• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN. dengan sikap kekerasan yang sering menyertai penerapan sanksi tersebut, asas kerukunan, keselarasan, dan kepatutan. 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN. dengan sikap kekerasan yang sering menyertai penerapan sanksi tersebut, asas kerukunan, keselarasan, dan kepatutan. 1"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Di desa adat yang terjadi konflik antara desa adat dengan warganya, ada kalanya desa adat menunjukkan sikap yang dapat dikatakan arogan dalam menjatuhkan sanksi kepada warganya. Arogansi ini antara lain ditunjukkan dengan sikap kekerasan yang sering menyertai penerapan sanksi tersebut, padahal sikap demikian bertentangan dengan pandangan hidup adat yang mengajarkan setiap persoalan diselesaikan dengan musyawarah berdasarkan asas kerukunan, keselarasan, dan kepatutan.1

Dewasa ini, dalam beberapa kasus yang pernah terjadi, ada kalanya desa adat dalam menerapkan sanksi jauh menyimpang dari prinsip-prinsip adat yang dilandasi agama hindu, terutama dalam hal penerapan sanksi

kasepekang, atau sanksi lain seperti pengenaan “penanjung batu” yang

begitu berat, larangan mengubur di setra desa, perusakan sarana upakara

ngaben, menutup jalan ke kuburan, merusak/membakar rumah, dan lain

sebagainya, yang akhirnya menimbulkan persoalan/konflik baru yang sewaktu-waktu muncul lagi ke permukaan sehingga terjadilah konflik berkepanjangan atau timbul perpecahan/disintegrasi.2

Krama desa dalam pergaulan hidup bermasyarakat berpedoman pada awig-awig yang dibuat dan disahkan oleh krama desa sendiri. Awig-awig ini

mengatur keserasian, hubungan manusia dengan Sang Hyang Widhi Wasa,                                                                                                                          

1 Tjok Istri Putra Astiti, 2010, Desa Adat Menggugat Dan Digugat, Udayana University

Press, Bali, h.59.

(2)

hubungan manusia dengan sesama krama desa, dan hubungan manusia dengan alam. Ketiga aspek ini dikenal dengan istilah Tri Hita Karana, yang meliputi aspek Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan, yang saling berkaitan, dan menjadi sumber kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat.

Dalam penyelenggaraan pemerintahannya, desa pakraman dipimpin oleh prajuru desa. Struktur prajuru desa pada umumnya terdiri atas Bendesa selaku ketua, Penyarikan selaku sekretaris, Patengen selaku bendahara, dan

Kasinoman selaku pembantu umum atau juru arah. Desa-desa tua di bali

mempunyai struktur kepengurusan yang terdiri dari Jero Kubuyan, Jero

Bahu, Jero Singgukan, dan beberapa personalia lainnya yang disesuaikan

dengan jumlah krama desa.3

Persoalan cara melaksanakan sanksi kasepekang ini sangat penting untuk diperhatikan, karena penyelewengan atau kesewenang-wenangan sering terjadi disektor ini. Ditambah lantas dengan kenyataan bahwa perangkat

awig-awig yang tak dilengkapi aturan/awig-awig mengenai bagaimana cara

melaksanakan ketentuan ini, maka bila dikehendaki oleh pemuka masyarakat, penyelewengan dengan mudah dapat dilakukan.

Beberapa bentuk penyelewengan dalam hubungannya dengan sanksi adat kasepekang, misalnya sanksi ini disertai dengan sanksi lain, seperti: yang ngomong dengan yang kasepekang akan dikenai denda. Kalau begini adanya berarti sanksi ini sudah melenceng jauh. Bukan saja menghukum yang bersalah, tetapi juga mereka yang tak bersalah, terutama keluarganya, yang                                                                                                                          

3 I Nyoman Sirtha, 2008, Aspek Hukum Dalam Konflik Adat di Bali, Udayana University

(3)

berada/bertempat tinggal di desa tersebut. Berarti pula sanksi ini seolah-olah memisahkan tali persaudaraan seseorang.4

Kasepekang adalah salah satu sanksi adat di Bali. Sanksi serupa

namanya kanoroyang. Kasepekang berarti diberhentikan sementara sebagai warga desa, sementara kanoroyang berarti diberhentikan tetap. Perlu dikemukakan bahwa dalam beberapa desa pakraman, ada pengertian yang sebaliknya. Kasepekang diartikan sebagai pemberhentian permanent atau tetap, sedangkan kanoroyang berarti diberhentikan sementara.

