• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN KONTEKS DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL SISWA SMP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGGUNAAN KONTEKS DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL SISWA SMP"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

786

PENGGUNAAN KONTEKS DALAM PEMBELAJARAN

MATEMATIKA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN

SOSIAL SISWA SMP

Kadir dan La Masi

FKIP Kampus Hijau Bumi Tridharma, Unhalu, FKIP Kampus Hijau Bumi Tri-dharma, Unhalu

E-mail: kadirraea@yahoo.co.id, lamasimbahido1966@yahoo.co.id

ABSTRAK: Penggunaan konteks dalam pembelajaran matematika di SMP masih merupakan suatu masalah. Permasalahan tersebut disebabkan oleh kurangnya bahan ajar yang tersedia bagi guru untuk mengaitkan matematika dengan konteks keseharian siswa dan kurangnya kreativitas guru dalam membuat atau menggunakan konteks yang tepat dalam proses pembelajaran. Pada penelitian ini diungkap keragaman konteks yang digunakan guru untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa kelas VIII SMP di Kota Kendari. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey pelaksanaan pembelajaran matematika di kelas VIII SMP sampel yang mewakili sekolah level sedang dan rendah. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam menggunakan konteks dalam pembelajaran matematika masih kurang. Konteks hanya digunakan pada awal pembelajaran matematika untuk menarik perhatian siswa, tetapi belum digunakan untuk membangun konsep matematika dan belum dimanfaatkan untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa. Konteks yang sering digunakan adalah ikan, mangga, dan kelapa. Guru menyadari bahwa penggunaan konteks dalam pembelajaran matematika diyakini dapat meningkatkan keterampilan sosial siswa..

Kata kunci: konteks dalam pembelajaran matematika, pembelajaran berbasis masa-lah kontekstual, keterampilan sosial

Keberhasilan guru matematika dalam melaksanakan pembelajaran dapat diketahui dari keberhasilan siswa mema-hami, menerapkan, dan mengembangkan materi pelajaran yang diajarkan baik pada matematika itu sendiri, mata pelajaran lainnya, maupun pada kehidupan sehari-hari. Keberhasilan siswa tersebut tidak dapat dicapai dengan baik jika pembelajaran guru kurang bermakna dan kurang memberi semangat inovasi dan kreativitas berpikir pada diri setiap siswa. Pembelajaran matematika seharusnya menarik dan menantang proses berpikir siswa sehingga dapat melatih kemampuan pemecahan masalah siswa secara kreatif. Penggunaan masalah kontekstual yang terkait dengan kehidupan sehari-hari siswa dan

perkembangan teknologi yang dapat dipahami siswa pada setiap pembelajaran akan berpengaruh terhadap aktivitas siswa dalam pembelajaran. Di samping itu, penggunaan contoh dan soal latihan yang tidak rutin (non routine) juga akan melatih siswa berpikir kritis dan kreatif dalam memecahkan masalah matematik.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran matematika pada berbagai satuan pendidikan di kota Kendari menggunakan buku paket sebagai satu-satunya rujukan dan sangat jarang mengait-kan materi matematika dengan penggunaan-nya pada dunia penggunaan-nyata atau untuk memecah-kan masalah sehari-hari baik pada aspek ekonomi, lingkungan, pergaulan, ataupun budaya dan teknologi. Soal-soal yang

(2)

digunakan guru secara umum hanya menggunakan soal-soal matematika seder-hana. Soal-soal seperti ini tidak dapat melatih potensi berpikir siswa pada berpikir matematika tingkat tinggi (high-order

mathematical thinking skills). Soal-soal

matematika sederhana hanya digunakan pada aspek tertentu dari matematika.

Hasil penelitian Kadir (2011) menunjukkan bahwa soal-soal rutin masih dominan digunakan guru matematika SMP Negeri di kota Kendari. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa guru matema-tika di Kota Kendari kurang mampu merancang atau memodifikasi soal-soal matematika yang ada pada buku paket menjadi soal-soal kontekstual yang lebih terkait dengan kehidupan siswa sehari-hari di kota Kendari atau lebih menantang proses berpikir siswa. Padahal, soal-soal seperti ini sangat menarik untuk mengak-tifkan siswa dalam pembelajaran dan untuk menantang pola berpikir matematik siswa.

