• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dimana kegiatan-kegiatan perdagangan yang mulai berkembang pesat di city

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dimana kegiatan-kegiatan perdagangan yang mulai berkembang pesat di city"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Lembaga konsuler2 menurut sejarah telah ada lebih dulu dibanding lembaga

diplomatik. Lembaga konsuler bahkan telah ada sejak zaman Yunani Kuno,

dimana kegiatan-kegiatan perdagangan yang mulai berkembang pesat di city

states Yunani dapat dikatakan sebagai cikal bakal lahirnya lembaga konsuler.

Pada saat itu dikenal istilah proxenia yaitu semacam pejabat negara (warga negara

terkemuka) yang bertugas dan bertanggung jawab atas penduduk asing yang

berdudukan di suatu city state.3 Sementara di zaman Romawi dikenal istilah

konsul untuk sebagai peran yaitu hakim-hakim khusus bagi pedagang asing pada abad ke-12. Keberadaan perwakilan konsuler pada masa itu memiliki fungsi yang cukup luas dimana para konsul mempunyai wewenang sipil dan kriminal terhadap warga mereka.

Sistem modern lembaga konsul baru dimulai sejak abad ke-16.4 Pada abad

ke-18 fungsi perwakilan konsuler telah mengalami berbagai penyesuaian sehingga tidak jauh berbeda dengan fungsi perwakilan konsuler modern yang kita kenal

2 Dalam praktiknya,istilah konsuler sendiri berkenaan dengan segala hal yang sifatnya

kekonsuleran yang meliputi hubungan konsuler, pejabat-pejabat konsul, kantornya, maupun tugas dan fungsinya. Sumber: http://wordnetweb.princeton.edu/perl/webwn?s=consular diakses pada 25 Juli 2013.

3 Widodo, Huk um Diplomatik dan Konsuler Pada Era Globalisasi, LaksBang Justitia,

Surabaya, 2009, hal.185

4 J.G. Starke, Pengantar Huk um Internasional 2 Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta,

(2)

pada saat ini yaitu mengurus berbagai kegiatan perdagangan,transportasi dan

warga negara mereka.5

Pada masa pasca Perang Dunia II dimana banyak terjadi perubahan yang menyebabkan hubungan antar subjek hukum internasional semakin berkembang dan kompleks, meskipun banyak subjek hukum internasional baru bermunculan, namun yang paling utama diperhatikan tetaplah negara dan hubungan negara satu sama lain maupun dengan subjek hukum internasional lainnya. Hal ini karena

negara dianggap sebagai subjek hukum internasional penuh.6 Selain itu berbagai

perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempengaruhi berbagai aspek seperti ekonomi, sosial, politik, hukum dan budaya. Berbagai perkembangan tersebut juga dapat memberi dampak tertentu terhadap hubungan antarnegara dalam hal kerja sama dan saling ketergantungan sehingga diperlukan seperangkat aturan hukum dalam mengatur hubungan antarnegara.

Hukum internasional yang mengatur hubungan antarnegara berasal dari hukum kebiasaan yang dapat ditemukan dalam praktik pelaksanaan hubungan antar bangsa yang telah ada bahkan jauh sebelum istilah hukum internasional dikenal. Pada akhirnya setelah melewati proses yang panjang, praktik-praktik kebiasaan ini dikodifisikan dalam bentuk peraturan-peraturan tertulis hingga

sampai dalam bentuk konvensi-konvensi yang kita kenal saat ini yaitu Vienna

Convention on Diplomatic Relations 1961 (Konvensi Wina tentang Hubungan

5 Boer Mauna,Huk um Internasional Pengertian,Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamik a

Global, P.T.Alumni,Bandung,2011,hal.573.

6 Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Huk um Internasional, P.T. Alumni,

(3)

Diplomatik 1961) dan Vienna Convention on Consular Relations 1963 (Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler 1963). Kedua konvensi ini juga diikuti dengan protokol-protokol tambahannya selain konvensi-konvensi pendukung antara lain Convention on Special Mission (Konvensi tentang Misi Khusus) pada tahun 1969 dan Convention on Prevention and Punishment of Crimes against Internationally Protected Persons,including Diplomatic Agents (Konvensi mengenai Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan terhadap Orang-orang yang menurut Hukum Internasional dilindungi termasuk Para Diplomat) pada tahun 1971.

