• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan kematangan emosi remaja akhir yang ibunya bekerja dan tidak bekerja - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Perbedaan kematangan emosi remaja akhir yang ibunya bekerja dan tidak bekerja - USD Repository"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

i

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Elisabeth Desiana Mayasari NIM: 049114093

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

and in all Your creatures -I wish no more than this, O Lord.

Into your hands I commend my soul; I offer it to you with all the love of my heart,

for I love you Lord, and so need to give myself, to surrender myself into your hands,

without reserve,

and with boundless confidence,

For you are my Father.

(5)

v

Anantya Ariyudha

Anakku, Inosensius Aoisora Nararya Ariyudha

Kakak dan adikku, dr. Antonia Morita Iswari Saktiawati dan Melania Perwitasari S. Far.

(6)
(7)

vii Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kematangan emosi remaja akhir yang ibunya bekerja dan tidak bekerja. Kematangan emosi dalam penelitian ini adalah kemampuan remaja dalam mengontrol dan mengendalikan emosinya, di mana remaja dapat menghadapi berbagai kondisi dengan suatu cara tertentu, seperti kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan pribadi, kemampuan untuk memperhitungkan pendapat orang lain dan kemampuan untuk mengungkapkan emosi yang tepat. Ibu bekerja adalah ibu yang mempunyai kegiatan atau pekerjaan yang formal dengan jadwal dan jangka waktu tertentu. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan signifikan kematangan emosi remaja akhir yang ibunya bekerja dan tidak bekerja.

Subyek dalam penelitian ini adalah remaja akhir yang berusia 15-18 tahun yang bertempat tinggal di Yogyakarta dan Semarang yang berjumlah 315 orang; 133 orang remaja akhir yang ibunya bekerja dan 182 orang remaja akhir yang ibunya tidak bekerja. Pengumpulan data dilakukan menggunakan skala kematangan emosi yang disusun sendiri oleh peneliti. Uji reliabilitas menggunakan Alpha-Cronbach yang menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0,937. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik differensial

uji-t (T-test)

Dari hasil analisis data, diperoleh nilai t sebesar 0,392. Dengan nilai signifikansi sebesar 0,695 (p < 0,05). Hal tersebut menunjukan bahwa tidak ada perbedaan signifikan dalam kematangan emosi remaja akhir antara remaja dengan ibu bekerja dan tidak bekerja.

(8)

viii

Faculty of Psychology, Sanata Dharma University.

This research aims to investigate the emotional maturity difference between later adolescents of working mothers and non-working mothers. Emotional maturity in this research is teenager’s ability in managing his/her emotion, where adolescents can deal with any condition with certain way, such as ability to come up with personal problems, ability to notice other’s opinion, and ability to express proper emotion. Working mother is a mother who has formal activity or occupation with definite occupation’s period and schedule. Hypothesis of this research was there was significant difference on the emotional maturity between later adolescents of working mothers and non-working mothers. The subjects of this research were 315 adolescents of 15-18 years old living in Yogyakarta and Semarang; 133 adolescents with working mothers and 182 non working mothers. Data collection was done with emotion maturity scale composed by the researcher. Alphe-Cronbach was used as a reliability test that produces reliability coefficient of 0.937. The obtained data was analyzed with differential T test technique.

Data analysis shows t of 0.392 with significant value of 0.695 (p<0.05). There no difference emotional maturity between later adolescents of working mothers and non-working mothers

(9)
(10)

x

dengan penyusunan laporan ini memang bukan jalan yang mudah dilewati. Semua yang tertuang dalam skripsi ini diperoleh dengan kerja keras dan tidak lain karena peran, bantuan, bimbingan, motivasi, dukungan, dan doa dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih atas segala proses yang penulis alami kepada :

1. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, S. Psi., M. Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan ijin penelitian 2. Ibu Agnes Indar Etikawati, S. Psi., M. Psi., selaku dosen pembimbing skripsi

yang telah meluangkan waktu dan perhatian, serta banyak membantu selama diskusi dan bimbingan sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

3. Romo Dr. A. Priyono Marwan, SJ. selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu, perhatian, serta membagi ilmu kepada penulis selama ujian skripsi dan proses revisi.

4. Bapak C. Siswa Widyatmoko, S. Psi. selaku dosen penguji yang telah meluangkan waktu, perhatian, serta membagi ilmu kepada penulis selama proses penulisan, ujian skripsi serta proses revisi.

(11)

xi

7. Bapak Y. Heri Widodo, M. Psi., yang telah banyak meluangkan waktu untuk membagi ilmu, pengalaman, dan membimbing selama penulis berada di Fakultas Psikologi.

8. Ibu MM. Nimas Eki S., S. Psi., Psi., M. Si., yang telah memberi banyak masukan dan dorongan kepada penulis.

9. SMA Negeri 9 Yogyakarta yang membantu penulis dalam melakukan penelitian.

10. Bapak Drs. Ignatius Sutarjo dan Ibu Ir. Maria Goretti Wara Kushartini M.T., terimakasih atas segala bantuan, dukungan materi, dan tempat mengeluh. 11. Papa Drs. Eka Noor Asmara M.B.A., Akt. dan Mama Dra. Joyce Eriawati,

yang selalu menyemangati penulis untuk menyelesaikan penelitian.

12. Romo Paulus Erwin Sasmito, Pr., yang selalu mendampingi dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi.

13. Budhe Dr. B.M. Wara Kushartanti yang selalu siap membantu ketika penulis mengalami kesulitan dalam menulis.

14. Mas Ari, yang selalu mendampingiku dalam keadaan suka dan duka, selalu menyemangatiku untuk terus belajar dan berkembang dalam hidup.

(12)

xii masukan dalam penulisan skripsi ini.

18. Temen-temen yang sudah mendukung penulis saat penelitian: Nipeng-Nopek, Beni, Unang, Kriska, Kike, Bimo, Wilis, Sronggot, Erol

19. Segenap dosen-dosen Fakultas Psikologi yang telah memberikan pengetahuan dan ilmu kepada penulis.

20. Staf dan karyawan sekretariat Fakultas Psikologi: Mbak Nanik, Mas Gandung, Mas Muji, Pak Gi, Mas Dony yang sudah banyak membantu.

21. Satpam dan Penjaga parkir Universitas Sanata Dharma yang selalu tersenyum ramah yang membuat hariku menjadi menyenangkan.

22. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang secara langsung ataupun tidak langsung sudah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Untuk itu, penulis dengan rendah hati memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan. Penulis juga menerima segala kritik dan saran yang membangun. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan semua orang yang membaca skripsi ini pada khususnya.

Tuhan Memberkati.

(13)

xiii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... HALAMAN MOTTO... HALAMAN PERSEMBAHAN... HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ABSTRAK...

ABSTRACT...

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I. PENDAHULUAN ... A. Latar Belakang Masalah ... B. Rumusan Masalah ... C. Tujuan Penelitian ... D. Manfaat Penelitian... BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... A. Kematangan Emosi...

(14)

xiv

4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kematangan Emosi

B. Remaja Akhir... 1. Batasan Remaja Akhir... C. Kematangan Emosi Pada Remaja ... D. Status Bekerja Ibu Dalam Rumah Tangga ... 1. Pengertian Status Bekerja Ibu ... 2. Peran Ibu Dalam Rumah Tangga ... 3. Dampak Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja di Dalam Rumah Tangga .. E. Perbedaan Kematangan Emosi Antara Remaja Yang Ibunya Bekerja

dan Tidak Bekerja ... F. Hipotesis ... BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... A. Jenis Penelitian ... B. Identifikasi Variabel ... C. Definisi Operasional ...

1. Kematangan Emosi Remaja Akhir ... 2. Status Ibu ... D. Subyek Penelitian ... E. Perolehan Data ... F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ...

(15)

xv

1. Uji Validitas ... 2. Seleksi Item ... 3. Reliabilitas ... H. Persiapan Penelitian ... 1. Pelaksanaan Uji Coba ... 2. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... a. Uji Kesahihan Butir ... b. Uji Reliabilitas ... I. Prosedur Penelitian ... J. Analisis Data ... BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... A. Pelaksanaan Penelitian ... B. Deskripsi Subyek Penelitian ... 1. Data Subyek Penelitian ... a. Status Pekerjaan Ibu ... b. Pendidikan Terakhir Ibu ... c. Waktu Bertemu Dengan Ibu Per Hari ... C. Hasil Penelitian ... 1. Deskripsi Data Kematangan Emosi ... a. Tingkat Kematangan Emosi Secara Keseluruhan ...