Penggunaan masalah kontekstual sangat menarik dan dapat memancing kemampuan komunikasi siswa untuk berinteraksi dengan siswa lainnya atau dengan guru. Artinya, penyajian soal-soal kontekstual dan problem solving akan menarik siswa mengikuti proses pembela-jaran dan menantang proses berpikir siswa untuk secara kreatif memecahkan masalah yang diberikan atau dihadapinya baik secara inidividu maupun secara kelompok melalui komunikasi yang efektif dan difasilitasi oleh guru dalam pembelajaran di kelas. Kemampuan siswa berinteraksi yang dilatih selama pembelajaran matematika yang bermakna dan konteks-tual akan menjadikan siswa mampu beradaptasi, saling memberi dan menerima secara harmonis. Keterampilan seperti ini dikenal dengan istilah keterampilan sosial (social skills). Situasi pembelajaran matematika yang efektif-interaktif mesti senantiasa diupayakan guru di Kota

Kendari agar problematika potensi kota Kendari menjadi dikenal dan sedapat mungkin dapat dipecahkan dengan metode-metode matematika yang dipela-jari. Sayangnya keterampilan sosial ini kurang dilatihkan guru di kelas sehingga beberapa penelitian pendahuluan peneliti menunjukkan bahwa keterampilan sosial siswa rendah.

Kurangnya penggunaan konteks keseharian siswa ketika guru mengajarkan matematika berdampak pada semakin menjauhkan siswa dari matematika dan pada rendahnya kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal matematika ber-bentuk cerita atau soal-soal problem

solving. Rendahnya kemampuan

pemeca-han masalah matematika siswa SMP dapat dilihat dari hasil penelitian Kadir tahun 2008, 2009, dan 2010 di kelas VIII dan kelas IX SMP di provinsi Sulawesi Tenggara. Meskipun pada penelitian Kadir (2011 dan 2012) menunjukkan hasil bahwa kemampuan pemecahan masalah matema-tik siswa pesisir di kota Kendari telah dapat ditingkatkan tetapi bahan ajar yang digunakan adalah bahan ajar berbasis potensi pesisir sehingga belum menyentuh permasalahan kota Kendari pada umum-nya. Potensi pesisir hanya satu dari sekian banyak potensi yang dimiliki kota Kendari yang juga mempunyai masalah yang hendaknya juga dapat dipecahkan dengan metode matematika atau disajikan dalam bahan ajar matematika. Bahkan pada peneltian Kadir (2012) tentang penggunaan konteks palem (palmae) seperti kelapa, aren, sagu, rotan, pinang, kelapa sawit, dan palem tanaman hias dalam pembelajaran matematika menunjukkan bahwa konteks palem kurang begitu dikenal siswa sehingga dibutuhkan konteks-konteks lain-nya. Padahal Indonesia merupakan pusat keanekaragaman palem dunia (Witono, 2005). Hasil penelitian Kadir (2012) juga menunjukkan bahwa para guru matematika

(3)

sangat membutuhkan bahan ajar kontekstual yang terkait langsung dengan potensi kota Kendari dan permasalahannya. Buku paket matematika yang selama ini digunakan guru tidak terkait langsung dengan permasalahan potensi kota Kendari dan berdampak pada kurangnya partisipasi siswa dalam pembela-jaran matematika di kelas.

Uraian di atas menunjukkan perlu-nya merancang suatu pembelajaran mate-matika yang dapat memberi manfaat lang-sung bagi pembentukan pola pikir siswa secara teratur, logis, dan kreatif. Pembela-jaran seperti ini dapat diwujudkan jika guru menggunakan bahan ajar yang dapat memfasilitasi dan mendorong siswa untuk berpikir. Bahan ajar tersebut harus menarik dan menantang proses berpikir siswa. Bahan ajar seperti ini dapat dikemas mela-lui pemanfaatan berbagai masalah baik yang terkait dengan kehidupan sehari-hari siswa, maupun yang terkait dengan matematika itu sendiri, pengetahuan lain, kepentingan umum, sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Pemanfaatan konteks dan permasalahannya dalam pembelajaran dengan mengemasnya dalam bahan ajar matematika merupakan langkah tepat untuk melatih kemampuan berpikir kreatif matematik, keterampilan sosial siswa, dan menanamkan pentingnya pengetahuan ten-tang permasalahan setiap konteks tersebut.

KAJIAN PUSTAKA

Pemanfaatan Masalah Kontekstual dalam Kurikulum dan Pembelajaran Matematika

Pembelajaran matematika sebaga-imana amanah kurikulum harus mampu mewujudkan peserta didik yang problem

solver, berpikir logis, sistematis, produktif,

reflektif, kritis, kreatif, berkarakter, dan terampil bersosial. Generasi seperti ini hanya bisa diwujudkan melalui pembela-jaran yang bermakna (meaningfull learning)