Hubungan antar negara secara umum dibagi dalam dua lembaga yaitu lembaga diplomatik dan lembaga konsuler. Seperti telah disebutkan di atas,lembaga konsuler telah ada terlebih dahulu dibanding lembaga diplomatik. Keduanya sama-sama mengurus hubungan antar negara di luar yurisdiksi nasional

yang pelaksanaannya berasal dari kebiasaan-kebiasaan internasional.

Perbedaannya, lembaga diplomatik mengurus bidang politis sementara lembaga konsuler mengurus bidang-bidang nonpolitis. Meskipun demikian, keduanya tetap mempunyai garis singgung karena dalam praktik antara urusan perwakilan

diplomatik dengan perwakilan konsuler sering terjadi pembauran7. Pembukaan

hubungan diplomatik dalam prinsipnya juga berarti persetujuan pembukaan

hubungan konsuler,kecuali secara spesifik tidak dinyatakan demikian.8 Tetapi

7 Widodo,op.cit,hal.24.

(4)

pemutusan hubungan diplomatik,tidak secara otomatis juga berarti pemutusan

hubungan konsuler.9

Kesepakatan antarnegara yang bersangkutan menjadi dasar bagi pembukaan hubungan konsuler. Hal ini ditegaskan dalam Konvensi Wina Tahun 1963 tentang Hubungan Konsuler Pasal 2 ayat 1, yang menyatakan bahwa pelaksanaan

hubungan konsuler antarnegara harus didasari oleh kesepakatan bersama.10 Kata

mutual consent’ dapat dijelaskan sebagai kesepakatan atau persetujuan bersama timbal balik antara negara-negara yang hendak membuka hubungan konsuler.Hal ini tidak berbeda dengan pembukaan hubungan diplomatik. Dapat diartikan bahwa suatu negara tidak berkewajiban menerima perwakilan konsuler dari negara asing,begitu juga suatu negara tidak dapat memaksakan negara lain untuk menerima perwakilan konsulernya. Agar hubungan konsuler antarnegara dapat terlaksana,maka negara-negara yang bersangkutan harus memliki kesepakatan satu sama lain terlebih dahulu untuk membuka hubungan konsuler.

Dalam menjalankan fungsi-fungsi hubungan konsuler,setelah pembukaan hubungan konsuler maka biasanya diikuti oleh pembukaan Kantor Konsuler dan pengangkatan Pejabat Konsuler. Mengenai Pejabat Konsuler sendiri, dalam Pasal 1 ayat (2) Konvensi Wina 1963 terdapat dua pembagian besar yaitu

Pejabat-pejabat Konsul Karier/Tetap (career consular officer) dan Pejabat-pejabat Konsul

Kehormatan (honorary consular officer). Hal ini merupakan salah satu perbedaan

antara Pejabat Konsuler dengan Pejabat Diplomatik. Dalam hubungan konsuler

9 Pasal 2 ayat 3 Konvensi Wina 1963. 10 Pasal 2 ayat 1 Konvensi Wina 1963.

(5)

diperbolehkan adanya Pejabat-pejabat Konsuler Kehormatan,sementara dalam hubungan diplomatik tidak dibenarkan yang demikian.

Meskipun dalam Konvensi Wina 1963 tidak memberikan secara jelas batasan dan perbedaan antara Pejabat Konsuler Karir dengan Pejabat Konsul

Kehormatan,secara umum,terdapat 4 pokok perbedaan antara keduanya,yaitu:11

1. Konsul karier merupakan pegawai tetap dari negara pengirim,karena itu

diangkat dari warga negara pengirim dan berstatus sebagai pegawai tetap departemen luar negeri negara pengirim.Sedangkan Konsul kehormatan biasanya tidak diangkat dari warga negara pengirim,tetapi cukup diangkat dari warga negara penerima atau warga negara pihak ketiga sehingga mungkin berprofesi sebagai pedagang atau pengusaha dan bukan merupakan pegawai tetap negara pengirim.Berdasar pada cara pemberian kontra prestasi atas pengabdiannya,konsul karier mendapat gaji,tunjangan dan pensiun dari negara pengirim,sedangkan konsul kehormatan hanya memperoleh honorarium sehingga konsul kehormatan sering juga disebut konsul honorer.

