• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Mengenai Pemerintah Daerah diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang. Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang berbunyi:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Mengenai Pemerintah Daerah diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang. Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang berbunyi:"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

15 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Tentang Pemerintah Daerah 1. Definisi Pemerintah Daerah

Mengenai Pemerintah Daerah diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yang berbunyi:

Ayat (1): “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.”

Ayat (2): “Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.”

Ayat (3): “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.”

Ayat (4): “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.”

Ayat (5): “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat.”

Ayat (6): “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.”

Ayat (7): “Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.”

Sesuai dengan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia di atas dapat disimpulkan bahwasanya Negara Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai

(2)

16

pemerintahan daerah. Pemerintah daerah baik itu pemerintah daerah provinsi maupun pemerintah daerah kabupaten dan kota berhak untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di daerahnya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Pemerintah daerah berhak melaksanakan otonomi dengan seluas-luasnya terkecuali dengan urusan pemerintahan yang oleh undang-undang diatur sebagai urusan pemerintah pusat. Untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan pemerintah daerah diberikan wewenang untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lainnya.

Hanif Nurcholis (2007: 38-40) berpendapat bahwa pentingnya dilaksanakannya pemerintahan daerah dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

1. Adanya perbedaan daerah dalam sistem sosial, politik, dan budaya;

2. Upaya untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat; 3. Menciptakan administrasi pemerintahan yang efisien.

Selain itu dibentuknya sistem pemerintahan daerah mempenyai tujuan yang sangat penting. Hanif Nurcholis (2007: 42-43) berpendapat bahwa tujuan dibentuknya pemerintahan daerah adalah sebagai berikut:

a. Mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan yang terlalu besar mengenai masalah-masalah yang sebetulnya bisa diselesaikan oleh masyarakat setempat;

(3)

17

c. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Hal ini terjadi karena masyarakat ikut terlibat langsung dalam pengambilan keputusan;

d. Memperkuat persatuan dan kesatuan nasional. Hal ini didasarkan pada kerangka pikir bahwa dengan diberikannya kewenangan yang luas kepada daerah, terjadi saling percaya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan demikian, upaya untuk memisahkan diri dari masyarakat daerah menjadi kecil.

Kemudian mengenai Pemerintah Daerah juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersebut dijelaskan mengenai definisi Pemerintah Daerah dan beberapa hal yang berkaitan dengan pemerintah daerah, yakni:

Angka 2: “Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Angka 3: “Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.” Angka 4: “Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.” Angka 6: Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(4)

18

Angka 12: “Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Angka 23: “Perangkat Daerah adalah unsur pembantu kepala daerah dan DPRD dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.”

Selanjutnya pada Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga disebutkan bahwa, ayat (2): “Daerah kabupaten/kota selain berstatus sebagai daerah juga merupakan wilayah administratif yang menjadi wilayah kerja bagi bupati/wali kota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di wilayah daerah kabupaten/kota.”

Berdasarkan kutipan dari Pasal 1 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dapat ditarik kesimpulan bahwasanya yang dimaksud dengan Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Kewenangan mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Daerah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah daerah kabupaten/kota yang merupakan wilayah administratif yang menjadi wilayah kerja untuk bupati/wali kota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di wilayah daerah kabupaten/kota. Selanjutnya yang

(5)

19

dimaksud dengan kepala daerah dalam penelitian ini adalah Bupati Kabupaten Kebumen.

Mengenai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kepala daerah dan DPRD dibantu oleh perangkat daerah. Mengenai perangkat daerah diatur dalam pasal 209 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa perangkat daerah terdiri dari:

Ayat (2): “Perangkat Daerah kabupaten/kota terdiri atas: a. sekretariat daerah; b. sekretariat DPRD; c. inspektorat; d. dinas; e. badan; dan f. Kecamatan.”

Berkaca pada kutipan Pasal 209 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah di atas perangkat daerah yang bertujuan untuk membantu tugas Kepala Daerah dan DPRD dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom kabupaten/kota terdiri dari: (a) sekretariat daerah; (b) sekretariat DPRD; (c) inspektorat; (d) dinas; (e) badan; dan (f) kecamatan. Berkaitan dengan hal tersebut, yang dimaksud dengan Pemerintah Kabupaten Kebumen dalam penelitian ini adalah dinas daerah pada tingkat Kabupaten yang merupakan perangkat daerah yang bertujaun untuk membantu kepala daerah dan DPRD dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.

