebih tinggi dibandingkan orang dengan identitas peran feminin, androgini,

dan tak terbedakan. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis

varian satu jalur dengan bantuan SPSS 13.00 for windows. Pengujian dilakukan

dengan cara membandingkan nilai F hitung dengan nilai F tabel dan dengan

melihat signifikasinya. Hipotesis akan diterima bila nilai F hitung > F table dan

memiliki taraf signifikansi kurang dari 0,05 (p<0,05) yang berarti ada perbedaan

kecenderungan berperilaku agresif bila ditinjau dari identitas peran gender yang

dimiliki.

Hasil perhitungan nilai F dalam penelitian ini adalah 10,48 sedangkan F

tabelnya adalah 2,69 (F hitung > F tabel), nilai signifikasinya adalah 0,00 yang

berarti lebih kecil dari 0,05 (p<0,05). Hal ini berarti Hi diterima dan Ho ditolak

yang berarti ada perbedaan kecenderungan berperilaku agresif ditinjau dari

(70)

gender (F sebesar 10,48 dengan p <0,05). Selanjutnya, melalui Post Hoc Test

Anova juga diketahui bahwa subjek yang memiliki identitas peran maskulin lebih

tinggi secara signifikan kecenderungan perilaku agresifnya dibandingkan dengan

subjek yang memiliki identitas peran feminin, androgini, dan tak terbedakan.

Selain itu, subjek dengan identitas peran feminin dan tak terbedakan juga

memiliki rata-rata kecenderungan berperilaku agresif yang berbeda secara

signifikan, dimana subjek dengan identitas peran gender tak terbedakan memiliki

kecenderungan berperilaku agresif yang lebih tinggi. Sedangkan untuk subjek

dengan identitas peran gender feminin dan androgini, walaupun ditemukan

adanya perbedaan rata-rata nilai skala kecenderungan berperilaku agresif antara

kedua identitas peran gender tersebut tetapi perbedaan tersebut secara statistik

tidak signifikan. Data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.

Tabel 4.9 Urutan perbedaan kecenderungan berperilaku agresif subjek berdasarkan identitas peran gender

Maskulin Tak terbedakan Androgini Feminin

Gambar

Tabel 2.1 Pembagian bentuk Agresi menurut Buss
Tabel 2.2 Perbedaan Emosional dan Intelektual antara Laki-laki dan Perempuan
Tabel 3.1 Blueprint Skala Identitas Peran Gender sebelum uji coba
Tabel 4.1 Skala Kecenderungan Perilaku Agresif sebelum uji coba dan item yang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kepala Resort Pemeriksaan Djawatan Regie Tahun 1952…… 96 Lampiran 3 : Surat dari Kepala Perusahaan Garam Negeri. kepada Kepala Djawatan Regi

Brown Kasaro is an electoral technology specialist with experience in the implementation of electronic election results management systems and biometric voter registration

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN GURU KIMIA DALAM MERANCANG PRAKTIKUM BERBASIS INKUIRI MELALUI PELATIHAN GURU TIPE SCAFFOLDING UNTUK MENINGKATKAN KREATIVITAS SISWA Universitas

Hasil t-statistik KP-&gt;PS memiliki nilai sebesar 2,88 nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel sebesar 1,77 berarti H7 diterima atau terdapat

Seperti halnya yang dikatakan Gus Dur tentang pluralisme, bagi beliau semua agama itu tidak sama, karena secara teologis dalam setiap aqidah tidak di benarkan apabila

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data penelitian homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi, oleh karena itu model regresi

Tetapi yang paling banyak dari kedua jenis itu adalah ikan Lais karena... sesuai dengan nama danau itu sendiri yaitu

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana aktivitas dan peningkatan hasil belajar siswa dengan penerapan model pembelajaran Cooperative Tipe