2. Konsul karier membayar pajak pada negara pengirim,dan dalam rangka

menunaikan tugas resminya konsul yang berstatus ini tidak boleh melakukan tugas lain (usaha sampingan) kecuali sebagaimana yang ditugaskan padanya.Konsul kehormatan membayar pajak pada negara penerima dan konsul berstatus honorer boleh menjalankan profesi lain selain membantu negara pengirim perwakilan konsuler.

(6)

3. Konsul karier beserta sanak keluarganya yang memenuhi persyaratan

sebagaimana yang ditentukan hukum yang berlaku memperoleh

kekebalan dan keistimewaan di negara penerima, sedangkan konsul kehormatan beserta sanak keluarganya tidak memperoleh kekebalan dan keistimewaan.

4. Pertukaran dan/atau pengiriman tas konsuler (consuler bag) antara dua

kantor perwakilan konsuler-konsuler yang dipimpin oleh pejabat-pejabat berstatus konsul kehormatan,tidak diperkenankan kecuali sudah ada persetujuan antara negara penerima perwakilan konsuler. Sedangkan pada perwakilan yang dipimpin oleh konsul karier,pertukaran dengan pola semacam itu tidak dipermasalahkan.

Terlepas dari perbedaan-perbedaan tersebut di atas,kantor konsuler yang dipimpin oleh Pejabat Konsul Kehomatan,pada dasarnya memiliki tugas dan fungsi yang tidak jauh berbeda dengan kantor konsuler yang dipimpin Pejabat Konsul Karir. Apabila ditelaah lebih lanjut,Konsul Kehormatan memiliki peran

yang serupa dengan proxenia pada zaman Yunani Kuno yang telah ada hampir

1000 tahun lebih dulu dari Konsul Karir. Tidak salah apabila Konsul Kehormatan dapat dianggap sebagai ‘ibu’ dari institusi konsuler.

Dalam praktik sekarang ini, banyak negara-negara kecil dan berkembang mengadakan hubungan konsuler dengan mengangkat konsul kehormatan. Namun demikian beberapa negara besar juga melaksanakan hubungan konsuler dengan membuka kantor perwakilan konsuler yang dikepalai oleh Pejabat Konsul Kehormatan. Hal ini karena pada abad ke-21, lembaga Konsul Kehormatan

(7)

dianggap sedang mengalami masa kebangkitan kembali atau istilahnya renaissance sebagai dampak dari perkembangan berkelanjutan di bidang komunikasi secara besar-besaran di satu sisi dan pengurangan penanaman

anggaran di bidang pelayanan-pelayanan diplomatik di sisi lain.12 Dari segi

ekonomi, dimana pengangkatan Konsul Kehormatan dirasakan jauh lebih hemat dibanding membuka Kantor Konsulat yang dikepalai Pejabat Konsul Karir.

Jerman merupakan salah satu negara besar yang memiliki banyak perwakilan konsuler yang dikepalai oleh Konsul Kehormatan di berbagai negara. Jerman memiliki 229 Perwakilan di luar negeri berupa; 153 Kedutaan, 55 Konsulat Jendral dan Konsulat, 12 Misi-misi Permanen dan 3 misi lainnya. Selain itu, sejauh ini Jerman juga memiliki 346 Konsul Kehormatan yang tidak digaji (unpaid Honorary Consul).13 Sementara untuk perwakilan Jerman di Indonesia, terdiri dari Kedutaan Besar Jerman dan beberapa Konsulat Kehormatan yang

terletak di Medan,Bali,dan Surabaya.14 Dari sini kita dapat mengetahui bahwa

lembaga Konsul Kehormatan sangat besar peranannya bagi Jerman dalam mengadakan hubungan konsulernya.