(6)

20

Selanjutnya menurut H.A.W. Widjaja (2007: 17) organisasi perangkat daerah ditetapakan dengan peraturan daerah (perda) dengan menetapakan pembentukan, kedudukan, tugas pokok, fungsi dan struktur organisasi perangkat daerah. Untuk penjabaran tugas pokok dan fungsi perangkat daerah ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.

2. Urusan Pemerintahan Pemerintah Daerah

Menurut Siswanto Sunarno (2008: 34) pembagian urusan pemerintahan di Indonesia pada hakikatnya dapat dibagi menjadi 3 yakni urusan pemerintahan yang dikelola oleh pemerintah pusat (pemerintah); urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah provinsi dan; urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.

Kemudian mengenai urusan pemerintahan diatur dalam Pasal 9 ayat (1) sampai ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa:

Ayat (1): “Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.”

Ayat (2): “Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.”

Ayat (3): “Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/ kota.” Ayat (4): “Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.”

(7)

21

Ayat (5): “Urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.”

Berdasarkan paparan Pasal 9 ayat (1) sampai ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan absolut merupakan urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Selanjutnya yang dimaksud dengan urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/ kota, urusan konkuren tersebutlah yang menjadi peletak dasar pelaksanaan otonomi daerah. Kemudian yang dimaksud dengan urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan.

Mengenai urusan pemerintahan absolut lebih lanjut dijelaskan pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yakni:

Ayat (1): Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) meliputi:

a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi;

e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.

Ayat (2):Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat: a. melaksanakan sendiri; atau

(8)

22

b. melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas Dekonsentrasi.

Urusan yang masuk kedalam urusan pemerintahan absolut sebagaimana tertera dalam kutipan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah di atas meliputi: a. politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama. Selanjutnya untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut tersebut pemerintah dapat melaksanakan sendiri atau melimpahkan wewenang kepada instansi vertikal yang ada di daerah atau gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berdasarkan asas dekonsentrasi.

Kemudian untuk urusan pemerintahan konkuren lebih lanjut diatur dalam pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu:

Ayat (1): Urusan pemerintahan konkuren sebagaimana di maksud dalam Pasal 9 ayat (3) yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan. Ayat (2): Urusan Pemerintahan Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Urusan Pemerintahan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar.

Ayat (3): Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Urusan Pemerintahan Wajib yang sebagian substansinya merupakan Pelayanan Dasar.

Berdasarkan paparan pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersebut bahwa urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan daerah terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Urusan Pemerintahan Wajib terdiri

(9)

23

atas urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar.

Urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi berbagai bidang, yakni: pendidikan; kesehatan; pekerjaan umum dan penataan ruang; perumahan rakyat dan kawasan permukiman; ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan sosial. Selanjutnya untuk urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar yakni: tenaga kerja; pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak; pangan; pertanahan; lingkungan hidup; administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; pemberdayaan masyarakat dan desa; pengendalian penduduk dan keluarga berencana; perhubungan; komunikasi dan informatika; serta koperasi, usaha kecil, dan menengah; penanaman modal; kepemudaan dan olahraga; statistik; persandian; kebudayaan; perpustakaan; dan kearsipan.

Kemudian untuk urusan pemerintahan pilihan meliputi kelautan dan perikanan; pariwisata; pertanian; kehutanan; energi dan sumber daya mineral; perdagangan; perindustrian; dan transmigrasi. Urusan pemerintahan pilihan tersebut merupakan urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

Berkaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan, masalah kemiskinan termasuk kedalam ranah bidang sosial sehingga masalah tersebut masuk kedalam klasifikasi urusan pemerintahan konkuren pada sub urusan

(10)

24

urusan pemerintahan wajib. Urusan pemerintahan wajib tersebut menjadi kewenangan daerah melalui kebijakan otonomi daerah.

Selanjutnya terkait dengan sektor pariwisata termasuk ke dalam salah satu urusan pemerintahan pilihan. Setiap daerah memiliki potensi unggulan daerah yang khas untuk dikembangkan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kabupaten Kebumen memiliki potensi pariwisata yang menjanjikan sehingga bisa dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kabupaten Kebumen.

B. Kajian Tentang Kemiskinan 1. Definisi Kemiskinan

Secara etimologis, kemiskinan berasal dari kata ”miskin” yang artinya tidak berharta benda dan serba kekurangan. Nurhadi (2007: 13) menyebutkan kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non-makanan yang disebut garis kemiskinan (povertyline) atau batas kemiskinan (povertytresshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan secara 2.100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya.