Ada kemungkinan seseorang yang telah diberhentikan sementara

(kasepekang) atau tetap (kanoroyang) sebagai warga desa, bermaksud

kembali menjadi warga desa setempat. Biasanya mereka akan diterima kembali setelah memenuhi kewajiban membayar semacam ganti kerugian bagi yang sempat dikenakan sanksi adat kasepekang dan membayar uang pangkal bagi yang sempat dikenakan sanksi adat kanoroyang. Pembayaran inilah yang disebut penanjung batu. Jadi penanjung batu itu bukan sanksi adat.5

Permasalahan tersebut di atas yang melatar belakangi untuk melakukan dalam bentuk skripsi yang berjudul PELAKSANAAN SANKSI ADAT KASEPEKANG (STUDI DI DESA PAKRAMAN ASAK, KARANGASEM).

                                                                                                                         

4 Wayan Windia, 1995, Menjawab Masalah Hukum, Udayana University Press, Bali, h. 188. 5 Wayan P Windia, 2014, Hukum Adat Bali Aneka Kasus Dan Penyelesaiannya, Udayana

(4)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah kewenangan prajuru desa dalam melaksanakan sanksi adat yang diberikan terhadap krama desa di Desa Pakraman Asak, Karangasem?

2. Apakah akibat hukum yang ditimbulkan apabila prajuru desa terbukti arogan atau sewenang-wenang dalam memberikan sanksi terhadap krama

desa?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Mengingat luasnya masalah yang terkait dengan masalah kasepekang ini maka merupakan hal yang tidak mungkin untuk membahas semuanya dalam satu tulisan terlebih dalam suatu bentuk penulisan skripsi. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah agar materi atau isi urainnya tidak menyimpang dari pokok permasalahan sehingga pembahasannya dapat terarah dan tersusun secara sistematis. Dalam penulisan ini ruang lingkup permasalahannya hanya dibatasi mengenai. Pertimbangan Prajuru dalam Penerapan Sanksi Kasepekang di Desa Pakraman Asak, Karangasem. Ruang lingkup permasalahan ini pun dibahas dengan memperhatikan sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia.

(5)

Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian, hingga saat ini belum ada hasil penelitian dalam bentuk skripsi maupun penelitian yang berkaitan dengan PELAKSANAAN SANKSI ADAT KASEPEKANG. Adapun dari penelusuran kepustakaan yang cukup dekat dengan topic penelitian ini yaitu:

No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah

1 Kedudukan Prajuru

Adat Dalam

Pelanggaran Hukum Adat Perkawinan Di Desa Adat Tenganan Pagringsingan. Kadek Sri Erawati, Fakultas Hukum Universitas Udayana Bukit Jimbaran 2002. Bagaimana kedudukan

Prajuru Adat dalam hal

terjadinya pelanggaran khususnya tentang hukum adat perkawinan di Desa Tenganan Pegringsingan?

2 Peranan Awig-Awig Desa Adat Dalam Pelestarian Lingkungan Hidup Di Desa Tenganan Pagringsingan. I Dewa Nyoman Toya Suyasa, Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar 1994 Bagaimana konsepsi lingkungan hidup dalam masyarakat Tenganan Pagringsingan?

Seberapa jauh

awig-awig mampu menopang

pelestarian lingkungan hidup di Desa

(6)

Tengannan Pagringsingan?

3 Penerapan Sanksi Adat

Di Bali Dan Prospeknya Dalam Rancangan KUHP Nasional A.A Istri A. Prigiwati, Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar 2001 Bagaimanakah

penerapan sanksi adat saat ini baik oleh pengadilan maupun oleh masyarakat hukum adat?

Bagaimanakah

kebijakan perumusan pembebanan sanksi adat dalam rancangan KUHP nasional?

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa Orisinalitas penelitian ini murni, belum dikerjakan oleh peneliti lain sehingga saya dapat melanjutkan

(7)

usulan proposal penelitian dengan judul PELAKSANAAN SANKSI ADAT

KASEPEKANG (STUDI DI DESA PAKRAMAN ASAK,

KARANGASEM).

1.5 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1.5.1 Tujuan Umum

Dalam skripsi ini yang menjadi tujuan umum sebagai berikut:

Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran dalam suatu karya ilmiah secara tertulis, menambahkan perkembangan ilmu pengetahuan hukum mengenai Pertimbangan Prajuru dalam penerapan Sanksi Kasepekang dan untuk memenuhi persyaratan SKS dari jumlah beban studi untuk memperoleh gelar sarjana hukum.

