• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II K.H. SAMANHUDI, MAKAM DAN PENGELOLAAN SEBAGAI IKON KAMPUNG LAWEYAN. A. K.H. Samanhudi Sebagai Tokoh Pengusaha Batik yang Sukses

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II K.H. SAMANHUDI, MAKAM DAN PENGELOLAAN SEBAGAI IKON KAMPUNG LAWEYAN. A. K.H. Samanhudi Sebagai Tokoh Pengusaha Batik yang Sukses"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

K.H. SAMANHUDI, MAKAM DAN PENGELOLAAN SEBAGAI IKON KAMPUNG LAWEYAN

A. K.H. Samanhudi Sebagai Tokoh Pengusaha Batik yang Sukses

Di Kota Solo, Jawa Tengah, terdapat sebuah kecamatan yang bernama Laweyan. Kecamatan ini terkenal sebagai daerah orang kaya pada masa itu. Kebanyakan penduduk Laweyan hidup sebagai saudagar dan pengusaha batik. Salah seorang diantaranya adalah K.H. Samanhudi. Ia dilahirkan pada ahun 1878 dengan nama kecil Sudarno Hadi, semasa kecil ia memperoleh pedidikan agama dari Kyai Djodjermo di Surabaya. Kemudian ia melanjutkan di Sekolah Dasar Bumiputera (Inlandche School) sampai dengan Sekolah Dasar Bumiputera Kelas Satu (Eerste Inlandche School) yang setara dengan sekolah menengah pertama. Setelah itu K.H. Samanhudi tidak melanjutkan sekolah lagi, ia mulai mencoba

(2)

menengah pertama, Sudarno Nadi segera tampak di masyarakat sebagai pengusaha, dan saudagar yang cakap dan berhasil. (Muldjono dan Kutoyo, Sutrisno. 1979/1980: 31)

Pada usia 20 tahun Sudarno Nadi menikah dengan Suginah. Sejak pernikahan itu namanya berubah menjadi Wirjowikoro. Perubahan nama tersebut adalah salah satu tradisi yang harus dilalui oleh setiap masyarakat Jawa guna menunjukan perubahan status dari lajang ke status menikah. Nama tersebut diambil dari orangtua, pengambilan tersebut bisa dari orangtua kandung atau dari mertua atau bisa dari penggabungan keduanya (Wawancara dengan Drs. Supana, M.Hum Kaprodi Sastra Daerah FIB UNS). Beberapa tahun kemudian ia menemukan jodoh yang kedua, yaitu Martingah, yang konon masih keluarga Mangkunegaran. Perusahaanya sangat besar, pegawainya ratusan, dan mempunyai cabang dimana-mana, seperti di Solo, Bandung, Purwokerto, Surabaya, dan Banyuwangi. Keberhasilan usaha batik Sudarno Nadi, alias Wirjowikoro yang sekarang lebih dikenal K.H. Samanhudi dapat dilihat dari beberapa cabang yang dimilikinya, Hingga dapat membuat iklan di sebuah media cetak bernama “Sarotama” yang dipasang pada setiap penerbitanya.

(3)

Gambar 2

Gambar iklan pabrik kain batik milik K.H. Samanhudi pada koran Sarotama.

(Sumber : dokumentasi pribadi, 16 Juni 2016)

Dan dimasa ini Sudarno Nadi, alias Wirjowikoro atau K.H Samanhudi di kenal sebagai pelopor pengusaha batik di Kampung Laweyan , yang menjadi tokoh panutan warga sekitar yang berada di Laweyan untuk ikut menekuni usaha batik dan mengembangkan usaha tersebut untuk menjadi usaha utama setiap keluarga di Laweyan. Pada tahun 1904, Wirjokowiroko melaksanakan ibadah haji ke Mekkah dan kemudian memiliki nama K.H. Samanhudi sebagai bukti sudah melaksanakan ibadah haji. Pengalaman beribadah haji di Mekkah, terutama pergaulannya dengan kaum pergerakan islam disana. Telah menyebabkan dia mendapat kesan-kesan yang mendalam dan terangsang untuk melakukan pergerakan di tanah air. Pada tahun 1911 di Solo terdapat perkumpulan bernama Kong-Sing yang anggotanya orang-orang Cina dan Jawa. Tujuannya berkerjasama dalam perdagangan bahan batik dan soal kematian, tolong-menolong. Makin lama jumlah orang Cina yang menjadi anggota makin besar dan menjadi lebih besar dari jumlah orang Jawa. Oleh karena itu orang-orang Jawa merasa terjepit dan