Indonesia sendiri mengakui keberadaan Konsul Kehormatan dalam

hubungan konsuler. Selain telah meratifikasi Konvensi Wina Tahun 1963 dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1982, yang berarti sesuai dengan konvensi yang

membedakan antara Pejabat Konsul Karir dengan Pejabar Konsul

12 http://pfeiffer-klestil.com/honorary-consulate/ diakses tanggal 20 Februari 2013

13 http://www.auswaertiges -amt.de/EN/AAmt/Auslandsvertretungen/Uebersicht_node.html

diakses tanggal 20 Februari 2013.

14http://www.auswaertiges

-amt.de/EN/Laenderinformationen/01-Laender/DeutscheAVen/Indonesien/DeutscheVertretungen_node.html diakses tanggal 20 Februari 2013

(8)

Kehormatan,Indonesia juga mengakui pembedaan tersebut. Selanjutnya dalam instrumen hukum nasional,Indonesia juga mengakui lembaga Konsul Kehormatan dengan disebutkannya mengenai Konsul Jendral Kehormatan atau Konsul Kehormatan dalam Pasal 38 Undang-Undang No.37 Tahun 1999 tentang

Hubungan Luar Negeri15 dan Keputusan Presiden No.108 Tahun 2003 tentang

Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri.16

Indonesia juga telah mengangkat 64 Konsul Kehormatan.17

Selanjutnya,dalam upaya memahami eksistensi Konsul Kehormatan dalam

hubungan konsuler,penulis mengambil contoh pada Konsul Kehormatan Jerman di Medan. Untuk mengetahui segala sesuatu mengenai pelaksanaan hubungan konsuler oleh Konsul Kehormatan yang diatur oleh hukum internasional maupun hukum nasional,melalui pelaksanaan hubungan konsuler antara Jerman dengan Indonesia selama ini melalui salah satu perwakilan konsuler Republik Federal Jerman di Indonesia,tepatnya di Medan Sumatera Utara yang dikepalai oleh Konsul Kehormatan.

15 UU No.37 Tahun 1999 Pasal 38 bunyinya;

(1) Presiden menandatangani Surat Tauliah bagi seorang Konsul Jenderal Kehormatan atau Konsul Kehormatan Republik Indonesia yang diangkat guna melaksanakan tugas konsuler untuk suatu wilayah tertentu pada suatu negara asing.

(2) Presiden menerima Surat Tauliah seorang Konsul Jenderal Kehormatan atau Konsul Kehormatan asing yang bertugas di Indonesia serta mengeluarkan eksekuatur.

16 Ketentuan Umum Pasal 1 poin 14 Kepres No.108 Tahun 2003,bunyinya; “Konsul

Jenderal Kehormatan dan Konsul Kehormatan adalah Warga Negara Penerima yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Luar Negeri yang memiliki kualifikasi tertentu untuk melaksanakan fungsi kekonsuleran dan/atau fungsi promosi di wilayah Negara Penerima.” Dan Pasal 27 yang bunyinya; “Pengangkatan Konsul Jenderal Kehormatan dan Konsul Kehormatan ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usul Menteri Luar Negeri.”

(9)

B.Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang di atas, adapun yang menjadi pokok permasalahan dari penelitian ini adalah :

1. Bagaimana ruang lingkup hubungan konsuler oleh Konsul

Kehormatan Jerman di Medan?

2. Bagaimana tugas dan fungsi Konsul Kehormatan Jerman di Medan

dalam hubungan konsuler?

3. Bagaimana kekebalan dan keistimewaan yang diperoleh Konsul

Kehormatan Jerman di Medan dalam menjalankan tugas dan fungsinya?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Sesuai dengan judul pokok permasalahan yang akan dibahas,maka tujuan dari penelitian dan penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui ruang lingkup hubungan konsuler oleh Konsul

Kehormatan Jerman di Medan.

2. Untuk mengetahui tugas dan fungsi Konsul Kehormatan Jerman di

Medan dalam hubungan konsuler?

3. Untuk mengetahui kekebalan dan keistimewaan yang diperoleh

Konsul Kehormatan Jerman di Medan dalam menjalankan tugas dan fungsinya?