1.5.2 Tujuan Khusus

Dalam skripsi ini yang menjadi tujuan khusus sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui pertimbangan Prajuru dalam penerapan Sanksi

Kasepekang di Desa Asak, Karangasem.

b. Untuk memberikan upaya yang dapat dilakukan oleh krama desa terhadap prajuru yang terbukti arogan atau sewenang-wenang dalam memberikan sanksi kepada krama desa.

(8)

Adapun manfaat yang di dapat dalam penelitian skripsi ini, antara lain: manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis. adalah sebagai berikut:

1.6.1 Manfaat Teoritis

Untuk memberikan gambaran dasar mengenai pertimbangan

prajuru dalam penerapan Sanksi Kasepekang, untuk menambah

literature bagi mahasiswa pada umumnya dan penulis pada khususnya dalam hal pengetahuan hukum yang terkait dengan Upaya Prajuru Dalam Penerapan Sanksi Kasepekang.

1.6.2 Manfaat Praktis

a. Bagi mahasiswa penelitian ini berguna untuk dijadikan pedoman dalam pembuatan karya tulis dan penelitian-penelitian hukum lainnya

b. Serta bagi masyarakat pada umumnya penelitian ini berguna dalam menambah wawasan masyarakat kedepannya tentang Upaya

Prajuru Dalam Penerapan Sanksi Kasepekang. 1.7 Landasan Teoritis

Untuk membahas rumusan masalah di atas maka akan dikemukakan landasan teoritis yang terkait dengan topik permasalahan yang diangkat. Untuk mengetahui dan menemukan jawaban topik di atas, maka itu ada

(9)

beberapa teori, asas, konsep dan peraturan perundang-undangan yang akan digunakan untuk membahas permasalahan yaitu :

1.7.1 Teori-teori Hukum adat

Dari teorinya Sally Falk Moore yaitu Teori Semi autonomous Social

Field, I Ketut Sudantra dan A.A Gede Oka Parwata menyatakan

bahwa desa pakraman sesungguhnya hanyalah kelompok sosial yang semi-otonom (semi autonomous social fields) karena dalam pelaksanaan otonominya itu desa pakraman tetap harus tunduk dengan kekuasaan negara. Penegasan ini penting agar tidak menimbulkan salah pengertian dan menganggap desa pakraman sebagai “republik kecil” yang dapat berbuat apa saja tanpa peduli kepada keberadaan kekuasaan negara, sebab bagaimanapun juga tidaklah boleh ada negara dalam negara.6

Dari teori Beslissingenleer berdasarkan Pandangan Ter Haar pada orasi ilmiah tahun 1937 memberi pngertian bahwa “hukum adat itu dengan mengabaikan bagiannya yang tertulis yang terdiri dari peraturan-peraturan desa, surat-surat perintah raja adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para Fungsionaris Hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa

(macht, authority) serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya

                                                                                                                         

6 AA Gede Oka Parwata, 2010, “Memahami Awig-Awig Desa Pakraman”, dalam Wicara

Lan Pamidanda : Pemberdayaan Desa Pakraman dalam Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan, I Ketut Sudantra dan AA Gede Oka Parwata (ed): Udayana University Press, Denpasar, h.34.

(10)

berlaku serta merta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh hati. “(Fungsionaris Hukum meliputi tiga kekuasaan: Executif, Legislatif,

Yudikatif) dengan demikian hukum adat yang berlaku itu hanya

dapat diketahui dan diperoleh dalam bentuk keputusan-keputusan para Fungsionaris Hukum; bukan saja hakim tetapi juga kepala adat, rapat desa, wali tanah petugas-petugas di lapangan keagamaan, petugas-petugas desa lainnya.

Keputusan itu tidak saja keputusan mengenai suatu sengketa resmi, tetapi juga diluar itu berdasarkan kerukunan/musyawarah atau

consensus, musyawarah mufakat atau rapat desa.

Keputusan-keputusan itu diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam kerohanian dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan itu. Dalam terminologi hukum adat di atas tersimpul sebuah ajaran atau doktrin yaitu Beslissingenleer atau ajaran tentang keputusan.7

1.7.2 Asas-asas Hukum Adat

Berlakunya suatu peraturan hukum adat, tampak dalam penetapan (putusan-putusan) petugas hukum, misalnya Putusan

                                                                                                                         

(11)

Kepala Adat, Putusan Hakim Perdamaian Desa, dan sebagainya sesuai dengan lapangan kopetensinya masing-masing.