yang didukung oleh bahan ajar yang tepat, guru yang profesional, dan sistem pendidi-kan yang bermutu.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kegiatan pengintegrasian nilai-nilai kehidupan dan budaya serta potensi alam dalam pembelajaran matematika merupakan kegiatan yang mesti dilakukan guru di kelasnya. Menurut Adam (2004), ruang kelas merupakan bagian dari suatu komunitas yang mendefinisikan praktek budaya. Ketika siswa memasuki sebuah sekolah, mereka membawa berbagai nilai, norma, dan konsep yang merupakan bagian dari perkembangan mereka. Menurut Bishop (1994), beberapa di antara yang mereka bawa itu adalah matematika (Adam, 2004). Adam melanjutkan, sayangnya, konsep matematik dari kurikulum sekolah disajikan dalam suatu cara yang tidak berkaitan dengan budaya matematika siswa. Padahal aspek budaya memberi kontribusi penting untuk meningkatkan kemampuan matematika siswa di kelas. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Bishop (1988), Boaler (1993), dan Zavlasky (1991, 1996), bahwa aspek budaya berkontribusi untuk mengenal matematika sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, mengembangkan kemampuan koneksi secara bermakna, dan memperdalam pemahaman matematika (Adam, 2004).

Keterampilan Sosial

Seorang siswa dikatakan terampil bersosial jika siswa dapat berinteraksi secara harmonis dengan orang lain di sekitarnya. Menurut Cartledge & Milburn (1992), keterampilan sosial merupakan kemampuan yang dimiliki siswa untuk menempatkan diri dan mengambil peran yang sesuai di lingkungannya. Keteram-pilan sosial merupakan bagian dari domain psikomotor yang mempunyai hubungan dengan domain kognitif dan afektif (Sasongko, 2001; Kadir, 2009b). Combs &

(4)

Slaby (1997) menyatakan bahwa keteram-pilan sosial adalah kemampuan berin-teraksi dengan orang lain dalam suatu konteks sosial dengan cara yang spesifik sehingga dapat diterima atau dinilai menguntungkan bagi dirinya, mutu kehidupannya, dan orang lain.

Keterampilan sosial juga merupakan salah satu dari tiga keteram-pilan yang dikemukakan oleh Sukmadinata (Syaodih, 2007), yaitu keterampilan intelek-tual, keterampilan sosial, dan keterampilan motorik. Menurut Gresham, Sugai, & Horner (2001), keterampilan sosial adalah tingkat kemampuan siswa untuk memba-ngun dan memelihara hubungan interper-sonal yang tepat, dapat diterima oleh orang lain, membangun dan memelihara perte-manan, dan mengakhiri hubungan interper-sonal yang negatif atau jahat (Bremer & Smith, 2004). Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Arends (2008b), bahwa keterampilan sosial adalah perilaku-perila-ku yang menduperilaku-perila-kung kesuksesan hubungan sosial dan memungkinkan individu untuk bekerja bersama orang lain secara efektif. Lebih lanjut dikemukakan bahwa ada tiga keterampilan yang kurang pada banyak anak dan pemuda, yaitu keterampilan berbagi, keterampilan berpartisipasi, dan keterampilan komunikasi (Arends, 2008b). Kurangnya keterampilan sosial siswa akan berdampak pada rendahnya prestasi akademik siswa tersebut, cenderung kese-pian dan menampakkan self-esteem yang rendah, dan ada kemungkinan akan

dropt-out dari sekolah (Muijs dan Reynolds,

2008). Menurut Hair et al. (2001), mengembangkan keterampilan sosial berhubungan dengan memiliki kepribadian yang hangat dan ramah, kecerdasan non-verbal yang baik, pola asuh orang tua yang responsif, dan kontak reguler dengan kakak/adik kandung (Muijs dan Reynolds, 2008). Pendapat ini mengisyaratkan perlunya penggunaan pembelajaran

kelom-pok kecil atau kooperatif sebagai salah satu cara melatih keterampilan sosial siswa. Eksperimen Stevens & Slavin (1995) menunjukkan bahwa sekolah dan kelas dapat diorganisasikan dengan program dan proses yang mengimbangi dampak kemiskinan dan kelas sosial (Arends, 2008).

METODE PENELITIAN

Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Negeri di kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara yang dapat dibagi ke dalam dua level sekolah (sedang dan rendah). Pembagian level sekolah didasarkan pada gabungan akreditasi sekolah dan hasil ujian nasional matematika dalam lima tahun terakhir. Pemilihan kedua SMP Negeri di kota Kendari ini didasarkan pada pertimbangan bahwa analisis kebutuhan masalah pembelajaran matem-atika, dan keterampilan sosial siswa harus mewakili permasalahan umum yang terjadi pada SMP Negeri di kota Kendari. Oleh karena itu, pada setiap level sekolah dipilih satu sekolah secara acak untuk dijadikan sekolah sampel penelitian. Perbedaan karakteristik siswa kedua level sekolah dipertimbangkan agar dapat diketahui konteks yang tepat dalam mengajarkan ma-tematika pada siswa dengan berbagai kemampuan matematik.

Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian survey eksploratif terhadap pelaksanaan pembelajaran mate-matika di kelas. Instrumen penelitian disu-sun untuk mengungkap kualitas guru dalam menggunakan konteks untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa pada pembela-jaran matematika. Instrumen dimaksud berupa lembar observasi aktivitas guru dan siswa, wawancara, dan dokumentasi. Data penelitian dianalisis secara deskriptif nara-tif. Makalah ini menyajikan hasil penelitian awal tentang kualitas pembelajaran ma-tematika dan analisis berbagai

(5)

problemat-ikanya khususnya penggunaan masalah kontekstual berbasis potensi kota Kendari.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan analisis hasil obser-vasi dan wawancara dengan guru-guru pa-da dua SMP yang diteliti ditemukan berbagai karakteristik pelaksanaan pembe-lajaran matematika di kota Kendari. Guru matematika yang diwawancarai sebanyak lima orang berkualifikasi sarjana. Hasil observasi dan wawancara tersebut disaji-kan sebagai berikut.

1. Guru belum maksimal menggunakan masalah kontekstual dalam pembela-jaran.

2. Masalah kontekstual hanya muncul secara spontan tanpa ada peren-canaan, dan tidak termuat dalam RPP dan LKS.

3. Kualitas interaksi dan aktivitas siswa dalam pembelajaran menjadi lebih baik ketika guru menggunakan ma-salah kontekstual dalam pembelaja-ran.

4. Guru hanya menggunakan masalah kontekstual untuk menarik perhatian siswa, belum memanfaatkan masa-lah kontekstual untuk mengem-bangkan kemampuan berpikir lanjut. 5. Konteks yang biasa digunakan guru adalah permasalahan ikan, jambu, mangga, dan kelapa. Penggunaan konteks palem sagu kurang menarik karena telah banyak siswa yang tidak mengenalnya. Padahal sagu merupakan salah satu bahan ma-kanan yang sering dikonsumsi masyarakat.

6. Penggunaan masalah kontekstual disadari sangat membantu guru un-tuk menarik perhatian siswa tetapi kemampuan berbahasa siswa rendah sehingga siswa mengalami kesulitan memahami atau menterjemahkan soal ke dalam model matematika.

7. Pembelajaran guru belum mengak-tifkan siswa untuk saling berinterak-si secara harmonis dengan guru dan siswa lainnya.

8. Pembelajaran guru belum maksimal dalam melatih keterampilan sosial siswa.

9. Soal cerita masih merupakan soal yang sulit siswa pecahkan.

10. Siswa kurang mampu melakukan operasi hitung matematika dasar khususnya yang berkaitan dengan pecahan dan bilangan bulat negatif. 11. Kemampuan berbahasa siswa rendah

sehingga proses pembelajaran ber-jalan lamban dan siswa mengalami kesulitan dalam memecahkan soal-soal matematika.

12. Guru masih dominan dalam mem-bimbing dan mengarahkan siswa un-tuk aktif berinteraksi di kelas serta aktif memecahkan masalah yang diberikan.

Hasil penelitian di atas menun-jukkan bahwa guru telah mengupayakan terwujudnya pembelajaran yang efektif meskipun masih perlu banyak perbaikan. Disadari bahwa pembelajaran matematika menjadi lebih baik jika disajikan contoh kontekstual berupa masalah yang berkaitan dengan persoalan-persoalan atau benda-benda yang sering siswa jumpai atau gunakan. Tetapi, konteks seperti ini hanya untuk menarik perhatian siswa karena han-ya dimunculkan secara spontan tanpa perencanaan. Buku-buku yang digunakan guru juga belum maksimal memuat berbagai konteks dan permasahannya yang dapat membantu guru merencanakan pem-belajaran, membuat contoh atau masalah yang dapat membuat siswa tertarik belajar, aktif berinteraksi, berkomunikasi matema-tika, membangun karakter, dan melatih pola berpikir alternatif. Materi pada buku paket matematika masih merupakan rujukan utama. Beberapa masalah yang disajikan

(6)

tidak kontekstual. Hal ini mengurangi kualitas interaksi antar komponen pem-bela-jaran di kelas sehingga juga kurang melatih keterampilan sosial siswa. Hal ini berarti penggunaan konteks untuk menarik perhatian siswa di kelas sangat penting dilakukan dalam pembelajaran matemat-ika.

