• Tidak ada hasil yang ditemukan

VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VII. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PETANI

Pangan (dan gizi) merupakan salah satu komponen penting dalam

pembangunan, khususnya dalam upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia

(Yulianti et al., 2002). Pangan sebagai salah satu kebutuhan pokok manusia

merupakan indikator utama kesejahteraan sosial (Khumaidi, 1989). Pangan

merupakan salah satu faktor penentu dalam mencerdaskan bangsa. Di Indonesia,

munculnya masalah gizi buruk yang terjadi di masyarakat, menunjukkan bahwa

masalah ketahanan pangan merupakan masalah yang belum sepenuhnya tuntas.

Munculnya hal ini sangat merugikan bangsa, karena dapat menyebabkan lahirnya

generasi yang tidak berkualitas (Fauzi, 2007).

Banyak organisasi dunia seperti Bank Dunia, FAO, WFP dan Save

the Children telah berkontribusi dalam pemahaman mengenai konsep ketahanan pangan di negara berkembang. Bank Dunia mendefinisikan

ketahanan pangan sebagai ’akses bagi semua masyarakat di setiap waktu

untuk memperoleh pangan yang cukup, bagi kehidupan yang aktif dan

sehat’. Ini berarti bahwa rumahtangga dan individu harus memiliki

ketersediaan pangan, akses ke pangan dan kemampuan untuk memenuhi

seluruh kebutuhan pangan (Edralin and Collado, 2005).

Mendefinisikan dan menginterpretasikan ketahanan pangan, dan

mengukurnya sehingga dapat dipercaya, valid, dan dengan biaya yang efektif

ternyata telah menjadi masalah yang sulit yang dihadapi oleh para peneliti dan

(2)

Untuk menganalisis masalah ketahanan pangan, terdapat sekitar 200

indikator. Rindayati (2009) menegaskan bahwa mana yang akan dipilih

tergantung tujuan dan kepentingan penelitian, serta ketersediaan data. Indikator

ketahanan pangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah frekuensi makan,

yaitu bila anggota suatu rumahtangga bisa makan paling tidak tiga kali dalam

sehari, maka masuk kriteria tahan pangan. Sedangkan rumahtangga yang

anggotanya makan dua kali atau kurang dari itu, masuk kriteria tidak tahan

pangan.

Dalam bab ini akan didiskusikan mengenai faktor-faktor yang secara

signifikan mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga petani di Kabupaten

Konawe Selatan (Konsel), yang dikelompokkan sebagai variabel sosiodemografi

gender, karakteristik rumahtangga, dan variabel usahatani.

Pada awalnya diduga bahwa peluang rumahtangga untuk mencapai

ketahanan pangan dipengaruhi oleh variabel-variabel jumlah produksi usahatani

utama, jumlah produksi usahatani lainnya, biaya usahatani, penghasilan

perempuan dari luar usahatani keluarga, penghasilan laki-laki dari luar usahatani

keluarga, ukuran rumahtangga, harga pangan pokok, akses ke pasar, akses kredit,

pengetahuan pangan dan gizi ibu rumahtangga, luas lahan (milik, garapan, sewa,

pinjam, lahan untuk pangan, lahan untuk kebun), dan dummy pembeda desa rawan

pangan dan tahan pangan. Dalam proses pengolahan data, beberapa variabel

tersebut dikeluarkan dari model persamaan, karena : (1) berkorelasi tinggi dengan

paling tidak satu variabel independen lainnya, dan atau (2) performa variabel

(3)

Setelah re-spesifikasi yang dilakukan berkali-kali terhadap model

persamaan yang dibangun, dalam model akhir yang diperoleh diduga bahwa

ketahanan pangan dipengaruhi oleh variabel-variabel (1) pendidikan laki-laki, (2)

pendidikan perempuan, (3) ukuran rumahtangga, (4) penghasilan laki-laki dari

luar usahatani keluarga, (5) penghasilan perempuan dari luar usahatani keluarga,

(6) penghasilan laki-laki dan perempuan dari kerja bersama di luar usahatani

keluarga, (7) pendapatan usahatani, dan (8) dummy pembeda desa/kelurahan tahan

pangan dan rawan pangan. Program dan hasil estimasi model ketahanan pangan

rumahtangga petani dengan menggunakan metode MLE, masing-masing disajikan

dalam Lampiran 12 dan 13.

