• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indonesian Center for Environmental Law Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Indonesian Center for Environmental Law Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

JURNAL HUKUM

LINGKUNGAN INDONESIA

Volume 1 Issue 2, Desember 2014

Indonesian Center for Environmental Law

(3)

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA

Vol. 1 Issue 02 / Desember / 2014

Website: www.icel.or.id/jurnal E-mail: jurnal@icel.or.id

Diterbitkan oleh:

INDONESIAN CENTER FOR ENVIRONMENTAL LAW (ICEL)

Jl. Dempo II no. 21, Kebayoran Baru

Jakarta Selatan 12120

Telp. (62-21) 7262740, 7233390 Fax. (62-21) 7269331

Tata Letak dan Desain Sampul: Matacakra Design

Redaksi mengundang para akademisi, pengamat, praktisi, mahasiswa dan mereka yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. Tulisan dapat dikirimkan melalui pos atau e-mail sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan.

DISCLAIMER

(4)

iii

Dewan Penasehat Mas Achmad Santosa, SH. LL.M. Prof. Dr. Muhammad Zaidun, SH. M.Si. Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH., M.H.

Indro Sugianto, SH. M.H. Sandra Moniaga, SH., LL.M.

Yuyun Ismawati Dadang Trisasongko, S.H.

Penanggung Jawab Henri Subagiyo, S.H., M.H.

Pemimpin Redaksi Yustisia Rahman, S.H.

Redaktur Pelaksana Rika Fajrini, S.H. Margaretha Quina, S.H.

Sidang Redaksi Laode M. Syarief, S.H., LL.M., Ph.D.

Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum. Sukma Violetta, S.H., LL.M. Josi Khatarina, S.H., LL.M. Rino Subagyo, S.H. Windu Kisworo, S.H., LL.M. Prayekti Murharjanti, SH., M.Si. Feby Ivalerina, SH., LL.M.

Dyah Paramita, S.H., LL.M. Haryani Turnip, S.H. Dessy Eko Prayitno, S.H. Citra Hartati, S.H., M.H. Raynaldo G. Sembiring, SH. Astrid Debora, S.H.

Ohiongyi Marino, S.H. Nisa Istiqomah, S.H.

Mitra Bebestari Ricardo Simarmata, Ph.D.

Redaksi dan segenap Penulis Artikel mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan saran yang diberikan

(5)

iv

Menggagas Arah Kebijakan Hukum

dalam Mewujudkan Demokrasi Lingkungan di Indonesia

ebagaimana telah ditekankan pada JHLI edisi lalu, demokrasi lingkungan merupakan wujud kedaulatan lingkungan yang berjalan seiring dengan kedaulatan rakyat. Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan tersebut didasarkan dan hanya dapat dijalankan berdasarkan hukum (Constitutional Democracy). Dalam kerangka ini hukum karenanya menjadi alat vital untuk memastikan demokrasi lingkungan diadopsi dan dijalankan dalam praktik pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Pendekatan politik hukum yang memandang hukum secara utuh, tidak sekedar teks dan norma ansich dapat digunakan untuk mengkaji, apakah demokrasi lingkungan telah menjadi praksis atau sekedar jargon populis yang ramai dibincangkan aktivis dan pemanis janji kampanye politisi.

Dalam konteks masyarakat modern, Hukum adalah sebuah instrumen. Hukum tidak hanya dipandang sebagai cara untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga digunakan untuk mengarahkan tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan lama yang sudah tidak sesuai, dan menciptakan pola-pola kebiasaan baru di masyarakat. Dalam konteks kehidupan bernegara, hal ini sejalan dengan gagasan tentang politik hukum sebagai kebijakan hukum (legal policy) atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.

Oleh karena lebih menekankan pada pencapaian tujuan yang diinginkan, pembentukan hukum dalam konteks masyarakat modern kerap dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luar pembentuk hukum itu sendiri. Pandangan ini bertolak belakang misalnya dengan mazhab sejarah (GermanHistoricalSchool), sebagaimana dikemukakan oleh tokohnya Freidrich Carl Von Savigny (1776-1861), yang menyatakan bahwa hukum adalah ekspresi dari kesadaran umum atau keinginan rakyat (Volkgeist).

Dalam pandangan modern, hukum tidak dianggap sebagai ekspresi keanginan rakyat yang abadi dan suci, melainkan sebagai sesuatu yang relatif, bisa dirubah dan bergantung pada keadaan. Bahkan secara tajam Sorokin menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, hukum buatan manusia sering kali merupakan instrumen untuk menundukan dan mengeksploitasi suatu golongan oleh golongan lainnya. Hal itu dilakukan untuk mencapai tujuan utilitarian yakni keselamatan, keamanan, dan kesejahteraan hidup masyarakat secara keseluruhan atau golongan masyarakat yang berkuasa. Mazhab Hukum Kritis (Critical Legal Studies) yang muncul pada pertengahan abad ke-20

(6)

v

tidaklah netral secara politis, bahkan pembentukan hukum tidak lain merupakan salah satu bentuk dari diskursus politik.

Hukum karenanya merupakan produk kesepakatan politik dan tarik menarik antar kepentingan. Hukum bukan produk yang lahir dari ruang yang hampa, oleh karena itu untuk memaknai dan mengimplementasikan hukum perlu juga memperhatikan situasi sosial, ekonomi, dan politik ketika hukum dibentuk. Hal yang sama juga harus diperhatikan dalam memahami berbagai produk hukum dan kebijakan pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam.

Berbicara mengenai politik hukum lingkungan di Indonesia, kita tidak dapat hanya melihat pada kegiatan legislasi saja. Politik hukum lingkungan ini bersifat konvergen, dibentuk oleh kebijakan-kebijakan hukum yang didorong oleh berbagai pihak. Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, Organisasi Lingkungan Masyarakat serta Dunia Internasional (organisasi internasional) merupakan para pihak yang dapat mempengaruhi politik hukum lingkungan, akumulasi kebijakan hukum seperti apa yang mereka dorong membentuk politik hukum lingkungan itu sendiri.

Meningkatnya perhatian dunia internasional terhadap dampak lingkungan yang muncul akibat politik pembangunan yang berkembang pada pertengahan abad ke-20 berperan besar terhadap berkembangnya hukum lingkungan di Indonesia. Konferensi PBB tentang Manusia dan Lingkungan pada tahun 1972 di Stockholm yang menghasilkan Stockholm Declaration on Human Environment sebagai kesepakatan global pertama tentang lingkungan hidup mengakselerasi berkembangnya hukum lingkungan di Indonesia. Pertama-tama hal tersebut dapat dilihat dari diakomodirnya pertimbangan lingkungan hidup dalam pembangunan di GBHN 1973-1978. Selanjutnya seiring dengan meningkatknya kesadaran di tingkat nasional, hukum lingkungan terus berkembang melalui institusionalisasi pengelolaan lingkungan hidup yang ditandai dengan pembentukan Kementerian Negara Lingkungan Hidup serta pengesahan perundang-undangan lingkungan. Tak dapat dipungkiri berbagai perubahan dan lahirnya perjanjian-perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup turut mempengaruhi perkembangan hukum lingkungan di Indonesia. Hal ini merupakan wujud konstitusionalisme baru, yakni bentuk inkorporasi norma atau produk hukum di tataran global ke dalam produk hukum di tingkat nasional melalui pembentukan hukum yang sejalan dengan nilai-nilai global tersebut.

(7)

vi

mengikat umum. Sementara itu penetapan merupakan tindakan yang menghasilkan ketetapan atau keputusan (beschikkings) yang bersifat individual dan konkret. Semenetara itu keputusan judisial yang dihasilkan dari proses penghakiman atau pengadilan menghasilkan vonis (putusan) yang berlaku bagi mereka yang terkait dengan peristiwa tertentu. Perkembangan hukum lingkungan di Indonesia tidak hanya ditandai dengan lahirnya undang-undang yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup saja, melainkan turut pula dipengaruhi oleh lahirnya keputusan eksekutif serta putusan pengadilan berkaitan dengan persoalan lingkungan hidup yang memberikan warna terhadap hukum lingkungan Indonesia saat ini. Tidak hanya itu, Masyarakat melalui organisasi lingkungan juga turut serta menentukan arah kebijakan hukum lingkungan. Dari pengalaman yang ada, advokasi-advokasi yang yang dilakukan organisasi lingkungan dapat diadopsi dalam kebijakan hukum eksekutif, legislatif maupun yudikatif, contohnya permasalahan keterbukaan informasi publik dan hak gugat organisasi lingkungan yang saat ini sudah diterima dalam hukum lingkungan Indonesia.

