• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI PASCA TAHUN 1974 (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL) ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI PASCA TAHUN 1974 (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga Nomor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI PASCA TAHUN 1974 (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL) ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI PASCA TAHUN 1974 (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga Nomor"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI

PASCA TAHUN 1974

(Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga

Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

Muhammad Imron

21112001

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

2017

(2)
(3)

ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI

PASCA TAHUN 1974

(Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga

Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

Muhammad Imron

21112001

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SALATIGA

2017

(4)

Heni Satar Nurhaida, SH., M.Si Dosen IAIN Salatiga

PENGESAHAN PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eksemplar

Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

KepadaYth.

Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga Di Salatiga

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka

naskah skripsi mahasiswa:

Nama : Muhammad Imron

NIM : 211-12-001

Judul : ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI PASCA

TAHUN 1974 (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL)

Dapat diajukan kepada Fakultas Syariah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam

sidang munaqosyah.

Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan

sebagaimana mestinya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salatiga, 14 Februari 2017

Pembimbing,

Heni Satar Nurhaida SH., M.Si NIP.197011271999032001

KEMENTERIAN AGAMA RI

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS SYARI’AH

Jl. Lingkar Selatan Km. 2 Pulutan Salatiga Telp. (0298) 6031364

Website:www.iainsalatiga.ac.idEmail:administrasi@iainsalatiga.ac.id

(5)

PENGESAHAN

Skripsi Berjudul:

ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI PASCA TAHUN 1974 (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga Nomor

0076/Pdt.P/2014/PA.SAL)

Oleh:

MUHAMMAD IMRON NIM 211-12-001

Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada tanggal 27 Februari 20176dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH).

Dewan Sidang Munaqosyah:

Ketua Penguji : Mahfud

Sekretaris Penguji : Heni Satar Nurhaida, SH., M.Si

Penguji I : Sukron Ma’mun

Penguji II : Lutfiana Zah

Salatiga, 14 Februari 2017

Dekan Fakultas Syariah IAIN Salatiga,

Dra. Siti Zumrotun, M.Ag

NIP. 19670115 199803 2 002 KEMENTERIAN AGAMA RI

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS SYRI’AH

Jl. Lingkar Selatan Km. 2 Pulutan Salatiga Telp. (0298) 6031364

Website:www.iainsalatiga.ac.idEmail:administrasi@iainsalatiga.ac.id

(6)

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Muhammad Imron

NIM : 211-12-001

Jurusan : Hukum Keluarga Islam

Fakultas : Syariah

Judul : ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI PASCA TAHUN 1974

(Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL)

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya

saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang

lain yang terdapatdalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga,14 Februari 2017

Yang menyatakan,

Muhammad Imron

NIM: 211-12-001

(7)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Tidak perlu menjadi yang terbaik,

cukup dengan melakukan yang terbaik…

PERSEMBAHAN

Untuk orang tua tercintaku

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin, puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT, Robbi yang Maha Rahman dan Maha Rahim yang telah menciptakan

manusia dengan sebaik-baiknya bentuk. Dengan petunjuk dan tuntunan-Nya, penulis

mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Agung Nabi

Muhammad SAW, yang telah membimbing kita dari jaman kebodohan menuju zaman

yang terang benderang yang penuh dengan ilmu pengetahuan, sehingga dapat

menjadikan kita bekal hidup kita baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Sebagai insan yang lemah dan penuh dengan keterbatasan, penulis menyadari bahwa

tugas penulisan ini bukanlah tugas yang ringan, tetapi merupakan tugas yang berat.

Akhirnya dengan berbekal kekuatan, kemauan dan bantuan semua pihak, maka

penyusunan skripsi dengan judul: “ISBAT NIKAH TERHADAP NIKAH SIRI

PASCA TAHUN 1974 (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama

Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL)” ini bisa terselesaikan.

Dengan terbentuknya skripsi ini, penulis haturkan banyak terima kasih yang tiada

taranya kepada:

1. Bapak Dr. H. Rahmat Haryadi, M. Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga.

2. Ibu Siti ZumrotunM.Ag., selaku Dekan Fakultas Syariah.

3. Bapak Sukron Ma’mun, S.H.I.,M.Si.,selaku Kajur Hukum Keluarga Islam.

4. Ibu Heni Satar Nurhaida SH., M.Si.,selaku Dosen Pembimbing Skripsi.

5. Ketua Pengadilan Agama Salatiga

(9)

6. Bapak Ibu Dosen Syariah IAIN Salatiga.

7. Orang tua tercinta dan semua saudara-saudaraku.

8. Bapak/IbuPengurus maupun Pengasuh Panti Asuhan Daar Al Yatama

Tengaran

9. KAMMI Komisariat Salatiga.

10.Dan kepada semua teman-temanku yang sangat membantuku dalam

penyelesaian skripsi ini, khususnya Muhammad Husain.

Atas segala hal tersebut, penulis tidak mampu membalas apapun selain hanya

memanjatkan doa, semoga Allah SWT mencatat sebagai amal sholeh yang akan

mendapat balasan yang berlipat dari Allah SWT. Aamiin yaa robbal ‘aalamiin.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak kekurangannya, untuk

itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna

kesempurnaan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini nantinya dapat bermanfaat,

khususnya bagi Almamater dan semua pihak yang membutuhkannya.

Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terima kasih.

Salatiga, 14 Februari 2017

Penulis

(10)

ABSTRAK

Imron, Muhammad. 2016. Isbat Nikah Terhadap Nikah Siri Pasca Tahun 1974 (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL). Skripsi. Jurusan Hukum Keluarga Islam. Fakultas Syariah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Heni Satar Nurhaida SH,.M.Si.,

Kata Kunci: Penetapan Isbat Nikah terhadap nikah siri pasca tahun 1974 oleh Pengadilan Agama Salatiga

Penelitian ini merupakan upaya untuk mengetahui dasar hukum dan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam mengabulkan isbat nikah terhadap nikah siri pasca tahun 1974. Pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: (1) Mengapa permohonan isbat nikah terhadap nikah siri pasca tahun 1974 pada permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL dikabulkan?; (2) Bagaimanakah pertimbangan hukum majelis hakim dalam mengabulkan isbat nikah pada permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL?.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan Yuridis Normatif, yaitu suatu pendekatan untuk menemukan apakah suatu perbuatan hukum itu sesuai dengan perundangan-undangan yang berlaku atau tidak. Sedangkan jenis penelitian ini adalah Penelitian Kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya.

Temuan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa isbat nikah terhadap nikah siri pasca tahun 1974 dikabulkan dan bagaimanakah dasar pertimbangan hukumnya. Berdasarkan penelitian, alasan utama dikabulkannya isbat nikah terhadap nikah siri pasca tahun 1974 adalah karena para Pemohon sudah dikaruniai seorang anak, dan perkawinan yang para pemohon lakukan sudah sesuai dengan agama Islam. Dasar hukum pertimbangan Majelis Hakim adalah dengan berijtihad, melakukan diskresi hukum.

