ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI
PASCA TAHUN 1974
(Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga
Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Muhammad Imron
21112001
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2017
ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI
PASCA TAHUN 1974
(Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga
Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Muhammad Imron
21112001
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2017
Heni Satar Nurhaida, SH., M.Si Dosen IAIN Salatiga
PENGESAHAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplarHal : Pengajuan Naskah Skripsi
KepadaYth.
Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka
naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Muhammad Imron
NIM : 211-12-001
Judul : ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI PASCA
TAHUN 1974 (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL)
Dapat diajukan kepada Fakultas Syariah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam
sidang munaqosyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan
sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 14 Februari 2017
Pembimbing,
Heni Satar Nurhaida SH., M.Si NIP.197011271999032001
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS SYARI’AH
Jl. Lingkar Selatan Km. 2 Pulutan Salatiga Telp. (0298) 6031364
Website:www.iainsalatiga.ac.idEmail:administrasi@iainsalatiga.ac.id
PENGESAHAN
Skripsi Berjudul:
ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI PASCA TAHUN 1974 (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga Nomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL)
Oleh:
MUHAMMAD IMRON NIM 211-12-001
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada tanggal 27 Februari 20176dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH).
Dewan Sidang Munaqosyah:
Ketua Penguji : Mahfud
Sekretaris Penguji : Heni Satar Nurhaida, SH., M.Si
Penguji I : Sukron Ma’mun
Penguji II : Lutfiana Zah
Salatiga, 14 Februari 2017
Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga,
Dra. Siti Zumrotun, M.Ag
NIP. 19670115 199803 2 002 KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS SYRI’AH
Jl. Lingkar Selatan Km. 2 Pulutan Salatiga Telp. (0298) 6031364
Website:www.iainsalatiga.ac.idEmail:administrasi@iainsalatiga.ac.id
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Muhammad Imron
NIM : 211-12-001
Jurusan : Hukum Keluarga Islam
Fakultas : Syariah
Judul : ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI PASCA TAHUN 1974
(Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang
lain yang terdapatdalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga,14 Februari 2017
Yang menyatakan,
Muhammad Imron
NIM: 211-12-001
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Tidak perlu menjadi yang terbaik,
cukup dengan melakukan yang terbaik…
PERSEMBAHAN
Untuk orang tua tercintaku
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin, puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT, Robbi yang Maha Rahman dan Maha Rahim yang telah menciptakan
manusia dengan sebaik-baiknya bentuk. Dengan petunjuk dan tuntunan-Nya, penulis
mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Agung Nabi
Muhammad SAW, yang telah membimbing kita dari jaman kebodohan menuju zaman
yang terang benderang yang penuh dengan ilmu pengetahuan, sehingga dapat
menjadikan kita bekal hidup kita baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Sebagai insan yang lemah dan penuh dengan keterbatasan, penulis menyadari bahwa
tugas penulisan ini bukanlah tugas yang ringan, tetapi merupakan tugas yang berat.
Akhirnya dengan berbekal kekuatan, kemauan dan bantuan semua pihak, maka
penyusunan skripsi dengan judul: “ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI
PASCA TAHUN 1974 (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama
Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL)” ini bisa terselesaikan.
Dengan terbentuknya skripsi ini, penulis haturkan banyak terima kasih yang tiada
taranya kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Haryadi, M. Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Ibu Siti ZumrotunM.Ag., selaku Dekan Fakultas Syariah.
3. Bapak Sukron Ma’mun, S.H.I.,M.Si.,selaku Kajur Hukum Keluarga Islam.
4. Ibu Heni Satar Nurhaida SH., M.Si.,selaku Dosen Pembimbing Skripsi.
5. Ketua Pengadilan Agama Salatiga
6. Bapak Ibu Dosen Syariah IAIN Salatiga.
7. Orang tua tercinta dan semua saudara-saudaraku.
8. Bapak/IbuPengurus maupun Pengasuh Panti Asuhan Daar Al Yatama
Tengaran
9. KAMMI Komisariat Salatiga.
10.Dan kepada semua teman-temanku yang sangat membantuku dalam
penyelesaian skripsi ini, khususnya Muhammad Husain.
Atas segala hal tersebut, penulis tidak mampu membalas apapun selain hanya
memanjatkan doa, semoga Allah SWT mencatat sebagai amal sholeh yang akan
mendapat balasan yang berlipat dari Allah SWT. Aamiin yaa robbal ‘aalamiin.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak kekurangannya, untuk
itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna
kesempurnaan skripsi ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini nantinya dapat bermanfaat,
khususnya bagi Almamater dan semua pihak yang membutuhkannya.
Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terima kasih.
Salatiga, 14 Februari 2017
Penulis
ABSTRAK
Imron, Muhammad. 2016. Isbat Nikah Terhadap Nikah Siri Pasca Tahun 1974 (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL). Skripsi. Jurusan Hukum Keluarga Islam. Fakultas Syariah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Heni Satar Nurhaida SH,.M.Si.,
Kata Kunci: Penetapan Isbat Nikah terhadap nikah siri pasca tahun 1974 oleh Pengadilan Agama Salatiga
Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui dasar hukum dan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam mengabulkan isbat nikah terhadap nikah siri pasca tahun 1974. Pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: (1) Mengapa permohonan isbat nikah terhadap nikah siri pasca tahun 1974 pada permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL dikabulkan?; (2) Bagaimanakah pertimbangan hukum majelis hakim dalam mengabulkan isbat nikah pada permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan Yuridis Normatif, yaitu suatu pendekatan untuk menemukan apakah suatu perbuatan hukum itu sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku atau tidak. Sedangkan jenis penelitian ini adalah Penelitian Kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya.
Temuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa isbat nikah terhadap nikah siri pasca tahun 1974 dikabulkan dan bagaimanakah dasar pertimbangan hukumnya. Berdasarkan penelitian, alasan utama dikabulkannya isbat nikah terhadap nikah siri pasca tahun 1974 adalah karena para Pemohon sudah dikaruniai seorang anak, dan perkawinan yang para pemohon lakukan sudah sesuai dengan agama Islam. Dasar hukum pertimbangan Majelis Hakim adalah dengan berijtihad, melakukan diskresi hukum.