Dari analisis yang dilakukan terhadap model persamaan faktor-faktor yang

mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga, dapat dikatakan bahwa secara

umum model yang disusun memiliki performansi yang cukup bagus.

Indikatornya dapat dilihat dari nilai Persen Concordant yang nilainya sebesar941

Dari delapan variabel yang dimasukkan ke dalam model tersebut, terdapat

lima variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap peluang rumahtangga

untuk mencapai ketahanan pangan pada taraf kepercayaan 95 persen atau tingkat

kesalahan yang ditolerir (α) sebesar 5 persen. Kelima variabel tersebut adalah (1) ukuran rumahtangga, (2) pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga, (3)

pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga, (4) pendapatan laki-laki dan .

Dengan demikian, penentuan peluang untuk mencapai ketahanan pangan

rumahtangga pada nilai Y=1 adalah konsisten pada nilai Y = 1.

1

Persen concordant menunjukkan banyak pengamatan pada kategori Y=1, yaitu peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan, yang memiliki peluang lebih besar pada Y=1 (konsisten pada Y=1) adalah sebesar 94 persen

(4)

perempuan dari kerja bersama di luar usahatani keluarga, dan (5) pendapatan

usahatani. Sedangkan variabel : (1) pendidikan laki-laki, (2) pendidikan

perem-puan, dan (3) dummy pembeda desa/kelurahan tahan pangan dan rawan pangan

pengaruhnya tidak signifikan terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Hasil

analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan

rumahtangga disajikan dalam Tabel 17 di bawah ini :

Tabel 17. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2009

No. Variabel Parameter Estimasi

P-Value Nilai Marginal Effect (ME) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. PddL PddP URT Elnutkel Epnutkel Eplnutkel YUT D3 0.1094 -0.0023 -0.5131 0.0000005 0.0000007 0.0000007 0.0000007 0.9179 0.1923 0.9803 0.0036* <.0001* 0.0013* 0.0022* <.0001* 0.2952 0.0273 -0.0006 -0.1202 0.0000001 0.0000002 0.0000002 0.0000002 0.1872 Keterangan :

* Terdapat perbedaan yang signifikan dengan α paling besar 0.05. dimana :

PddL = Pendidikan laki-laki (tahun) PddP = Pendidikan perempuan (tahun) URT = Ukuran rumahtangga (jiwa)

Elnutkel = Pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga (Rp/tahun)

Epnutkel = Pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga (Rp/tahun)

Eplnutkel = Pendapatan bersama gender dari luar usahatani keluarga (Rp/tahun)

YUT = Pendapatanusahatani keluarga (Rp/tahun)

D3 = Dummy pembeda desa/kelurahan tahan pangan dan rawan pangan

(5)

Variabel pendidikan perempuan dan laki-laki tidak memiliki pengaruh

yang signifikan terhadap peluang keluarga untuk mencapai ketahanan pangan.

Meskipun seseorang memiliki pendidikan yang tinggi, namun jika pengetahuan

yang diperoleh dalam proses pendidikan tersebut tidak diaplikasikan dalam

kehidupan sehari-hari, maka pendidikan tetap saja menjadi sesuatu yang berdiri

sendiri tanpa memiliki pengaruh terhadap peluang pencapaian ketahanan pangan

rumahtangga.

Variabel dummy pembeda desa/kelurahan tahan pangan dan rawan pangan

pengaruhnya tidak signifikan terhadap ketahanan pangan rumahtangga. Artinya,

tidak ada perbedaan peluang bagi rumahtangga yang tinggal di desa/kelurahan

yang masuk kriteria tahan pangan ataupun rawan pangan untuk mencapai tahan

pangan atau rawan pangan. Hasil ini sebenarnya kurang diharapkan, karena

dugaan semula adalah akan ada perbedaan peluang antara desa/kelurahan tahan

pangan dengan rawan pangan, dimana rumahtangga di desa/keluarahan tahan

pangan akan lebih besar peluangnya untuk mencapai ketahanan pangan

dibandingkan dengan rumahtangga yang ada di desa-desa rawan pangan.

Namun hal tersebut di atas bisa saja terjadi, karena meskipun suatu daerah

termasuk kategori tahan pangan, namun diantara warganya ada yang termasuk

rawan pangan. Demikian juga sebaliknya, di daerah yang rawan pangan, tidak

seluruh warganya termasuk kategori rawan pangan. Ini sesuai dengan pendapat

Hayami (2000) yang menyatakan bahwa masalah kerawanan pangan dapat

dialami oleh siapa saja, bahkan warga di negara-negara industri yang sudah maju

dan mempunyai tingkat pendapatan yang tinggi, seperti Jepang dan Taiwan.