(11)

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

LEMBAR BERLOGO ... ii

JUDUL ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

PENGESAHAN KELULUSAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... vi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kegunaan Penelitian ... 7

E. Penegasan Istilah ... 7

F. Tinjauan Pustaka ... 8

G. Metode Penelitian ... 12

H. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pernikahan ... 19

a. Pengertian Pernikahan ... 19

b. Hukum Pernikahan ... 20

c. Rukun dan Syarat Sahnya Pernikahan ... 22

B. Pernikahan Siri ... 26

a. Pengertian Nikah Siri ... 26

b. Hukum Pernikahan Siri ... 27

(12)

c. Pendapat Para Ahli tentang Nikah Siri ... 33

d. Hal-hal yang Melatarbelakangi Terjadinya PernikahanSiri ... 35

e. Dampak Praktik Pernikahan Siri ... 36

f. Pengesahan Pernikahan Siri ... 37

C. Isbat Nikah ... 40

a. Pengertian dan Dasar Hukum Isbat Nikah ... 40

b. Hal-hal yang Boleh Diajukannya Permohonan Isbat Nikah .... 44

c. Pihak-pihak yang Bisa Mengajukan Isbat Nikah ... 45

d. Prosedur Isbat Nikah ... 45

BAB III HASIL PENELITIAN A. Profil Pengadilan Agama Salatiga ... 50

a. Sejarah Pengadilan Agama Salatiga ... 50

b. Dasar Hukum Pembentukan Pengadilan Agama Salatiga ... 56

c. Visi dan Misi Pengadilan Agama Salatiga ... 57

d. Struktur Pengadilan Agama Salatiga ... 58

e. Kewenangan Pengadilan Agama Salatiga ... 58

B. Penetapan Isbat Nikah Siri Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL ... 60

a. Duduk Perkara Pada Permohonan Penetapan Isbat Nikah Siri Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL 60 b. Penyelesaian Permohonan Penetapan Isbat Nikah Siri Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL ... 62

c. Dasar Pertimbangan Hukum Penetapan Isbat Nikah Siri

Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL 67

(13)

BAB IV ANALISIS PENETAPAN ISBAT NIKAH SIRI PENGADILAN AGAMA SALATIGA NOMOR 0076/Pd.P/2014/PA.SAL

A. Dikabulkannya Permohonan Isbat Nikah Siri Oleh Majelis Hakim

Pengadilan Agama Salatiga pada Permohonan Nomor

0076/Pdt.P/2014/PA.SAL ... 72

a. Pertimbangan Majelis Hakim dalam Menetapkan Permohonan

Isbat Nikah ... 72

b. Analisis Dikabulkannnya Permohonan Isbat Nikah Siri Oleh

Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga pada Permohonan

Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL ... 73

B. Analisis Dasar Pertimbangan Hukum Majelis Hakim terhadap

Penetapan Isbat Nikah SiriPengadilan Agama Salatiga Nomor

0076/Pdt.P/2014/PA.SAL ... 78

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 85

B. Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan adalah salah satu sunatullah yang umum berlaku pada

semua makhluk Allah, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuhan,

sebagaimana firman Allah dalam surat Adz-Dzariyat ayat 49 yang artinya:

Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu

mengingat kebesaran Allah” (Sabiq, 1980:7).

Perkawinan mempunyai tujuan seperti dalam Undang-undang No. 1

Tahun 1974 pada pasal 1 yang disebutkan bahwa: “Perkawinan adalah ikatan

lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tujuan perkawinan dalam Islam

adalah untuk memenuhi tuntutan naluri hidup manusia, berhubungan antara

laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga

sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya (Basyir, 2007:13).

Setiap calon pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan

hendaknya memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan itu

sendiri.Seperti rukun dan syarat sahnya perkawinan. Di Indonesia, suatu

perkawinan wajib hukumnya untuk dicatatkan sebagaimana bunyi pasal 2 ayat

(2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974: “Tiap-tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

(15)

Dalam hal pencatatan perkawinan ini juga diatur dalam pasal 5

Kompilasi Hukum Islam. Adapun bunyi pasal tersebut adalah:

(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap

perkawinan harus dicatat.

(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh Pegawai

Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 22

Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954.

Selanjutnya, di pasal 6 Kompilasi Hukum Islam dijelaskan lebih lanjut

yaitu:

(1) Untuk memenuhi ketentuan pasal 5, setiap perkawinan harus

dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat

Nikah.

(2) Perkawinan yang dilangsungkan di luar pengawasan Pegawai Pencatat

Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

Meskipun telah dipaparkan secara jelas dalam undang-undang, namun

pada praktiknya pernikahan yang tidak dicatatkan masih banyak terjadi.

Pernikahan yang tidak dicatatkan ini disebut dengan nikah siri.Ada banyak

faktor yang menyebabkan nikah siri tumbuh subur di kalangan masyarakat

Indonesia.Akan tetapi, nikah siri tetap dianggap illegal dan tidak berkekuatan

hukum, karena tidak ada bukti otentik berupa akta nikah, sehingga tidak

mendapat perlindungan hukum dari negara.

(16)

Untuk memberikan legitimasi nikah siri atau perkawinan yang tidak

dicatatkan kadang ditempuh dengan permohonan isbat nikah ke Pengadilan

Agama.Isbat nikah yang sering disebut dengan pengesahan nikah adalah

kewenangan Pengadilan Agama yang merupakan perkara voluntair.Perkara

voluntair adalah perkara permohonan yang hanya terdiri dari pemohon

saja.Oleh karena itu, perkara voluntair tidak disebut sebagai perkara karena

tidak ada pihak lawan atau tidak ada objek hukum yang disengketakan.

Dalam pasal 49 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang

Pengadilan Agama yang telah dirubahdengan Undang-Undang No. 3 Tahun

2006 dan terakhir dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009, kompetensi

absolutePengadilan Agama diantaranya adalah isbat nikah, yaitu pernyataan

tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.

Landasan yuridis isbat nikah terdapat dalam pasal 49 ayat (2)

Undang-Undang No. 3 Tahun 2006.Dari ketentuan tersebut, dapat dirumuskan bahwa

kompetensi absolute Pengadilan Agama tentang isbat nikah adalah

perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, bukan

perkawinan yang sesudahnya.

Dalam praktik, permohonan isbat nikah yang diajukan ke Pengadilan

Agama sekarang ini pada umumnya sekitar 95% adalah perkawinan yang

dilangsungkan pasca berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan. Yang menjadi pertanyaan, dapatkah Pengadilan Agama

(17)

mengisbatkan perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan?

Dalam Pasal 49 huruf (a) angka 22 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006

dapat dipahami bahwa perkawinan (termasuk nikah yang tidak

dicatatkan/nikah siri) yang diajukan ke Pengadilan Agama untuk diisbatkan

hanyalah perkawinan yang dilakukan sebelum diundangkannya

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Oleh karena ketentuan tersebut, tidak memberi

sinyal kebolehan Pengadilan Agama untuk mengisbatkan perkawinan yang

dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, meskipun

perkawinan itu telah dilakukan menurut ketentuan hukum Islam(terpenuhi

rukun dan syaratnya) tapi tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah,

maka perkawinan itu tidak boleh diisbatkan oleh Pengadilan Agama.

Pengabulan permohonan isbat nikah oleh Pengadilan Agama terhadap

perkawinan yang dilangsungkan setelah berlakunya Undang-Undang No. 1

Tahun 1974 didasarkan pada Kompilasi Hukum Islam (KHI). DalamPasal 7

ayat (2) dan ayat (3) Kompilasi Hukum Islam disebutkan:

(1) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat

diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

(2) Isbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai

hal-hal yang berkenaan dengan:

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;

b. Hilangnya Akta Nikah;

(18)

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat

perkawinan;

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang

N0. 1 Tahun 1974; dan

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai

halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

Dari pasal 7 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam di atas, telah jelas

disebutkan batasan-batasan dibolehkannya melakukan isbat nikah. Akan

tetapi, di Pengadilan Agama Salatiga pada tahun 2014 lalu telah mengabulkan

isbat nikah terhadap nikah siri dari sepasang suami isteri yang telah

melangsungkan perkawinannya pasca tahun 1974. Hal ini berarti bahwa

Pengadilan Agama Salatiga melegitimasi dan mengakui perkawinan yang

melanggar hukum. Di samping itu, secara sosiologis pengkabulan isbat nikah

terhadap perkawinan yang yang dilakukan setelah berlakunya

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 akan menumbuhsuburkan praktik nikah siri di

masyarakat, karena pada akhirnya perkawinan yang tidak dicatatkan (nikah

siri) itu dapat diisbatkan oleh Pengadilan Agama.

Hal inilah yang menurut penulis menarik untuk diteliti, karena

penetapan Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga pada perkara No.

0076/Pdt.P/2014/PA.SAL tentang pengkabulan isbat nikah tersebut tidak

sesuai dengan apa yang telah diatur dan ditentukan dalam pasal 7 ayat (3)

Kompilasi Hukum Islam.