DAFTAR ISI
JUDUL ... i
LEMBAR BERLOGO ... ii
JUDUL ... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv
PENGESAHAN KELULUSAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
ABSTRAK ... x
DAFTAR ISI ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Kegunaan Penelitian ... 7
E. Penegasan Istilah ... 7
F. Tinjauan Pustaka ... 8
G. Metode Penelitian ... 12
H. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pernikahan ... 19
a. Pengertian Pernikahan ... 19
b. Hukum Pernikahan ... 20
c. Rukun dan Syarat Sahnya Pernikahan ... 22
B. Pernikahan Siri ... 26
a. Pengertian Nikah Siri ... 26
b. Hukum Pernikahan Siri ... 27
c. Pendapat Para Ahli tentang Nikah Siri ... 33
d. Hal-hal yang Melatarbelakangi Terjadinya PernikahanSiri ... 35
e. Dampak Praktik Pernikahan Siri ... 36
f. Pengesahan Pernikahan Siri ... 37
C. Isbat Nikah ... 40
a. Pengertian dan Dasar Hukum Isbat Nikah ... 40
b. Hal-hal yang Boleh Diajukannya Permohonan Isbat Nikah .... 44
c. Pihak-pihak yang Bisa Mengajukan Isbat Nikah ... 45
d. Prosedur Isbat Nikah ... 45
BAB III HASIL PENELITIAN A. Profil Pengadilan Agama Salatiga ... 50
a. Sejarah Pengadilan Agama Salatiga ... 50
b. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Salatiga ... 56
c. Visi dan Misi Pengadilan Agama Salatiga ... 57
d. Struktur Pengadilan Agama Salatiga ... 58
e. Kewenangan Pengadilan Agama Salatiga ... 58
B. Penetapan Isbat Nikah Siri Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL ... 60
a. Duduk Perkara Pada Permohonan Penetapan Isbat Nikah Siri Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL 60 b. Penyelesaian Permohonan Penetapan Isbat Nikah Siri Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL ... 62
c. Dasar Pertimbangan Hukum Penetapan Isbat Nikah Siri
Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL 67
BAB IV ANALISIS PENETAPAN ISBAT NIKAH SIRI PENGADILAN AGAMA SALATIGA NOMOR 0076/Pd.P/2014/PA.SAL
A. Dikabulkannya Permohonan Isbat Nikah Siri Oleh Majelis Hakim
Pengadilan Agama Salatiga pada Permohonan Nomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL ... 72
a. Pertimbangan Majelis Hakim dalam Menetapkan Permohonan
Isbat Nikah ... 72
b. Analisis Dikabulkannnya Permohonan Isbat Nikah Siri Oleh
Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga pada Permohonan
Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL ... 73
B. Analisis Dasar Pertimbangan Hukum Majelis Hakim terhadap
Penetapan Isbat Nikah SiriPengadilan Agama Salatiga Nomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL ... 78
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 85
B. Saran ... 87
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan adalah salah satu sunatullah yang umum berlaku pada
semua makhluk Allah, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhan,
sebagaimana firman Allah dalam surat Adz-Dzariyat ayat 49 yang artinya:
“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah” (Sabiq, 1980:7).
Perkawinan mempunyai tujuan seperti dalam Undang-undang No. 1
Tahun 1974 pada pasal 1 yang disebutkan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tujuan perkawinan dalam Islam
adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan antara
laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga
sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya (Basyir, 2007:13).
Setiap calon pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan
hendaknya memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan itu
sendiri.Seperti rukun dan syarat sahnya perkawinan. Di Indonesia, suatu
perkawinan wajib hukumnya untuk dicatatkan sebagaimana bunyi pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974: “Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Dalam hal pencatatan perkawinan ini juga diatur dalam pasal 5
Kompilasi Hukum Islam. Adapun bunyi pasal tersebut adalah:
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22
Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954.
Selanjutnya, di pasal 6 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan lebih lanjut
yaitu:
(1) Untuk memenuhi ketentuan pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah.
(2) Perkawinan yang dilangsungkan di luar pengawasan Pegawai Pencatat
Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Meskipun telah dipaparkan secara jelas dalam undang-undang, namun
pada praktiknya pernikahan yang tidak dicatatkan masih banyak terjadi.
Pernikahan yang tidak dicatatkan ini disebut dengan nikah siri.Ada banyak
faktor yang menyebabkan nikah siri tumbuh subur di kalangan masyarakat
Indonesia.Akan tetapi, nikah siri tetap dianggap illegal dan tidak berkekuatan
hukum, karena tidak ada bukti otentik berupa akta nikah, sehingga tidak
mendapat perlindungan hukum dari negara.
Untuk memberikan legitimasi nikah siri atau perkawinan yang tidak
dicatatkan kadang ditempuh dengan permohonan isbat nikah ke Pengadilan
Agama.Isbat nikah yang sering disebut dengan pengesahan nikah adalah
kewenangan Pengadilan Agama yang merupakan perkara voluntair.Perkara
voluntair adalah perkara permohonan yang hanya terdiri dari pemohon
saja.Oleh karena itu, perkara voluntair tidak disebut sebagai perkara karena
tidak ada pihak lawan atau tidak ada objek hukum yang disengketakan.
Dalam pasal 49 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Pengadilan Agama yang telah dirubahdengan Undang-Undang No. 3 Tahun
2006 dan terakhir dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009, kompetensi
absolutePengadilan Agama diantaranya adalah isbat nikah, yaitu pernyataan
tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Landasan yuridis isbat nikah terdapat dalam pasal 49 ayat (2)
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006.Dari ketentuan tersebut, dapat dirumuskan bahwa
kompetensi absolute Pengadilan Agama tentang isbat nikah adalah
perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, bukan
perkawinan yang sesudahnya.
Dalam praktik, permohonan isbat nikah yang diajukan ke Pengadilan
Agama sekarang ini pada umumnya sekitar 95% adalah perkawinan yang
dilangsungkan pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Yang menjadi pertanyaan, dapatkah Pengadilan Agama
mengisbatkan perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?
Dalam Pasal 49 huruf (a) angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006
dapat dipahami bahwa perkawinan (termasuk nikah yang tidak
dicatatkan/nikah siri) yang diajukan ke Pengadilan Agama untuk diisbatkan
hanyalah perkawinan yang dilakukan sebelum diundangkannya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Oleh karena ketentuan tersebut, tidak memberi
sinyal kebolehan Pengadilan Agama untuk mengisbatkan perkawinan yang
dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, meskipun
perkawinan itu telah dilakukan menurut ketentuan hukum Islam(terpenuhi
rukun dan syaratnya) tapi tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah,
maka perkawinan itu tidak boleh diisbatkan oleh Pengadilan Agama.
Pengabulan permohonan isbat nikah oleh Pengadilan Agama terhadap
perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 didasarkan pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). DalamPasal 7
ayat (2) dan ayat (3) Kompilasi Hukum Islam disebutkan:
(1) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat
diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(2) Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai
hal-hal yang berkenaan dengan:
a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
b. Hilangnya Akta Nikah;
c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan;
d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang
N0. 1 Tahun 1974; dan
e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai
halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Dari pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam di atas, telah jelas
disebutkan batasan-batasan dibolehkannya melakukan isbat nikah. Akan
tetapi, di Pengadilan Agama Salatiga pada tahun 2014 lalu telah mengabulkan
isbat nikah terhadap nikah siri dari sepasang suami isteri yang telah
melangsungkan perkawinannya pasca tahun 1974. Hal ini berarti bahwa
Pengadilan Agama Salatiga melegitimasi dan mengakui perkawinan yang
melanggar hukum. Di samping itu, secara sosiologis pengkabulan isbat nikah
terhadap perkawinan yang yang dilakukan setelah berlakunya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 akan menumbuhsuburkan praktik nikah siri di
masyarakat, karena pada akhirnya perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah
siri) itu dapat diisbatkan oleh Pengadilan Agama.
Hal inilah yang menurut penulis menarik untuk diteliti, karena
penetapan Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga pada perkara No.
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL tentang pengkabulan isbat nikah tersebut tidak
sesuai dengan apa yang telah diatur dan ditentukan dalam pasal 7 ayat (3)
Kompilasi Hukum Islam.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulis akan mencoba meneliti
lebih dalam melalui penulisan skripsi yang berjudul ISBAT NIKAH TERHADAPNIKAH SIRI PASCA TAHUN 1974(Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL)
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa permohonan isbat nikahterhadap nikah siri pasca tahun 1974
pada permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL dikabulkan?