Secara umum kemiskinan dipandang sebagai kondisi dimana seseorang atau suatu keluarga berada dalam keadaan kekurangan dan atau ketidaklayakan hidup menurut standar-standar tertentu, ketidakmampuan

(11)

25

atau kekurangmampuan fisik manusia, ketiadaan atau kekurangan akses dalam memperoleh pelayanan minimal dalam berbagai bidang kehidupan, serta sulit atau kurang memperoleh akses dalam proses-proses pengambilan kebijakan (Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD) Provinsi Jawa Tengah tahun 2015-2018).

Tjokrowinoto (dalam Ambar Teguh Sulistiyani 2004: 27) berpendapat bahwa kemiskinan tidak hanya menyangkut persoalan kesejahteraan (welfare) semata, tetapi juga menyangkut persoalan kerentanan (vulnerability), ketidakberdayaan (powe-less), tertutupnya akses kepada pelbagai peluang kerja, menghabiskan sebagian besar penghasilannya untuk kebutuhan konsumsi, angka ketergantungan yang tinggi, rendahnya akses terhadap pasar, dan kemiskinan terefleksi dalam budaya kemiskinan yang diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Selanjutnya, Umi Listyaningsih (2004: 7) menggambarkan kemiskinan sebagai kondisi yang serba kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan sandang, pangan, papan, kebutuhan hidup sehat, kebutuhan akan pendidikan, dan

kebutuhan memperoleh penghargaan, dan lain sebaginya. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (dalam Kemal A. Stamboel:

2012: 16) mendefinisikan kemiskinan secara lebih komprehensif dimana dikaitkan dengan masalah kesehatan dan pendidikan yakni kemiskinan merupakan sebuah kondisi dimana individu-individu tidak memiliki pilihan dan kesempatan di dalam mengembangkan kapabilitas hidupnya. Dengan

(12)

26

kata lain kemiskinan merupakan sebuah kondisi pronounced deprivation in well-being atau penurunan kualitas hidup secara terus-menerus.

Melihat dari berbagai pendapat mengenai definisi kemiskinan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya kemiskinan merupakan suatu kondisi dimana seseorang atau masyarakat berada dalam kondisi serba kekurangan, baik kekurangan akses dalam memperoleh pekerjaan maupun dalam peluang usaha. Hal tersebut menjadikan masyarakat tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam hidupnya yakni sandang, pangan, dan papan. sehingga hidup dalam kondisi dibawah standar kehidupan yang layak. 2. Bentuk – Bentuk Kemiskinan

Menurut Chriswardani Suryawati (2005: 122) kemiskinan dibagi ke dalam empat bentuk, yang meliputi:

a. Kemiskinan absolut: bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja;

b. Kemiskinan relatif: kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada pendapatan;

c. Kemiskinan kultural: mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar;

(13)

27

d. Kemiskinan struktural: situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan suburnya kemiskinan.

3. Jenis-Jenis Kemiskinan

Menurut Frank Ellis (dalam Edi Suharto, 2010: 133 - 135) kemiskinan memiliki berbagai dimensi yang menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial-psikologis.

a. Kemiskinan ekonomi

Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam hal ini tidak hanya menyangkut masalah finansial saja, tetapi juga meliputi semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Berdasarkan konsepsi ini, maka kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumberdaya yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line). b. Kemiskinan politik

Secara politik, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power). Kekuatan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok

(14)

28

orang dalam menjangkau dan menggunanakan resources. Ada tiga pertanyaan mendasar yang berkaitan dengan akses terhadap kekuasaan ini, yaitu: (1) bagaimana orang dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam masyarakat, (2) bagaimana orang turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan penggunaan sumberdaya yang tersedia, (3) bagaimana kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan.

c. Kemiskinan sosial-psikologis

Secara sosial-psikologis, kemiskinan menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktifitas. Dimensi ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di dalam masyarakat. Faktor-faktor tersebut dapat bersifat internal maupun eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya. Sedangkan faktor eksternal datang dari luar orang yang bersangkutan, seperti birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya.

4. Karakteristik Kemiskinan

Emil Salim (dalam Tjahya Supriatna, 2000: 124) mengemukakan lima karakteristik kemiskinan, yang meliputi:

(15)

29

1. Penduduk miskin pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri;

2. Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri;

3. Tingkat pendidikan pada umumnya rendah;

4. Banyak diantara mereka tidak mempunyai fasilitas;

5. Diantara mereka berusia relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang memadai.

Sesuai dengan paparan mengenai karakteristik kemiskinan diatas dapat dilihat setidaknya ada lima karaktersitik kemiskinan. Melihat dari kelima karaktersitik kemiskinan tersebut pada umumnya merujuk pada kondisi penduduk miskin yang berhubungan dengan ranah produksi dan ranah pendidikan.