Pada jurnal edisi kali ini, Redaksi mengundang akademisi, praktisi, aktivis serta pegiat lingkungan untuk memberikan pandangannya mengenai Politik Hukum Lingkungan Indonesia yang kami maknai sebagai salah satu wujud atas praksis demokrasi lingkungan tersebut. Jika di edisi pertama JHLI mengulas “Demokrasi Lingkungan” sebagai konsep filosofis, maka di edisi ini JHLI bermaksud mengkaji kekuatan, peluang, serta tantangan realisasi konsep demokrasi lingkungan tersebut dalam dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih konkret. Politik hukum karenanya menjadi titik acuan utama untuk menimbang sejauhmana kita bisa bergerak mewujudkan demokrasi lingkungan, dari konsep menuju praksis.

(8)

vii

Redaksi & Mitra Bebestari ... iii

Pengantar Redaksi ... iv

Daftar Isi ... vii

Artikel Ilmiah 1. Hak Menguasai Negara di Kawasan Hutan: Beberapa Indikator Menilai Pelaksanaannya Myrna A. Safitri ... 1

2. Konsistensi Negara atas Doktrin Welfare State dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan oleh Masyarakat Adat Wahyu Nugroho ... 22

3. Peluang Penerapan FPIC Sebagai Instrumen Hukum Progresif untuk Melindungi Hak Masyarakat Adat dalam Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi Nisa Istiqomah Nidasari ... 50

4. Penerapan Transhipment: Kaitannya dengan Hak Bangsa Indonesia atas Komoditas Perikanan dan Pembangunan Berkelanjutan Savitri Nur Setyorini... 86

5. Gugatan Warga Negara (Studi Kasus: Gerakan Samarinda Menggugat) Rizkita Alamanda ... 101

Catatan Akhir Tahun Hukum Lingkungan 2014 “Menyongsong Perlindungan Lingkungan Hidup Lebih Baik: 17 Pekerjaan Rumah Pemerintahan Jokowi-JK Tim Penyusun ICEL ... 111

Penutup Redaksi ... viii

Pedoman Penulisan Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia ... xii

(9)

HAK MENGUASAI NEGARA DI KAWASAN HUTAN: BEBERAPA INDIKATOR MENILAI PELAKSANAANNYA

Myrna A. Safitri1

Abstrak

Kementerian Kehutanan (sekarang berganti menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sedang menjalankan program percepatan pengukuhan kawasan hutan. Tujuannya antara lain menciptakan kawasan hutan yang berkepastian hukum dan berkeadilan. Meskipun demikian, persoalan lebih mendasar dari percepatan pengukuhan kawasan itu adalah memperjelas alas hak penguasaan pemerintah dan masyarakat pada tanah-tanah yang termasuk ke dalam kawasan hutan.Tulisan ini bertujuan menjelaskan konsep-konsep hukum terkait dengan penguasaan tanah di dalam kawasan hutan.Bagaimana penguasaan dimaksud dapat memberikan kepastian hukum sekaligus keadilan bagi masyarakat dan pemerintah.Sebagai basis dalam membangun konstruksi ini adalah elaborasi konsep penguasaan negara atas kawasan hutan atau dikenal dengan hak menguasai negara.Bagaimana indikator menilai pelaksanaan hak menguasai negara itu dan bagaimana indikator tersebut digunakan untuk menilai regulasi dan praktik pengukuhan kawasan hutan adalah inti dari tulisan ini.

Kata kunci: kawasan, hutan, hak menguasai negara

Abstract

The Ministry of Forestry (now merged as Ministry of Environment and Forestry) is currently conducting acceleration of forest area gazettement program. The goal, among others, is to create forest area with legal certainty and justice. Nevertheless, the more fundamental issue than the acceleration of forest area designation is the clarification of government land tenure and public land tenure on lands belong to the forest area. This paper aims to explain legal

(10)

2

concepts related to the land tenure in the forest area. How the tenure could give legal certainty and justice at the same time for both society and government. The foundation of this paper is the elaboration of state control over forest areas concept, known as the state right to control. How the indicators used in assessing the implementation of the state right to control and how these indicators are used to assess the regulation and practices of forest area designation are the two core question of this paper.

Keywords: area,forest, state right to control.

1. Pendahuluan

Pembentukan kawasan hutan sejatinya ditujukan untuk menyediakan wilayah yang direncanakan menjadi hutan tetap. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) menyebutkan bahwa status hukum kawasan hutan diperoleh melalui pengukuhan kawasan yang terdiri dari tahapan penunjukan, penatabatasan, pemetaan dan penetapan. Kegiatan penataan batas yang berhasil dilakukan oleh Kementerian Kehutanan (pada Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo disebut menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) hingga tahun 2009 hanyalah 11 persenan dari total luas kawasan hutan. Rendahnya capaian ini antara lain disebabkan belum terselesaikannya klaim masyarakat atas tanah yang ditunjuk sebagai kawasan hutan itu. Melihat pada kondisi ini maka percepatan pengukuhan kawasan hutan termasuk di dalamnya penyelesaian konflik dengan masyarakat yang berada di dalam, berbatasan dan di sekitar kawasan itu perlu dilakukan. Kementerian Kehutanan dengan dukungan berbagai pihak tengah mengupayakan percepatan pengukuhan kawasan hutan ini. Pada tahun 2014 Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan menargetkan sekitar 68% kawasan hutan dapat ditetapkan.

(11)

3

Sumber: Permenhut No. P. 32/Menhut-II/2013 menguasai negara ke dalam indikator yang dapat digunakan menilai pelaksanaan hak menguasai negara tersebut.

Saya membagi tulisan ini ke dalam enam bagian.Setelah bagian pendahuluan ini maka bagian kedua memaparkan sejarah, data dan fakta mengenai kawasan hutan. Bagian ketiga menjelaskan tafsir hak menguasai negara dan tujuannya. Bagian keempat menjelaskan rumusan indikator untuk menilai pelaksanaan hak menguasai negara. Pada bagian kelima kita mendiskusikan bagaimana hak menguasai negara digunakan untuk menilai pengkuhan kawasan hutan dan jenis-jenis penguasaan tanah secara umum terutama berdasarkan subjek hukumnya.Bagian keenam memberikan kesimpulan.

2. Kawasan Hutan Indonesia: Sejarah, Data dan Fakta

Pembentukan kawasan hutan merupakan bagian dari perencanaan kehutanan. Tujuannya adalah menjadikan wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.2 UU Kehutanan menyebutkan bahwa kawasan hutan dihasilkan melalui proses pengukuhan yang meliputi tahapan penunjukan, penataan batas, pemetaan dan penetapan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan.3 Penunjukan kawasan

2Pasal 1 angka 3 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

(12)

4

hutan pada dasarnya adalah langkah awal menentukan secara indikatif wilayah yang akan dijadikan kawasan hutan. Kawasan yang telah ditunjuk itu perlu diverifikasi di lapangan melalui proses penataan batas dan pemetaan. Pada tahap inilah penyelesaian terhadap tumpang-tindih antara kawasan yang ditunjuk sebagai kawasan hutan negara dengan tanah dimana terdapat hak-hak masyarakat hukum adat atau hak pihak ketiga lainnya diselesaikan.

UU Kehutanan yang lama (UU No. 5 Tahun 1967) juga memandatkan dilakukannya perencanaan kehutanan secara utuh, dengan memasukkan ke dalamnya pengukuhan kawasan hutan.Namun, hal ini tidak dilaksanakan secara konsisten. Pembentukan kawasan hutan di beberapa tempat seperti halnya Pulau Jawa dan Madura serta beberapa wilayah Pulau Sumatera adalah warisan kebijakan kolonial Belanda. Di wilayah lain di luar Pulau Jawa dan Madura, kawasan hutan muncul sebagai hasil dari penerbitan konsesi kehutanan di penghujung tahun 1960-an dan tahun 1970-an. Keputusan Menteri Pertanian No. 291/Kpts/Um/5/1970 menyatakan bahwa areal konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) langsung ditetapkan sebagai kawasan hutan produksi, tanpa melalui proses pengukuhan kawasan hutan.