(10)

Sedangkan manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis lakukan ini antara lain sebagai berikut :

1. Secara teoritis.

Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang

pada suatu saat memberikan sumbangan pemikiran bagi

perkembangan ilmu hukum,khususnya yang berkaitan dengan

eksistensi Konsul Kehormatan dalam hubungan konsuler.

2. Secara praktis

a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum,Institusi

Pemerintah dan Penegak Hukum di kalangan masyarakat.

b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan

dengan penegakan hukum maupun perkembangan ilmu

hukum.

c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk

menambah wawasan dalam bidang ilmu hukum,khususnya yang berkaitan dengan eksistensi Konsul Kehormatan dalam hubungan konsuler.

D. Keaslian Penelitian

Adapun judul dari skripsi ini adalah “TINJAUAN HUKUM

INTERNASIONAL MENGENAI EKSISTENSI KONSUL KEHORMATAN (HONORARY CONSUL) DALAM HUBUNGAN KONSULER (STUDI KASUS : KONSUL KEHORMATAN JERMAN DI MEDAN)”. Pembahasan pada skripsi

(11)

ini dititikberatkan untuk melihat eksistensi Konsul Kehormatan dalam pelaksanaan hubungan konsuler yang ditinjau menurut Hukum Internasional.

Berdasarkan penelitian dan pemeriksaan terhadap inventarisasi skripsi di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dilakukan oleh penulis,ada beberapa skripsi yang membahas mengenai hubungan konsuler,namun dengan redaksi judul yang berbeda dan pendekatan sudut pandang yang berbeda pula,sehingga dengan kata lain judul ini belum pernah ditulis sebelumnya.

E. Tinjauan Pustaka

Definisi Hukum Internasional dapat disimpulkan sebagai seperangkat sistem yang terdiri dari aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang mengatur hubungan internasional antara negara-negara berdaulat maupun subjek-subjek hukum

internasional lainnya.18 Lebih singkat lagi, Steven Wheatley menyatakan Hukum

Internasional biasanya dianggap oleh para praktisi Hukum Internasional sebagai hukum yang diterapkan antara negara-negara. Perhatian utamanya adalah hak dan kewajiban negara-negara.Namun definisi-definisi singkat di atas belum cukup rasanya untuk memahami Hukum Internasional dengan lebih mendalam apabila tidak diikuti oleh definisi-definisi lainnya oleh para pakar Hukum Internasional yang lebih mendetail dan spesifik.

Untuk pertama, definisi Hukum Internasional oleh J.G. Starke yang dapat melampaui batasan tradisional hukum internasional menyebutkan bahwa Hukum Internasional sebagai keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari

18 Martin Dixon, International Law Fourth Edition, Blackstone Press Limited, London,

(12)

prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain,dimana hubungan

tersebut meliputi19:

1. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya

lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan mereka satu sama lain, dan hubungan mereka dengan negara-negara dan individu-individu.

2. Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu

dan badan-badan non-negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan badan non-negara tersebut penting bagi masyarakat internasional. Pada hakikatnya Hubungan Internasional dari segi subjeknya memiliki beberapa pembagian. Hubungan Internasional dapat berwujud dalam berbagai

bentuk yaitu 20:

1) Hubungan individual, misalnya turis, mahasiswa, sarjana, pedagang dan

sebagainya, mempunyai kepentingan yang tersebar di dunia ini. Mereka mengadakan kontak-kontak pribadi sehingga timbul kepentingan timbal balik di antara mereka.

2) Hubungan antar kelompok (inter group relations) misalnya

lembaga-lembaga sosial, keagamaan, atau perdagangan dan sebagainya, dapat

19 J.G. Starke, Pengantar Huk um Internasional Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta,

2008, hal 3.

20 Sumarsono Mestoko, Indonesia dan Hubungan Antarbangsa, Sinar Harapan, Jakarta,

(13)

pula mengadakan hubungan baok yang bersifat insidental,periodik, maupun permanen.

3) Hubungan antar negara. Negara adalah kelompok yang terdiri dari

individu- individu dengan ciri-ciri yang sangat khusus.