Didalam pengambilan keputusan, para pemberi keputusan berpedoman pada nilai-nilai universal yang dipakai oleh para tetua adat, yaitu:

a. Asas gotong royong,

b. Fungsi sosial manusia dan milik dalam masyarakat,

c. Asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum (musyawarah),

d. Asas perwakilan dan permusyawaratan.8

1.7.3 Konsep Hukum Adat

Hukum adat Bali adalah komplek norma-norma, baik dalam wujud yang tertulis maupun tidak tertulis, berisi perintah, kebolehan dan larangan, yang mengatur kehidupan masyarakat Bali yang menyangkut hubungan antara sesama manusia, hubungan manusia dengan alamnya, dan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Tujuan hukum adalah tujuan hidup itu sendiri yaitu terciptanya kesejahteraan umat manusia yang diterjemahkan sebagai kehidupan “sukerta sekala niskala”. Dalam konsep orang Bali, untuk mencapai tujuan hidup tersebut, maka harus senantiasa dijaga dan diusahakan adanya keseimbangan atau keharmonisan hubungan antara sesama                                                                                                                          

(12)

manusia, hubugan antara manusia dengan alam, dan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Apabila keharmonisan hubungan ini terganggu maka haruslah ada upaya-upaya atau tindakan-tindakan hukum untuk mengembalikan keseimbangan tersebut, berupa reaksi adat atau sanksi adat.9

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

Ditinjau dari latar belakang sejarah, masyarakat hukum adat di Kepulauan Indonesia mempunyai latar belakang sejarah serta kebudayaan yang sudah sangat tua dan jauh lebih tua dari terbentuknya kerajaan ataupun negara. Secara historis, warga masyarakat hukum adat di Indonesia serta etnik yang melingkupinya, sesungguhnya merupakan migran dari kawasan lainnya di Asia Tenggara. Secara kultural mereka termasuk dalam kawasan budaya

Austronesia, yaitu budaya petani sawah, dengan tatanan masyarakat

serta hak kepemilikan yang ditata secara kolektif, khususnya hak kepemilikan atas tanah ulayat. Dalam kehidupan politik, beberapa etnik berhasil mendominasi etnik lain beserta wilayahnya, dan membentuk kerajaan-kerajaan tradisional, baik yang berukuran lokal maupun yang berukuran regional.10

                                                                                                                         

9 Wayan P Windia dan Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga

Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h.6. (Selanjutnya III).

10 Saafroedin Bahar, 2005, Seri Hak Masyarakat Hukum adat : Inventarisasi dan

Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, h.76-77.

(13)

Menurut Moh. Koesnoe empat fungsi yang berkaitan dengan hak-hak tradisional dalam persekutuan masyarakat pedesaan berkenaan dengan menjaga tata harmoni antara masyarakat dengan tata semesta meliputi : Fungsi pemerintahan, Fungsi pemeliharan roh, Fungsi pemeliharaan agama, Fungsi pembinaan hukum adat.11

Suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actualexistence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur :

a. Adanya masyarakat yang masyarakatnya memiliki perasaan kelompok (in group feeling)

b. Adanya pranata pemerintahan adat

c. Adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat

d. Adanya perangkat norma hukum adat. Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial.

Perlindungan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat untuk mempertahankan hak konstitusionalnya apabila terdapat undang-undang yang merugikan hak konstitusionalnya termaksud dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo. UU No. 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003                                                                                                                          

11 Moh Koesnoe, 1979, Catatan-catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga

(14)

Namun ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi agar kesatuan masyarakat hukum adat memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi.

Definisi Kasepekang

Kasepekang artinya tidak diajak ngomong. Kasepekang

banjar artinya tidak diajak ngomong oleh seluruh anggota banjar.