2. Bagaimanakah pertimbangan hukum majelis hakim dalam mengabulkan
isbat nikah pada permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui alasan-alasan dikabulkannya isbat nikah terhadap nikah
siri pasca tahun 1974 pada permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL.
2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum majelis hakim dalam
mengabulkan isbat nikah permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL.
D. Kegunaan Penelitian 1. Secara Teoritis
a. Dapat menambah pengetahuan dalam mempelajari dan mendalami
ilmu hukum, khususnya tentang permohonan isbat nikah di Pengadilan
Agama.
b. Untuk pengembangan ilmu hukum dan penelitian hukum, serta
berguna sebagai masukan bagi praktik penyelenggara di bidang hukum
perkawinan, terutama terkait dengan masalah isbat nikah masa kini
dan masa yang akan datang.
2. Secara praktis:
Penelitian ini bermafaat untuk mendapatkan gelar sarjana bagi penulis.
E. Penegasan Istilah
Untuk menghindari adanya kesalahpahaman dalam penelitian ini,
maka perlu penulis kemukakan pengertian istilah-istilah yang ada dalam judul
skripsi ini, yakni sebagai berikut:
1. Isbat Nikah adalah cara yang dapat ditempuh oleh pasangan suami isteri
yang telah menikah secara sah menurut hukum agama untuk mendapatkan
pengakuan dari Negara atas pernikahan yang telah dilangsungkan oleh
keduanya beserta anak-anak yang lahir selama pernikahan, sehingga
pernikahannya tersebut berkekuatan hukum.
2. Nikah Siri adalahpernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang
ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di
instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
3. Pasca tahun 1974 adalah sesudah tahun 1974.
F. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang isbat nikah ini berpotensi mempunyai kesamaan
dengan penelitian-penelitian yang pernah ada sebelumnya. Maka dari itu,
penulis akan memaparkan gambaran umum tentang penelitian-penelitian isbat
nikah yang sebelumnya. Adapun tujuan dari pemaparan tersebut adalah untuk
menghindari penelitian ulang yang sama persis, sehingga penelitian kali ini
benar-benar beda dari penelitian yang pernah dilakukan orang lain.
Adapun penelitian-penelitian yang pernah ada sebelumnya tentang
isbat nikah adalah sebagai berikut:
1. Skripsi karya Asa Maulida Sulhah, Jurusan Syariah Program Studi Ahwal
Al-Syakhshiyyah STAIN Salatiga 2012 yang berjudul “Pelaksanaan Isbat
Nikah Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga)”.
Dalam penelitian tersebut terdapat tiga rumusan masalah, yaitu:
1) Faktor apa yang mendorong masyarakat Salatiga untuk melaksanakan
isbat nikah?
2) Bagaimana pelaksanaan isbat nikah di Pengadilan Agama Salatiga?
3) Apakah pertimbangan hakim dalam memutuskan isbat nikah tersebut?
Adapun hasil penelitian dari rumusan masalah di atas adalah sebagai
berikut:
1) Faktor pendorong masyarakat Salatiga untuk mengajukan isbat nikah
adalah karena akta nikah hilang.
2) Untuk mengajukan permohonan isbat nikah, pemohon harus mendaftar
ke PA setempat dengan membawa surat permohonan isbat nikah.
Setelah itu membayar panjar biaya perkara, dan menunggu panggilan
sidang. Tata cara persidangannya pun sama dengan persidangan
lainnya, yaitu pembacaan permohonan, keterangan pemohon,
pembuktian, kesimpulandan penetapan.
3) Dasar pertimbangan Hakim dalam menetapkan isbat nikah adalah UU
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan BAB II KHI tentang
Dasar-dasar Perkawinan. Selain itu, Majelis Hakim juga melihat
fakta-fakta hukum yang timbul dari keterangan pemohon, surat bukti dan
keterangan saksi.
2. Skripsi yang berjudul “Isbat Nikah dalam Rangka Poligami (Studi Putusan
Pengadilan Agama Ambarawa Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)”.
Dalam skripsi karya Achmad Kurniawan, Jurusan Syariah Program Studi
Ahwal Al-Syakhshiyyah STAIN Salatiga 2014 tersebut terdapat dua
rumusan masalah, yaitu:
1) Bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan isbat nikah dalam
rangka poligami?
2) Apakah dasar hukum hakim dalam menetapkan isbat nikah dalam
rangka poligami?
Adapun hasil penelitian dari rumusan masalah di atas adalah sebagai
berikut:
1) Dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan isbat nikah dikarenakan
seluruh syarat dan rukun nikah pemohon tidak ada yang dilanggar dan
tidak ada indikasi penyimpangan serta penyalahgunaan terhadap
perkawinan tersebut. Isbat nikah pemohon hanya untuk kepentingan
pencatatan dan masa depan anak, dan hakim melihat pada aspek
“Dar’ul mafaasidi muqoddamun ‘ala jalbil mashalihi”.
2) Dasar hukum Majelis Hakim dalam menetapkan isbat nikah dalam
rangka poligami adalah Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974,
bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya. Meskipun perkawinan
tersebut tidak dilakukan dihadapan PPN, namun perkawinan tersebut
tetap dianggap sah dan kemudian bisa diisbatkan.
3. Skripsi yang berjudul “Kewenangan Pengadilan Agama dalam Mengadili
Isbat Nikah pada Perkawinan yang Dilaksanakan Pasca Berlakunya UU
Perkawinan (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama
Mungkid Nomor: 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd)” karya Widodo, Jurusan
Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah IAIN Salatiga 2015, yang mana
dalam penelitian tersebut terdapat dua rumusan masalah, yaitu:
1) Apa dasar hukum dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama
Mungkid mengabulkan permohonan isbat nikah perkara Nomor:
0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd?
2) Bagaimana kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili isbat
nikah menurut Undang-Undang No. 3 tahun 2006 dan Kompilasi
Hukum Islam?
Adapun hasil penelitian dari rumusan masalah di atas adalah sebagai
berikut:
1) Dasar hukum yang dijadikan landasan Majelis Hakim adalah Pasal 7
ayat 3 huruf (e) KHI, diperkuat dengan pengakuan para pihak. Alasan
lain yang dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam mengabulkan
permohonan para pemohon adalah pertimbangan maslahah bagi
masyarakat.
2) Kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili permohonan isbat
nikah diatur dalam Penjelasan Pasal 49 huruf (a) angka 22 UU No. 3
Tahun 2006. Tidak ada pertentangan antara ketentuan menurut Pasal
49 huruf (a) angka 22 UU No. 3 Tahun 2006 dengan Pasal 7 ayat (3)
KHI. Penggunaan KHI sebagai dasar hukum oleh Hakim adalah
sebagai pengisi kekosongan hukum yang mengatur isbat nikah pada
perkawinan pasca UU Perkawinan. Dikarenakan UU No. 3 Tahun
2006 hanya mengatur tentang isbat nikah pada perkawinan sebelum
berlakunya UU Perkawinan, serta tidak ada pasal dalam UU tersebut
yang melarang Pengadilan Agama mengesahkan perkawinan yang
dilakukan setelah UU Perkawinan.