Pada tahun 2013, Kementerian Kehutanan melalui Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. P. 32/Menhut-II/2013 tentang Rencana Makro Pemantapan Kawasan Hutan menyebutkan bahwa luas kawasan hutan baik yang terdapat di daratan ataupun perairan4 adalah 130,68 juta hektar atau 68,4% dari luas wilayah daratan Indonesia (lihat peta 1). Kawasan dimaksud dibagi ke dalam berbagai macam fungsi yakni hutan konservasi seluas 26,82 juta hektar, hutan lindung seluas 28,86 juta hektar, hutan produksi dengan luas 32,6 juta hektar, hutan produksi terbatas dengan luas 24,46 juta hektar, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 17,94 juta hektar.5

Meskipun kawasan hutan yang ditunjuk itu meliputi areal yang luas, pada kenyataannya hingga tahun 2009, kawasan hutan yang telah ditetapkan hanya mencapai 11,29%6 Data ini menunjukkan bahwa hampir 90% kawasan hutan Indonesia pada saat itu belum berkepastian hukum. Sebagaimana telah

4 Yang dimaksud dengan kawasan hutan di perairan itu antara lain adalah taman nasional laut. Kawasan ini ada di bawah kewenangan Kementerian Kehutanan.

5 Hutan konservasi merupakan hutan yang pemanfaatannya sangat dibatasi dan pada umumnya hanya dapat dimanfaatkan jasa lingkungannya seperti halnya cagar alam, suaka margasatwa atau taman nasional. Hutan lindung pemanfaatannya juga terbatas.Selain jasa lingkungan hasil hutan bukan kayu masih dapat dimanfaatkan. Hutan produksi dan hutan produksi terbatas dibedakan dari cara penebangan kayunya. Pada hutan produksi dapat dilakukan tebang habis sedangkan pada hutan produksi terbatas hanya dapat dilakukan tebang pilih.Hutan produksi yang dapat dikonversi dapat dialih-fungsikan menjadi bukan kawasan hutan.

(13)

5

disebutkan di awal, penetapan kawasan hutan merupakan fase dimana kawasan hutan telah dipastikan kejelasan statusnya apakah merupakan kawasan hutan negara atau hutan hak dimana di dalamnya termasuk pula hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat atau disebut sebagai hutan adat.

Ketidakpastian hukum dari kawasan hutan ini menimbulkan berbagai persoalan lainnya.Di antaranya adalah lemahnya pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak warga negara serta kerawanan penyalahgunaan wewenang yang berimplikasi pada terjadinya korupsi. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa penunjukan kawasan hutan yang tidak diikuti dengan proses selanjutnya adalah tindakan pemerintah yang otoriter. Dalam salah satu pendapatnya, Mahkamah menyatakan:

Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan freiesErmessen (discretionary powers).Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan.

(14)

6 Izin HKm (2014) Izin Hutan Desa

(2014) IUPHHK-HTR (2012) Pelepasan transmigrasi (2013) Pelepasan untuk kebun (2013) Pinjam pakai tambang (2013) IUPHHK-HA (2012) IUPHHK-HTI (2012) IUPHHK-RE (2012) 80.833 67.737 168.448

962.000 5.879.980 3.313.574 23.902.979 9.834.744 219.350 Bagan 1.

Izin Pemanfaatan & Penggunaan Kawasan Hutan Negara

Sumber: Renja Kemenhut, 2014, sumber lain. Izin untuk rakyat

Selain persoalan kepastian hukum terhadap status kawasan hutan, hal lain yang juga penting mendapat perhatian adalah ketidakadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan kawasan tersebut. Ketimpangan yang sangat nyata terjadi dalam penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber daya di kawasan hutan. Pada kawasan hutan seluas 130-an juta hektar, izin pemanfatan sumber daya dan kawasan hutan untuk rakyat hanya 3%, sedangkan 97% selebihnya telah diberikan kepada korporasi (lihat bagan 1).

Pemanfaatan hutan oleh sektor swasta melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dari hutan alam atau hutan tanaman juga tidak berjalan optimal. Data dari Asosiasi Pengusaha Hutan

Indonesia (APHI)

sebagaimana dikutip Kartodihardjo dan Nagara (2014) menyebutkan dari IUPHHK untuk hutan

alam yang telah diberikan, 179 izin tidak aktif (60,8%), 67 izin (22,7%) beroperasi tanpa mendapat sertifikat pengelolaan hutan lestari, dan hanya 46 izin sisanya (15,6%) yang memperoleh sertifikat pengelolaan hutan lestari. Pada IUPHHK untuk hutan tanaman, kondisinya kurang lebih sama. Dari seluruh izin yang diberikan, 56,7% tidak aktif (139 izin), 32,6% (80 izin) yang bersertifikat lestari dan hanya 10,6% (26 izin) yang aktif dan mendapat izin pengelolaan hutan lestari. Data ini membuktikan bahwa dari 97% kawasan hutan yang diberikan IUPHHK itu, 34 juta hektar adalah kawasan yangopen access secara de facto.

(15)

7

Kementerian Kehutanan ditafsirkan sebagai pemegang mandat hak menguasai negara di kawasan hutan. Berdasarkan Pasal 4 ayat 2 UU Kehutanan, hak menguasai negara itu memberikan kewenangan untuk:

a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan

c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Banyak dari jawaban terhadap pertanyaan ini diletakkan pada masalah kemauan politik, koordinasi, disharmonisasi peraturan perundang-undangan khususnya di bidang pertanahan dan kehutanan atau faktor politik-ekonomi di balik kebijakan pengukuhan kawasan hutan (Fay dan Sirait, 2005, Moniaga, 2007, Vandergeest dan Peluso, 2006).Tulisan ini ingin melengkapi sudut pandang yang telah ada dengan membahas penilaian terhadap pelaksanaan hak menguasai negara di kawasan hutan.

3. Hak Menguasai Negara: Tafsir dan Tujuan

Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Inilah yang diartikan sebagai hak menguasai negara. Sebuah konsep hukum yang acap digunakan untuk memberikan keabsahan pada penguasaan negara atas tanah dan kekayaan alam termasuk hutan.

Konsep hak menguasai negara ini di satu sisi dipandang sebagai kesuksesan bangsa Indonesia merumuskan relasi hukum antara negara dengan rakyat terkait dengan tanah serta kekayaan alam. Konsep ini menggantikan doktrin hukum kolonial yang dikenal dengan nama Doktrin atau Pernyatan Domein atau dikenal pula dengan sebutan Domein Verklaring.7 Namun, di sisi yang lain, konsep ini oleh sebagian pihak dipandang sebagai penyebab dari perilaku keliru dari institusi negara yang menguasai secara fisik laksana memiliki tanah dan kekayaan alam (lihat kembali Fay dan Sirait, 2005 dan

(16)

8

Moniaga, 2007). Akibatnya, negara menyingkirkan hak-hak masyarakat terhadap tanah dan kekayaan alam itu.

Seberapa benarkah bahwa persoalan ketiadaan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat atas tanah dan kekayaan alam itu disebabkan oleh konsep hak menguasai negara ini? Apakah masalahnya semata-mata kesenjangan antara doktrin dan realitas?8 Adakah persoalan konseptual yang belum terselesaikan atau tafsir yang tidak sempurna hingga berimplikasi pada ketentuan hukum yang kabur dan mendorong beragam interpretasi dan cara mengimplementasikannya?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas saya pertama-tama perlu menyampaikan bahwa UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemennya memuat ketentuan yang umum mengenai konsep hak menguasai negara ini. Terhadap tanah, misalnya Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tidak menjelaskan atas tanah-tanah yang manakah hak menguasai negara itu berlaku. Mohammad Hatta, salah seorang yang mengusulkan mengenai Pasal 33 ini, baru satu dekade setelah UUD 1945 berlaku mengatakan bahwa hak menguasai negara itu berlaku atas tanah-tanah yang berada di luar wilayah desa-desa dan atas tanah-tanah yang tidak dimiliki oleh rakyat (Hatta 1954:31). Dengan pernyataan ini, hak menguasai negara menurut Hatta tidak dapat diterapkan atas tanah-tanah desa termasuk tanah-tanah-tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat, serta tanah-tanah yang dikuasai oleh rakyat secara individual.

Berbeda dengan Hatta, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menjelaskan mengenai hak menguasai negara ini sebagai hak yang berlaku atas seluruh tanah-tanah yang ada di wilayah negara Indonesia. UUPA menyatakan bahwa hak menguasai negara berlaku atas seluruh tanah baik yang di atasnya terdapat hak atas tanah ataupun tidak. Derajat keberlakuan hak menguasai negara atas kedua tipologi penguasaan tanah itu berbeda. Terhadap tanah-tanah yang telah ada hak-hak atas tanah di atasnya, demikian pula terhadap tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dengan hak-hak komunal yang disebut dengan hak ulayat atau yang serupanya, kekuasaan negara itu terbatas; sebaliknya terhadap tanah-tanah yang tidak terdapat hak-hak atas tanah maka kekuasaan negara lebih luas.9 Hanya terhadap tanah-tanah yang disebut terakhir inilah negara dapat memberikan hak-hak atas tanah kepada warga negara lain secara

8Lihat misalnya Lynch dan Talbott (1995) dan Hutagalung (2004).