(16)

xvi

b. Uji Homogenitas Varian ... 3. Uji Hipotesis ... a. Pengujian Hipotesis ... D. Pembahasan ... BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... A. Kesimpulan ... B. Keterbatasan Penelitian ... C. Kritik Terhadap Penelitian

D. Saran ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...

(17)

xvii

Tabel II Distribusi Item Skala Kematangan Emosi

(Setelah Uji Coba) ... Tabel III Distribusi Item Skala Kematangan Emosi (Penelitian) ... Tabel IV Uji Reliabilitas ... Tabel V Status Pekerjaan Ibu ... Tabel VI Pendidikan Terakhir Ibu ... Tabel VII Waktu Bertemu Dengan Ibu Per Hari ... Tabel VIII Tingkat Kematangan Emosi Secara Keseluruhan ... Tabel IX Kategorisasi Subyek Berdasar Rata-rata Teoritik ... Tabel X Rangkuman Data Kategori Subyek Berdasar

Rata-rata Teoritik ... Tabel XI Hasil PerhitunganOne-Sample Kolmogorov-Smirnov Test.. Tabel XII Hasil Perhitungan T-test Remaja Akhir yang Ibu Bekerja

dan Tidak Bekerja ... Tabel XIII Hasil Analisis Varian Satu Jalur Perbedaan Tingkat

Pendidikan Ibu ... Tabel XIV Hasil Analisis Varian Satu Jalur Perbedaan Waktu Bertemu

(18)

xviii

(19)

xix

Lampiran II Koefisien Reliabilitias SkalaTry OutKematangan Emosi Lampiran III Skala Penelitian Kematangan Emosi

Lampiran IV Koefisien Reliabilitas Skala Penelitian Kematangan Emosi Lampiran V Hasil Uji Normalitas, Hasil Uji Homogenitas dan Hasil Uji

Hipotesis Data Hasil Penelitian Lampiran VI Histogram Data Hasil Penelitian

Lampiran VII Hasil Analisis Varian Satu Jalur Tingkat Pendidikan Ibu LampiranVIIIHasil Analisis Varian Satu Jalur Waktu Bertemu Ibu Dengan

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masa remaja merupakan masa yang penuh “badai” dan ”tekanan” karena masa remaja merupakan masa transisi dari anak menuju dewasa. Secara fisik fungsi fisiologis remaja sudah sama dengan orang dewasa yang ditandai dengan sudah matangnya fungsi reproduksi, namun remaja belum dapat masuk dalam perkembangan manusia dewasa karena remaja belum matang dalam hal emosional dan belum mampu mandiri secara sosial (Hartini, 1999).

Kondisi yang tidak pasti ini menimbulkan kecemasan dan ketegangan tersendiri dalam diri remaja, karenanya mereka berusaha mencari identitas dirinya untuk menegaskan siapa diri dan apa perannya dalam masyarakat. Dalam perkembangannya, remaja dihadapkan dengan banyak persoalan, baik persoalan dalam dirinya maupun persoalan dari luar yang menyangkut status dirinya. Masa remaja juga merupakan masa yang penuh gejolak emosi, ada sebagian remaja yang dapat mengendalikan emosi namun ada juga remaja yang tidak dapat mengendalikan emosinya. Kemampuan mengendalikan emosi adalah salah satu ciri kematangan emosi (Rahmawati, 2008).

Kematangan mula-mula merupakan suatu hasil perubahan-perubahan tertentu dan penyesuaian struktur pada diri individu, seperti kematangan

(21)

jaringan tubuh, saraf dan kelenjar yang disebut kematangan biologis. Kematangan psikis meliputi keadaan berpikir, rasa, kemauan, dan kematangan emosi termasuk didalamnya (Mar’at, 2005). Kematangan fisik menyebabkan individu akan mudah melakukan tugas perkembangannya, sebab kematangan fisik akan mempengaruhi kematangan psikis. Kematangan adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap individu, baik kematangan secara fisik, maupun kematangan dalam hal kognitif, moral, maupun emosi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa individu dalam proses perkembangannya akan melalui beberapa proses kematangan untuk menjadi dewasa. Salah satu kematangan yang akan dilalui oleh remaja adalah kematangan emosi (Rahmawati, 2008).

Young (1950) mengungkapkan bahwa kematangan emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol dan mengendalikan emosinya. Merchan menambahkan bahwa seseorang yang mempunyai ciri emosi yang sudah matang tidak cepat terpengaruh oleh rangsang stimulus baik dari dalam maupun luar. Emosi yang sudah matang akan selalu belajar menerima kritik, mampu menangguhkan respon-responnya dan memiliki saluran sosial bagi energi emosinya, seperti bermain, melaksanakan hobinya, dan sebagainya.

(22)

sangat penting bagi seseorang pada usia remaja untuk dapat berinteraksi dengan teman-teman sebayanya dan lingkungan sekitarnya. Remaja dikatakan matang secara emosi apabila remaja itu dapat berinteraksi secara sosial, sebab kematangan emosi erat kaitannya dengan kematangan sosial. Apabila individu gagal dalam usia perkembangan pada masa remajanya, maka individu tersebut kemungkinan besar akan gagal pula dalam usia perkembangan selanjutnya (Rahmawati, 2008).

Kegagalan pengendalian emosi biasa terjadi karena remaja kurang bersusah payah menilai sesuatu dengan kepala dingin. Kegagalan mengekspresikan emosi juga disebabkan karena remaja kurang mengenal perasaan dan emosinya sendiri sehingga menjadi “salah kaprah” dalam mengekspresikannya (Wahyurini dan Ma’shum, 2002). Menurut Murray (1997), individu yang tidak memiliki kematangan emosi mengakibatkan individu tersebut mempunyai emosi yang mudah berubah yaitu perubahan emosi yang berlebihan; ketergantungan yang berlebihan yaitu individu yang selalu bergantung pada orang lain tanpa pernah mau berusaha untuk melakukan sendiri; pemenuhan yang bersifat segera yaitu tidak bisa bertoleransi terhadap pemenuhan kepuasan atau kebutuhan yang bersifat segera; dan sikap egosentris yaitu kecenderungan menilai obyek atau peristiwa berdasarkan kepentingan pribadi dan kurang sensitif terhadap kepentingan orang lain.

(23)

remaja juga harus berlatih untuk melakukan dialog dengan dirinya sendiri dalam menghadapi setiap masalah, bersikap positif dan optimistis, serta mampu mengembangkan harapan yang realistis. Remaja juga harus mampu menafsirkan isyarat-isyarat sosial, yakni mengenali pengaruh sosial terhadap perilaku remaja dan melihat dampak perilaku remaja, baik terhadap diri sendiri maupun masyarakat di mana remaja berada. Remaja juga harus dapat memilih langkah-langkah yang tepat dalam setiap penyelesaian masalah yang ia hadapi dengan mempertimbangkan risiko yang akan terjadi (Wahyurini dan Ma’shum, 2002). Individu yang memililki kematangan emosi menurut Finkelor (2004) mampu mengambil keputusan yang penting; mampu mengambil keputusan berdasarkan fakta yang dihadapi dan kemudian dipertimbangkan; mampu melaksanakan keputusan yang sudah diambilnya; mampu menilai kembali keputusannya dan kalau perlu merubahnya; serta mampu menerima keputusan-keputusannya.

(24)

oleh tingkat kesukaannya pada “orang sasaran” (Hurlock, 2002). Oleh karena itu, lingkungan akan mempengaruhi kematangan emosi-sosial seseorang. Goleman (1996) membahas mengenai perilaku yang merupakan wujud aspek kecerdasan emosi-sosial anak dapat berkembang secara optimal bila diperhatikan pengaruh lingkungan yang kondusif untuk mengembangkannya. Lingkungan yang kondusif adalah lingkungan yang peduli terhadap proses pertumbuhan dan pengembangan mereka, yang memberikan cara, fasilitas, aturan dan pemberian reward-punishment yang seimbang selama proses tumbuh kembang mereka. Lingkungan kondusif bisa berbentuk keluarga yang peduli, lembaga pendidikan, dan masyarakat sekitar yang peduli.

(25)

kebutuhan akan kelekatan psikologis (maternal bonding); kebutuhan akan stimulasi fisik dan mental di mana diperlukan perhatian besar dari orangtuanya, serta kebutuhan rasa aman di mana anak memerlukan lingkungan yang stabil dan aman. Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian adalah praktek pengasuhan anak. Ibu sering disebut sebagai pengasuh (caregiver) utama bagi anak. Pola pengasuhan seorang ibu kepada anaknya akan membawa pengaruh bagi perilaku anak tersebut dalam perkembangan selanjutnya. Rohner (Megawangi, 2003) dalam bukunya yang berjudul ”The Warmth

Dimension Of Parenting”, mengatakan bahwa seorang anak akan

mempunyai perilaku baik atau buruk didasarkan atas cara pengasuhan yang diberikan ibunya. Anak-anak yang diasuh dengan cara diterima (acceptance) akan menjadi anak yang tumbuh dan berkembang lebih baik dibandingkan anak yang diasuh dengan cara ditolak (rejection). Anak-anak yang diasuh dengan kekerasan juga belajar kekerasan pertama kali dari ibunya, sehingga ia juga akan tumbuh menjadi anak yang menolak (anti-social) dan seringkali diikuti oleh perilaku destruktif. Sebaliknya, anak-anak yang diasuh dengan kasih sayang juga akan memiliki ikatan kasih sayang yang kuat dengan ibunya (emotional bonding) dan cenderung menjadi anak yang patuh (obedience) dibandingkan anak yang lemah ikatan emosionalnya.

(26)

bertumpu pada keluarga saja (Daeng, Hartati, Widyastuti, 2008). Menurut Bernadib (1982), wanita atau ibu-ibu yang bekerja adalah ibu-ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah meninggalkan kesibukan rumah tangganya minimal empat jam setiap hari. Mereka bekerja di luar rumah untuk mencari tambahan penghasilan atau untuk mengabdi pada masyarakat, negara, dan bangsa paling sedikit selama lima tahun berturut-turut secara terus menerus dan berkelanjutan. Lois Hoaffman (Santrock, 2003) mengatakan bahwa hal tersebut bukan suatu turunan dari kehidupan modern, melainkan sebuah tanggapan terhadap perubahan sosial lain yang memenuhi kebutuhan yang tidak ditemui oleh keluarga ideal di masa lalu di mana ibu adalah sepenuhnya ibu rumah tangga. Hal tersebut tidak hanya memenuhi kebutuhan orang tua saja, tetapi bisa menjadi pola yang cocok untuk mensosialisasikan anak-anak pada peranan orang dewasa yang akan mereka terima. Jangkauan emosi dan kemampuan yang lebih luas yang diberikan setiap orang tua semakin konsisten dengan peranan sebagai orang dewasa ini.

