KEDALAMAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL
ANTARA ANGGOTA DENGAN PEMIMPIN BIARA DAN
KEDALAMAN
MODELING
ANGGOTA
TERHADAP PEMIMPIN BIARA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Program Studi Psikologi
Oleh:
Swastika Adi Wibowo
NIM : 029114099
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
Motto
Non Mea
sed Tan tum Volun tas Tua
(bukan kehendakku, tetapi hanya kehendak-Mulah yang terjadi)
Semua yang terjadi dalam diriku, serba tak pernah kuduga.
Apa yang kuminta... Engkau tak penuhinya.
Tapi... apa yang tak kuharap dan tak kuminta,
Engkau limpahkan semuanya.
Rahasia Kecil Kebahagiaan
Kebahagiaan datan g kepada m ereka yan g m em berikan cin tan ya secara bebas yan g tidak m em in ta oran g lain
m en cin tai m ereka terlebih dahulu
Berm urah hatilah
seperti m en tari yan g m em an carkan sin arn ya tan pa terlebih dahulu bertan ya
apakah oran g-oran g patut m en erim a kehan gatan n ya
.
Skripsi dengan Judul
KEDALAMAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL
ANTARA ANGGOTA DENGAN PEMIMPIN BIARA DAN
KEDALAMAN
MODELING
ANGGOTA
TERHADAP PEMIMPIN BIARA
Saya persembahkan kepada
:
My Beloved,
Jesus Christ
Bapak,
H ardoy o
Ibu,
Christian a Sri W ahy un i
Kakak Pertam aku,
Ign atius Yudho Adi R iy aw an
Kakak Keduaku,
An ton ius Yan uar Adhi Prasety o
Serta tem an -tem an ku yan g sedan g m en apaki jalan
panggilan Tuhan ,
Para Frater Tk VI
di Sem in ari Tin ggi St. Paulus Ken tun gan
Semoga gagasan sederhana yang didapat dari penelitian ini
bermanfaat untuk pengolahan hidup
bagi mereka yang memilih hidup secara khusus
dan bagi kehendak Tuhan yang luar biasa.
Tuhan...Mohon
berkat
bagi
mereka
semua
ABSTRAK
Swastika Adi Wibowo (2007). Kedalaman Komunikasi Interpersonal Anggota dengan Pemimpin Biara dan Kedalaman Modeling Anggota Terhadap Pemimpin Biara. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi
antara kedalaman komunikasi interpersonal anggota dengan pemimpin biara dan
kedalaman modeling anggota terhadap pemimpin biara. Hipotesis yang diajukan
dalam penelitian ini adalah ada korelasi positif antara kedalaman komunikasi
interpersonal anggota dan pemimpin biara dengan kedalaman modeling anggota
terhadap pemimpin biara
Subyek dalam penelitian ini berjumlah 66 orang, yakni para novis yang
berasal dari berbagai komunitas novisiat di daerah Yogyakarta. Metode
pengambilan data dilakukan melalui skala sikap yang dibagikan kepada para
subyek. Model skala yang dipakai adalah Interval Tampak Setara. Sebelum
penelitian dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pengujian reliabilitas atas skala
yang hendak dipakai penelitian. Pengujian tersebut menghasilkan bahwa kedua
skala tersebut memiliki reliabilitas skala sebesar 0,7977 untuk skala kedalaman
komunikasi interpersonal dan sebesar 0,8309 untuk skala kedalaman modeling.
Berdasar dua hal itu, alat ukur penelitian dapat dikatakan reliabel.
Data yang telah terkumpul dianalisis melalui teknik korelasi Product
Moment pearson. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa antara kedalaman
komunikasi interpersonal antara anggota dengan pemimpin biara dan kedalaman
modeling anggota terhadap pemimpin biara memiliki korelasi positif dan
ABSTRACT
Swastika Adi Wibowo (2007). The Depth of Interpersonal Communication of The Member with The Leader of Monastery and The Depth of Modeling of The Member to The Leader of Monastery. Yogyakarta: Faculty of Psychology of The Sanata Dharma University
The objective of this research is to examine the existence of the correlation
between depth of interpersonal communication of the member with the leader of
monastery and depth of modeling of the member to the leader of monastery. The
assumption is that there is a positive correlation between depth of interpersonal
communication of the member with the leader of monastery and depth of
modeling of the member to the leader of monastery.
The subjects were 66 novis from 9 novisiat communities around
Yogyakarta. Data was taken by attitude scale that given to the subjects. The
attitude scale model used was equal appearing interval. Before research was held,
researher examined the scale and gained that the scale have reliability 0,7977for
the depth of interpersonal communication scale and 0,8309 for the depth of
modeling scale. From this, we could say that both of scales are reliabel.
The data was analyzed by correlation Product Moment Pearson technique.
The result shown that between depth of interpersonal communication of the
member with the leader of monastery and depth of modeling of the member to the
leader of monastery have a positive and significant correlation (rxy = 0,359 ;
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah Yang Baik karena berkat kasih-Nya yang
begitu besar, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Tanpa
bimbingan-Nya, tentulah skripsi ini tidak akan tersusun dengan baik.
Skripsi ini disusun selama lebih dari satu tahun, dan selama itu pula penulis
mengalami berbagai dinamika yang tentunya sangat berharga. Semua tantangan
dan hambatan itu sudah dilalui dan kini tiba saatnya bagi peneliti untuk
mempertanggungjawabkannya. Meskipun demikian, peneliti menyadari berbagai
kekurangan yang masih ada dalam skripsi ini, oleh karenanya berbagai masukan
sangat diharapkan untuk menjadikannya semakin baik dan sempurna.
Untuk semuanya itu, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah memberikan waktu, informasi, dan dukungan hingga
selesainya penyusunan skripsi ini, secara khusus kepada:
1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi, M.Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberi kesempatan
dalam penyusunan skripsi ini
2. Bapak Dr. A. Supratiknya selaku pembimbing skripsi, yang dengan teliti
memeriksa dan senantiasa memberikan masukan demi kesempurnaan skripsi
ini
3. Bapak Y Agung Santoso, S. Psi dan Ibu Nimas Eki Suprawati, S.Psi, Psi
selaku dosen pembimbing akademik dan atas berbagai ide yang saya terima
4. Ibu A. Tanti Arini, S.Psi, M.Si dan Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi,
M.Si yang telah memberikan masukan saat presentasi dan proses revisi.
5. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi USD Yogyakarta; Ibu MB.
Rohaniwati, Mas Gandung Widiyantoro, Mas P. Mujiono, Mas Doni, dan
Bpk Giyono yang dengan setia senantiasa melayani kami para mahasiswa
6. Para Suster magistra di Novisiat CB, ADM, KFS, SFD, PPYK, dan OP;
Bruder magister di Novisiat CSA dan MTB; dan Romo magister di Novisiat
OMI yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk melakukan
pengambilan data.
7. Para suster, bruder, dan frater novis di berbagai komunitas novisiat di
Yogyakarta yang telah mengisi skala penelitian
8. Sr. Hedwig, CB yang telah memberikan dukungan dan meminjamkan
buku-bukunya, memberi banyak informasi, dan memberi kebaikan yang sudah
saya terima selama ini.
9. Bapak dan Ibu di rumah serta kedua kakakku, yang berada di Semarang dan
Solo, yang senantiasa memberiku semangat untuk menyelesaikan skripsi ini
10.Dewi, seorang teman dan sekaligus sahabat terbaikku yang senantiasa
berbagi hati baik dalam suka maupun duka.
11.Buat keluarga besar P2TKP; Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si, Bapak
Ant. Soesilastanto, Ibu Yuliana Pratiwi, dan Mbak Ertina Kusumawati yang
senantiasa memberikan dukungan, serta semua temen-temen asisten P2TKP
yang pernah berjuang bersama; Tyo, Deasy, Nita, Etik, Kobo, Desta, Lisna,
12.Kedua sahabat kecilku yang setia, Chinghe dan Fanny, kehadiranmu
senantiasa membuatku bahagia dan tertawa
13.Temen-temen Kost Wism@Em.Com; Arfi, Aji, Ardi, Dimas, Nofan, Nug,
Yuki, dulu ada Bertus dan Dita, Kang Heri, kalian semua berkat bagiku
14.Temen-teman di Geng Banyak: Tyas, Elen, Wedha, Barjo, Arba, Desta,
Lisna, dan Dedy.
15.Para Frater Tingkat VI di Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan Yogyakarta
yang senantiasa mengunjungi dan memberikan semangat kepada saya
16.Serta semua dosen, karyawan, dan teman-teman mahasiswa Fakultas
Psikologi USD yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu namun yang
senantiasa menyemangati saya dalam tugas ini
Akhirnya, saya sampaikan salam bangga kepada semua yang pernah
memperkaya hidup saya. Karena merekalah, saya dapat menjadi pribadi yang
semakin bertumbuh dari hari ke hari. Tuhan, mohon berkat bagi mereka semua.