(19)

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulis akan mencoba meneliti

lebih dalam melalui penulisan skripsi yang berjudul ISBAT NIKAH TERHADAPNIKAH SIRI PASCA TAHUN 1974(Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL)

B. Rumusan Masalah

1. Mengapa permohonan isbat nikahterhadap nikah siri pasca tahun 1974

pada permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL dikabulkan?

2. Bagaimanakah pertimbangan hukum majelis hakim dalam mengabulkan

isbat nikah pada permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui alasan-alasan dikabulkannya isbat nikah terhadap nikah

siri pasca tahun 1974 pada permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL.

2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum majelis hakim dalam

mengabulkan isbat nikah permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL.

(20)

D. Kegunaan Penelitian 1. Secara Teoritis

a. Dapat menambah pengetahuan dalam mempelajari dan mendalami

ilmu hukum, khususnya tentang permohonan isbat nikah di Pengadilan

Agama.

b. Untuk pengembangan ilmu hukum dan penelitian hukum, serta

berguna sebagai masukan bagi praktik penyelenggara di bidang hukum

perkawinan, terutama terkait dengan masalah isbat nikah masa kini

dan masa yang akan datang.

2. Secara praktis:

Penelitian ini bermafaat untuk mendapatkan gelar sarjana bagi penulis.

E. Penegasan Istilah

Untuk menghindari adanya kesalahpahaman dalam penelitian ini,

maka perlu penulis kemukakan pengertian istilah-istilah yang ada dalam judul

skripsi ini, yakni sebagai berikut:

1. Isbat Nikah adalah cara yang dapat ditempuh oleh pasangan suami isteri

yang telah menikah secara sah menurut hukum agama untuk mendapatkan

pengakuan dari Negara atas pernikahan yang telah dilangsungkan oleh

keduanya beserta anak-anak yang lahir selama pernikahan, sehingga

pernikahannya tersebut berkekuatan hukum.

(21)

2. Nikah Siri adalahpernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang

ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di

instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan

perundang-undangan.

3. Pasca tahun 1974 adalah sesudah tahun 1974.

F. Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang isbat nikah ini berpotensi mempunyai kesamaan

dengan penelitian-penelitian yang pernah ada sebelumnya. Maka dari itu,

penulis akan memaparkan gambaran umum tentang penelitian-penelitian isbat

nikah yang sebelumnya. Adapun tujuan dari pemaparan tersebut adalah untuk

menghindari penelitian ulang yang sama persis, sehingga penelitian kali ini

benar-benar beda dari penelitian yang pernah dilakukan orang lain.

Adapun penelitian-penelitian yang pernah ada sebelumnya tentang

isbat nikah adalah sebagai berikut:

1. Skripsi karya Asa Maulida Sulhah, Jurusan Syariah Program Studi Ahwal

Al-Syakhshiyyah STAIN Salatiga 2012 yang berjudul “Pelaksanaan Isbat

Nikah Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (Studi Kasus di Pengadilan Agama Salatiga)”.

Dalam penelitian tersebut terdapat tiga rumusan masalah, yaitu:

1) Faktor apa yang mendorong masyarakat Salatiga untuk melaksanakan

isbat nikah?

(22)

2) Bagaimana pelaksanaan isbat nikah di Pengadilan Agama Salatiga?

3) Apakah pertimbangan hakim dalam memutuskan isbat nikah tersebut?

Adapun hasil penelitian dari rumusan masalah di atas adalah sebagai

berikut:

1) Faktor pendorong masyarakat Salatiga untuk mengajukan isbat nikah

adalah karena akta nikah hilang.

2) Untuk mengajukan permohonan isbat nikah, pemohon harus mendaftar

ke PA setempat dengan membawa surat permohonan isbat nikah.

Setelah itu membayar panjar biaya perkara, dan menunggu panggilan

sidang. Tata cara persidangannya pun sama dengan persidangan

lainnya, yaitu pembacaan permohonan, keterangan pemohon,

pembuktian, kesimpulandan penetapan.

3) Dasar pertimbangan Hakim dalam menetapkan isbat nikah adalah UU

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan BAB II KHI tentang

Dasar-dasar Perkawinan. Selain itu, Majelis Hakim juga melihat

fakta-fakta hukum yang timbul dari keterangan pemohon, surat bukti dan

keterangan saksi.

2. Skripsi yang berjudul “Isbat Nikah dalam Rangka Poligami (Studi Putusan

Pengadilan Agama Ambarawa Nomor: 0030/Pdt.G/2012/PA.Amb)”.

Dalam skripsi karya Achmad Kurniawan, Jurusan Syariah Program Studi

Ahwal Al-Syakhshiyyah STAIN Salatiga 2014 tersebut terdapat dua

rumusan masalah, yaitu:

(23)

1) Bagaimana pertimbangan hakim dalam menetapkan isbat nikah dalam

rangka poligami?

2) Apakah dasar hukum hakim dalam menetapkan isbat nikah dalam

rangka poligami?

Adapun hasil penelitian dari rumusan masalah di atas adalah sebagai

berikut:

1) Dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan isbat nikah dikarenakan

seluruh syarat dan rukun nikah pemohon tidak ada yang dilanggar dan

tidak ada indikasi penyimpangan serta penyalahgunaan terhadap

perkawinan tersebut. Isbat nikah pemohon hanya untuk kepentingan

pencatatan dan masa depan anak, dan hakim melihat pada aspek

“Dar’ul mafaasidi muqoddamun ‘ala jalbil mashalihi”.

2) Dasar hukum Majelis Hakim dalam menetapkan isbat nikah dalam

rangka poligami adalah Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974,

bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agama dan kepercayaannya. Meskipun perkawinan

tersebut tidak dilakukan dihadapan PPN, namun perkawinan tersebut

tetap dianggap sah dan kemudian bisa diisbatkan.

3. Skripsi yang berjudul “Kewenangan Pengadilan Agama dalam Mengadili

Isbat Nikah pada Perkawinan yang Dilaksanakan Pasca Berlakunya UU

Perkawinan (Studi Analisis Terhadap Penetapan Pengadilan Agama

Mungkid Nomor: 0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd)” karya Widodo, Jurusan

(24)

Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syariah IAIN Salatiga 2015, yang mana

dalam penelitian tersebut terdapat dua rumusan masalah, yaitu:

1) Apa dasar hukum dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama

Mungkid mengabulkan permohonan isbat nikah perkara Nomor:

0146/Pdt.P/2014/PA.Mkd?

2) Bagaimana kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili isbat

nikah menurut Undang-Undang No. 3 tahun 2006 dan Kompilasi

Hukum Islam?

Adapun hasil penelitian dari rumusan masalah di atas adalah sebagai

berikut:

1) Dasar hukum yang dijadikan landasan Majelis Hakim adalah Pasal 7

ayat 3 huruf (e) KHI, diperkuat dengan pengakuan para pihak. Alasan

lain yang dijadikan pertimbangan oleh hakim dalam mengabulkan

permohonan para pemohon adalah pertimbangan maslahah bagi

masyarakat.

2) Kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili permohonan isbat

nikah diatur dalam Penjelasan Pasal 49 huruf (a) angka 22 UU No. 3

Tahun 2006. Tidak ada pertentangan antara ketentuan menurut Pasal

49 huruf (a) angka 22 UU No. 3 Tahun 2006 dengan Pasal 7 ayat (3)

KHI. Penggunaan KHI sebagai dasar hukum oleh Hakim adalah

sebagai pengisi kekosongan hukum yang mengatur isbat nikah pada

perkawinan pasca UU Perkawinan. Dikarenakan UU No. 3 Tahun

(25)

2006 hanya mengatur tentang isbat nikah pada perkawinan sebelum

berlakunya UU Perkawinan, serta tidak ada pasal dalam UU tersebut

yang melarang Pengadilan Agama mengesahkan perkawinan yang

dilakukan setelah UU Perkawinan.

Dari beberapa skripsi yang telah penulis paparkan di atas, terdapat

perbedaan dengan skripsi yang akan penulis kerjakan. Adapun perbedaan

tersebut terletak pada rumusan masalah, yaitu:

1) Mengapa permohonan terhadap nikah siri pasca tahun 1974 pada

permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL dikabulkan?