(27)

remaja yang ibunya tidak bekerja. Anak-anak dari ibu tidak bekerja selalu membutuhkan bantuan untuk pekerjaan harian mereka, juga cenderung gelisah dan agresif; hal ini dapat diakibatkan oleh selalu tersedianya bantuan dari ibu mereka (Hangal dan Aminabhavi, 2007).

Berlawanan dengan penelitian-penelitian di atas, Nanda dan Monochas (1977) mengungkapkan bahwa ibu bekerja membawa dampak negatif bagi anak-anaknya di mana mereka cenderung kurang dapat bekerjasama, kurang simpatik, dan menunjukkan perilaku sosial yang berbeda. Gottfried dan Bathurst (1988) lebih lanjut menyatakan bahwa waktu ibu berkerja berkorelasi secara negatif dengan prestasi di sekolah. Mittal (1997) memiliki pendapat lain, di mana Mittal menyatakan bahwa tidak ada perbedaan signifikan dalam area konsep diri dan prestasi antara anak perempuan dari ibu bekerja dengan ibu yang tidak bekerja. Deka dan Kakkar (1998) mendukung pernyataan tersebut dengan mengungkapkan bahwa status pekerjaan ibu tidak memiliki pengaruh pada konsep diri remaja.

(28)

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka pertanyaan yang ingin diajukan dalam penelitian ini adalah apakah didapatkan perbedaan tingkat kematangan emosi antara remaja yang ibunya bekerja dan tidak bekerja.

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan tingkat kematangan emosi yang signifikan antara remaja yang ibunya bekerja dan tidak bekerja, di mana hubungan status pekerjaan ibu dengan kematangan emosi belum tergambarkan dengan jelas dalam penelitian-penelitian sebelumnya, dan informasi mengenai pengaruh status pekerjaan ibu terhadap kematangan emosi anak remaja di Indonesia belum banyak tersedia.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoretis

Memberikan tambahan informasi kajian teori-teori psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan Remaja mengenai ada atau tidaknya perbedaan kematangan emosi pada remaja yang ibunya bekerja dan tidak bekerja.

2. Manfaat Praktis

(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kematangan Emosi

1. Definisi

Kematangan berasal dari kata maturation. Kematangan dalam kamus psikologi Chaplin (2006) diartikan sebagai suatu keadaan atau kondisi tercapainya tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional; dan karena itu pribadi yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi anak-anak. Kematangan dan kemasakan memiliki arti dan makna yang sama yaitu sudah dipikirkan (dipertimbangkan) baik-baik; sudah diputuskan (disetujui bersama); sudah sempurna atau sampai pada tingkatan yang terbaik (terakhir) (Sugono dkk, 2008). Secara harafiah kematangan adalah terbukanya potensi yang ada dalam diri manusia, maka yang berperan dalam kematangan adalah apa yang ada dalam diri kita baik kemampuan motorik, kemampuan kognitif, maupun kemampuan sosial (Rahmawati, 2008). Dengan demikian, kematangan adalah suatu keadaan yang sudah sampai pada tingkatan terbaik, di mana kemampuan motorik, kognitif maupun sosial berperan di dalamnya, sehingga tercapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional.

Kata ”emosi” berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitumovere

atau emover yang berarti ”bergerak atau menggerakkan”, menyiratkan

(30)

bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi (Goleman, 1996). Istilah kematangan atau kedewasaan emosional seringkali membawa implikasi adanya kontrol emosional. Kematangan emosi juga dapat dipahami sebagai kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri, menempatkan diri, dan menghadapi berbagai kondisi dengan suatu cara tertentu (Rahmawati, 2008)

Young (Powell, 1963) mengungkapkan bahwa kematangan emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol dan mengendalikan emosinya. Merchan menambahkan bahwa seseorang yang mempunyai ciri emosi yang sudah matang tidak cepat terpengaruh oleh rangsang (stimulus), baik dari dalam maupun dari luar dirinya. Seseorang yang memiliki emosi yang sudah matang, akan selalu belajar menerima kritik, mampu menangguhkan respon-responnya dan memiliki saluran sosial bagi energi emosinya, misalnya bermain, melaksanakan hobi, dan sebagainya.

(31)

2. Proses Kematangan Emosi

Hurlock (2004) menjelaskan proses terjadinya kematangan emosi menurut sebagai berikut:

a. Masa Bayi

Bayi mempunyai pola emosi yang kuat dan sering muncul tetapi bersifat sementara dan dapat berubah menjadi emosi lain jika perhatian bayi dialihkan. Dominasi emosi yang penting pada masa bayi adalah dominasi emosi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Dominasi emosi yang menyenangkan akan membuat kondisi fisik yang baik, tidak sakit-sakitan dan menghindarkan bayi pada perasaan yang tidak menyenangkan seperti takut dan marah. Sedangkan dominasi emosi yang tidak menyenangkan akan merangsang kondisi fisik yang buruk dan bayi akan hidup dalam kondisi lingkungan yang tidak menyenangkan.

b. Masa Anak Awal

(32)

1) Kecerdasan

Anak yang cerdas akan menyatakan keingintahuannya secara lebih aktif baik dalam menjelajahi lingkungan maupun dalam bertanya.

2) Perbedaan jenis kelamin

Jenis kelamin mempengaruhi ekspresi ledakan emosi. Anak laki-laki dianggap lebih sesuai untuk meledakkan emosi daripada perempuan sehingga anak laki-laki lebih banyak mengungkapkan amarah yang kuat sedangkan perempuan lebih menunjukkan emosi takut, cemburu, kasih sayang karena lebih dianggap tepat untuk anak perempuan.

3) Besarnya keluarga

Sering dan kuatnya rasa cemburu maupun iri hati dipengaruhi besar kecilnya keluarga. Keluarga yang lebih besar akan memiliki rasa cemburu maupun iri hati yang lebih kecil karena tidak ada anak yang mendapatkan perhatian yang besar dari orang tua.

4) Lingkungan sosial

Lingkungan sosial di rumah anak dapat menimbulkan sering dan kuatnya kemarahan anak.

5) Disiplin dan metode latihan anak

(33)

tua yang bersikap otoriter kemungkinan akan membuat anak bereaksi dengan ledakan emosi amarah.

c. Masa anak akhir

Ledakan emosi lebih jarang terjadi pada masa ini. Amarah diungkapkan dalam bentuk murung, menggerutu, dan bermacam-macam ungkapan kasar. Anak sudah mulai dapat mengungkapkan emosinya dengan katarsis emosional, yaitu usaha anak untuk mengendalikan ungkapan-ungkapan emosi secara terbuka dan meredakan diri dari emosi-emosi yang diakibatkan oleh tekanan sosial.

d. Masa remaja awal

Pengaruh emosi pada remaja awal lebih banyak terjadi pada perempuan karena biasanya perempuan lebih matang daripada laki-laki dan hambatan–hambatan sosial lebih mulai ditekankan pada perempuan ketika ia menginginkan kebebasan. Emosi yang meninggi pada masa ini juga dipengaruhi oleh dimulainya kematangan seksual yang mengakibatkan perubahan pada tubuhnya.

e. Masa remaja akhir

(34)

remaja yang mempunyai emosi sangat kuat, tidak terkendali, dan tampak tidak masuk akal dari tahun ke tahun mengalami perbaikan perilaku. Perbaikan perilaku ini dapat ditunjukkan dengan tidak meledakkan emosinya di hadapan orang lain tetapi menunggu waktu dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya dengan cara yang dapat diterima orang lain sehingga remaja dapat disebut matang secara emosi.

3 Karakteristik Kematangan Emosi

(35)

hal yang menakutkan, tanpa berpura-pura memakai ”topeng” keberanian.

Delapan karakteristik kematangan emosi manusia menurut Murray (1997) adalah sebagai berikut :

1. Kemampuan untuk memberi dan menerima cinta

Individu yang matang emosinya akan mampu mengekspresikan cinta dan menerima ekspresi cinta dari orang lain. Sifatnya afeksional.

2. Kemampuan dalam menghadapi kenyataan dan menerimanya Individu yang matang emosinya mampu untuk tidak menghindari masalah; berani menghadapi kenyataan; tahu bahwa cara tercepat menghadapi masalah adalah dengan menghadapinya.

3. Ketertarikan dalam memberi dan menerima

Individu yang matang emosinya akan mengenali kebutuhan orang lain; memberi dari kepunyaannya untuk kualitas hidup orang-orang yang ia cintai; membiarkan orang lain memberi kepada dirinya; ada unsur keseimbangan antara memberi dan menerima; sifatnya instrumental.

4. Kemampuan memandang pengalaman hidup sebagai hal yang positif

(36)

percaya bahwa dapat belajar dari dirinya untuk meningkatkan hidupnya; ketika hal-hal tidak berlangsung baik, ia mencari kesempatan lain; selalu dihubungkan dengan dirinya secara positif; mengambil hikmah dari kejadian dan dampak suatu tindakan.