(6)

oleh banyak faktor. Salah satu fakta dikemukakan oleh Republika Newsroom

(2009)2

Benar apa yang dikemukakan Khumaidi (1989) bahwa adalah suatu ironi

karena banyak rumahtangga di daerah perdesaan, yang sebenarnya merupakan

produsen bahan pangan, mengalami kekurangan gizi akibat kekurangan bahan

makanan. Situasi yang sangat berat ini banyak dialami petani miskin di perdesaan.

Hal ini juga didukung oleh Fauzi (2007) bahwa masalah rawan pangan juga bisa

terjadi di daerah-daerah subur dan Kinseng (2009) yang menyebutkan bahwa di , dimana terdapat 3.5 juta orang atau sekitar 4.4 persen dari penduduk

Italia hidup di bawah garis ’kemiskinan pangan’.

Terlebih di Indonesia, dimana indikator dalam penentuan kategori suatu

daerah termasuk tahan pangan atau rawan pangan masih menggunakan ukuran

makro (kurang spesifik), tentu saja kemungkinan adanya warga yang sebenarnya

tahan pangan ditemukan di daerah rawan pangan sangat mungkin terjadi.

Sebaliknya juga begitu, ada kemungkinan untuk menemukan warga tidak tahan

pangan di daerah-daerah yang masuk kategori tahan pangan. Terkait hal ini, BKP

(2007) menyatakan bahwa suatu daerah yang termasuk dalam kelompok rawan

pangan tidak berarti bahwa semua penduduknya berada dalam kondisi rawan

pangan. Sebaliknya, daerah-daerah yang masuk dalam kelompok relatif tahan

pangan, tidak berarti semua penduduknya bercukupan pangan. Pemetaan yang

dilakukan hanya menggambarkan kecenderungan prevalensi kerawanan pangan

secara relatif. Dengan perkataan lain, daerah-daerah yang rawan pangan cenderung

memiliki tingkat kerawanan pangan yang lebih tinggi dibandingkan daerah-daerah

yang relatif tahan pangan.

2

Republika Newsroom, 09 Oktober 2009 : 3.5 Juta Rakyat Italia Hidup di Bawah Garis Kemiskinan Pangan

(7)

negara agraris seperti Indonesia yang kaya akan sumberdaya alam pendukung

pertanian, juga tidak lepas dari persoalan krisis pangan.

7.1. Pengaruh Variabel Sosiodemografi Gender

Hasil analisis menunjukkan bahwa dari seluruh rumahtangga responden

(n=194), sekitar 42.27 persen (82 rumahtangga) masuk kategori tidak tahan

pangan. Artinya, hampir separuh rumahtangga di daerah penelitian hanya makan

dua kali dalam sehari. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan, mengingat bahwa

kebutuhan pangan merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar

pemenuhannya. Bila keadaan ini terus berlanjut, artinya keadaan kekurangan

pangan ini bukanlah sementara, tetapi berlangsung terus menerus, maka

dampaknya akan sangat besar terhadap keseluruhan proses biologis dalam tubuh,

yang pada akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan prestasi seseorang. Adi et

al. (1999) menyebutkan bahwa frekuensi makan secara langsung akan mempengaruhi asupan zat gizi melalui konsumsi makan. Sedangkan menurut

Martorell (1995) dalam Pranadji et al. (2001) bahwa konsumsi makanan itu

sendiri merupakan salah satu faktor yang secara langsung berpengaruh terhadap

status gizi seseorang.

Hasil yang ditemukan Harefa et al. (2001) dalam penelitiannya

menunjuk-kan bahwa 75 persen rumahtangga di dua desa penelitiannya di Kabupaten

Cianjur Jawa Barat frekuensi makannya hanya dua kali dalam sehari. Ini

merupakan salah satu penyesuaian yang dilakukan rumahtangga akibat

kekurangan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan makan yang normal.

(8)

salah satu strategi yang dilakukan rumahtangga agar bisa tetap memenuhi

kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga.