2) Bagaimanakah pertimbangan hukum majelis hakim dalam

mengabulkan isbat nikah pada permohonan Nomor

0076/Pdt.P/2014/PA.SAL?

G. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti membutuhkan banyak data guna

mendukung penulisan skripsi ini. Adapun metode yang dipakai meliputi:

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yaitu

penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan

prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya (Moleong,

2008:6).

(26)

Penelitian yang dilakukan meliputi penelitian kepustakaan dan

penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan

data dengan bahan atau materi salinan penetapan isbat nikah Pengadilan

Agama Salatiga. Selanjutnya dilakukan penelitian lapangan untuk

menggali lebih dalam alasan-alasan hakim mengabulkan permohonan isbat

nikah terhadap nikah siri yang dilaksanakan pasca tahun 1974 serta

bagaimana pertimbangan hukum majelis hakim dalam mengabulkan isbat

nikah tersebut.

Sedangkan pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan

yuridis normatif, dimana penelitian ini sering disebut dengan penelitian

doktriner, dimana data yang digunakan adalah sumber data

sekunder.Prosesnya bertolak dari premis-premis yang berupa

norma-norma hukum positif yang diketahui dan berakhir pada penemuan

asas-asas hukum yang menjadi pangkal tolak pencarian asas-asas adalah

norma-norma hukum positif (Ali, 2010:25).Atau singkatnya,metode pendekatan

yuridis normatif adalah pendekatan yang meneliti data sekunder di

bidanghukumyang ada sebagai data kepustakaan.

2. Kehadiran Peneliti

Dalampenelitian ini, penulis bertindak sebagai instrumen sekaligus

menjadi pengumpul data. Instrumen lain yang penulis gunakan adalah alat

perekam, alat tulis, serta alat dokumentasi. Akan tetapi instrumen ini

hanya sebagai pendukung.Oleh karena itu, kehadiran penulis di lapangan

(27)

mutlak diperlukan. Kehadiran penulis di lokasi adalah untuk mencari

dokumen salinan penetapan isbat nikah yang akan dijadikan bahan analisis

serta untuk melakukan wawancara dengan hakim guna menggali

keterangan yang diperlukan. Kehadiran penulis diketahui statusnya

sebagai peneliti.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di lakukan di Pengadilan Agama Salatiga yang

beralamat di Jalan Lingkar Selatan, Dukuh Jagalan RT 14 RW 05

Cebongan, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga. Lokasi tersebut

dijadikan lokasi penelitian karena di lokasi tersebut terdapat objek

penelitian yang akan dikaji dan disesuaikan dengan judul yang penulis

pilih.

4. Sumber Data

a. Informan

Informan adalah orang yang dapat memberikan informasi

tentang situasi dan kondisi latar penelitian (Moloeng, 2000:90).Dalam

penelitian ini yang menjadi informan adalah Majelis Hakim

Pengadilan Agama Salatiga yang menetapkan permohonan Nomor

0076/Pdt.P/2014/PA.SAL.

b. Dokumen

Dokumen adalah data yang mencakup surat-surat resmi,

buku-buku, hasil penelitian yang berbentuk laporan dan sejenisnya

(28)

(Moloeng, 2000:113). Dokumen dalam penelitian ini meliputi salinan

penetapan isbat nikah Pengadilan Agama Salatiga Nomor

0076/Pdt.P/2014/PA.SAL, buku-buku yang berkaitan dengan

penelitian ini, artikel ilmiah dan arsip-arsip yang mendukung.

5. Metode Pengumpulan Data

a. Wawancara

Wawancara (interview) adalah sebuah dialog yang dilakukan

oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara

(Arikunto, 1998:145). Dalam hal ini penulis melakukan wawancara

kepada narasumber yang sangat berkaitan dalam penulisan skripsi

ini.Narasumber tersebut yaitu Hakim Pengadilan Agama Salatiga yang

menetapkan permohonan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL.

b. Dokumentasi

Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable

yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,

notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya (Arikunto, 1998: 236).

Dalam hal ini penulis mengambil dokumentasi berupa data tentang

dikabulkannya isbat nikah oleh Majelis Hakim di Pengadilan Agama

Salatiga, yang ada pada penetapan Nomor 0076/Pdt.P/2014/PA.SAL.

c. Studi Pustaka

Studi pustaka yaitu penelitian yang mencari data dari

bahan-bahan tertulis (Amirin, 1990:135) berupa catatan, buku, surat kabar,

(29)

makalah, undang-undang dan sebagainya. Dalam penelitian ini penulis

menggunakan buku-buku tentang hukum perkawinan di Indonesia

maupun fiqh munakahat sebagai rujukan.Penulis juga menggunakan

hasil penelitian terdahulu yang berkaitan sebagai rujukan tambahan

dan pembanding.

6. Analisis Data

Analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif analisis

dengan mengggunakan pola pikir deduktif. Artinya, menggambarkan hasil

penelitian dengan diawali teori atau dalil yang bersifat umum tentang

perkawinan, pernikahan siri, isbat nikah, kemudian mengemukakan

kenyataan yang bersifat khusus dari hasil penelitian terhadap penetapan

Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0076/Pdt.p/2014/PA.SAL.Hasil

penelitian kemudian dianalisa dengan menggunakan metode tersebut.

7. Pengecekan Keabsahan Data

Dalam suatu penelitian, data mempunyai pengaruh yang sangat besar

dalam menentukan hasil akhir suatu penelitian sehingga untuk

mendapatkan data yang valid diperlukan suatu teknik pemeriksaan

keabsahan data. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data

yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil

wawancara terhadap objek penelitian (Lexy j. Moleong, 2009: 330). Untuk

melakukan triangulasi yaitu keterangan informan dicek dengan informan

(30)

lainnya, kemudian keterangan informan dicek dengan observasi dan

dokumentasi.

8. Tahap-tahap Penelitian

Penulis melakukan penelitian pendahuluan ke Pengadilan Agama

Salatiga untuk mencari data awal mengenai kasus isbat nikah terhadap

nikah siri. Kemudian penulis melakukan pengembangan desain dari data

awal tadi dan selanjutnya melakukan penelitian yang sebenarnya, hingga

sampailah pada penulisan laporan hasil penelitian tersebut.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan untuk mempermudah

pemahaman skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Terdiri atas Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan

Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Tinjauan Pustaka,

Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Dalam hal ini penulis akan memaparkan kajian pustaka yang

menjelaskan tentang konsep pernikahan, pernikahan siri, dan isbat

nikah.

(31)

BAB III HASIL PENELITIAN

Dalam bab ini penulis akan menguraikan gambaran umum Pengadilan

Agama Salatiga, salinan penetapan isbat nikahNomor

0076/Pdt.P/2014/PA.SAL dan faktor-faktor yang melatarbelakangi

dikabulkannya permohonan isbat nikah tersebut.

BAB VI PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis akan menguraikananalisis hukum terhadap

penetapan Majelis Hakim pada permohonan Nomor

0076/Pdt.P/2014.PA.SAL.

BAB V PENUTUP

Bab ini terdiri dari Kesimpulan dan saran.

(32)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Pernikahan

1. Pengertian Pernikahan

Kata nikah atau pernikahan sudah menjadi kosa kata dalam bahasa

Indonesia, sebagai padanan kata perkawinan (az-zawaj). Nikah artinya

suatu akad yang menghalakan pergaulan antara seorang laki-laki dan

perempuan yang bukan muhrim dan menimbulkan hak dan kewajiban

antara keduanya.

Menurut Kompilasi Hukum Islam, perkawinan atau pernikahan

yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizan untuk menaati

perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.

Adapun menurut syara`, nikah adalah akad serah terima antara

laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama

lainnya dan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah serta

masyarakat yang sejahtera (Tihami, 2009:8). Sebagaimana disebutkan di

dalam UU No. 1 Tahun 1974 bab 1 pasal (1) bahwa perkawinan ialah

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dengan melihat kepada hakikat perkawinan itu merupakan akad

yang membolehkan laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang

(33)

sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum asal

dari pernikahan adalah boleh atau mubah.