(17)

9

individual atau kolektif serta menyerahkannya kepada instansi pemerintah melalui hak pengelolaan.10

Atas dasar ketentuan dalam UUPA ini, maka dua hal dapat disimpulkan. Pertama, negara hanya dapat memberikan hak atas tanah kepada warga negara atau menyerahkannya kepada instansi pemerintah dengan hak pengelolaan pada tanah-tanah yang bebas dari penguasaan warga negara secara individual atau kolektif dan tanah yang bukan penguasaan masyarakat hukum adat. Kedua, untuk menjalankan hak menguasai negara atas tanah, instansi pemerintah perlu memperoleh hak pengelolaan. Dengan demikian, penguasaan atas tanah-tanah di wilayah Indonesia perlu didasari atas hak-hak baik yang bersumber dari hak-hak yang diberikan oleh negara sebagai hak-hak privat warga, kewenangan publik instansi pemerintah atau hak-hak yang bersumber dari hak ulayat masyarakat adat.

Pasal 2 UUPA ini merupakan tafsir otentik atas Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, Pasal 2 ini acap dijelaskan dalam kaitan dengan lingkup dan definisi hak menguasai negara (lihat tabel 1). Sangat sedikit pembahasan mengenai tujuan dan cara menilai pelaksanaan hak menguasai negara itu.

Tabel 1. Lingkup Hak Menguasai Negara menurut UUPA dan UU Kehutanan

UUPA UU Kehutanan

a. Mengatur dan

menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum

a. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

b. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai

(18)

10 antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, c. Menentukan dan mengatur

hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

bukan kawasan hutan; dan c. Mengatur dan menetapkan

hubungan-hubungan hukum

antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.

Pasal 2 UUPA sebenarnya menjelaskan mengenai empat hal terkait dengan hak menguasai negara: (i) lingkup hak menguasai negara yang meliputi seluruh bumi11, air, ruang angkasa dan kekayaan alam; (ii) definisi hak menguasai negara sebagai kewenangan negara untuk melakukan pengaturan terhadap alokasi, pemanfaatan, pencadangan dan perlindungan tanah dan kekayaan alam serta hal-hal lain terkait dengan hubungan hukum dan perbuatan hukum antara warga negara dengan tanah dan kekayaan alam; (iii) menegaskan tujuan dari hak menguasai negara untuk mencapai kesejahteraan dan kedaulatan rakyat dalam konteks negara hukum yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur; (iv) pelaksanaan hak menguasai negara yang dapat dikuasakan lagi kepada pemerintah daerah dan masyarakat adat.

Jelaslah bahwa menurut UUPA tujuan hak menguasai negara itu adalah untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Dalam bahasa Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tujuannya adalah untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun demikian, kita masih memerlukan ukuran-ukuran yang konkrit untuk menilai seberapa jauh negara telah berada di jalur yang benar dalam menjalankan kewenangannya itu. Ukuran atau indikator ini penting dirumuskan karena pelaksanaan Hak Menguasai Negara ini menimbulkan banyak perdebatan. Yang pertama terkait dengan penafsiran aparatur pemerintahan yang menyamakan penguasaan ini dengan pemilikan sehingga menghilangkan atau membatasi hak-hak rakyat terhadap tanahnya.Persoalan kedua adalah sifat dan tujuan pengaturan yang dibuat negara dan dilaksanakan pemerintah tidak sepenuhnya mencapai tujuan yang melekat pada Hak Menguasai Negara ini yakni untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Persoalan ketiga terkait dengan proses penyusunan peraturan pertanahan dan pengelolaan kekayaan alam yang dalam banyak hal kurang memperhatikan prinsip

(19)

11

partisipasi rakyat. Masalah keempat adalah lemahnya pengawasan terhadap peraturan yang dibuat.Yang kelima adalah masalah yang terkait dengan konstruksi Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang sangat antroposentris. Penguasaan negara semata-mata ditujukan untuk kemakmuran tetapi tidak menyebutkan dengan tegas bahwa penguasaan itu semestinya juga menyeimbangkan tujuan kemakmuran dan keadilan pada lingkungan.12

Mahkamah Konstitusi melalui berbagai putusan, antara lain putusan tentang pengujian UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, menafsirkan Hak Menguasai Negara dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 itu meliputi kewenangan untuk:

a. Merumuskan kebijakan b. Melakukan pengurusan c. Melakukan pengaturan d. Melakukan pengelolaan e. Melakukan pengawasan

Penguasaan negara itu bertujuan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, yang dijelaskan oleh Mahkamah melalui Putusan No. 3/PUU-VIII/2010 mengenai pengujian terhadap UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, akan dapat dicapai melalui empat indikator berikut:

a. Kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat;

b. Tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat; c. Tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber

daya alam;

(20)

12

d. Penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.

Keempat indikator ini menentukan seberapa jauh penguasaan tanah dan kekayaan alam akan mencapai tujuan negara sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945: melindungi tumpah darah atau dengan istilah lain melindungi kesatuan wilayah negara dan lingkungan hidupnya, memajukan kesejahteraan umum dan memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Dengan alur dan indikator yang dinyatakan pada bagan 2, kita dapat memahami bagaimana penguasaan negara atas tanah dan kekayaan alam itu seharusnya dijalankan oleh penyelenggara negara dan pemerintah.Demikian pula dengan alur itu kita dapat mengetahui bagaimana rakyat dapat menilai kemampuan penyelenggara dan pemerintah menjalankan kewenangan Hak Menguasai Negara.

(21)

13

kemakmuran rakyat: kemanfaatan, pemerataan, partisipasi dan penghormatan hak rakyat sehingga akhirnya mencapai tiga tujuan negara untuk melindungi kesatuan wilayah dan lingkungan hidup, kesejahteraan umum dan keadilan sosial (Safitri, 2013:248).

4. Menilai Pelaksanaan Hak Menguasai Negara di Kawasan Hutan

Mahkamah Konstitusi telah memberikan penafsiran terhadap beberapa elemen Hak Menguasai Negara, terutama dalam hal pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan. Meskipun demikian, elemen-elemen yang disampaikan dalam Putusan Mahkamah itu tidak mudah dipahami oleh aparatur birokrasi yang mempunyai tugas melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Demikian pula bagi masyarakat secara umum sulit melakukan pengecekan seberapa jauh peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dibuat oleh Kementerian Kehutanan mengacu pada elemen-elemen hak menguasai negara tersebut.

Mengacu pada tafsir itu, saya merancang perumusan indikator penilaian terhadap elemen-elemen Hak Menguasai Negara itu untuk penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan hutan pada tabel 2. Indikator di sini dimaknai sebagai komponen untuk menilai keberadaan dan kualitas setiap elemen Hak Menguasai Negara yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kerangka berpikir yang mendasari perumusan indikator ini dapat dilihat kembali pada bagan 2. Di situ dipaparkan bagaimana Mahkamah Konstitusi membangun kerangka logis dalam menjelaskan hubungan antara elemen hak menguasai negara, indikator kemakmuran rakyat dan tujuan negara. Adapun indikator yang akan dijelaskan pada tabel 2 memuat elaborasi indikator kemakmuran rakyat yang telah dibuat oleh Mahkamah dengan mengaitkan pada tujuan negara dan konteks khusus penguasaan kawasan hutan. Secara khusus, indikator-indikator ini menerjemahkan aspek-aspek keadilan sosial dan lingkungan, tata kelola, demokrasi dan kepastian hukum dalam penguasaan kawasan hutan.

Tabel 2. Indikator Penilaian Hak Menguasai Negara di Kawasan Hutan

Elemen Hak Menguasai Negara

Indikator

(22)

14 Elemen Hak

Menguasai Negara

Indikator

secara menyeluruh.

I.2 Adanya arah kebijakan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan yang jelas, stabil dan selaras dengan kebijakan

perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup dan penataan ruang.

I.3 Adanya perencanaan alokasi

pemanfaatan kawasan hutan secara proporsional antara masyarakat dan korporasi.

I.4 Adanya perencanaan alokasi fungsi kawasan hutan yang teruji secara saintifik dan dikonsultasikan dengan masyarakat di sekitar.