Bila dianalisis menurut desa rawan pangan dan tahan pangan, maka hasil

analisis menunjukkan bahwa di desa rawan pangan (n=144) terdapat 79

rumahtangga (54.86 persen ) yang masuk kategori tidak tahan pangan. Sebaliknya

di desa tahan pangan (n=50), sebanyak 47 responden rumahtangga (94 persen)

masuk kategori tahan pangan. Kondisi di kedua daerah penelitian menunjukkan

situasi ketahanan pangan rumahtangga yang sangat berbeda. Nampaknya, faktor

potensi sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan ketersediaan berbagai

infrastuktur di desa/kelurahan tahan pangan, merupakan hal yang mendorong

pencapaian ketahanan pangan di daerah tersebut dibandingkan dengan desa-desa

rawan pangan.

Variabel-variabel yang berpengaruh signifikan terhadap pencapaian

ketahanan pangan rumahtangga adalah ukuran rumahtangga dan penghasilan

masing-masing gender, serta penghasilan dari pekerjaan yang dilakukan bersama

oleh suami-isteri. Hasil ini sesuai dengan pendapat Berg (1986) bahwa pendapatan

dan ukuran rumahtangga merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan

kuantitas pangan.

7.1.1. Ukuran Rumahtangga

Informasi dalam Tabel 17 di atas menunjukkan bahwa variabel ukuran

rumahtangga (URT) atau jumlah anggota rumahtangga berpengaruh signifikan

terhadap peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga di

perdesaan dengan tanda negatif. Nilai ME dari variabel ukuran rumahtangga

(9)

orang, maka peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan akan

berkurang sebesar 0.12. Hasil ini berarti bahwa semakin banyak jumlah anggota

keluarga, maka peluang untuk mencapai ketahanan pangan akan semakin kecil.

Madanijah et al. (2006) dan Yuliana et al. (2002) juga menemukan hasil yang

sama, bahwa jumlah anggota keluarga dapat mempengaruhi status gizi anggota

rumahtangga, yang merupakan salah satu indikator ketahanan pangan. Hasil

penelitian Asmarantaka (2007) juga menunjukkan bahwa konsumsi pangan di tiga

desa, yaitu desa pangan (padi dan ubi kayu) dan bukan pangan (desa perkebunan

kopi) sangat dipengaruhi oleh jumlah keluarga.

Ini sangat logis terjadi. Bila terjadi penambahan jumlah anggota keluarga

tanpa dibarengi dengan peningkatan penghasilan rumahtangga, baik itu dari

usahatani maupun dari luar usahatani, maka akan menyebabkan rumahtangga

menghadapi resiko kekurangan pangan. Karena sejumlah sumberdaya yang

dimiliki rumahtangga, harus dibagi dengan jumlah anggota keluarga yang lebih

banyak, akibatnya jumlah pangan yang dapat disediakan tidak akan mencukupi

kebutuhan seluruh anggota keluarga untuk dapat hidup sehat dan berprestasi.

Temuan ini sesuai dengan Suhardjo (1996) dalam Pranadji et al. (2001)

yang mengemukakan bahwa tingkat pendapatan yang tinggi akan memberikan

peluang yang lebih baik dalam jumlah maupun jenis makanan, sedangkan besar

keluarga berhubungan erat dengan distribusi dalam jumlah maupun ragam pangan

yang dikonsumsi anggota keluarga.

Terkait dengan hasil ini, nampaknya perlu upaya-upaya membatasi besar

keluarga, agar ketahanan pangan rumahtangga lebih terjamin. Program yang

(10)

satu alternatif yang dapat ditempuh dan digalakkan kembali. Program seperti ini

sangat sesuai dengan hasil temuan dalam penelitian ini, yaitu perlunya upaya

pembatasan jumlah anggota keluarga.

7.1.2. Pendapatan Gender

Dari hasil analisis nampak bahwa pendapatan gender (gender income) dari

luar usahatani keluarga, baik yang dilakukan secara sendiri-sendiri (perempuan

saja atau laki-laki saja), maupun hasil dari usaha/pekerjaan yang dilakukan secara

bersama-sama berpengaruh signifikan dan positif terhadap ketahanan pangan

rumahtangga. Ini berarti bahwa bila penghasilan gender dari luar usahatani

keluarga meningkat, maka peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan

pangan semakin besar. Temuan ini sesuai dengan hasil-hasil studi terdahulu yang

dilakukan di beberapa negara berkembang lainnya, dimana masing-masing gender

memiliki peran penting dalam pencapaian ketahanan pangan rumahtangga

pertanian (FAO, Undated; Horenstein, 1989).