Dari beberapa skripsi yang telah penulis paparkan di atas, terdapat
perbedaan dengan skripsi yang akan penulis kerjakan. Adapun perbedaan
tersebut terletak pada rumusan masalah, yaitu:
1) Mengapa permohonan terhadap nikah siri pasca tahun 1974 pada
permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL dikabulkan?
2) Bagaimanakah pertimbangan hukum majelis hakim dalam
mengabulkan isbat nikah pada permohonan Nomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL?
G. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti membutuhkan banyak data guna
mendukung penulisan skripsi ini. Adapun metode yang dipakai meliputi:
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yaitu
penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan
prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya (Moleong,
2008:6).
Penelitian yang dilakukan meliputi penelitian kepustakaan dan
penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan
data dengan bahan atau materi salinan penetapan isbat nikah Pengadilan
Agama Salatiga. Selanjutnya dilakukan penelitian lapangan untuk
menggali lebih dalam alasan-alasan hakim mengabulkan permohonan isbat
nikah terhadap nikah siri yang dilaksanakan pasca tahun 1974 serta
bagaimana pertimbangan hukum majelis hakim dalam mengabulkan isbat
nikah tersebut.
Sedangkan pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan
yuridis normatif, dimana penelitian ini sering disebut dengan penelitian
doktriner, dimana data yang digunakan adalah sumber data
sekunder.Prosesnya bertolak dari premis-premis yang berupa
norma-norma hukum positif yang diketahui dan berakhir pada penemuan
asas-asas hukum yang menjadi pangkal tolak pencarian asas-asas adalah
norma-norma hukum positif (Ali, 2010:25).Atau singkatnya,metode pendekatan
yuridis normatif adalah pendekatan yang meneliti data sekunder di
bidanghukumyang ada sebagai data kepustakaan.
2. Kehadiran Peneliti
Dalampenelitian ini, penulis bertindak sebagai instrumen sekaligus
menjadi pengumpul data. Instrumen lain yang penulis gunakan adalah alat
perekam, alat tulis, serta alat dokumentasi. Akan tetapi instrumen ini
hanya sebagai pendukung.Oleh karena itu, kehadiran penulis di lapangan
mutlak diperlukan. Kehadiran penulis di lokasi adalah untuk mencari
dokumen salinan penetapan isbat nikah yang akan dijadikan bahan analisis
serta untuk melakukan wawancara dengan hakim guna menggali
keterangan yang diperlukan. Kehadiran penulis diketahui statusnya
sebagai peneliti.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di lakukan di Pengadilan Agama Salatiga yang
beralamat di Jalan Lingkar Selatan, Dukuh Jagalan RT 14 RW 05
Cebongan, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga. Lokasi tersebut
dijadikan lokasi penelitian karena di lokasi tersebut terdapat objek
penelitian yang akan dikaji dan disesuaikan dengan judul yang penulis
pilih.
4. Sumber Data
a. Informan
Informan adalah orang yang dapat memberikan informasi
tentang situasi dan kondisi latar penelitian (Moloeng, 2000:90).Dalam
penelitian ini yang menjadi informan adalah Majelis Hakim
Pengadilan Agama Salatiga yang menetapkan permohonan Nomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL.
b. Dokumen
Dokumen adalah data yang mencakup surat-surat resmi,
buku-buku, hasil penelitian yang berbentuk laporan dan sejenisnya
(Moloeng, 2000:113). Dokumen dalam penelitian ini meliputi salinan
penetapan isbat nikah Pengadilan Agama Salatiga Nomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL, buku-buku yang berkaitan dengan
penelitian ini, artikel ilmiah dan arsip-arsip yang mendukung.
5. Metode Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara (interview) adalah sebuah dialog yang dilakukan
oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara
(Arikunto, 1998:145). Dalam hal ini penulis melakukan wawancara
kepada narasumber yang sangat berkaitan dalam penulisan skripsi
ini.Narasumber tersebut yaitu Hakim Pengadilan Agama Salatiga yang
menetapkan permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL.
b. Dokumentasi
Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable
yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 1998: 236).
Dalam hal ini penulis mengambil dokumentasi berupa data tentang
dikabulkannya isbat nikah oleh Majelis Hakim di Pengadilan Agama
Salatiga, yang ada pada penetapan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL.
c. Studi Pustaka
Studi pustaka yaitu penelitian yang mencari data dari
bahan-bahan tertulis (Amirin, 1990:135) berupa catatan, buku, surat kabar,
makalah, undang-undang dan sebagainya. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan buku-buku tentang hukum perkawinan di Indonesia
maupun fiqh munakahat sebagai rujukan.Penulis juga menggunakan
hasil penelitian terdahulu yang berkaitan sebagai rujukan tambahan
dan pembanding.
6. Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif analisis
dengan mengggunakan pola pikir deduktif. Artinya, menggambarkan hasil
penelitian dengan diawali teori atau dalil yang bersifat umum tentang
perkawinan, pernikahan siri, isbat nikah, kemudian mengemukakan
kenyataan yang bersifat khusus dari hasil penelitian terhadap penetapan
Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.p/2014/PA.SAL.Hasil
penelitian kemudian dianalisa dengan menggunakan metode tersebut.
7. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam suatu penelitian, data mempunyai pengaruh yang sangat besar
dalam menentukan hasil akhir suatu penelitian sehingga untuk
mendapatkan data yang valid diperlukan suatu teknik pemeriksaan
keabsahan data. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data
yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil
wawancara terhadap objek penelitian (Lexy j. Moleong, 2009: 330). Untuk
melakukan triangulasi yaitu keterangan informan dicek dengan informan
lainnya, kemudian keterangan informan dicek dengan observasi dan
dokumentasi.
8. Tahap-tahap Penelitian
Penulis melakukan penelitian pendahuluan ke Pengadilan Agama
Salatiga untuk mencari data awal mengenai kasus isbat nikah terhadap
nikah siri. Kemudian penulis melakukan pengembangan desain dari data
awal tadi dan selanjutnya melakukan penelitian yang sebenarnya, hingga
sampailah pada penulisan laporan hasil penelitian tersebut.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan untuk mempermudah
pemahaman skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Terdiri atas Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan
Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Tinjauan Pustaka,
Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Dalam hal ini penulis akan memaparkan kajian pustaka yang
menjelaskan tentang konsep pernikahan, pernikahan siri, dan isbat
nikah.
BAB III HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikan gambaran umum Pengadilan
Agama Salatiga, salinan penetapan isbat nikahNomor
0076/Pdt.P/2014/PA.SAL dan faktor-faktor yang melatarbelakangi
dikabulkannya permohonan isbat nikah tersebut.
BAB VI PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikananalisis hukum terhadap
penetapan Majelis Hakim pada permohonan Nomor
0076/Pdt.P/2014.PA.SAL.
BAB V PENUTUP
Bab ini terdiri dari Kesimpulan dan saran.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pernikahan
1. Pengertian Pernikahan
Kata nikah atau pernikahan sudah menjadi kosa kata dalam bahasa
Indonesia, sebagai padanan kata perkawinan (az-zawaj). Nikah artinya
suatu akad yang menghalakan pergaulan antara seorang laki-laki dan
perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban
antara keduanya.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, perkawinan atau pernikahan
yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.