Namun dengan melihat kepada sifatnya sebagai sunnah Allah dan

sunnah Rosul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hokum asal

pernikahan itu hanya semata mubah. Dengan demikian, dapat dikatakan

bahwa melangsungkan akad pernikahan diperintah oleh agama dan

dengan telah berlangsungnya akad pernikahan itu maka pergaulan laki-laki

dengan perempuan menjadi mubah (Syarifudin, 2007:43).

2. Hukum Pernikahan

Menurut Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Prof. Dr.

Abdul Wahhab Sayyed Hawwas (Guru Besar Universitas Al-Azhar Mesir),

hukum pernikahan dibagi menjadi lima, yaitu sebagai berikut:

a. Fardhu

Hukum nikah fardhu, pada kondisi seseorang yang mampu biaya

wajib nikah, yakni biaya nafkah dan mahar dan adanya percaya diri

bahwa ia mampu menegakkan keadilan dalam pergaulan dengan

istri yakni pergaulan dengan baik. Demikian juga, ia yakin bahwa

jika tidak menikah pasti akan terjadi perbuatan zina, sedangkan

puasa yang dianjurkan Nabi tidak akan mampu menghindarkan

dari perbuatan tersebut.

(34)

b. Wajib

Hukum nikah menjadi wajib bagi seseorang yang memiliki

kemampuan biaya nikah, mampu menegakkan keadilan dalam

pergaulan yang baik dengan istri yang dinikahinya, dan ia

mempunyai dugaan kuat akan melakukan perzinaan apabila tidak

menikah. Keadaan seseorang seperti di atas wajib untuk menikah,

tetapi tidak sama dengan kewajiban pada fardu nikah di atas.

Karena dalam fardhu dalilnya pasti atau yakin (qath`i)

sebab-sebabnya pun juga pasti.Sedangkan dalam wajib nikah, dalil dan

sebab-sebabnya adalah atas dugaan kuat (zhanni), maka produk

hukumnya pun tidak qath`i tapi zhanni. Dalam wajib nikah hanya

ada unggulan dugaan kuat dan dalilnya wajib bersifat syubhat atau

samar. Jadi, kewajiban nikah pada bagian ini adalah khawatir

melakukan zina jika tidak menikah, tetapi tidak sampai ke tingkat

yakin.

c. Haram

Hukum nikah adalah haram bagi mereka yang tidak memiliki

kemampuan nafkah nikah dan yakin akan terjadi penganiayaan jika

menikah.

d. Makruh

Nikah makruh bagi seseorang yang dalam kondisi campuran.

Seseorang mempunyai kemampuan harta biaya nikah dan tidak

(35)

dikhawatirkan terjadi maksiat zina, tetapi dikhawatirkan terjadi

penganiayaan istri yang tidak sampai ke tingkat yakin.

e. Fardu, Mandub, dan Mubah

Seseorang dalam kondisi normal, artinya memiliki harta, tidak

khawatir dirinya melakukan maksiat zina sekalipun membujang

lama dan tidak dikhawatirkan berbuat jahat terhadap istri. Para

ulama dalam hal ini berbeda pendapat tentang hukumnya.

Menurut kaum Zhahiriyah hukum nikahnya dalah fardhu.

Sedangkan menurut Ulama Asy-Syafi`iyah hukumnya adalah

mubah. Sementara itu, jumhur ulama menganggap bahwa hukum

nikahnya adalah sunnah muakkadah.

3. Rukun dan Syarat Sahnya Pernikahan

a. Menurut Islam

Menurut syariat agama Islam, setiap perbuatan hukum harus

memenuhi dua unsur, yaitu rukun dan syarat. Rukun ialah unsur pokok

dalam setiap perbuatan hukum, sedangkan syarat ialah unsur

pelengkap dalam setiap perbuatan hukum.

Adapun rukun dan syarat nikah dalam Islam adalah sebagai

berikut:

1) Calon suami, syaratnya:

a) Beragama Islam;

b) Jelas bahwa ia adalah laki-laki;

(36)

c) Atas keinginan dan pilihan sendiri (tidak terkena paksaan);

d) Tidak beristri empat;

e) Tidak mempunyai hubungan mahram dengan calon istri;

f) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon

istrinya;

g) Mengetahui bahwa calon istri itu tidak haram baginya;

h) Tidak sedang berihram haji atau umrah.

2) Calon istri, syaratnya:

a) Beragama Islam;

b) Jelas bahwa ia seorang perempuan;

c) Telah mendapat izin dari walinya;

d) Tidak bersuami;

e) Tidak sedang dalam masa iddah;

f) Tidak mempunyai hubungan mahram dengan calon suami;

g) Jika ia seorang janda, maka harus atas kemauan sendiri, bukan

karena dipaksa siapa pun;

h) Jelas ada orangnya;

i) Tidak sedang ihram haji maupun umrah.

3) Wali, syaratnya:

a) Laki-laki;

b) Beragama Islam;

c) Sudah baligh (dewasa);

(37)

d) Berakal;

e) Merdeka (bukan budak);

f) Adil;

g) Tidak sedang melaksanakan ihram haji atau umrah.

4) Dua orang saksi, syaratnya:

a) Dua orang laki-laki;

b) Beragama Islam;

c) Baligh/dewasa;

d) Berakal;

e) Merdeka;

f) Adil;

g) Melihat dan mendengar;

h) Memahami bahasa yang digunakan dalam akad;

i) Tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah;

j) Hadir dalam ijab Kabul.

5) Ijab dan Kabul, syaratnya:

a) Menggunakan kata yang bermakna menikah atau mengawinkan

baik bahasa Arab ataupun padanan kata itu dalam bahasa

Indonesia atau bahasa daerah sang pengantin;

b) Lafal ijab kabul diucapkan pelaku akad nikah;

c) Antara ijab dan kabul harus bersambung, tidak boleh diselingi

perkataan atau perbuatan lain;

(38)

d) Pelaksanaan ijab dan kabul harus berada pada satu tempat,

tidak dikaitkan dengan suatu persyaratan apapun dan tidak

dibatasi dengan waktu tertentu.

b. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Rukun dan syarat sahnya pernikahan menurut Kompilasi

Hukum Islam secara keseluruhan sama dengan yang terdapat dalam

agama Islam, karena berasal dari rujukan yang sama pula, yaitu

Al-Qur`an dan Hadits. Adapun rukun dan syarat pernikahan dalam

Kompilasi Hukum Islam dituangkan dalam Bab IV pasal 14 sampai

dengan pasal 38.

Selain itu, dalam pasal 4 Kompilasi Hukum Islam juga

disebutkan tentang syarat sahnya pernikahan, yang berbunyi:

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam

sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang perkawinan”.

c. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara

tegastentang rukun dan syarat sahnya pernikahan. Akan tetapi dalam

pasal 2 telah dijelaskan bahwa:

(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya.

(39)

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

B. Pernikahan Siri

1. Pengertian Nikah Siri

Kata “siri” dari segi etimologi berasal dari bahasa Arab “sirrun”,

yang berarti secara diam-diam atau tertutup, secara batin, secara rahasia,

secara sembunyi-senbunyi atau misterius. Jadi, nikah siri berarti nikah

secara rahasia (secret marriag), pernikahan yang dirahasiakan dari orang

banyak.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendefinisikan nikah siri atau

nikah bawah tangan adalah pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan

syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan

resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan

perundang-undangan.

Menurut DR. H. A. Gani Abdullah, SH., Hakim Agung dalam

Mimbar Hukum Nomor 23 Tahun 1995 mengatakan, untuk mengetahui

apakah pada suatu perkawinan itu terdapat unsur siri atau tidak, dapat

dilihat dari tiga indikator yang harus selalu menyertai perkawinan legal.