Di samping untuk menarik per-hatian siswa, penggunaan masalah konteks-tual dalam pembelajaran juga harus menan-tang proses berpikir siswa. Menurut Hughes & Hughes (2003), upayakan siswa belajar melalui aktivitas praktek yang secara intrinsik menarik, memberikan mereka suatu masalah yang menantang untuk diselesai-kan, dan memilih materi pelajaran yang memiliki daya tarik terhadap ketertari-kan alami mereka. Hal ini dapat diwujud-kan melalui penggunaan berbagai model atau pendekatan pembelajaran seperti pendekatan CTL (contextual teaching and

learning) dan model pembelajaran berbasis

masalah (problem based learning) melalui aktivitas diskusi. Menurut Brenner (1998) melalui aktivitas diskusi dengan guru dan pasangannya, siswa diharapkan dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap konsep dasar matematika dan menjadi pemecah masalah yang kreatif. Menurut Muijs dan Reynolds (2008), setelah menyelesaikan tugas kelompok, hasil-hasilnya perlu dipresentasikan kepada seluruh kelas dan sebuah debriefing yang difokuskan pada proses kerja kelompok harus dilaksanakan.

Dalam kegiatan kelompok ini, aspek budaya mesti diperhatikan guru. Menurut Adam (2004), aspek budaya berkontribusi untuk mengenal matematika sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, mengembangkan kemampuan koneksi secara bermakna, dan memperdalam pemahaman matematika. Komunikasi ter-sebut dapat memperlancar proses

pemeca-han masalah dan penanaman konsep-konsep matematika kepada siswa.

Berdasarkan uraian pentingnya penggunaan konteks dalam pembelajaran maka dipandang penting untuk mengem-bangkan bahan ajar kontekstual dan mengembangkan model pembelajaran yang merupakan gabungan model pembe-lajaran barbasis masalah (Problem Based

Learning) dengan pendekatan

pembe-lajaran kontekstual (Contextual Teaching

and Learning). Penggabungan kedunya

disebut model pembelajaran berbasis

masalah kontekstual (Contextual

Prob-lem Based Learning).

Bahan ajar kontekstual adalah ba-han ajar yang menyajikan materi matemat-ika secara kontekstual. Konteks yang digunakan adalah konteks yang sudah dikenal siswa karena terkait dengan ke-hidupan siswa sehari-hari, dibutuhkan, dikenal, atau dapat dipahami siswa. Konteks tersebut di samping digunakan un-tuk menarik perhatian siswa, juga unun-tuk melatih kemampuan komunikasi dan berba-hasa siswa dalam memahami masalah, ber-interaksi dengan orang lain secara terampil, memecahkan masalah secara kreatif, dan memperoleh informasi tentang masalah yang terkait dengan konteks tersebut. Penggunaan konteks dalam bahan ajar ini menjadi penting karena siswa menjadi lebih mengenal manfaat matema-tika bagi ke-hidupan dan untuk membangun pola ber-pikir logis, alternatif, produktif, sistematis, kritis, dan kreatif. Penggunaan konteks sep-erti ini akan mengurangi kebosanan siswa mempelajari matematika yang selama ini serba simbol, kering dari makna dan manfaatnya bagi kehidupan. Penggunaan simbol matematika dalam bahan ajar kontekstual disajikan secara bermakna se-hingga siswa menjadi terbiasa dan me-mahami arti dari setiap simbol atau model matematika yang dihasilkan untuk memec-ahkan suatu masalah.

(7)

Pembelajaran berbasis masalah kontekstual (CPBL) adalah model pembela-jaran berbasis masalah kontekstual. Pem-belajaran dengan model ini menggunakan langkah-langkah atau sintaks pembelajaran berbasis masalah (PBL) tetapi masalah yang digunakan adalah masalah kontekstual. Adapun langkah-langkahnya adalah: (1) orientasi siswa pada masalah kontekstual; (2) mengorganisasi siswa un-tuk belajar; (3) membimbing penyelidikan kelompok; (4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya; dan (5) mengana-lisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Langkah-langkah pembelajaran tersebut menekankan pentingnya pembe-rian masalah kontekstual dalam pembela-jaran matematika. Adapun langkah-langkah pembelajaran CPBL secara umum dibagi dalam tiga kegiatan pokok, yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Ketiga kegiatan tersebut dijelaskan sebagai berikut.

a. Kegiatan pendahuluan

Pada tahap ini, guru menyampaikan model pembelajaran yang digunakan serta aturan mainnya, tugas-tugas yang akan diberikan, dan penilaiannya. Di samping itu, guru juga menyampaikan tujuan pembelajaran dan memberikan motivasi dan apersepsi, yaitu mengaju-kan pertanyaan lisan kepada siswa untuk menggali kemampuan awal yang berkaitan dengan konsep matematika yang akan dipelajari.

b. Kegiatan inti

1) Pada tahap ini, siswa diarahkan untuk berkelompok (anggota kelompok sudah ditentukan sebelumnya oleh guru berdasarkan data pengetahuan awal matematika dan informasi dari guru tentang karakteristik siswa di kelas itu). Anggota kelompok diupaya-kan heterogen dengan anggota

seba-nyak 4 – 5 orang tergantung pada banyak siswa di kelas tersebut

2) Siswa duduk bersama di kelompoknya masing-masing.