Adapun menurut syara`, nikah adalah akad serah terima antara
laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama
lainnya dan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah serta
masyarakat yang sejahtera (Tihami, 2009:8). Sebagaimana disebutkan di
dalam UU No. 1 Tahun 1974 bab 1 pasal (1) bahwa perkawinan ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad
yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang
sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal
dari pernikahan adalah boleh atau mubah.
Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan
sunnah Rosul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hokum asal
pernikahan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa melangsungkan akad pernikahan diperintah oleh agama dan
dengan telah berlangsungnya akad pernikahan itu maka pergaulan laki-laki
dengan perempuan menjadi mubah (Syarifudin, 2007:43).
2. Hukum Pernikahan
Menurut Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Prof. Dr.
Abdul Wahhab Sayyed Hawwas (Guru Besar Universitas Al-Azhar Mesir),
hukum pernikahan dibagi menjadi lima, yaitu sebagai berikut:
a. Fardhu
Hukum nikah fardhu, pada kondisi seseorang yang mampu biaya
wajib nikah, yakni biaya nafkah dan mahar dan adanya percaya diri
bahwa ia mampu menegakkan keadilan dalam pergaulan dengan
istri yakni pergaulan dengan baik. Demikian juga, ia yakin bahwa
jika tidak menikah pasti akan terjadi perbuatan zina, sedangkan
puasa yang dianjurkan Nabi tidak akan mampu menghindarkan
dari perbuatan tersebut.
b. Wajib
Hukum nikah menjadi wajib bagi seseorang yang memiliki
kemampuan biaya nikah, mampu menegakkan keadilan dalam
pergaulan yang baik dengan istri yang dinikahinya, dan ia
mempunyai dugaan kuat akan melakukan perzinaan apabila tidak
menikah. Keadaan seseorang seperti di atas wajib untuk menikah,
tetapi tidak sama dengan kewajiban pada fardu nikah di atas.
Karena dalam fardhu dalilnya pasti atau yakin (qath`i)
sebab-sebabnya pun juga pasti.Sedangkan dalam wajib nikah, dalil dan
sebab-sebabnya adalah atas dugaan kuat (zhanni), maka produk
hukumnya pun tidak qath`i tapi zhanni. Dalam wajib nikah hanya
ada unggulan dugaan kuat dan dalilnya wajib bersifat syubhat atau
samar. Jadi, kewajiban nikah pada bagian ini adalah khawatir
melakukan zina jika tidak menikah, tetapi tidak sampai ke tingkat
yakin.
c. Haram
Hukum nikah adalah haram bagi mereka yang tidak memiliki
kemampuan nafkah nikah dan yakin akan terjadi penganiayaan jika
menikah.
d. Makruh
Nikah makruh bagi seseorang yang dalam kondisi campuran.
Seseorang mempunyai kemampuan harta biaya nikah dan tidak
dikhawatirkan terjadi maksiat zina, tetapi dikhawatirkan terjadi
penganiayaan istri yang tidak sampai ke tingkat yakin.
e. Fardu, Mandub, dan Mubah
Seseorang dalam kondisi normal, artinya memiliki harta, tidak
khawatir dirinya melakukan maksiat zina sekalipun membujang
lama dan tidak dikhawatirkan berbuat jahat terhadap istri. Para
ulama dalam hal ini berbeda pendapat tentang hukumnya.
Menurut kaum Zhahiriyah hukum nikahnya dalah fardhu.
Sedangkan menurut Ulama Asy-Syafi`iyah hukumnya adalah
mubah. Sementara itu, jumhur ulama menganggap bahwa hukum
nikahnya adalah sunnah muakkadah.
3. Rukun dan Syarat Sahnya Pernikahan
a. Menurut Islam
Menurut syariat agama Islam, setiap perbuatan hukum harus
memenuhi dua unsur, yaitu rukun dan syarat. Rukun ialah unsur pokok
dalam setiap perbuatan hukum, sedangkan syarat ialah unsur
pelengkap dalam setiap perbuatan hukum.
Adapun rukun dan syarat nikah dalam Islam adalah sebagai
berikut:
1) Calon suami, syaratnya:
a) Beragama Islam;
b) Jelas bahwa ia adalah laki-laki;
c) Atas keinginan dan pilihan sendiri (tidak terkena paksaan);
d) Tidak beristri empat;
e) Tidak mempunyai hubungan mahram dengan calon istri;
f) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon
istrinya;
g) Mengetahui bahwa calon istri itu tidak haram baginya;
h) Tidak sedang berihram haji atau umrah.
2) Calon istri, syaratnya:
a) Beragama Islam;
b) Jelas bahwa ia seorang perempuan;
c) Telah mendapat izin dari walinya;
d) Tidak bersuami;
e) Tidak sedang dalam masa iddah;
f) Tidak mempunyai hubungan mahram dengan calon suami;
g) Jika ia seorang janda, maka harus atas kemauan sendiri, bukan
karena dipaksa siapa pun;
h) Jelas ada orangnya;
i) Tidak sedang ihram haji maupun umrah.
3) Wali, syaratnya:
a) Laki-laki;
b) Beragama Islam;
c) Sudah baligh (dewasa);
d) Berakal;
e) Merdeka (bukan budak);
f) Adil;
g) Tidak sedang melaksanakan ihram haji atau umrah.
4) Dua orang saksi, syaratnya:
a) Dua orang laki-laki;
b) Beragama Islam;
c) Baligh/dewasa;
d) Berakal;
e) Merdeka;
f) Adil;
g) Melihat dan mendengar;
h) Memahami bahasa yang digunakan dalam akad;
i) Tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah;
j) Hadir dalam ijab Kabul.
5) Ijab dan Kabul, syaratnya:
a) Menggunakan kata yang bermakna menikah atau mengawinkan
baik bahasa Arab ataupun padanan kata itu dalam bahasa
Indonesia atau bahasa daerah sang pengantin;
b) Lafal ijab kabul diucapkan pelaku akad nikah;
c) Antara ijab dan kabul harus bersambung, tidak boleh diselingi
perkataan atau perbuatan lain;
d) Pelaksanaan ijab dan kabul harus berada pada satu tempat,
tidak dikaitkan dengan suatu persyaratan apapun dan tidak
dibatasi dengan waktu tertentu.
b. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Rukun dan syarat sahnya pernikahan menurut Kompilasi
Hukum Islam secara keseluruhan sama dengan yang terdapat dalam
agama Islam, karena berasal dari rujukan yang sama pula, yaitu
Al-Qur`an dan Hadits. Adapun rukun dan syarat pernikahan dalam
Kompilasi Hukum Islam dituangkan dalam Bab IV pasal 14 sampai
dengan pasal 38.
Selain itu, dalam pasal 4 Kompilasi Hukum Islam juga
disebutkan tentang syarat sahnya pernikahan, yang berbunyi:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam
sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan”.
c. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara
tegastentang rukun dan syarat sahnya pernikahan. Akan tetapi dalam
pasal 2 telah dijelaskan bahwa:
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
B. Pernikahan Siri
1. Pengertian Nikah Siri
Kata “siri” dari segi etimologi berasal dari bahasa Arab “sirrun”,
yang berarti secara diam-diam atau tertutup, secara batin, secara rahasia,
secara sembunyi-senbunyi atau misterius. Jadi, nikah siri berarti nikah
secara rahasia (secret marriag), pernikahan yang dirahasiakan dari orang
banyak.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendefinisikan nikah siri atau
nikah bawah tangan adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan
syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan
resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Menurut DR. H. A. Gani Abdullah, SH., Hakim Agung dalam
Mimbar Hukum Nomor 23 Tahun 1995 mengatakan, untuk mengetahui
apakah pada suatu perkawinan itu terdapat unsur siri atau tidak, dapat
dilihat dari tiga indikator yang harus selalu menyertai perkawinan legal.