II. Pengurusan

II.1 Pengakuan terhadap hutan adat dan hutan hak lainnya.

II.2 Pengukuhan kawasan hutan negara dan hutan hak termasuk hutan adat dilakukan dengan proses yang transparan dan melindungi hak-hak masyarakat serta dengan batas-batas yang jelas dan dihormati semua pihak. II.3 Pemberian izin pemanfaatan dan

penggunaan kawasan hutan yang transparan, akuntabel dan berlandaskan pada pelaksanaan prinsip Persetujuan atas Dasar Informasi Awal tanpa Paksaan (Padiatapa atau free, prior and informed consent).

III. Pengaturan

III.1 Evaluasi terhadap efektifitas peraturan perundang-undangan kehutanan yang sedang berlaku.

III.2 Tersedianya instrumen harmonisasi

peraturan perundang-undangan

(23)

15 Elemen Hak

Menguasai Negara

Indikator

perundang-undangan kehutanan yang terbuka dan partisipatif.

IV. Pengelolaan

IV.1 Dilaksanakannya prinsip-prinsip tata kelola yang baik yang meliputi partisipasi, transparansi dan akuntablitas dalam pengelolaan kawasan hutan oleh unit-unit pemerintahan pusat atau daerah.

IV.2 Terpenuhinya legalitas dan prinsip-prinsip tata kelola yang baik oleh Badan

Usaha Milik Negara (BUMN)

kehutanan.

V. Pengawasan

V.1 Dilakukannya pengkajian ulang terhadap izin-izin pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan secara menyeluruh.

V.2 Dilakukannya evaluasi terhadap kinerja pengelola hutan secara transparan. V.3 Adanya penegakan hukum yang efektif

terhadap kejahatan dan pelanggaran kehutanan.

Dengan indikator yang disebutkan pada tabel di atas maka hak menguasai negara itu dapat dinilai pelaksanaannya dengan mudah. Selain itu penilaian juga akan meliputi aspek yang lebih luas dan menyeluruh, tidak semata dipengaruhi pandangan antroposentris melainkan juga mengutamakan keadilan ekologis, selain aspek demokrasi dan tata kelola kehutanan yang baik.

5. Pengukuhan Kawasan Hutan sebagai Instrumen Pelaksanaan Hak Menguasai Negara

(24)

16

tahun 2009, penetapan itu hanya mampu mencapai 11.29%. Melihat pada capaian ini, hal yang penting kita diskusikan adalah bagaimana pengukuhan kawasan hutan dapat memenuhi indikator II.2 yang disebutkan dalam tabel 2. Di sini, persoalannya bukan semata mengejar kepastian hukum atas status kawasan hutan tetapi bagaimana proses dan hasil pengukuhan kawasan hutan itu juga memberikan keadilan bagi semua pihak dan dijalankan melalui proses yang dalam bahasa Mahkamah Konstitusi adalah „tidak otoriter‟. Dengan kata lain partisipasi, transparansi dan akuntabilitas dalam seluruh rangkaian pengukuhan kawasan hutan itu juga penting diperhatikan.

(25)

17

Dengan keberadaan kawasan hutan yang mengakui hak-hak warga negara atas tanah dan hak ulayat dari masyarakat hukum adat maka apa yang selama ini dipandang sebagai dualisme administrasi pertanahan antara Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Kehutanan sejatinya dapat diakhiri. Konsep penguasaan tanah di kawasan hutan dan bukan kawasan hutan sebagaimana digambarkan dalam bagan 3 menunjukkan bagaimana kesatuan administrasi itu dapat dilakukan. BPN mempunyai wewenang mengadministrasikan seluruh tanah baik di dalam atau luar kawasan hutan. Atas dasar itu maka setiap orang/badan hukum/instansi pemerintah yang menguasai tanah di atas fungsi apapun, harus mempunyai alas hak. Untuk Kementerian Kehutanan, alas hak pada tanah kawasan hutan negara yang sudah ditetapkan adalah hak pengelolaan.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah cara ini tidak akan mengancam kelestarian lingkungan di kawasan hutan tersebut? Saya dapat memastikan ini tidak akan terjadi atas dasar dua alasan. Pertama, tidak ada penguasaan tanah bersifat mutlak, baik dalam kerangka hukum di Indonesia maupun di berbagai negara lain. Negara dimanapun mempunyai kewenangan untuk melakukan intervensi terhadap penguasaan tanah yang ada pada warga negaranya. Tentu saja intervensi dimaksud akan berbeda-beda sesuai dengan hukum yang berlaku. Di Indonesia, dengan mengacu pada UUPA, intervensi itu berupa tiga hal: (1) memastikan bahwa ada fungsi sosial dari hak-hak atas tanah; (2) memastikan bahwa penguasaan tanah tidak menimbulkan ketimpangan, ketidakdilan gender, menghindari pemerasan, melindungi kelompok miskin dan mencegah monopoli; (3) memastikan penguasaan tanah tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Pemerintah mempunyai

Wilayah Daratan Indonesia

(26)

18

kewenangan untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan upaya pencegahan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran yang terkait dengan ketiga ranah di atas. Pengaturan dan penegakan hukum diberlakukan pada seluruh jenis penguasaan tanah.

Kedua, sesuai dengan UU Kehutanan, Pemerintah mempunyai kewenangan melakukan pengurusan hutan. Pengurusan itu meliputi kegiatanperencanaan, pengelolaan, penelitian dan pengembangan serta pengawasan. Pengurusan hutan dilakukan pada semua jenis penguasaan kawasan hutan. Dengan demikian Kementerian Kehutanan mempunyai pula kewenangan untuk mengatur dan mengawasi bagaimana pengelolaan hutan hak dan hutan adat. Dengan cara ini pula maka tidak akan ada kekhawatiran bahwa penguasaan hutan hak atau hutan adat akan menimbulkan kerusakan. Sepanjang keduanya berada di dalam kawasan hutan maka dengan regulasi yang jelas, fasilitasi yang intensif dan pengawasan yang konsisten sangat mungkin dihindarkan perusakan kawasan hutan tersebut (lihat kembali bagian 3 tentang elemen dan tujuan hak menguasai negara).

6. Kesimpulan

Pengukuhan kawasan hutan merupakan salah satu pelaksanaan kewenangan penguasaan negara atas kawasan hutan. Upaya percepatan pengukuhan kawasan hutan digalakkan untuk mendukung adanya kawasan hutan yang berkepastian hukum dan berkeadilan. Tulisan ini menegaskan bahwa upaya percepatan tersebut perlu dilakukan dengan memperhatikan terpenuhinya keadilan bagi masyarakat dan lingkungan. Oleh sebab itu maka merumuskan alat untuk menilai pelaksanaan hak menguasai negara dalam konteks pengukuhan kawasan hutan ini mendesak dilakukan.

Mengacu pada berbagai putusan Mahkamah Konstitusi, kita dapat merumuskan lima elemen Hak Menguasai Negara yaitu perumusan kebijakan, tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan dan pengawasan terhadap tanah dan kekayaan alam. Tujuannya adalah mencapai empat indikator kemakmuran rakyat: kemanfaatan, pemerataan, partisipasi dan penghormatan hak rakyat sehingga akhirnya mencapai tiga tujuan negara untuk melindungi kesatuan wilayah dan lingkungan hidup, kesejahteraan umum dan keadilan sosial.

(27)

19

sebagaimana dimaksud di atas maka diperlukan berbagai upaya yang menjamin dijalankannya prinsip-prinsip pengakuan hak, partisipasi, transparansi dan akuntabilitas. Penataan batas kawasan hutan yang sedang berjalan perlu monitoring. Evaluasi terhadap kawasan yang telah selesai ditata-batas perlu dilakukan mengingat banyaknya praktik pengingkaran hak atau penanganan klaim hak dan akses masyarakat yang tidak tepat. Akhirnya, ketika kawasan hutan telah ditetapkan maka kawasan tersebut semestinya mengakomodir keberadaan kawasan hutan adat dan kawasan hutan hak, selain kawasan hutan negara. Dengan demikian maka dualisme administrasi pertanahan di dalam dan luar kawasan hutan dapat ditanggalkan.

(28)

20 Daftar Pustaka

Burns, Peter. 2004. The Leiden legacy: Concepts of law in Indonesia. Leiden: KITLV.

Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. 2014. Penetapan kawasan hutan: Menuju kawasan hutan Indonesia yang mantap. (lokasi: penerbit)

Fay, Chip dan Martua Sirait.2005. „Kerangka hukum negara dalam mengatur agraria dan kehutanan Indonesia: Mempertanyakan sistem ganda kewenangan atas penguasaan tanah‟. ICRAF Southeast Asia Working Paper 3. Bogor: World Agroforestry Centre.