(4)

keluarlah dari perkumpulan Kong-Sing tersebut, maka K.H Samanhudi mendirikan perkumpulan dagang sebagai wadah baru untuk pengusaha Jawa. Dalam perkumpuan ini K.H Samanhudi sebagai ketua “Mardhi Budi”.

Dengan adanya perkumpulan ini yang terus berkembang K.H Samanhudi semakin dikenal sebagai tokoh panutan untuk pengusaha pribumi khusunya batik. Industri batik menjadi sangat dikenal di seluruh Jawa dan mulai menjadi hal yang wajib dalam pemakaian batik pada setiap acara resmi dan menjadi kebiasaan masyarakat. Sehingga sampai saat ini masyarakat Laweyan mengenal K.H Samanhudi sebagai tokoh pelopor pengusaha batik sekaligus panutan bagi pengusaha batik. Saat ini keturunan dari K.H. Samanhudi yang memiliki usaha batik hanyalah cucu buyutnya Muhammad Aldiansyah. (Wawancara : Muh. Aldiansyah 24 April)

B. K.H Samanhudi Sebagai Tokoh Pergerakan Nasional Indonesia

K.H Samanhudi pada usia ke 20 telah mampu menjadi pengusaha batik yang sukses dengan berhasil membuka cabang-cabang usaha di beberapa kota antara lain Surabaya, Purwokerto, Bandung dan Banyuwangi. Meskipun hanya berlatar pendidikan setara dengan sekolah menengah pertama. Kesuksesan tersebut melatarbelakangi kenginan K.H Samanhudi untuk melasanakan kewajiban sebagai umat muslim untuk pergi Haji.

Sebagai rintisan pendahuluan/latihan K.H. Samanhudi dan kawan-kawan mendirikan perkumpulan dagang, ”Mardhi Budhi” yang berarti memelihara

akhlak. Dalam perkumpulan ini ia menjadi ketua. Kemudian pada akhir 1911 perkumpulan “Mardhi Budhi” berganti nama menjadi Sarekat Dagang Islam.

(5)

Delapan orang menyertai dalam pendirian SDI dan sekaligus menjadi pengurus dibawah pimpinan H. Samanhudi. Mereka itu ialah Sumowardjono, Harjosumarto, Martodikoro, Wiryotirto, Sukir, Suwandi, Suryopranooto, dan Jerman. Kemudian diangkatlah R.M. Jokomono Tirtoadisuryo, pemimpin redaksi harian “Merdeka Prijaji” yang kemudian oleh pemerintah Republik Indonesia

diangkat sebagai perintis Pers, di Indonesia. Perkumpulan ini, sempat berselisih tegang dengan warga keturunan Cina yang khawatir bahwa perkumpulan ini dapat membahayakan mereka dan pemerintahan yang ada.

Gambar 3

Gambar naskah pidato Samanhudi dalam Kongres SI di Jogjakarta tahun 1914.

(Sumber: Dokumentasi pribadi 25April 2016)

Pidato tersebut menjelaskan rasa cinta K.H. Samanhudi terhadap organisasi Sarekat Islam yang diibaratkan seperti rasa cinta bapak terhadap anaknya. yang ingin memuliakan organisasi Sarekat Islam. Disebutka pula

(6)

keinginan anggota Sarekat Islam untuk menjadikan K.H Samanhudi sebagai Ketua Kehormatan atau Presiden dari Sarekat Islam.