Yogyakarta, 14 September 2007
Hormat saya,
DAFTAR ISI
JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN ...ii
LEMBAR PENGESAHAN ...iii
MOTTO ...iv
PERSEMBAHAN ...v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...vi
ABSTRAK …... vii
ABSTRACT ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR BAGAN ...xvi
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10
1. Komunikasi Interpersonal ... 10
a. Pengertian Komunikasi Interpersonal ... 10
b. Motif Komunikasi Interpersonal ... 12
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi Komunikasi Interpersonal ... 13
2. Tingkat Kedalaman Komunikasi Interpersonal ... 16
a. Pengertian Kedalaman Komunikasi Interpersonal ... 16
b. Taraf/ Tingkat Kedalaman Komunikasi Interpersonal ... 17
B. Kedalaman Modeling ... 20
1. Pengertian Modeling ... 20
2. Kedalaman Modeling ... 23
3. Tahapan-tahapan dalam Modeling ... 28
4. Karakteristik Model yang Mempengaruhi Terjadinya Modeling ... 30
C. Biara ... 32
1. Pengertian Biara ... 32
2. Pemimpin dan Anggota:Peran sebagai Pendamping dan Yang Didampingi dalam Proses Formatio ... 34
3. Komunikasi: Elemen penting dalam Proses Pendampingan Anggota Biara ... 37
4. Modeling Melalui komunikasi Interpersonal Yang Mendalam Di Komunitas Biara ... 40
D. Korelasi Antara Kedalaman Komunikasi Interpersonal dan Kedalaman Modeling dalam Komunitas Biara ... 42
BAB III METODE PENELITIAN ... 46
A. Jenis Penelitian: Penelitian Korelasional ... 46
B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 47
1. Variabel Bebas ... 48
2. Variabel Tergantung ... 48
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 48
1. Kedalaman Komunikasi Interpersonal ... 48
2. Kedalaman Modeling ... 51
D. Subyek Penelitian ... 53
E. Metode dan Alat Pengumpul Data ... 54
1. Pengembangan Alat Ukur Penelitian... 54
a. Metode Pengumpulan Data ... 54
b. Alat Pengumpul Data ... 54
c. Langkah-langkah Penyusunan Skala ... 55
2. Reliabilitas Alat Ukur ... 67
F. Metode Pengambilan Sampel ... 68
G. Analisis Data ... 69
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 70
A. Orientasi Kancah Penelitian ... 70
B. Pelaksanaan Penelitian ... 72
C. Hasil Uji Asumsi ... 73
1. Uji Normalitas ... 73
D. Hasil Penelitian ... 74
1. Deskripsi Data Penelitian ... 74
2. Hasil Uji Hipotesis ... 76
E. Pembahasan ... 78
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 84
A. Kesimpulan ...84
B. Saran ... 84
DAFTAR PUSTAKA ... 87
DAFTAR BAGAN
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1: Blue Print Skala Kedalaman Komunikasi Interpersonal ... 58
2. Tabel 2: Blue Print Skala Kedalaman Modeling ... 59
3. Tabel 3: Nilai Skala dan Distribusi Skala Uji Coba Kedalaman Komunikasi Interpersonal ... 61
4. Tabel 4: Nilai Skala dan Distribusi Skala Uji Coba Kedalaman Modeling ... 63
5. Tabel 5: Sebaran aitem Skala Penelitian Kedalaman Komunikasi Interpersonal ... 65
6. Tabel 6: Sebaran aitem Skala Penelitian Kedalaman Modeling ... 66
7. Tabel 7: Jadwal Pelaksanaan Penelitian ... 72
8. Tabel 8: Deskripsi Hasil Penelitian ... 75
9. Tabel 9: Hasil Uji Korelasi ... 77
DAFTAR LAMPIRAN
1. Skala untuk uji coba ( yang dinilai kelompok panel ) ... 91
2. Hasil penilaian semua anggota kelompok panel (uji coba) ... 105
3. Penilaian kelompok panel (uji coba) setelah diurutkan dari derajat terkecil ... 111
4. Hasil penilaian kelompok panel (uji coba) yang dianggap lolos untuk dianalisis ...117
5. Tabel deskripsi masing-masing aitem hasil penilaian seluruh kelompok panel ...123
6. Tabel Nilai Skala (S), Penyebaran (Q), dan daftar aitem yang dipilih untuk penelitian ... 162
7. Reliabilitas sebelum dan sesudah pemilihan aitem untuk penelitian ...164
8. Skala penelitian (skala final) ... 172
9. Data hasil penelitian masing-masing responden ... 176
10. Skor sikap variabel penelitian ... 184
11. Deskripsi empiris dan teoretis hasil penelitian ... 186
12. Tabel hasil uji normalitas ... 187
13. Tabel hasil uji linearitas ... 188
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan manusia, banyak ditemukan berbagai macam kelompok
sosial. Pada setiap kelompok sosial tersebut, setiap individu yang menjadi anggota
di dalamnya memiliki peran yang berbeda satu dengan yang lain. Mereka saling
berinteraksi satu dengan yang lain guna memperkaya kehidupan mereka. Menurut
Sherif dan Sherif (dalam Ahmadi, 1991), kelompok dimengerti sebagai suatu unit
sosial yang terdiri dari dua atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi
sosial yang cukup intensif dan teratur, sehingga di antara individu itu sudah
terdapat pembagian tugas, struktur, dan norma-norma tertentu yang khas bagi
kelompok itu. Hidup bersama dalam kelompok-kelompok sosial seperti ini
memiliki bentuk yang bermacam-macam.
Salah satu bentuk kehidupan berkelompok yang ada di tengah-tengah kita
ialah biara. Biara dapat disebut kelompok sosial karena memiliki beberapa
karakteristik seperti yang diungkapkan oleh Sherif dan Sherif; memiliki anggota
yang lebih dari satu individu, ada interaksi anggota yang intensif, ada struktur,
pembagian tugas, dan tata hidup bersama sebagai norma kelompoknya.
Komunitas biara adalah komunitas dimana para anggotanya, yakni biarawan atau
biarawati, secara khusus menghayati cara hidup kristiani untuk menjawab
panggilan Tuhan. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Salim dan Salim, 1991)
tinggal orang laki-laki atau perempuan yang mengkhususkan diri terhadap
pelaksanaan ajaran Injil di bawah pimpinan seorang ketua menurut aturan
tarikatnya.
Seperti halnya kelompok masyarakat yang lain, setiap anggota di dalam
biara mengalami dinamika berkomunikasi dengan anggota lain. Melalui
komunikasi mereka dapat saling bertukar pemikiran, saling berbagi pengalaman,
dan saling mendukung satu dengan yang lain dalam hal panggilan mereka. Semua
itu adalah bentuk komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal adalah
sebuah bentuk dari komunikasi manusia yang terjadi ketika kita berinteraksi
secara simultan dengan orang lain dan menguntungkan satu dengan yang lain
(Beebee, dkk,1996). Komunikasi semacam itu akan sangat membantu
perkembangan intelektual dan sosial seseorang (Johnson dalam Supratiknya,
1995). Melalui interaksi dalam komunikasi, pihak-pihak yang terlibat dalam
komunikasi dapat saling memberi inspirasi, semangat, dan dorongan untuk
mengubah pemikiran, perasaan, dan sikap yang sesuai dengan topik yang dibahas
bersama (Hardjana. 2003).
Di dalam komunitas biara, terdapat istilah formatio atau pembinaan.
Pembinaan dalam konteks kehidupan biara ini secara sederhana dapat diartikan
sebagai usaha pendampingan bagi para anggota dalam biara. Pembinaan memiliki
tujuan untuk meningkatkan kemampuan seseorang untuk membatinkan nilai-nilai
panggilan (internalisasi) dan mewujudkannya dalam kesaksian hidup yang efektif
(Prasetyo,1992). Pembinaan ini tidak lain adalah untuk membantu para
memiliki kualitas pribadi yang baik sesuai harapan ordo atau kongregasi bagi
pelayanannya kelak.
Dalam komunitas biara, terdapat satu orang pemimpin. Peran pemimpin
sangatlah penting karena harus mampu mengusahakan supaya kelompok yang
dipimpinnya dapat merealisasikan tujuannya dengan sebaik-baiknya dalam kerja
sama yang produktif dan dalam keadaan-keadaan bagaimana pun yang dihadapi
kelompoknya (Gerungan, 1980). Misalnya saja, seorang pemimpin dalam sebuah
biara harus mampu memberi inspirasi bagi anggotanya (Darminto, 2005).
Demikian juga dalam sebuah kelompok yang disebut biara, peranan pemimpin
cukup penting karena dari dialah muncul berbagai kebijakan pembinaan yang
akan mengatur segala dinamika kehidupan biara agar benar-benar mengarahkan
para anggotanya untuk dapat membangun karakter kepribadiannya ke arah yang
lebih baik menurut spiritualitas ordo atau kongregasinya.