5. Kemampuan belajar dari pengalaman

Individu yang matang emosinya akan belajar dari pengalaman; ada hubungan antara perilaku dan konsekuensinya; bertanggung jawab secara personal; bertindak berdasar pengalaman yang pernah ditemui.

6. Kemampuan untuk menghadapi rasa putus asa (kegagalan) Individu yang matang emosinya, ketika terjadi hal yang tidak diinginkan, ia menggunakan pendekatan lain atau cara lain, dan tetap meneruskan hidupnya.

7. Kemampuan untuk mengendalikan rasa marah secara konstrukstif

Individu yang matang emosinya tidak akan menyalahkan orang lain, tetapi mencari solusi; melawan masalah dan menggunakan kemarahan sebagai sumber energi.

8. Kemampuan menetralisir keadaan

(37)

dekatnya karena frustasi; percaya diri dalam kemampuannya untuk mendapat yang ia inginkan dalam hidup

4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kematangan Emosi

Dalam proses pencapaiannya, kematangan emosi dipengaruhi oleh beberapa faktor (Meichati, 1987):

a. Faktor Usia

Semakin bertambahnya usia seseorang maka dominasi emosinya akan berkurang dan digantikan oleh logika atau pikiran. Pendapat tersebut diperkuat oleh Walgito (2004) yang menyatakan bahwa kematangan emosi individu terkait erat dengan usia individu. Semakin bertambah usia individu maka emosinya akan bertambah matang, sehingga individu dapat menguasai dan mengendalikan emosinya.

b. Faktor Lingkungan

(38)

c. Faktor Pengalaman

Faktor pengalaman ini meliputi pengalaman hidup individu yang telah memberikan masukan nilai-nilai dalam kehidupannya. Nilai yang baik dikembangkan untuk mengontrol emosi, yang buruk dijadikan pelajaran agar tidak mengulangi lagi. Semakin bertambahnya pengalaman, baik yang dialami oleh diri sendiri maupun orang lain akan membuat emosi seseorang menjadi semakin matang.

d. Faktor Individu

Faktor individu merupakan faktor yang terdapat di dalam diri individu. Individu dapat menerima keadaan dirinya sendiri apa adanya dengan baik, sejauh mana individu mampu menerima kelebihan dan kekurangan dirinya, begitu juga sebaliknya, individu dapat menerima orang lain seperti apa adanya dan bersifat objektif .

B. Remaja Akhir

1. Batasan Remaja (Akhir)

(39)

mengalami perubahan yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional (Santrock, 2003).

Dalam masa peralihan ini remaja berkembang dengan caranya masing-masing yang secara umum dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Perkembangan Fisik dan Hormon

(40)

2. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget (Santrock, 2003), pemikiran remaja memasuki tahap terakhir dari perkembangan kognitif yaitu pemikiran operasional formal. Pada tahap ini remaja mempunyai kemampuan berpikir yang bersifat lebih abstrak daripada pemikiran pada tahap sebelumnya. Remaja mampu membayangkan situasi yang direkayasa, kejadian yang hanya berupa kemungkinan-kemungkinan maupun uraian yang sifatnya abstrak, dan mencoba mengolahnya dengan pemikiran logis. Kualitas pemikiran remaja ini terlihat jelas pada kemampuannya dalam mengembangkan hipotesis dan memperkirakan cara penyelesaian masalah, meskipun penyampaian masalah tersebut hanya dengan verbal. Muncul pemikiran yang penuh dengan idealisme dan kemungkinan-kemungkinan; pemikiran remaja juga seringkali berangan, berfantasi ke arah kemungkinan-kemungkinan di masa depan. 3. Perkembangan Sosial

(41)

Pada remaja, pengaruh teman-teman sebaya akan lebih besar daripada keluarga, namun pada akhir masa remaja, pengaruh kelompok sebaya akan berkurang karena ia lebih ingin menjadi individu yang lebih mandiri, sehingga persahabatan yang lebih erat akan lebih berarti dibandingkan dengan kegiatan sosial yang melibatkan kelompok yang lebih besar. Perubahan yang paling mencolok pada perkembangan sosial ini adalah perubahan pada hubungannya dengan teman lawan jenis. Remaja cenderung lebih menyukai teman dari lawan jenis daripada yang sejenis meskipun masih mempunyai persahabatan dengan teman sejenis. Remaja menginginkan seseorang yang dapat dipercaya, dapat diajak bicara, dan dapat diandalkan, karena itu semakin bertambah tua ia lebih mementingkan jenis teman daripada jumlah teman. Tetapi karena remaja cenderung senang memilih sendiri teman-temannya, ia kadang memilih teman yang kurang tepat akibat dari kurangnya pengalaman terlebih pengalaman dengan lawan jenis (Hurlock, 2004).

4. Perkembangan Emosi

(42)

tersebut. Namun seiring bertambahnya usia, emosi remaja yang seringkali terlalu kuat, tak terkendali, dan tampaknya tidak masuk akal ini mengalami perbaikan perilaku menjadi lebih stabil dan menunjukkan tanda-tanda kematangan (Hurlock, 2004).

Santrock (2003) membagi masa remaja menjadi 2 kategori, yaitu remaja awal dan remaja akhir. Masa remaja awal adalah masa di mana remaja biasanya mengalami pubertas yang ditandai dengan perubahan-perubahan, baik fisik maupun psikologis dalam dirinya (mereka yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama). Masa remaja akhir adalah mereka yang sedang memasuki masa akhir remaja. Masa remaja akhir ini terjadi kira-kira setelah usia 15 tahun; mereka sudah mulai berminat pada karir, eksplorasi identitas dan pacaran.

Mu’tadin (2002) mengatakan bahwa pergolakan remaja yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah, dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif.

(43)

menurut pandangan masyarakat. Pada masa remaja madya, seseorang sudah mampu mengembangkan kemampuan penalaran, penggunaan logika, dan berpikir secara abstrak. Hal ini berarti bahwa remaja dianggap dapat berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, dapat menentukan sebab akibat, dan menggunakan berbagai macam pandangan dalam mencapai cita-cita.

Remaja yang kurang pengetahuan dan pengalaman kadang mengakibatkan keraguan dan kebimbangan dalam bertindak. Mereka kadang-kadang menjadi bingung serta salah tentang dirinya. Keadaan seperti inilah yang dapat menjerat remaja ke dalam perilaku agresif. Dalam hubungannya dengan perkembangan emosi, beberapa ahli menyatakan bahwa perkembangan emosi remaja dalam kondisi yang labil. Terkait dengan perkembangan emosi ini, kiranya juga perlu diperhatikan bagaimana remaja menjalin suatu hubungan dengan orang-orang di sekitarnya. Berhubungan dengan orang di sekitarnya berarti bagaimana remaja mengelola emosinya untuk dapat menunjukan perasaannya terhadap orang lain dalam menjalin suatu hubungan, di mana dalam menjalin suatu hubungan harus didasari oleh rasa cinta agar hubungan yang terjalin dapat berjalan dengan baik (Rahmawati, 2008).

(44)

pada masa anak-anak akan tetapi belum bisa dikatakan sudah mencapai masa dewasa. Seorang individu yang mencapai masa remaja akan mengalami perkembangan fisik, psikologis, dan sosial. Pada masa ini, seorang remaja juga diharapakan mampu mengembangkan kemampuan penalaran, penggunaan logika, dan berpikir secara abstrak. Ini berarti bahwa seorang remaja sudah dianggap mampu untuk berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, dapat menentukan sebab akibat, dan menggunakan berbagai macam pandangan dalam mencapai cita-citanya.

C. Kematangan Emosi Pada Remaja

Hall (Santrock, 2003) menyebutkan adanya empat tahap perkembangan, yaitu : masa balita (infancy), masa anak (childhood), masa pemuda (youth), dan remaja (adolescence). Masa remaja adalah masa yang ditandai konflik dan perubahan suasana hati. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masa remaja adalah sebagai masa peralihan yang merupakan titik tolak perkembangan yang ada pada diri remaja.

(45)

tentang situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional. Adapun caranya adalah dengan membicarakan pelbagai masalah pribadinya dengan orang lain. Keterbukaan, perasaan dan masalah pribadi dipengaruhi sebagian oleh rasa aman dalam hubungan sosial dan sebagian oleh tingkat kesukaannya pada “orang sasaran” (Hurlock, 2002).

D. Status Bekerja Ibu Dalam Rumah Tangga

1. Pengertian Status Bekerja Ibu

Pembangunan yang sedang berjalan sekarang ini menimbulkan berbagai perubahan, salah satunya adalah kesempatan bagi wanita untuk bekerja menjadi semakin terbuka, sehingga kegiatan wanita tidak hanya bertumpu pada keluarga saja (Daeng, Hartati, Widyastuti, 2008). Menurut Alwi (2000) bekerja adalah kegiatan melakukan sesuatu untuk mencari nafkah (mata pencaharian). Jadi bekerja pada dasarnya adalah suatu usaha/ aktivitas yang dilakukan seseorang pada suatu instansi/ perusahaan di mana atas aktivitasnya itu ia memperoleh balas jasa berupa uang/ gaji/ penghasilan. Menurut Kleinstteuber (1999), dalma bekerja terkandung sebuah prestasi yang dihasilkan sesuai dengan pendidikan, minat dan kemampuan sehingga hidup ini menjadi terasa menyenangkan.