Ada beberapa pembagian terhadap subjek Hukum Internasional oleh

Mochtar Kusumatmadja,yang terdiri dari 21:

1. Negara

2. Takhta Suci (Vatican)

3. Palang Merah Internasional

4. Organisasi Internasional

5. Orang perorangan (individu)

6. Pemberontak dan pihak dalam sengketa (belligerent)

Negara sendiri menurut Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 yang telah dipandang sebagai prinsip-prinsip hukum umum tentang keberadaan suatu negara menurut Hukum Internasional,mengemukakan 4 (empat) unsur-unsur negara terdiri dari :

1. Adanya penduduk yang tetap (a permanent population)

2. Memiliki wilayah yang jelas (a defined territory)

3. Adanya pemerintah (a government)

4. Adanya kemampuan untuk melakukan kerjasama dengan

negara-negara lainnya (a capacity to enter into relations with other states)

(14)

Hubungan konsuler bahkan telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno sebelum

dikenalnya istilah negara ,dimana dalam kegiatan perdagangan antar city-states

(negara kota) diangkatlah proxenia, yaitu semacam pejabat atau warga terkemuka

yang dipercayakan oleh suatu negara asing untuk melindungi warga negaranya di wilayah negara proxenia itu sendiri. Praktek ini terus berlanjut hingga zaman Romawi. Pada bagian kedua abad ke-18,dengan pesatnya perkembangan perdagangan internasional,perkapalan dan pelayaran,perkembangan peranan lembaga konsuler semakin meningkat hingga keberadaan dan peranannya tidak berbeda dengan lembaga konsuler modern yang dikenal sekarang.

Mengenai pengaturan hubungan konsuler, sejak semula dapat dikatakan pengaturan tersebut berasal dari persetujuan-persetujuan bilateral antarnegara

yang berkepentingan. Untuk menlengkapi persetujuan-persetujuan tersebut,

banyak negara yang membuat peraturan perundang-undangan nasional yang kemudian diikuti dengan lahirnya kebiasaan umum yang berasal dari

ketentuan-ketentuan bilateral ataupun unilateral oleh negara-negara tersebut.22

Setelah berakhirnya Perang Dunia II,Komisi Hukum Internasional, mulai tahun 1955,melakukan kodifikasi tentang hubungan konsuler. Pada tahun 1963 diadakan konferensi kodifikasi di Wina yang merupakan lanjutan dari penerimaan Konvensi Hubungan Diplomatik tahun 1961 dan pada 24 April 1963 lahirlah Konvensi Hubungan Konsuler yang mulai berlaku bulan Maret 1967.Indonesia

telah meratifikasi Konvensi tersebut dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1982.23

22 Gerhard von Glahn, Law Among Nations, Seventh Edition,MacMillan Publishing

Inc,New York,1996, hal.446.

(15)

Pasal 1 ayat (1) Konvensi Wina 1963 memberikan batasan-batasan istilah yang digunakan dalam konvensi tersebut antara lain:

1. Kantor Konsuler, yaitu suatu Konsulat Jenderal, Konsulat, Wakil

Konsulat (Konsul Muda), atau Perwakilan Konsulat;

2. Wilayah Konsuler, adalah wilayah yang ditetapkan untuk kantor

konsulat dalam menjalankan fungsi resminya;

3. Kepala Kantor Konsuler adalah orang yang diberi tugas untuk bertindak

dalam kapasitasnya sebagai kepala kantor konsuler;

4. Pejabat Konsuler adalah setiap orang, termasuk kepala kantor konsuler

yang diberi kepercayaan dalam kapasitasnya masing-masing untuk melaksanakan fungsi-fungsi konsuler;

5. Pegawai Konsuler adalah setiap orang yang bekerja dalam pelayanan

teknik atau administratif pada suatu kantor konsuler;

6. Anggota Staf Pelayan adalah setiap orang yang bekerja dalam

pelayanan domestik (dalam negeri negara penerima) dari suatu kantor konsuler;

7. Anggota-Anggota Kantor Konsuler adalah pejabat-pejabat konsuler dan

anggota-anggota staf pelayan;