Dalam melaksanakan tugas pendampingannya, pemimpin biara melakukan
komunikasi dengan para anggotanya. Komunikasi tersebut memiliki taraf
kedalaman yang berbeda, ada yang mendalam ada pula yang dangkal, meskipun
semua anggotanya tentu diharapkan mampu komunikasi secara mendalam. Bagi
pihak anggota biara, dengan komunikasi yang mendalam ia akan lebih mudah
untuk mengungkapkan segala yang dialaminya, baik uneg-uneg, kesedihan,
kegembiaraan, dan berbagai pengalaman lain tanpa ragu kepercayaannya
disia-siakan. Dengan keterbukaan semacam itu, anggota biara akan mendapatkan
masukan dari pemimpinnya untuk pengolahan panggilannya. Dari pihak
yang cukup penting karena dapat menjadi jalan untuk menanamkan nilai-nilai
keutamaan bagi para anggotanya. Lewat komunikasi ia dapat memberi kritik dan
masukan kepada para anggotanya, misalnya saat ia memberikan bimbingan
rohani, saat mendengarkan curhat, mendengarkan permasalahan, dan lain
sebagainya. Dengan mendengar pengalaman hidup anggotanya secara mendalam,
pemimpin biara dapat mengetahui perkembangan panggilan anggotanya itu. Dari
sini, pemimpin biara dapat menentukan langkah-langkah apa selanjutnya demi
perkembangan panggilan anggotanya.
Pemimpin biara senantiasa mengajak para anggotanya untuk terus menerus
memperkembangkan hidup rohani mereka agar para anggota biara, secara bahasa
rohani, makin bertemu dengan Kristus dan Roh Kudus sendiri (Darminto, 2005).
Memang benar bahwa setiap pribadi anggota biara memiliki haknya sendiri untuk
berkembang secara unik. Dengan berbagai karakter kepribadian masing-masing,
mereka akan mencoba menjawab panggilan Tuhan itu dengan cara-cara mereka
yang berbeda satu dengan yang lain. Keragaman ini juga ditegaskan oleh
Darminto (2005) yang mengungkapkan bahwa seorang pemimpin yang
memimpin bahkan memerintah dalam situasi-situasi tertentu tetap
memperhitungkan dan menghormati pribadi anggota-anggotanya. Ini
memperlihatkan keharusan akan adanya pengenalan dan kesediaan
memperhitungkan ide-ide, perasaan, kualitas, dan sifat-sifat positif yang ada
dalam diri para anggotanya. Hal ini menunjukkan makna bahwa pemimpin biara
Pada proses pembinaan, pemimpin biara melakukan pendampingan kepada
para biarawan-biarawati yang menjadi tanggung jawabnya sehingga kelak mereka
akan dapat memenuhi kebutuhan tarekatnya. Proses belajar yang dilakukan oleh
para anggota biara tentu akan berbeda satu dengan yang lainnya. Modeling adalah
salah satu cara yang dapat dipakai seseorang, termasuk anggota biara, dalam
proses belajar itu. Dalam ilmu psikologi, peranan faktor imitasi (salah satu bentuk
modeling) sebagai salah satu bentuk belajar tidaklah kecil karena seringkali orang
mempelajari sikap dan perilaku sosial dengan meniru sikap dan perilaku yang
menjadi model (Sears, dkk, 1999), seperti halnya pada anak yang mengimitasi
perilaku orang tuanya sejak ia belajar menirukan bahasa hingga mengikuti
perilaku orang tuanya (Ahmadi, 1991).
Dalam konteks kehidupan biara, modeling dapat terjadi pada para anggota
terhadap pemimpinnya. Ada yang melakukan modeling secara dangkal saja,
misalnya meniru cara berbicara atau dalam berperilaku namun ada pula yang
mendalam dengan menginternalisasi nilai-nilai keutamaan yang diajarkan dari
pemimpinnya. Dengan modeling, anggota biara dilatih untuk hidup sesuai harapan
ordo atau kongregasinya. Namun demikian, modeling yang diharapkan terjadi
tidak hanya pada hal-hal lahiriah, melainkan juga pada nilai-nilai keutamaan yang
ditawarkan pemimpinnya. Usaha menanamkan nilai-nilai spiritualitas, keutamaan,
atau teladan yang diberian oleh pemimpinnya ke dalam diri mereka adalah bentuk
modeling yang mendalam. Berbagai nilai yang dipelajarinya itu akan
digunakannya sebagai roh dalam mengolah panggilan sehingga tercapai
dengan Tuhan. Inilah yang menjadikan modeling yang mendalam memiliki peran
penting bagi para anggota biara dalam proses formatio.
Modeling dalam suatu biara memiliki karakteristik kedalaman yang
berbeda-beda pula meski semua anggota diharapkan dapat melakukan modeling
yang mendalam. Perbedaan ini dapat disebabkan karena bermacam-macam faktor,
misalnya persepsi terhadap pemimpinnya itu. Pemimpin yang dihormati banyak
orang, lebih diminati dijadikan model (Hergenhahn dan Olson, 1997).
Kemungkinan lain misalnya anggota biara lebih mengidolakan seorang pemimpin
yang berwibawa dari pada yang kurang memiliki wibawa, atau karena yang lebih
akrab dengan anggota, yang lebih mengerti dan menerima anggota apa adanya,
atau yang lebih nyaman saat diajak membicarakan sesuatu.
Ada beberapa karakteristik model spesifik yang dapat dijadikan
pertimbangan seperti kompeten, menarik, disukai, dan berwibawa (Chance, 1979).
Dalam biara, pemimpin yang dijadikan model tentunya memiliki beberapa
karakterstik tertentu yang dianggal ‘bernilai’, termasuk bagaimana ia membangun
komunikasi interpersonal dengan setiap anggota biara, untuk dijadikan model bagi
anggotanya. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Krech, Crutchfield,
dan Ballachey (dalam Ahmadi, 1991) mengenai fungsi pemimpin. Menurut
mereka, salah satu fungsi “pemimpin adalah sebagai contoh atau teladan”.
Pemahaman ini menjelaskan bahwa pemimpin akan menjadi contoh bagi
anggotanya dalam bersikap. “Teladan menggambarkan bagaimana seseorang
terpengaruh oleh apa yang dilihat dari apa yang dilakukan oleh orang lain”
Dalam konteks komunitas biara, pemimpin biara memiliki pengaruh yang
besar bagi perkembangan kepribadian anggotanya sebab dialah yang menentukan
arah pengolahan kehidupan mereka, salah satunya lewat teladan yang dia berikan.
“Pemimpin adalah orang yang memiliki pengaruh paling besar terhadap perilaku
dan kepercayaan kelompok” (Sears, dkk, 2004). Oleh karena itu peran pemimpin
biara sangatlah penting mengingat pemimpin biara diandaikan tahu lebih banyak
dan diharapkan dapat mendampingi para anggotanya, supaya bersama sama dapat
mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu, kepemimpinan yang baik mestinya
menampakkan model pemimpin yang berbuah baik, pemimpin yang melayani dan
dan pemimpin yang sungguh-sungguh mencerminkan nilai injili (Triyono, 2005).
Pemimpin biara adalah figur yang dapat menjadi teladan atau panutan bagi para
anggotanya. Oleh karenanya, kita bisa melihat pentingya peranan modeling dalam
biara. Apabila pemimpin bisa memberikan contoh yang baik, tentu anggota juga
akan mempelajari sesuatu yang baik pula.
Dengan pemahaman bahwa komunikasi interpersonal yang mendalam
punya peran penting dalam proses formatio, karena dapat menjadi sarana untuk
menggali perkembangan panggilan anggotanya sekaligus dapat menawarkan
berbagai nilai-nilai keutamaan, sehingga para anggota biara nantinya dapat
melakukan modeling sebagai salah satu cara belajar dalam mengolah
panggilannya, penelitian ini ingin mengetahui apakah kedalaman komunikasi
interpersonal yang ada antara pemimpin biara memiliki korelasi dengan
kedalaman modeling para anggota biara terhadap pemimpinnya. Penelitian ini
interpersonal dengan kedalaman modeling para biarawan-biarawati terhadap
pemimpin di biaranya.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah yaitu “apakah ada
korelasi positif antara kedalaman komunikasi interpersonal antara anggota dan
pemimpin biara dengan kedalaman modeling anggota terhadap pemimpin biara”.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara
kedalaman komunikasi interpersonal antara anggota dan pemimpin biara dengan
kedalaman modeling anggota biara terhadap pemimpin biara di komunitasnya.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
a. Penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran baru bagi kajian
psikologi sosial khususnya mengenai hubungan antar pribadi
b. Penelitian ini dapat menjadi dasar bagi penelitian-penelitian berikutnya
yang menyangkut kedalaman komunikasi interpersonal dan kedalaman
2. Manfaat Praktis bagi Para Pemimpin Komunitas Biara
a. Para pemimpin komunitas biara dapat mempelajari hubungan antara
kedalaman komunikasi interpersonal dengan kedalaman modeling para
anggotanya
b. Para pemimpin komunitas biara juga dapat mengevaluasi dan
merefleksikan seberapa mendalam komunikasi mereka dengan para
anggotanya sehingga dapat dibangun berbagai usaha yang lebih baik
sebagai sarana dalam melakukan pendampingan
c. Para pemimpin novisiat juga dapat melihat sejauh mana perilaku
modeling para anggotanya sebagai salah satu dinamika dalam proses
formatio
3. Manfaat Praktis bagi Para Biarawan-Biarawati anggota komunitas
a. Para anggota komunitas biara dapat mempelajari hubungan antara
kedalaman komunikasi interpersonal dengan kedalaman modeling
terhadap pemimpinnya
b. Para anggota komunitas biara dapat mempelajari salah satu variabel
yang berperan dalam kehidupan mereka akan perilaku modeling
c. Sebagai sarana merefleksikan seberapa mendalam komunikasi mereka
dengan para pemimpin biara di komunitasnya sehingga dapat dibangun
berbagai usaha yang lebih baik, khususnya sikap dalam berkomunikasi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tingkat Kedalaman Komunikasi Interpersonal
1. Komunikasi Interpersonal
a. Pengertian Komunikasi Interpersonal
Komunikasi adalah salah satu proses penting yang terjadi dalam kehidupan
manusia karena lewat komunikasi setiap individu dapat saling memberikan dan
menerima berbagai macam informasi yang nantinya berguna bagi kehidupan
mereka. Komunikasi merupakan suatu proses dimana individu-individu
membagikan informasi, ide-ide, dan perasaan-perasaan (Hybels dan Weaver,
2004). Berbagai informasi, baik ide maupun perasaan tersebut, selanjutnya akan
diolah dan disampaikan kepada orang lain dan diharapkan orang itu akan mengerti
isi pesan yang disampaikan tersebut (Hardjana, 2003). Komunikasi terjadi saat
seseorang mencoba memberitahu orang lain tentang apa yang dia pikirkan,
rasakan, dan percayai (Tjosvold dan Tjosvold, 1995). Dengan demikian, dalam
sebuah komunikasi terdapat suatu transfer (perpindahan) dan pemahaman akan
suatu pengertian tertentu (DeCenzo dan Silhanek, 2002).