Kasepekang nyama, berarti tidak diajak ngomong oleh seluruh

keluarga. Kalau ada orang kasepekang, pastilah ada sebab dan musababnya. Biasanya melanggar kesepakatan bersama, melanggar kesepakatan keluarga, atau melanggar kesepakatan banjar. Atau melanggar awig-awig banjar. Kasepekang merupakan salah satu sanksi adat. Bentuk sanksi yang lainnya dapat berupa dedosan

(denda), kerampas/kerampang, keblagbag (pasung), minta maaf atau mengaksama.12

Adapun pendapat lainnya yaitu dijatuhkannya sanksi terhadap diri seseorang/keluarga/kelompok tertentu, itu berarti orang yang bersangkutan tidak diajak bertegur sapa atau berkomunikasi, tidak mendapatkan pelayanan secara adat (misalnya arah-arah dan

                                                                                                                          12 Wayan Windia I, Op Cit, h.187.

(15)

segala informasi lainnya), bahkan ada yang berimbas pada tindakan tidak mendapat pelayanan kedinasan.13

1.7.4 Dasar Hukum dan Peraturan Perundang-undangan

Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman sebagai mana diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 (selanjutnya hanya disebut Paeraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001) dengan jelas menyebut bahwa desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dari pengertian inilah kemudian dipahami bahwa desa pakraman mempunyai sifat otonom, yang oleh Koho (Gorda,1999) diartikan sebagai hak dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Memang, kata “otonomi” sendiri merupakan istilah pinjaman dari bahasa latin, yakni autos (=sendiri) dan nomos (=aturan), sehingga secara etimologis berarti mengatur sendiri. Dalam kenyataan, desa pakraman di Bali merupakan suatu kesatuan masyarakat sosial religius yang bersifat otonom, berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Hak ini oleh Pasal 18B ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 disebut sebagai “hak-hak tradisional” masyarakat hukum adat yang diakui dan dihormati oleh negara, pengakuan dan penghormatan negara terhadap otonomi desa pakraman tersebut selanjutnya diatur dengan undang-undang yang dibuat oleh negara. itulah sebabnya, I Ketut Sudantra menyebut                                                                                                                          

(16)

desa pakraman sebagai masyarakat yang semi otonom

(semiautonomous sosial fields) karena otonomi desa pakraman

bukanlah otonomi penuh yang melainkan tetap harus tunduk kepada kekuasaan dari luar desa pakraman, yaitu negara.14

Jauh sebelum masuknya kaum penjajah ke indonesia, hukum adat telah berlaku bagi orang indonesia asli (Bumiputra/Pribumi). Pada jaman pemerintah Kolonial Belanda, berlakunya hukum adat bagi orang Bumiputra ini, tetap dipertahankkan. Dasar hukum berlakunya hukum adat itu, diatur dalam Pasal 11 Algemene

Bepalingen van Wetgeving (AB) termuat dalam Staatblad tahun 1847

nomor 23 yaitu peraturan tentang “Peraturan Umum Mengenai Perundang-undangan Untuk Indonesia” dan Pasal 75 ayat 3 dan ayat 4 Regering Reglement (RR), serta Pasal 131 Indische Staatregeling

(IS).15

Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Menimbang:

a. Bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketakwaan dan penuh tanggung jawab                                                                                                                          

14Tjok Istri Putra Astiti, Op cit, h.49.

15 Muhammad Bakri, 2011, Pengantar Hukum Indonesia (Sistem Hukum Indonesia Pada Era

(17)

untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya dianugrahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan lingkungannya. b. Bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara

kodrati melekat pada diri manusia. Bersifat universal dan

langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,

dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapa pun:

c. Bahwa selain hak asasi, manusia juga mempunyai kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

d. Bahwa bangsa indonesia sebagai anggota perserikatan bangsa-bangsa pengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan deklarasi universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh perserikatan bangsa-bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia;

e. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d dalam rangka melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor

(18)

XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, perlu membentuk Undang undang tentang Hak Asasi Manusia.

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Terkait dengan ancaman rasa takut, ada rumusan HAM yang menyebutkan : “setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. dalam Kitab Suci Atharwa Weda

XIX:15 juga ditegaskan bahwa manusia berhak bebas dari

ketakutan. Demikian ditegaskan: “hendaknya tidak takut kepada teman dan lawan, tidak takut kepada yang dikenal dan tidak dikenal, di malam hari bahkan sepanjang hari pun tidak boleh takut”. Itu artinya bahwa setiap orang berhak atas rasa aman.16 Dasar Hukum Dalam Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali.

Dalam Keputusan Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman (MDP) Bali, Diselenggarakan 15 Oktober 2010,

                                                                                                                          16 Tjok Istri Putra Astiti, Op cit, h.66.

(19)

Bertempat di Gedung Wiswasabha, Kantor Gubernur Provinsi Bali. Yaitu:

Pengenaan Sanksi Adat Kasepekang dan kanorayang

Kenyataan menunjukkan bahwa setiap kali sanksi adat

kasepekang dijatuhkan selalu saja menuai kontroversi berkepanjangan. Penerapan sanksi tersebut terbukti tidak menyelesaikan masalah, sebaliknya justru menimbulkan masalah baru, terutama dalam hubungan dengan penguburan jenazah dan atau penggunaan setra.