(46)

terbatas untuk bertemu anak-anaknya. Lebih lanjut, ia mendefinisikan ibu bekerja sebagai ibu yang melakukan sesuatu pekerjaan tertentu secara teratur, di luar rumah dengan jadwal atau jangka waktu tertentu. Sebaliknya, ibu rumah tangga atau ibu yang tidak bekerja adalah wanita yang lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah, serta mempersembahkan waktunya untuk memelihara, melatih anak-anak, dan mengasuh menurut pola-pola yang diberikan masyarakat.

Menurut Bernadib (1982), wanita atau ibu-ibu yang bekerja adalah ibu-ibu rumah tangga di luar rumah yang meninggalkan kesibukan rumah tangganya minimal empat jam setiap hari. Mereka bekerja di luar rumah untuk mencari tambahan penghasilan atau untuk mengabdi pada masyarakat, negara, dan bangsa paling sedikit selama lima tahun berturut-turut secara terus menerus dan berkelanjutan. Sebaliknya, wanita atau ibu-ibu yang tidak bekerja adalah mereka yang selalu berada di rumah untuk mengurus segala urusan dan keperluan rumah tangga.

(47)

atau pekerjaan yang formal karena pekerjaan tersebut mempunyai jadwal dan jangka waktu tertentu. Sedangkan ibu rumah tangga cenderung tidak mempunyai pekerjaan yang formal, mereka hanya melakukan kegiatannya di sekitar rumah dan tidak memiliki jadwal yang pasti.

Dari beberapa batasan ini, kiranya dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri ibu bekerja adalah seorang ibu yang mempunyai pekerjaan formal di luar kegiatan rumah tangganya dengan jadwal tertentu, mereka cenderung menghabiskan waktunya di luar rumah minimal empat jam setiap hari untuk bekerja, dan mempunyai penghasilan. Sedangkan ciri-ciri ibu rumah tangga atau ibu yang tidak bekerja adalah mereka yang tidak mempunyai pekerjaan formal, di mana mereka melakukan pekerjaan rumah tangga tanpa jadwal waktu yang pasti. Walaupun berwiraswasta, mereka tetap dianggap ibu rumah tangga karena pekerjaan tersebut tidak terikat waktu melainkan disesuaikan dengan rutinitas sehari-hari di dalam rumah tangganya. Oleh karena itu, yang membedakan antara ibu bekerja dan ibu rumah tangga adalah bahwa ibu bekerja mempunyai pekerjaan yang formal seperti di kantor-kantor sedangkan ibu rumah tangga tidak mempunyai pekerjaan formal, melainkan pekerjaannya lebih berkisar pada kegiatan rumah tangga. 2. Peran Ibu dalam Rumah Tangga

(48)

sebagai ibu. Menurut Suwondo (1981), peran ibu dalam rumah tangga yaitu :

a. sebagai isteri, supaya dapat mendampingi suami sebagai kekasih dan sahabat untuk bersama membina keluarga yang bahagia b. sebagai pendidik dan pembina generasi muda supaya anak-anak

dibekali kekuatan rohani maupun jasmani dalam menghadapi segala tantangan jaman, dan menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa

c. sebagai ibu pengatur rumah tangga, supaya mempunyai tempat yang aman dan teratur bagi seluruh anggota keluarga

(49)

itu memberikan andil yang besar dalam pembentukan suasana dan keluarga.

Hofman dan Hoffman (Sukadji, 1988) mengemukakan dampak positif dari ibu bekerja, yaitu:

a. ibu yang bekerja dapat meningkatkan standar kehidupan keluarga dan menambah penghasilan suami

b. cara berpikirnya tidak sempit dan karena selalu mengadakan hubungan sosial dengan orang lain

c. lebih mantap dalam membuat keputusan dan bertindak dengan tidak ragu

d. menunjukkan toleransi dan lebih mudah berkomunikasi dengan orang lain.

(50)

Menurut Setyowati (1992) tidak ditemukan adanya dampak yang merugikan sehubungan dengan bekerjanya ibu di luar rumah, dalam hal ini yang lebih penting secara psikologis adalah kualitas (seberapa artinya pertemuan) dan bukannya kuantitas dari interaksi (sering atau lamanya pertemuan) antara ibu dan anak. Setiawan (2004) mengungkapkan bahwa salah satu hal yang mendukung anak yang memiliki prestasi tinggi adalah orang tua yang berpendidikan. Hal ini dapat terjadi karena orang tua, dalam hal ini ibu yang berpendidikan, memiliki pengetahuan/ wawasan yang luas sehingga mereka bisa memberikan nasehat yang lebih bijaksana.

(51)

E. Perbedaan Kematangan Emosi Antara Remaja Yang Ibunya Bekerja

dan Tidak Bekerja

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat di mana bentuk dan corak keluarga ikut mewarnai masyarakat secara keseluruhan. Keluarga adalah faktor yang memegang peranan penting dalam pendidikan anak. Dalam keluarga dituntut adanya perencanaan, penataan dan peningkatan, termasuk dalam pengasuhan terhadap anak, karena secara naluriah seorang anak untuk yang pertama kalinya akan berhubungan dengan orang tuanya. Orang tua adalah orang yang pertama kali bertanggung jawab penuh atas peletakan dasar pembentukan sikap, tingkah laku, watak, kepribadian, moral, dan pendidikan pada anak-anaknya sehingga memungkinkan mereka tumbuh sebagai generasi yang cerdas, kreatif, dan mandiri (Setiawan, 2004).

(52)

jawab karena memperoleh suri teladan dari orang tua mereka yang berpendidikan. Ibu yang berpendidikan biasanya lebih tahu kebutuhan dasar dan kebutuhan lainnya dan akan mempersiapkan semaksimal mungkin. Sudjadi dan Iryani (2004) menyatakan bahwa ibu yang tidak bekerja memiliki pola asuh yang lebih otoriter dan permisif, dikarenakan sebagian besar ibu yang tidak bekerja mempunyai tingkat pendidikan rendah. Hal ini mengakibatkan anak menjadi kurang matang jiwanya, sering kesulitan membedakan perilaku baik buruk, suka menyendiri, kurang bisa bergaul, emosi kurang stabil, kurang bertanggung jawab, dan sulit diajak bekerjasama (Budiningsih, 2007). Setiawan (2004) mengungkapkan pula bahwa orang tua yang kurang memiliki wawasan yang luas dan kurang memiliki pemahaman tentang pola pengasuhan anak akan membuat anak menjadi kurang mandiri.

(53)

pekerjaan harian mereka, juga cenderung gelisah dan agresif; hal ini dapat diakibatkan oleh selalu tersedianya bantuan dari ibu mereka.

Dari uraian ini, kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa ibu yang bekerja yang umumnya berpendidikan tinggi akan lebih concern dan sungguh-sungguh dalam mendampingi dan memantau perkembangan anak-anaknya. Waktu pertemuan dengan anak yang singkat dimanfaatkan sungguh-sungguh oleh ibu untuk mendidik dan mengasuh anak-anak menjadi lebih dewasa dan mandiri. Ibu menjadi ”model” bagi anak-anak di mana kesibukan dan kerja keras ibu akan memotivasi anak untuk memiliki daya juang dan mandiri dalam menghadapi persoalan-persoalan hidupnya. Anak-anak akan berkembang lebih dewasa dan mandiri karena tidak tergantung pada ibu akan berbagai hal. Sebaliknya, ibu yang tidak bekerja yang umumnya berpendidikan rendah, akan memiliki pola asuh yang lebih otoriter dan permisif yang akan berdampak pada kematangan emosi anak. Selain itu, waktu dan bantuan ibu selalu tersedia bagi anak sehingga anak kurang memiliki kesempatan untuk mengatasi masalahnya sendiri dan mengakibatkan anak menjadi kurang dapat mandiri.

(54)

Skema Kematangan Emosi Ditinjau Dari Status Bekerja Ibu Karakteristik Remaja

• Mengalami pubertas ditandai dengan kematangan fisik

• Terjadi perubahan-perubahan dalam diri remaja, yaitu biologis kognitif, dan sosial emosional • Mulai mengeksplorasi identitas dan mulai berpacaran.

Situasi Ibu bekerja Situasi Ibu tidak bekerja

• Membagi waktu untuk keluarga dan pekerjaan • Sebagian besar waktu untuk keluarga di rumah • Mandiri secara finansial sehingga dapat membantu

keuangan keluarga

• Tidak memiliki kemandirian secara finansial • Relasi- pergaulan dan wawasan semakin

bertambah karena pekerjaan

Lingkup pergaulan relatif terbatas pada keluarga sehingga kurang berkembang

• Memiliki kesempatan lebih besar untuk mengaktualisasikan kemampuan

Kurang memiliki banyak kesempatan untuk mengaktualisasikan kemampuan selain melalui pekerjaan rumah tangga.