8. Anggota-Angota Staf Konsuler adalah pejabat-pejabat konsuler selain

kepala kantor konsuler, pegawai-pegawa konsuler dan anggota – anggota staf pelayan;

9. Anggota Staf Pribadi adalah setiap orang yang bekerja secara khusus

(16)

10. Gedung Konsuler adalah bangunan-bangunan (gedung-gedung) atau bagian dari bangunan tersebut dan tanah-tanah yang mendukungnya dengan tanpa memandang status kepemilikannya yang dapat digunakan secara khusus untuk tujuan-tujuan kantor konsuler;

11. Arsip-Arsip Konsuler adalah semua naskah,dokumen, surat-menyurat,

buku, film,pita (kaset) dan berbagai daftar dari kantor konsuler, termasuk sandi-sandi dan kode-kode, kartu indeks, dan setiap barang yang dimaksudkan untuk melindungi dan menjaga keselamatan benda-benda tersebut.

Pejabat Konsuler Kehormatan merupakan salah satu dari dua pembagian terhadap Pejabat Konsuler yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 2 Konvensi Wina 1963,satunya lagi adalah Pejabat Konsuler Karir,dan pengaturan diantara keduanya dibedakan. Ketentuan mengenai Kantor Konsuler yang dikepalai

Pejabat Konsuler Karir diatur dalam Chapter II Konvensi Wina 1963, sedangkan

terhadap Kantor Konsuler yang dikepalai Pejabat Konsuler

Kehormatan,ketentuannya diatur dalam Chapter III Konvensi Wina 1963. Status

bagi anggota Kantor Konsuler yang merupakan warga negara atau penduduk tetap negara penerima diatur dalam Pasal 71 Konvensi Wina 1963.

Pengaturan mengenai hubungan konsuler dalam produk hukum nasional terdapat dalam Undang Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Keputusan Presiden No.108 Tahun 2003 tentang Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri.

(17)

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini,metode penelitian diperlukan agar lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif. Metode penelitian yuridis normatif digunakan dalam penelitian ini guna melakukan penelusuran terhadap

norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan mengenai

hubungan konsuler yang berlaku, baik hukum internasional maupun hukum nasional. Selain itu juga untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, situs internet,

koran, dan sebagainya.24

Penggunaan metode yuridis normatif dimaksudkan untuk meneliti berbagai bacaan yang mempunyai sumber relevansi dengan judul skripsi ini yang dapat diambil secara teoritis ilmiah sehingga dapat menganalisa permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini. Penelitian hukum normatif seringkali hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah berpatokan pada perilaku manusia yang

dianggap pantas.25

24 Sunaryati Hartono, Penelitian Huk um di Indonesia Pada Ak hir Abad k e -20,Penerbit

Alumni, Bandung,1994,hal. 139.

25 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Huk um,P.T. Raja Grafindo

(18)

2. Sumber Data

Pada umumnya dalam penelitian,dikenal tiga jenis alat pengumpulan data yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi dan

wawancara atau interview.

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah berupa data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan yang diperoleh dengan melakukan wawancara dengan informan yang merupakan narasumber yang terkait dengan penelitian,yaitu : Konsul Kehormatan Jerman di Medan.

Selain itu, dalam penulisan skripsi ini juga digunakan data sekunder yang terdiri atas :

1. Bahan hukum primer,yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang

merupakan landasan utama yang digunakan dalam penulisan skripsi ini. Seperti : Konvensi-Konvensi hukum internasional, berbagai peraturan perundang-undangan seperti; Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,dll

2. Bahan hukum sekunder,yaitu bahan hukum yang menunjang,yang

memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku, dan pendapat para ahli hukum.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan

dari bahan hukum primer dan sekunder, berupa Kamus Hukum,dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

(19)

3. Analisis Data

Teknik analisis data yang dipergunakan menggunakan metode penelitian deskriptif analitis,yaitu analisis data yang mempergunakan pendekatan kualitatif terhadap data sekunder. Deskriptif tersebut meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan yang

menjadi objek kajian.26

4. Teknik Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan terhadap data yang berhasil dikumpulkan dengan mempergunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif maupun secara induktif. Pada proses deduktif, bertolak dari suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui (diyakini) dan berakhir pada suatu kesimpulan