Pada tanggal 10 Agustus 1912 residen Surakarta/Solo mengundang para wakil pemerintah Kasunanan dan Ketua SDI untuk mengadakan pembicaraan. Hasilnya mulai saat itu SDI dengan mudahnya mulai sering disebut Serikat Islam dalam perkembangan selanjutnya menjadi Sarekat Islam. Pemerintah daerah pada waktu itu melarang SDI mengadakan rapat, karena dikawatirkan perkumpulan ini mengarah pada politik. Ketetapan itu disusul dengan penggeledahan polisi di rumah anggota-anggota pengurusnya yang diketemukan. Dalam penggeledahan itu hanya ditemukan peraturan perkumpulan, buku daftar anggota, daftar langganan majalah Sarotomo (Panah Utama), surat anggota yang ingin meminjam uang, Obligasi, rekening pembelian dan sebagainya.

Pada tanggal 26 Agustus 1912, SDI diizinkan aktif kembali. Pada 10 September 1912 dengan akte notaris, Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat Islam atas bantuan dan usul dari Umar Said Cokroaminoto yang menginginkan SDI tidak hanya sebatas perkumpulan pedagang saja. Hal itu menjadikan Sarekat Islam sah secara hukum sebagai organisasi dan semakin berkembang di penjuru negeri dengan anggota pada saat itu mencapai 80.000 anggota.

Perkumpulan yang didirikan oleh K.H Samanhudi itu ternyata merupakan perkumpulan yang sudah lama dinanti-nantikan oleh rakyat Hindia Belanda. Hal ini terbukti dari hangatnya sambutan rakyat terhadap perkumpulan tersebut, dan banyaknya rakyat yang ingin menjadi anggotanya. (Muldjono dan Kutoyo, Sutrisno. 1979/1980: 32-33)

(7)

Menginjak hari tua kehidupan K.H. Samanhudi tidak tampak dalam kebahagiaan. Perusahaan batik yang dirintis sama sekali bangkrut. Orang tua yang berjasa pada bangsanya itu hidup dari sokongan putera-puterinya yang berjumlah 9 orang (3 orang wanita dan 6 orang pria) dari dua orang istri, semuanya dalam keadaan serba sederhana. Oleh karena itu K.H. Samanhudi hidup dengan putera-puterinya secara berpindah-pindah, di Nganjuk, Mojokerto, dan Klaten. Pada akhir hayatnya, Ia hidup dengan putranya dalam keadaan melarat hingga wafat. (Wawancara : Suwardi 28 april 2016)

Pada tahun 1955 barulah pemerintah Republik Indonesia mengenalnya. Ia disebut Pahlawan “Perintis Kemerdekaan”. K.H Samanhudi, mendapatkan Maha

Putra dan Rumah Pahlawan dari Presiden Ir. Soekarno kepada Soekamto Samanhudi yang mewakili keluarga K.H Samanhudi di Istana Merdeka Jakarta, tanggal 15 Februari 1960. K.H. Samanhudi meninggal dunia pada 28 Desember 1956. Berdasarkan SK Presiden RI No. 590 tahun 1961 tanggal 9 November Kiyai Haji Samanhudi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. (Observassi 16 Juni 2016)

C. Komplek makam K.H. Samanhudi

Komplek makam K.H. Samanhudi meupakan komplek makam keluarga Pahlawan Pergerakan Nasional yang berada di tengah pemakaman umum di desa Banaran Kecamatan Grogol, Sukoharjo Jawa Tengah, komplek makam ini terletak 3 km dari pusat kota Solo/Surakarta, yang tepat di perbatasan kota Solo/Surakarta dengan Sukoharjo. Bersebelahan langsung dengan batas wilyah kota Solo dan Sukoharjo yang di pisahkan oleh aliran sungai (observasi 22 April 2016).