Apabila salah satu faktor saja tidak terpenuhi, perkawinan itu dapat
diidentifikasikan sebagai pernikahan siri. Tiga indikator itu adalah:
Pertama, subjek hukum akad nikah, terdiri dari calon suami, calon isteri,
dan wali nikah yaitu orang yang berhak menjadi wali, dan dua orang
saksi; Kedua, kepastian hukum dari perkawinan tersebut, yaitu ikut
hadirnya Pegawai Pencatat Nikah pada saat n ikah dilangsungkan; Ketiga,
walimatul ursy, yaitu kondisi yang sengaja diciptakan untuik menunjukkan
kepada masyarakat luas bahwa diantara kedua calon suami isteri tadi telah
resmi menjadi suami isteri.
Dari ketiga indikator tersebut, suatu perkawinan dapat
diklasifikasi sebagai kawin atau nikah siri jika unsur kedua dan ketiga
tidak terpenuhi, yaitu pernikahan tidak dipublikasikan kepada masyarakat
dan tidak dicatatkan pada Pegawai pencatat Nikah.
2. Hukum Pernikahan Siri
a. Menurut Hukum Positif
Undang-Undang (UU RI) tentang Perkawinan No. 1 tahun
1974 diundang-undangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan
diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan
yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut UU Perkawinan,
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa (Pasal 1 UU Perkawinan).
Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan
terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: “(1) Perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Dari Pasal 2 Ayat (1) ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu
perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul
telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah
melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan
tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan
masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan
kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam
hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan,
tentang pencatatan perkawinan .Bagi mereka yang melakukan
perkawinan menurut agama Islam pencatatan dilakukan di KUA untuk
memperoleh Akta Nikah sebagai bukti dari adanya perkawinan
tersebut. (pasal 7 ayat 1 KHI “Perkawinan hanya dapat dibuktikan
dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”).
Sedangkan bagi mereka yang beragama non muslim pencatatan
dilakukan di kantor Catatan Sipil, untuk memperoleh Akta
Perkawinan.
b. Menurut Hukum Islam
Pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk
menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul
‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai
berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah
muakkadah). Nabi saw bersabda :
ٍةﺎَﺸِﺑ ْﻮَﻟَو ِْﱂْوَأ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ
Adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing. (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
Nikah Siri dalam pandangan masyarakat mempunyai tiga
pengertian:
Pengertian Pertama: Nikah Siri adalah pernikahan yang
dilakukan secara sembunyi - sembunyi tanpa wali dan saksi. Inilah
pengertian yang pernah diungkap oleh Imam Syafi’I di dalam kitab Al
Umm 5/ 23:
ُحﺎَﻜِﻧ اﺬﻫ لﺎﻘﻓ ٌةَأَﺮْﻣاَو ٌﻞُﺟَر ﱠﻻإ ﻪﻴﻠﻋ ْﺪَﻬْﺸَﻳ ﱂ ٍحﺎَﻜِﻨِﺑ ُﺮَﻤُﻋ ﻰﺗأ لﺎﻗ ِْﲑَـﺑﱡﺰﻟا ﰊأ ﻦﻋ ٌﻚِﻟﺎَﻣ ﺎﻧﱪﺧأ
ﺖَْﲨَﺮَﻟ ﻪﻴﻓ ﺖْﻣﱠﺪَﻘَـﺗ ﺖْﻨُﻛ ْﻮَﻟَو ُﻩُﺰﻴِﺟُأ َﻻَو ﱢﺮﱢﺴﻟا
Dari Malik dari Abi Zubair berkata bahwa suatu hari Umar dilapori tentang pernikahan yang tidak disaksikan kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata: “ Ini adalah nikah sirri, dan saya tidak membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan saya rajam ( pelakunya ).
Atsar di atas dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah ra :
ﺮﺴﻟا حﺎﻜﻧ ﻦﻋ ﻰ� ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﱯﻨﻟا نأ
Bahwa nabi Muhammad saw melarang nikah siri.
(HR at Tabrani di dalam al Ausath dari Muhammad bin Abdus Shomad bin Abu al Jirah yang belum pernah disinggung oleh para ulama. Adapaun rawi-rawi lainnya semuanya tsiqat (terpercaya).
Pernikahan Siri dalam bentuk yang pertama ini hukumnya
tidak sah.
Pengertian Kedua: Nikah Siri adalah pernikahan yang dihadiri
oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh
mengumumkannya kepada khayalak ramai.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah seperti ini:
Pendapat Pertama menyatakan bahwa nikah seperti ini
hukumnya sah tapi makruh. Ini pendapat mayoritas ulama, diantaranya
adalah Umar bin Khattab, Urwah, Sya’bi, Nafi’, Imam Abu Hanifah,
Imam Syafi’I, Imam Ahmad. Dalilnya adalah hadist Aisyah ra,
bahwa Rasulullah saw bersabda:
لْﺪَﻋ ّيَﺪِﻫﺎﺷو ِّﱄَﻮﺑ ﻻإ َحﺎﻜِﻧ ﻻ
Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil. (HR Daruqutni dan al Baihaqi).
Hadits ini dishohihkan oleh Ibnu Hazm di dalam (al-Muhalla: 9/465)
Hadits di atas menunjukkan bahwa suatu pernikahan jika telah
dihadiri wali dan dua orang saksi dianggap sah, tanpa perlu lagi
diumumkan kepada khayalak ramai.Selain itu, mereka juga
mengatakan bahwa pernikahan adalah sebuah akad mu’awadhah (akad
timbal balik yang saling menguntungkan), maka tidak ada syarat untuk
diumumkan, sebagaimana akad jual beli.
Begitu juga pengumuman pernikahan yang disertai dengan
tabuhan rebana biasanya dilakukan setelah selesai akad, sehingga
tidak mungkin dimasukkan dalam syarat-syarat pernikahan.Adapun
perintah untuk mengumumkan yang terdapat di dalam beberapa hadist
menunjukkan anjuran dan bukan suatu kewajiban.