Atas dasar kenyataan tersebut maka berdasarkan Hasil Pasamuhan Agung II MDP Bali tahun 2007, yang dituangkan dalam Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MDP) Bali Nomor: 01/Kep/Psm-2/MDP Bali/X/2007, Jumat 12 Oktober 2007, sepanjang mengenai sanksi adat kasepekang dan kanorayang, ditentukan bahwa ”Penjatuhan sanksi adat kasepekang dan

kanorayang dilarang sementara, sampai adanya rumusan yang

memadai mengenai pengertian dan tata cara menjatuhkan sanksi adat tersebut, yang berlaku bagi semua desa pakraman di Bali.”

Menindaklanjuti Keputusan MUDP (2007) di atas, maka perlu ditegaskan pengertian sanksi adat kasepekang dan sanksi adat

kanorayang. Yang dimaksud dengan kasepekang (atau istilah lain)

dalam hal ini adalah pemberhentian sementara sebagai anggota

(20)

tidak berhak mendapatkan panyanggran (pelayanan/bantuan) banjar dan desa pakraman yang ditandai dengan tidak mendapatkan arah-arahan (suaran kulkul). Adapun yang dimaksud dengan kanorayang (atau istilah lain) adalah diberhentikan permanen sebagai krama banjar dan desa pakraman, sehingga segala hak yang sebelumnya didapatkan dari banjar dan desa pakraman menjadi gugur.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pasamuhan Agung III Majelis Desa Pakraman Bali memutuskan hal-hal sebagai berkut:

1. Sanksi kasepekang atau istilah lain yang mengandung arti dan makna sama dengan pemberhentian sementara sebagai krama

desa, dapat dikenakan berdasarkan paruman (rapat) banjar atau

desa pakraman kepada krama desa yang terbukti secara meyakinkan membangkang (ngatuwel) terhadap awig-awig,

pararem, dan kesepakatan banjar atau desa pakraman, setelah

usaha penyelesaian melalui prajuru (kertha desa) yang dilakukan dianggap gagal, dan setelah beberapa sanksi lain yang juga dikenakan berdasarkan paruman tidak membuahkan hasil. Sanksi lain yang dimaksud, seperti: (a) peringatan lisan dan tertulis oleh prajuru (pimpinan) banjar atau desa pakraman; (b)

arta danda (denda materi) berdasarkan awig-awig yang berlaku.

2. Selama dalam masa kasepekang, yang besangkutan tidak berhak mendapatkan panyanggran (pelayanan/bantuan) seluruh anggota banjar dan desa pakraman yang ditandai dengan tidak

(21)

mendapatkan suaran kulkul, dalam segala aktivitas yang dilakukan di desa pakraman setempat, baik dalam suasana suka (syukuran), kasucian (upacara agama), kalayusekaran (kematian), maupun kapancabayan (tertimpa musibah).

3. Sanksi adat kasepekang berlaku untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) paruman banjar atau paruman desa pakraman yang mengagendakan pembahasan perihal pengenaan sanksi

kasepekang tersebut.

4. Apabila dalam masa 3 (tiga) paruman tersebut pihak yang dikenakan sanksi kasepekang tidak memenuhi segala kewajiban yang dibebankan, maka yang bersangkutan dapat diberhentikan

(kanorayang) sebagai krama desa, dan tidak berhak

menggunakan segala fasilitas milik desa pakraman, kecuali yang bersangkutan kembali menjadi krama desa, setelah memenuhi segala persyaratan sesuai dengan awig-awig yang berlaku. 5. Melarang pengenaan atau penjatuhan sanksi adat kanorayang

atau istilah lain yang memiliki arti dan makna yang sama dengan pemberhentian penuh sebagai krama desa (warga desa), secara langsung sebelum tahapan-tahapan sanksi lain yang bersifat pembinaan diterapkan.