• Tingkat pendidikan relatif tinggi Tingkat pendidikan relatif rendah

Dampak ibu bekerja dalam rumah tangga Dampak ibu tidak bekerja dalam rumah tangga Ibu lebih memberi kesempatan kepada anak untuk

menghadapi persoalan sendiri-sendiri

Ibu mempunyai banyak waktu untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dan mengatur anak-anak di rumah

• Ibu membagi waktu seefektif mungkin untuk memperhatikan keluarga di rumah dan pekerjaan

Sebagian besar pekerjaan rumah tangga keluarga dikerjakan oleh ibu karena sebagian besar waktu ibu ada di rumah

Penghasilan ibu menambah pendapatan yang mampu menopang kebutuhan keluarga menjadi lebih baik

Ibu tidak mempunyai penghasilan sendiri sehingga sering merasa kurang memiliki otoritas dalam keluarga • Berinteraksi dengan banyak orang dapat membuat

variasi hidup yang menyenangkan

• Rutinitas yang monoton di rumah dapat memunculkan kebosanan

• Ibu dapat menjadi model dalam mensosialisasikan anak pada perkembangan kematangan emosi mereka

• Ibu kurang dapat menjadi model yang tepat terkait dengan kematangan emosi remaja

Dampak pada remaja Dampak pada remaja

Remaja mampu mengungkapkan emosinya secara lebih positif

Remaja kurang mampu mengungkapkan emosinya secara lebih positif

• Remaja lebih mampu berkembang secara dewasa dan mandiri karena tidak terlalu menggantungkan diri pada bantuan ibu

Remaja kurang memiliki kemampuan untuk mandiri karena selalu mengandalkan ibunya dalam setiap permasalahan

Kematangan emosi Kematangan emosi

 Mampu untuk memberi dan menerima cinta (afeksional)

 Kurang mampu mengekspresikan dan menerima cinta  Mampu dalam menghadapi kenyataan dan

menerimanya

 Menghindari masalah karena tidak terbiasa menghadapi kesulitan sendiri

 Mampu dalam memberi dan menerima (instrumental)

 Tergantung dan mengandalkan bantuan orang lain – lebih suka menerima daripada memberi

 Mampu memandang pengalaman hidup sebagai hal yang positif

 Kurang dapat mengambil hikmah dari suatu kejadian  Mampu belajar dari pengalaman  Kurang dapat bertindak berdasar pengalaman yang pernah

ditemui  Mampu untuk menghadapi rasa putus asa

(kegagalan)

 Mudah putus asa  Mampu untuk mengendalikan rasa marah secara

konstrukstif

 Insting-insting negatif tidak terkelola dengan baik karena kurang terbiasa dalam menghadapi persoalan secara mandiri

(55)

F. Hipotesis

(56)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian komparatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk melihat perbedaan dengan cara membandingkan kematangan emosi remaja akhir ditinjau dari status ibu (Hadi, 1997).

B. Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas

Variabel bebas adalah variabel yang variasinya mempengaruhi variabel lain, atau dapat juga disebut sebagai variabel penyebab yang ingin diketahui pengaruhnya terhadap variabel lain (Kerlinger, 2002). Variabel bebas dalam penelitian ini adalah ibu bekerja dan tidak bekerja.

2. Variabel tergantung

Variabel tergantung adalah variabel pada penelitian yang diukur agar dapat mengetahui besarnya efek atau pengaruh variabel lain (Kerlinger, 2002). Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kematangan emosi remaja akhir.

C. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah batasan dari variabel-variabel penelitian yang secara nyata berhubungan dengan realitas yang akan diukur dan merupakan manifestasi dari hal-hal yang akan diamati (Kerlinger, 2002).

(57)

Berikut ini adalah definisi operasional masing-masing variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini :

1. Kematangan Emosi Remaja Akhir

Kematangan emosi remaja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan remaja dalam mengontrol dan mengendalikan emosinya (Young dalam Powell, 1963) sebagaimana diukur dengan skala Kematangan Emosi menurut Murray (1997).

2. Status Ibu

Status ibu yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keadaan ibu yang berhubungan dengan pekerjaan tetap. Status ibu dibagi menjadi dua, yaitu ibu bekerja dan ibu tidak bekerja. Ibu bekerja adalah ibu yang mempunyai kegiatan atau pekerjaan yang formal dengan jadwal dan jangka waktu tertentu (Haditono, 1989) serta memperoleh gaji, upah, atau balas jasa (Alwi, 2000). Ibu yang tidak bekerja adalah ibu yang tidak mempunyai pekerjaan formal; mereka hanya melakukan kegiatannya di sekitar rumah dan tidak memiliki jadwal yang pasti (Haditono, 1989). Status pekerjaan ibu dalam penelitian ini diketahui melalui pengisian data identitas yang dilakukan oleh subyek penelitian.

D. Subyek Penelitian

(58)

remaja akhir. Proses pengambilan sebagian subyek pada populasi disebut dengan sampel. Sampel adalah sebagian dari populasi dan memiliki ciri-ciri yang sama dengan populasinya (Azwar, 2005).

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti menggunakan teknikpurposive sampling untuk mengambil subyek.Purposive samplingadalah suatu teknik pemilihan sekelompok subyek berdasarkan ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 1991). Adapun, subyek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja akhir dengan kriteria sebagai berikut :

1. Berada pada rentang usia 15-18 tahun

Alasan dipilihnya subyek penelitian dengan kriteria tersebut karena tugas perkembangan remaja pada remaja yang berusia 15-18 tahun atau remaja akhir, sudah menunjukkan tanda-tanda kematangan emosi pada dirinya. 2. Remaja masih tinggal satu rumah dengan ibu.

(59)

3. Remaja mempunyai ibu yang masih terikat dalam ikatan perkawinan dengan suami yang masih hidup dan tinggal bersama.

Pada ibu yang tidak memiliki suami dapat mempengaruhi kedekatan ibu dengan anak dengan mengganggu sensitivitas dari pengasuhan ibu kepada anak. Ketidakberadaan suami dapat mempengaruhi dalam pemberian semangat dan motivasi kepada ibu pada saat mengasuh anaknya (Berk, 1994).

4. Ibu bekerja sudah bekerja minimal selama 5 tahun

Menurut Bernadib (1982), yang disebut ibu yang bekerja adalah ibu yang sudah bekerja lebih dari 5 tahun.

E. Perolehan Data

Perolehan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menyebarkan skala penelitian kepada remaja akhir yang sesuai dengan kriteria subyek penelitian. Subyek dalam penelitian ini seluruhnya berjumlah 315 orang. Subyek untuk uji coba berjumlah 50 orang.

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan Data Status Bekerja Ibu dan Skala Kematangan Emosi

1. Data Status Bekerja Ibu

(60)

2. Skala Kematangan Emosi a. Metode skala

Metode penskalaan pernyataan yang digunakan dalam penelitian ini dengan memakai metode Likert, yaitu metode penskalaan pernyataan di mana skor kelompok responden didasarkan pada nilai yang ditentukan dengan cara deviasi normal. Kategori yang digunakan untuk menyatakan pernyataan subyek terdiri dari empat respon yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju.

b Penyusunan item

Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian ini berupa skala. Item-item dari skala ini disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek yang merupakan indikator kematangan emosi dari Murray (1997) yang merupakan metode untuk mengukur kematangan emosi remaja akhir.

Skala kematangan emosi terdiri dari pernyataan favorable

(pernyataan yang mendukung teori yang akan diungkap) dan

(61)

c. Penentuan Skor

Indikator-indikator di atas kemudian dikembangkan menjadi 80 item yang terdiri dari 40 pernyataan favorable (pernyataan yang mendukung teori yang akan diungkap) dan 40 pernyataan unfavorable (pernyataan yang tidak mendukung teori yang akan diungkap). Penilaian pernyataan dari skala untuk pernyataan favorable (positif) bergerak dari angka 3-0 yaitu nilai 3 (SS=Sangat Setuju), nilai 2 (S=Setuju), nilai 1(TS=Tidak Setuju), dan nilai 0 (STS=Sangat Tidak Setuju). Penilaian pernyataan untuk pernyataan unfavorable (negatif) bergerak dari nilai 0-3 yaitu 3 (STS=Sangat Tidak Setuju), 2 (TS=Tidak Setuju), 1 (S=Setuju), dan 0 (SS-Sangat Setuju).

(62)

Tabel I

BlueprintSkala Kematangan Emosi (Sebelum Uji Coba)

G. Pertanggung jawaban Mutu Skala

1. Uji Validitas

Validitas digunakan untuk mengetahui valid tidaknya suatu alat ukur, di mana validitas merupakan ukuran untuk mengukur apa yang hendak diukur (Kerlinger, 2002). Semakin tinggi validitas, maka semakin tinggi tingkat keterpercayaan alat ukur tersebut dan semakin mewakili apa yang seharusnya diukur.