Dilihat dari ranah produksi disebutkan bahwa penduduk miskin pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri, tidak mampu memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri, serta tidak mempunyai aset produksi guna meningkatkan produksinya. Kemudian dari ranah pendidikan pada umumnya penduduk miskin tingkat pendidikan dan keterampilannya rendah sehingga tidak mampu menangkap peluang usaha yang ada.

5. Faktor Penyebab Kemiskinan

Suharto (2009: 17-18) menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kemiskinan, yakni:

(16)

30

a. Faktor individual, yakni berhubungan dengan aspek patologis, yaitu kondisi fisik dan psikologis si miskin. Kemiskinan terjadi disebabkan karena perilaku, pilihan maupun kemampuan dari orang miskin itu sendiri dalam menghadapi kehidupannya;

b. Faktor sosial, yakni kondisi-kondisi lingkungan sosial yang menjebak seseorang menjadi miskin. Misalnya, diskriminasi berdasarkan usia, gender, etnis yang menyebabkan seseorang menjadi miskin. Termasuk dalam faktor ini adalah kondisi sosial dan ekonomi keluarga si miskin yang biasanya menyebabkan kemiskinan antar generasi.

c. Faktor kultural, yakni kondisi atau kualitas budaya yang menyebabkan kemiskinan. Faktor ini secara khusus sering menunjukkan pada konsep “kemiskinan kultural” atau “budaya kemiskinan” atau mentalitas.

d. Faktor struktural, yakni menunjuk pada struktur atau sistem yang tidak adil, tidak sensitif dan tidak accessible sehingga menyebabkan seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin. Sebagai contoh, sistem ekonomi neoliberalisme yang diterapkan di Indonesia telah menyebabkan para petani, nelayan, dan pekerja sektor informal terjerat oleh, dan sulit keluar dari kemiskinan.

(17)

31 C. Kajian Tentang Pariwisata

1. Definisi Pariwisata

Menurut Soekadijo (dalam I Ketut Suwena dan I Gst Ngr Widyatmaja, 2010: 15) pariwisata adalah gejala yang kompleks dalam masyarakat, di dalamnya terdapat hotel, objek wisata, souvenir, pramuwisata, angkutan wisata, biro perjalanan wisata, rumah makan dan banyak lainnya. Kemudian James J. Spillane (2001: 20) mendefinisikan pariwisata sebagai kegiatan melakukan perjalanan dengan tujuan mendapatkan kenikmatan, mencari kepuasan, mengetahui sesuatu, memperbaiki kesehatan, menikmati olahraga atau istirahat, menunaikan tugas, dan berziarah.

Gamal Suwantoro (2004: 3) berpendapat bahwa pada hakikatnya berpariwisata adalah suatu proses kepergian sementara dari seseorang atau lebih menuju tempat lain di luar tempat tinggalnya. Dorongan kepergiannya adalah karena berbagai kepentingan, baik karena kepentingan ekonomi, sosial, kebudayaan, politik, agama, kesehatan maupun kepentingan lain seperti karena sekadar ingin tahu, menambah pengalaman ataupun untuk belajar. Selanjutnya Menurut Salah Wahab (2003: 3) pada dasarnya bagian-bagian dari gejala pariwisata terdiri dari 3 unsur, yang meliputi: (1) manusia, yakni unsur insani sebagai pelaku kegiatan pariwisata, (2) tempat, yaitu unsur fisik yang sebenarnya tercakup dalam kegiatan pariwisata, dan (3) waktu, adalah unsur tempo yang dihabiskan dalam perjalan itu sendiri dan selama berdiam ditempat tujuan.

(18)

32

Kemudian definisi tentang pariwisata juga tertuang Undang-Undang No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.

Berkaca dari berbagai pendapat mengenai definisi pariwisata di atas, dapat ditarik benang merah bahwasanya pariwisata adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang yang dilakukan di luar rumah dengan tujuan untuk bersenang-senang, memperoleh kenikmatan maupun untuk istirahat. Selain itu pariwisata juga berhubungan dengan berbagai fasilitas dan pelayaan dari berbagai elemen yakni masyarakat, pengusaha, pemerintah, maupun pemerintah daerah. Wujud dari fasilitas dan pelayan tersebut seperti objek wisata, penginapan, angkutan wisata, biro perjalanan dan rumah makan. 2. Pentingnya Pariwisata

Menurut Joyosuharto (dalam Soebagyo, 2012: 154), pengembangan pariwisata memiliki tiga fungsi penting, yaitu:

a. Menggalakkan ekonomi;

b. Memelihara kepribadian bangsa dan kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup;

c. Memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa.