Salah satu bentuk komunikasi ialah komunikasi interpersonal atau komunikasi
antar pribadi. Hardjana (2003) menyebutkan bahwa komunikasi interpersonal
adalah komunikasi yang terjadi antara satu pengirim dengan satu orang penerima
pesan. Artinya adalah bahwa komunikasi interpersonal hanya terjadi di antara dua
pembicara dan seorang lagi sebagai pendengar dimana mereka akan saling
bertukar peran secara bergantian. Namun, pendapat agak berbeda dikemukakan
Hybels dan Weaver (2004) yang menyatakan bahwa komunikasi interpersonal
adalah komunikasi dengan satu orang atau lebih. Definisi lain yang lebih
menekankan pentingnya kehadiran individu yang hadir dalam komunikasi itu
diungkapkan oleh DeCenzo dan Silhanek (2002). Menurut mereka, komunikasi
interpersonal adalah berbagai interaksi yang ada antara dua orang atau lebih
dimana masing-masing pihak yang terlibat diperlakukan sebagai pribadi (Jawa:
nguwongke) daripada hanya suatu benda atau obyek saja. Maksudnya,
penghargaan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi interpersonal
sangat dijunjung tinggi sebab mereka adalah pribadi yang perlu untuk dimengerti
dan dihormati dengan segala keunikannya.
Komunikasi interpersonal sangat banyak terjadi dalam kehidupan kita,
misalnya pada saat seseorang melakukan curhat dengan teman atau sahabat
dekatnya, saat bimbingan rohani, atau antara orang tua yang sedang mendidik
anaknya, saat seorang melakukan pengakuan dosa (salah satu bentuk ajaran yang
terdapat di dalam Gereja Katolik), saat klien berkonsultasi dengan konselor,
proses belajar mengajar di sekolah atau kampus, saat saling bertegur sapa, dan
sebagainya. Dari berbagai uraian tersebut, penelitian ini menyimpulkan bahwa
komunikasi interpersonal terjadi saat dua orang atau lebih saling menyampaikan
berbagai informasi satu dengan yang lain atas berbagai informasi yang mereka
b. Motif Komunikasi Interpersonal
Rubin, Perse, dan Barbato (dalam Hybels dan Weaver, 2004) mengungkapkan
beberapa motif yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan komunikasi
interpersonal. Motif-motif tersebut antara lain pleasure, affection, inclusion,
escape, relaxation, dan control.
Pleasure adalah kesenangan yang didapat saat berkomunikasi dengan orang
lain, misalnya saat menggosipkan seorang artis, membicarakan klub olah raga
kesayangan, mengobrol sambil menikmati kopi, dan sebagainya.
Affection adalah perasaan kehangatan yang diperoleh saat seseorang
mengalami kebersamaan dengan orang-orang yang kita sukai. Melalui interaksi
dengan orang lain, seseorang dapat merasakan kehangatan hubungan atau
keakraban dengan orang lain.
Inclusion merupakan perasaan bahwa dirinya menjadi bagian dari suatu
kelompok tertentu. Perasaan semacam ini dapat ditemukan saat seseorang
berkomunikasi dengan orang lain. Dengan bercakap-cakap bersama
teman-temannya, dalam diri seseorang akan muncul perasaan bahwa saya adalah
bagian dari suatu kelompok sosial tertentu.
Escape atau ‘melarikan diri’ terjadi saat seseorang memiliki banyak tugas yang
harus dikerjakan dan berkeinginan untuk ‘meninggalkannya’ sejenak.
Seseorang ‘melarikan diri’ berarti menghindar atau meninggalkan sejenak
Relaxation dapat diartikan beristirahat sejenak dari berbagai kesibukan yang
ada. Dengan bertemu orang lain, seseorang dapat mencoba melepaskan
beberapa kepenatan untuk mendapatkan kesegaran baru.
Control berarti mengendalikan atau mengatur. Saat komunikasi, control dapat
dilakukan misalnya ketika seseorang memperingatkan temannya atas perilaku
tertentu sehingga tidak akan mengulangi kesalahannya. Contoh lain misalnya
seorang ayah yang melarang anaknya bermain di pinggir jalan raya.
Dengan demikian, seseorang dapat melakukan komunikasi interpersonal
karena salah satu atau sekaligus beberapa motif tersebut. Semua itu tergantung
dari kebutuhan masing-masing individu yang melakukannya.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Interpersonal
Ada beberapa faktor yang turut berpengaruh dalam komunikasi interpersonal.
Lunandi (1989) menyebutkan beberapa faktor, yaitu:
1) Citra diri
Citra diri secara sederhana dapat dimengerti sebagai cara seseorang
melihat dirinya. Contohnya, seorang pemimpin memberikan perintah dengan
tegas kepada bawahannya karena merasa dirinya mempunyai kekuasaan besar
dan berwibawa. Lain lagi, pemimpin yang memiliki citra diri sebagai
motivator akan bersikap sebagai pendukung dan pemberi semangat terhadap
2) Citra Pihak Lain
Citra pihak lain berarti bagaimana seseorang memandang orang lain yang
diajak berkomunikasi. Ayah yang memandang anaknya sebagai pemalas,
bodoh, ingusan, dan tolol mungkin akan lebih bersikap keras. Sedangkan ayah
yang melihat anaknya sebagai anak yang cerdas dan pandai akan bersikap
memberikan anjuran atau pilihan-pilihan bebas kepada anaknya sehingga anak
dapat memutuskan pilihannya sendiri.
3) Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik adalah situasi di sekitar kita yang berupa benda-benda
bukan manusia. Apabila seseorang berada di dalam rumah ibadat, tentu ia
tidak akan berteriak ataupun berbicara dengan keras dibandingkan saat ia
berada di lapangan atau di pinggir jalan meski pihak yang diajaknya
berkomunikasi adalah orang yang sama.
4) Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial menunjuk keadaan masyarakat atau orang-orang di
sekitar kita. Contohnya adalah saat seseorang berada dalam acara resepsi
pernikahan, tentu ia akan berbicara secara lebih santun dibandingkan saat dia
bersama teman-temannya di kampus.
5) Kondisi
Kondisi berarti keadaan diri seseorang yang sedang melakukan proses
komunikasi. Misalnya, orang yang sedang sakit atau demam tinggi tentu tidak
akan mampu berkomunikasi banyak, tetapi hanya akan berbicara hal-hal
dalam kondisi yang sehat, orang akan lebih mudah mengkomunikasikan
berbagai pandangannya secara lebih mudah dan nyaman.
6) Bahasa Badan
Sikap badan berarti posisi fisik seseorang terhadap orang lain yang diajak
berkomunikasi. Saat seorang ayah memandangi anaknya dengan melotot dan
berkacak pinggang, anaknya tentu tidak akan berani berkata-kata dengan
berteriak atau mencoba membantah karena ia tahu kalau ayahnya sedang
marah terhadapnya.
Selain Lunandi, Gouran, Wiethoff, dan Doelger (2000) juga menyebutkan
beberapa faktor yang turut berpengaruh dalam komunikasi antar pribadi.
Faktor-faktor tersebut dapat dibedakan menjadi dua kategori utama yaitu, personal
characteristics dan situational influences.