Jenis validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi. Validitas isi yaitu teknik menganalisis alat ukur tanpa analisis

Aspek Kematangan Emosi Item Nomor Total

Favorabel Unfavorabel 1. Kemampuan untuk

memberi dan menerima cinta

1, 9, 33, 41, 65 17, 25, 49, 57, 73 10

2. Kemampuan dalam

menghadapi kenyataan dan menerimanya

2, 10, 34, 42, 66 18, 26, 50, 58, 74 10

3. Ketertarikan dalam memberi dan menerima

3, 11, 35, 43, 67 19, 27, 51, 59, 75 10

4. Kemampuan memandang pengalaman hidup sebagai hal yang positif

4, 12, 36, 44, 68 20, 28, 52, 60, 76 10

5. Kemampuan belajar dari pengalaman

5, 13, 37, 45, 69 21, 29, 53, 61, 77 10

6. Kemampuan untuk menghadapi rasa putus asa (kegagalan)

6, 14, 38, 46, 70 22, 30, 54, 62,78 10

7. Kemampuan untuk

mengendalikan rasa marah secara konstrukstif

7, 15, 39, 47, 71 23, 31, 55, 63, 79 10

8. Kemampuan menetralisir keadaan

8, 16, 40, 48, 72 24, 32, 56, 64, 80 10

(63)

statistik, namun diselidiki lewat analisis rasional terhadap isi. Item yang akan diuji cobakan diperoleh dengan mengkonsultasikan item yang telah disusun kepada ahli (professional judgement) dengan tujuan supaya itemitem yang disusun telah mencakup seluruh isi objek yang akan diukur (Azwar, 2005). Hal ini memiliki tujuan agar tes tersebut isinya komprehensif dan hanya memuat isi yang relevan dan tidak keluar dari batasan tujuan ukur. Validitas isi didapat melalui analisis rasional dan pertimbangan rasional yang dilakukan oleh peneliti dan dikoreksi oleh para ahli, dalam hal penelitian ini adalah dosen pembimbing skripsi untuk melihat sejauh mana kecocokan isi item sesuai dengan indikator-indikator variabel skala pengukuran yang telah dibuat dalam definisi operasional sebelumnya dan dituang dalamblue printskala penelitian. 2. Seleksi Item

(64)

tersebut tidak cocok dengan fungsi alat ukur. Tetapi jika koefisien korelasi bernilai negative (-), berarti item tersebut benar-benar buruk dan sangat tidak cocok dengan fungsi alat ukurnya sehingga harus dibuang (Azwar, 1999). Penentuan koefisien daya beda item pada penelitian ini memakai koefisien korelasiPearson Product Moment.

Pengujian kesahihan item-item yang dinyatakan lolos uji atau sahih (rxy) adalah item yang koefisien korelasi item totalnya >0.30. Jadi, jika

ada item yang memiliki koefisien korelasi item total <0.30 maka item tersebut dinyatakan tidak sahih dan harus dibuang (Azwar, 1999).

3. Reliabilitas

Reliabilitas mempunyai arti sejauhmana suatu pengukuran dapat memberikan hasil yang relatif tetap bila dilakukan pengukuran kembali terhadap subyek yang sama (Azwar, 2005). Suatu hasil pengukuran dapat dikatakan reliabel jika dalam beberapa kali melakukan pengukuran terhadap subyek penelitian yang sama, hasil angka yang didapat relatif sama, di mana hasil dalam pengukuran tersebut dapat dipercaya (Azwar, 1999).

(65)

konsistensi antar item atau antar bagian saat satu kali penyajian dalam sekelompok individu (Azwar, 2005). Dalam uji reliabilitas ini, skala yang diestimasi reliabilitasnya dibelah menjadi dua bagian dan setiap belahan berisi item yang sama. Pada penelitian ini uji reliabilitasnya dilakukan sekali saja.

H. Persiapan Penelitian

1. Pelaksanaan Uji Coba

Persiapan dalam penelitian ini meliputi uji coba alat ukur. Uji coba alat ukur dilakukan untuk melihat kualitas item-item dalam skala yang akan digunakan dalam penelitian. Skala tingkat kematangan emosi ini diujicobakan kepada 60 subyek yang terdiri dari 28 remaja akhir yang ibunya bekerja dan 32 remaja akhir yang ibunya tidak bekerja di mana keseluruhan subyek ini berada di daerah Yogyakarta dan Klaten.

(66)

2. Hasil Uji Coba Alat Ukur

a. Uji Kesahihan Butir

Uji kesahihan butir ini diukur dengan teknik korelasi Product Moment Pearson. Item yang diujicobakan dapat dilihat pada tabel I. Berdasarkan uji kesahihan butir tersebut, maka ada sebanyak 16 item yang gugur dari 80 item yang telah diujicobakan. Item-item yang gugur tersebut memiliki nilai rix dibawah 0,293. Untuk

mengetahui item-item yang gugur dapat dilihat pada tabel II.

Tabel II

Distribusi Item Skala Kematangan Emosi (Setelah Uji Coba)

Aspek Kematangan Emosi Item Nomor Total

Favorabel Unfavorabel

1. Kemampuan untuk memberi dan menerima cinta

9, 41, 65 25, 49, 57, 73 7

2. Kemampuan dalam menghadapi kenyataan dan menerimanya

2, 10, 34, 42, 66

18, 26, 50, 58, 74

10

3. Ketertarikan dalam memberi dan menerima

3, 35, 67 51, 59, 75 6

4. Kemampuan memandang pengalaman hidup sebagai hal yang positif

4, 12, 36, 44, 68

20, 52, 60, 76 9

5. Kemampuan belajar dari pengalaman

13, 37, 45, 69 21, 29, 53, 61 8

6. Kemampuan untuk menghadapi rasa putus asa (kegagalan)

6, 38, 46, 70 22, 30, 54, 62, 78

9

7. Kemampuan untuk

mengendalikan rasa marah secara konstrukstif

7, 47, 71 23, 55, 63, 79 7

8. Kemampuan menetralisir keadaan

8, 16, 40, 48, 72

24, 32, 80 8

(67)

Data mengenai hasil analisa item secara lengkap dapat dilihat pada lampiran. Gugurnya item-item pada skala tersebut mungkin disebabkan karena item kurang mampu menggambarkan situasi kehidupan subyek secara relevan sehingga jawaban subyek cenderung mengumpul pada salah satu alternatif jawaban. Tabel dibawah ini adalah distribusi item skala kematangan emosi untuk penelitian yang telah dihilangkan 8 item. Penghilangan 8 item tersebut untuk menyamakan komposisi per komponen. Item yang dihilangkan adalah item yang memiliki nilai rixrendah.

Tabel III

Distribusi Item Skala Kematangan Emosi (Penelitian)

Aspek Kematangan Emosi Item Nomor Total

Favorabel Unfavorabel 1. Kemampuan untuk memberi

dan menerima cinta

5, 27, 43 16, 32, 51 6

2. Kemampuan dalam menghadapi kenyataan dan menerimanya

1, 6, 21, 44 10, 17, 33, 38 8

3. Ketertarikan dalam memberi dan menerima

2, 22, 45 34, 39, 52 6

4. Kemampuan memandang

pengalaman hidup sebagai hal yang positif

7, 23, 28, 46 11, 35, 40, 53 8

5. Kemampuan belajar dari pengalaman

8, 24, 29, 47 12, 18, 36, 41 8

6. Kemampuan untuk menghadapi rasa putus asa (kegagalan)

3, 25, 30, 48 13, 19, 37, 54 8

7. Kemampuan untuk

mengendalikan rasa marah secara konstrukstif

4, 31, 49 14, 42, 55 6

8. Kemampuan menetralisir keadaan

9, 26, 50 15, 20, 56 6

(68)

b. Uji Reliabilitas

Hasil koefisien reliabilitas alpha (α) tersebut adalah 0,937 yang dapat menunjukan bahwa skala kematangan emosi memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi.

Setelah dilaksanakan penelitian, peneliti melakukan lagi uji reliabilitas. Hasil koefisien reliabilitas alpha (α) setelah penelitian adalah 0,937 yang dapat menunjukan bahwa skala kematangan emosi memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi.

Tabel IV Uji Reliabilitas Reliability Statistics

I. Prosedur Penelitian

Prosedur dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Melakukan uji kesahihan butir dan reliabilitas skala untuk mendapatkan butir yang sahih dan skala yang reliabel.

2. Mendapatkan subyek penelitian sesuai kriteria, kemudian melakukan pengambilan data dengan skala penelitian secara purposive sampling

dengan menyebarkan skala kepada subyek penelitian satu per satu. 3. Peneliti meminta kesediaan subyek untuk mengisi skala dengan bertanya

secara lisan

Cronbach's Alpha

N of Items

(69)

4. Subyek yang bersedia mengisi skala, tinggal di kelas

5. Penyajian skala kematangan emosi kepada subyek penelitian.

6. Setiap subyek penelitian diminta untuk mengisi identitas diri dan menjawab skala ini.

7. Setelah mengisi skala, subyek mengumpulkan skala kepada peneliti. Peneliti memberikan reward berupa makanan kecil dan mengucapkan terima kasih.

8. Skala yang sudah terisi, terlebih dahulu digolongkan ke dalam dua kelompok subyek yaitu remaja yang ibunya bekerja dan remaja yang ibunya tidak bekerja

9. Menganalisis data yang masuk dengan uji-t (T-test) untuk melihat ada tidaknya perbedaan antara kematangan emosi remaja akhir ditinjau dari status ibu

10. Berdasarkan uji statistik tersebut dapat dilihat dan ditentukan apakah hasil penelitian memenuhi hipotesis dari penelitian ini.

11. Membuat kesimpulan berdasarkan hasil tersebut

J. Analisis Data

(70)

membandingkan dua kelompok subyek dengan mencari perbedaan mean

(71)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 9 Yogyakarta dan SMA Negeri 3 Semarang. Pengambilan data penelitian berlangsung dari tanggal 10 Mei 2009 sampai dengan tanggal 20 Mei 2009. Seperti halnya dengan uji coba alat penelitian sebelumnya, teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik sampel purposif yaitu suatu teknik pemilihan sekelompok subyek berdasarkan ciri atau sifat-sifat tertentu yang mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 1991).

Jumlah subyek dalam penelitian ini sebanyak 315 orang terdiri dari kelas 10, 11, 12 yang berusia 16-18 tahun, para subyek masih tinggal satu rumah dengan ibu, di mana ibu masih terikat dalam ikatan perkawinan dengan suami atau suami masih hidup.