(8)

Gambar 4

Foto komplek makam K.H. Samanhudi, Banaran, Sukoharjo. (Sumber: Dokumentasi pribadi 25 April 2016)

Gambar 5

Denah komplek makam K.H Samanhudi (sumber :observasi, 16 Juni 2016)

Kompleks makam K.H. Samanhudi berada di Desa Banaran, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo. Makam K.H. Samanhudi terlihat rapat dan padat. Berada di pinggir sungai yang cukup besar yang di hubungkan dengan jembatan

u t a r a

(9)

beton penghubung antara Solo dan Sukoharjo. Komplek makam K.H. Samanhudi dihiasi pohon beringin yang rindang dan besar. Dengan hiasan ornamen bangunan serta cungkup menjadikan makam K.H Samanhudi menonjol dibanding makam-makam lain. Cungkup makam-makam beratap tumpang dua dengan sebuah tengara berdasar hitam menempel pada dinding luar cungkup. Tengara pada cungkup berbunyi “Makam Pahlawan Nasional K.H. Samanhudi, Ds. Banaran Kec. Grogol, Kab. Sukoharjo”. Di dalam cungkup makam K.H. Samanhudi hanya ada dua

pusar yang membujur berdampingan, makam K.H. Samanhudi dengan makam Ny Samanhudi. (Wawancara : Murwani, 24 April 2016)

K.H. Samanhudi wafat di kediaman putra ketiganya, Soekamto Samanhudi. Ia dikebumikan di makam keluarga yang berada di Banaran Sukoharjo. Selain itu sudah menjadi wasiatnya bahwa K.H. Samanhudi ingin dimakamkan di makam keluarga yang berdekatan dengan kedua orangtuanya. Ayah dari K.H. Samanhudi bernama Haji Muhamad Zen. Beliau dimakaman bersebelahan dengan istrinya. Kepemilikan makam keluarga di sekitaran Laweyan sudah menjadi hal biasa karena sudah menjadi karakter orang Laweyan di masa lampau. Karakter masyarakat Kampung Laweyan yang memiliki gaya hidup seperti orang keraton pada masa itu, ingin mempunyai trah atau silsilah keluarga, mempunyai puri-puri sebagai tempat tinggal, dan memiliki makam keluarga tersendiri. Karena sudah menjadi hal yang wajar pengusaha pada masa itu memiliki kekayaan yang cukup banyak. (Wawancara : Suwardi Spd, 22 April 2016)

Pada awalnya makam K.H. Samanhudi tidak bercungkup karena sudah menjadi wasiat dan keinginan dari pihak keluarga makam tersebut dibuat

(10)

sesederhana mungkin. Namun pada tahun 2014 atas usulan dari pemerintah Kabupaten Sukoharjo, makam tersebut harus dibuat nyaman, setidaknya bercungkup sehingga peziarah yang datang nyaman ketika berziarah. Pemasangan cungkup tersebut dibiayai oleh pemerintah melalui Pemkab. Sukoharjo. (Wawaancara : Muh. Aldiansyah Samanhudi, 22 April 2016)

Pada nisan makam K.H. Samanhudi tertulis “Disini dimakamkan pendiri

Sarekat Islam K.H. Samanhudi, Lahir: th 1868, Wafat jumat pahing 28 Desember 1956 sebagai Pahlawan Nasional RI”. Sedangkan pada nisan istrinya hanya

bertuliskan “Ny. Samanhudi, Wafat Selasa Wage 6 DJW 1940”.