Pendapat Kedua menyatakan bahwa nikah seperti ini
hukumnya tidak sah.Pendapat ini dipegang oleh Malikiyah dan
sebagian dari ulama madzhab Hanabilah. Bahkan ulama Malikiyah
mengharuskan suaminya untuk segera menceraikan istrinya, atau
membatalkan pernikahan tersebut, bahkan mereka menyatakan wajib
ditegakkan had kepada kedua mempelai jika mereka terbukti sudah
melakukan hubungan seksual. Begitu juga kedua saksi wajib diberikan
sanksi jika memang sengaja untuk merahasiakan pernikahan kedua
mempelai tersebut. Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan
oleh Muhammad bin Hatib al Jumahi, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda :
توﺻﻟاو ﱡفدﻟا ِمارﺣﻟاو ِلﻼﺣﻟا َنْﯾَﺑ لْﺻَﻓ Pembeda antara yang halal (pernikahan) dan yang haram (perzinaan) adalah gendang rebana dan suara.(HR an Nasai dan al Hakim dan beliau menshohihkannya serta dihasankan yang lain)
Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda :
ﱢفﱡدﻟﺎﺑ ﮫﯾﻠﻋ اوُﺑ ِرﺿاو ،دﺟﺎﺳﻣﻟا ﻲﻓ هوﻠﻌﺟاو ،حﺎﻛﻧﻟا اوﻧﻠﻋأ
Umumkanlah nikah, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk mengumumkannya.( HR Tirmidzi, Ibnu Majah )
Pengertian Ketiga: Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan
dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab
qabul, hanya saja pernikahan ini tidak dicatatkan dalam lembaga
pencatatan Negara, dalam hal ini adalah KUA ..
Bagaimana Hukum Nikah Siri dalam bentuk ketiga
ini?Menurut kaca mata Syariat, Nikah Siri dalam katagori ini,
hukumnya sah dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena
syarat-syarat dan rukun pernikahan sudah terpenuhi.Sedangkan
menurut kaca mata hukum positif di Indonesia dengan merujuk pada
RUU Pernikahan di atas, maka nikah siri semacam ini dikenakan
sanksi hukum.
c. Menurut Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa
tentang nikah di bawah tangan atau nikah siri dengan dua ketentuan
hukum (Amin, 2011:534), yakni:
(1) Pernikahan di Bawah Tangan hukumnya sah karena telah terpenuhi
syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat dampak negatif
(madharrah);
(2) Pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang,
sebagai langkah preventif untuk menolak hal-hal yang
bersifat madharrah.
3. Pendapat Para Ahli tentang Nikah Siri:
a. Menurut Husein Muhamad, seorang komisioner komnas perempuan
menyatakan pernikahan pria dewasa dengan wanita secara siri
merupakan pernikahan terlarang karena pernikahn tersebut dapat
merugikan si perempauan, sedangkan islam jusru melindungi
perempuan bukan malah merugikannya.
b. Dr. Yusuf Qardawi, salah seorang pakar muslim kontemporer
terkemuka di Islam berpendapat bahwa nikah siri itu sah selama
ada ijab kabul dan saksi.
c. Dadang Hawari berpendapat bahwa nikah siri adalah haram.
d. KH. Tochri Tohir menilai nikah siri sah dan halal, karena islam tidak
pernah mewajibkan sebuah nikah harus dicatatkan secara negara.
Menurut Tohir, nikah siri harus dilihat dari sisi positifnya, yaitu upaya
untuk menghindari Zina. Namun ia juga setuju dengan pernyataan
Dadang Hawari bahwa saat ini memang ada upaya penyalahgunaan
nikah siri hanya demi memuaskan hawa nafsu. Menurutnya, nikah siri
semacam itu, tetap sah secara agama, namun perkawinannya menjadi
tidak berkah.
e. Menurut Prof. Wasit Aulawi seorang pakar hukum Islam Indonesia,
mantan Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama yang juga
mantan Dekan Fakultas Syariah UIN Jakarta, menyatakan bahwa
ajaran Islam, nikah tidak hanya merupakan hubungan perdata, tetapi
lebih dari itu nikah harus dilihat dari berbagai aspek. Paling tidak
menurutnya ada tiga aspek yang mendasari perkawinan, yaitu: agama,
hukum dan sosial, nikah yang disyariatkan Islam mengandung ketiga
aspek tersebut, sebab jika melihat dari satu aspek saja maka pincang.
f. Quraish Shihab mengemukakan bahwa betapa pentingnya pencatatan
nikah yang ditetapkan melalui undang-undang di sisi lain nikah yang
tidak tercatat-selama ada dua orang saksi-tetap dinilai sah oleh hukum
agama, walaupun nikah tersebut dinilai sah, namun nikah dibawah
tangan dapat mengakibatkan dosa bagi pelakunya, karena melanggar
ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Al-Qur’an memerintahkan
setiap muslim untuk taat pada ulul amri selama tidak bertentangan
dengan hukum Allah (Shihab, 1998:204).
4. Hal-hal yang Melatarbelakangi Terjadinya Pernikahan Siri
a. Kurangnya Kesadaran Hukum Masyarakat
Masih banyak diantara masyarakat kita yang belum memahami
sepenuhnya betapa pentingnya pencatatan perkawinan. Kalaupun
dalam kenyataannya perkawinan itu dicatatkan di KUA sebagian dari
mereka boleh jadi hanya sekedar ikut-ikutan belaka; menganggapnya
sebagai tradisi yang lazim dilakukan oleh masyarakat setempat; atau
pencatatan perkawinan itu hanya dipandang sekedar soal administrasi;
belum dibarengi dengan kesadaran sepenuhnya akan segi-segi manfaat
dari pencatatan perkawinan tersebut.
b. Sikap Apatis Sebagian Masyarakat Terhadap Hukum
Sebagian masyarakat ada yang bersikap masa bodoh terhadap
ketentuan peraturan yang menyangkut perkawinan.
c. Ketentuan Pencatatan Perkawinan Yang Tidak Tegas
Sebagaimana kita ketahui, ketentuan pasal 2 UU No.1 / 1974
merupakan azas pokok dari sahnya perkawinan.Ketentuan ayat (1) dan
(2) dalam pasal tersebut harus dipahami sebagai syarat kumulatif,
bukan syarat alternative sahnya suatu perkawinan. Dari fakta hukum
dan/atau norma hukum tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi dasar
bagi umat Islam terhadap wajibnya mencatatkan perkawinan mereka.
Akan tetapi ketentuan tersebut mengandung kelemahan karena pasal
tersebut multi tafsir dan juga tidak disertai sanksi bagi mereka yang
melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan perkawinan
dalam undang-undang tersebut bersifat tidak tegas.
d. Ketatnya izin poligami
Ketatnya izin untuk melakukan poligami dapat memicu
seorang laki-laki untuk melangsungkan pernikahan siri, terutama bagi
pegawai negeri dan anggota militer.Hal ini karena pernikahan siri lebih
sederhana dan mudah dilakukan.
5. Dampak Praktik Pernikahan Siri
a. Bagi Wanita/Isteri:
Dalam hal ini, wanita paling banyak mendapatkan kerugian,
yaitu tidak diakuinya sebagai isteri yang sah, tidak berhak atas nafkah
dari suami, tidak berhak mendapatkan harta warisan jika suami
meninggal, tidak berhak atas harta gono-gini bila terjadi perceraian,
karena secara hukum positif pernikahan tersebut dianggap tidak
pernah terjadi.
b. Bagi Anak:
Tidak sahnya pernikahan siri menurut hukum negara memiliki
dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yaitu
status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak
sah.Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibu dan keluarga ibu.Artinya, si anak tidak mempunyai
hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU
Perkawinan, pasal 100 KHI). Di dalam akte kelahirannyapun statusnya
dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama
ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar
nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat
mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.
Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan
hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu
waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak
kandungnya. Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak
atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari
ayahnya.
c. Bagi Suami:
Hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan atau merugikan
bagi diri laki-laki atau suami yang menikah siri dengan seorang
perempuan.Yang terjadi justru menguntungkan pihak suami, karena
suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang
di siri dianggap tidak sah dimata hukum.Selain itu suami bisa berkelit
dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah, baik kepada
istri maupun kepada anak-anaknya.Suami juga tidak dipusingkan
dengan pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain.
6. Pengesahan Pernikahan Siri:
a. Mencatatkan perkawinan dengan isbat nikah
Esensinya adalah pernikahan yang semula tidak dicatatkan menjadi
tercatat dan disahkan oleh negara serta memiliki kekuatan hukum.
Dasar dari istbat nikah adalah Kompilasi Hukum Islam pasal 7 yaitu :
1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat
oleh Pegawai Pencatat Nikah.
2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah,
dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas
mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:
(a) Dalam rangka penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya akta nikah;
(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu
syarat perkawinan;
(d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya
Undang- Undang No. 1 Tahun 1974; dan
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak
mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974.
4) Yang berhak mengajukan permohonan istbat nikah ialah suami
atau istri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang
berkepentingan dengan perkawinan itu.
b. Melakukan pernikahan ulang
Pernikahan yang dilakukan layaknya pernikahan secara agama,
yang tujuannya untuk melengkapi pernikahan pertama (siri).Namun
pernikahan ini harus disertai dengan pencatatan pernikahan oleh
pejabat yang berwenang (KUA).
Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan status
bagi perkawinan. Namun, status anak-anak yang lahir dalam
perkawinan siri akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin, karena
perkawinan ulang tidak berlaku surut terhadap status anak yang
dilahirkan sebelum perkawinan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya,
dalam akta kelahiran, anak yang lahir sebelum perkawinan ulang tetap
sebagai anak luar kawin, sebaliknya anak yang lahir setelah
perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam
perkawinan.
Adapun cara yang dapat ditempuh jika dalam perkawinan siri
tersebut telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan
anak, yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir
di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya,
pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun,
berdasarkan Pasal 43 Undang undang No. 1 Tahun 1974 yang pada
intinya menyatakan, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak
mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk
mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat
melakukan pengakuan Anak. Namun bagaimanapun, pengakuan anak
hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu, sebagaimana diatur
dalam Pasal 284 KUH Perdata.
C. Isbat Nikah
1. Pengertian dan Dasar Hukum Isbat Nikah
Menurut bahasa, isbat nikah terdiri dari dua kata yaitu kata “isbat”
yang merupakan masdar atau asal kata dari “atsbata” yang memiliki arti
“menetapkan”, dan kata “ nikah” yang berasal dari kata “nakaha” yang
memiliki arti “saling menikah”, dengan demikian kata “isbat nikah”
memiliki arti yaitu “penetapan pernikahan”.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, isbat nikah adalah
penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah. Isbat nikah adalah
pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat
agama Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh KUA atau PPN yang
berwenang (Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor
KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Pengadilan).
Status perkawinan dalam hal ini diartikan dengan keadaan dan
kedudukan perkawinan yang telah dilangsungkan.Dalam aspek ini
sebenarnya undang-undang telah memberikan rumusan tentang
perkawinan yang sah. Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Dalam penjelasan Pasal 2 disebutkan bahwa dengan
perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada Perkawinan diluar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
Undang-undang ini. Berdasarakan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UUPerkawinan dan
penjelasannya ini, dapat diketahui bahwa patokan untuk mengetahui suatu
perkawinan sah adalah hukum masing-masing agama dan kepercayaan
para pihak serta ketentuan perundang-undangan yang berlaku sepanjang
tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UUPerkawinan.
Pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan
perkawinan akan menimbulkan kemaslahatan umum karena dengan
pencatatan ini akan memberikan kepastian hukum terkait dengan hak-hak
suami/isteri, kemaslahatan anak maupun efek lain dari perkawinan itu
sendiri. Perkawinan yang dilakukan di bawah pengawasan atau di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama akan
mendapatkan Akta Nikah sebagai bukti telah dilangsungkannya sebuah
perkawinan.
Akta Nikah merupakan akta autentik karena Akta Nikah tersebut
dibuat oleh dan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah sebagai pejabat yang
berwenang untuk melakukan pencatatan perkawinan, dibuat sesuai dengan
bentuk yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
dan dibuat di tempat Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama
tersebut melaksanakan tugasnya. Meskipun, Peraturan
Perundang-Undangan sudah mengharuskan adanya Akta Nikah sebagai bukti
perkawinan, namun tidak jarang terjadi suami istri yang telah menikah
tidak mempunyai Kutipan Akta Nikah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dan Pasal 100 KUH Perdata tersebut, adanya suatu perkawinan
hanya bisa dibuktikan dengan akta perkawinan atau akta nikah yang
dicatat dalam register.Bahkan ditegaskan, akta perkawinan atau akta nikah
merupakan satu-satunya alat bukti perkawinan. Dengan perkataan lain,
perkawinan yang dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor
Urusan Agama Kecamatan akan diterbitkan Akta Nikah atau Buku Nikah
merupakan unsur konstitutif (yang melahirkan) perkawinan. Tanpa akta
perkawinan yang dicatat, secara hukum tidak ada atau belum ada
perkawinan. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Akta Nikah dan pencatatan perkawinan bukan
satu-satunya alat bukti keberadaan atau keabsahan perkawinan, karena itu
walaupun sebagai alat bukti tetapi bukan sebagai alat bukti yang
menentukan sahnya perkawinan, karena hukum perkawinan agamalah
yang menentukan keberadaan dan keabsahan perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam juga memberikan rumusan tentang
perkawinan yang sah dan ketentuan untuk tertibnya perkawinan. Pasal 4
Kompilasi Hukum Islam memberikan penegasan bahwa “perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2
ayat (1) UU No. 1 Tahun1974 tentang perkawinan. Pasal 5 KHI
merumuskan: (1) agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat
Islam setiap perkawinan harus dicatat; (2) pencatatan perkawinan tersebut
pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang
diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No.
32 Tahun 1954.
Selanjutnya Pasal 6 KHI merumuskan: (1) untuk memenuhi
ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan
dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah; (2)
perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah
tidak mempunyai kekuatan Hukum.
Pasal 7 menyebutkan bahwa: (1) perkawinan hanya dapat
dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah;
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akat Nikah,
dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama; (3) itsbat nikah yang
dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan : (a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian
perceraian; (b) Hilangnya Akta Nikah; (c) Adanya keraguan tentang sah
atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; (d) Adanya perkawinan yang
terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan; (e)
Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan
perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974; (4) yang berhak
mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak
mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Sedangan dari hukum syar’i sendiri secara eksplisit memang tidak
satupun nash baik al-Quran maupun hadis yang menyatakan keharusan
adanya pencatatan perkawinan. Akan tetapi dalam kondisi seperti sekarang
ini, pencatatan perkawinan menjadi sebuah keharusan bagi seseorang, hal
ini disebabkan karena banyak sekali mudharat yang akan ditimbulkan jika
tidak dilakukan pencatatan. Islam menggariskan bahwa setiap
kemudharatan itu sedapat mungkin harus dihindari, sebagaimana
ungkapan sebuah kaedah fikih yang berbunyi: “Kemudharatan harus
dihilangkan”.