Apabila salah satu faktor saja tidak terpenuhi, perkawinan itu dapat

diidentifikasikan sebagai pernikahan siri. Tiga indikator itu adalah:

Pertama, subjek hukum akad nikah, terdiri dari calon suami, calon isteri,

(40)

dan wali nikah yaitu orang yang berhak menjadi wali, dan dua orang

saksi; Kedua, kepastian hukum dari perkawinan tersebut, yaitu ikut

hadirnya Pegawai Pencatat Nikah pada saat n ikah dilangsungkan; Ketiga,

walimatul ursy, yaitu kondisi yang sengaja diciptakan untuik menunjukkan

kepada masyarakat luas bahwa diantara kedua calon suami isteri tadi telah

resmi menjadi suami isteri.

Dari ketiga indikator tersebut, suatu perkawinan dapat

diklasifikasi sebagai kawin atau nikah siri jika unsur kedua dan ketiga

tidak terpenuhi, yaitu pernikahan tidak dipublikasikan kepada masyarakat

dan tidak dicatatkan pada Pegawai pencatat Nikah.

2. Hukum Pernikahan Siri

a. Menurut Hukum Positif

Undang-Undang (UU RI) tentang Perkawinan No. 1 tahun

1974 diundang-undangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan

diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan

yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU

No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut UU Perkawinan,

perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa (Pasal 1 UU Perkawinan).

(41)

Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan

terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: “(1) Perkawinan

adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Dari Pasal 2 Ayat (1) ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan

adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu

perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul

telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah

melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan

tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan

masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan

kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam

hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan,

tentang pencatatan perkawinan .Bagi mereka yang melakukan

perkawinan menurut agama Islam pencatatan dilakukan di KUA untuk

memperoleh Akta Nikah sebagai bukti dari adanya perkawinan

tersebut. (pasal 7 ayat 1 KHI “Perkawinan hanya dapat dibuktikan

dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah”).

Sedangkan bagi mereka yang beragama non muslim pencatatan

(42)

dilakukan di kantor Catatan Sipil, untuk memperoleh Akta

Perkawinan.

b. Menurut Hukum Islam

Pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk

menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul

‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai

berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah

muakkadah). Nabi saw bersabda :

ٍةﺎَﺸِﺑ ْﻮَﻟَو ِْﱂْوَأ ﺎَﻨَـﺛﱠﺪَﺣ

Adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing. (HR. Imam Bukhari dan Muslim)

Nikah Siri dalam pandangan masyarakat mempunyai tiga

pengertian:

Pengertian Pertama: Nikah Siri adalah pernikahan yang

dilakukan secara sembunyi - sembunyi tanpa wali dan saksi. Inilah

pengertian yang pernah diungkap oleh Imam Syafi’I di dalam kitab Al

Umm 5/ 23:

ُحﺎَﻜِﻧ اﺬﻫ لﺎﻘﻓ ٌةَأَﺮْﻣاَو ٌﻞُﺟَر ﱠﻻإ ﻪﻴﻠﻋ ْﺪَﻬْﺸَﻳ ﱂ ٍحﺎَﻜِﻨِﺑ ُﺮَﻤُﻋ ﻰﺗأ لﺎﻗ ِْﲑَـﺑﱡﺰﻟا ﰊأ ﻦﻋ ٌﻚِﻟﺎَﻣ ﺎﻧﱪﺧأ

ﺖَْﲨَﺮَﻟ ﻪﻴﻓ ﺖْﻣﱠﺪَﻘَـﺗ ﺖْﻨُﻛ ْﻮَﻟَو ُﻩُﺰﻴِﺟُأ َﻻَو ﱢﺮﱢﺴﻟا

(43)

Dari Malik dari Abi Zubair berkata bahwa suatu hari Umar dilapori tentang pernikahan yang tidak disaksikan kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata: “ Ini adalah nikah sirri, dan saya tidak membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan saya rajam ( pelakunya ).

Atsar di atas dikuatkan dengan hadist Abu Hurairah ra :

ﺮﺴﻟا حﺎﻜﻧ ﻦﻋ ﻰ� ﻢﻠﺳو ﻪﻴﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﱯﻨﻟا نأ

Bahwa nabi Muhammad saw melarang nikah siri.

(HR at Tabrani di dalam al Ausath dari Muhammad bin Abdus Shomad bin Abu al Jirah yang belum pernah disinggung oleh para ulama. Adapaun rawi-rawi lainnya semuanya tsiqat (terpercaya).

Pernikahan Siri dalam bentuk yang pertama ini hukumnya

tidak sah.

Pengertian Kedua: Nikah Siri adalah pernikahan yang dihadiri

oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh

mengumumkannya kepada khayalak ramai.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum nikah seperti ini:

Pendapat Pertama menyatakan bahwa nikah seperti ini

hukumnya sah tapi makruh. Ini pendapat mayoritas ulama, diantaranya

adalah Umar bin Khattab, Urwah, Sya’bi, Nafi’, Imam Abu Hanifah,

Imam Syafi’I, Imam Ahmad. Dalilnya adalah hadist Aisyah ra,

bahwa Rasulullah saw bersabda:

لْﺪَﻋ ّيَﺪِﻫﺎﺷو ِّﱄَﻮﺑ ﻻإ َحﺎﻜِﻧ ﻻ

(44)

Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil. (HR Daruqutni dan al Baihaqi).

Hadits ini dishohihkan oleh Ibnu Hazm di dalam (al-Muhalla: 9/465)

Hadits di atas menunjukkan bahwa suatu pernikahan jika telah

dihadiri wali dan dua orang saksi dianggap sah, tanpa perlu lagi

diumumkan kepada khayalak ramai.Selain itu, mereka juga

mengatakan bahwa pernikahan adalah sebuah akad mu’awadhah (akad

timbal balik yang saling menguntungkan), maka tidak ada syarat untuk

diumumkan, sebagaimana akad jual beli.

Begitu juga pengumuman pernikahan yang disertai dengan

tabuhan rebana biasanya dilakukan setelah selesai akad, sehingga

tidak mungkin dimasukkan dalam syarat-syarat pernikahan.Adapun

perintah untuk mengumumkan yang terdapat di dalam beberapa hadist

menunjukkan anjuran dan bukan suatu kewajiban.

Pendapat Kedua menyatakan bahwa nikah seperti ini

hukumnya tidak sah.Pendapat ini dipegang oleh Malikiyah dan

sebagian dari ulama madzhab Hanabilah. Bahkan ulama Malikiyah

mengharuskan suaminya untuk segera menceraikan istrinya, atau

membatalkan pernikahan tersebut, bahkan mereka menyatakan wajib

ditegakkan had kepada kedua mempelai jika mereka terbukti sudah

melakukan hubungan seksual. Begitu juga kedua saksi wajib diberikan

sanksi jika memang sengaja untuk merahasiakan pernikahan kedua

(45)

mempelai tersebut. Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan

oleh Muhammad bin Hatib al Jumahi, bahwasanya Rasulullah saw

bersabda :

توﺻﻟاو ﱡفدﻟا ِمارﺣﻟاو ِلﻼﺣﻟا َنْﯾَﺑ لْﺻَﻓ Pembeda antara yang halal (pernikahan) dan yang haram (perzinaan) adalah gendang rebana dan suara.(HR an Nasai dan al Hakim dan beliau menshohihkannya serta dihasankan yang lain)

Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw

bersabda :

ﱢفﱡدﻟﺎﺑ ﮫﯾﻠﻋ اوُﺑ ِرﺿاو ،دﺟﺎﺳﻣﻟا ﻲﻓ هوﻠﻌﺟاو ،حﺎﻛﻧﻟا اوﻧﻠﻋأ

Umumkanlah nikah, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk mengumumkannya.( HR Tirmidzi, Ibnu Majah )

Pengertian Ketiga: Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan

dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab

qabul, hanya saja pernikahan ini tidak dicatatkan dalam lembaga

pencatatan Negara, dalam hal ini adalah KUA ..