Harsono, Boedi. 2005. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1. Edisi revisi. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Hatta, Mohammad. 1954. Kumpulan karangan III. Jakarta: Penerbit dan Balai Buku Indonesia.

Hutagalung, Arie S. 2004. „Konsistensi dan korelasi antara UUD 1945 dan UUPA 1960‟, dalam Jurnal Analisis Sosial 9(1): 1-27. (lokasi : penerbit)

Kartodihardjo, Hariadi dan Grahat Nagara. 2014. Kajian kerentanan korupsi dalam sistem perizinan di sektor sumber daya alam (SDA): Studi kasus sektor kehutanan. Presentasi.

Lynch, Owen J. and Kirk Talbott. 1995. Balancing acts: Community-based forest management and national law in Asia and the Pacific. Washington DC: World Resources Institute.

Moniaga, Sandra. 2007.”Ketika undang–undang hanya berlaku di 39 % daratan Indonesia: Realitas pembatasan berlakunya Undang–undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA)”, dalam Wacana pembaruan hukum di Indonesia, Jakarta: HuMa.

Parlindungan, A.P. 1989. Hak pengelolaan menurut sistem UUPA. Bandung: Mandar Maju.

Safitri, Myrna A.2013. “Menafsirkan tanggung jawab negara terhadap reforma agraria”, dalam: Ismatul Hakim dan LukasR. Wibowo (eds.), Jalan terjal Reforma Agraria di sektor kehutanan. Jakarta: Puspijak.

Soemardijono. 2008. Hak pengelolaan atas tanah.

(29)

21

Sumardjono, Maria. 2008.Tanah dalam perspektif hak ekonomi, sosial dan budaya. Jakarta: KOMPAS.

Termorshuizen-Arts, Marjanne. 2010. “Rakyat Indonesia dan tanahnya: Perkembangan Doktrin Domein di masa kolonial dan pengaruhnya dalam hukum agraria Indonesia”, dalam: Myrna A. Safitri dan Tristam Moeliono (ed.), Hukum agraria dan masyarakat di Indonesia: Studi tentang tanah, kekayaan alam dan ruang di masa kolonial dan desentralisasi. Jakarta: HuMa, Van Vollenhoven Institute, Leiden University, KITLV-Jakarta.

(30)

KONSISTENSI NEGARA ATAS DOKTRIN WELFARE STATE

DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN OLEH MASYARAKAT ADAT

Wahyu Nugroho1

Abstrak

Konstitusi hijau (green constitution) menempatkan Indonesia sebagai negara yang memiliki konsekuensi yuridis konstitusional di dalam UUD 1945 untuk menerapkan prinsip-prinsip ekokrasi, yakni setiap kebijaksanaan atau pembangunan di bidang perekonomian selalu memerhatikan lingkungan hidup di segala sektor, termasuk kehutanan. Hal ini bertujuan untuk menerapkan pilar-pilar pembangunan berkelanjutan (sustainable development) secara seimbang demi menyejahterakan rakyat. Objek kajian ini adalah putusan MK No. 35/PUU-X/2012 dengan subjek hukumnya masyarakat adat yang telah dilanggar hak konstitusionalnya. Masyarakat hukum adat memiliki kearifan lokal (local wisdom) tersendiri dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup atas sumber daya alam hutan adat, sehingga negara wajib melindungi dan bertindak sebagai fasilitator masyarakat hukum adat untuk mengelola hutan adatnya sendiri. Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk menguji dan menganalisis konsistensi kewenangan negara atas doktrin welfare state atau negara kesejahteraan dalam pengelolaan hutan negara dengan kewenangan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat berdasarkan kajian socio-legal atau hukum dalam fakta sosial atas putusan Mahkamah Konstitusi. Penulis menggunakan metodologi berdasarkan pengkajian putusan Mahkamah Konstitusi, dengan menelaah aspek socio-legal dalam putusan ini. Selain itu, bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai pijakan yuridis normatif dan studi kepustakaan sebagai kerangka teori. Hasil kajian ini terungkap bahwa terdapat hubungan antara hak menguasai negara dengan hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat. Terhadap hutan negara, negara mempunyai wewenang penuh untuk mengatur dan memutuskan persediaan, peruntukan, pemanfaatan, pengurusan serta

1
(31)

23

hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara. Adapun hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauhmana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat. Hak pengelolaan hutan adat berada pada masyarakat hukum adat, namun jika dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat jatuh kepada Pemerintah. Kesimpulan yang diperoleh adalah hak menguasai negara dimaknai sebagai kewenangan dan kewajiban negara untuk mengelola sumber daya alam hutan dengan tujuan kesejahteraan masyarakat, termasuk masyarakat adat, sehingga negara berfungsi sebagai fasilitator.

Kata kunci: negara, masyarakat hukum adat, hutan negara, hutan adat, sumber daya alam

Abstract

(32)

24

the values of local wisdom which has the right to manage indigenous forest, without the intervention of the state or private.

Keywords: state, indigenous and tribal peoples, state forests, indigenous forests, natural resources

1. Latar Belakang

Konstitusi perekonomian Indonesia secara eksplisit menegaskan bahwa bumi (tanah), air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan oleh sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bunyi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terdapat spirit/filosofi bahwa adanya suatu kewajiban bagi negara untuk menyejahterakan rakyatnya, sebagai konsekuensi yuridis Indonesia penganut welfare state.2 Dalam konteks penguasaan negara, sumber daya alam berupa hutan memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan masyarakat di sekitar kawasan hutan atau yang dikenal dengan istilah masyarakat (hukum) adat juga mempunyai hak untuk mengelola, mendapatkan akses dan melestarikan hutan. Negara dengan segala alat kelengkapannya secara yuridis menurut UUD 1945, undang-undang dan peraturan di bawahnya diberikan kewenangan untuk menguasai sumber daya alam berupa hutan. Penguasaan oleh negara melalui instrumen hukum tidak secara langsung menegasikan masyarakat tradisional/ adat (indigenous people) untuk mendapatkan akses hutan adat atau mengambil alih hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayahnya melalui instrumen perizinan oleh swasta, tanpa memerhatikan kearifan-kearifan lokal (local wisdom). Tergesernya peran masyarakat adat kawasan hutan baik secara langsung maupun tidak langsung akan mengakibatkan penguasaan hutan oleh negara tanpa batas dengan dalih pendapatan nasional ataupun daerah, melalui pemegang izin usaha.

(33)

25

Dalam praktiknya, pemerintah sering mengeluarkan keputusan penunjukan kawasan hutan tanpa terlebih dahulu melakukan pengecekan tentang klaim kesatuan masyarakat hukum adat atas kawasan tersebut yang bahkan pada kenyataannya telah ada pemukiman-pemukiman masyarakat adat di dalamnya. Data Kementerian Kehutanan dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa terdapat 31.957 desa yang berinteraksi dengan hutan dan 71,06 % dari desa-desa tersebut menggantungkan hidupnya dari sumber daya huta.3 Selanjutnya, dalam Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010-2014 menunjukkan data bahwa pada tahun 2003, dari 220 juta penduduk Indonesia terdapat 48,8 juta orang yang tinggal di pedesaan sekitar kawasan hutan, dan ada sekitar 10,2 juta orang miskin yang berada di sekitar wilayah hutan. Sementara data lain yang dirilis oleh Kementerian Kehutanan dan Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2007 memperlihatkan masih terdapat 5,5 juta orang yang tergolong miskin di sekitar kawasan hutan.4

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) yang dikembangkan kemudian membagi kelembagaan pengelolaan hutan ke dalam dua kelompok, kelembagaan pengelolaan hutan yang dapat diakses oleh masyarakat lebih umum, meliputi masyarakat hukum adat dan yang bukan masyarakat hukum adat. Ketika UU Kehutanan lahir, pengakuan negara terhadap hak masyarakat hukum adat tidak membaik. Ada beberapa pasal dalam UU Kehutanan yang mengatur mengenai masyarakat hukum adat dan hutan adat. Pasal mengenai hutan adat menyatakan hutan adat sebagai hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Aturan ini seolah-olah memberikan pengakuan terhadap adanya hutan adat, tetapi pengakuan ini mengandung jebakan karena keberadaan hutan adat tersebut diikuti dengan kalimat hutan negara yang ada dalam wilayah masyarakat hukum adat.5