Pendit (dalam Soebagyo, 2012: 154) mengemukakan bahwa keberadaan pariwisata sangat penting, terutama dalam menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut dikarenakan dengan adanya pariwisata

(19)

33

dapat menyediakan lapangan kerja, menstimulasi berbagai sektor produksi, serta mampu memberikan kontribusi secara langsung terhadap pembangunan dan pelestarian lingkungan dan budaya. Sehingga dapat memberikan keuntungan dan kesenangan baik kepada masyarakat setempat maupun wisatawan dari luar.

3. Dampak Pariwisata a. Dampak positif

Menurut Oka A. Yoeti (2008: 20), dilihat dari kacamata ekonomi makro, pariwisata memberikan dampak positif karena sebagai industri, yakni:

1. Dapat menciptakan kesempatan berusaha. Dengan datangnya wisatawan perlu pelayanan, untuk menyediakan kebutuhan (need), keinginan (want), dan harapan (expectation) wisatawan yang terdiri dari berbagai kebangsaan dan tingkah lakunya;

2. Dapat meningkatkan kesempatan kerja (employments) bagi masyarakat sekitar objek wisata;

3. Dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, sebagai akibat dari multiplier effect yang terjadi dari pengeluaran wisatawan yang relatif cukup besar;

4. Dapat meningkatkan penerimaan pajak pemerintah dan retribusi daerah;

(20)

34

5. Dapat meningkatkan pendapatan nasional atau gross domestic bruto (GDP);

6. Dapat mendorong peningkatan investasi dari sektor industri pariwisata dan sektor ekonomi lainnya;

7. Dapat memperkuat neraca pembayaran. Bila neraca pembayaran surplus dengan sendirinya akan memperkaut neraca pembayaran Indonesia, begitupun sebaliknya.

b. Dampak Negatif

Ada berbagai dampak negatif yang bisa ditimbulkan dari adanya pengembanganpariwisata, yakni (Oka A. Yoeti, 2008: 21):

1. Harga tanah menjadi mahal, pantai-pantai dikaveling sehingga sering terjadi spekulasi harga yang pada akhirnya meningkatkan harga tanah disekitarnya;

2. Di pusat-pusat konsentrasi kegiatan pariwisata harga-harga bahan makanan menjadi mahal yang dapat meningkatkan inflasi;

3. Sumber-sumber hayati menjadi rusak;

4. Terjadi urbanisasi, pencari kerja mengalir dari desa ke kota-kota besar;

5. Ramainya lalu lintas wisatawan, ternyata dapat ditumpangi penyelundupan narkotika.

(21)

35 c. Dampak terhadap Sosial-Budaya

Oka A. Yoeti (2008: 22) berpendapat bahwa adanya pariwisata akan memberikan dampak pada pola kehidupan masyarakat terutama dalam hal sosial-budaya baik itu secara langsung maupun secara tidak langsung. Adapun dampaknya seperti:

1. Sering terjadi komersialisasi seni-budaya;

2. Terjadi pemalsaun benda-benda budaya seperti lukisan atau keramik;

3. Terjadi demonstration effect, yakni kepribadian anak-anak muda akan rusak, seperti cara berpakain;

4. Upacara adat dijual untuk sebagai tontonan. d. Dampak terhadap Lingkungan Hidup

Oka A. Yoeti (2008: 23) mengemukakan bahwa apabila pariwisata tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan berbagai persoalan lingkungan hidup, misalnya:

1. Pembuangan sampah sembarangan;

2. Pembuangan limbah hotel, restoran, dan rumah sakit yang bisa merusak air, sungai, danau, atau laut;

3. Kerusakan terumbu karang karena nelayan tidak lagi memiliki pantai untuk mencari ikan, hal itu disebabkan karena pantai-pantai dikaveling;

4. Perambahan hutan terjadi dimana-mana;

(22)

36 4. Jenis - Jenis Pariwisata

Menurut James J. Spillane (2001: 28-31), jenis pariwisata dibagi menjadi enam yaitu :

a. Pariwisata untuk menikmati perjalanan (pleasure tourism), bentuk pariwisata ini dilakukan oleh orang-orang yang meninggalkan tempat tinggalnya untuk berlibur, untuk mencari udara segar yang baru, untuk memenuhi kehendak ingin tahunya, untuk mengendorkan ketegangan sarafnya, untuk melihat sesuatu, untuk menikmati keindahan alam, dan lain-lain.