(pengetahuan baru) yang bersifat lebih khusus.27

Sedangkan pada prosedur induktif, proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada suatu kesimpulan

(pengetahuan baru) berupa asas umum.28

Penarikan kesimpulan terhadap data yang berhasil dikumpulkan dilakukan dengan mempergunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif maupun secara induktif, sehingga akan dapat diperoleh jawaban terhadap permasalahan- permasalahan yang telah disusun

26 H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Huk um, Sinar Grafika, Jakarta,2009,hal. 175-177. 27 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Huk um, P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2007, hal.11

(20)

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab,dimana tiap bab terbagi lagi atas tiap sub-sub bab,agar mempermudah pemaparan materi dari skripsi ini yang digambarkan sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan. Sub bab ini merupakan gambaran umum yang

berisi tentang, Latar Belakang Masalah, Perumusan

Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian

Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian,dan

Sistematika Penulisan.

BAB II : Pembahasan mengenai kaitan antara hubungan konsuler dengan Konsul Kehormatan. Bab ini akan memberikan

penjelasan yang dimulai dengan sejarah hubungan

konsuler,pembukaan hubungan konsuler, adanya klasifikasi Pejabat Konsuler menurut Konvensi Wina 1963,kemudian

mengenai pengangkatan Konsul Kehormatan dan

pelaksanaan hubungan konsuler oleh Konsul Kehormatan Jerman di Medan.

BAB III : Pembahasan mengenai peranan Perwakilan Konsuler. Dalam bab ini menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan masa mulai dan berakhirnya tugas dan fungsi Perwakilan Konsuler,tugas dan fungsi Perwakilan Konsuler serta kelonggaran dalam pelaksanaannya. Kemudian tugas dan fungsi Konsul Kehormatan Jerman di Medan.

(21)

BAB IV : Pembahasan mengenai aspek keistimewaan dan kekebalan. Bab ini memberikan penjelasan tentang keistimewaan dan kekebalan bagi Perwakilan Konsuler dan anggotanya. Kemudian masa mulai dan berakhirnya keistimewaan dan

kekebalan tersebut. Selanjutnya adalah perbedaan

keistimewaan dan kekebalan antara Pejabat Konsuler Karir dengan Pejabat Konsul Kehormatan serta fasilitas yang diperoleh Konsul Kehormatan Jerman di Medan.

BAB V : Kesimpulan dan Saran. Merupakan rangkaian dari bab-bab

sebelumnya yang memuat kesimpulan berdasarkan uraian skripsi ini dilengkapi dengan saran-saran.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengujian yang diperoleh bahwa kebijakan leverage secara signifikan berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan telah terbukti kebenarannya dan kebijakan dividen

Pelanggaran berat adalah pelanggaran terhadap kode etik dan tata tertib yang dapat menimbulkan kerugian moral dan material, serta tidak dapat dibina

a. Memberitahukan kepada petugas Indomaret/Alfamart mengenai waktu keberangkatan serta relasi kereta yang akan dipesan. Menyerahkan kartu identitas dan nomor telepon untuk

Seiring dengan berkembangnya teknologi khususnya teknologi animasi, dapat dimanfaatkan tidak hanya dalam membuat gambar vektor dan video tetapi dengan adanya perkembangan

Penerapan halal lifestyleI sudah banyak dilakukan pada berbagai bidang tersebut, jika dalam pasar modal syariah penerapan halal lifestyle dengan mengubah investasi dalam

Jika orang mencuri siang hari di luar rumah di dusun atau di ladang buah- buah ayam atau bebek barang yang ketinggalan di luar rumah seperti bubu jalla kain-kain dan

Merujuk pada Rencana Strategis yang bersifat umum maka dalam Rencana Operasional secara rinci akan dipaparkan rencana Fakultas Dakwah dan Ushuluddin mencakup misi,

Oleh karena itu diperlukan keseimbangan antara persediaan volume produksi air dengan kebutuhan air pada konsumen dan untuk menyelesaiakan persoalan yang ada