1) Personal Characteristics
Personal characteristics adalah berbagai karakteristik pribadi
pihak-pihak yang melakukan komunikasi, baik sender maupun receiver yang
meliputi pengetahuan, pola berpikir, dan latar belakang budaya. Misalnya saja,
mereka yang memiliki pola berpikir maju, tentu akan lebih berselera untuk
mengobrol dengan orang yang memiliki sifat yang sama dari pada orang yang
masih berpikirr kolot.
2) Situational Influences
Situational influences menunjuk berbagai hal di lingkungan sekitar
waktu komunikasi itu terjadi. Contohnya ialah saat di dalam tempat ibadah,
orang akan cenderung berbicara dengan suara lemah dibandingkan saat ia
berada di halamannya.
Faktor-faktor tersebut di atas akan menentukan komunikasi interpersonal
orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dengan demikian, setiap orang akan
melakukan komunikasi interpersonal dengan mempertimbangkan berbagai hal
yang sekiranya sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya.
2. Tingkat Kedalaman Komunikasi Interpersonal
a. Pengertian Kedalaman Komunikasi Interpersonal
Setiap bentuk komunikasi yang dibangun oleh seseorang dengan orang lain
pasti memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain. Salah satu
perbedaan itu dapat kita lihat dari sisi tingkat atau taraf kedalamannya. Setiap
individu yang terlibat dalam komunikasi interpersonal memiliki tingkat atau taraf
kedalaman komunikasi berbeda; ada yang penuh (mendalam), bebas
mengungkapkan perasaan, dan merasa benar-benar saling menerima, ada yang ada
pula yang hanya mampu mencapai taraf komunikasi yang ringan atau di
permukaan saja. Semua itu tergantung usaha pihak-pihak yang melakukannya.
Kedalaman komunikasi interpersonal adalah sejauh mana komunikasi
menyentuh unsur-unsur yang terdalam dari pihak-pihak yang terlibat dalam
komunikasi itu. Supratiknya (1995) mengungkapkan bahwa taraf komunikasi
obyek tertentu, orang lain atau dirinya. Artinya, semakin berani seseorang
mengungkapkan perasaannya, semakin dalam komunikasi itu. Jadi untuk
mengetahui mendalam tidaknya suatu komunikasi interpersonal, kita harus
mengetahui tahap-tahap atau taraf kedalaman komunikasi interpersonal.
b. Taraf/ Tingkat Kedalaman Komunikasi Interpersonal
Ada beberapa pendapat yang mengungkapkan tentang tingkat atau taraf
kedalaman komunikasi interpersonal. Menurut John Powell (dalam Supratiknya,
1995), taraf kedalaman komunikasi interpersonal dapat dibagi ke dalam lima
tingkatan; taraf basa-basi, taraf membicarakan orang lain, taraf penyatakan
gagasan/ pendapat, taraf menyatakan perasaan, dan taraf hubungan puncak.
1) Taraf Basa-basi
Taraf basa-basi adalah taraf paling dangkal karena sebenarnya dua pihak yang
berkomunikasi tidak saling membuka diri. Taraf komunikasi ini sering terjadi saat
seseorang bertemu dengan yang lain pada saat kebetulan saja. Dengan demikian,
dalam taraf komunikasi ini setiap orang yang melakukan komunikasi tidak akan
banyak membicarakan hal lain dalam diri mereka.
2) Taraf Membicarakan orang lain
Taraf ini sebenarnya masih dangkal meski di dalamnya terdapat umpan balik.
Taraf ini ditandai dengan adanya pembicaraan tentang orang lain atau obyek lain
di luar diri pribadi yang melakukan komunikasi, bisa tentang tetangganya,
3) Taraf Menyatakan Gagasan atau Pendapat
Taraf ini ditandai dengan adanya pertukaran pendapat, ide, atau gagasan
namun masih terbatas dalam mengungkapkan pandangan. Mereka yang terlibat
dalam komunikasi taraf ini belum berani mengungkapkan perbedaan
pandangannya terhadap orang lain, tetapi masih berusaha menyenangkan lawan
bicaranya sehingga tempak belum berani menunjukkan diri apa adanya.
4) Taraf Mengungkapkan Perasaan/ Hati
Pada taraf ini, orang mulai berani mengungkapan perasaannya, membuka diri,
jujur, dan kesediaan untuk menerima orang lain. Dalam komunikasi ini, orang
mulai mengungkapkan uneg-unegnya dan berani beresiko dirinya diketahui orang
lain, namun tidak semua perasaan secara bebas dapat terungkap lewat komunilasi
taraf ini. Taraf ini dapat menimbulkan perasaan yang lega dan saling percaya
antara pihak-pihak yang berkomunikasi.
5) Taraf Hubungan Puncak
Taraf ini adalah taraf yang paling dalam karena telah ada kejujuran, sikap
terbuka, dan saling percaya yang penuh di antara pelaku komunikasi. Mereka
yang terlibat dalam komunikasi taraf ini benar-benar merasa bebas untuk saling
mengungkapkan apapun perasaan dan pemikirannya tanpa merasa takut, khawatir,
atau ragu-ragu jika kepercayaannya akan disia-siakan.
Selain John Powell, pandangan lain mengenai taraf kedalaman komunikasi
interpersonal dituliskan oleh Hardjana (2003). Ia membagi taraf kedalaman
1) Komunikasi dari mulut ke Mulut
Komunikasi ini dilakukan oleh orang-orang yang belum kenal satu sama lain
biasanya hanya untuk memenuhi kebutuhan sopan santun atau kebiasaan
setempat. Contohnya adalah seperti memberi salam “Apa kabar?” dan jawaban
“Baik-baik”. Komunikasi tingkat ini tidak dimaksudkan untuk benar-benar
membicarakan suatu hal, tetapi hanyalah basa-basi yang tidak perlu dijawab
secara serius.
2) Komunikasi dari Kepala ke Kepala
Komunikasi dalam taraf ini ditandai dengan adanya tukar gagasan atau
pandangan antara satu orang dengan yang lainnya tapi belum melibatkan
perasaan-perasaan yang ada di dalamnya. Misalnya, diskusi atau pertukaran
pendapat atau gagasan antara pihak-pihak yang berkomunikasi.
3) Komunikasi dari Hati ke hati
Komunikasi dari hati ke hati adalah komunikasi yang sudah melibatkan
perasaan. Taraf ini ditandai dengan adanya pengungkapan tentang keprihatinan,
kekhawatiran dan ketakutan, kegembiraan, harapan, dan cita-cita mereka. Sifat
yang juga muncul dalam taraf ini adalah adanya sikap saling percaya dan saling
mendukung di antara satu dengan lainnya.
4) Komunikasi dari Iman-ke Iman
Komunikasi dari iman ke iman ini biasanya berbentuk sharing pengalaman
hidup sehingga tidak hanya perasaan-perasaan saja melainkan berani menyatakan
hikmah atau nilai yang dapat dipelajari dari setiap pengalaman itu. Dalam
keyakinan, atau bahkan iman mereka dengan perasaan bebas dan saling
menerima.
Dua pandangan tersebut dapat dikatakan serupa karena sebagian besar
karakteristik muncul pada tingkatan yang sama. Namun demikian, penelitian ini
akan menggunakan model taraf kedalaman komunikasi interpersonal dari John
Powell (dalam Supratiknya 1995) yang membagi taraf kedalaman komunikasi
interpersonal ke dalam lima tingkatan. Yang menjadi pertimbangan adalah bahwa
taraf komunikasi yang disusun oleh John Powell memiliki pembagian yang lebih
banyak dan sekaligus memberikan informasi yang lebih luas dibandingkan yang
disusun oleh Hardjana sehingga memungkinkan untuk dapat dilihat variasi taraf
kedalaman komunikasi yang lebih besar.
B. Kedalaman Modeling
1. Pengertian Modeling
Ilmu psikologi memahami bahwa manusia senantiasa berkembang karena
proses belajar yang dilaluinya dalam seluruh perjalanan hidupnya. Salah satu
bentuk belajar seorang individu adalah mempelajari sikap dan perilaku sosial
dengan jalan meniru sikap dan perilaku orang lain yang menjadi model. Cara
belajar seperti ini menjadi salah satu kajian diskusi para ilmuwan psikologi
tentang proses yang lebih luas atas proses belajar yang dialami oleh seseorang
dengan imitasi, modeling, observational learning, peniruan, dan mungkin istilah
lainnya.
Apakah modeling itu? Beberapa sumber menganggap adanya kesamaan arti
antara modeling dan imitasi. Ada pula yang menganggap imitasi sebagai salah
satu bentuk modeling. Kamus Psikologi, karangan J.P. Chaplin (2003) yang
diterjemahkan oleh Dr. Kartini Kartono, mendefinisikan imitasi sebagai meniru
perbuatan orang lain dengan sengaja, sedangkan modeling diartikan dengan
belajar memberikan reaksi dengan jalan mengamati orang lain yang tengah
mereaksi. Definisi tersebut tidak begitu jelas maksudnya karena tidak ada
penjelasan lebih lanjut mengenai hal itu. Akan tetapi, di dalam kamus tersebut,
modeling juga dapat diartikan sebagai imitasi, peniruan, atau menirukan.