3) Guru memberikan LKS pada setiap siswa, yang disajikan dalam masalah kontekstual dan latihan soal yang harus didiskusikan.

4) Guru meminta salah satu siswa membaca masalah dalam LKS dan siswa lain memperhatikan.

5) Guru menanyakan hal-hal yang belum dimengerti kepada siswa terkait tugas di LKS yang akan dikerjakan.

6) Guru mengarahkan siswa untuk mema-hami materi yang ada di LKS sebelum berdiskusi dengan anggota kelompok lainnya.

7) Siswa menyelesaikan masalah secara mandiri. Hasilnya didiskusikan bersa-ma di kelompoknya untuk sharing idea terkait tugas-tugas yang ada pada LKS. 8) Pada saat siswa menyelesaikan masalah di LKS dan berdiskusi, guru berkeliling pada setiap kelompok dan memberikan bantuan apa adanya pada kelompok yang mengalami kesulitan. Bantuan yang diberikan guru kepada kelompok yang mengalami kesulitan berupa teknik scaffolding, yaitu guru memberikan pertanyaan-pertanyaan arahan secara lisan untuk menggiring kelompok itu pada pencapaian solusi. Guru memberikan bantuan kepada siswa secukupnya hanya pada saat siswa mengalami kesulitan.

9) Hasil pekerjaan siswa di kelompok disajikan di depan kelas atas arahan guru.

10) Setiap kelompok berkesempatan menyajikan hasil kerjanya secara bergilir. Kesempatan pertama diberi-kan kepada kelompok yang sudah siap. Jika tidak ada kelompok yang siap, guru menunjuk salah satu kelompok

(8)

secara acak (yang dianggap bisa) untuk menuliskan hasil kerjanya di papan tulis.

11) Pada saat seorang siswa menuliskan hasil kerjanya ke papan tulis, anggota kelompok dan kelompok lainnya mengamati dan membandingkan hasil kerja yang dituliskan itu dengan hasil kerja kelompoknya.

12) Sebelum diskusi kelas, guru juga meminta kelompok lain untuk menuliskan jawabannya di papan tulis jika secara prinsip berbeda dengan jawaban kelompok penyaji pertama. Maksimal kelompok penyaji adalah tiga kelompok dengan jawaban yang berbeda.

13) Jawaban kelompok lain (yang tidak menyajikan jawabannya) dibahas pada saat diskusi kelas untuk disesuaikan dengan jawaban yang sudah disajikan kelompok penyaji sehingga diperoleh jawaban yang benar, efektif, dan efisien terhadap masalah yang dibahas. 14) Setelah semua jawaban disajikan di papan tulis, guru memimpin diskusi kelas.

15) Kelompok lain (selain penyaji) mem-berikan tanggapan terhadap apa yang disajikan. Kelompok penyaji menang-gapi dan menjawab pertanyaan-perta-nyaan dari siswa atau dari kelompok lainnya. Demikian pula, dipersilahkan apabila ada kelompok lain yang mau membantu menjawab atau menambah-kan jawaban.

16) Diskusi dilaksanakan dengan memba-has satu per satu sajian tiap kelompok yang telah dituliskan di papan tulis. 17) Selama diskusi berlangsung, guru

bertindak sebagai fasilitator dan mode-rator jalannya diskusi agar siswa dapat menemukan dan mengkonstruksi pe-ngetahuannya terkait masalah yang dikaji.

18) Guru bersama siswa melakukan reflek-si, yaitu menganalisis dan memeriksa kembali proses pemecahan masalah yang telah disajikan.

19) Jika proses pemecahan masalah sudah benar, guru kemudian mengajukan pertanyaan kepada siswa, misalnya: ”Bagaimana jika ...? Apakah ada cara lain? Dari ketiga jawaban, mana yang lebih efisien? Mengapa?”.

20) Hasil akhir diskusi adalah penyamaan persepsi siswa terhadap konsep yang terkandung dalam masalah yang diba-has agar dapat diterapkan untuk menyelesaikan soal-soal latihan. Mela-lui latihan soal, setiap siswa dapat melakukan proses refleksi diri terhadap proses dan cara pemecahan masalah yang telah dilakukan.

c. Kegiatan penutup

1) Guru melakukan review terhadap konsep matematika yang telah dipela-jari, kemudian mengarahkan siswa un-tuk membuat rangkuman materi yang dianggap penting.