6. Desa pakraman yang melaksanakan sanksi adat kanorayang secara langsung, dianggap sebagai desa pakraman bermasalah. Kewajiban Krama Desa yang Kasepekang

(22)

Selama dalam masa kasepekang, pihak yang dikenakan sanksi adat kasepekang berkewajiban mengadakan pendekatan kepada krama banjar dan krama desa yang lainnya melalui prajuru

banjar dan atau prajuru desa pakraman secara terus menerus guna

mengupayakan penyelesaian permasalahan yang dihadapi. Kewajiban Prajuru Desa Pakraman terkait Sanksi Kasepekang

Prajuru banjar dan atau prajuru desa pakraman wajib

membina krama desa yang kasepekang agar bisa kembali melaksanakan swadharma sebagai krama desa dan selanjutnya

prajuru banjar dan atau prajuru desa pakraman tidak berhak

merekomendasikan kepada penyelenggara pemerintahan untuk mengurangi hak-hak administratif krama desa yang kasepekang sebagai warga negara.

Hak Krama Desa yang Kasepekang

Selama dalam masa kasepekang, pihak yang dikenakan sanksi kasepekang masih berhak untuk hal-hal sebagai berikut. 1. Memanfaatkan setra (kuburan) banjar atau desa pakraman untuk

melaksanakan upacara penguburan/pembakaran jenazah atau

pitra yadnya tanpa panyanggaran banjar dan atau desa pakraman.

2. Memanfaatkan tempat suci dan fasilitas lain milik banjar atau desa pakraman, seperti halnya krama desa lainnya, dengan sepengetahuan prajuru banjar dan atau desa pakraman.

(23)

3. Memanfaatkan tempat suci untuk tujuan khusus, dilakukan atas seizin prajuru banjar dan atau prajuru desa pakraman dan dituntun oleh pamangku di tempat suci bersangkutan.

Sanksi Kasepekang Berakhir

Masa kasepekang dianggap selesai sesudah pihak yang dikenakan sanksi memenuhi segala kewajiban yang dibebankan kepadanya dan ngaksamaang raga (meminta maaf) kepada krama

banjar dan atau krama desa pakraman melalui prajuru banjar atau prajuru desa pakraman.

Krama Desa yang Kanorayang

Krama desa kanorayang statusnya sama dengan warga yang

bukan krama desa, sehingga tidak berhak menggunakan segala fasilitas banjar dan atau desa pakraman tanpa seizin prajuru banjar dan atau prajuru desa pakraman.

Krama desa yang kanorayang dapat kembali menjadi krama desa setelah mengikuti persyaratan untuk menjadi krama desa baru (mawali tedun makrama) sesuai dengan awig-awig desa pakraman

bersangkutan.

1.8 Metode Penelitian

Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat

(24)

metode ilmiah. Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interrelasi yang sistematis.17 Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jelas menganalisanya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan.18 Dalam penulisan skripsi ini metode yang digunakan sebagai berikut:

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian hukum ini adalah penelitian yuridis empiris. Yang di maksud dengan penelitian lapangan yang berorientasi pada pengumpulan data empiris di lapangan. Berdasarkan data empiris inilah peneliti melalukan analisis secara mendalam sesuai dengan teori yang relevan dan melakukan simpulan.19

Jadi peneliti memilih metode penelitian yuridis empiris dikarenakan dalam menyelesaikan penelitian diatas perlu adanya suatu penelitian ke lapangan agar data yang didapatkan lebih akurat dan berdasarkan kenyataan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

1.8.2 Jenis Pendekatan                                                                                                                          

17 Bambang Sunggono, 2007, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta,

h.44  

18 Ibid, h.38

(25)

Dalam penelitian empiris ada beberapa jenis pendekatan yang dapat dipergunakan, namun dalam penelitian ini jenis pendekatan yang digunakan adalah jenis Pendekatan Kasus (The Case Approach). Pendekatan Kasus (The Case Approach) merupakan jenis pendekatan yang ditujukan langsung pada kasus yang terjadi di lapangan yaitu Upaya Prajuru dalam Penerapan Sanksi Kasepekang di Desa Asak, Karangasem dan juga menggunakan jenis Pendekatan Fakta (The Fact

Approach) yaitu dilakukan dengan melihat langsung fakta-fakta yang

terjadi di lapangan dalam Upaya Prajuru dalam Penerapan Sanksi Kasepekang di Desa Asak, Karangasem.

1.8.3 Sifat Penelitian

Dalam penulisan ini peneliti menggunakan penelitian Deskriptif, bertujuan menggambarkan, secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Dalam penelitian ini teori-teori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, karya tulis yang dimuat baik dalam literatur maupun jurnal,

(26)

jumlahnya cukup memadai, sehingga dalam penelitian ini hipotesis boleh ada atau boleh juga tidak.20

Jadi sifat penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui gejala di lapangan dengan menggunakan teori-teori, ketentuan peraturan, norma-norma hukum, literatur, maupun jurnal.