b. Pariwisata untuk rekreasi, jenis pariwisata ini dilakukan oleh orang-orang yang menghendakai pemanfaatan hari-hari liburnya untuk beristirahat untuk memulihkan kesegaran jasmani dan rohaninya, yang ingin menyegarkan dan kelelahannya.

c. Pariwisata untuk kebudayaan (cultur tourism), jenis ini ditandai oleh adanya rangkaian motivasi, seperti keinginan untuk belajar di pusat-pusat pengajaran dan riset, untuk mempelajari adat-istiadat, cara hidup rakyat, dan lain-lain.

d. Pariwisata untuk olah raga (sport tourism), dapat dibagi menjadi: 1) Big sport events, yaitu peristiwa-peristiwa olah raga besar

seperti olimpiade game, kejuaraan tinju dunia, dan lain-lain. 2) Sporting tourism of the practitioners, yaitu pariwisata olah

(23)

37

sendiri, seperti pendakian gunung, rafting, berburu, dan lain-lain.

e. Pariwisata untuk urusan usaha dagang (business tourism),

Jenis pariwisata ini seperti industri pariwisata, tetapi juga mencakup semua kunjungan ke pameran, kunjungan ke instalasi teknis yang bahkan menarik orang-orang luar profesi ini.

f. Pariwisata untuk berkonvensi (convention tourism), Peranan jenis wisata ini makin lama makin penting. Konfensi dan pertemuan bentuk ini sering dihadiri oleh ratusan bahkan ribuan peserta yang biasanya tinggal di beberapa kota atau negara penyelenggara. 5. Pengentasan Kemiskinan melalui pariwisata

Secara umum tujuan dikembangkannya sektor pariwisata adalah tertuang dalam dalam pasal 4 Undang-Undang No. 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan, yang mana Kepariwisataan bertujuan untuk:

a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi; b. meningkatkan kesejahteraan rakyat; c. menghapus kemiskinan;

d. mengatasi pengangguran;

e. melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya; f. memajukan kebudayaan;

g. mengangkat citra bangsa; h. memupuk rasa cinta tanah air;

i. memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan j. mempererat persahabatan antarbangsa.

Lebih khusus pada huruf “c” disebutkan bahwa kepariwisataan bertujuan untuk menghapus kemiskinan. Hal ini seakan menjadi rujukan bahwasanya kemiskinan mampu diatasi melalui sektor pariwisata, tentu dengan berbagai strategi dan pendekatan yang tepat.

(24)

38

Pengentasan kemiskinan melalui sektor pariwisata di Kabupaten Kebumen disesuaikan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 20 Tahun 2012 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Pasal 11 dijelaskan mengenai Strategi percepatan penanggulangan kemiskinan, yakni

(1) Strategi percepatan penanggulangan kemiskinan di Daerah dilakukan dengan:

a. mengurangi beban pengeluaran masyarakat miskin;

b. meningkatkan kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin;

c. mengembangkan dan menjamin keberlanjutan usaha ekonomi mikro dan kecil; dan

d. mensinergikan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan.

(2) Untuk melaksanakan strategi percepatan penanggulangan kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun SPPKD.

(3) SPPKD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati sebagai pedoman dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran Daerah.

Kemudian strategi-strategi tesebut dijabarkan dengan program percepatan penanggulangan kemiskinan yang termuat dalam pasal 12, yakni:

(1) Program percepatan penanggulangan kemiskinan merupakan penjabaran dari kebijakan dan strategi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11.

(2) Program percepatan penanggulangan kemiskinan terdiri dari :

a. kelompok program bantuan sosial terpadu berbasis keluarga, bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, dan perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin; b. kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis

pemberdayaan masyarakat, bertujuan untuk mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat;

c. kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil, bertujuan untuk

(25)

39

memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil; dan

d. program-program lainnya yang baik secara langsung ataupun tidak langsung dapat meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat miskin.

Pengembangan pariwisata yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan, menurut Janianton Damanik (2005: 27) harus menggunakan pendekatan yang tepat, yakni dengan pariwisata berbasis masyarakat. Intinya, kepentingan masyarakat menjadi titik perhatian yang penting. Supaya kepentingan masyarakat miskin terjangkau, maka modus pengembangan, pasar dan kelembagaan perlu digeser secara gradual. Ini berarti pengembangan pariwisata perlu didasarkan pada kondisi riil masyarakat miskin, bukan diserahkan sepenuhnya pada tuntutan dan kekuatan pasar yang justru potensial menafikan kepentingan masyarakat miskin tersebut. Kemudian setelah kepentingan mereka terakomodasi, baru secara bertahap aspek pengembangan kebutuhan wisatawan mulai difokuskan.