Pengertian mengenai modeling juga diuraikan oleh Alwisol (2006). Ia
menerjemahkan kata modeling dengan kata ‘peniruan’ meskipun istilah dalam
Bahasa Indonesia ini dirasa tidak cukup mampu mencakup keseluruhan makna
dari modeling itu sendiri. Namun demikian, penggunaan istilah “peniruan’ ini
dapat mewakili arti modeling. Ia mengartikan modeling sebagai usaha meniru dan
atau mengulangi kembali apa yang dilakukan oleh orang lain (model) dengan
jalan menambah dan atau mengurangi tingkah laku yang dapat dilihat,
menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus, serta melibatkan adanya proses
kognitif (Alwisol, 2006). Dengan demikian, modeling tidak semata-mata
dimengerti sebagai meniru perilaku model secara persis, melainkan juga melihat
dinamika yang ada dalam tataran kognitif individu yang melakukannya, seperti
perilaku yang baru. Bagaimana bentuk-bentuk modeling itu terjadi, akan diuraikan
pada sub bab berikutnya.
Bandura (1986) mengungkapkan berbagai macam rumusan yang mencoba
menjelaskan mengenai arti modeling. Dalam bukunya, setidaknya terdapat 3 dasar
pendekatan untuk memahami makna dari modeling. Menurutnya, dalam konsep
lama atau tradisional, banyak di antara pemikir yang mengartikan modeling
sebagai imitasi. Mereka melihat bahwa modeling adalah proses dimana seseorang
berusaha mengikuti perbuatan-perbuatan orang lain. Seiring waktu berjalan,
pemahaman tradisional ini dirasa membatasi power yang ada dalam proses itu
Anggapan ini muncul karena modeling bukan hanya dipandang sebagai meniru
perilaku secara persis apa yang dilakukan oleh orang lain, melainkan ada proses
pengolahan dalam diri pengamat sehingga dapat menciptakan perilaku baru
dengan sedikit atau banyak variasi nantinya. Beralih kepada pandangan tradisi
kalangan psikodinamik, beberapa tokoh kepribadian dan perkembangan
mengintepretasikan modeling sebagai identifikasi. Mereka menganggap
identifikasi berasal dari proses adopsi terhadap pola-pola perilaku, representasi
simbolik model, motif-motif, nilai, idealisme-idealisme, dan kesadaran yang ada
dalam diri orang lain. Sedangkan menurut teori sosial-kognitif, modeling
menunjukkan berbagai macam proses penyesuaian psikologis karena cukup
banyak mempengaruhi dinamika seseorang jika dibandingkan dengan istilah
imitasi yang terasa lebih sempit maknanya. Oleh karenanya, wilayah
pembelajaran melalui modeling dibagi ke dalam lima bentuk fenomena, seperti
2. Kedalaman Modeling
Alwisol (2006) menyebutkan empat macam bentuk modeling yang dimengerti
sebagai tingkatan kedalaman perilaku modeling, yaitu seberapa jauh perilaku
modeling mencapai pada usaha-usaha menginternalisasikan dan
mengidentifikasikan ciri atau sifat model ke dalam diri pengamat. Kedalaman
modeling tersebut dapat kita pahami dari tingkat paling dangkal sampai yang
paling dalam, yaitu:
1) Modeling Tingkah laku Baru
Modeling tingkah laku baru adalah munculnya perilaku baru pada diri
pengamat setelah melihat perilaku dalam diri model. Munculnya tingkah laku
baru berawal dari adanya beberapa deskripsi tentang perilaku model yang
tersimpan dalam kognisi seseorang kemudian diolah menjadi suatu gambaran
mental. Tahap berikutnya, proses pengolahan ini akan digabungkan dengan
berbagai deskripsi atas berbagai pengalaman lain dalam kehidupan seseorang
sehingga nantinya akan menghasilkan suatu bentuk perilaku yang baru.
2) Modeling Mengubah Tingkah Laku Lama
Modeling mengubah tingkah laku lama adalah pengubahan pengamat terhadap
berbagai perilaku yang sudah ada dalam dirinya akibat adanya konsekuensi yang
diterima model atas perilaku tersebut. Modeling senacam ini tergantung dari
konsekuensi sosial yang ada. Apabila perilaku model diterima secara sosial, akan
terjadi penguatan perilaku yang sama atau serupa yang terdapat dalam diri
pengamat. Sebaliknya, apabila perilaku model tidak diterima secara sosial,
konsekuensi sosial inilah yang dapat mengubah perilaku lama yang ada dalam diri
pengamat, semakin memperkuat atau memperlemah perilaku yang sudah ada
sebelumnya.
3) Modeling Kondisioning
Modeling kondisioning adalah bentuk modeling yang dikombinasikan dengan
pengkondisian klasik. Modeling semacam ini banyak digunakan untuk
mempelajari respon emosional. Respon emosional akan muncul dalam diri
pengamat setelah melihat respon dalam diri model yang telah mendapat perkuatan
akan ditujukan kepada obyek yang ada di dekatnya saat ia mengamati model
tersebut atau dapat juga ditujukan terhadap obyek yang memiliki hubungan
dengan obyek yang menjadi sasaran emosional dari model. Misalnya, seseorang
yang mengalami rangsangan seksual setelah menonton film porno, melampiaskan
nafsunya kepada seorang anak di sekitarnya, seperti sering terjadi dalam
kasus-kasus pelecehan seksual anak.
4) Modeling Simbolik
Modeling simbolik menunjuk pada proses belajar atas berbagai nilai dan gaya
hidup yang tidak secara langsung tampak atau terlihat secara fisik, misalnya
tentang kejujuran, keterbukaan, kerendahatian, dan sebaginya. Modeling simbolik
bisa dilakukan terhadap beberapa sumber seperti orang lain, film, buku-buku
cerita atau komik, gambar-gambar yang ada di koran dan majalah, serta berbagai
media massa lainnya.
Modeling simbolik memungkinkan seseorang mempelajari nilai-nilai
dalam tayangan di televisi, atau dimana saja karena perilaku tokoh menghasilkan
sesuatu yang menyenangkan (reward). Mungkin juga, seseorang akan mengikuti
persepsi salah seorang yang ada dalam televisi karena ia memiliki pemahaman
yang hampir sama dengan sang tokoh terhadap sesuatu hal.
Menurut Bandura (1986), teori sosial-kognitif menggunakan 5 efek atau
fenomena dalam memahami modeling. Fenomena ini menunjukkan cakupan
wilayah belajar yang mungkin terjadi dalam peristiwa modeling. Efek atau
fenomena di sini kita mengerti sebagai bentuk-bentuk dari modeling itu sendiri.
Pembedaan ke dalam lima bentuk ini berguna untuk menghindari adanya
kebingungan jika menggunakan istilah ‘imitasi’, ‘observational learning’ dan
sekaligus menjadi semacam pengarah guna memahami mekanisme modeling.
Beberapa bentuk modeling tersebut dapat kita mengerti dari uraian di bawah ini.
1) Observational Learning Effects
Fenomena observational learning effects adalah fenomena yang terjadi saat
seseorang mempelajari berbagai kemampuan-kemampuan kognitif (intelektual),
standart pendapat, dan pola-pola perilaku yang baru dengan jalan mengamati
orang lain. Misalnya, seseorang akan menganggap kedisiplinan adalah nilai yang
paling tinggi dalam suatu tempat kerja, karena atasannya (model) mengatakan
demikian pada salah satu acara evaluasi dengan berbagai pertimbangan dan
pembahasan yang mendalam. Sebelumnya, disiplin bukan hal yang penting bagi
dia, asalkan semua pekerjaannya dilakukan dengan baik. Dengan memahami lebih
kerja, termasuk meniru kebiasaan atasannya yang datang lebih awal dari jadwal
kantor.
2) Inhibitory and Disinhibitory Effect
Efek inhibitory adalah efek yang terjadi saat pengamat mengurangi perilaku
tertentu yang telah dipelajari sebelumnya atau bersikap lebih membatasi perilaku
tersebut karena melihat model menerima konsekuensi negatif atas perilaku itu.
Contoh kasus misalnya, jika seseorang sudah tidak berani melakukan korupsi
akibat temannya yang melakukan korupsi mendapatkan hukuman.
Sedangkan efek disinhibitory terjadi saat pengamat meningkatkan
performansinya atas perilaku-perilaku yang telah dipelajari sebelumnya.
Meskipun berbagai perilaku model berbahaya atau mengancam, pengamat tetap
meningkatkan perilakunya karena berbagai perilaku itu model tidak menimbulkan
sesuatu efek yang merugikan, dalam contoh yang sama orang itu akan tetap berani
melakukan korupsi, bahkan lebih besar, akibat temannya yang melakukan korupsi
tidak mendapatkan hukuman atau dibiarkan saja.
3) Response Facilitation Effects
Setiap orang sebenarnya mampu untuk berperilaku tertentu. Namun karena
kurangnya dorongan atau dukungan sosial, ia tidak berani melakukannya.