Ketentuan ini memberikan dampak yang besar di lapangan, karena pada prinsipnya aturan ini menyampaikan pesan bahwa hutan adat itu tidak ada sama sekali. Hedar Laudjeng menegaskan bahwa dengan Pasal 1 ayat (6) UU Kehutanan, sejak awal sudah menegaskan bahwa masyarakat hukum adat dalam wujud kolektifnya tidak berhak mempunyai hutan milik sendiri. Pasal ini mengasumsikan bahwa seluruh areal hutan Indonesia telah ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan hutan (hutan negara dan hutan hak), dengan

3 Dikutip dari Pendahuluan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, hlm. 4. 4

Ibid. 5

(34)

26

demikian tidak mungkin ada sisa areal hutan yang terluputkan, termasuk yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.6

Dikaitkan dengan penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan, maka jelas bahwa yang dinyatakan sebagai hutan adat oleh pemerintah tidak lain adalah hutan kepunyaan masyarakat hukum ada, yang di setiap tempat memiliki nama lokal, misalnya hutan marga, hutan ulayat, hutan pertuanan, bengkar, dan lain sebagainya. Secara sepihak, hutan-hutan ini kemudian dicaplok oleh negara dengan balutan konsep hak menguasai oleh negara. Hal inilah yang dinamakan sebagai proses negaraisasi tanah (hutan) masyarakat hukum adat. Akibatnya, jika masyarakat hukum adat berkeinginan mengelola dan memanfaatkan harus terlebih dahulu memohon izin kepada negara, sebagai penguasa atau “pemilik” baru atas hutan itu.7

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, pemohon melakukan uji materiil terhadap ketentuan Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), (2), (3), (4), dan Pasal 67 ayat (1), (2) dan (3). Alasan pemohon melakukan judicial review antara lain menurut ketentuan Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan yang dilakukan pengujian terhadap UUD 1945 berbunyi: “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Pasal 4 ayat (3) menyatakan: “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”. Ketentuan Pasal 5 menyatakan: ayat (1): “hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara dan b. hutan hak; ayat (2) “hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, dapat berupa hutan adat”; ayat (3) “pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya”; dan ayat (4) “apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah. Pasal-pasal tersebut yang dikabulkan oleh MK, sedangkan terhadap ketentuan Pasal 67 UU Kehutanan yang menyangkut hak-hak, eksistensi dan hapusnya masyarakat hukum adat ditolak Mahkamah karena tidak terdapat muatan yang dianggap bertentangan dengan norma-norma HAM dalam UUD 1945.

Perkara ini diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu dan Kesatuan

6

Hedar Laudjeng, Legal Opinion terhadap UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, dalam San Afri Awang (ed), Inkonsistensi Undang-Undang Kehutanan, Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1999, hlm. 81.

7

(35)

27

Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Sicitu. Permasalahan yang dihadapi masyarakat hukum adat diantara pemohon sangat beragam, antara lain:

a. masalah hubungan masyarakat adat dengan tanah mereka, yang mana mendapatkan penghidupan, termasuk sumber daya alamnya;

b. masalah self-determination, yang sering berbias politik dan hingga sekarang masih menjadi perdebatan sengit;

c. masalah identification, yakni soal siapakah yang dimaksud masyarakat adat itu, beserta kriterianya.

Penelitian Charles V. Barber mengungkap bahwa hak menguasai tanah negara merupakan cerminan dari impelementasi nilai, norma, dan konfigrasi hukum negara yang mengatur penguasaan dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumber daya alam, atau merupakan ekspresi dari ideologi yang memberi otoritas dan legitimasi kepada negara untuk menguasai dan memanfaatkan lingkungan hidup dan sumber daya alam dalam wilayah kedaulatannya.8

Dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam, pemerintah cenderung memberlakukan peraturan perundang-undangan sebagai wujud hukum negara dan satu-satunya hukum yang mengatur pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Dengan demikian, pengaturan dalam bentuk hukum adat diabaikan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan secara substansi maupun implementasi.9 Hak-hak masyarakat hukum adat untuk melakukan pengelolaan lingkungan hidup sumber daya alam hutan adat dipasung oleh negara melalui instrumen perizinan, tidak melihat kearifan-kearifan lokal atau nilai-nilai adat lokal yang masih diberlakukan oleh masyarakat adat dan eksploitasi terhadap lingkungan hidup kawasan hutan adat.

Di dalam Pasal 1 UU Kehutanan terdapat dua jenis hutan, yakni hutan hak dan hutan negara. Dikatakan hutan hak apabila hutan itu tumbuh atau berada di atas tanah yang dibebani suatu hak atas tanah. Sebaliknya, dikatakan hutan negara bila hutan itu tumbuh atau berada di atas tanah yang tidak dibebani suatu hak atas tanah. Hutan adat bahkan secara langsung didefinisikan sebagai hutan negara yang tumbuh di atas tanah dalam wilayah masyarakat hukum adat. Bahkan tanpa argumen yang masuk akal sebagaimana dinyatakan Pasal 1 butir d, butir e dan butir f hutan adat serta merta masuk

8 Charles V. Barber, The State, the Environment and Development; the Genesis of Transformation of Social Forestry in New Order Indonesia, Doctoral Dissertation of California University Berkeley, 1989, hlm. 14.

9

(36)

28

kategori hutan negara. Lebih gamblang lagi dinyatakan bahwa hutan negara dapat berupa hutan adat, sebagaimana disebut Pasal 5 ayat (1) UU Kehutanan.10

Mencermati beberapa pasal di dalam UU Kehutanan, dalam praktik yang dilakukan oleh negara dan sejumlah perusahaan di sekitar kawasan hutan, hak-hak konstitusional masyarakat adat untuk mengakses dan melakukan pengelolaan terhadap hutan adat telah dipangkas dengan menjadikan kawasan hutan taman nasional sebagai hutan negara, termasuk hutan adat yang menjadi bagian dari hutan negara. Selanjutnya melalui instrumen perizinan, pemilik perusahaan dilegalkan dengan perizinan-perizinan yang ada untuk mengambil alih kawasan hutan adat menjadi usaha kawasan pertambangan, perkebunan kelapa sawit atau hutan tanaman industri. Hal ini jelas telah menegasikan masyarakat hukum adat, nilai-nilai budaya lokal, bahkan sering terjadi konflik masyarakat adat dengan pemerintah dan pihak pengusaha.

2. Permasalahan

Di dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada permasalahan bagaimana konsistensi kewenangan negara atas doktrin welfare state dalam pengelolaan hutan negara dengan kewenangan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam hutan adat?

3. Tujuan

Tujuan dari pengkajian ini adalah: untuk menguji dan menganalisis konsistensi kewenangan negara atas doktrin welfare state (negara kesejahteraan) dalam pengelolaan hutan negara dengan kewenangan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan adat berdasarkan kajian socio-legal putusan Mahkamah Konstitusi.

4. Metodologi

Penulis menggunakan metodologi berdasarkan pengkajian putusan Mahkamah Konstitusi, dengan menelaah aspek socio-legal di dalam putusan No.

10
(37)

29

35/PUU-X/2012 yang menguji UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, juga memanfaatkan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sebagai pijakan yuridis normatif dan studi kepustakaan sebagai kerangka teori.

5. Studi Pustaka

5.1 Konsepsi tentang Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat bangsa Indonesia adalah masyarakat yang Bhinneka Tunggal Ika, yang berbeda-beda suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), kemudian bersatu dalam kesatuan negara Pancasila sejak tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum Indonesia merdeka, berbagai masyarakat itu berdiam di berbagai kepulauan besar dan kecil yang hidup menurut hukum adatnya masing-masing.11

Teer Haar mengemukakan adanya kelompok-kelompok masyarakat di lingkungan raja-raja dan kaum bangsawan dan di lingkungan kaum pedagang. Kelompok-kelompok masyarakat ini dipengaruhi oleh kehidupan hukum adat dan tempat kediaman yang terpisah dari masyarakat umum.12

Soepomo dalam pidatonya tanggal 2 Oktober 1901 yang mengutip pendapat van Vollenhoven menyatakan:

Bahwa untuk mengetahui hukum, maka adalah terutama perlu diselidiki buat waktu apabila pun dan di daerah mana pun, sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu, hidup sehari-hari.13

11 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Cet. 2, Bandung: PT Mandar Maju, 2003, hlm. 105.