Berikut ini, peneliti menjelaskan terlebih dahulu cara pengisian data identitas, dan cara pengisian skala. Dari 561 skala yang disebar oleh peneliti, terdapat 246 buah skala yang tidak memenuhi syarat dan 315 yang akan dianalisis. Maka dari itu, rincian jumlah subyek yaitu 133 orang remaja akhir yang ibunya bekerja dan 182 orang remaja akhir yang ibunya tidak bekerja.

(72)

B. Deskripsi Subyek Penelitian

1. Data Subyek Penelitian

Di bawah ini adalah data-data subyek penelitian yang ditemukan oleh peneliti :

a) Status Pekerjaan Ibu

Tabel V Status Pekerjaan Ibu

Status Pekerjaan Ibu Pekerjaan Jumlah %

Ibu bekerja

Pegawai Negeri Sipil 44 orang 33,1 %

Guru 34 orang 25,6 %

Karyawan swasta 24 orang 18, %

Dosen 12 orang 9, %

Apoteker 5 orang 3,8 %

Dokter 4 orang 3 %

Perawat 4 orang 3 %

Kepolisian 2 orang 1,5 %

Karyawan Bank 2 orang 1,5 %

Notaris 2 orang 1,5 %

Total 133 orang 100 %

Ibu tidak bekerja 182 orang 100 %

b) Pendidikan Terakhir Ibu

(73)

Tabel VI

Pendidikan Terakhir Ibu

Pendidikan Terakhir

Ibu Bekerja Ibu Tidak Bekerja

Jumlah % Jumlah %

SD 1 0,8 % 7 3,8 %

c) Waktu Bertemu Dengan Ibu Per Hari

Dalam menentukan status pekerjaan ibu, peneliti melihatnya dari data identitas ibu yang diisi oleh subyek di mana data ini disertakan pada skala.

Tabel VII

Waktu Bertemu Dengan Ibu Per Hari Status Pekerjaan

Ibu

Waktu Bertemu Ibu dengan Subyek

Jumlah

6 Jam 7 Jam 8 Jam

Ibu Bekerja 43 84 6 133

% 32,4 % 63 % 4,6 % 100 %

Ibu Tidak Bekerja 10 125 47 182

(74)

C. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Data Kematangan Emosi

Untuk melihat data yang diperoleh dalam penelitian ini secara menyeluruh, dilakukan kategorisasi terhadap skor kematangan emosi.

a. Tingkat Kematangan Emosi Secara Keseluruhan

Skala kematangan emosi memiliki jumlah item sebanyak 56 buah, dengan skor 0, 1, 2, dan 3. Skor terendahnya (X min) adalah 0 dan skor tertingginya (X max) adalah 168. Range untuk skala ini adalah 168 - 0 = 168. Nilai standar deviasinya (σ) adalah 168 : 6 = 28, sedangkan rata-rata teoritisnya (µ) adalah (0 + 168) : 2 = 84.

Tabel VIII

Tingkat Kematangan Emosi Secara Keseluruhan

N Rata-rata

Teoritik

Min. Max.

Remaja akhir yang Ibunya bekerja

133 84 83 165

Remaja akhir yang ibunya tidak bekerja

182 84 85 168

Total 315

(75)

rata-rata ini secara keseluruhan berada pada taraf sedang dengan skor minimal kematangan emosi sebesar 83, dan skor maksimal tingkat kematangan emosi sebesar 168.

b. Kategorisasi

Berikut adalah perhitungan berdasar norma kategorisasi skor berdasarkan rata-rata teoritik (Azwar, 1999) :

TABEL IX

Kategorisasi Subyek Berdasar Rata-rata Teoritik

Kategori Rumus Rentang

Sangat Tinggi (µ + 1,5σ) < X 126 < X Tinggi (µ + 0,5σ) < X≤(µ + 1,5σ) 98 < X≤126 Sedang (µ - 0,5σ) < X≤(µ + 1,5σ) 70 < X≤98 Rendah (µ - 1,5σ) < X≤(µ - 0,5σ) 42≤X≤70

Sangat Rendah X≤(µ - 1,5σ) X≤42

(76)

Tabel X

Rangkuman Data Kategori Subyek Berdasar Rata-rata Teoritik

Subyek yang

bekerja

ibunya Subyek

yang ibunya tidak bekerja

Kategori Skor Kematangan

Emosi

Jumlah % Kategori Skor

Kematangan Emosi

Jumlah %

Sedang 4 Orang 3 % Sedang 4 Orang 2,,2 %

Tinggi 99 Orang 74,4 % Tinggi 132 Orang 72,5 %

Sangat Tinggi 30 Orang 22,6% Sangat Tinggi 46 Orang 25,3%

Jumlah 133 Orang 100 % Jumlah 182 Orang 100 %

1) Tingkat kematangan emosi remaja akhir yang ibunya bekerja

Jumlah subyek dalam kelompok ini sebanyak 133 orang dengan kategorisasi skor rata-rata pada kelompok remaja akhir yang ibunya bekerja berada pada taraf tinggi dengan skor minimal tingkat kematangan emosi sebesar 83, dan skor maksimal tingkat kematangan emosi pada kelompok ini sebesar 165.

2) Tingkat kematangan emosi remaja akhir yang ibunya tidak

bekerja

(77)

2. Uji Asumsi Penelitian

Asumsi yang harus dipenuhi untuk mengerjakan T-Test adalah uji normalitas sebaran dan uji homogenitas varian.

a. Uji Normalitas Sebaran

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah sebaran skor pada kedua sampel mengikuti distribusi normal. Cara untuk mengetahuinya yaitu dengan melihat nilai probabilitasnya melalui

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test. Jika nilai probabilitas lebih besar dari 0,05 (p > 0,05), maka sebaran skor dinyatakan normal. Akan tetapi, jika nilai probabilitas kurang dari 0,05 (p < 0,05), maka sebaran skor dinyatakan tidak normal. Nilai probabilitas skor pada penelitian ini adalah 0,002 (p = 0,002) sehingga p < 0,05 atau 0,002 < 0,05. Dengan demikian, sebaran skor untuk skala tingkat kematangan emosi dapat dinyatakan tidak normal. Namun demikian, peneliti tetap menggunakan T-test karena melihat diagram pada histogram, yang menunjukan persebaran di daerah kurva normal. Menurut Minium dan Clarke (1982), semakin meningkat besarnya sampel maka sampling

(78)

menguji normalitas sebaran. Data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.

Tabel XI

Hasil PerhitunganOne-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

N Rata-rata Std. Deviasi Asymp. Sig. K-S Test

315 119,16 14,85 0,002 1,881

b. Uji Homogenitas Varian

Analisis ini bertujuan untuk menguji apakah kelompok sampel mempunyai varian yang homogen atau sama (Santoso, 2001). Cara untuk mengujinya adalah melalui Levene Test. Jika nilai probabilitasnya lebih besar dari 0,05 (p > 0,05), maka kedua kelompok sampel mempunyai varian yang sama dan jika nilai probabilitasnya kurang dari 0,05 (p < 0,05), maka kedua kelompok sampel mempunyai varian yang tidak sama.

(79)

3. Uji Hipotesis

a. Pengujian Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini berbunyi: ada perbedaan kematangan emosi yang signifikan antara remaja akhir yang ibunya bekerja dan tidak bekerja. Berdasarkan hasil dari T-Test, dapat diketahui bahwa t = 0,392, lebih rendah daripada nilai signifikansi sebesar 0,695 (p < 0,05). Hal ini menunjukan bahwa hipotesis ditolak. Jadi, tidak terdapat perbedaan kematangan emosi yang signifikan antara remaja akhir yang ibunya bekerja dan tidak bekerja.

Dibawah ini disertakan tabel ringkasan perhitungan analisis T-test. Selengkapnya dapat dilihat pada lembar lampiran.

Tabel XII

Hasil Perhitungan T-Test

Remaja Akhir yang Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja Levene's

Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. T Df Interval of the

Difference

3.724 .055 .392 313 .695 .665 1.697 -2.674 4.004

Equal variances not assumed

Gambar

BlueprintTabel I Skala Kematangan Emosi
Tabel II
Tabel IIIDistribusi Item Skala Kematangan Emosi
Tabel IVUji Reliabilitas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari analisa data yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa (r = 0,750 ; p = 0,000) maka dapat disimpulkan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kematangan

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi penting dilakukan oleh seseorang agar dapat mengendalikan emosi dengan baik sesuai dengan waktu,

Mahasiswa perantauan yang memiliki kematangan emosi yang baik atau tinggi menunjukkan bahwa mahasiswa tersebut dapat menyesuaikan diri dengan baik di lingkungan baru. Hal serupa

Individu pada usia dewasa awal dengan kematangan emosi yang baik akan lebih menggunakan akal sehat dan tidak cepat termakan rayuan dari lingkungan sekitar maupun diri sendiri..

Dinamika Pengaruh Kematangan Emosi dengan Penyesuaian Diri Remaja Putri Yang Menikah Muda. Masa remaja ditandai oleh perubahan fisik dan psikologis,

Selain itu seseorang yang memiliki kematangan emosi yang sesuai dengan tahap perkembangannya pasti akan mampu untuk bisa mengendalikan emosi yang dimiliki dan tidak mudah

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kematangan sosial emosional adalah kemampuan individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan mampu mengelola emosinya

A. Peserta dapat menjabarkan manfaat kematangan emosi. Peserta dapat menyimpulkan kegiatan yang telah dilakukan. Peserta dapat meningkatkan kematangan emosinya dalam