Gambar 6

Foto makam K.H Samanhudi berdampingan dengan makam istrinya. (Sumber: Dokumentasi pribadi,25 April 2016)

Melihat tahun wafatnya, maka Ny. Samanhudi yang dimaksud adalah Suginah binti H. Bajuri yang merupakan istri pertama, karena istri kedua K.H

(11)

Samanhudi yang bernama Marbingah wafat pada 1960. Sebelumnya makam Ny. Samanhudi di kebumikan di Semarang. Atas permintaan K.H Samanhudi pada tahun 1940 makam Ny. Samanhudi dipindahkan di komplek makam keluarga di Banaran. Pemindahan itu dapat dilaksanakan setelah K.H Samanhudi mendapat uang pensiun dari pemerintah RI sebesar Rp.750.000,00 sebagai pahlawan pergerakan nasional. Selain istri dan orangtua nya, di komplek tersebut juga dimakamkan ke empat putra K.H. Samanhudi yaitu Sajadi Soekamto Samanhudi, Ny Wapinah Atmohartono, Ny Wapiyah Tjitro Hartono, Ny Warsinah Puspa Atmadja. Sebagian dari cucunya pun juga dimakamkan di komplek makam tersebut. Peziarah yang datang berasal dari sekitar Kota Solo, instansi pemerintah, serta orang-orang yang kagum akan perjuangan K.H. Samanhudi semasa hidup. Tidak jarang dari intsansi pendidikan seperti perguruan tinggi , SMA, SMP, SD berkunjung untuk mengenang jasa K.H. Samanhudi dalam pergerakan nasional. Pada tahun 2015 sebanyak 200 orang datang berziarah di makam K.H. Samanhudi dalam rangkaian acara Napak Tilas Budaya. (Wawancara : Suwardi S.pd, 22 April 2016)

D. Potensi Makam K.H. Samanhudi Sebelum Dikelola

Kampung Laweyan telah lama menjadi ikon kampung batik di Kota Solo. Dibalik nama besarnya sebagai kampung batik ternyata Laweyan juga menyimpan segudang sejarah yang tidak kalah menarik untuk dijelajahi. Kampung Batik Laweyan telah menjadi saksi perjalanan sejarah lintas generasi sejak era kerajaan Pajang, era Samanhudi pada zaman pergerakan nasional yang merupakan pendiri Sarekat Dagang Islam, dan hingga ini tetap bertahan sebagai kampung batik.

(12)

K.H. Samanhudi adalah seorang pengusaha batik yang sukses dari Kampung Laweyan. Pabrik batik yang dimiliki K.H. Samanhudi telah membuka cabang di beberapa kota antara lain Bandung, Purwokerto, Surabaya, dan Banyuwangi. Keberhasilan usaha tersebut membuat K.H. Samanhudi pelopor pengusaha pribumi yang sukses. Hal itu menjadikan K.H. Samanhudi sebagai panutan para pedagang dan pengusaha pribumi. Sebagai bentuk rasa terimakasih dan kekaguman terhadap K.H. Samahudi didirikanlah Museum Samanhudi.

Gambar 7

Foto keadaan di dalam Museum Samanhudi.

(Sumber: dokumentasi pribadi penulis, tanggal 14 Juni 2015)

Museum Samanhudi didirikan dengan menempati ruang atau bangunan milik dari Yayasan Warna-warni Budaya milik Krisnina Akbar Tandjung di Jalan Tiga Negeri, Laweyan pada tahun 2008, berisikan benda-benda peninggalan K.H. Samanhudi yang diberikan oleh keluarga sebagai koleksi. Benda-benda peninggalan Samanhudi , juga terdapat buku-buku yang berisi tentang cerita perjuangan, bukti-bukti sejarah perjuangan K.H. Samanhudi disimpan guna

(13)

melengkapi isi museum. Perawatan museum dan pengelolaan museum masih secara pribadi.

Pada tahun 2012 museum Samanhudi di pindahkan oleh LPMK Sondakan dari Laweyan ke Kelurahan Sondakan. Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah masyarakat untuk mencari informasi mengenai K.H. Samanhudi. Pengelolaan dan perawatan museum dilakukan oleh LPMK Kelurahan Sondakan yang mendapat dana dari APBD Surakarta. (Wawancara : Suwardi S.pd, 22 April 2016)

Gambar

Foto komplek makam K.H. Samanhudi, Banaran, Sukoharjo.  (Sumber: Dokumentasi pribadi 25 April 2016)

Referensi

Dokumen terkait