12 Ibid. 13

(38)

30

Menurut Soepomo, maka masyarakat-masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibagi atas dua golongan menurut dasar susunannya, yaitu yang berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogi) dan yang berdasar lingkungan daerah (territorial), kemudian ditambah dengan susunan yang didasarkan pada kedua dasar tersebut, yakni genealogi-territorial. Dari sudut bentuknya, maka masyarakat hukum adat tersebut ada yang berdiri sendiri, menjadi bagian dari masyarakat hukum adat yang lebih tinggi atau mencakup beberapa masyarakat hukum adat yang lebih rendah, serta merupakan perserikatan dari beberapa masyarakat hukum adat yang sederajat. Masing-masing masyarakat hukum adat tersebut dapat dinamakan sebagai masyarakat hukum adat yang tunggal, bertingkat dan berangkai.14

5.2 Hak Ulayat Menurut Hukum Adat

Dalam konteks perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sektor kehutanan, masyarakat adat memiliki peranan yang strategis untuk dapat mengelola hutan sendiri yang dijamin oleh konstitusi. Hak ulayat adalah hak dari persekutuan hukum untuk menggunakan dengan bebas tanah-tanah yang masih merupakan hutan belakar di dalam lingkungan wilayahnya, guna kepentingan persekutuan hukum itu sendiri dan anggota-anggotanya, atau guna kepentingan orang-orang luaran (orang asing/orang pendatang), dengan izin persekutuan hukum hukum itu dengan membayar recognisi (pengakuan). Adapun yang menjadi objek hak ulayat ialah:15

a. tanah (daratan);

b. air atau perairan, seperti sungai, danau, pantai atau perairan;

c. tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar; dan

d. binatang-binatang liar.

Van Vollenhoven (ahli hukum adat), menamakan hak dari persekutuan hukum (desa) ini: “beschikkingrecht”, artinya hak menguasai tanah, tapi dalam pengertian tidak secara mutlak, sebab persekutuan hukum tidak mempunyai kekuasaan untuk menjual tanah.

14

R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1977, hlm. 51. 15

(39)

31

5.3 Sistem Perizinan Bidang Lingkungan Hidup dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang menginduk kepada UU No. 32 Tahun 2009, maka dalam konteks penyelenggaraan perizinan bidang lingkungan hidup diatur dalam undang-undang sektoral, yakni UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Sistem perizinan bidang kehutanan secara singkat dijelaskan di dalam penjelasan umum bahwa penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan pemilikan, tetapi Negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah status kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan, serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selanjutnya pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Namun demikian, untuk hal-hal tertentu yang sangat penting, berskala dan berdampak luas serta bernilai strategis, pemerintah harus memerhatikan aspirasi rakyat melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.16

Penjelasan umum tersebut menjadi alasan substansial adanya peran pemerintah dalam pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia. Indonesia sebagai negara hukum kesejahteraan (welfare legal state) memiliki konsekuensi logis untuk menyejahterakan bagi rakyatnya di sektor hutan, termasuk masyarakat hukum adat yang memiliki peran strategis untuk diberikan tempat dalam pengelolaan hutan adat. Peran serta masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat sebagai hukum yang hidup (the living law) terdapat sejumlah kearifan-kearifan lokal yang dijunjung tinggi oleh komunitasnya. Hal tersebut mendapatkan pengakuan secara normatif dan diperkuat di dalam Pasal 70 ayat (3) huruf e UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yakni: “mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup”.

Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan

16
(40)

32

dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya. Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya, yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Untuk menjaga keberlangsungan fungsi pokok hutan dan kondisi hutan, dilakukan juga upaya rehabilitasi serta reklamasi hutan dan lahan, yang bertujuan selain mengembalikan kualitas hutan, juga meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat, sehingga peran serta masyarakat merupakan inti keberhasilannya.

Penulis berpendapat bahwa apabila diperhatikan penjelasan umum tersebut, negara memiliki kewajiban untuk menyejahterakan masyarakat melalui optimalisasi pengelolaan hutan, termasuk hutan adat yang tidak merupakan bagian dari hutan negara pasca putusan MK ini, akan dikelola oleh masyarakat adat sendiri. Dengan pemisahan hutan negara dan hutan adat dalam pengelolaannya berdasarkan putusan MK tersebut, maka harapannya ke depan tidak ada konflik lagi antara masyarakat hukum adat dengan negara, atau masyarakat hukum adat dengan perusahaan pemegang izin usaha. Melihat

empirical evidence berdasarkan keterangan sejumlah saksi yang diajukan Pemohon, negara berkedok legalisasi perizinan kepada sejumlah perusahaan untuk mengalihkan pengelolaan dan pemanfaatan hutan, sehingga masyarakat adat tidak mendapatkan tempat. Bahkan, terjadi konflik, penggusuran, perusakan, diskriminasi dan penutupan akses sumber daya alam hutan adat sebagai sumber penghidupan bagi masyarakat adat.

Dikatakan oleh Helmi, bahwa era reformasi bidang kehutanan dengan lahirnya UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, ternyata “setali tiga uang”. Perizinan bidang kehutanan yang mendelegasikan wewenang kepada pemerintah daerah justru makin memperparah kerusakan hutan di Indonesia. Bahkan, illegal logging, mengalami

booming pada kurun waktu tahun 1999 sampai tahun 2004. 17 Pemanfaatan kayu dari hutan produksi dilegalisasi dengan keputusan izin para Kepala Daerah dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan skala kecil. Padahal, berdasarkan UU Kehutanan, HPH seharusnya merupakan wewenang pemerintah pusat dan kondisi tersebut disadari oleh pemerintah pada pertengahan 2004. Berbagai wewenang daerah yang semula didelegasikan ditarik kembali, terutama wewenang dalam hal izin pemanfaatan hasil hutan kayu.

17
(41)

33

Walaupun aktivitas ilegal dan legal pemanfaatan hutan produksi alam terutama kayu sudah berkurang, pengaturan yang tidak mempertimbangkan kelestarian fungsi, dalam jangka panjang berdampak negatif. Banjir dan tanah longsor pada musim hujan dan kebakaran hutan dan lahan di musim kemarau terbukti merugikan aktivitas ekonomi dan mengancam kenaikan suhu global.18

Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999, terdapat sejumlah perizinan sektor kehutanan adalah sebagai berikut:

1) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI);19

2) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA) pada Hutan Produksi Melalui Permohonan;20

3) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-BK) Lintas Provinsi dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Hutan Tanaman Industri (IUPHHKBK-HTI) Lintas Provinsi;21

4) Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan;22

5) Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IPHHK-RE);23

6) Izin Usaha Pemanfaatan Kayu Lintas Provinsi (IUPK);24

7) Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL) Lintas Provinsi;25

18

Ibid., hlm. 180.

19 Lihat: Peraturan Menteri Kehutanan No. 19 tahun 2007 tentang Tata Cara Pemberian Izin dan Perluasan Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman Pada Hutan Produksi, telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. 11 tahun 2008.

20

Lihat: Peraturan Menteri Kehutanan No. 20 tahun 2007 tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA) pada Hutan Produksi Melalui Permohonan. Diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. 61 tahun 2007 dan diubah kembali dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. 12 tahun 2008.

21

Lihat: Peraturan Menteri Kehutanan No.

Gambar

Tabel 1. Lingkup Hak Menguasai Negara menurut UUPA dan UU Kehutanan
Tabel 2. Indikator Penilaian Hak Menguasai Negara di Kawasan Hutan

Referensi

Dokumen terkait

Sistem pemasaran pada CV. Sukses Mandiri adalah dengan melakukan pemasaran pada perusahaan- perusahaan dengan cara mendatangi setiap perusahaan yang ada dengan menemui

Hasil uji menunjukkan bahwa nilai intensitas cahaya yang diterima phototransistor yang direpresentasikan oleh nilai peak-to-peak pada tegangan output akan mengalami

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa rasio keuangan merupakan suatu perhitungan matematis yang dilakukan dengan cara membandingkan beberapa pos atau

Materi ini bukan merupakan penawaran atau permintaan dalam rangka pembelian atau penjualan terhadap semua jenis instrumen keuangan, Tidak ada satupun yang mewakili atau

Siswa menyusun hal-hal- atau masalah-masalah mengenai topic yang telah diberikan oleh guru kedalam bentuk deskriptif essay6. Siswa mengajukan hasil kerja

In addition, the newly defined role for RANKL in normal stem and progenitors cells of the breast, along with the known ability of RANK signaling to regulate canonical and

Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang bernaung di Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, memiliki

Gagal jantung kanan lebih sering terjadi pada stenosis mitral berat dan hipertensi pulmonal yang signifikan, dimana dapat menyebabkan mortalitas sebanyak 60%-70% bila