Bagaimana Hukum Nikah Siri dalam bentuk ketiga

ini?Menurut kaca mata Syariat, Nikah Siri dalam katagori ini,

hukumnya sah dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam, karena

syarat-syarat dan rukun pernikahan sudah terpenuhi.Sedangkan

menurut kaca mata hukum positif di Indonesia dengan merujuk pada

(46)

RUU Pernikahan di atas, maka nikah siri semacam ini dikenakan

sanksi hukum.

c. Menurut Majelis Ulama Indonesia

Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa

tentang nikah di bawah tangan atau nikah siri dengan dua ketentuan

hukum (Amin, 2011:534), yakni:

(1) Pernikahan di Bawah Tangan hukumnya sah karena telah terpenuhi

syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat dampak negatif

(madharrah);

(2) Pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang,

sebagai langkah preventif untuk menolak hal-hal yang

bersifat madharrah.

3. Pendapat Para Ahli tentang Nikah Siri:

a. Menurut Husein Muhamad, seorang komisioner komnas perempuan

menyatakan pernikahan pria dewasa dengan wanita secara siri

merupakan pernikahan terlarang karena pernikahn tersebut dapat

merugikan si perempauan, sedangkan islam jusru melindungi

perempuan bukan malah merugikannya.

b. Dr. Yusuf Qardawi, salah seorang pakar muslim kontemporer

terkemuka di Islam berpendapat bahwa nikah siri itu sah selama

ada ijab kabul dan saksi.

c. Dadang Hawari berpendapat bahwa nikah siri adalah haram.

(47)

d. KH. Tochri Tohir menilai nikah siri sah dan halal, karena islam tidak

pernah mewajibkan sebuah nikah harus dicatatkan secara negara.

Menurut Tohir, nikah siri harus dilihat dari sisi positifnya, yaitu upaya

untuk menghindari Zina. Namun ia juga setuju dengan pernyataan

Dadang Hawari bahwa saat ini memang ada upaya penyalahgunaan

nikah siri hanya demi memuaskan hawa nafsu. Menurutnya, nikah siri

semacam itu, tetap sah secara agama, namun perkawinannya menjadi

tidak berkah.

e. Menurut Prof. Wasit Aulawi seorang pakar hukum Islam Indonesia,

mantan Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama yang juga

mantan Dekan Fakultas Syariah UIN Jakarta, menyatakan bahwa

ajaran Islam, nikah tidak hanya merupakan hubungan perdata, tetapi

lebih dari itu nikah harus dilihat dari berbagai aspek. Paling tidak

menurutnya ada tiga aspek yang mendasari perkawinan, yaitu: agama,

hukum dan sosial, nikah yang disyariatkan Islam mengandung ketiga

aspek tersebut, sebab jika melihat dari satu aspek saja maka pincang.

f. Quraish Shihab mengemukakan bahwa betapa pentingnya pencatatan

nikah yang ditetapkan melalui undang-undang di sisi lain nikah yang

tidak tercatat-selama ada dua orang saksi-tetap dinilai sah oleh hukum

agama, walaupun nikah tersebut dinilai sah, namun nikah dibawah

tangan dapat mengakibatkan dosa bagi pelakunya, karena melanggar

ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Al-Qur’an memerintahkan

(48)

setiap muslim untuk taat pada ulul amri selama tidak bertentangan

dengan hukum Allah (Shihab, 1998:204).

4. Hal-hal yang Melatarbelakangi Terjadinya Pernikahan Siri

a. Kurangnya Kesadaran Hukum Masyarakat

Masih banyak diantara masyarakat kita yang belum memahami

sepenuhnya betapa pentingnya pencatatan perkawinan. Kalaupun

dalam kenyataannya perkawinan itu dicatatkan di KUA sebagian dari

mereka boleh jadi hanya sekedar ikut-ikutan belaka; menganggapnya

sebagai tradisi yang lazim dilakukan oleh masyarakat setempat; atau

pencatatan perkawinan itu hanya dipandang sekedar soal administrasi;

belum dibarengi dengan kesadaran sepenuhnya akan segi-segi manfaat

dari pencatatan perkawinan tersebut.

b. Sikap Apatis Sebagian Masyarakat Terhadap Hukum

Sebagian masyarakat ada yang bersikap masa bodoh terhadap

ketentuan peraturan yang menyangkut perkawinan.

c. Ketentuan Pencatatan Perkawinan Yang Tidak Tegas

Sebagaimana kita ketahui, ketentuan pasal 2 UU No.1 / 1974

merupakan azas pokok dari sahnya perkawinan.Ketentuan ayat (1) dan

(2) dalam pasal tersebut harus dipahami sebagai syarat kumulatif,

bukan syarat alternative sahnya suatu perkawinan. Dari fakta hukum

dan/atau norma hukum tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi dasar

bagi umat Islam terhadap wajibnya mencatatkan perkawinan mereka.

(49)

Akan tetapi ketentuan tersebut mengandung kelemahan karena pasal

tersebut multi tafsir dan juga tidak disertai sanksi bagi mereka yang

melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan perkawinan

dalam undang-undang tersebut bersifat tidak tegas.

d. Ketatnya izin poligami

Ketatnya izin untuk melakukan poligami dapat memicu

seorang laki-laki untuk melangsungkan pernikahan siri, terutama bagi

pegawai negeri dan anggota militer.Hal ini karena pernikahan siri lebih

sederhana dan mudah dilakukan.

5. Dampak Praktik Pernikahan Siri

a. Bagi Wanita/Isteri:

Dalam hal ini, wanita paling banyak mendapatkan kerugian,

yaitu tidak diakuinya sebagai isteri yang sah, tidak berhak atas nafkah

dari suami, tidak berhak mendapatkan harta warisan jika suami

meninggal, tidak berhak atas harta gono-gini bila terjadi perceraian,

karena secara hukum positif pernikahan tersebut dianggap tidak

pernah terjadi.

b. Bagi Anak:

Tidak sahnya pernikahan siri menurut hukum negara memiliki

dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yaitu

status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak

sah.Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata

(50)

dengan ibu dan keluarga ibu.Artinya, si anak tidak mempunyai

hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU

Perkawinan, pasal 100 KHI). Di dalam akte kelahirannyapun statusnya

dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama

ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar

nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat

mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.

Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan

hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu

waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak

kandungnya. Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak

atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari

ayahnya.

c. Bagi Suami:

Hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan atau merugikan

bagi diri laki-laki atau suami yang menikah siri dengan seorang

perempuan.Yang terjadi justru menguntungkan pihak suami, karena

suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang

di siri dianggap tidak sah dimata hukum.Selain itu suami bisa berkelit

dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah, baik kepada

istri maupun kepada anak-anaknya.Suami juga tidak dipusingkan

dengan pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain.

(51)

6. Pengesahan Pernikahan Siri:

a. Mencatatkan perkawinan dengan isbat nikah

Esensinya adalah pernikahan yang semula tidak dicatatkan menjadi

tercatat dan disahkan oleh negara serta memiliki kekuatan hukum.

Dasar dari istbat nikah adalah Kompilasi Hukum Islam pasal 7 yaitu :

1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat

oleh Pegawai Pencatat Nikah.

2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah,

dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas

mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

(a) Dalam rangka penyelesaian perceraian;

(b) Hilangnya akta nikah;

(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu

syarat perkawinan;

(d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya

Undang- Undang No. 1 Tahun 1974; dan

(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak

mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974.

(52)

4) Yang berhak mengajukan permohonan istbat nikah ialah suami

atau istri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang

berkepentingan dengan perkawinan itu.

b. Melakukan pernikahan ulang

Pernikahan yang dilakukan layaknya pernikahan secara agama,

yang tujuannya untuk melengkapi pernikahan pertama (siri).Namun

pernikahan ini harus disertai dengan pencatatan pernikahan oleh

pejabat yang berwenang (KUA).

Pencatatan perkawinan ini penting agar ada kejelasan status

bagi perkawinan. Namun, status anak-anak yang lahir dalam

perkawinan siri akan tetap dianggap sebagai anak di luar kawin, karena

perkawinan ulang tidak berlaku surut terhadap status anak yang

dilahirkan sebelum perkawinan ulang dilangsungkan. Oleh karenanya,

dalam akta kelahiran, anak yang lahir sebelum perkawinan ulang tetap

sebagai anak luar kawin, sebaliknya anak yang lahir setelah

perkawinan ulang statusnya sebagai anak sah yang lahir dalam

perkawinan.