Implementasi strategi pengentasan kemiskinan melalui pariwisata dilakukan dengan cara meningkatkan peluang kelompok masyarakat miskin di dalam pengelolaan sumberdaya pariwisata. Model implementasi pengembangan pariwisata tersebut adalah dengan meningkatkan fungsi ekonomi usaha pariwisata. Mengenai hubungan antara pariwisata dan kemiskinan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

(26)

40

Gambar 2. Hubungan kepariwisataan dan kemiskinan

Sumber: panduan pengentasan kemsikinan melalui sektor pariwisata oleh ILO Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa ada hubungan yang nyata antara pariwisata dan kemiskinan. Sektor kepariwisataan akan mampu merangsang pertumbuhan ekonomi seperti peningkatan sumber mata pencaharian, pertumbuhan dan diversivikasi di daerah terpencil, akses terhadap pasar bagi kaum miskin, meningkatkan peluang pekerjaan, dan juga mengurangi ketergantunagn terhadap sektor pertanian sebagai mata pencaharian. Selain itu berkembanya sektor pariwisata akan menimbulkan multiplayer effect bagi sektor-sektor lainnya seperti pendidikan, layanan kesehatan, usaha mikro, serta manajemen lingkungan yang berkelanjutan. Dengan peningkatan perekonomian tersebut nantinya akan mampu untuk mengentaskan kemiskinan.

Menurut Iwan Gunawan (2005: 43) Pariwisata memberikan sumbangan pada pengurangan kemiskinan dengan menyediakan lapangan

(27)

41

pekerjaan, peluang untuk meningkatkan pendapatan dan juga pengurangan kerentanan. Lebih khusus lagi, pariwisata bisa memberikan sumbangan secara efektif pada pembangunan berkesinambungan dan pengurangan kemiskinan dengan sejumlah cara khusus, termasuk diantaranya:

1. Peluang baru khususnya di wilayah-wilayah terpencil dan pinggiran yang menarik pengunjung;

2. Perluas kesempatan untuk penjualan barang dan jasa tambahan;

3. Pajak langsung dan penciptaan kegiatan ekonomi yang bisa dikenai pajak; 4. Penggunaan sumberdaya yang bernilai dengan cara yang

berkesinambungan melalui pariwisata berbasis masyarakat;

5. Peningkatan peluang rekreasi dan pengisian waktu luang bagi masyarakat miskin;

6. Peluang bisnis skala kecil dan intensif tenaga kerja yang lebih baik; 7. Mendorong persamaan gender di dalam peluang kerja.

Pengembangan pariwisata untuk pemberdayaan masyarakat miskin di kawasan wisata sangat perlu untuk dilakukan dalam upaya untuk mengentaskan kemiskinan melalui pariwisata. Menurut DFID (dalam I Ketut Surya Diarta, 2009:47) ada empat alasan pokok yang melatarbelakangi hal itu, yaitu (1) pariwisata mempunyai potensi besar dalam keterkaitannya dengan jenis usaha lain berbasis lokal (di daerah tujuan wisata) karena wisatawan langsung datang ke kawasan wisata dimaksud; (2) pariwisata merupakan industri dengan penyerapan tenaga kerja yang besar dan proporsi tenaga kerja perempuan juga sangat besar; (3) pariwisata mempunyai

(28)

42

potensi sebagai ‘penyelamat’ bagi suatu daerah bahkan suatu negara di saat tidak adanya potensi ekspor lain yang dapat diandalkan karena sifat produk pariwisata yang unik dan “export going no where”, dan; (4) pariwisata dapat dibangun atas sumber daya alam atau sumber daya budaya yang terkadang hanya aset tersebutlah yang dimiliki oleh penduduk miskin.

Pengentasan kemiskinan melalui pengembangan sektor pariwisata dengan konsep pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui cara menggali dan memunculkan kesadaran kritis masyarakat (miskin) serta mendorong partisipasi mereka dalam mengelola kegiatan kepariwisataan. Masyarakat miskin tidak lagi menjadi obyek tetapi sebagai subyek pembangunan pariwisata. Untuk itu dibutuhkan adanya kelembagaan yang representatif dan dapat dipercaya sebagai wadahnya serta adanya kebijakan dari pemerintah yang pro-poor, terintegrasi dan berkesinambungan.