Kenyataannya, suatu ketika seseorang akan melakukan hal itu karena adanya
dorongan dari orang lain yakni ketika orang lain (model) melakukan perilaku
yang sama atau serupa dengan apa yang sebenarnya ada dalam diri dan mampu
dilakukan, tetapi belum dilakukan, oleh pengamat. Inilah yang dinamakan
ditunjukkan oleh model menjadi suatu kekuatan pendorong terhadap
perilaku-perilaku yang sudah dipelajari sebelumnya, meskipun awalnya pengamat belum
berani melakukan. Misalnya, seseorang ingin membicarakan tentang kasus
korupsi yang terjadi pada suatu lembaga pemerintahan tetapi ia merasa takut
untuk memulainya. Saat orang lain (model) menyinggung tentang hal yang sama,
ia akan berani menyambung pembicaraan itu karena ia merasa ada dukungan dari
sosialnya.
4) Environmental Enhancement Effects
Environmental enhancement effects adalah fenomena dimana pengamat akan
menggunakan obyek yang dipakai oleh pengamat pada situasi-situasi yang
berbeda atau aktivitas-aktivitas yang memiliki tujuan berbeda. Hal itu terjadi jika
berbagai macam perilaku dari model tidak hanya menjadi penguat bagi
terbentuknya perilaku yang serupa dalam diri pengamat, namun juga
memungkinkan pengamat melakukan aktivitas lain dengan menggunakan suatu
obyek yang dipakai saat peristiwa modeling terjadi. Misalnya, saat seseorang
melihat model menggunakan sticker yang berisi nama, sebagai alat identitas
pemilik alat tulis, pada salah satu alat tulisnya, pengamat dapat meniru dengan
menggunakan sticker semacam itu pada buku-buku pribadinya.
5) Arousal Effects
Dalam berbagai proses interaksi sosial, biasanya seseorang turut
mengungkapkan emosinya lewat ekspresi mukanya. Fenomena arousal effects
menunjuk pada bangkitnya gejolak emosi yang ada dalam dalam diri pengamat
seseorang (model) mengungkapkan kekecewaannya karena dibohongi oleh
temannya, pengamat akan cenderung merasakan gejolak kecewa seperti apa yang
dirasakan oleh model. Namun pada sisi lain, pengamat juga mungkin akan
mengembangkan antisipasi dalam dirinya apabila ia menghadapi situasi-situasi
yang mirip dengan pengalaman model. Dalam kasus yang sama, pengamat akan
menyiapkan diri apabila ia juga mengalami keadaan yang serupa, misalnya
dengan mencoba bersikap lebih tenang dan lainnya.
Dari dua uraian tersebut, rumusan yang diungkapkan Bandura memiliki
penjelasan yang lebih luas dibandingkan uraian Alwisol namun uraiannya tidak
cukup mengungkap sisi tingkat kedalaman modeling. Oleh karena itu, penelitian
ini akan menggunakan konsep modeling dari Alwisol dengan pertimbangan
bahwa konteks penelitian ini adalah ingin mengenali sejauh mana internalisasi
nilai-nilai yang dilakukan pengamat terjadi melalui mekanisme belajar modeling
atas pemimpin biara sebagai modelnya
.
3. Tahapan-tahapan dalam Modeling
Modeling terjadi melalui beberapa tahapan. Bandura (dalam Boeree, 2006)
membagi proses modeling ke dalam empat tahap. Tahap-tahap tersebut antara lain
perhatian (attention), ingatan (retention), reproduksi, dan motivasi (motivation).
Perhatian (attention) adalah proses saat seorang pengamat mengalami
ketertarikan terhadap karakteristik tertentu dari model. Dengan ketertarikan,
pengamat dengan modelnya, sifat model yang atraktif, dan arti penting tingkah
laku yang diamati bagi pengamat (Alwisol, 2006).
Ingatan (Retention). Alwisol (2006) menyebutnya dengan istilah
‘representasi’, yaitu pengungkapan kembali berbagai informasi yang telah di
dapatkan sebelumnya. Ingatan terjadi setelah berbagai deskripsi yang telah
dikumpulkan saat memperhatikan model diolah kembali dan dievaluasi menurut
kemampuan kognitif baik dalam bentuk imajinasi atau verbal, sehingga
memungkinkan adanya latihan simbolik dalam pikiran tanpa perlu melakukannya
secara nyata.
Reproduksi adalah tahap seorang pengamat menerjemahkan deskripsi ke
dalam tingkah laku yang nyata. Seseorang mengubah apa yang ada dalam
pikirannya itu ke dalam suatu perilakunya.
Munculnya motivasi menjadi langkah terakhir terjadinya modeling. Motivasi
adalah dorongan yang muncul dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu.
Seseorang tidak mungkin akan melakukan suatu perilaku hasil pengamatannya
terhadap model jika ia sendiri tidak memiliki motivasi atau dorongan untuk
melakukannya. Pada bagian ini, Alwisol (2006) menambahkan pentingnya aspek
reinforcement. Motivasi untuk melakukan modeling akan semakin tinggi apabila
perilaku yang ditiru dari model mendapatkan ganjaran dari lingkungan sosialnya.
Meskipun demikian, ia menyadari bahwa tanpa ada reinforcement, modeling
dapat tetap terjadi apabila pengamat memang menemukan sesuatu hal yang positif
4. Karakteristik Model yang Mempengaruhi Terjadinya Modeling
Ada beberapa karakteristik model yang mempengaruhi seseorang melakukan
modeling antara lain usia, status sosial, seks, keramahan, dan kemampuan
(Alwisol, 2006). Usia adalah menyangkut seberapa jauh jarak umur antara
pengamat dengan model, semakin sedikit perbedaan umurnya semakin besar
peluang terjadinya modeling. Ia memberi contoh bahwa anak kecil akan lebih
tertarik meniru model yang seumuran dengannya dibanding dengan mereka yang
memiliki umur jauh di atasnya. Sedangkan status sosial adalah seberapa tinggi
atau rendah seseorang memiliki kedudukan dalam lingkungan masyarakatnya.
Orang yang memiliki status sosial tinggi dalam masyarakat misalnya pemimpin,
cenderung memiliki potensi untuk dijadikan model daripada mereka yang tidak
memilikinya. Seks menyangkut jenis kelamin pihak yang dijadikan model. Jenis
kelamin model yang sama dengan pengamat lebih sering dijadikan model.
Menurut Alwisol (2006), anak gadis akan lebih suka mengimitasi ibu daripada
ayahnya. Kehangatan menunjukkan sikap mau menerima orang lain secara akrab
misalnya, anak kecil tentu akan mengimitasi orang tuanya yang hangat dan
terbuka. Kemampuan menunjukkan berbagai kelebihan yang dimiliki model.
Seseorang akan meniru model yang memiliki prestasi lebih baik darinya.
Selain berbagai karakteristik tersebut di atas, masih ada beberapa karakteristik
yang ditulis Hergenhahn dan Olson (1997) seperti dihormati oleh banyak orang,
memiliki kekuasaan, dan memiliki sifat menarik juga cenderung dijadikan model.
orang yang menjadi pengamat (observer). Berarti di sana, ada persepsi positif
terhadap figur yang dijadikan modelnya.
Perilaku modeling dapat terjadi dimanapun sekelompok masyarakat itu
berada; rumah, lingkungan masyarakat, sekolah, tempat kerja, dan tentu juga di
sebuah komunitas biara. Modeling terjadi karena ada beberapa karakteristik model
yang turut menentukan. Biasanya, berbagai karakteristik model tersebut
disesuaikan dengan karakteristik pengamat yang akan melakukan modeling.
Artinya ialah bahwa observer atau pengamat perlu mempertimbangkan kembali
apakah karakteristik model, seperti kemampuan, gaya hidup, pola berpikir, dan
sebagainya itu, berada dalam jangkauannya; pengamat melihat keadaan dirinya
apakah ia mampu melakukan peniruan terhadap apa yang ada dalam diri
modelnya.
Peneliti memahami bahwa faktor keramahan dan keterbukaan yang ada pada
seseorang juga memiliki kekuatan dalam memunculkan modeling pada orang lain
(pengamat) karena hal ini juga memunculkan persepsi positif dalam diri pengamat
atas diri model. Keramahan dan keterbukaan itu dapat kita lihat dengan sejauh
mana seseorang mampu menerima orang lain secara hangat lewat komunikasi dan
hidup sehari-hari; keterbukaannya, kesediaan membangun kepercayaan,
kejujuran, dan sebagainya.