Nilai ME variabel pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga

(Elnutkel) adalah sebesar 0.0000001, yang berarti bahwa jika pendapatan laki-laki

dari luar usahatani keluarga bertambah sebesar Rp. 1 000 000, maka peluang

rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga petani akan

bertambah sebesar 0.1. Nilai ini sangat kecil, yang menunjukkan bahwa

pertambahan yang besar dalam penghasilan laki-laki dari luar usahatani keluarga,

hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap peluang rumahtangga untuk

mencapai ketahanan pangan.

Nilai ME variabel pendapatan perempuan dari luar usahatani keluarga

(11)

perempuan dari luar usahatani keluarga bertambah sebesar Rp. 1 000 000, maka

peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga petani akan

bertambah sebesar 0.2. Meskipun nilai ini lebih tinggi dari ME variabel

pendapatan laki-laki dari luar usahatani, namun seperti juga nilai ME variabel

pendapatan laki-laki dari luar usahatani keluarga, nilai ini sangat kecil, yang

menunjukkan bahwa pertambahan yang besar dalam penghasilan perempuan dari

luar usahatani keluarga, hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap peluang

rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan.

Tabel 17 di atas juga menunjukkan nilai ME variabel pendapatan bersama

perempuan dan laki-laki dari luar usahatani keluarga (Eplnutkel) adalah sebesar

0.0000002, yang berarti bahwa jika pendapatan bersama gender dari luar

usahatani keluarga bertambah sebesar Rp. 1 000 000, maka peluang rumahtangga

untuk mencapai ketahanan pangan rumahtangga petani akan bertambah sebesar

0.2. Seperti juga nilai ME variabel pendapatan perempuan dari luar usahatani

keluarga, nilai ME variabel Eplnutkel sangat kecil, yang menunjukkan bahwa

pertambahan yang besar dalam penghasilan bersama perempuan dan laki-laki dari

luar usahatani keluarga, hanya memiliki pengaruh yang kecil terhadap peluang

rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan.

Seperti diketahui bahwa untuk meningkatkan pendapatan keluarganya,

maka 34.54 persen dari responden laki-laki dan 12.89 persen dari responden

perempuan bekerja di luar usahatani untuk memperoleh tambahan penghasilan

rumahtangga. Pendapatan merupakan sumberdaya yang dapat meningkatkan daya

beli rumahtangga dalam pemenuhan kebutuhan hidup seluruh anggota keluarga.

(12)

variabel yang sangat penting yang menentukan ketahanan pangan rumahtangga.

Ini sejalan dengan Sauqi (2002) dan Horenstein (1989) bahwa daya beli

(pendapatan) rumahtangga merupakan salah satu faktor yang signifikan

mempengaruhi ketahanan pangan rumahtangga. Bahkan Hardinsyah (1996) secara

eksplisit menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan keluarga, maka semakin

tinggi mutu gizi makanan (MGM) keluarga, yang merupakan salah satu aspek

penting dalam pencapaian ketahanan pangan keluarga.

Sementara itu, di negara-negara maju yang tingkat pendapatannya sudah

tinggi, penentu utama pencapaian ketahanan pangan bukan lagi terutama pada

aspek pendapatan. Hayami (2000) menegaskan bahwa setidaknya terdapat empat

krisis yang dapat menyebabkan masyarakat di suatu negara mengalami kerawanan

pangan, yaitu : (1) krisis kontingen, (2) krisis siklikal, (3) krisis politik, dan (4)

krisis Malthusian. Yang pertama adalah krisis yang terjadi karena adanya

gangguan impor pangan secara tiba-tiba akibat adanya perang atau bencana. Yang

kedua dapat terjadi ketika berkurangnya suplai pangan dan meningkatnya harga

akibat hasil panen yang kurang di seluruh dunia sepanjang siklus cuaca. Yang

ketiga berupa embargo dari ekportir pangan karena alasan politik dunia. Yang

keempat adalah penurunan suplai pangan sementara jumlah populasi meningkat,

yang dapat menyebabkan terjadinya kelaparan pada skala dunia.

7.2. Pengaruh Variabel Karakteristik Usahatani

Dalam analisis ini, hanya terdapat satu variabel yang dimasukkan ke dalam

model dan mempunyai pengaruh signifikan terhadap ketahanan pangan

rumah-tangga. Pada taraf kepercayaan sebesar 95 persen, variabel pendapatan usahatani

(13)

rumahtangga. Semakin besar pendapatan yang diperoleh dari usahatani keluarga,

semakin besar peluang untuk bisa mencapai ketahanan pangan rumahtangga.