1.8.4 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Bahan data primer adalah data yang bersumber dari penelitian lapangan yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan baik dari responden maupun informan. Data Sekunder bersumber dari penelitian kepustakaan.21

Jadi untuk memperkuat sumber-sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, pada data primer peneliti melakukan pendekatan masalah terhadap responden maupun informan berdasarkan permasalahan yang terjadi di lapangan. Di samping itu juga pada data sekunder digunakan penelitian kepustakaan.

                                                                                                                         

20 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum

Universitas Udayana, Denpasar, h.81.

(27)

1.8.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah Teknik Wawancara (Interview). Teknik Wawancara (Interview) merupakan salah satu teknik yang paling sering dan yang paling lazim digunakan dalam penelitian hukum empiris. Dalam kegiatan ilmiah, wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya kepada seseorang, melainkan dilakukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada responden maupun informan. Agar hasil wawancara nantinya memiliki nilai validitas dan reabilitas, dalam berwawancara peneliti menggunakan alat berupa pedoman wawancara atau Interview Guide.22

Dalam teknik pengumpulan data, pengambilan data primer yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti (atau petugas-petugasnya) dari sumber pertamanya. Disamping data primer terdapat data sekunder yang seringkali diperlukan oleh peneliti. Data sekunder itu biasanya telah tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen, misalnya data mengenai keadaan demografis suatu daerah, data mengenai produktivitas suatu perguruan tinggi, data mengenai persediaan pangan di suatu daerah, dan sebagainya.23

                                                                                                                          22 Ibid h. 82.

(28)

Dalam teknik pengumpulan data ini peneliti menggunakan teknik wawancara yang diberikan kepada responden maupun informan dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan guna mengetahui permasalahan-permasalahan yang terjadi di lapangan secara jelas.

1.8.6 Pengolahan dan Analisis Data

Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif. Analisis kualitatif diterapkan dalam suatu penelitian yang sifatnya eksploratif dan deskriptif. Dalam hal ini, data yang dikumpulkan adalah data naturalistik yang terdiri atas kata-kata (narasi), data sukar diukur dengan angka, bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sehingga tidak dapat disusun ke dalam struktur klarifikasi, hubungan antar variabel tidak jelas, sampel bersifat non probabilitas, dan pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan observasi.24

Data lunak atau data kualitatif adalah data yang dituangkan dengan kata-kata yang biasanya dibuat dalam bentuk catatan lapangan (field notes) yang diperoleh dari study dokumen, wawancara mendalam atau observasi partisipatoris. Data seperti ini diperoleh melalui riset yang menggunakan pendekatan kualitatif.25

                                                                                                                          24 Op Cit, h.88

25 Mohammad Ali dan Muhammad Asrosi, 2014, Metodologi Dan Aplikasi Riset Pendidikan,

(29)

Wawancara atau interview adalah suatu bentuk komunikasi verbal jadi semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi.26 Jadi pada proses analisis ini menggunakan analisis kualitatif yaitu menggumpulkan data naturalistik dengan melakukan wawancara di lapangan.

                                                                                                                         

Referensi

Dokumen terkait

Paper ini membahas tentang sound generator yang mana output suara dihasilkan dari superposisi beberapa gelombang sinus sehingga membentuk alunan melodi musik..

Produk pengembangan berbasis mind map dirancang untuk mengatasi permasalahan pengetahuan awal siswa yang minim, sehingga siswa mampu membangun konsep awal berupa

Tidak hanya gebyok, saya mendapatkan banyak mendengar cerita dari "arga mengenai cerita kali 1engek, maupun cerita tokoh!tokoh yang kini makamnya berada di

Hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa persepsi kelompok tani terhadap peranan penyuluh pertanian dalam pengembangan Gabungan Kelompok Tani di Kabupaten Sukoharjo sudah

Mengingat air danau tersebut tidak hanya akan dinikmati oleh warga masyarakat disekitar danau tetapi juga masyarakat di daerah hilir dimana air danau mengalir melalui anak

dewasa, seharusnya ia bertanggung jawab atas biaya hidupnya sendiri (tidak sebagai beban orang tua) dan hal tersebut berlaku bagi laki-laki maupun perempuan. 2)

[r]

mulut ke mulut (Word Of Mouth) merupakan salah satu ciri khusus dari promosi. bisnis barang