Dalam konteks penelitian ini, peneliti memiliki kerangka berpikir bahwa
seorang pemimpin dalam suatu kelompok yang mampu membangun keramahan
dan keterbukaan dalam komunikasi interpersonalnya memiliki peluang bagi
C. BIARA
1. Pengertian Biara
Individu-individu yang tinggal dalam biara merupakan suatu kelompok
masyarakat atau komunitas kecil dengan gaya kehidupan yang khusus karena gaya
kehidupan mereka ‘berbeda’ dengan masyarakat secara umum. Yang dimaksud
dengan ‘berbeda’ di sini tampak dalam cara hidup serta orientasinya. Berbeda
dalam gaya, misalnya memilih jalan hidup selibat, tidak menikah, serta hidup
dalam asrama, yang disebut biara, dengan berbagai peraturan bersama yang harus
ditaati oleh semua anggota di dalamnya. Selain itu, ada ciri penting yang ada
dalam kehidupan biara yakni dimana semua anggota biara diharapkan dapat
menginternalisasikan nilai-nilai religius, baik agama maupun spiritualitas, serta
menginkorporasikan (menyatukan) diri dengan tarekatnya (Prasetyo, 2001).
Biara didefinisikan sebagai tempat tinggal para pertapa atau bangunan tempat
tinggal orang laki-laki atau perempuan yang mengkhususkan diri terhadap
pelaksanaan ajaran Injil di bawah pimpinan seorang ketua menurut aturan
tarikatnya (Salim dan Salim, 1991). Orang laki-laki atau perempuan di sini kita
sebut dengan biarawan, sebutan untuk mereka yang laki-laki, dan biarawati,
sebutan untuk mereka yang perempuan. Dalam perspektif agama Katolik, biara
dapat dipahami sebagai tempat pendidikan khusus bagi mereka yang memilih
jalan hidup secara khusus, baik sebagai imam (pastor), bruder, maupun suster.
Biara merupakan bagian dari apa yang disebut dengan tarekat religius atau
tertentu. Dengan kata lain, setiap tarekat religius memiliki banyak tempat
pendidikan (baca: biara). Dalam setiap biara itulah, mereka mengolah hidup
pribadi masing-masing agar dapat menemukan kehendak Tuhan menurut corak
hidup masing-masing tarekat yang dipilihnya. Panggilan hidup sebagai biarawan
ataupun biarawati adalah sebagian dari pola hidup religius. Hakikat hidup religius
adalah bahwa hidup religius lahir dan ada untuk umat manusia dan dunia
(Darminto, 2003). Artinya adalah bahwa mereka yang dipanggil (baca: menjadi
biarawan dan biarawati) harus mampu memberikan diri mereka bagi kepentingan
semua orang demi terciptanya keadilan di dunia. Semua itu dapat diraih dengan
pembinaan yang senantiasa dilakukan sehingga setiap pribadi dapat dibentuk dan
diberdayakan menjadi pribadi yang utuh dan berkualitas melalui proses
internalisasi dan inkorporasi (Prasetyo. 2001). Figur yang memiliki peran penting
dalam biara adalah pemimpin, karena mereka akan menjadi ‘guru’ yang
senantiasa mendampingi dan mengarahkan para anggotanya untuk
memgembangkan panggilan mereka itu.
Pemahaman yang lebih luas tentang gaya hidup dalam biara dapat kita
mengerti dari perspektif pandangan Gereja Katolik. Pertama-tama, perlu kita
mengerti bahwa sejarah Gereja Katolik memiliki keanekaragaman hidup
membiara. Pada tahap awal hidup membiara, dikenal beberapa tokoh seperti
Antonius, Benediktus, dan berikutnya diikuti dengan munculnya ordo-ordo besar
seperti Ordo Santo Agustinus, Ordo Dominikan (OP), Ordo Fransiskan, dan
imam, suster, maupun bruder. Namun demikian, ada lima unsur yang muncul dari
semua hidup membiara, yaitu (Maslim, 2004);
1. hidup murni dan tidak kawin demi Kerajaan Surga
2. hidup sederhana dalam hal milik, kesenangan, hormat kepada pribadi, dan
lain-lain termasuk kesederhanaan dalam hal kerendahan hati dan mati raga
3. perhatian dan banyak waktu untuk mencari Tuhan melalui doa dan melatih
hidup batin supaya makin sesuai dengan kehendak Tuhan
4. adanya ketaatan kepada pedoman dasar sebagai pegangan untuk
berkembang dalam persatuan dengan Tuhan
5. bentuk kehidupan bersama sesuai dengan corak serikat hidup membiara
yang dipilih
Kelima unsur tersebut menentukan bentuk hakiki kehidupan yang disebut
hidup membiara (Maslim, 2004) dimana modeling terhadap pemimpinnya adalah
salah satu proses belajar yang dapat dilakukan oleh anggota di dalamnya. Dengan
belajar melalui modeling, anggota biara dapat menemukan beberapa hal yang
diharapkan oleh tarekat atas diri mereka. Semuanya itu penting meskipun dalam
perkembangannya tekanan dan corak hidup masing-masing tarekat berbeda antara
tarekat yang satu dengan tarekat yang lain.
2. Pemimpin dan Anggota: Peran sebagai Pendamping dan Yang
Didampingi dalam proses Formatio
Setiap kelompok dalam masyarakat memiliki karakter yang berbeda satu
kelompok memiliki pembagian tugas, struktur, dan norma-norma tertentu yang
khas bagi kelompok itu sebagai landasan interaksi sosial bagi anggotanya. Seperti
halnya dalam kelompok-kelompok masyarakat pada umumnya, di dalam sebuah
biara terdapat pula suatu karakter tertentu yang khas seperti aturan, struktur, atau
peran tertentu. Dalam hal peran, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer (Salim
dan Salim,1991), menyebutkan adanya salah satu pemimpin yang mengetuai para
anggota dalam sebuah biara. Pihak yang mengetuai inilah yang disebut dengan
pemimpin biara, sedangkan yang lain adalah anggotanya, sehingga merekalah
yang akan dipimpin.
Gereja Katolik melihat bahwa pemimpin biara bertanggung jawab dalam
proses formatio para anggotanya. Tujuannya ( Prasetyo, 2001) adalah membantu
pribadi agar mampu menginternalisasi yakni mencerna dan membatinkan cita-cita
transendensi diri Kristus sedemikian rupa sehingga menjadi alter Christus (
Kristus yang lain). Secara sederhana, formatio dapat diartikan sebagai proses
pembentukan diri para anggota suatu tarekat religius menuju karakter yang
diharapkan oleh tarekat itu melalui internalisasi nilai-nilai atau cita-cita
tarekatnya. Dalam proses ini, pembina harus mampu mendampingi perjalanan
panggilan biarawan/ biarawati anggotamya melalui ajaran dan doa (prasetyo,
2001).
Siapakah pembina yang dimaksud di sini? Prasetyo (2000) mengatakan bahwa
Roh Kudus adalah formator utama, sedangkan dalam konteks pembinaan dan
pendidikan formal, pihak formator salah satunya dipegang oleh pemimpin
tarekat religius, seorang pemimpin memiliki berbagai tanggung jawab yang cukup
besar terhadap anggotanya. Ia menyebutkan bahwa pemimpin harus berusaha agar
umat-Nya semakin bertemu dengan Kristus dan Roh Kudus sendiri dengan cara
selalu mencoba mengenali tanda-tanda pengarahan Tuhan yang telah dirasakan
anggota, mengembangkan kebiasaan memandang hidup secara rohani para
anggotanya, mengusahakan para anggota agar tetap setia pada kitab suci, dan
sebagainya.
Setiap anggota yang ada dalam sebuah komunitas biara dapat belajar
mengenai panggilan mereka. Mereka belajar mengembangkan diri pribadi mereka
secara unik dan khas, meskipun di sisi lain ada tuntutan untuk mentaati apa yang
dikehendaki oleh pemimpin mereka, baik pemimpin suatu komunitas atau
pemimpin tertinggi tarekat religiusnya karena lewat merekalah para anggota biara
akan mendapatkan ajaran dan doa (Prasetyo, 2001). Hal ini sesuai dengan
pendapat Joseph Kimu (dalam Darminto, 2005) yang mengatakan bahwa
pemimpin memiliki tugas melaksanakan kuasa atas suatu kelompok atau
komunitas tertentu dimana semua bawahan harus hormat dan taat kepadanya. Ini
bukan berarti seorang pemimpin biara berkehendak bebas melainkan berkehendak
sesuai dengan cita-cita tarekatnya. Artinya, pemimpin biara akan mendampingi
para anggota biara dalam perjalanan panggilan mereka. Secara lebih dekat dengan
bahasa rohani, Darminto (2005) mengatakan bahwa memimpin dalam tarekat
berarti memimpin sekelompok Umat Allah yang memiliki Kristus sebagai
Pemahaman ini memberi pengertian kepada kita bahwa dalam setiap
kehidupan komunitas tarekat religius seperti dalam sebuah biara terdapat dua
peran penting, seorang pemimpin biara yang akan melayani (baca: memimpin)
para anggotanya dalam menghadapi pergulatan panggilan hidupnya serta para
anggotanya itu sendiri yang berperan sebagai pihak yang dipimpin. Kedua peran
ini akan senantiasa berproses bersama selama mereka menghidupi proses
panggilan hidup ‘khusus’ menurut corak masing-masing tarekat religius yang
mereka pilih.
3. Komunikasi: Elemen Penting dalam Proses Pendampingan Para Anggota
Biara
Pemimpin biara memiliki tugas memimpin (baca: memb