2) Guru juga senantiasa mengingatkan siswa tentang pentingnya pelestarian dan pemanfaatan berbagai konteks yang disajikan secara bertanggung jawab untuk kelanjutan kehidupan dan pentingnya belajar matematika untuk melatih kemampuan berpikir.

3) Guru memberikan informasi apa yang akan dipelajari pada pertemuan beri-kutnya dan menyampaikan bahwa pada pertemuan selanjutnya akan selalu diberikan soal-soal untuk dikerjakan secara berkelompok dan salah seorang anggota kelompok akan tampil ke depan kelas. Untuk itu setiap siswa harus mempersiapkan diri.

4) Guru memberikan soal-soal latihan untuk dikerjakan di rumah secara indi-vidu.

(9)

Demikian garis-garis besar lang-kah-langkah pelaksanaan model pembela-jaran CPBL. Pembelapembela-jaran ini dilaksana-kan melalui kegiatan kelompok yang didahului oleh kegiatan siswa secara individu untuk menyelesaikan masalah kontekstual. Pembelajaran kelompok dan menggunakan masalah kontekstual diya-kini dapat menarik perhatian siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran. Aktivitas tersebut menjadi modal awal guru untuk memaksimalkan posisinya sebagai fasilitator. Posisi yang demikian menjadi sangat bermakna untuk melatih keteram-pilan sosial siswa dan menanamkan berbagai karakter jujur, adil, mandiri, bertanggung jawab, bekerja sama, dan lain-lain yang saat ini sudah menjadi agenda nasional. Artinya, guru atau peneliti perlu lebih mendalami proses interaksi tersebut agar dapat menjadi aktivitas yang bermakna bagi siswa di kelas.

Ketika siswa hadir di kelas, berbagai keinginan dan tujuan mereka bawa dari rumah. Jika guru tidak memenuhi keinginan ini selama proses pembelajaran, hanya mementingkan pena-naman konsep abstrak matematika atau tanpa penggunaannya atau kaitannya dengan kehidupan siswa atau perkem-bangan ekonomi, hukum, sosial, politik, lingkungan, dan teknologi informasi atau bidang lainnya, maka pembelajaran terse-but tidak akan bermakna bagi siswa. Hal ini menjadi tantangan besar bagi setiap guru atau peneliti untuk mengembangkan berbagai inovasi dalam pembelajaran. Inovasi tersebut dapat berupa pengem-bangan bahan ajar, teknik pembelajaran, dan strategi mengaktifkan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara maksimal.

Pencapaian tujuan pembelajaran tidak hanya pada tujuan jangka pendek

tetapi sekaligus dapat melatih potensi berpikir siswa menjadi lebih optimal dan menjadi pemikir yang kreatif. Penggunaan konteks di samping dapat mengembangkan keterampilan sosial siswa, juga dapat mengembangkan kreativitas berpikir siswa dalam memecahkan masalah matematika.

PENUTUP Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: kemampuan guru dalam menggunakan konteks dalam pembelajaran matematika masih kurang. Konteks hanya digunakan pada awal pem-belajaran matematika untuk menarik perhatian siswa, tetapi belum digunakan untuk membangun konsep matematika dan belum dimanfaatkan untuk meningkatkan keterampilan sosial siswa. Konteks yang sering digunakan adalah ikan, mangga, dan kelapa. Guru menyadari bahwa penggunaan konteks dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan keterampilan sosial siswa.

Berdasarkan kesimpulan tersebut disarankan agar: guru lebih kreatif menyu-sun masalah atau bahan ajar kontekstual baik dengan berinovasi sendiri maupun memodifikasi model atau soal atau masalah yang ada pada buku paket secara kreatif agar pembelajaran menjadi lebih menarik dan menantang proses berpikir matematik siswa. Salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat digunakan guru adalah model pembelajaran berbasis masalah kontekstual (Contextual Problem

Based Learning). Melalui model ini, guru

perlu memanfaatkan ketertarikan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran untuk melatih keterampilan sosial dan kemampuan siswa memecahkan masalah secara kreatif.

(10)

DAFTAR RUJUKAN

Adam, S. 2004. Ethnomathematics Ideas in The Curriculum. Mathematics

Edu-cation Research Journal, 2004,

16(2): 49 – 68.