Selain dengan pariwisata bebasis masyarakat, pengembangan destinasi juga perlu dilakukan dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui pariwisata. Menurut Cooper (dalam Sri Susanti, 2010: 37) bahwa suatu wilayah dapat dikatakan sebagai destinasi wisata yang baik jika pada tempat atau wilayah tersebut sudah terdapat unsur 4“A” yaitu: atraksi (attraction), aksesibilitas (accessibilities), amenitas atau fasilitas (amenities), dan ancillary atau pengelola.

Upaya pengentasan kemiskinan melalui pariwisata membutuhkan partisipasi dari masyarakat, baik partisipasi langsung maupun partisipasi secara tidak langsung. Adapun mengenai gambaran partisiapasi masyarakat

(29)

43

dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui sektor pariwisata dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 3. Patisipasi langsung dan tidak langsung masyarakat

Sumber: panduan pengentasan kemiskinan melalui sektor pariwisata oleh ILO

Partisipasi langsung di bidang kepariwisataan adalah ketika masyarakat miskin menyediakan barang dan jasa untuk wisatawan. Mereka mungkin bekerja di hotel atau restoran, menjual kerajinan tangan di emperan, mengemudikan perahu untuk wisatawan atau menyediakan penginapan di desanya. Sedangkan partisipasi tidak langsung adalah ketika rakyat miskin bekerja di sektor-sektor yang memasok kepariwisataan. Mereka mungkin menanam dan menjual sayuran yang disajikan di hotel untuk wisatawan atau bekerja untuk pembangunan hotel atau pembuatan perabotan untuk hotel.

Dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui pariwista, Poultney dan Spenceley (dalam Janianton Damanik, 2005: 22-25) menyimpulkan setidaknya ada enam strategi, yakni sebagai berikut:

1. Perluasan kesempatan berusaha bagi penduduk miskin 2. Perluasan kesempatan kerja bagi penduduk miskin

(30)

44

3. Pengurangan dampak lingkungan bagi penduduk miskin yang lebih rentan

4. Pengurangan dampak sosial budaya pariwisata yang negatif bagi penduduk miskin

5. Pengembangan kelembagaan yang mendorong upaya pengentasan kemiskinan

6. Penajaman kebijakan dan perencanaan pengembangan pariwisata yang lebih tepat

Pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa pengentasan kemiskinan melalui pariwisata adalah usaha untuk mengembangkan sektor pariwisata agar mampu menciptakan multiplier effect yang mampu meningkatkan perekonomian masyarakat sehingga mampu mengurangi angka kemiskinan. Berbagai dampak yang ditimbulkan dari pariwisata terhadap masyarakat adalah perluasan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan, pemerataan pembangunan antar wilayah, dan menciptakan peluang usaha baru.

Untuk mencapai tujuan tersebut, pengembangan pariwisata menggunakan pendekatan pariwisata berbasis masyarakat. Masyarakat kini bukan lagi sebagai objek melainkan sebagai subjek dalam pengembangan pariwisata. Intinya dalam pengembangan pariwisata masyarakat diberikan kesempatan untuk berpartisipasi baik itu secara langsung maupun tidak langsung.

Gambar

Gambar 3. Patisipasi langsung dan tidak langsung masyarakat

Referensi

Dokumen terkait

14 Tingginya jumlah infeksi yang disebabkan oleh Pseudomonas sp ini kemungkinan karena bakteri ini telah berkoloni dengan lingkungan rumah sakit (seperti peralatan medis, udara

Berdasarkan hasil pengukuran arus bocor, dapat dianalisis estimasi tegangan lewat denyar dengan menggunakan metoda statistic pada aplikasi SPSS dan Matlab.. Karakteristik

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan

Hubungan antara sisi graving dock gate dan struktur graving dock yang dijadikan kondisi batas dalam pemodelan software analisa elemem hingga terdapat pada Tabel 3.23. Oleh

Kota Depok (mewakili daerah kuadran II) Kota Depok memiliki sektor basis pada Sektor listrik, gas, dan air bersih; Sektor bangunan; Sektor perdagangan, hotel, dan restoran;

kekasaran pemukaan resin komposit nanofil dan giomer lebih tinggi dibanding karbamid peroksida 10%, proses bleaching dengan karbamidperoksida10%dan20% menyebabkan

Pemilihan ukuran keramik sudah sesuai dengan standar koordinasi modular, yaitu 3M, Dimensi keramik yang ada dipasaran, sedangkan pembagian ruang dalam unit hunian tidak