Karena semakin besar pendapatan yang diperoleh, maka semakin besar

kemungkinan untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarga.

Tabel 17 di atas menunjukkan nilai ME variabel pendapatan usahatani

keluarga (YUT) adalah sebesar 0.0000002, yang berarti bahwa jika pendapatan

usahatani bertambah sebesar Rp. 1 000 000, maka peluang rumahtangga untuk

mencapai ketahanan pangan akan bertambah sebesar 0.2. Seperti juga nilai-nilai

ME pada variabel-variabel pendapatan gender, nilai ME variabel pendapatan

usahatani juga nilainya kecil, yang menunjukkan bahwa pertambahan yang besar

dalam pendapatan usahatani keluarga, hanya memiliki pengaruh yang kecil

terhadap peluang rumahtangga untuk mencapai ketahanan pangan.

Bila ditelusuri, pendapatan usahatani tersebut merupakan hasil

pengurangan dari nilai produk usahatani keluarga dengan biaya usahatani yang

harus dikeluarkan rumahtangga. Dengan kata lain, pendapatan usahatani tersebut

sebenarnya merupakan gambaran dari keseluruhan nilai produk usahatani, yang di

dalamnya meliputi nilai produk usahatani yang dikonsumsi sendiri oleh

rumah-tangga, yang dijual dan pemberian anak dan keluarga lainnya. Hasil ini

menun-jukkan bahwa faktor ketersediaan produk pangan dari usahatani memegang

peranan penting dalam pencapaian ketahanan pangan keluarga. Hasil ini sesuai

dengan temuan Sauqi (2002) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi

ketahanan pangan rumahtangga di daerah rawan pangan di Lombok Tengah

adalah ketersediaan pangan dalam rumahtangga, yang bisa berasal dari produksi

(14)

menegaskan bahwa ketersediaan pangan dan daya beli pangan merupakan faktor

penentu ketahanan pangan. Senada dengan itu, Horenstein (1989) juga

menegaskan pentingnya produksi pertanian rumahtangga untuk mencapai

ketahanan pangan rumahtangga di Kenya.

Bila dipilah menurut desa rawan pangan dan tahan pangan, perbedaan

proporsi responden di masing-masing desa yang mengkonsumsi hasil produksinya

menjadi lebih jelas, yaitu 10.96 persen dari total responden di desa rawan pangan

dan 88.46 persen dari total responden di desa tahan pangan. Hasil ini memberi

kejelasan besarnya peran produk usahatani dalam pencapaian ketahanan pangan

rumahtangga petani responden. Hasil ini sesuai dengan Alderman dan Garcia

(1994) bahwa ketersediaan pangan rumahtangga mempengaruhi ketahanan pangan

rumahtangga, yang diukur dari status gizi anak-anak di perdesaan Pakistan.

Demikian juga dengan Asmarantaka (2007) bahwa di desa kebun, konsumsi

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, pihak manajemen Perusahaan Konveksi Goldman Kudus dalam upaya meningkatkan produktivitas kerja karyawannya perlu memperhatikan masalah yang

Penelitian ini hanya dibatasi pada Analisis Kesalahan penggunaan morfem infleksi dalam Konjugasi Bahasa Arab oleh santriwati kelas II di Pesantren Darul Arafah, dan

1. Uji hipotesis pertama dengan menggunakan analisis paired sampel t-test diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara trading volume activity

Penutup laporan adalah penanda tanganan. Anda harus menuliskan nama dan seksi/bagian dari mana anda berasal, kemudian tanda tangan atas nama anda sendiri. Jika laporan

Bismillahirrohmanirrohim, segala puji syukur kehadirat Allah SWT yang melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul

Allhamdulillah, penulis panjatkan segala puji syukur hanya kepada Allah SWT atas segala petunjuk dan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis diberikan kesempatan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji aktivitas enzim selulase dan ligninase dari empat jamur (Mucor sp. M13T, Aspergillus sp. M2P, Penicillium sp. M3P1, Penicillium sp. R 7.5)

Rata-rata bidang dasar di lokasi pengukuran sebesar 16,77 m 2 /ha dan kelas distribusi diameter sedikit berbeda dengan sebaran diameter pohon di hutan alam primer