Arends, R.I. 2008a. Learning to Teach,

Belajar untuk Mengajar. Edisi Ketujuh Buku Satu. Penerjemah:

Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Arends, R.I. 2008b. Learning to Teach,

Belajar untuk Mengajar. Edisi Ketujuh Buku Dua. Penerjemah:

Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bremer, C. D. & Smith, J. 2004. Teaching Social Skills. Information Brief,

Ad-dressing Trends and Developments in Secondary Education and Transi-tion. October 2004. 3(5).

Brenner, M. E. 1998. Development of Mathematical Communication in Problem Solving Groups by Lan-guage Minority Students. Bilingual

Research Journal, 22:2, 3, & 4

Spring, Summer, & Fall.

Combs, M. L. & Slaby, D. A. 1997. Social

Skill Training with Children. New

York: Plennun Press.

Hughes, A. G. & Hughes, E. H. 2003.

Learning and Teaching. New Delhi:

Sonali Publication.

Kadir. 2008. Kemampuan Komunikasi Matematik dan Keterampilan Sosial Siswa dalam Pembelajaran Matematika. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. Jurusan

Pendidikan Matematika FMIPA UNY, Yogyakarta, 28 November 2008, ISBN 978-979-16353-1-8: 339 -350.

Kadir. 2009a. Evaluasi Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa Kelas VIII SMP. Prosiding

Seminar Nasional Pendidikan II-2009, Lembaga Penelitian

Unive-rsitas Lampung, FKIP UniveUnive-rsitas Lampung, 24 Januari 2009, ISBN 978-979-18755-1-6: 113-122. Kadir. 2009b. Mengembangkan

Keteram-pilan Sosial Siswa SMP melalui Penggunaan Masalah Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika.

Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, FMIPA UNY, 16

Mei 2009, ISBN 978-979-96880-5-7: 439-446.

Kadir. 2010. Penerapan Pembelajaran

Kontekstual Berbasis Potensi Pesisir sebagai Upaya Peningkatan Ke-mam-puan Pemecahan Masalah Matematik, Komunikasi Matematik, dan Keterampilan Sosial Siswa SMP. Disertasi pada SPs UPI

Bandung. Tidak Diterbitkan.

Kadir. 2011. Pengembangan Bahan Ajar

Matematika SMP Berbasis Potensi Pesisir untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa. Laporan Hasil

Penelitian. Kendari: Lemlit Unhalu Kadir. 2012. Pengembangan Bahan Ajar

Matematika Berbasis Potensi Palem untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematik siswa SMP. Kendari: Lemlit Unhalu.

Muijs, D. & Reynolds, D. 2008. Effective

Teaching Teori dan Aplikasi, Edisi Kedua. Terjemah oleh: Drs. Helly

Prajitno Soetjipto, M.A. dan Dra. Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

(11)

Sasongko, R.N. 2001. Model

Pembe-lajaran Aksi Sosial untuk Pengem-bangan Nilai-nilai dan Keteram-pilan Sosial. Disertasi Doktor pada

PPs UPI Bandung: Tidak

Diterbitkan.

Syaodih, E. 2007. Pengembangan Model

Pembelajaran Kooperatif untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial

Siswa. (Studi pada Mata Pelajaran IPS di SD). Disertasi Doktor pada

SPs UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.

Witono, J.R. 2005. Keanekaragaman Palem (Palmae) di Gunung Lumut, Kalimantan Tengah. Biodiversitas. 6(1): 22-30. Januari 2005.

Referensi

Dokumen terkait

(3) Kebijakan Militer Sultan Muhammad Al-Fatih dalam upaya penaklukan Konstantinopel serta dampak penaklukkannya. Metode penelitian pada skripsi ini mencakup tiga tahapan,

Pelaksanaan penyimpanan berkas rekam medis berdasarkan unsur “ Man ” menunjukkan petugas yang bertugas pada bagian penyimpanan berkas rekam medis di RSKIA Permata Bunda

Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau

Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa distribusi frekuensi pemberian vitamin A dosis tinggi 2 kali pertahun pada kelompok kasus (89%) lebih kecil dibandingkan

(3) Secara vertikal dalam sistem gugus usaha, UKM bisa menjadikan diri komplemen-komplemen usaha bagi industri perusahaan produsen utama. Maka diperlukan suatu strategi

 panitia mutu dan Ketua dan anggota keselamatan pasien Dokumen: Data indikator mutu Kepala unit kerja. Hasil evaluasi dan

Dari uji coba yang telah dilakukan dan berdasarkan pembobotan hasil yang diberikan berdasarkan proses dekomposisi yang terjadi, maka dipilih 2 variasi campuran untuk

Metode simulasi ( Spiked-placebo recovery ) merupakan metode yang dilakukan dengan cara menambahkan sejumlah analit bahan murni ke dalam suatu bahan pembawa sediaan