Adapun cara yang dapat ditempuh jika dalam perkawinan siri

tersebut telah lahir anak-anak, maka dapat diikuti dengan pengakuan

anak, yakni pengakuan yang dilakukan oleh bapak atas anak yang lahir

di luar perkawinan yang sah menurut hukum. Pada dasarnya,

(53)

pengakuan anak dapat dilakukan baik oleh ibu maupun bapak. Namun,

berdasarkan Pasal 43 Undang undang No. 1 Tahun 1974 yang pada

intinya menyatakan, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan tidak

mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, maka untuk

mendapatkan hubungan perdata yang baru, seorang ayah dapat

melakukan pengakuan Anak. Namun bagaimanapun, pengakuan anak

hanya dapat dilakukan dengan persetujuan ibu, sebagaimana diatur

dalam Pasal 284 KUH Perdata.

C. Isbat Nikah

1. Pengertian dan Dasar Hukum Isbat Nikah

Menurut bahasa, isbat nikah terdiri dari dua kata yaitu kata “isbat”

yang merupakan masdar atau asal kata dari “atsbata” yang memiliki arti

“menetapkan”, dan kata “ nikah” yang berasal dari kata “nakaha” yang

memiliki arti “saling menikah”, dengan demikian kata “isbat nikah”

memiliki arti yaitu “penetapan pernikahan”.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, isbat nikah adalah

penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah. Isbat nikah adalah

pengesahan atas perkawinan yang telah dilangsungkan menurut syariat

agama Islam, akan tetapi tidak dicatat oleh KUA atau PPN yang

berwenang (Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor

KMA/032/SK/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas dan

Administrasi Pengadilan).

(54)

Status perkawinan dalam hal ini diartikan dengan keadaan dan

kedudukan perkawinan yang telah dilangsungkan.Dalam aspek ini

sebenarnya undang-undang telah memberikan rumusan tentang

perkawinan yang sah. Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah,

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu. Dalam penjelasan Pasal 2 disebutkan bahwa dengan

perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada Perkawinan diluar hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan

Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan

perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu

sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam

Undang-undang ini. Berdasarakan ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UUPerkawinan dan

penjelasannya ini, dapat diketahui bahwa patokan untuk mengetahui suatu

perkawinan sah adalah hukum masing-masing agama dan kepercayaan

para pihak serta ketentuan perundang-undangan yang berlaku sepanjang

tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UUPerkawinan.

Pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan

perkawinan akan menimbulkan kemaslahatan umum karena dengan

pencatatan ini akan memberikan kepastian hukum terkait dengan hak-hak

(55)

suami/isteri, kemaslahatan anak maupun efek lain dari perkawinan itu

sendiri. Perkawinan yang dilakukan di bawah pengawasan atau di

hadapan Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama akan

mendapatkan Akta Nikah sebagai bukti telah dilangsungkannya sebuah

perkawinan.

Akta Nikah merupakan akta autentik karena Akta Nikah tersebut

dibuat oleh dan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah sebagai pejabat yang

berwenang untuk melakukan pencatatan perkawinan, dibuat sesuai dengan

bentuk yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

dan dibuat di tempat Pegawai Pencatat Nikah/Kantor Urusan Agama

tersebut melaksanakan tugasnya. Meskipun, Peraturan

Perundang-Undangan sudah mengharuskan adanya Akta Nikah sebagai bukti

perkawinan, namun tidak jarang terjadi suami istri yang telah menikah

tidak mempunyai Kutipan Akta Nikah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam

(KHI) dan Pasal 100 KUH Perdata tersebut, adanya suatu perkawinan

hanya bisa dibuktikan dengan akta perkawinan atau akta nikah yang

dicatat dalam register.Bahkan ditegaskan, akta perkawinan atau akta nikah

merupakan satu-satunya alat bukti perkawinan. Dengan perkataan lain,

perkawinan yang dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah (PPN) Kantor

Urusan Agama Kecamatan akan diterbitkan Akta Nikah atau Buku Nikah

merupakan unsur konstitutif (yang melahirkan) perkawinan. Tanpa akta

(56)

perkawinan yang dicatat, secara hukum tidak ada atau belum ada

perkawinan. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, Akta Nikah dan pencatatan perkawinan bukan

satu-satunya alat bukti keberadaan atau keabsahan perkawinan, karena itu

walaupun sebagai alat bukti tetapi bukan sebagai alat bukti yang

menentukan sahnya perkawinan, karena hukum perkawinan agamalah

yang menentukan keberadaan dan keabsahan perkawinan.

Kompilasi Hukum Islam juga memberikan rumusan tentang

perkawinan yang sah dan ketentuan untuk tertibnya perkawinan. Pasal 4

Kompilasi Hukum Islam memberikan penegasan bahwa “perkawinan

adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2

ayat (1) UU No. 1 Tahun1974 tentang perkawinan. Pasal 5 KHI

merumuskan: (1) agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat

Islam setiap perkawinan harus dicatat; (2) pencatatan perkawinan tersebut

pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang

diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No.

32 Tahun 1954.

Selanjutnya Pasal 6 KHI merumuskan: (1) untuk memenuhi

ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan

dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah; (2)

perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah

tidak mempunyai kekuatan Hukum.

(57)

Pasal 7 menyebutkan bahwa: (1) perkawinan hanya dapat

dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah;

(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akat Nikah,

dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama; (3) itsbat nikah yang

dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang

berkenaan dengan : (a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian

perceraian; (b) Hilangnya Akta Nikah; (c) Adanya keraguan tentang sah

atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; (d) Adanya perkawinan yang

terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan; (e)

Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan

perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974; (4) yang berhak

mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak

mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

Sedangan dari hukum syar’i sendiri secara eksplisit memang tidak

satupun nash baik al-Quran maupun hadis yang menyatakan keharusan

adanya pencatatan perkawinan. Akan tetapi dalam kondisi seperti sekarang

ini, pencatatan perkawinan menjadi sebuah keharusan bagi seseorang, hal

ini disebabkan karena banyak sekali mudharat yang akan ditimbulkan jika

tidak dilakukan pencatatan. Islam menggariskan bahwa setiap

kemudharatan itu sedapat mungkin harus dihindari, sebagaimana

ungkapan sebuah kaedah fikih yang berbunyi: “Kemudharatan harus

dihilangkan”.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini perlakuan diberikan mulai tanggal 6 Mei – 22 Mei 2018 melalui kegiatan belajar mengajar menggunakan media ABACA flashcard untuk mengembangkan

Anggota Partner, adalah anggota yang berlatar belakang diluar industri hotel namun terkait dengan pariwisata secara umum yang dipilih dn ditetapkan sebagai mitra kerja IHGMA yang

Dengan ini saya menyatakan bahwa isi intelektual skripsi saya yang berjudul “ PEMODELAN SINTETIK UNTUK OPTIMASI PARAMETERAKUSTIK MUSHOLLA DENGAN MODEL KUBAH

Sistem parkir mal yang dirancang telah dapat memberikan lokasi lot parkir terdekat berdasarkan lokasi kunjungan dari pengunjung dengan menggunakan Arduino Uno dan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari bakteri simbion rumput laut Kappaphycus alvarezii mengandung berbagai jenis pigmen yang tergolong dalam pigmen karotenoid.. Kata-kata Kunci

Sedangkan tabel 2 memperlihat- kan bahwa wanita lanjut usia yang mempunyai lemak tubuh normal dan lebih, jumlahnya sama yaitu 50%, dan tidak ditemukan lemak tubuh kurang..

Kemandirian siswa dapat dilihat saat siswa dapat mengatur semua kegiatan pribadi dalam suatu proses pembelajaran hal ini sejalan dengan Ningsih dan Nurrahmah

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi dengan judul: “ “KEMAMPUAN GURU PAI DALAM PENYUSUNAN SILABUS DAN RPP DI SMPN-1 SEBANGAU KUALA KABUPATEN PULANG PISAU ”